Anda di halaman 1dari 52

BAHAN KULIAH

AGAMA DAN ETIKA KEBERAGAMAAN


Benny W Nawa, SE, MM, STh

1. PENGALAMAN BERAGAMA DAN KEBERAGAMAAN

1.1. Pengalaman beragama

Adalah kenyataan hakiki bahwa sebagai makhluk berakal budi manusia selalu ingin
mengetahui kebenaran. Secara garis besar, dapat dibedakan tiga macam kebenaran,
yaitu: kebenaran akali, kebenaran faktual dan kebenaran absolut (kebenaran mutlak,
kebenaran adikodrati). Kebenaran akali adalah kebenaran hasil penalaran pikiran atau
rasio manusia, seperti kebenaran dalam logika dan matematika. Kebenaran faktual adalah
kebenaran berdasar fakta yang bersifat spasial (keruangan) dan temporal (waktuwi), yang
diketahui berdasar pengalaman inderawi. Sedangkan kebenaran adikodrati adalah
kebenaran yang berdimensi rohani, melampaui ruang dan waktu, tak mungkin terjangkau
secara penuh dan sempurna oleh manusia, serta tak cukup dipahami berdasar
pengalaman inderawi, melainkan oleh pengalaman rohani. Pengalaman beragama atau
pengalaman tentang Tuhan atau kuasa supranatural yang mengatasi hidup manusia
merupakan contoh pengalaman rohani. 1 Sejak zaman purbakala manusia berusaha
bersaksi tentang pengalaman keagamaannya, pengalaman tentang adanya kuasa
supranatural dan interaksi serta komunikasi mereka dengan-Nya. Dalam hubungan inilah
dikenal adanya wahyu atau penyataan dari Yang Ilahi.

1.1.1. Pengalaman religius berdasar pewahyuan umum

Romando Guardini (1885-1971), seorang pemikir dan teolog Itali yang kemudian
berpindah ke Jerman, membedakan tiga macam pengalaman agamawi berdasar
pewahyuan umum: pengalaman religius kosmologis, pengalaman religius antropologis dan
pengalaman religius etis. Pengalaman religius kosmologis adalah pengalaman religius
yang berhubungan dengan alam semesta. Pengalaman religius antropologis adalah
pengalaman religius yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan
manusia. Pengalaman religius etis adalah pengalaman religius yang berhubungan dengan
suara hati.2
Pada saat manusia menatap kenyataan alam semesta dan seluruh jagad raya ini, mungkin
secara profan (sekular) manusia akan menyatakan kekagumannya, betapa indah, betapa
besar, betapa dahsyat, dan seterusnya. Namun mungkin pula manusia bukan sekadar
memberikan tanggapan profan, melainkan sekaligus menghayati adanya “misteri” di balik
semua kedahsyatan alam ini. Sang “Misteri” itu dibayangkan sebagai “Keberadaan” yang
sama sekali berbeda dengan kenyataan duniawi, sebab Ia adalah kekal, kudus dan
sempurna. Sekalipun keberadaannya sama sekali berbeda dengan hal-hal duniawi, “Yang
Kekal” atau “Yang Kudus” tersebut dialami melalui kenyataan dunia. Rudolf Otto menyebut
kepekaan manusia terhadap “Yang Kekal” atau “Yang Kudus” ini sebagai “sensus
religiosus” (kesadaran beragama), salah satu aspek struktur apriori irasional dalam jiwa
manusia. Karena adanya sensus religiosus ini maka manusia dapat mengalami hal-hal
duniawi sebagai isyarat dari hal-hal yang ilahi.3 Kata “kudus” yang dikenakan kepada
“Sang Misteri” bukan berarti kesucian moral sebagaimana makna kata tersebut jika
dikenakan kepada manusia, melainkan lebih berarti “kekuasaan ilahi”, yang sama sekali
lain dengan keberadaan manusia dan kenyataan-kenyataan duniawi ini.
Pengalaman religius juga dapat terjadi berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan ini. Keberhasilan atau kegagalan, sakit atau sehat, perang atau damai,
kehidupan atau kematian, dan banyak pasangan ‘dualistik’ lainnya, pasti berkesan dalam
hati manusia. Memang, kenyataan-kenyataan tersebut dapat saja tidak dihayati secara

1 Bdk. Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani (Yogyakarta dan Jakarta: Yayasan Kanisius dan BPK, 1985), hlm.19.
2 Lht. Huybers, Manusia Mencari Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 68-75, 248 dst.
3 Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Harmondswoth: Penguin Books, 1959), hlm. 192.

1
religius, melainkan dianggap sebagai pengalaman-pengalaman normal yang dapat dinalar
secara rasional. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pengalaman-pengalaman
tersebut menyentuh kesadaran keagamaan seseorang, sehingga peristiwa-peristiwa yang
terjadi dimaknai sebagai anugerah atau ganjaran, teguran atau peringatan, bahkan
hukuman dari Yang Mahakuasa yang mengatasi segala kekuatan duniawi. Jadi peristiwa-
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini dapat dipahami sebagai campur tangan Ilahi.
Dalam hal ini, pengungkapan pengalaman religius seseorang yang telah menganut agama
tertentu, pasti akan dipengaruhi oleh agamanya. Keunikan kata-kata untuk
mengungkapkannya menunjukkan pengaruh agama yang telah dianutnya. Namun banyak
pula pengalaman religius yang diungkapkan secara umum sebagai bentuk penghayatan
akan Misterium yang beraa di balik peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang.
Yang ketiga, pengalaman religius yang berkenaan dengan hati nurani. Seringkali
seseorang diperhadapkan pada pilihan untuk bertindak yang berkaitan dengan hati nurani.
Pada saat seseorang melihat dompet seseorang jatuh, ia diperhadapkan dengan pilihan,
berbuat jujur, yang berarti mengembalikan dompet tersebut kepada pemiliknya, atau
berbuat tidak jujur dan tidak mengembalikan dompet tersebut. Keputusan untuk memilih
bertindak sesuai dengan bisikan hati nurani dapat menjadi pengalaman religius seseorang,
karena dalam dirinya ada kesadaran akan adanya Kebenaran Mutlak yang menjadi sumber
kebenaran dalam hatinya. Pada saat seseorang harus menghadapi konflik batin,
keinsyafan akan kewajiban objektif, atau keharusan untuk mengambil keputusan moral,
hatinya terusik untuk mengingat Sumber Kebenaran yang mengatasi dirinya. Tentu hal ini
sangat tergantung pada keyakinan seseorang akan adanya Kuasa transenden yang
mengatasi dirinya. Dapat saja terjadi bahwa hal-hal tersebut dipahami hanya sebagai
tuntutan moral etis manusiawi belaka. Di antara kaum humanis dan ateis terdapat pula
pribadi-pribadi yang bermoral tinggi. Tetapi sebaliknya, di antara kaum beragama pun ada
pula yang bermoral rendah. Jadi, kesadaran moral tidak sama dengan kesadaran religius.
Bagi orang yang mempercayai adanya Tuhan, peristiwa yang berkaitan dengan kesadaran
moral dapat menjadi pengalaman religius, namun bagi mereka yang tidak percaya akan
adanya Tuhan, peristiwa-peristiwa tersebut hanya dianggap sebagai peristiwa
kemanusiaan belaka.

1.1.2. Pengalaman religius berdasar kerentanan manusia

Menghayati kehidupan ini manusia menyadari bahwa hidupnya berada dalam kerentanan
dan misteri-misteri yang tak terpecahkan. Kehidupan manusia paling tidak diperhadapkan
pada tiga macam kerentanan. Pertama, kehidupan manusia berada dalam keadaan
terancam dan tidak pasti. Ada sakit-penyakit dan kematian, ada kesusahan dan
penderitaan, ada mala petaka dan bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Manusia
tidak dapat memastikan masa depan kehidupannya. Apa yang akan terjadi nanti, besok
atau lusa, tidak seorang pun dapat memastikannya. Dalam keadaan seperti ini, manusia
membutuhkan pertolongan dan rahmat dari Kuasa Supranatural yang mengatasi
hidupnya. Memang, kaum ateis berpendapat bahwa semua persoalan itu dapat
diselesaikan dengan akal budinya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diyakini
dapat mengatasi keterancaman dan ketidakpastian manusia. Namun hingga saat ini,
pemikiran ateistik tersebut toh tidak dapat memberi jaminan bahwa manusia dapat
terbebas dari ancaman dan ketidakpastian itu.
Kedua, manusia diperhadapkan pada kenyataan bahwa keberadaan ini, dunia dan diri
manusia sendiri bersifat tak terpahami, tak terselami dan tak terkenali. Manusia
diperhadapkan pada misteri yang tidak terpecahkan. Kesadaran akan adanya misteri-
misteri ini membawa manusia pada keinsyafan akan adanya Kuasa yang lebih tinggi, Yang
Mahatahu, yang mengetahui semua misteri, sekalipun bagi manusia Ia adalah Misterium
yang tak mampu dikenal dan diketahui secara lengkap. Dia Yang Tak-Terbatas bukanlah
objek pemikiran manusia yang terbatas.
Ketiga, manusia menyadari bahwa keberadaan dirinya dan dunia ini bukanlah suatu
keharusan untuk ada, melainkan kenyataan yang sudah ada dan harus diterima.
Kesadaran ini menuntun manusia pada keinsyafan akan adanya Kuasa yang menghendaki.

2
Segala sesuatu ada karena adanya inisiatif dari Sang Inisiator atau prakarsa dari Sang
Pemrakarsa.4

1.1.3. Pengalaman religius khusus

Gejala keagamaan secara umum yang telah dibicarakan sudah terdapat dalam semua
bangsa di segala zaman. Di mana-mana manusia selalu sadar akan adanya Kenyataan
misterius yang dihayati sebagai asal-muasal sekaligus tujuan segala sesuatu. Bentuk
ungkapan kesadaran tersebut sangat beragam, karena diwarnai oleh kebutuhan,
kecenderungan, alam berpikir, serta kebudayaan manusia. Sekalipun demikian tidak
berarti bahwa kehidupan agama umat manusia semata-mata merupakan hasil
perkembangan evolutif peradaban manusia. Dalam penelitian dapat dibuktikan bahwa
dalam agama-agama primitif justru sering terdapat kesadaran beragama yang relatif
murni; sebaliknya, dalam masyarakat yang lebih modern kemurnian kesadaran
beragamanya sering tercampur dengan unsur-unsur duniawi (misalnya pendewaan alam),
yang mengakibatkan simbol-simbol untuk Sang Pencipta berubah menjadi idol (berhala).
Penghayatan akan Kuasa Supranatural telah tereduksi oleh idol-idol, yang sadar atau tak
sadar telah diciptakan manusia. Akibatnya, bukan Kuasa Supranatural itu sendiri yang
menjadi sentrum pemujaan, melainkan telah bergeser pada simbol-simbol religius yang
diberhalakan.5
Di samping berdasar ‘wahyu’ umum yang telah dibicarakan, pengalaman keagamaan dan
hidup beragama manusia juga dipengaruhi bahkan ditentukan oleh pewahyuan khusus
yang berupa Kitab Suci, yang oleh masing-masing agama diyakini sebagai wahyu yang
berasal dari Sang Ilahi. Namun tidak boleh dilupakan, bahwa pewahyuan tersebut juga
tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu manusia penerimanya. Oleh sebab itu, umat
beragama pada periode-periode selanjutnya perlu dengan sekasama mengkaji inti pesan
yang hendak disampaikan melaluinya. Pesan-pesan tersebut tidak selalu dapat dipahami
secara harfiah (literer), sehingga perlu kajian ulang secara cermat.

1.2. Keberagamaan

1.2.1. Norma keagamaan dan spiritualitas

Agama sulit didefinisikan. Memang agama bukan untuk didefinisikan atau diperdebatkan.
Menurut Hans Küng agama merupakan keyakinan dalam diri manusia untuk dihayati,
bukan sekadar konsep teknis yang abstrak; agama merupakan iman yang konkrit, bukan
sekadar lembaga.6 Agama selalu menyangkut basic trust seseorang akan hidup. Sadar
atau tidak, secara eksistensial manusia membutuhkan komitmen dasar, komitmen pada
makna, pada nilai dan pada norma. Agama memberikan makna yang komprehensif akan
hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi dan norma-norma yang bersifat tanpa
syarat, memberi komunitas dan rumah rohani bagi individu-individu.7 Keberadaannya
melekat pada kemanusiaan manusia, bersifat konkret, berkaitan dengan kemeng-ada-an
manusia, dan bertolak dari pandangan komunitas manusia tentang kuasa supranatural,
dunia, manusia, serta hubungannya satu sama lain. Kaidah-kaidahnya diwujudnyatakan
dalam kehidupan, peribadahan, sikap, perilaku, dlsb. Dalam rasa keagamaannya, manusia
insyaf akan adanya suatu Kekuasaan yang melebihi segala-galanya dan sangat penting
untuk keselamatannya.8 Dari segi yang lain, manusia – baik sebagai individu maupun
sebagai kelompok – memiliki keunikan masing-masing. Kemanusiaannya tumbuh dan
terbentuk oleh suatu lingkungan dan kondisi tertentu, lengkap dengan norma, tata nilai
dan cara pemaknaan terhadap realitas yang dihadapinya. Oleh karena itu sah dan wajar
jika dalam berolah agama terdapat keunikan dan berbeda satu sama lain.

4 R. Guardini, Religion und Offenbarung, Wurzburg, 1958, hlm. 12, 47, 58, 66.
5 Bdk. Nico Syukur Dister, Bapak & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 43-45.
6 Hans Küng, dikutip oleh Sunardi, dalam ulasannya mengenai Sumbangan Hans Küng Bagi Dialog Antar Agama, dalam Seri

Dian I, Dialog, Kritik & Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 1994), hlm. 60-61.
7 Sunardi, Dialog, Kritik dan Identitas Agama, hlm. 62.
8 A.P. Budiyono H.D, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman, Jilid 1 (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius,

1983), hlm. 96.

3
Keberagamaan berhubungan erat dengan spiritualitas. Spiritualitas otentik tumbuh dan
berkembang dari penghayatan personal seseorang terhadap perjumpaannya dengan
Kuasa transenden. Penghayatan tersebut, menumbuhkan relasi, mungkin personal,
mungkin pula impersonal. Namun yang jelas, titik-tolaknya adalah realitas hidup yang
dialami, serta gerak hati untuk memberikan tanggapan spiritual terhadap Kuasa
transenden itu. Pengungkapan spiritualitas dan kedalaman sentuhannya tidak dapat
dilepaskan dari jalinan budayawi seseorang secara kontekstual. Karena itu,
pengembangan spiritualitas menggunakan wahana kebudayaan adalah wajar, bahkan
seharusnya.
Tidak dapat disangkal, sekalipun spiritualitas terkait erat dengan penghayatan personal
dan bersifat individual, implikasinya bersentuhan pula dengan komunitas sosial. Itulah
sebabnya, dimungkinkan terjadinya kelompok orang, yang secara bersama-sama terikat
dalam kesamaan pengungkapan spiritualitas dalam wadah agamawi. Wadah itu pun akan
menemukan spesifikasinya lebih lanjut dalam jalinan kebudayaan yang melingkupinya.
Dengan demikian, terjadinya bentuk-bentuk pengungkapan spiritualitas (sebagai inti
kehidupan keagamaan) yang berbeda-beda, merupakan hal yang wajar dan (semestinya)
tidak perlu mengundang ketegangan.

1.2.2. Agama sebagai sistem simbol

Simbol mempunyai makna yang lebih dalam dan lebih rumit daripada tanda. Dalam
simbol, objek, fakta atau peristiwa sebagai realitas dipergunakan untuk menunjuk realitas
lain, yang biasanya berada di luar jangkauan pengalaman inderawi manusia. Signifikasi
(signifikasi = proses pemahaman tanda-tanda lahir yang mudah dilihat) simbol memuat
pemahaman-pemahaman yang dalam, misterius dan mengatasi kemampuan inderawi
manusia yang terbatas.9 Sekalipun demikian manusia selalu membutuhkan dan
menggunakan simbol-simbol itu. Bahkan sebagai makhluk yang berakal budi, manusia
dapat menciptakan simbol-simbol untuk mengaktualisasikan pikiran dan kehendaknya.
Dengan pikirannya manusia menciptakan simbol-simbol dan dengan menggunakan
simbol-simbol manusia berpikir untuk mengartikannya. Oleh sebab itu dapat dikatakan
bahwa simbol-simbol tersebut merupakan penjelmaan dari kebebasan dan dinamika budi
manusia. Kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan simbol-simbol tersebut
mewarnai seluruh perilaku manusia, sehingga perilaku manusia dapat disebut sebagai
perilaku simbolik. Dapat dikatakan bahwa manusia berpikir, berperasaan dan bersikap
dengan ungkapan-ungkapan simbolik. Manusia memaknai kehidupannya dengan simbol-
simbol dan dengan cara itu pengalaman-pengalaman dapat didefinisikan dan diatur sesuai
dengan cara hidup komunitasnya. Manusia tidak melihat, menemukan dan mengenal
dunia secara langsung, melainkan melalui berbagai simbol. Realitas-realitas yang dihadapi
tidak hanya dipahami sebagai kumpulan fakta, melainkan sebagai sesuatu yang
mempunyai makna kejiwaan. Dalam hal ini, simbol berperan memberi keluasan dan
keleluasaan pemahaman.10
Secara fenomenal, realisasi sikap-tanggap manusia terhadap berbagai realitas di
sekitarnya, termasuk kuasa transenden yang diakui sebagai keberadaan yang melebihi
dirinya, terwujud dalam bentuk agama. Pewujudnyataan penghayatan tersebut tidak
terlepas dari simbol-simbol. Oleh karena itu, agama memiliki dan memerlukan demikian
banyak simbol. Bahkan secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa agama adalah suatu
sistem simbol untuk mengungkapkan konsep-konsep dan gagasan-gagasan tentang
kekudusan, serta relasi manusia dengannya. 11 Secara spesifik simbol-simbol dalam agama
dapat disebut sebagai simbol-simbol religius. Wujudnya dapat bersifat material, seperti
rumah ibadah dan segala perangkat peribadahan, atau immaterial, seperti ibadah, ritus-
ritus dan tata-cara keagamaan yang lain.
Setiap religi atau agama – apapun bentuknya – sebagai sebuah sistem simbol memiliki
unsur-unsur: perasaan keagamaan atau kesadaran keagamaan (kesadaran religius),
sistem ajaran atau sistem kepercayaan, sistem peribadahan atau sistem ritual, serta
komunitas religius yang menganut sistem ajaran atau sistem kepercayaan itu.12

9 Sutan Takdir Alisyahbana, Antropologi Baru (Djakarta: PT Dian Rakjat, 1968), hlm. 256.
10 Bandingkan, Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (PT Hanindita, Yogyakarta, Cet. III, 1987), hlm. 10.
11 Alisyahbana, Antropolgi Baru, hlm. 262.
12 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (PT Gramedia, Jakarta, 1974), hal. 137.

4
Berhadapan dengan realitas dan segala misterium yang tidak selalu mampu terjawab oleh
logika, manusia disadarkan akan adanya Realitas transenden yang mengatasi
keberadaannya, serta keterhubungan dirinya dengan Realitas itu. Kesadaran inilah yang
menumbuhkan perasaan keagamaan. Calvin menyebutnya sebagai semen religionis.13
Dengan demikian, pada hakikatnya kesadaran religius telah melekat (inheren) pada
kemanusiaan manusia. Kesadaran religius tersebut membutuhkan wahana pengungkapan
dalam bentuk simbol-simbol, yang berfungsi untuk mendramatisasikan keterhubungan
manusia dengan Kuasa transenden.
Lebih lanjut, kesadaran keagamaan itu mewujud dalam sistem kepercayaan atau sistem
ajaran yang merupakan konkretisasi keyakinan, bayangan-bayangan manusia tentang
Kuasa transenden, pemahaman tentang hakikat dirinya sendiri dan alam semesta,
pemahaman tentang hidup dan maut, sikap dan perilaku, kebenaran dan kekudusan.
Semua itu ditransmisikan melalui Kitab Suci atau mitologi yang diwariskan secara lisan
turun-temurun dalam masyarakat. Aktualisasinya dalam kehidupan tercermin dalam
bentuk sistem ritual atau peribadahan, seperti: doa, pujian, sesaji, korban, perjamuan,
prosesi, laku, samadi, dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan dramatisasi relasi
serta komunikasi personal manusia dengan Yang Mahasuci. Dari sisi ini, sistem religi
merupakan salah satu segi kebudayaan, dengan simbol-simbol yang dihasilkan oleh akal
budi manusia.14
Para penganut suatu sistem kepercayaan atau religi, dipersatukan dalam bentuk
komunitas religius atau komunitas agama tertentu. Secara pribadi atau kelompok, periodik
atau keseharian, mereka berpegang pada sistem ajarannya serta melakukan sistem
peribadahannya dalam bentuk upacara-upacara ritual. Inilah awal munculnya lembaga-
lembaga keagamaan (atau lazim disebut sebagai agama saja) sebagai wadah spiritual bagi
para penganutnya. Sedangkan para penganutnya disebut sebagai jemaat atau umat.
Disadari atau tidak, salah satu pengikat yang mempersatukan umat tersebut adalah
uniformitas pemaknaan simbol-simbol religius yang digunakannya. Penyim-pangan
pemaknaan akan menimbulkan keberagaman aliran.
Jadi, secara ringkas dapat dikatakan: kesadaran religius menumbuhkan penghayatan
religius; penghayatan religius membutuhkan ekspresi religius yang dikonkretisasi dalam
simbol-simbol religius.15 Ekspresi religius tersebut meliputi tempat-tempat suci, seperti:
rumah ibadah atau tempat-tempat yang dianggap keramat; akta-akta suci yang berbentuk
upacara-upacara ritual dan kata-kata suci yang berupa: kumpulan cerita-cerita suci,
wahyu, Kitab Suci atau mitos mengenai tokoh-tokoh suci.16

2. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG AGAMA

2.1. Pandangan beberapa antropolog { Klpk. I stisip 10/3/20)

Suatu pertanyaan penting bagi kita adalah, “Mengapa Agama” – paling tidak bentuk atau
pengungkapannya – berubah? Pertanyaan ini penting, baik bagi para sejarawan, sosiolog,
maupun antropolog kultural. Berdasar fakta bahwa bentuk agama senantiasa berubah
atau berkembang secara dinamis, muncullah berbagai teori di kalangan para antropolog.

2.1.1. Teori proses evolusi

Agama adalah komunikasi mengenai “ Alam Berpikir” ‘ tentang dunia atau realitas yang
diciptakan, yang dikembangkan oleh manusia sebagai kelompok.

Realitas-realitas tersebut berawal dari pemikiran seseorang, kemudian disebarkan kepada


orang lain. Bagaimana dan mengapa manusia mengembangkan kemampuannya untuk

13 Calvijn, Johannes, Institutie, Boek 1, Hfst. III, 1,2,3 (vertaald door A. Sizoo, Amsterdam: Uitg. Naamloze Venootschap W-
D Meinema, Delft, Tweede Druk, 1949), hlm. 1-11.
14 Lihat, Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, hlm. 27-28.
15 Alkitab sebagai kesaksian iman Israel juga mengambil simbol-simbol dari latarbelakang sejarah dan kebudayaan sejamannya

(lihat uraian mengenai simbol dalam Bruce M. Metzger - Michael D. Coogan (ed), The Oxford Companion to The Bible (New
York: Oxforf University Press, 1993), hlm. 721.
16 Bandingkan artikel Winston L. King, “Religion,” khususnya tentang “Sacred Places and Objects, Sacred Actions (rituals)”

dan “The Sacred Community,” dalam Mircea Eliade (Editor in Chief), The Encyclopedia of Religion, Vol. 12 (New York:
Macmillan Publishing Company, 1987), hlm. 288-290.

5
menciptakan realitas-realitas internal dan kemudian mengkomunikasikannya kepada
orang lain, hal tersebut berhubungan dengan fungsi pusat syaraf kita sebagai mesin
pemroses. Input yang diolah berasal dari indera kita. Memori internal dalam diri manusia
merupakan jaringan kerja syaraf. Unit pemroses pusat merupakan syaraf processor yang
amat kompleks, yang mampu mengembangkan probabilitas hubungan-hubungan tertentu
dan mengurangi hubungan-hubungan yang lain, dan output-nya adalah perilaku dan
emosi.
Kira-kira 60.000 tahun silam manusia mulai mengembangkan kemampuannya untuk
melakukan komunikasi simbolik (Mithen S., The Prehistory of Mind, London: Thames &
Hudson, 1996). Melalui komunikasi simbolik, mereka memiliki kemungkinan untuk saling
berbagi mengenai model-model internal yang mereka miliki. Model-model yang berbeda
dikomunikasikan kepada orang lain melalui simbol-simbol. Model-model kultural yang
paling popular kemudian menjadi agama-agama. Dengan demikian kita dapat
memandang agama sebagai pemikiran yang hidup, yang diterima oleh kelompok. Hal ini
merupakan hasil kerja sistem syaraf pusat yang memungkinkan seseorang bersikap
adaptif (mudah menyesuaikan diri) dan reproduktif (mampu mengembangkan). Meskipun
diterima oleh kelompok, sesungguhnya model tersebut merupakan hasil penalaran
seseorang.

Quis : Diskusikanlah beberapa bentuk pikiran dan nilai2 yang hidup dan diterima dalam komunitas
kelompok atau agamamu ?

2.1.2. Teori regulasi (aturan) ekologis

Teori yang dikemukakan oleh Roy A. Rappaport 17 berpendapat bahwa agama telah
berubah secara evolutif untuk mengirimkan sinyal kontrol terhadap kelompok atas
interaksinya dengan lingkungan alam.
Ada beberapa asumsi yang perlu dipertimbangkan secara kritis dari teori ini, yaitu: (1)
bahwa agama sendiri memiliki kekuatan emosional untuk mengubah perilaku kelompok,
ketika sinyal-sinyal simbolik lainnya kehilangan dampak emosinal serta fungsinya;
(2) bahwa agama tanggap terhadap perubahan hubungan antara kelompok dengan
lingkungan alamiahnya;
(3) bahwa kelompok merupakan unit penting (signifikan) hasil seleksi alamiah.
Sebelum Rappaport, Marvin Harris 18, dalam pandangan materialistiknya terhadap agama
telah mengemukakan gagasan yang sama. Teori Harris terkait erat dengan gagasan
tentang seleksi kelompok, yang sama sekali tidak memberi ruang bagi evolusi psikologi
individu secara biologis. Menurut teori seleksi kelompok, manusia berjuang keras bagi
kelangsungan kelompoknya. Hal ini merupakan tema pokok dalam ideologi kultural.
Namun banyak pemikir evolusionis berpendapat bahwa ideologi tersebut merupakan
produk altruisme kekeluargaan (altruisme: asas yang mengutamakan kepentingan orang
lain dan mengesam-pingkan kepentingan diri sendiri) atau altruisme resiprokal dan
gagasan bahwa pengorbanan demi kelompok akan lebih menguntungkan individu daripada
kelompok. Rappaport memberikan cukup banyak bukti bahwa suku Tsembaga di New
Guinea mengatur interaksi mereka dengan lingkungan alam dan lingkungan politis melalui
sistem ritual, namun ia tidak menunjukkan bagaimana sistem tersebut berevolusi.
Kemungkinan, proses regulasi ekologis tersebut merupakan dampak dari kesadaran
psikologis yang lebih luas yang terdapat dalam banyak agama mengenai lingkungan alam.

Quis : Beri contoh produk Altruisme Kekeluargaan yang Anda ketahui dan fahami ?

2.1.3. Teori komitmen

17 Roy A. Rappaport, Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People, 2nd ed. (New Haven: Yale
University Press, 1984).
18 Marvin Harris, Cows, Pigs, Wars, Witches: the Riddles of Culture (New York: Random House, 1974).

6
Terori komitmen adalah teori evolusi agama yang lebih mutakhir. Teori ini berhubungan
erat dengan pemikiran Robert H. Frank,19 seorang ekonom, dan William Irons,20 serta
Richard Sosis,21 dua orang antropolog. Teori komitmen berawal dari paradoks bahwa
agama sekaligus rasional dan irasional. Agama itu rasional, sehingga menyebabkan
individu-individu dapat bekerjasama dalam suatu kelompok. Namun agama juga irasional,
karena ia menuntut kepercayaan (yang tidak menuntut bukti atau verifikasi) terhadap
keberadaan dan kekuasaan suatu Entitas transenden. Dengan komitmen terhadap sesuatu
yang diterima sebagai kebenaran (yang tidak memerlukan verifikasi) orang dapat menilai
anggota kelompok lainnya, apakah mereka dapat dipercaya atau tidak. Kepercayaan selalu
merupakan persoalan dalam kelompok manusia, sebab komunikasi simbolik mimetik
(bersifat menirukan ayau peniruan), visual dan linguistik yang menghasilkan kebudayaan
itu juga berpotensi menghasilkan penipuan atau kecurangan. Bagaimanakah orang yakin
bahwa pemimpinnya tidak menipu mereka? Irons berpendapat bahwa isyarat yang
sungguh-sungguh, yang tidak berpura-pura, menunjukkan bahwa si pemberi isyarat dapat
dipercaya. Karena itu, ketika seorang individu meninggalkan logika kepentingan
pribadinya dan mengikatkan diri pada suatu kepercayaan irasional, orang lain akan
cenderung menaruh kepercayaan kepadanya. Hal ini dapat dibandingkan dengan isyarat
dalam dunia binatang, hanya proses seleksinya berbeda. Dalam dunia binatang yang
menjadi daya tarik adalah kemampuan reproduksi dan hasil yang diperoleh adalah
keterpilihan menjadi pasangan. Dalam dunia manusia, yang menjadi daya tarik adalah ke-
dapatdipercaya-annya dan hasil yang diperoleh adalah kerjasama yang lebih baik yang
menguntungkan baik bagi kelompok maupun bagi individu. Secara empiris terbukti bahwa
kelompok yang terorganisasi secara religius memiliki kerjasama internal yang lebih baik
dibanding dengan kelompok non-religius.
Teori yang sejajar dengan teori komitmen dikembangkan oleh seorang ekonom-sosiolog,
Lawrence Iannaccone (1992). Ia melihat agama dari sudut pandang kegunaannya.
Keuntungan psikologis menjadi anggota kelompok religius adalah adanya ikatan yang erat,
yang berusaha selalu dipertahankan. Kelompok kecil keagamaan yang begitu erat
ikatannya seringkali sangat eksklusif dan membatasi perilaku anggotanya dengan
berbagai macam tabu untuk mencegah mereka terlibat dalam pergaulan dengan
masyarakat yang lebih luas. Kelompok keagamaan akan menolak para anggota yang
intensitas solidaritasnya terhadap kelompok mulai pudar. Jadi, teori komitmen melihat
bahwa agama berevolusi untuk mempertahankan ikatan kelompok dengan jalan menjaga
kesetiaan individu pada suatu sistem kepercayaan tertentu, dengan meninggalkan
egoismenya.

Quis : Keuntungan psikologis apakah yang dapat Anda peroleh menjadi anggota kelompok
religious ? dan aapakah manfaatnya dapat diaplikasikanapa dalam keluarga/kelompokmu
?

2.1.4. Teori kognitif

Para teoritisi kognitif dalam bidang antropologi berusaha mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan suatu model religius begitu popular dan diterima secara luas. Rupanya, di
masa lampau ada proses selektif yang amat ketat. Karena keberhasilannya untuk bertahan
dan berkembang, perilaku model tersebut secara turun-temurun ditanamkan dalam
pikiran individu. Scott Atran22 menemukan sejumlah hal yang menyebabkan kepercayaan
religius menarik, yaitu:
(1) kepercayaan itu memberi jawab atas pertanyaan fundamental mengenai sebab-
musabab terjadinya segala sesuatu;
(2) kepercayaan itu menyuguhkan cerita yang gampang untuk diingat, yang dari padanya
individu dapat belajar mengenai gagasan-gagasan kultural yang penting;
(3) kepercayaan itu menimbulkan perasaan bermakna dalam pikiran; dan

19 Robert H. Frank, Passion with Reason: the Strategic Role of the Emotions (New York: Norton, 1988).
20 William Irons, “Religion as a Hard-to-fake Sign of Commitment” dalam Randolph Nesse (ed.), Evolution and the Capacity
for Commitment (New York: Russell Sage Foundation, 2001, pp. 292-309).
21 Richard Sosis, “The Adaptive Value of Religious Ritual” dalam American Scientist 92, pp. 166-172.
22 Scott Atrand, In God We Trust: The Evolutionary Landscape of Religion (Oxford, New York: Oxford University Press,

2002).

7
(4) kepercayaan itu menimbulkan perasaan senang dan bahagia.

Gambaran umum dan daya tarik agama menunjuk pada evolusi kemampuan kognitif
otak.23 Persoalan utama dari teori kognitif adalah pembedaan antara modul otak yang
secara evolutif berusaha memecahkan persoalan-persoalan religius dengan modul otak
yang berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang lain. Persoalan ini menyebabkan
perbedaan pendekatan kognitif untuk memahami agama. Kebanyakan antropolog yang
bergumul dengan studi perbandingan agama cenderung memandang agama sebagai
kompleks evolusi kultural pada dirinya sendiri, yang berbeda arah dengan pola
penyesuaian diri secara menyeluruh. Namun antropolog kognitif seperti Atran dan Pascal
Boyer24 cenderung memandang agama sebagai modul-modul tersusun yang berkembang
perlahan-lahan untuk memecahkan persoalan-persoalan non-religius.
Menurut Atran dan Norenzayan, agama bukanlah adaptasi evolutif, melainkan hasil
perkembangan evolutif yang kompleks, yang terjadi berulang-ulang, sehingga
membentuk kondisi kognitif, emosional dan material bagi interaksi antarmanusia dalam
kehidupan sehari-hari. Dasar-dasar konseptual agama secara intuitif merupakan hasil
tugas spesifik domain kognitif manusia, termasuk mekanisme masyarakat, biologi
masyarakat dan psikologi masyarakat. Hal ini memungkinkan manusia untuk
membayangkan secara minimal dunia supernatural untuk memecahkan berbagai masalah,
termasuk kematian. Kepercayaan agama tidak dapat divalidasi baik secara deduktif
maupun induktif, karena itu, validasinya hanya terjadi melalui ibadah ritual suatu agama
yang paling memberi motivasi secara emosional.
Konsep ini mengesampingkan teori komitmen yang dianggap tidak memadai. Menurut
Atran (2002) teori komitmen tidak menjelaskan kepelikan kognitif keberadaan
kepercayaan umum secara kultural, yang secara prinsip tidak kelihatan, dan tidak pula
menjelaskan siapa yang mengubah dunia dengan alasan-alasan, yang pada prinsipnya
secara material dan logis tidak dapat dimengerti. Atran mengemukakan lebih lanjut bahwa
teori ini tidak dapat membedakan antara Marxisme dan monoteisme, antara ideologi
sekular dengan kepercayaan keagamaan.
Menurut teori kognitif, agama adalah manifestasi beberapa perilaku yang dapat diterima
sepenuhnya, yang harus dilihat terlepas dari kompleks kognitif (psi. kompleks = sistem
gagasan yang dikuasai emosi, sehingga menimbulkan perilaku yang tidak wajar). Secara
kultural agama adalah suatu kompleks perilaku kultural yang menghimpun sejumlah
modul perilaku yang dapat diiterima, yang tidak saling berhubungan satu sama lain. Teori
kognitif menandaskan bawa agama adalah murni fenomenon manusiawi.

Quis :
1. Apa tanggapan Anda atas pandangan teori proses evolusi yg menyatakan Agama
adalah komunikasi mengenai alam berpikir ttg dunia atau realitas yg diciptakan,
yg dikembangkan oleh manusia sebagai kelompok ?
2. Jelaskanlah tanggapan Anda atas penyataan Robert H Frank ttg teori komitmen
berawal dari suatu paradoks yang mengatakan bahwa Agama sekaligus rasional
dan irasional.
3. Apa yang menyebabkan kepercayaan religious itu menarik menurut ahli teori
kognitif ? Jelaskanlah pandangan Anda ?
4. Diskusikan dalam kelompok masing-masing!!!

Selasa, 10 Maret 2020. Stisip widuri.

2.2. Beberapa pandangan sosiolog klasik tentang agama { Klpk.2}

23 Jerome Barkow, Leda Cosmides, and John Tooby, The Adapted Mind: Evolutionary Psychology and the Generation of
Culture (New York: Oxford University Press, 1992).
24 Pascal Boyer, The Naturalness of Religious Ideas: A Cognitive Theory of Religion (Berkeley: University of California

Press, 1994).

8
2.2.1. Emile Durkheim

Durkheim menempatkan diri dalam tradisi positivis (cat. positivisme adalah aliran filsafat
yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan
ilmu yang pasti), yang berusaha meneliti masyarakat secara ilmiah dan tidak memihak.
Ia sangat tertarik pada masalah yang membawa masyarakat modern kepada kesatuan
bersama. Sebagai seorang sekular yang sangat rasional, ia telah menghabiskan waktu
selama 15 tahun untuk meneliti ‘agama primitif’ di kalangan aborigin di Australia. Ia
sangat tertarik bada bentuk-bentuk khidupan religius masyarakat. Menurutnya, dalam
bentuk elementer, dewa-dewa totemis yang disembah oleh orang aborigin benar-benar
merupakan ungkapan (ekspresi) konsep masyarakat aborigin sendiri. Hal ini tidak hanya
terjadi untuk orang-orang aborigin saja, namun untuk semua masyarakat.
Bagi Durkheim, agama bukanlah ‘imajiner’, meskipun ia mengupas apa yang oleh para
penganut agama dianggap esensial. Agama benar-benar real; ia merupakan ekspresi
masyarakat sendiri, dan memang, tidak ada masyarakat yang tidak beragama. Sebagai
individu kita merasakan adanya kekuatan yang lebih besar daripada diri kita sendiri, yaitu
kehidupan sosial kita, dan persepsi itu kita beri wajah supernatural. Kemudian kita
mengekspresikan diri kita secara religius dalam kelompok, yang menyebabkan kekuatan
simbolis itu menjadi lebih besar. Agama adalah ekspresi kesadaran kolektif, yang
merupakan gabungan dari semua kesadaran individu, yang kemudian menciptakan
realitasnya sendiri.
Menurut Durkheim, secara elementer agama adalah “suatu sistem kepercayaan dan
tindakan (praktik) yang secara relatif dikaitkan dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal
yang dikhususkan dan dilarang, atau dengan kata lain, agama adalah kepercayaan dan
tindakan yang dipersatukan dalam suatu komunitas moral tunggal bagi semua
pengikutnya.”
Definisi Durkheim dapat disebut sebagai definisi fungsional agama, karena definisi
tersebut menjelaskan fungsi agama dalam kehidupan sosial yang secara esensial
mempersatukan masyarakat. Definisi tersebut tidak menetapkan secara pasti apa yang
dianggap suci. Karena itu, para sosiolog di kemudian hari (terutama Robert Bellah) telah
memperluas wawasan Durkheim dengan gagasan mengenai civil religion (agama
masyarakat) dan state religion (agama negara). Civil religion masyarakat tertentu akan
memiliki hal-hal sucinya sendiri, misalnya, civil religion masyarakat Amerika adalah
benderanya, Abraham Lincoln, Marthin Luther King, dsb.

2.2.2. Karl Marx

Kita perlu lebih dulu membuang kesalahmengertian umum terhadap pandangan Karl Marx.
Perlu diketahui bahwa Marx tidak memaksudkan karyanya sebagai tanggapan etis atau
ideologis terhadap kapitalisme abad XIX (seperti pendapat kebanyakan komentator).
Usahanya semata-mata didasarkan pada ilmu pengetahuan terapan. Marx bersikap netral
terhadap teori sosiologi dan ekonomi, serta bertindak secara moral demi perkembangan
umat manusia. Seperti dikatakan Christiano, “Marx tidak percaya terhadap pameo ilmu
pengetahuan demi ilmu pengetahuan, melainkan ilmu pengetahuan sebagai alat yang
bermanfaat bagi kemajuan sistem kapitalis demi sosialisme”. 25
Pokok terpenting argumennya adalah keyakinan bahwa kemajuan umat manusia
ditentukan oleh akalnya. Menurut Marx, agama adalah rintangan penting bagi akal, karena
secara mendasar ia menyembunyikan kebenaran dan menyesatkan pengikutnya. Seperti
kita lihat di kemudian hari, Marx melihat alienasi sosial (keterasingan sosial) sebagai inti
kesenjangan sosial. Antitesis dari alienasi tersebut adalah kebebasan. Karena itu,
menganjurkan kebebasan berarti menyampaikan kebenaran kepada individu-individu dan
memberi mereka kebebasan untuk menerima atau menolaknya. Dalam hal ini Marx tidak
pernah menganjurkan bahwa agama harus dilarang (Christiano, 2001, hlm. 126). Namun
bagaimanakah ia sampai pada kesimpulan seperti itu?
Hal yang amat penting mempengaruhi teorinya adalah situasi ketertekanan secara
ekonomis masyarakat tempat ia berada. Dengan bangkitnya industrialisasi Eropa, Marx

25 Kevin J. Christiano, et al., Sociology of Religion: Contemporary Developments (U.S.: AltaMaira Press, 2001, p. 124).

9
dan Engels, kawannya, menyaksikan dan berusaha menanggapi pertumbuhan apa yang
disebutnya sebagai “nilai surplus.” Marx melihat kaum kapitalis menjadi semakin kaya
sedangkan kaum buruh menjadi semakin miskin (kesenjangan dan eksploitasi itulah yang
ia sebut sebagai “nilai surplus.” Bukan saja kaum buruh semakin tereksploitasi, namun
mereka juga berada dalam proses dilepaskan dari produksi yang mereka ciptakan. Dengan
menjual pekerjaannya guna memperoleh upah “serta-merta kaum buruh kehilangan
keterhubungannya dengan objek pekerjaannya dan sebaliknya justru menjadi objek.
Kaum buruh diturunkan nilainya menjadi sekadar komoditas, sekadar barang” (Christiano,
hlm. 125). Dari objektivikasi ini timbullah alienasi. Buruh ditempatkan seperti alat yang
dapat ditukar dan diganti, teralienasi dan berada dalam ketidakpuasan yang berat. Marx
memandang bahwa dalam kondisi seperti ini agama berfungsi.
Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat. Norman Birnbaum mengemukakan,
“Bagi Marx agama merupakan respons spiritual terhadap kondisi teralienasi” (Christiano,
hlm. 126). Sebagai respons terhadap keteralienasian manusia atas lingkungannya
(termasuk pekerjaan dan lingkungan kerjanya), agama berperan memperkuat sistem
ideologi dan kultural yang membantu perkembangan kapitalisme opresif. Jadi, agama
dipahami sebagai kekuatan konservatif yang berperan melanggengkan dominasi kelas
sosial tertentu dengan mengorbankan kelas sosial yang lain (hlm. 127). Dengan kata lain,
agama berjalan seiring dengan sistem yang menindas individu-individu kelas bawah.
Karena itu Marx berkata, “Untuk menghapuskan agama sebagai kebahagiaan ilusif
masyarakat, dibutuhkan kebahagiaan real.”

2.2.3. Max Weber

Berbeda dengan Marx dan Durkheim, Weber memusatkan perhatiannya pada dampak
tindakan religius. Ia tidak membicarakan agama sebagai kesalahmengertian atau
pemersatu masyarakat, dan tidak berusaha mereduksi agama hanya pada esensinya. Ia
berusaha mempelajari bagaimana gagasan-gagasan religius dan kelompok-kelompok
berinteraksi dengan aspek-aspek kehidupan sosial lainnya (terutama ekonomi). Dalam
melakukan hal ini Weber sering berusaha menemukan makna subjektif agama bagi
individu.
Dalam sosiologinya, Weber menggunakan istilah Jerman “Verstehen” (memahami) untuk
menjelaskan metode interpretasinya atas maksud dan konteks tindakan manusia. Ia
bukanlah seorang positivis – dalam arti bahwa ia tidak percaya bahwa dalam sosiologi kita
dapat menemukan ‘fakta’ yang dapat dihubungkan secara kausalistik. Meskipun percaya
pada beberapa pernyataan tentang kehidupan sosial yang dapat digeneralisasi, ia tidak
tertarik pada klaim tegas kaum positivis, tetapi tertarik pada hubungan dan rangkaian,
serta kisah historis dan kasus-kasus khusus.
Menurut Weber kelompok religius atau individu dipengaruhi oleh segala hal, namun jika
mereka mengklaim bertindak atas nama agama, kita harus berusaha memahami
perspektif mereka pertama-tama dari dasar religiusnya. Agama ikut membentuk
gambaran pribadi mengenai dunia, dan gambaran tentang dunia ini mempengaruhi
pandangan individu mengenai tujuan, dan akhirnya mempengaruhi cara ia bertindak untuk
mencapai tujuan itu.
Bagi Weber, paling baik agama dipahami sebagai respons terhadap kebutuhan manusia
untuk teodisi (pemikiran yang berusaha menjawab mengapa di dunia ini ada kejahatan
dengan tetap mempertahankan kebaikan dan kemahakuasaan Allah) dan soteriologi
(keselamatan). Menurutnya, umat manusia direpotkan oleh pertanyaan mengenai teodisi
– pertanyaan tentang bagaimana kuasa ilah surgawi yang luar biasa dapat
direkonsiliasikan dengan ketidaksempurnaan dunia yang telah diciptakan dan diperintah-
Nya ini. Orang ingin tahu, misalnya, mengapa di dunia ini ada nasib baik atau penderitaan
yang tidak semestinya. Agama menawarkan kepada manusia jawaban soteriologis atau
jawaban yang memberi kesempatan untuk memperoleh keselamatan, terbebas dari
penderitaan dan memperoleh kepastian tentang makna kehidupan. Usaha untuk
mendapat keselamatan, demikian pula untuk memperoleh kekayaan, menjadi bagian
motivasi manusia.

10
Karena membantu menentukan motivasi, maka menurut Weber, agama (terutama
Calvinisme Protestan) benar-benar menunjang tumbuhnya kapitalisme, seperti diuraikan
dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Modern Capitalism. Dalam bukunya
ini Weber berpendapat bahwa kapitalisme timbul di Barat antara lain karena interpretasi
kaum Puritan di Inggris atas doktrin predestinasi. Teologi kaum Puritan didasarkan pada
gagasan Calvin bahwa tidak semua orang akan diselamatkan, melainkan hanya mereka
yang terpilih, yang akan terhindar dari kutukan. Hal ini ditentukan oleh kehendak Allah
yang telah dipredestinasikan dan bukan karena perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Teologi resmi gereja berpegang bahwa tidak seorang pun benar-benar mengetahui apakah
dirinya termasuk golongan yang terpilih.
Secara praktis dan psikologis hal ini sulit. Kecenderungan manusia adalah ingin
mengetahui apakah mereka akan dikutuk secara kekal atau tidak. Karena itu para
pemimpin kaum Puritan meyakinkan para anggotanya bahwa apabila mereka mulai
bekerja dengan baik untuk mendapatkan banyak uang melalui bisnisnya, hal itu
merupakan pertanda nyata bahwa mereka termasuk orang-orang yang diselamatkan –
namun, hanya jika hasil pekerjaan mereka digunakan dengan baik. Hal ini menyebabkan
perkembangan pembukuan dan perhitungan keuangan secara rasional serta mendorong
orang untuk mengejar kesuksesan finansial lebih dari sekadar yang mereka butuhkan
untuk hidup. Inilah roh kapitalisme. Namun dalam perkembangan kemudian, roh
kapitalisme tersebut kehilangan signifikansi religiusnya dan mengejar keuntungan
menjadi satu-satunya tujuan. Teori Weber menimbulkan banyak kritik dan kontraversi.

2.3. Civil religion, political religion, dan state religion

2.3.1. Civil religion


{ Klpk. 3 )
Istilah civil religion pertama kali diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau. Dalam pasal
8, volume 4, bukunya The Social Contract, Rousseau menjelaskan apa yang dianggap
sebagai dasar moral dan spiritual esensial bagi setiap masyarakat modern. Baginya, yang
dimaksud civil religion adalah perekat sosial yang menunjang penyatuan sebuah negara
dengan memberinya kekuasaan suci. Ia mendefinisikan civil religion sebagai “kelompok
kepercayaan religius yang bersifat universal, yang dipertahankan atau dipelihara
kelestariannya oleh pemerintah, dan di dalamnya mencakup kepercayaan kepada yang
ilahi, kepercayaan kepada kehidupan kekal tempat amal kebaikan akan memperoleh
ganjaran dan kejahatan akan memperoleh hukuman, serta kepercayaan kepada toleransi
religius.” Namun Rousseau juga menandaskan bahwa agama pribadi berada di luar
jangkauan pemerintah. Pada tahun 1960-an, dalam penelitiannya atas civil religion
Amerika Serikat, Robert N. Bellah sampai pada kesimpulan bahwa civil religion adalah
“koleksi kepercayaan suci tentang bangsa Amerika yang dilembagakan.” Bellah
mengidentifikasi Revolusi Amerika, Perang Saudara, dan Gerakan Hak-hak Sipil
merupakan tiga peristiwa historis yang menentukan dan mempengaruhi isi serta
gambaran civil religion di Amerika Serikat.
Dalam sosiologi agama, menurut Rousseau, civil religion adalah agama rakyat (folk
religion) atau budaya bangsa atau budaya politik. Namun status sosial dan politis civil
religion lebih dari sekadar agama rakyat, karena secara definisi ia meliputi seluruh
masyarakat, atau paling tidak, suatu segmen masyarakat, dan dipraktikkan oleh para
pemimpin dalam masyarakat itu. Pada pihak lain, civil religion lebih rendah dari agama
yang telah mapan, karena agama yang telah mapan memiliki pimpinan resmi dan secara
relatif memiliki hubungan formal dengan pemerintah. Civil religion biasanya dipraktikkan
oleh para pemimpin politis yang kepemimpinan masyarakatnya bukan pemimpin spiritual.
Lazimnya civil religion mencakup hal-hal berikut:
- doa kepada Allah dalam pidato-pidato politis dan peristiwa-peristiwa publik
monumental
- pengutipan teks-teks Kitab Suci oleh para pemimpin politik dalam peristiwa-
peristiwa publik
- pemujaan pemimpin-pemimpin politik masa lalu

11
- menggunakan kehidupan para pemimpin politik sebagai teladan dalam
mengajarkan moralitas ideal
- pemujaan para veteran dan alasan perang yang dilakukan oleh suatu bangsa
- pertemuan keagamaan yang diprakarsai oleh pemimpin politik
- penggunaan simbol-simbol keagamaan pada bangunan umum
- penggunaan bangunan umum untuk peribadahan.

Dalam filsafat politik praktis, civil religion atau civic religion sering digunakan dalam arti
ekspresi ritual patriotisme yang dilakukan oleh semua negara, sekalipun di dalamnya
tanpa unsur religius dalam arti konvensional. Hal-hal tersebut antara lain:
- dalam upacara umum, peserta upacara menyanyikan lagu kebangsaan
- parade dengan mengibarkan bendera kenegaraan pada hari-hari nasional
- sumpah/janji kesetiaan yang diucapkan dalam suatu upacara
- upacara pengukuhan presiden atau penobatan raja
- cerita sepihak yang membesar-besarkan, bahkan memitoskan para pendiri negara
dan para pemimpin besar yang lain, atau peristiwa-peristiwa besar di masa lalu
(seperti peperangan, perpindahan/migrasi, dll.). Hal ini berhubungan dengan
nasionalisme romantis.
- peringatan untuk mengenang pemimpin-pemimpin besar atau peristiwa-peristiwa
historis di masa lalu
- penghormatan terhadap para parajurit yang gugur dan peringatan tahunan untuk
mengenang mereka
- ungkapan penghormatan terhadap negara, Undang-undang Dasar atau Kepala
Negara
- pengibaran bendera setengah tiang untuk kematian seorang pemimpin politik.

Pemerintahan yang pertama kali memiliki civil religion adalah kekaisaran Romawi, yang
kaisar pertamanya, Agustus, secara resmi berusaha menerima praktik paganisme klasik.
Agama Yunani dan Romawi masing-masing memiliki karakter lokal. Kaisar berusaha
mempersatukan wilayahnya yang terpecah-pecah dengan menanamkan kesalehan
Romawi dan dengan mesinkretiskan dewa-dewa daerah yang ditaklukkannya dengan
dewa-dewa (pantheon) Yunani dan Romawi. Namun di kemudian hari, civil religion
Romawi ini berpusat pada diri kaisar sendiri, yang disembah melalui kultus kerajaan.
Dalam konteks masyarakat monoteistik, atau masyarakat yang mempercayai pewahyuan,
dari perspektif teologis civil religion dapat menjadi problematis. Dengan mengidentifikasi
civil religion sebagai kultur politis dan hierarki kepemimpinan dalam masyarakat, maka
civil religion dapat mencampuri misi profetis kepercayaan religius. Sulit untuk menjadikan
civil religion sebagai platform untuk mencela dosa-dosa masyarakat atau lembaga-
lembaganya, sebab civil religion hadir untuk menjadikan mereka tampak suci pada dirinya
sendiri.

2.3.2. Political religion

Bagi para sosiolog, political religion adalah suatu ideologi politik yang memiliki kekuatan
kultural dan politis setara dengan agama, dan secara sosiologis serta ideologis sering
memiliki banyak kesamaan dengan agama. Istilah ini kadang-kadang dianggap memiliki
kesamaan arti dengan civil religion. Namun banyak ahli yang membedakannya, sebab
peran civil religion di tengah masyarakat lebih lemah daripada political religion. Civil
religion lebih berfungsi sebagai pemersatu secara sosial dan lebih merupakan kekuatan
esensial masyarakat. Sedangkan political religion lebih bersifat transformasional, bahkan
apokaliptik secara radikal.
Istilah political religion adalah istilah sosiologis, bertolak dari unsur-unsur sosiologi agama
yang juga sering ditemukan dalam ideologi-ideologi sekular tertentu. Secara psikologis
dan sosiologis, political religion memiliki banyak kesamaan dengan agama teistik.
Akibatnya, ia sering menggantikan atau mengkooptasi organisasi keagamaan dan
kepercayaan yang ada. Hal ini dilukiskan sebagai “sakralisasi” politik. Namun, meskipun
political religion sering mengkooptasi struktur atau simbolisme keagamaan yang ada, di
dalam dirinya sendiri ia tidak memiliki aspek-aspek spiritual atau teokratis yang mandiri.

12
Secara esensial ia adalah sekular, menggunakan agama hanya untuk maksud-maksud
politis, bahkan mungkin menolak sama sekali kepercayaan agamawi.
Sarjana-sarjana yang pertama kali menggunakan istilah ini (yang sering dipakai sebagai
sinonim ‘agama sekular’) adalah para intelektual dan teolog Protestan dan Katolik, seperti
Luigi Sturzo, Adolf Keller, Paul Tillich, Gerhard Leibholz, Waldemar Gurian, dan Eric
Voegelin. Mereka menghubungkan konsep political religion dengan modernitas,
masyarakat massa, dan timbulnya negara birokratis. Mereka melihat political religion
sebagai klimaks pemberontakan terhadap agama yang menyembah Allah. Political religion
juga sering digambarkan sebagai ‘pseudo agama’, ‘agama pengganti’, ‘agama yang
dimanipulasi’ atau ‘anti agama’.

Pada umumnya (tidak selalu) political religion memiliki unsur-unsur berikut:

Secara struktural:
• membedakan diri sendiri dengan orang lain dan mendemonisasi pihak lain (dalam
agama teistik, pembedaan ini didasarkan pada ketaatan terhadap dogma dan
perilaku sosial tertentu; sedangkan dalam political religion, pembedaan ini mungkin
didasarkan pada nasionalitas, sikap sosial, atau keanggotaan partai politik, dsb.)
• berorientasi pada tokoh kharismatik dengan tendensi mesianik; jika tokoh tersebut
meninggal dunia, orientasi berpindah pada penggantinya yang kuat
• memiliki struktur organisasi hierarkis yang kuat
• ada hasrat untuk menguasai pendidikan dalam rangka mengamankan sistem yang
ada.

Dari segi kepercayaannya:


• ada sistem kepercayaan yang saling bertalian untuk menentukan makna simbolik
pada pihak luar, dengan menekankan keamanan melalui kemurnian
• intolerans terhadap ideologi lain yang sejenis
• memiliki mimpi dan tujuan untuk melakukan transformasi masyarakat secara
radikal ke arah akhir sejarah
• ada kepercayaan bahwa ideologi adalah alamiah dan jelas, sehingga mereka yang
menolaknya di anggap buta
• ada hasrat untuk membuat pihak lain berbalik pada ideologinya
• menghalalkan kekerasan dan kecurangan
• yakin bahwa pada akhirnya ideologinya akan menang.

2.3.3. State religion

State religion atau juga disebut ‘agama resmi’ adalah lembaga keagamaan atau kredo
yang secara resmi disokong oleh negara. Para sosiolog biasanya menyebut aliran utama
agama di luar state religion sebagai denominasi. State religion cenderung lebih terbuka
terhadap perbedaan pendapat secara internal dan berusaha mengintegrasikan perbedaan-
perbedaan itu. Hal ini berbeda dengan denominasi. Perbedaan-perbedaan pendapat
internal dalam denominasi lazimnya berakibat perpecahan.

2.4. Beberapa pengertian agama dari sudut pandang psikologi ( Klpk. 4}

2.4.1. Friedrich Daniel Ernst Schliermacher (1768-1834)

Ia adalah seorang teolog Jerman. Ia berpendapat bahwa agama adalah perasaan serba
bergantung dari manusia kepada sesuatu yang lebih tinggi, yang supranatural, yang
mengatasi kehidupan manusia bahkan menguasai seluruh keberadaannya. Ia
mengatakan:

"Religion is the outcome neither of the fear of death, nor of the fear of God. It answers a deep need
in man. It is neither a metaphysic, nor a morality, but above all and essentially an intuition and a
feeling. ... Dogmas are not, properly speaking, part of religion: rather it is that they are derived
from it. Religion is the miracle of direct relationship with the infinite; and dogmas are the reflection
of this miracle. Similarly belief in God, and in personal immortality, are not necessarily a part of

13
religion; one can conceive of a religion without God, and it would be pure contemplation of the
universe; the desire for personal immortality seems rather to show a lack of religion, since religion
assumes a desire to lose oneself in the infinite, rather than to preserve one's own finite self." 26

(Agama tidak muncul akibat rasa takut terhadap kematian atau rasa takut akan Allah, melainkan
merupakan jawaban atas kebutuhan manusia yang paling dalam. Agama bukanlah persoalan
metafisika atau moralitas, tetapi di atas semua itu, secara esensial adalah intuisi dan perasaan. ...
Lebih tepat dikatakan bahwa dogma-dogma bukanlah bagian dari agama, melainkan merupakan
asal-usul agama. Agama adalah mujizat hubungan langsung dengan Yang Tak Terbatas, dan dogma-
dogma merupakan refleksi dari mujizat itu. Sama halnya, kepercayaan akan Allah dan kepercayaan
akan imortalitas pribadi bukanlah bagian agama; seseorang dapat memahami suatu agama tanpa
Allah, dan hal itu merupakan kontemplasi murni tentang alam semesta. Hasrat akan imortalitas
personal agaknya justru menunjukkan ketiadaan agama, karena agama lebih mengasumsikan
keinginan untuk meleburkan diri ke dalam Yang Tak Terbatas, ketimbang memelihara keterbatasan
diri).

Penilaian terhadap pandangan ini: memang tidak dapat diingkari bahwa dalam kehidupan
agamawi ada rasa bergantung dari pihak manusia kepada kuasa yang disembah. Namun
masih perlu dipertanyakan, apakah penghayatan keagamaan hanya terhenti pada
perasaan serba bergantung itu? Tentu saja tidak. Kondisi relasional yang bersifat personal
antara manusia dengan Allah mempunyai implikasi dalam seluruh kehidupan secara total,
mulai dari pemahaman dan pemaknaan terhadap kehidupan, pola sikap dan tingkah laku,
sampai pada konsepsi mengenai tujuan kehidupan. Dengan demikian hidup keagamaan
akan mewujud dalam kehidupan seutuhnya.
2.4.2. Ludwig Feuerbach (1804-1872) 27

Dari pemikirannya yang ateistik Ludwig Feuerbach memandang agama sekadar sisa jiwa
kekanak-kanakan manusia yang tidak menguntungkan. Agama adalah perwujudan dari
khayalan manusia yang belum dewasa dalam berpikir. Dengan kata lain, Allah hanyalah
fantasi yang diproyeksikan dari budi manusia. Karena itu sebenarnya agama hanya
diperlukan oleh manusia primitif, bukan untuk manusia modern. Gagasan dasarnya,
menurut Feuerbach, manusia merasa tidak berdaya di dunia ini. Ia perlu meneguhkan
dirinya dengan menemukan Allah. Ada tiga sifat yang membentuk kemanusiaan manusia,
yaitu: akal budi, kehendak, dan cinta. Ketiga hal ini diproyeksikan pada Allah. Akal budi
(Allah) dianggap sebagai sumber pengetahuan tanpa batas; Allah serba tahu. Kehendak
manusia yang diproyeksikan sebagai kehendak Allah adalah kehendak tanpa batas. Allah
secara absolut bersifat moral. Cinta Allah sebagai sumber cinta manusia juga tanpa batas.
Hakikat Allah adalah cinta.
Menurut Feuerbach gagasan tentang Allah berasal dari keterpisahan dan proyeksi manusia
atas hakikatnya sendiri. Hakikat subjektif manusia diproyeksikan pada suatu objek mandiri
dan berada di luar manusia. Akar objektifikasi hakikat manusia kepada Allah adalah
keinginan akan kesenangan, keamanan dan makna. “Allah timbul dari rasa ingin, karena
itu, kebutuhan yang disadari atau tidak disadari itulah Allah. Jadi, perasaan putus asa
karena kekosongan dan kesendirian membutuhkan Allah, yang di dalamnya ada
masyarakat, kesatuan manusia yang dengan kuat saling mengasihi. 28 Manusia mempunyai
keinginan seperti itu karena merasa ‘terlantar’ oleh realitas dunia fisik di sekitarnya dan
oleh dorongan emosional dalam dirinya. Karena itu, manusia berusaha mencari tempat di
dunia ini. Dunia fisik dapat memusuhinya, sehingga manusia membutuhkan perlindungan;
kehidupan emosional dapat begitu kacau, karena itu manusia membutuhkan ketenangan
dan kepenuhan; pencarian makna kehidupan dapat menciutkan hati, karena itu manusia
membutuhkan pengharapan. Semua itu merupakan alasan mengapa manusia
memproyeksikan kepenuhan keinginannya dan menciptakan Allah sebagai jawabannya.
Schilling meringkaskan pandangan Feuerbach demikian: kehidupan manusia di bumi ini
dipenuhi dengan rasa sakit, frustrasi, kegagalan, keputusasaan, ketidakadilan yang
menyakitkan hati, serta kesadaran akan keterbatasan dirinya dalam menghadapi
kematian. Karena itu, manusia merindukan kepenuhan yang tak terbatas, kebahagiaan

26 Dikutip dalam Elie Kedourie, Nationalism (Praeger University Series, 1961), hlm. 26.
27 Linda Smith dan William Raeper, Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, diterjemahkan dari A Beginner’s Guide
to Ideas oleh P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hlm. 89-94
28 Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity (New York, 1957), hlm. 12.

14
yang sempurna dan kehidupan yang kekal. Untuk itu, manusia menciptakan Allah yang
akan memenuhi semua harapan tersebut di dunia lain, yang di dunia ini terintangi dan
dirusak oleh iblis. Namun, Allah ini tidak lain hanyalah eksternalisasi ilusi harapan
manusia.29
Bagi Feuerbach, agama mengasingkan manusia dari kodratnya sendiri, karena apa yang
baik pada diri manusia dikenakan pada Allah. Akibatnya manusia dikosongkan dari sifat-
sifat baiknya sendiri. Untuk kembali menemukan kodratnya sendiri, manusia harus:
- saling mencintai satu sama lain, namun bukan karena cinta Allah
- percaya pada diri sendiri, dan bukan kepada Allah
- terlibat penuh dengan dunia yang nyata ini, dan bukan terlibat dengan dunia di
kemudian.

2.4.3. Sigmund Freud (1856-1939) 30

Pandangan Feuerbach yang ateistik ini dikembangkan oleh kaum materialisme. Di samping
itu ada pula ahli ilmu jiwa yang mengikutinya, yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Menurut
Freud, manusia memerlukan kompensasi atas keinginan hatinya yang tidak terpenuhi.
Cita-cita atau keinginan yang tidak dapat dicapai diproyeksikan kepada suatu kuasa yang
dianggap supranatural dan kemudian disembahnya. Karena itu, menurutnya Allah tidak
pernah ada dalam realita. Bagi Freud, agama adalah “pemenuhan harapan.” Ia
berpendapat bahwa agama adalah “neurosis obsesional universal”, yang bersumber pada
tabu. Pada dasarnya upacara-upacara keagamaan merupakan tindakan-tindakan neurotik
obsesif. Itulah sebabnya Freud menyebut agama sebagai Oedipus Complex.
Freud dan para pengikutnya memandang agama secara negatif, karena agama merupakan
penyimpangan kejiwaan (neurosis). Agama merupakan pemuasan keinginan kekanak-
kanakan. Setidak-tidaknya ada dua aspek dalam agama yang dikritik oleh Freud. Pertama,
kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok bapak; dan kedua, ritus-ritus wajib
yang dijalankan secara rumit. Freud memandang bahwa pengalaman yang didasarkan
pada kepercayaan dan praktik keberagamaan berakar pada pengalaman universal kanak-
kanak. Berdasar pengalaman hidupnya di Barat, Freud berpendapat bahwa pengalaman
hidup orang-orang beragama seperti pengalaman mereka pada usia kanak-kanak, yang
menganggap orang tua, terutama bapak sebagai orang yang maha tahu dan maha kuasa.
Perawatan terhadap anak yang dilakukan oleh seorang bapak dengan penuh kasih sayang
dapat menenteramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, dan pada akhirnya
terciptalah surga buatan baginya. Dengan demikian, menurut Freud, agama adalah
sebuah ilusi.31 Satu-satunya cara yang paling efektif untuk berkembang melewati masa
kanak-kanak adalah dengan meninggalkan agama serta doktrin-doktrinnya yang dogmatis
dan bertumpu pada sains dan akal.32
Selain itu, agama menurut Freud, adalah kekuatan untuk membela dan bertahan (mental
defense) dalam menghadapi segala musibah, seperti gempa bumi, banjir, penyakit, dan
lain sebagainya.33 Seperti yang telah diungkap di atas bahwa perilaku orang yang
beragama seperti anak kecil yang berlindung di bawah naungan bapaknya, maka ketika
mereka mendapatkan kesulitan mereka mengadu kepada bapaknya. Orang-orang yang
beragama ketika mendapatkan kesulitan berupa bencana alam, penyakit, dan lain-lain
mereka berlindung di bawah naungan Tuhan mereka sendiri. Itulah salah satu alasan dari
Freud yang memandang bahwa agama merupakan pemuasan keinginan kekanak-
kanakkan.
Doktrin agama sebagai ilusi. Freud mendakwa agama sebagai ilusi. Ilusi menurutnya,
bisa jadi sesuai dan bertetangan dengan fakta. Dan ilusi ada karena keinginan.
Memuaskan keinginan merupakan kegiatan yang membayangkan objek yang mengurangi
ketegangan.
Freud menyebut pemuasan keinginan sebagai “berpikir proses primer”, sedangkan
“berpikir proses sekunder” adalah cara ego menghadapi lingkungan dengan berorientasi
pada realitas. Bermimpi minum air adalah contoh berpikir proses primer atau

29 S. Paul Schilling, God in the age of Atheism (New York, 1969), hlm. 24.
30 Smith dan Raeper, Ide-ide, hlm. 95-99.
31 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 172.
32 Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 173-174.
33 John H. Hick, Philosophy of Religion: Foundations of Philosophy Series (New Jersey: Englewood Cliffs 1973), hlm. 34.

15
menginginkan, sedangkan mengambil segelas air adalah contoh berpikir sekunder. 34
Menurut Freud, semua produk atau gagasan agama adalah ilusi. Ilusi berasal dari
imajinasi, dan imajinasi menghasilkan rasa lega luar biasa dari ketegangan, pemuasan
kebutuhan mendesak yang tidak dapat dibenarkan dan disalahkan. 35
Kegagalan agama. Menurut Freud, ajaran-ajaran agama yang menganjurkan para
penganutnya agar tidak saling membunuh merupakan jasa besar bagi peradaban. Tetapi,
agama belum cukup melakukannya. Setelah menguasai manusia selama ribuan tahun dan
mampu membuktikan dirinya, agama belum mampu memberikan kebahagiaan dan
memberadabkan manusia. Masih banyak manusia kecewa terhadap peradaban dan tidak
cukup bukti bahwa orang akan bahagia apabila hidupnya diatur oleh agama. Secara
historis, menurut Freud, agama lebih mendukung tindakan-tindakan yang tidak bermoral
daripada yang bermoral. Dengan demikian, agama menurutnya telah gagal. 36
Dasar pemikiran Freud dapat diderivasi ke dalam seluruh bidang kehidupan. Konsep dosa
dan pertobatan menjadi tidak ada lagi, sebab semua hanya dilihat sebagai penyimpangan
kejiwaan dan disintegrasi struktur kepribadian. Individu yang berhasil dalam
perkembangan kepribadiannya adalah adalah individu yang ketiga unsur pembentuk
kepribadiannya, yaitu Id, Ego dan Superegonya bertumbuh secara seimbang. Dalam hal
ini masyarakat ikut membentuk perkembangan struktur kepribadian individu. Karena itu
kesalahan individu dan tanggungjawab individu terhadap kesalahan tersebut sebenarnya
tidak ada. Lebih lanjut Freud berpendapat bahwa pada hakikatnya manusia secara
psikologik bersifat hedonistik. Apa yang dilakukannya adalah untuk memuaskan batinnya,
termasuk penyembahan kepada suatu kuasa yang dianggap transenden, itu pun hanya
pelarian dari kekecewaan hatinya akibat keinginan yang tidak terpenuhi.

2.4.4. Alfred Adler (1870-1937)

Adler adalah seorang psikolog dari Austria, yang beragama Yahudi (Lahir di Penzing,
Austria, 7 Februari 1870, meninggal di Aberdeen, Scotland, 28 Mei 1937, karena gagal
jantung). Ia dikenal sebagai bapak Psikologi Individual yang berbeda pendapat dengan
Freud. Dalam bukunya Individual Psychology, ia sangat menekankan peran tujuan dan
motivasi tindakan manusia, termasuk tindakan keagamaannya. Salah satu gagasan Adler
yang termasyhur adalah bahwa manusia berusaha mencari kompensasi bagi inferioritas
(kerendahan) yang dirasakan dalam dirinya. Merasa tidak memiliki kekuatan merupakan
akar inferioritas. Salah satu cara mengkompensasikan perasaan rendah tersebut adalah
dengan percaya kepada Allah. Tendensinya adalah keinginan mendapatkan kesempurnaan
dan superioritas. Hal ini antara lain tampak dari kenyataan bahwa dalam setiap agama,
Allah dianggap sempurna dan omnipoten (berkuasa di mana-mana, mahakuasa), dan
memerintahkan manusia agar juga menjadi sempurna. Jika mampu mencapai
kesempurnaan, maka manusia dapat dipersatukan dengan Allah. Dengan mengidentifikasi
diri seperti Allah, manusia mengkompensasikan ketidaksempur-naannya dan perasaan
rendahnya.
Gagasan tentang Allah merupakan indikator penting bagi cara manusia memandang dunia.
Menurut Adler, gagasan manusia tentang Allah berubah dari waktu ke waktu, begitu pula
cara manusia memandang dunia. Misalnya, gagasan bahwa manusia sengaja ditempatkan
oleh Allah sebagai ciptaan tertinggi di dunia digantikan dengan gagasan bahwa manusia
telah berevolusi melalui seleksi alamiah. Gagasan ini bertepatan dengan pandangan
bahwa Allah bukanlah keberadaan yang nyata, melainkan merupakan representasi
kekuatan alam yang abstrak. Dengan cara demikian, pandangan manusia tentang Allah
berubah dari sesuatu yang konkrit dan spesifik menjadi sesuatu yang lebih umum.
Hal yang penting untuk dicatat dari pemikiran Adler adalah bahwa Allah atau gagasan
tentang Allah memotivasi manusia untuk bertindak, dan bahwa tindakan itu benar-benar
memiliki konsekuensi real baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Pandangan
tentang Allah merupakan hal yang penting, karena ia mengejawantahkan arah dan tujuan
interaksi sosial. Dibandingkan dengan ilmu pengetahuan, agama lebih efisien karena ia
memotivasi orang secara lebih efektif.

34 Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 174-5.


35 Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 176.
36 Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 180-1.

16
2.5. Pandangan relativisme

2.5.1. Immanuel Kant (1724-1804)

Kant mengkritik bukti ontologis untuk membuktikan eksistensi Allah. Sekalipun ia seorang
rasionalis, ia meyakini eksistensi Allah. Baginya, hal yang paling baik bukanlah
mengetahui bahwa Allah itu ada, melainkan mempercayai bahwa Allah itu ada.
Keberadaan Allah tidak perlu didemonstrasikan dengan bukti-bukti rasional, sebab bukti-
bukti rasional tergantung pada penalaran. Allah tidak berada dalam ruang dan waktu,
karena itu, keberadaan-Nya tidak dapat dibuktikan oleh penalaran yang berdimensi ruang
dan waktu. Ia menolak bukti-bukti eksistensi Allah atas dasar pendapatnya bahwa berpikir
mengenai Allah tidak berarti ada realitas Allah; bahwa budi manusia terbatas pada dunia
yang nyata; dan bahwa tidak mungkin membenarkan kepercayaan berdasar prinsip umum
sebab-akibat. Bagi Kant, kegagalan membuktikan eksistensi Allah secara rasional tidak
berarti menghancurkan kepercayaan akan Allah sendiri.
Bagi Kant Allah adalah sumber dari segala keberadaan, yang seutuhnya rasional dan tidak
terpengaruh oleh apa pun. Budi manusia dapat berusaha untuk bersifat rasional seutuhnya
seperti Allah. Pengertian kita mengenai iman religius seharusnya dikuasai oleh budi. Ia
berpendapat bahwa manusia mempunyai kebutuhan khusus, yaitu kebutuhan metafisis
yang secara alami berakar pada kodrat manusia. Karena manusia tidak dapat dipuaskan
oleh pengetahuannya mengenai pengalaman, maka ia mencari makna pada sesuatu yang
relatif. Konsep-konsep murni yang absolut itulah ide.
Kant berusaha menegaskan eksistensi Allah melalui argumen-argumen etis atau argumen-
argumen moral. Menurutnya, penalaran moral yang lazim adalah bahwa manusia berhak
memperoleh imbalan dari kebaikan yang dilakukannya. Namun dalam kenyataan tidak
selalu demikian. Oleh sebab itu, harus ada eksistensi lain di mana orang berhak menerima
imbalan yang adil atas kebaikan atau kejahatannya. Pemikiran ini membawa Kant pada
kesimpulan bahwa eksistensi Allah dan keabadian merupakan ‘ketetapan-ketetapan budi
praktis.’ Keberadaan Allah merupakan penentu bagi adanya moralitas.

2.5.2. William James (1842-1910)

Dari dasar pemikiran relativismenya, James berpendapat bahwa agama tidak dapat dinilai
dari dirinya sendiri, melainkan dari akibat-akibat moral dan psikologis yang
ditimbulkannya. James mempertahankan gagasan bahwa manusia tidak memiliki
perhatian mendalam mengenai definisi tentang kodrat Allah atau tentang bukti-bukti
eksistensi-Nya. Manusia percaya akan Allah karena mereka memerlukan Allah. Menurut
James, Allah tidak diketahui, Ia tidak dipahami, melainkan digunakan – kadang-kadang
sebagai pendukung moral, kadang-kadang sebagai kawan, dan kadang-kadang sebagai
objek cinta. Bila Ia terbukti berguna, kesadaran religius tidak menuntut lebih dari itu.
Apakah Allah benar-benar ada? Bagaimana Dia berada? Apakah Allah itu? Pertanyaan-
pertanyaan ini tidak relevan. Lebih penting dari itu adalah hidup, hidup yang lebih, hidup
yang agung, kaya dan memuaskan merupakan tujuan agama. Cinta terhadap kehidupan,
pada setiap tahap perkembangan, merupakan dorongan religius.
James menganut prinsip-prinsip pragmatis agama. Ia berpikir bahwa pragmatisme dapat
menyingkirkan permasalahan-permasalahan religius dan moral dari arena perdebatan
teologis dan kontroversi ilmiah. Namun ada berbagai keberatan terhadap pragmatisme
religius James ini:

o Iman religius terhadap Allah harus dibuktikan dalam pengalaman dan dalam praktik,
namun dasar-dasar iman kepada Allah lebih dari segala hal praktis.
o Kebenaran tidak dapat disamakan dengan hasil praktis atau dikorbankan demi
hasilnya.
o Pengertian tentang Allah bukan sekadar hipotesis yang tidak berkaitan dengan fakta,
melainkan bersandar pada kesadaran dan pengalaman batin akan Allah yang sudah
ada sebelum suatu keputusan dibuat.

William James berpendapat bahwa pengalaman keagamaan merupakan fakta psikologis.


Pengalaman keagamaan selalu membawa transformasi psikologis. James menyebutkan
beberapa perubahan psikologis setelah seseorang mengalami pengalaman spiritual:

17
o Pada saat menghadapi keadaan sulit dan kecemasan yang luar biasa, pengalaman
spiritual itu akan membuat jiwa menjadi benar-benar tenang dan mendapatkan
keseimbangannya kembali.
o Dalam kebanyakan kasus, ketakutan dan kepanikan dapat dikurangi dan dalam
beberapa kasus bahkan dapat ditiadakan.
o Ada perasaan khidmat dan agung yang menghasilkan kekaguman terhadap totalitas
kehidupan dan seluruh alam semesta.
o Ada perasaan bahwa kehidupan itu pada dasarnya tertata dan harmonis, dan bahwa
jiwa manusia dapat menyesuaikan diri dengan keteraturan itu, sebab merupakan
bagian darinya.
o Pengalaman jiwa akan kesukacitaan yang menggetarkan itu sering berada di ambang
ekstase, sehingga orang menjadi menangis, menari, tertawa tak terkendali atau
menyanyikan puji-pujian.
o Ekstase yang terjadi tiba-tiba tersebut menimbulkan perasaan bahagia yang amat
dalam.
o Mata jiwa dapat melihat realitas yang terdalam atau realitas batin, yang kemudian
menjadi batu uji kebenaran, baik dalam penyelidikan mental maupun supra-mental.
o Jiwa mendapat kepercayaan, kepercayaan diri, kepercayaan hadap kehidupan dan
kepercayaan terhada (ringkasnya, ‘perasaan percaya)

James mendokumentasikan transmormasi-transformasi psikologis ini dari banyak sekali


bahan-bahan biografis. Berdasar pendekatan fenomenologis ini, pembaca yang paling
skeptis sekalipun tidak dapat tidak akan sampai pada kesimpulan bahwa perasaan religius
adalah fakta psikologis dan bahwa sebenarnya pengalaman tersebut mempengaruhi jiwa.
Pengalaman religius berfungsi memulihkan keseimbangan hati yang terluka. Pengalaman
religius merupakan cara terbaik untuk memperoleh kesehatan jiwa. Memang, orang-orang
skeptis mungkin akan mengatakan bahwa tidak ada hal supranatural di dalamnya, karena
pengalaman religius dianggap sebagai bentuk self-suggestion.

2.5.3. Peter L. Berger

Peter L. Berger dilahirkan di Wina, Austria dan setelah Perang Dunia II kemudian
berimigrasi ke AS. Sejak 1981 ia adalah profesor sosiologi dan teologi di Universitas
Boston.
Seperti kebanyakan sosiolog agama pada zamannya, secara keliru ia meramalkan bahwa
secara keseluruhan dunia akan mengalami proses sekularisasi. Pada akhir 1980-an Berger
mengakui bahwa dewasa ini agama (baik agama kuno maupun modern) bukan saja masih
lazim, namun dalam banyak kasus malah dipraktikkan dengan lebih bersemangat
ketimbang pada masa silam. Di samping mengakui bahwa agama masih merupakan
kekuatan sosial yang besar, ia juga menunjukkan fakta bahwa pluralisme dan dunia yang
mengglobal secara mendasar telah mengubah pengalaman iman individu. Sifat agama
yang kerap kali diterima begitu saja sebagai kebenaran sering kali digantikan dengan
pilihan keyakinan individu berdasar pencarian religiusnya secara pribadi. Di kemudian hari,
Berger mengoreksi pandangannya sendiri. Kalau semula ia berpikir bahwa modernisasi
dan sekularisasi itu berjalan seiring, bahwa makin modern peradaban berarti akan makin
sekular, maka di kemudian hari ia menyatakan bahwa pikirannya tersebut pada dasarnya
keliru. Menurutnya, sebagian besar peradaban dunia ini bukanlah sekular, melainkan
sangat religius.
Dalam bukunya The Sacred Canopy (Doubleday 1967),37 ia berpendapat bahwa dari
perspektif sosiologis, agama harus dipahami sebagai sebuah konstruksi sosial, suatu
proyeksi manusia mengenai ‘dunia suci’. Di sepanjang sejarah, proyeksi atau
‘eksternalisasi’ ini telah memainkan peran penting dalam membentuk dan memelihara
lembaga-lembaga sosial serta proses terjadinya lembaga-lembaga itu. Peran kunci agama
adalah legitimasi terhadap realitas sosial melalui klaimnya bawa agama memiliki akses
kepada kuasa transenden yang non-manusiawi. Menurut Berger, secara esensial agama
adalah serangkaian realitas asing yang dinternalisasi dalam identitas individu. Melalui

37Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (Garden City, New York: Doubleday
and Company, Inc., 1967).

18
agama, para penganutnya disuguhi penjelasan mengenai makna tertinggi yang diperlukan
untuk membuat hidup dan alam semesta di sekitarnya ini jadi berarti, terutama pada
waktu terjadinya krisis pribadi atau krisis sosial. Agama merupakan semacam ‘kanopi’
atau tirai yang melindungi individu-individu dan masyarakat dari akibat-akibat destruktif
kekacauan dan tidak adanya tujuan.
Berger menyatakan bahwa dalam kebudayaan modern tidak ada “struktur agama masuk
akal,” yang dapat diterima. Ia mengatakan bahwa dalam kebudayaan Barat modern setiap
orang perlu menjadi “bidah” dalam arti berhak memutuskan tentang masalah iman, tidak
harus mengikuti tradisi kekristenan yang ada. Yang dimaksud dengan “struktur masuk
akal” adalah struktur dalam masyarakat yang menyebabkan orang mempercayai sesuatu
karena secara logis banyak orang mempercayainya sebagai sesuatu yang benar.
Menurutnya, orang dituntut untuk melawan agama, karena agama tidak masuk akal.
Untuk menjadi terhormat, orang harus menjadi bidah dan membuat keputusan sendiri
mengenai apa yang harus dipercaya. Dalam masyarakat modern tidak ada lagi yang dapat
disebut ortodoksi.
Berger menganut prinsip pluralisme. Hidup diibaratkan sebuah rumah makan dengan
pilihan-pilihan menu yang tersedia. Pilihan tidak hanya masalah peristiwa, melainkan
merupakan sikap budi. Pluralisasi merupakan proses yang dengannya ragam pilihan
manusia menjadi berlipat ganda, baik mengenai pandangan tentang dunia, ideologi,
maupun agama. Di tengah masyarakat ditawarkan berbagai macam agama dengan klaim-
kebenaran yang saling bersaing. Setiap individu berhak untuk memilih suatu agama atau
meninggalkannya. Jika suatu agama tidak lagi menjadi pilihan, ia akan berhenti memiliki
klaim-kebenaran utama. Pluralisme memiliki hubungan dialektis dengan sekularisme.
Sekularisasi menyebabkan timbulnya pluralisme dengan jalan meruntuhkan struktur
kemasukakalan lembaga-lembaga keagamaan dan keyakinan monopolistis. Pada pihak
lain, pluralisme merelatifkan hakikat ‘objektif’ sistem makna agama yang diterima begitu
saja apa adanya, karena itu memperkuat sekularisasi. Menurut Berger, klaim-klaim
kebenaran dari bermacam-macam agama dunia tidak memerlukan argumen atau
pemecahan. Klaim-klaim itu hanyalah nilai berbeda yang dipertahankan oleh orang-orang
yang berbeda. Banyak kebenaran yang berbeda-beda saling berdampingan. Akibatnya,
agama menjadi relatif. Kebenaran menjadi benar bagi seseorang jika benar menurutnya.
Kebenaran yang berbeda menjadi benar jika orang dapat menerimanya sebagai benar.

2.6. Rasionalisme dan empirisme

2.6.1. Rene Descartes (1596-1650)

Dasar pemikiran Descartes yang sangat terkenal diungkapkan dalam perkataannya,


“cogito ergo sum,” “saya berpikir maka saya ada,” atau lebih tepatnya “saya sedang
berpikir, maka saya ada.” Cara Descartes membuktikan adanya Allah masih menggunakan
penalaran Aristoteles, yaitu dengan metode keraguan. Menurutnya, mengetahui lebih
besar daripada meragukan, karena itu ia menyimpulkan bahwa dirinya tidak sempurna.
Ia tidak dapat menjadi Allah, sebab seandainya begitu, ia akan menciptakan dirinya
sempurna, sedang kenyataannya ia tidak sempurna. Ide kesempurnaan pasti datang dari
suatu keberadaan yang sempurna, yaitu Allah. Maka Allah pasti ada. Manusia sendiri
terlalu tidak sempurna untuk memikirkannya.
Descartes menggunakan penalaran Aristotelian. Aristoteles percaya bahwa dalam
rangkaian realitas yang berbeda-beda ada ide dasar yang menjadi sumber realitas-realitas
itu. Ide mengenai Allah disebabkan oleh adanya substansi yang tak terbatas, yaitu Allah.
Maka Allah itu ada. Dengan menggunakan argumen ontologis, Descartes percaya bahwa
Allah itu sempurna. Lebih sempurna untuk ada daripada tidak ada. Maka Allah itu ada.
Kalau Allah itu sempurna, maka ia mutlak dan tidak dapat menipu kita. Jadi, setan penipu
pun tidak ada, karena Allah tidak menghendaki kita tertipu. Allah yang sempurna tidak
dapat menjadi penyebab kekeliruan apa pun. Descartes percaya bahwa manusia dilahirkan
dengan ide-ide bawaan yang memberinya pengetahuan mengenai diri sendiri, mengenai
Allah, dan mengenai matematika.

2.6.2. John Locke (1632-1704)

19
John Locke percaya adanya tiga macam pengetahuan yang dapat diperoleh dari
pengalaman, yaitu:
- Pengetahuan intuitif, yang melaluinya orang memperoleh pengetahuan tentang
dirinya sendiri.
- Pengetahuan demonstratif, yang melaluinya orang memperoleh pengetahuan
tentang Allah.
- Pengetahuan inderawi, yang melaluinya orang memperoleh pengetahuan
mengenai dunia luar.

Hanya pengetahuan jenis pertama, yaitu pengetahuan intuitif, bersifat pasti secara
absolut. Pengetahuan jenis kedua bersifat pasti seperti halnya bukti-bukti matematis
bersifat pasti. Sedangkan pengetahuan inderawi bersifat problematis, paling tinggi
merupakan dugaan yang baik. Bukti dan kenyataan sehari-hari merupakan hal yang
berbeda. Ia mengakui, sekalipun ingin mendemonstrasikan nilai-nilai moral maupun sains,
ia selalu gagal. Ia sadar bawa tanpa Allah nilai-nilai moral hanyalah soal selera, bukan
tugas.
Bertolak dari pemikiran sebab akibat, Locke berpendapat bahwa bila sesuatu ada, maka
ia selalu berada dan merupakan sebab dari segala yang ada. Apa yang selalu ada harus
bersifat abadi, mahakuasa dan mahatahu, yaitu Allah. Allah inilah yang mampu
memaksakan nilai-nilai moral.

2.6.3. David Hume (1711-1776)

Hume tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang ateis, sekalipun banyak orang
mencapnya demikian. Memang, Hume tidak percaya adanya mujizat. Baginya,
mempercayai mujizat berarti pengkhianatan terhadap hukum alam. Mujizat itu mustahil
ada.
Hume menolak budi sebagai suatu prinsip. Baginya, budi tidak lebih sebagai kebiasaan
atau adat. Hume setuju dengan Locke bahwa manusia tidak pernah dapat benar-benar
mengetahui apa yang terjadi di luar dirinya. Terhadap kenyataan di luar dirinya manusia
hanya mendapatkan impresi (kesan) yang menumbuhkan ingatan atau gambaran samar,
yang kemudian digabungkan menjadi pikiran dan penalaran. Prinsip-prinsip pemikiran
Hume:
- tidak ada sebab akibat
- tidak ada prinsip penalaran
- tidak ada kepastian dalam induksi (memutuskan kebenaran berdasar bukti-bukti)
- keberadaan materi tergantung pada imajinasi manusia
- ilmu dibangun atas dasar keyakinan, bukan kepastian.

Menurut Hume, dalam semua agama yang bermacam-macam itu terdapat keyakinan
bahwa di dunia ini ada kuasa yang cerdas dan tak kelihatan (The Natural History of
Religion, hlm. 134, 144-5). Menurutnya, politeisme atau penyembahan berhala adalah
bentuk awal dari agama purba manusia (NHR, 135). Dasar politeisme bukanlah keindahan
atau keteraturan alam semesta, sebagaimana terjadi pada agama-agama teisme,
melainkan berbagai macam peristiwa yang saling bertentangan yang terjadi dalam
kehidupan umat manusia. Banyak peristiwa (misalnya cuaca, sakit-penyakit, peperangan,
dsb.) yang tidak dapat diprediksi, namun penting bagi manusia, karena memiliki dampak
langsung bagi kebahagiaan atau penderitaannya. Pada umumnya, manusia – terutama
masyarakat primitif – tidak mengetahui sebab-musabab terjadinya peristiwa-peristiwa
yang mendatangkan harapan atau ketakutan yang mendalam itu. Dalam keadaan seperti
ini, “orang banyak yang bebal” itu beranggapan bahwa penyebab yang tidak diketahui itu
adalah sesuatu yang tak kelihatan dan cerdas, yang dapat mereka pengaruhi dengan doa
dan korban-korban. Dengan cara itu, manusia berharap dapat mengendalikan apa yang
tidak mereka ketahui dan mereka takuti. Akibat ketakutan dan kebodohan manusia,
kuasa-kuasa cerdas yang menjadi objek penyembahan ini mereka perlakukan seperti
manusia yang kasat mata. Agama politeisme sangat berbeda dengan teisme yang
sesungguhnya, karena agama primitif tidak mempersoalkan asal-usul alam semesta atau
penguasa tertinggi alam semesta itu. Masyarakat primitif tidak sempat memikirkan hal
tersebut secara spekulatif, karena mereka harus bergumul dengan kehidupan mereka

20
sehari-hari. Hume menyebut para penganut politeisme dan para penyembah berhala
sebagai “kaum ateis tahyul”, karena mereka tidak memiliki gagasan mengenai Realitas
yang berhubungan dengan gagasan kita tentang Allah (NHR, 145). Namun dari sudut
pandang mereka, kaum teis keliru, karena mereka menolak keberadaan “ilah-ilah yang
lebih rendah” yang di sembah oleh kaum politeis (NHR, 148).

3. PENGERTIAN ‘AGAMA’ MENURUT BEBERAPA AGAMA { Klpk 5}

3.1. Pengertian dan pandangan umum

Agama sering dimengerti berdasar arti etimologisnya. Dalam bahasa Sanskerta, ‘gam’
berarti ‘pergi’, sehingga ‘a-gam-a’ diartikan sebagai ‘perjalanan menuju’, yang di dalam
perkembangannya menjadi ‘perjalanan menuju kebaikan’ atau ‘jalan benar’. Agama dapat
pula diuraikan menjadi ‘a-gama’, ‘a’ berarti tidak, dan ‘gama’ berarti ‘benda’ atau
‘berubah’. Sehingga ‘agama’ berarti: ‘sesuatu yang tidak bersifat kebendaan dan kekal’.
Terlepas dari orientasi sejarah mengenai pengertian agama, beberapa rumusan tetap
diperlukan untuk mengidentifikasi ciri-ciri, prinsip-prinsip atau pun unsur-unsur agama.
Sebagai jalan benar, agama dapat dijabarkan menjadi pedoman, peraturan atau norma-
norma tertentu, yang bersumber pada:

a. Wahyu yang berasal dari Tuhan, yang oleh penganutnya lazim disebut sebagai Kitab
Suci. Wahyu hanya dapat dihayati dengan iman atau kepercayaan secara bulat
kepada-Nya.
b. Ungkapan atau pernyataan iman secara konkret, yang terwujud dalam perilaku
lahiriah, seperti: doa, sembahyang, zakat-fitrah, upacara-upacara sosial (seperti:
perkawinan, kematian) dan lain-lainnya.
Pelaksanaan iman secara lahiriah mempunyai dua aspek, yaitu:

a. Dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya, nyata dalam bentuk kultus dan
ritus. Hal ini lazim disebut ibadah atau kebaktian yaitu ibadah supra sosial (ibadah
dalam arti sempit).
b. Dalam hubungan dengan sesama manusia, berupa tatacara sosial tertentu yang
berupa ritus dan perbuatan kebajikan yang tanpa ritus. Kedua-duanya disebut ibadah
secara sosial (ibadah dalam arti luas).

Lazimnya, orang berpendapat bahwa dalam agama harus terdapat prinsip-prinsip berikut:

a. Iman, yang merupakan inti agama.


b. Ibadah, yang mengandung dua aspek:
1) Supra sosial, yang dilaksanakan dalam bentuk pemujaan dan ritus-ritus.
2) Sosial, yang dilaksanakan dalam bentuk ritus sosial dan perbuatan-perbuatan
sosial tanpa ritus.
c. Takwa, yaitu sikap mental terhadap Tuhan dan sesama manusia sebagai produk
penghayatan serta pelaksanaan iman dan ibadah.

Di samping ketiga prinsip di atas, sering pula orang menetapkan bahwa di dalam agama
harus terdapat unsur-unsur:

a. Kitab Suci yang memuat sabda-sabda atau wahyu Tuhan.

21
b. Utusan Tuhan, yaitu para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia-manusia terpilih
sebagai perantara turunnya wahyu yang menjadi pedoman hidup bagi semua manusia.
c. Ritus atau tatacara dalam melaksanakan ibadahnya kepada Tuhan, baik dalam
bentuk doa atau sembahyang, maupun upacara-upacara pemujaan, serta dalam
hubungannya dengan sesama berupa ritus sosial dan perbuatan sosial.
d. Tuntunan-tuntunan dalam wahyu tersebut, yang mengandung:

1) Perintah-perintah Tuhan agar berjalan di jalan yang benar dan berbuat kebaikan.
2) Perintah-perintah Tuhan agar tidak berjalan di jalan yang menyimpang dan tidak
berbuat keburukan.
3) Petunjuk-petunjuk Tuhan tentang pengolahan jiwa, agar menjadi sehat, kuat dan
berbudi luhur.

3.2. Agama secara fenomenologis

Berdasarkan fenomena kehidupan keagamaan secara umum, dapat dikatakan bahwa


agama ialah:

Suatu sistem kepercayaan yang meliputi segala aktivitas hidup manusia dalam usahanya
untuk mewujudkan hubungan dan rasa baktinya kepada kuasa supranatural yang
disembah dan diyakini mengatasi dirinya (transenden). Sistem tersebut mencakup
tempat-tempat suci, akta-akta suci, serta kata-kata suci.

Dari rumusan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diuraikan lebih lanjut:

1) Sebagai sistem kepercayaan, agama mencakup berbagai unsur teratur yang


merupakan satu kesatuan dan tidak berwajah tunggal. Oleh sebab itu agama tidak dapat
hanya dipandang dari satu segi dan dibatasi oleh satu definisi tunggal. Itu sebabnya
agama sulit didefinisikan.
2) Sebagai aktivitas hidup manusia, agama membutuhkan bentuk-bentuk konkret,
yang terwujud baik dalam sikap maupun tindakan. Dengan demikian, beragama tidak
sekadar meyakini sesuatu, melainkan bertindak sesuai dengan keyakinan itu. Bahkan
berolah agama seharusnya terwujud dalam totalitas kehidupan dan diamalkan dalam
setiap tingkah laku, sehingga agama tidak hanya berarti bagi diri sendiri melainkan juga
berarti bagi sesama dan lingkungan di mana seseorang berada.
3) Aktivitas tersebut dilakukan dalam rangka usaha merealisasikan rasa bakti dan
keterhubungan manusia dengan kuasa yang disembah. Sebagai yang demikian, agama
memerlukan dan menggunakan cara-cara yang bersifat manusiawi. Dengan kata lain,
ekspresi kehidupan agama selalu bersifat antropomorfistik. Dalam hal ini perlu disadari
pengaruh budaya setempat terhadap warna kehidupan agama. Tidak mungkin kehidupan
agama netral dari pengaruh kebudayaan manusia, karena itu dalam setiap bentuk agama
pasti terdapat kelebihan sekaligus kekurangan secara manusiawi (ditinjau dari nilai
kebudayaan secara subjektif). Dengan pengertian itu, disadari bahwa penampilan agama
di tengah perjalanan zaman senantiasa membutuhkan bentuk-bentuk baru, sehingga
berguna dan dapat dihayati oleh manusia yang berada di tengah sejarahnya. Kehidupan
agama memerlukan keterbukaan terhadap pembaharuan bentuk (cara pengungkapan
imannya), dan tidak selayaknya terpenjara oleh masa lampau secara kaku.
4) Sebagai ibadah (rasa bakti) kepada kuasa yang disembah, agama melibatkan
seluruh segi kehidupan manusia yang disimbolisasi dalam bentuk ritus-ritus, tata-cara
peribadahan dan pranata-pranata tertentu. Namun di samping itu, agama juga mewujud
dalam sikap dan tindakan terhadap sesama manusia serta lingkungannya. Di sinilah dapat
dipahami bahwa ibadah yang benar harus mencakup tindakan-tindakan, baik yang bersifat
supra sosial maupun sosial.
5) Salah satu unsur yang menjadi dasar bagi seluruh bangunan agama adalah
keyakinan. Dengan dasar tersebut keberagamaan seseorang akan mengandung
subjektivitas. Keyakinan subjektif yang menjadi landasan kehidupan agama tidak
menuntut pembuktian kebenarannya secara akal. Dalam hal ini, agama menjadi sesuatu
yang betul-betul pribadi dan tidak mungkin diganggu-gugat atau dipaksakan oleh orang
lain, termasuk oleh negara. Jika subjektivitas ini disadari, maka secara tidak langsung

22
setiap orang haruslah mengakui hak orang lain untuk meyakini kepercayaannya.
Pengingkaran terhadap aspek subjektif agama merupakan penindasan terhadap salah satu
hak manusia yang paling dasar. Dengan kata lain, pengingkaran terhadap hak individu
untuk meyakini agamanya merupakan pengkhianatan terhadap martabat manusia. Setiap
bentuk pemaksaan akan menghasilkan kemunafikan dan ketertekanan bagi pihak lain.

3.3. Pandangan agama Buddha

Kata “Buddha” berasal dari bahasa Sanskerta ‘budh’ yang secara harfiah berarti ‘untuk
mengetahui’. Buddha diartikan sebagai “Mereka yang Sadar, Yang mencapai pencerahan
sejati.” Jadi, ‘Buddha’ merupakan gelar yang diberikan kepada individu yang menyadari
potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam
penggunaan sehari-hari, Buddha sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama,
guru agama dan pendiri Agama Buddha (Sidharta Gautama dianggap "Buddha bagi waktu
ini"). Dalam penggunaan lain, kata ini juga berarti “contoh bagi manusia yang telah
sadar.” Ada tiga jenis golongan Buddha, yaitu:

o Samma-Sambuddha yaitu Buddha yang mendapat Kesadaran penuh tanpa guru,


hanya dengan usaha sendiri.
o Pacceka-Buddha atau Pratyeka-Buddha yaitu Buddha yang menyerupai Samma-
Sambuddha, tetapi senantiasa diam dan menyimpan pencapaian Dharma pada diri
sendiri.
o Savaka-Buddha yang merupakan Arahat (pengikut kesadaran), tetapi mencapai tahap
Kesadaran dengan mendengar Dhamma.

Umat Buddha berpegang pada kitab sucinya yang disebut Tripitaka. Kitab suci tersebut
berisi tiga bagian:

o Vinaya Pittaka, isinya aturan-aturan sangha untuk biksu atau biksuni.


o Sutra Pittaka, isinya tentang wacana-wacana Buddha.
o Abhidharma Pittaka, isinya tentang penjelasan sistematis atau ilmu pengetahuan
dari Buddha.

Di samping Tripitaka, umat Buddha juga berpegang pada lima tekat yang disebut
Pancasila, yaitu:

1. Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan


melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan
melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan.
3. Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat
akan melatih diri untuk menghindari menghindari perbuatan asusila.
4. Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan
melatih diri untuk menghindari menghindari ucapan tidak benar.
5. Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya
saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengkonsumsi segala zat yang
dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.

Mengenai pengertian agama, majalah ‘Buddhis’ No. 13, Januari 1960, memuat tulisan Ven
C. Nyanasatta Thera’s, yang berjudul ‘Apakah agama itu?’. Dalam uraiannya, Nyanasatta
mengutip pengertian agama menurut Kamus Oxford, yang memberi arti sebagai berikut:

23
Agama adalah suatu kepercayaan dan cara persujudan atau pengakuan manusia akan
adanya Gaya-Pengendali yang Istimewa dan Terutama, yang harus ditaati, dan pengaruh
pemujaan tadi dalam kehidupan manusia serta atas perilakunya.

Oleh sebab itu, penuh dengan rasa keagamaan, takut akan Tuhan, berbakti, ada kalanya
dimengerti sebagai tindakan ‘dengan cermat’ atau ‘dengan seksama’. Orang yang tidak
beragama berarti orang yang tidak seksama, tidak senonoh kelakuan dan akhlaknya, serta
tidak cermat dalam bertindak.
Dalam arti lebih luas, agama dapat pula ditafsirkan sebagai suatu pelajaran kesusilaan
dan filsafat serta pengakuan berdasarkan keyakinan terhadap pelajaran yang diakui tadi.
Dengan demikian, ajaran Sang Budha adalah suatu agama, dan umat Budhis memiliki
suatu agama yang sangat mulia untuk dianutnya.
Agama Budha meyakini bahwa Tuhan itu Mahagaib, tidak berbentuk dan tidak dibentuk.
Tuhan ada di mana-mana (omipresens), karena itu, Ia tidak dapat dan tidak boleh
dipersonifikasikan, tidak dapat dan tidak boleh dipikirkan oleh pikiran manusia yang serba
terbatas. Jika hal itu dilakukan, manusia akan terjebak dalam pemikiran yang tak akan
ada habisnya. Cahaya Tuhan tidak terbatas dan tidak dapat dijangkau oleh pemikiran
manusia. Bila manusia membicarakan Tuhan dengan pikirannya sebagai alat, sedangkan
manusia memiliki sifat tak kekal, serba ingin terus bertanya, dan tidak pernah puas
dengan hal-hal yang ada, maka pertanyaan-pertanyaan itu sepanjang zaman tidak akan
terjawab, dan manusia tidak akan menemukan Tuhan, karena Tuhan sudah dijadikan
objek dan bukan Subjek atas diri manusia. Karena itu Budha selalu diam, tidak berusaha
menjawab pertanyaan yang timbul dalam dirinya tentang Tuhan. Sang Budha menolak
untuk membicarakan dan tidak memersoalkan keberadaan Tuhan yang Mahagaib, tetapi
menekankan kepada para pengikutnya untuk mempraktikkan Ketuhanan dalam
kehidupannya sehari-hari.
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha
berbeda dengan konsep dalam agama Samawi yang mempercayai bahwa alam semesta
diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke sorga
ciptaan Tuhan yang kekal. Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah
mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh
manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu
pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang
dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha
hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan
mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran serta realitas
sebenar-benarnya.

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma,
Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan
mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari
sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka,
Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha.
Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang Akatang
Asamkhatang" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak
Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang
tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasi dan tidak dapat digambarkan dalam
bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata)
maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran
kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat melihat bahwa konsep
Ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh
agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini,
sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut

24
agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak
umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah
sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.

Buddha Mahayana memuja Sang Amitabha (Sang Cahaya Tanpa Batas) yang berkuasa
dan berdiam di surga Sukhawati. Umat Buddha di Indonesia menyembah Tuhan Yang
Mahaesa yang disebut Sang Hyang Adi Buddha, tidak dapat dilukis atau dipatungkan
seperti buddha-buddha yang lain. Hal ini dapat dipelajari dari relief Candi Borobudur serta
kitab-kitab suci Sang Hyang Kamahayanikan, yang di dalamnya mengungkapkan antara
lain:

“Sang Hyang Adi Buddha adalah Dharmakaya yang kekal/abadi, tanpa awal dan tanpa
akhir, tanpa bentuk dan meliputi seluruh jagad raya, hanya dapat diselami oleh mereka
yang telah mencapai samyak sambodhi (kesadaran teragung).”
“Sang Dharmakaya meskipun bermanifestasi dalam tiga alam, bebas dari kekotoran
nafsu-nafsu. Menggelarkan diri-Nya ke sini, ke sana, dan ke mana saja, menjawab
panggilan karma. Ini bukan kenyataan perorangan, bukan khayalan, tetapi Kenyataan
Semesta dan Murni (Kesunyataan). Dharmakaya tidak datang dari mana pun dan tidak
pergi ke mana pun; tidak menonjolkan diri, juga tidak akan musnah. Ia tenang dan kekal
selama-lamanya. Inilah Yang Tunggal/Esa, bebas dari segala arah. Alam semesta tercipta,
tetapi Sang Dharmakaya tetap kekal untuk selama-lamanya. Dharmakaya bebas dari
semua yang berlawanan tetapi bekerja dalam semua benda untuk membimbing mereka
menuju Nirwana.”
3.4. Pandangan agama Hindu

Agama adalah Satya, Rta, Diksa, Tapa Brama dan Yajna. Ia akan memberikan tempat dan
mengatur hidup kita, dulu, sekarang dan yang akan datang di dunia ini. Satya adalah
kebenaran yang absolut (mutlak). Rta adalah dharma atau perundang-undangan yang
mengatur hidup manusia. Diksa adalah persucian. Tapa Brama adalah semua perbuatan
suci dan doa-doa atau mantra-mantra. Sedangkan Yajna adalah korban. (Weda Parikrama,
Gde Pudja, M.A., S.H., hlm. 24).
Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep
tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Seperti
konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap
bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama
Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun
juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta.
Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan
asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta
tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa
disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri,
melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang
pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak
ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai
dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan
ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi,
Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep
Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.
Menurut agama Hindu, Tuhan adalah Esa (Eka), Mahakuasa, Mahaada dan menjadi
sumber segala sesuatu yang ada dan tiada. Kepercayaan atas keesaan Tuhan ini dapat
kita temukan dalam rumusan-rumusan ayat (mantra) yang terdapat dalam Kitab Reg
Weda, baik dari Purusa Suktanya maupun dari ayat-ayat Nasadiya Suktanya. Kalaupun
ada istilah “Dewa”, maka haruslah dipahami makna sebenarnya. Istilah ini berasal dari
kata Sanskerta “Div” yang berarti sinar atau cahaya (Nur). Dalam filsafat Hindu (darsana),
dewa-dewa diciptakan sebagaimana alam semesta ini untuk mengendalikan alam
semesta. Dewa bukanlah Tuhan. Dewa-dewa dihubungkan dengan satu aspek tertentu
dan khusus dari fenomena alam semesta ini. Tiap-tiap aspek dikuasai oleh satu dewa atau

25
lebih, dengan ciri-ciri atau lambang-lambang yang khusus pula. Tiap dewa mempunyai
çakti yang tidak terpisah dari dirinya, seperti halnya suami dengan isteri. Çakti inilah yang
diwujudkan dalam bentuk dewi, dianggap sebagai isteri dewa.
Keberadaan Sang Pencipta sering diberi sebutan secara subjektif berdasar penghayatan
dan pikiran manusia. Itulah sebabnya ia disebut “Dhatri” (Pencipta), “Prajapati” (Raja
semua makhluk), Tuhan, Çiwa, Allah, dsb. Apakah nama-nama itu merupakan nama yang
tepat bagi-Nya? Menurut Kitab Weda, pemberian nama itu merupakan sesuatu yang tak
terelakkan, namun harus diingat agar pemberian nama itu tidak mengurangi atau
membatasi hakikat-Nya. “Ekam Sad Wipra bahuda wadanti”, yang Absolut itu Satu, orang-
orang bijaksana menamai-Nya dengan banyak (nama). “Tad” adalah istilah yang sangat
umum digunakan dalam Weda, karena “Tad” dapat diartikan sebagai “yang Absolut Ada.”
Walaupun nama-nama itu berbeda-beda tidak berarti bahwa satu dengan yang lain
berbeda hakikatnya.
Dari pokok-pokok pikiran tentang ketuhanan dalam Reg Weda maupun Yajur Weda,
agama Hindu tidak fanatik dalam konsep ketuhanannya. Dalam Reg Weda 82:3 dikatakan,
“Ia (adalah) Bapa kami, Pencipta kami, Pelebur kami. Siapakah yang dapat mengenal
semua jabatan-Nya, semua yang ada? Ia adalah satu dengan nama dewa-dewa yang
berbeda-beda. Ia itulah yang dicari oleh semua makhluk di dunia ini dengan pertanyaan
semua.”
Agama Hindu sering dipahami sebagai agama politeistik, namun dari Reg Weda, kita dapat
menarik kesimpulan mengenai gagasan ketuhanan agama Hindu sebagai berikut:
• Tuhan itu Esa, berkuasa atas seluruh dunia (ciptaan-Nya)
• Atas dasar sifat kekuasaan-Nya itu Ia mengatur dan mengawasi seluruh ciptaan-Nya
dari kejauhan (surga)
• Untuk memperoleh kebahagiaan, manusia harus mengamalkan apa yang telah
ditetapkan sebagai hukum-Nya, yang merupakan hukum suci.

26
3.5. Menurut Agama Islam
[ Klpk. 6 )

Prof. K.H.M. Thair Abdul Mu’in dalam tulisannya mengenai ‘Ilmu Kalam’ mengemukakan:
“Agama ialah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal,
memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri, untuk mencapai kebaikan
hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akhirat” [Moh. Rifa’i, Mutiara Ilmu Tauhid
(Bandung: Al Ma’arif, 1974), hlm. 25].
Definisi lain dikemukakan oleh Hadijah Salim sebagai berikut: “Agama adalah peraturan
Allah Swt, yang diturunkan kepada Rasul-Rasul-Nya yang telah lalu, yang berisi suruhan,
larangan dan sebagainya, yang wajib ditaati oleh umat manusia dan menjadi pedoman
serta pegangan hidup, agar selamat di dunia dan akhirat. Agama adalah kendali hidup dan
barangsiapa hidupnya tidak terkendalikan niscaya manusia itu akan terjerumus dan tak
akan menentu arah tujuannya, maka membahayakan dirinya sendiri” [Hadijah Salim, Apa
Arti Hidup (Bandung: Al Ma’arif, 1974), hlm. 52].
Haji Agus Salim (1884-1954), dalam bukunya ‘Tauhid’ mengatakan: “Agama adalah
ajaran tentang kewajiban dan kepatuhan terhadap aturan, petunjuk, perintah yang
diberikan Allah kepada manusia lewat utusan-utusan-Nya. Dan oleh rasul-rasul-Nya
diajarkan kepada orang-orang dengan pendidikan dan tauladan”.
Nama ‘Islam’ berhubungan erat dengan pemahaman agama ini bahwa Allah adalah esa
dan sama sekali berbeda dengan ciptaan-Nya (QS 112:1-4); dan bahwa Allah menciptakan
dunia ini dalam keadaan harmonis (QS 32:7; 95:4). Berada dalam hubungan harmonis
dengan Allah berarti bahwa setiap unsur ciptaan mengetahui tempatnya dan taat pada
kehendak Allah. Jadi, semua ciptaan dipanggil untuk taat kepada Allah. Di samping
bermakna ‘harmonis’, kata ‘Islam’ juga mengandung pengertian ‘berserah diri,’ sebab
keharmonisan tersebut hanya akan terwujud jika semua ciptaan, termasuk manusia,
berserah diri dan tunduk kepada kehendak Allah.38 Kata Arab ‘Islam’ secara harfiah berarti
‘berserah diri’, yang mewarnai seluruh gagasan dasar agama ini, yaitu bahwa para
pemeluknya (yang disebut Muslim,39 yang berasal dari bentuk aktif kata Islam) menerima
untuk ‘menyerahkan diri kepada kehendak Allah.’ Dengan taat kepada Allah dan mematuhi
perintah-perintah-Nya, seorang Muslim akan berada dalam keharmonisan dengan
semesta alam tempat ia hidup, karena segala sesuatu di dalam alam semesta ini ada
karena perintah Allah.40 Umat Islam percaya bahwa agamanya mencakup semua segi
kehidupan. Mereka percaya bahwa individu, masyarakat dan pemerintah harus taat
kepada perintah Allah sebagaimana dimuat dalam Al-Qur’an, yang diyakini sebagai firman
Allah.41
Allah dipahami sebagai yang satu-satunya, Ia adalah pencipta, penopang, dan yang
membenahi dunia ini. Umat Islam percaya bahwa Muhammad adalah nabi terkahir
(penutup) dari seluruh rangkaian para nabi Allah (termasuk Adam, Nuh, Isa, dan yang
lain). Ia berada di antara nabi-nabi yang memiliki posisi tinggi, dan pesan-pesan yang
disampaikannya serta-merta menyempurnakan dan membatalkan wahyu-wahyu yang
diberikan kepada para nabi sebelumnya. Muhammad mengatasi (lebih tinggi) semua nabi-

38 Chris T.R. Hewer, Understanding Islam, the First Ten Steps (London: SCM Press, 2006), hlm. 2-3.
39 Dalam bahasa Inggris kadang-kadang kata ‘Muslim’ diterjemahkan dengan ‘Moslem,’ namun umat Islam lebih memilih
‘Muslim’ sebab kata ‘Moslem’ memiliki kemiripan ucapan dengan kata Arab ‘Mauslem’ yang berarti ‘penindas’. Goring
berpendapat bahwa kata ‘Muslim’ berasal dari kata Arab aslama, yang berarti ‘menyerahkan diri’. Lihat Goring, Dictionary
of Beliefs, hlm. 354.
40 Hewer, Understanding Islam, hlm. 4-5.
41 Goring, Dictionary of Beliefs, hlm. 247.

27
nabi yang lain, karena wahyu yang diterimanya mengatasi wahyu-wahyu yang lain.42
Namun nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa wahyu yang disampaikannya
mengukuhkan dan menjelaskan wahyu-wahyu yang telah diberikan kepada para nabi
sebelumnya. Beliau berkata dalam QS Al-Ahqāf (46):9, “Aku bukanlah rasul yang pertama
di antara rasul-rasul,” dan dalam ayat 12, “Dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada kitab Musa
sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al-Qur’an) adalah kitab yang membenarkannya
dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan
memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Islam ditegakkan di atas dasar lima pilar yang disebut Rukun Islam, yaitu: Syahadat,
Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji.
▪ Syahadat merupakan ringkasan pengakuan iman Islam, yaitu, “La ilaha illa Allah,
Mohammad arrasul Allah” (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-
Nya).
▪ Shalat adalah realisasi ibadah kepada Allah yang dilakukan lima kali sehari, yaitu:
shalat subuh (fajr), shalat dhuhr, shalat ‘asr, shalat magrib, dan shalat isha’.
▪ Puasa adalah menahan makan, minum, dan hubungan seksual sejak waktu sebelum
subuh hingga waktu setelah maghrib pada bulan Ramadhan (bulan ke-9 dalam
kalender Islam) selama satu bulan penuh.
▪ Zakat adalah semacam ‘pajak’ kekayaan untuk menolong mereka yang miskin dan
kekurangan. Dasar pemikirannya, semua kekayaan adalah milik Allah yang dititipkan
atau dipercayakan kepada umat-Nya. Oleh karena itu, setiap orang berkewajiban
mengambil sebagian harta titipan Allah yang merupakan hak orang lain dan harus
diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Besarnya zakat ditentukan 2,5%
per tahun dari harta kekayaan yang dimiliki.
▪ Haji. Naik haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh semua
umat Islam, minimal satu kali seumur hidup bagi yang mampu, baik secara finansial
maupun secara fisik.

Di samping Rukun Islam, agama Islam berpegang pada Rukun Iman, yaitu: Iman kepada
Allah Swt, Iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman
kepada Rasul-rasul-Nya, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada al-Qadar
(kesempurnaan kehendak Allah).
▪ Iman kepada Allah artinya percaya bahwa Allah itu ada, berkuasa, tidak menyerupai
sesuatu, tidak didahului oleh sesuatu, kekal, ada dengan sendirinya, esa, tidak beranak
dan tidak diperanakkan, mahamengetahui, mahahadir, mahasempurna dan tidak
memiliki kekurangan. Menyembah sesuatu selain Allah disebut shirk, dosa karena
menyepadankan Allah yang mahatinggi dengan ciptaan-Nya.43
▪ Iman kepada malaikat-malaikat. Allah telah menciptakan malaikat-malaikat untuk
menyembah-Nya, dan memberi tugas-tugas tertentu yang harus mereka lakukan
dengan taat. Al-Qur’an menolak bahwa malaikat adalah perantara dan putra-putri
Allah. Di antara para malaikat itu ada yang bertugas untuk mencatat perbuatan
manusia. Catatan tersebut akan diperlihatkan kepada manusia pada akhir zaman, pada
hari kebangkitan.44
▪ Allah memerintahkan agar umat-Nya beriman kepada kitab-kitab suci yang telah
diturunkan-Nya. Iman kepada kitab-kitab suci ada dua macam: secara umum dan
secara khusus. Secara umum umat Islam diperintahkan untuk percaya kepada kitab-
kitab suci yang telah diturunkan Allah melalui utusan-utusan-Nya, entah diketahui
namanya atau tidak. Secara khusus, umat Islam wajib mempercayai kitab-kitab suci
yang namanya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Taurat yang diturunkan kepada nabi
Musa, Zabur yang diturunkan kepada Daud, tulisan-tulisan yang diturunkan kepada
nabi Ibrahim (Abraham), Injil yang diturunkan kepada nabi Isa, dan Al-Qur’an yang
diturunkan kepada nabi Muhammad.45

42 James Windrow Sweetman, Islam and Christian Theology, A Study of the Interpretation of Theological Ideas in the Two
Religions, Part II, Vol. II, (London: Lutterworth Press, 1967), hlm. 62, 159.
43 Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam, A Thousand Years of Faith and Power (New Heaven & London: Yale University

Press, 2002), hlm. 35.


44 Cf. Sweetman, Islam and Christian Theology, Part I, hlm. 78.
45 Lihat Bloom & Blair, Islam, hlm. 39-40

28
▪ Umat Islam wajib mempercayai semua utusan Allah, entah diketahui atau tidak
diketahui namanya. Semua utusan Allah adalah mata-rantai yang saling berhubungan.
Satu sama lain saling melengkapi pesan yang diberikan Allah melalui mereka, hingga
hadirnya utusan terakhir, yaitu Nabi Muhammad. 46
▪ Iman kepada Hari Akhir meliputi:
(a) Percaya bahwa dunia dengan segala isinya ini akan berakhir.
(b) Allah yang Mahakuasa akan membangkitkan semua ciptaan.
(c) Setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka yang
melakukan amal baik akan menerima ganjaran dan yang tidak beramal baik akan
menerima hukuman.
(d) Perbuatan manusia telah dicatat dan akan diperhitungkankan di hari akhir.
(e) Umat Muslim pada akhirnya akan diizinkan memasuki Jannah (taman surgawi) dan
orang-orang yang tidak beriman akan dimasukkan ke dalam api neraka.47
▪ Iman kepada al-Qadar adalah iman kepada kesempurnaan kehendak Allah, yang
meliputi kepercayaan bawa:
(a) Allah telah mengetahui segala hal sebelum Ia menjadikannya kenyataan.
(b) Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi, Ia cukup berfirman “jadilah”, maka sesuatu
itu jadi. Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi, maka sesuatu itu terjadi, dan bila
Ia tidak menghendaki sesuatu terjadi, maka sesuatu itu tidak terjadi.
(c) Semua yang ada diciptakan oleh Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang diciptakan
tanpa maksud. Allah itu Mahamengetahui dan Mahabijaksana.
(d) Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak Allah dan seizin Allah. 48

3.6. Pandangan iman Kristiani

Agama adalah segala bentuk hubungan manusia dengan Yang Suci. Terhadap Yang Suci
ini manusia merasa kurang pantas, sama sekali tergantung, takut atau takwa karena
sifatnya yang dahsyat (tremendum). Tetapi manusia sekaligus merasa pula tertarik
kepada-Nya karena sifat-sifat-Nya yang mempesona (fascinosum). Kedua aspek ini
diungkapkan dalam bahasa Jawa ‘wedi asih’. Dalam rasa keagamaannya, manusia insyaf
akan Kekuasaan yang melebihi segala-galanya dan sangat penting untuk keselamatannya.
Dalam hal ini pusat iman Kristiani adalah pribadi Kristus. Agama sebagai hubungan pribadi
manusia dengan Allah terlaksana secara konkret dalam pribadi Yesus Kristus. Sehingga
Kristuslah yang menjadi pola hidup umat Kristiani.
Titik tolak keyakinan Kristiani adalah pengakuan bahwa Allah telah terlebih dulu memberi
kemungkinan untuk dikenal oleh manusia melalui pemeliharaan serta berkat-berkat-Nya.
Bahkan lebih dari itu, Allah telah menyatakan diri secara konkret dalam karya
penyelamatan-Nya. Terhadap tindakan-Nya itu manusia memberikan respon atau
jawaban. Terbentuknya umat adalah karena berhimpunnya manusia-manusia yang
memberi tanggapan yang sama terhadap tindakan Allah tersebut. Dengan kata lain, umat
itu terbentuk sebagai reaksi atas aksi kasih Allah. Jawaban tersebut sekaligus berupa
jawaban positif dan aktif. Jawaban positif ialah penerimaan serta pengakuan dengan total
atas kehendak dan tindakan Allah. Inilah sebenarnya hakikat iman. Karena itu, iman sering
disebut sebagai ‘the unconditional yes’ atau pengyaan tanpa syarat. Sedangkan jawaban
aktif terwujud dalam seluruh kehidupan dengan segala aktivitasnya, sebagai upaya
menyatakan rasa syukur kepada Allah yang telah mengasihi itu.
Dengan demikian keyakinan Kristiani tidak mempersoalkan lebih dulu wadah
berhimpunnya umat manusia yang disebut agama, melainkan tanggapan manusia
terhadap tindakan Allah itulah yang lebih ditekankan. Agama Kristen merupakan
penamaan yang muncul kemudian untuk menyebut persekutuan atau perhimpunan umat
yang secara bersama-sama memberi respon positif dan aktif terhadap tindakan Allah yang
dihayati dan dirasakan.
Dengan pemahaman di atas, menjadi jelas bahwa agama sebagai kehidupan iman akan
menyangkut segenap keberadaan (eksistensi) manusia, bukan sekadar suatu sistem
ajaran atau serangkaian pranata tertentu. Sistem ajaran atau pranata-pranata yang ada
hanyalah upaya merealisasikan rasa syukur dan rasa bakti kepada Allah yang telah lebih

46 Sweetman, Islam and Christian Theology, Part I, Vol. II, hlm. 123-124.
47 Sweetman, Islam and Christian Theology, Part I, Vol. II, hlm. 214.
48 Sweetman, Islam and Christian Theology, Part I, Vol. II, hlm. 157-163.

29
dulu mengasihi. Tentu saja bagi umat Kristiani totalitas kehidupan yang diarahkan untuk
mewujudkan rasa bakti kepada Allah tersebut berorientasi pada teladan yang diberikan
oleh Kristus Yesus, sehingga Kristus menjadi pusat dan arah perhatian serta pola
kehidupan. Hal ini sesuai dengan makna dasar kata ‘Kristen’, yaitu berwatak dan bersikap
seperti Kristus.
Pemahaman Kristiani tentang Allah berkembang dari pemahaman Yahudi tentang Allah.
Kitab Suci orang Yahudi, yang disebut Perjanjian Lama oleh umat Kristiani, menyatakan
dengan tegas, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kejadian1:1). Israel
diperintahkan agar hanya beribadah kepada Allah, “Dengarlah, hai orang Israel; Tuhan itu
Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihanilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:4-5). Ayat lain
mengatakan, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku! Jangan membuat bagimu
patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di
bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya
atau beribadah kepadanya” (Keluaran 20:4-5). Kepada Musa Tuhan berfirman, “Aku
adalah Aku” (Keluaran 3:14). Nabi Amos memperingatkan, “Carilah yang baik dan jangan
yang jahat, supaya kamu hidup; dengan demikian TUHAN, Allah semesta alam, akan
menyertai kamu. ... Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan
di pintu gerbang” (Amos 5:14-15).

Dari ayat-ayat tersebut ada beberapa hal yang dapat dicatat:

➢ Pandangan mengenai Allah bersifat monoteistik, bukan politeistik, yang mempercayai


adanya banyak dewa. Catatan: umat Kristen, umat Yahudi dan umat Islam adalah para
penganut monoteisme. Ketiganya adalah agama-agama Ibrahimi (Abrahamik).
➢ Allah bersifat pribadi. Ia bukanlah kekuatan kosmik yang jauh.
➢ Allah diakui sebagai pencipta alam semesta
➢ Allah ada dari diri-Nya sendiri (self-existent), tidak bergantung pada sesuatu yang lain.
➢ Allah itu penuh kasih, dan pada hakikatnya Ia adalah kasih,
➢ Allah itu adil dan benar.

3.7. Konsep ketuhanan menurut agama Khong Hu Chu

Dalam agama Khong Hu Chu, Tuhan disebut dengan ‘Thian’ yang berarti ‘Satu Yang
Mahabesar,’ yaitu ‘Tuhan Yang Mahaesa’. Dalam Kitab Perubahan I dinyatakan:

“Thian itu adalah yang menjadi Mula Esa, Sumber, Yang Mahatahu, Yang Meliputi, Yang
Beserta, Yang Memberuntungkan, Yang Memberi Pahala serta Menghukum, Yang
Mahakekal, Abadi, Sentosa, dan Tempat Pulang semuanya. Thian itu Mahabesar,
Mahatinggi, Mahakuasa, Mahakasih, Maharoh dan Mahasempurna.”

Sifat-sifat Tuhan menurut agama Khong Hu Chu adalah:

1) Mahasempurna, Khalik/Pencipta, Yang menjadi mula alam semesta ini (Gwan).


2) Mahameliputi, menjalin dan menembus di mana pun (Hing).
3) Mahamurah, Yang Menurunkan Rahmat, yang menjadikan orang memperoleh hasil
perbuatannya (Li).
4) Yang Mahakokoh, dan mempunyai hukum abadi (Cing).
5) Dilihat tidak tampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud tidak ada yang tanpa
Dia.
6) Apa pun kenyataan Thian tak boleh diperkirakan, dan lebih-lebih, tidak boleh
ditetapkan.
7) Mahabesar, sehingga terasakan di kanan-kiri kita.
8) Mahatinggi dan Pendukung semuanya, tiada bersuara dan berbau. Demikianlah
kesempurnaannya.
9) Menjadikan setiap wujud masing-masing selalu dibantu sesuai dengan sifatnya.

30
Pengakuan iman adanya Tuhan Yang Mahaesa ini merupakan salah satu dari Delapan
Ajaran Iman yang disebut Sing Sien Hong Thian, artinya Sepenuh Iman percaya kepada
Tuhan Yang Mahaesa, yang isinya adalah sebagai berikut:

• Mahabesar Tuhan Khalik semesta alam (Khian Gwan). Berlaksa benda dari-Nya
bermula, semuanya dari Tuhan Yang Mahaesa. Awan berlalu, hujan diturunkan,
makhluk dan benda mengalir berubah bentuk. Jalan Suci Tuhan mengubah dan
melebur. Masing-masing lurus menepati Watak Sejati dan Firman. Dipelihara berpadu
keharmonisan besar, diturunkan berkah keabadian (Thwan dari Yaking I).
• Seorang Kuncu (manusia paripurna) memuliakan Firman Tuhan, memuliakan orang-
orang besar, dan memuliakan sabda para Nabi (Lung Gi XVI:7).
• Yang gembira di dalam Tuhan dapat melindungi dunia, dan yang takut akan Tuhan
dapat melindungi negerinya. Takut atau hormat dan memuliakan Tuhan memberi
perlindungan sepanjang masa (Bing Cu IB:2).

4. AGAMA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT PERENNIAL 49


{ Klpk 7 )
4.1. Pengertian filsafat perennial

Kata perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang berarti kekal atau selama-lamanya
atau abadi. Istilah ini digunakan berkenaan dengan filsafat agama yang membicarakan
tiga hal:
(1) Membahas tentang Tuhan, Wujud yang Mutlak, sumber dari segala wujud. Tuhan Yang
Mahabenar hanyalah satu, sehingga semua agama yang muncul dari Yang Satu itu
pada prinsipnya memantulkan kebenaran yang sama, karena berasal dari sumber yang
sama.
(2) Membahas tentang fenomena pluralisme agama secara kritis dan kontemplatif. Agama
yang benar, dalam arti bersumber dari sumber kebenaran abadi, pada hakikatnya
hanya satu, namun karena berkembang dalam spektrum historis dan sosiologis, maka
agama-agama dalam konteks historis selalu hadir dalam format pluralistik. Dalam
pengertian demikian, setiap agama memiliki kesamaan dengan yang lain, namun
sekaligus memiliki kekhasan yang membedakannya dengan yang lain.
(3) Filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religius seseorang atau
kelompok melalui simbol-simbol, ritus, serta pengalaman keberagamaan.

Istilah ‘filsafat perennial’ pertama kali digunakan oleh Augustinus Steuchus (1497-1548)
sebagai judul karyanya De perenni philosophia (terbit tahun 1540). Namun sesungguhnya,
dilihat dari maknanya, agama Hindu telah lebih dulu membicarakan masalah-masalah di
atas dalam Sanatana Dharma. Jadi filsafat perennial sebenarnya telah dianut secara
tradisional oleh para filsuf sejak kuno.
Inti pandangan filsafat perennial adalah bahwa dalam setiap agama atau tradisi-tradisi
esoterik terdapat suatu pengetahuan atau pesan keagamaan yang sama, yang muncul
melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. Menurut agama
Hindu, hal ini disebut Sanatana Dharma, yaitu kebajikan abadi yang harus menjadi dasar
kontekstualisasi agama dalam situasi apa pun, sehingga agama selalu memanifestasikan
diri dalam bentuk etis dan dalam keluhuran hidup manusia. Taoisme menyebutnya Tao,
yaitu asas kehidupan yang harus diikuti manusia agar sungguh-sungguh menjadi manusia.
Dalam Islam kita mengenal al-dīn, yang berarti ‘ikatan’ yang harus menjadi dasar
beragama bagi seorang Muslim. Dalam agama Yahudi dan Kristen kita mengenal ‘hikmat
Allah’, yaitu pengertian akan kebenaran tertinggi yang menuntun manusia kepada
kesempurnaan kemanusiaannya. Hal yang perlu diingat, bagaimana pun, bungkus-
bungkus tersebut bukanlah tujuan, melainkan jalan agar manusia dapat terbebas dari
belenggu-belenggu dunia material yang cenderung menyengsarakan, dan kembali kepada
kehidupan alami manusia.
Karena memandang segala sesuatu yang ada sebagai derivasi dari Yang Absolut, maka
filsafat perennial menegaskan bahwa dalam segala sesuatu terdapat hakikat. Akibatnya,

49Baca Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 39-62.

31
dalam memahami kenyataan yang ada, filsafat ini mencakup pendekatan epistemologis,
ontologis dan psikologis. Secara epistemologis, filsafat ini membahas makna, substansi
dan sumber kebenaran agama, serta bagaimana kebenaran itu berproses mengalir dari
Tuhan Yang Absolut ke dalam kesadaran akal budi manusia, yang kemudian mengambil
bentuk dalam tradisi keagamaan yang menyejarah. Dari sisi ontologis, filsafat ini berusaha
menjelaskan adanya Sumber dari segala yang ada, bahwa segala wujud yang ada
sesungguhnya bersifat relatif, hanya merupakan ‘jejak’ kreasi dari Sang Absolut, yang
esensinya di luar jangkauan nalar budi manusia. Manusia hanya sanggup menangkap
bayang-bayang-Nya, namun tidak mampu mendefinisikan atau membatasi keberadaan-
Nya. Secara psikologis, filsafat ini berusaha mengungkapkan apa yang disebut ‘wahyu
batiniah’, ‘kebenaran abadi’ atau hikmat yang kekal,’ yang terukir dalam hati manusia
yang paling dalam, yang selalu merindukan Tuhan, sehingga terdorong untuk berpikir dan
berperilaku secara benar. Jadi, secara psikologis filsafat perennial berpegang pada
pandangan bahwa dalam diri setiap orang terdapat benih iman. Secara intrinsik dan
alamiah Tuhan telah menanamkan benih iman itu dalam diri manusia.

4.2 Partikularitas dan universalitas agama

Sekalipun menganut pandangan bahwa secara alamiah Tuhan telah menanamkan benih
iman dalam diri manusia, tidak berarti bahwa filsafat perennial tidak menghormati
partikularitas keagamaan dan berpandangan bahwa semua agama sama saja. Filsafat ini
berpegang pada pendapat bahwa Kebenaran Mutlak itu hanya satu, dan Yang Satu ini
memancarkan cahaya dalam berbagai ‘kebenaran’. Hakikat cahaya hanya satu, namun
spektrumnya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan beraneka warna. Meskipun
hakikat Agama Yang Benar itu hanya satu, namun karena agama muncul dalam ruang dan
waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama
dalam realitas sejarah tak dapat dielakkan. Dengan kata lain, pesan kebenaran dari Yang
Mutlak itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah. Karena itu, setiap
bentuk dan bahasa keagamaan pasti mengandung nilai-nilai budaya suatu komunitas, dan
pada gilirannya nilai dan bahasa agama yang terwadahi dalam lembaga budaya tertentu
tersebut akan melahirkan pengelompokan ideologis.
Proses pelembagaan perilaku kegamaan diperlukan untuk melestarikan ajaran agama dan
membentuk perilaku penganutnya. Namun, manakala tradisi keagamaan mengalami
pengentalan, spiritualitas keagamaan yang paling dasar dapat saja menjadi pudar,
terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para penganut agama itu
sendiri. Jika hal tersebut terjadi, orang akan kehilangan roh keagamaannya yang sejati
dan lebih mengagamakan agama yang diciptakannya. Jika sudah terjebak dalam
pembakuan simbol-simbol keagamaan, orang cenderung membatasi diri pada pendalaman
agama yang dianutnya dan tidak lagi terbuka untuk melakukan komparasi kritis dan
apresiatif terhadap agama orang lain. Akibatnya, jurang perbedaan antaragama makin
diperdalam dan tidak ada minat untuk mencari titik temu di antara agama-agama yang
ada. Sayang sekali bahwa kecenderungan seperti ini masih banyak diminati.
Dari sudut pandang perennial, seharusnya studi agama lebih menelaah hal-hal
fundamental, yaitu realitas metafisis yang menjadi dasar semua agama, yang
kebenarannya bersifat abadi dan terlepas dari segala predikat, ketimbang terjebak pada
simbol-simbol keagamaannya. Esensi di balik simbol-simbol keagamaan jauh lebih penting
daripada simbol-simbol itu sendiri. Pengetahuan akan Realitas Tertinggi merupakan
pengetahuan ilahiah yang sesungguhnya. Ia bukan sekadar konstruksi mental yang akan
berubah seturut perubahan budaya dan zamannya, melainkan pengetahuan yang
mencerahkan, yang menembus batas-batas institusi keagamaan tanpa mereduksi arti
penting serta komitmen terhadap agama yang dianut oleh masing-masing individu.

4.3. Memperluas cakrawala kebenaran

Eksklusivisme teologis dalam menyikapi perbedaan dan pluralitas agama tidak hanya
merugikan agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri sebab mempersempit pintu
masuk bagi kebenaran-kebenaran baru yang memperkaya kehidupan. Arogansi teologis
yang memandang agama lain sebagai sesat justru menjauhkan kita dari substansi sikap
keberagamaan yang benar, yang dengan penuh kasih dan santun mengajak orang lain ke

32
jalan kebenaran. Arogansi teologis tidak hanya terjadi dalam kehidupan antaragama,
tetapi juga dapat terjadi secara internal dalam kehidupan suatu agama. Akibatnya,
perbedaan-perbedaan aliran, mazhab, atau denominasi dalam suatu agama pun sering
menimbulkan bentrokan, bahkan kadang-kadang disertai kekejaman. Ironis memang!
Terlebih lagi jika bentrokan tersebut ditunggangi oleh kepentingan politis, maka yang
terjadi adalah kekerasan yang berkepanjangan atas nama agama. Jika simbiosis antara
agama dengan politik begitu kental, maka orang dapat melakukan kekejaman terhadap
kemanusiaan atas nama Kebenaran Suci.
Bentuk-bentuk lahiriah atau simbol-simbol keagamaan agama apa pun harus dilihat
sebagai keistimewaan partikular yang selayaknya dihormati, dan karenanya, pluralitas
agama harus diterima sebagai realitas. Sejauh bentuk-bentuk keagamaan itu masih
berpegang pada tuntunan Yang Absolut, maka ia akan tetap memiliki kekuatan untuk
hidup dan diyakini oleh para penganutnya. Meskipun membedakan antara bentuk lahiriah
dengan esensi, pandangan perenial tidak memisahkan keduanya secara dualistik. Bentuk-
bentuk lahiriah Agama tersebut merupakan eksoterisme Agama yang termanifestasikan
dalam ‘agama-agama.’ Namun demikian, eksoterisme agama-agama ini haruslah
dipandang hanya sebagai bingkai dan jalan menuju Kebenaran Hakiki.
Jika masing-masing agama terbuka untuk melihat pancaran kebenaran Yang Absolut
dalam agama lain, sesungguhnya mereka telah memperluas cakrawala pandang bagi
Kebenaran Tertinggi itu sendiri. Bukan itu saja, tetapi wawasan kebenaran untuk menuju
Kebenaran Hakiki tersebut juga makin diperkaya. Terbuka untuk menerima kebenaran
agama lain tidak berarti tidak meyakini kebenaran agamanya sendiri. Sebaliknya,
keyakinan terhadap kebenaran agama sendiri justru makin diperkukuh dan diperkaya oleh
kebenaran agama lain. Atau dengan kata lain, meyakini kebenaran dalam agamanya
sendiri berarti pula mengakui hak orang lain untuk meyakini kebenaran dalam agamanya.
Jika kebenaran itu memang bersumber dari Yang Absolut, yang mencerminkan nilai-nilai
esensial Kebenaran Hakiki, maka kita tidak mungkin menutup diri terhadapnya dan
dengan prasangka buruk menilai agama lain sesat. Sikap eksklusif dan arogan secara
teologis justru akan memenjarakan para penganut agama dalam kekerdilan wawasan,
yang pada gilirannya akan meminggirkan (memarjinalkan) diri sendiri dari peziarahan
bersama umat manusia dalam mencari dan mendekatkan diri kepada Kebenaran Hakiki.
Dengan keterbukaan melihat dan menerima pancaran Kebenaran Hakiki yang kita
temukan dalam agama lain, kita akan makin sadar bahwa semua umat manusia, semua
agama, sedang berada dalam perjalanan bersama untuk menggapai Sang Kebenaran
Hakiki yang menghendaki kesempurnaan hidup umat manusia.

4.4. Satu Tuhan, banyak nama

Pengembangan epistemologi (epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari


pemikiran tentang hakikat kebenaran berdasar pengetahuan) filsafat perennial didasarkan
pada kepercayaan, pengetahuan dan kecintaan terhadap Tuhan. Bertolak dari komitmen
imani, pemikiran ini berusaha menjawab sapaan kasih Tuhan melalui tahapan praksis
untuk melayani sesama manusia. Pertanyaan yang timbul: mampukah manusia mengenal
Tuhan dengan benar? Mampukah manusia menyembah Tuhan terbebas dari ‘konsep
tentang Tuhan’ yang dibangun dalam benaknya sendiri? Apakah banyaknya nama Tuhan
menunjukkan bahwa secara ontologis memang ada banyak Tuhan?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Armstrong berpendapat bahwa
pemikiran monoteisme justru muncul lebih dulu daripada politeisme. Agama-agama
semitis yang mengajarkan monoteisme bukanlah agama baru, melainkan mempertegas
dan memperjelas paham yang pernah tumbuh, tetapi karena berbagai faktor menjadi
samar-samar. Dalam sejarah manusia menyebut Tuhan Yang Esa dan Mutlak itu dengan
berbagai nama dan istilah, namun secara substansial semuanya menunjuk kepada Zat
yang sama. Tuhan Yang Mutlak itulah yang dijadikan objek penyembahan karena fungsi
dan posisi-Nya yang diyakini umat manusia sebagai Pencipta dan Penguasa alam semesta.
Karena Tuhan Mahamutlak, maka terdapat rentang ‘jarak’ yang amat jauh dari manusia,
namun sekaligus ‘dekat’ dengan manusia. Sikap manusia terhadap Tuhan bersifat
pradoksal. Pada satu sisi, Tuhan diyakini sebagai yang amat jauh, tidak terjangkau
(transenden), namun pada sisi lain, Ia berada bersama, bahkan di dalam diri manusia.
Kehadiran Sang Mutlak tersebut ditangkap oleh manusia melalui simbol-simbol yang

33
disakralkan sehingga muncul bentuk-bentuk tuhan yang plural. Tuhan yang tidak
terjangkau itu juga selalu menjadi teka-teki bagi para pemikir di sepanjang zaman,
sehingga mendorong mereka untuk melakukan spekulasi intelektual untuk menyusun
argumentasi tentang Tuhan. Baru dengan datangnya nabi-nabi seperti Musa, Yesus dan
Muhammad, sosok Tuhan menjadi lebih jelas, menjadi lebih personal ketimbang Tuhan
yang diperkenalkan oleh para pemikir sebelumnya. 50
Tuhan Yang Satu itu dikenal dengan banyak nama. Apakah nama identik dengan yang
diberi nama? Apakah nama sekadar penunjuk bagi yang diberi nama? Sejauh mana Tuhan
yang Mutlak itu dapat dipahami oleh manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini menyadarkan
kita bahwa sejauh-jauh bahasa manusia berusaha menjelaskan tentang Tuhan,
sebenarnya tetap terdapat ‘jarak’ antara kemampuan kognitif manusia untuk
membayangkan Tuhan dengan hakikat Tuhan yang ‘tak terjangkau’ oleh pemikiran
manusia. Pada hakikatnya, setiap agama mengandung unsur ‘percaya’ atau ‘iman’. Secara
implisit berarti dalam sikap iman terkandung pengakuan bahwa objek yang diimani berada
di luar jangkauan kognitif manusia. Sekalipun demikian, agama tidak menolak
kemampuan penalaran manusia, bahkan agama tidak akan berkembang tanpa penalaran
kritis manusia.
Pergumulan tentang nama Tuhan merupakan salah satu persoalan yang dibicarakan dalam
semiotika (suatu ilmu yang mempelajari tentang tanda). Kata semeion dalam bahasa
Yunani berarti ‘tanda.’ Dunia manusia adalah dunia ‘tanda’. Kita berkomunikasi dengan
tanda-tanda. Tanda lisan yang disebut bahasa adalah tanda yang paling rumit dan
kompleks yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Charles Sanders Pierce
membedakan tanda dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang
memiliki kemiripan dengan yang ditandakan, misalnya patung dan lukisan. Indeks adalah
tanda yang memiliki kedekatan eksistensi dengan sesuatu yang diacunya, misalnya
rambu-rambu lalu lintas. Simbol adalah tanda abstrak yang disepakati melalui proses yang
amat panjang dan merujuk pada objek tertentu, misalnya: bendera dan bahasa.
Orang menyebut Tuhan dengan berbagai nama, Tuhan, Allah, God, dan lain-lainnya.
Semua sebutan itu tetap bersifat simbolik. Kita harus membedakan antara ‘nama’ dengan
‘yang diberi nama’, antara ‘predikat’ dengan ‘substansi.’ Paul Tillich mengatakan bahwa
“God is symbol of God.” Dalam Al-Qur’an Tuhan dikenal sebagai ‘Allah,’ yang mengacu
kepada kemutlakan-Nya. Allah adalah keberadaan yang Mahagaib dan Mahaakbar, yang
tak dapat dideskripsikan oleh penalaran manusia. Kata ‘Allah’ memang sudah dikenal jauh
sebelum lahirnya Islam. Namun pengertian ‘Allah’ pra-Islam berbeda dengan pengertian
Islam. Allah pra-Islam adalah salah satu dewa tertinggi yang mengairi bumi dan memberi
kesuburan bagi pertanian dan peternakan. Sedangkan Allah dalam Islam adalah Tuhan
Yang Mahaesa, tempat berlindung segala yang ada.
Kalaupun Yang Mahakuasa itu ‘diberi’ nama, maka kita harus menyadari bahwa
bagaimanapun nama itu adalah bahasa antrophomorf, yang tidak memadai untuk
membatasi keberadaan-Nya. Nama bagi Yang Mahakuasa berbeda dengan nama yang
dilekatkan kepada manusia atau makhluk lainnya. Sebab bagi manusia atau makhluk
lainnya, nama sekaligus akan menjadi definisi yang membatasi pemiliknya.
Agama Buddha paling konsisten untuk tidak memberi predikat pada Tuhan secara positif.
Sekalipun tidak menyebut Tuhan secara eksplisit, tidak berarti bahwa agama Buddha tidak
mengakui adanya Tuhan, namun justru menunjukkan kemutlakan Tuhan sebagai yang
tidak dapat dideskripsikan dan dibatasi oleh nama. Penamaan manusia atas Yang
Mahakuasa itu tidak terlepas dari pengalaman spiritual akan keterlibatan Yang
Mahamutlak dalam sejarah manusia. Hal ini memungkinkan Yang Satu itu disebut dengan
nama yang berbeda-beda.

5. INTERAKSI AGAMA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA

50Karen Armstrong, A History of God, The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (New York: Alfred A. Knopf,
1993), hlm. 3.

34
5.1. Hubungan Agama dan kebudayaan

Kebudayaan dan agama merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan
sebagai suatu sistem peradaban masyarakat dibangun secara sadar demi kesejahteraan
kehidupan masyarakat itu. Sedangkan agama merupakan bangunan nilai spiritual yang
mengandung dimensi dan makna supranatural, yang dituangkan dalam etika dan moral
kehidupan serta tindakan ritual. Agama ada dan berkembang dalam sebuah kebudayaan
manusia, sehingga harus selalu tampil dalam wajah yang relevan dalam kehidupan
masyarakat. Perjumpaan antara kebudayaan dan agama -dalam sejarahnya-
menampakkan wajah yang unik. Perjumpaan itu dapat menghasilkan akulturasi agama,
asimilasi atau sinkretisme. Namun dari realita perjumpaan agama-agama dengan
kebudayaan terjadi kecenderungan bahwa agama secara kontekstual mempengaruhi
(merasuki) kebudayaan. Kecenderungan tersebut dilakukan untuk kebutuhan penyebaran
agama. Dengan demikian yang terjadi adalah penaklukan agama terhadap kebudayaan,
yang juga berarti penaklukan terhadap masyarakat.
Dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia, perjumpaan kebudayaan dengan agama
menunjukkan berbagai kecenderungan. Pelacakan kita bermula dari suatu realitas bahwa
agama-agama di Indonesia yang ada sekarang ini (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan
Buddha) tidak lahir dalam diri budaya Indonesia, tetapi benar-benar datang dari luar, dan
disadari atau tidak, dibalut oleh budaya asal yang melekat padanya. Harus diakui pula
bahwa sebelum agama-agama tersebut ikut mempengaruhi pembentukan budaya
masyarakat, telah ada suatu sistem kepercayaan asli yang dipelihara masyarakat.
Kepercayaan tersebut ditampakkan dalam ritual dan seremonial budaya setempat.
Dalam perjumpaan antara agama Buddha dan Hindu yang telah cukup lama datang dan
mempengaruhi kebudayaan masyarakat Indonesia, kita melihat terjadinya proses kultural
yang bersifat transformatif. Sikap toleran masyarakat dan agama itu sendiri dapat saling
menyerap, sehingga yang terjadi adalah inkulturasi agama tetapi sekaligus juga
religiusiasi (dan spiritualisasi) kebudayaan. Sikap tersebut begitu kuat karena sifat agama
yang mistis dan individualistik. Wajah konkret dari kebudayaan masyarakat seperti itu
adalah lahirnya agama ‘Siwa Budha’, suatu bentuk sinkretisme dari realitas agama. Dalam
kehidupan masyarakat, kebudayaan itu diwujudkan dalam semboyan “bhineka tunggal
ika, tan hana dharma mangrwa” yang dirumuskan oleh Mpu Tantular dalam Kitab
Sotasoma. Semboyan itu berarti: “(biarpun) berbeda-beda, tetapi tetap satu, (karena)
tidak ada kebenaran yang mendua”. Di situ tidak ada klaim kebenaran atas suatu agama
dan yang terjadi adalah pengakuan bahwa kebenaran itu hanya satu dan itu harus diakui
oleh agama-agama. Hal ini telah dimeteraikan dalam lambang Garuda Pancasila dan
semboyan yang dilestarikan sebagai sesanti lambang Lemhanas.
Hubungan antaragama dan hubungan antara agama dengan kebudayaan yang bersifat
paradoks terjadi ketika agama tampil dalam wajahnya yang dogmatis dan misionarisitis.
Pada saat seperti itu terjadi klaim kebenaran pada agama, sehingga tidak ada toleransi
terhadap kepercayaan lain. Penaklukan atas suatu masyarakat sekaligus berarti
penaklukan terhadap kebudayaannya. Di berbagai wilayah di Indonesia, kedatangan suatu
agama berbenturan secara keras dengan kebudayaan setempat. Dalam sejarah Indonesia,
terjadinya penaklukan agama terhadap kebudayaan (dan agama) masyarakat
menyebabkan tersingkirnya kelompok-kelompok masyarakat dari pusat kebudayaan yang
dikuasai oleh agama tersebut. Dalam sejarah penaklukan Demak atas Majapahit,
misalnya, yang terjadi bukan saja penaklukan politis, melainkan juga penaklukan agama.
Perubahan mencolok secara sosiologis dapat dilihat jelas dalam perbedaan kultur
masyarakat pesisir dengan pedalaman. Dalam kultur pesisir, agama tersebut
menampakkan egalitarianisme di kalangan masyarakat; sedangkan dalam masyarakat
pedalaman, kultur feodal lebih berjalan lestari. Ketika agama menjadi agama resmi suatu
kerajaan, maka ia pun merupakan simbol dari kebudayaan masyarakat itu (cuieus regio,
eius religio, siapa pemilik wilayah, agamanyalah yang berlaku di sana). Dalam masyarakat
pedalaman, kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan kerajaan. Kebudayaan
yang sudah ratusan tahun menyerap berbagai budaya luar (Hinduisme/ Buddhisme) ini
tidak saja semakin kuat, tetapi juga toleran.
Dalam sejarah pembentukan negara Indonesia, berbagai konsensus telah dilakukan oleh
para pendiri negara. Sejak gagasan dan cita-cita untuk mendirikan negara yang merdeka

35
dan berdaulat, para pemimpin bangsa telah meletakkan dasar-dasar negara modern.
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 mengungkapkan cita-cita tersebut, yaitu terbentuknya
sebuah negara bangsa (nation state), bukan negara kerajaan atau kesultanan, melainkan
republik; bukan negara feodalistik, melainkan kerakyatan; bukan negara federal,
melainkan kesatuan. Di dalam cita-cita itu terkandung pemahaman bahwa semua warga
negara memiliki kedudukan yang sama, tidak ada seorang atau sekelompok masyarakat
pun memiliki kedudukan istimewa (privilese), baik karena kedudukan atau karena jatidiri
yang melekat pada dirinya. Di dalam negara yang dicita-citakan itu, semua kelompok,
agama, suku dan golongan diakui keberadaannya tanpa perbedaan.
Cita-cita negara modern tersebut direalisasi dalam sebuah dasar negara: Pancasila dan
dirumuskan secara konkret dalam hukum dasar negara (UUD 1945). Kendati dalam
perumusan terjadi ketegangan antara kelompok-kelompok religius dan kultural, namun
jalan keluar dari ketegangan itu menjadi dasar yang sangat kokoh dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Itulah konsensus nasional terbesar dalam sejarah Indonesia,
bahwa bangsa Indonesia disepakati sebagai negara modern yang didasarkan pada
kesamaan hak, dan kedaulatan ada di tangan rakyat.

5.2. Perjumpaan agama dengan identitas kultur lokal

Doktrin suatu agama, ideologi, mitos-mitos kebudayaan atau pun tradisi yang diwariskan
turun-temurun dalam suatu masyarakat, suatu ketika akan mengental menjadi sebuah
kenormalan yang diterima demikian adanya oleh setiap individu yang berada di dalamnya.
Namun manakala terjadi perjumpaan dengan pengalaman aktual yang memuat simbol-
simbol dengan makna berbeda, tentu akan timbul reaksi dan interaksi. Ada berbagai
alternatif bentuk interaksi yang terjadi. Mungkin keduanya tetap saling asing, namun
mungkin pula saling mempengaruhi dalam penggunaan simbol-simbolnya; dapat terjadi
saling meminjam terminologi tanpa disertai kedalaman maknawinya, atau mungkin pula
terjadi pemaknaan baru terhadap realitas yang dialami. Tetapi alternatif mana pun yang
terjadi, semua tidak mungkin terlepas dari keterkaitan dengan kesejarahan masing-
masing.
Perjumpaan antara agama dengan kebudayaan berikut implikasinya dalam totalitas
kehidupan merupakan masalah aktual yang tak ada habis-habisnya dipergumulkan oleh
setiap umat beragama. Karenanya, refleksi teologi kontekstual merupakan tuntutan serius
yang tidak dapat diabaikan. Namun sayang sekali, biasanya masuknya agama ke dalam
suatu jalinan kultural sekaligus disertai dengan peniadaan kultur lokal; atau paling tidak,
tidak secara serius menaruh perhatian terhadapnya. Kesalahan sejarah tersebut cukup
memberikan kontribusi bagi terjadinya krisis refleksi teologik untuk memaknai interaksi
antara iman dengan kebudayaan serta perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.
Bahkan tidak jarang, segala hal yang berbau kebudayaan lokal dipandang kotor dan
berdosa. Namun pada pihak lain, interaksi sosiologis-kultural antara nilai-nilai agama
dengan alam berpikir lokal merupakan kenyataan faktual yang tidak terhindarkan. Di
sinilah sering terdapat ambivalensi sikap yang membingungkan, bahkan menempatkan
umat beragama pada konsepsi-konsepsi iman yang mengambang.
Sebagai contoh, kita ambil interaksi antara agama-agama pendatang dengan kebudayaan
Jawa. Salah satu bentuk manifestasi agamawi yang paling menonjol dalam kehidupan
masyarakat Jawa adalah dipraktikkannya berbagai macam upacara slametan (selamatan).
Bahkan menurut Clifford Geertz, slametan merupakan pusat dari seluruh sistem
keagamaan orang Jawa.51 Slametan ini dilakukan untuk memenuhi semua hajat,
sehubungan dengan kejadian yang ingin diperingati, ditebus dan dikuduskan; misalnya:
kelahiran, perkawinan, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membangun
rumah, sakit, khitanan, memangku jabatan, dsb. Intensitas setiap unsurnya berbeda-beda
untuk setiap kepentingan, namun struktur upacara yang mendasarinya tetap sama. Di
dalamnya tentu tersedia sesaji (sajen), dupa, pembacaan doa Islam (akibat pengaruh
agama Islam pada struktur kepercayaan asli), serta sambutan dari tuan rumah
(penyampaian ujub) dengan menggunakan bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi,
tatakrama sopan, ringkas dan tidak dramatik.52 Untuk kepentingan-kepentingan yang

51 Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 13.
52 Ibid, hlm. 14.

36
terencana, slametan dilaksanakan pada hari baik sesuai dengan petunjuk seseorang yang
dianggap memiliki kawaskithan (kebijaksanaan dan ketajaman intuisi). Sedangkan untuk
peristiwa-peristiwa mendadak, seperti kelahiran dan kematian, slametan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan hari kejadiannya. Ternyata bahwa upacara ini sekaligus
berfungsi sebagai pesta komunal yang memelihara individu agar tidak terpisahkan dari
komunitas masyarakatnya. Namun tujuan pokok dari upacara ini adalah untuk
menghindarkan diri dari segala macam bencana.
Praktik-praktik agamawi seperti kendhurèn (kenduri), labuhan (persembahan untuk
penguasa laut), ruwatan (penghapusan kutuk), jamasan (pemandian benda-benda pusaka
yang dianggap keramat), nglakoni (berpantang atau tindakan-tindakan asketis) dan
upacara-upacara tradisional lainnya yang amat beragam dan cukup banyak jumlahnya,53
tidak dapat dilepaskan dari slametan sebagai pusatnya. Bertolak dari kenyataan itu dapat
dikatakan bahwa semua bentuk upacara ritual yang masih berlangsung di dalam
kehidupan masyarakat Jawa mempunyai pemaknaan dalam hubungannya dengan
keselamatan, yang meliputi: kesejahteraan, kelestarian dan kebahagiaan hidup manusia.
Praktik-praktik semacam itu tidak hanya dilaksanakan oleh para penganut kepercayaan
asli, melainkan juga oleh mereka yang telah memeluk agama-agama pendatang.
Kenyataan ini tampak terutama di daerah-daerah pedesaan. Sekalipun secara formal
mereka telah memeluk salah satu agama yang disahkan pemerintah (yang sebenarnya
pemerintah tidak mempunyai hak untuk menganggap sah atau tidak suatu agama),
namun esensi kepercayaannya belum banyak kena pengaruh agama-agama atau
kebudayaan asing itu.
Kenyataan-kenyataan umum di atas menimbulkan berbagai persoalan bagi keyakinan
monoteistis (pemeluk agama-agama pendatang yang monoteistis), antara lain:
1. Bagaimanakah sikap pemeluk monoteisme terhadap adat? Misalnya: bolehkah
pemeluk monoteisme menjalankan adat? Masalah semacam ini sulit untuk dipecahkan,
karena pada satu pihak, setiap manusia hidup di tengah dan merupakan bagian dari
masyarakatnya, sehingga tidak mudah untuk meninggalkan begitu saja apa yang terjadi
dalam masyarakat. Pada pihak lain, ajaran monoteisme yang dianut memberikan garis-
garis iman tertentu. Sejalankah praktik-praktik agamawi masyarakat dengan imannya?
2. Banyak pula penganut monoteisme masih setia melakukan upacara-upacara adat.
Hal itu menunjukkan keterikatannya pada kepercayaan lama; paling tidak, memelihara
tradisi leluhur. Dapat saja terjadi, iman monoteis yang dianut hanya menjadi ‘pakaian
luar’, sedangkan di dalamnya tetap mengalir kepercayaan suku. Memang kadang-kadang
bentuknya telah dimodifikasi. Namun masih menjadi pertanyaan, sampai di manakah
esensi iman dari agama monoteisme yang dianut dapat dihayati?
3. Sering terjadi bahwa cara hidup dan tata-nilai yang dianut oleh pemeluk
monoteisme tidak memiliki perbedaan signifikan dengan cara hidup serta tata-nilai
masyarakat tradisional asalnya. Bolehkah dikatakan bahwa yang bersangkutan tidak
beragama secara benar?

Terhadap persoalan-persoalan di atas kita tidak dapat memberikan vonis secara gegabah.
Pada satu pihak, penilaian terhadap hasil interaksi antara kepercayaan monoteisme
dengan kebudayaan memerlukan kecermatan analisis serta keterbukaan sikap. Kekakuan
doktriner akan menjadi kendala dalam memahami permasalahan secara objektif.
Sebaliknya, dengan keterbukaan sikap, kita akan menemukan nilai-nilai kebenaran yang
bersifat universal dan terfokus pada penghargaan atas kemanusiaan manusia sebagai
makhluk Tuhan. Pada pihak lain, keterbukaan tersebut tidak berarti sinkretisme. Setiap
agama memiliki nilai keimanan yang bersifat fundamental. Nilai-nilai tersebut memiliki
kemutlakan bagi pemeluknya. Dalam hal ini perlu pembedaan tajam antara nilai-nilai
esensial dengan wahana untuk merealisasikannya. Kebudayaan semestinya ditempatkan
sebagai wahana perealisasian nilai-nilai esensial tadi, sehingga inti keagamaan tidak akan
terasing dari konteks masyarakatnya.

5.3. Agama dan negara

53 Khusus untuk DIY saja, di samping slametan sehubungan dengan hajat tertentu, terdapat sekitar 17 macam upacara
tradisional. (Lihat, Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, hasil penelitian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud, Yogyakarta 1983/1984).

37
Dalam sejarah dunia, rivalitas dan kolusi antara agama dengan negara merupakan sebuah
realita panjang. Keduanya destruktif, ingin meniadakan dan memperalat yang lain.
Ketika agama ditaklukkan di bawah kekuasaan politik dan dijadikan sebagai agama
negara, maka absolutisme negara (totaliter) menjadi semakin konkret. Hal itu tampak
dalam wajah “agama negara”. Tetapi ketika agama menjadi unggul dan negara atau
kekuasaan politik ditaklukkan di bawah agama, maka ia muncul dalam wajah teokrasi
(menimbulkan negara-negara agama). Sedangkan pemisahan antara agama dan negara
telah memunculkan negara sekuler, karena masing-masing berjalan menurut jalannya
sendiri.
Bagaimana di Indonesia? Ketika negara ini diproklamasikan dengan Pancasila sebagai
dasar negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya, kesepakatan yang
dilahirkan adalah bahwa negara Indonesia adalah negara kebangsaan dengan dasar
Pancasila. Di dalamnya lembaga keagamaan bukanlah lembaga politik, melainkan
lembaga spiritual dan merupakan kekuatan moral. Negara menjamin penduduknya untuk
beribadat menurut agama dan keyakinannya. Namun dalam perkembangannya, negara
terjebak ikut mengurusi masalah-masalah kehidupan keagamaan. Keterlibatan negara
dalam urusan agama menjadi semakin dalam dan intens ketika negara mulai menentukan
kesahihan suatu agama (mana agama-agama yang diakui dan mana agama-agama yang
tidak diakui). Dalam hal ini arogansi kekuasaan terhadap agama menjadi konkret. Negara
telah memasuki wilayah yang seharusnya memiliki otonomi. Hal itu terjadi bukan semata-
mata oleh keinginan penguasa negara, melainkan juga oleh keinginan para pemimpin
agama-agama yang ada yang secara sengaja memberikan kedaulatannya kepada negara.
Lebih lanjut, perkembangan menjadi semakin rumit ketika agama dengan sadar, dengan
bantuan negara memasuki wilayah yang sangat pribadi, misalnya lembaga perkawinan.
Pembatasan pengakuan negara pada agama-agama tertentu telah menyebabkan
masyarakat yang menganut agama-agama tertentu tidak dapat diakui keberadaannya dan
perkawinan yang didasarkan pada kepercayaan tersebut dianggap tidak sah. Pengakuan
yang bersifat legalistik-formalistik tersebut telah mendorong agama-agama mengingkari
universalitas kemanusiaan, di pihak lain memberi kesempatan pada suatu agama atau
agama-agama tertentu menjadi hegemonis. Dalam hubungan ini, agama-agama diminta
(dipaksa) memberikan legitimasi terhadap kebijakan negara. Tanpa itu agama-agama
akan menghadapi kesulitan untuk kelangsungan hidupnya. Agama-agama menjadi
terpasung, bisu, tidak mampu melontarkan kritik secara bebas, sekalipun hal itu
bersentuhan dengan masalah-masalah kemanusiaan yang hakiki. Dalam keadaan
demikian agama-agama dijadikan faktor pendukung kekuasaan, dan agar kekuatan moral
yang ada padanya runtuh, agama-agama diadu domba satu sama lain.
Jika agama-agama hanya dijadikan legitimasi kekuasaan, maka sesungguhnya para
penguasa tidak memahami secara benar hakikat agama itu sendiri. Ketika kekerasan
menjadi bagian dari kekuasaan dan kekuasaan membutuhkan dukungan optimal dari
agama-agama, maka untuk menyatu dengan kekuasaan agama-agama itu pun tampil
dengan wajah kekerasan. Sesungguhnya agama-agama perlu mempertanyakan hakikat
dirinya, wajah agamakah segala bentuk kekerasan itu? Ataukah agama telah gagal
mentransformasikan diri bagi kepentingan kemanusiaan, sehingga lebih angker jika
mampu tampil dalam wajah kekerasan?

5.4. Budaya dan agama menyongsong era baru

Sejak tahun-tahun terakhir abad XX hingga dekade pertama abad XXI, umat manusia
dilanda oleh berbagai krisis kemanusiaan yang demikian parah. Perang dan konflik di
berbagai aras semakin marak, perpecahan dan penindasan terjadi di mana-mana, tingkat
maupun skala keberingasan sosial juga semakin tinggi. Di Indonesia, kenyataan itu sering
dinilai ‘masih wajar’, ‘masih terkendali’, ‘hanya perbuatan oknum’ dan ‘merupakan
kenyataan rutin yang terjadi dalam kehidupan.’ Sudah sedemikian tumpulkah nurani
keagamaan kita? Tidak mengada-ada jika dikatakan bahwa dewasa ini dalam kehidupan

38
masyarakat telah terjadi pengikisan kepekaan terhadap nilai kemanusiaan. Apakah
sebabnya?
Seharusnya, kebudayaan dan agama dikembangkan di dunia nyata, bukan di luar
dinamika masyarakat. Jika tidak demikian, ia akan cepat goyah dan diombang-ambingkan
oleh nilai-nilai dominan yang berkembang dalam masyarakat (misalnya: politik, ekonomi,
ideologi, dsb). Kebudayaan dan agama yang rapuh sulit berperan mengendalikan, apa
lagi mengoreksi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Sedangkan seharusnya,
dalam posisi yang netral dan penghayatan yang jernih, kebudayaan dan agama mampu
mencegah kecenderungan masyarakat untuk berpikir dan bertindak pragmatis, dengan
mengabaikan nilai-nilai etik dan moral. Karena itu masyarakat dan lembaga-lembaga
agama perlu memiliki grand design mengenai pendidikan kebudayaan dan agama, yang
responsif dan proaktif terhadap dinamika kehidupan.
Dalam 40-an tahun terakhir, yang kita temukan dalam masyarakat kita bukanlah grand
design itu, melainkan perekayasaan agar masyarakat tidak berdaya, kelu dan takut untuk
berpikir dan berperasaan lain. Apa yang digariskan oleh pemerintah dan penguasa
(termasuk para pimpinan agama) harus diterima sebagai sesuatu yang sakral, benar dan
terpuji. Pendidikan budaya dan agama selama ini hanya bersifat simbolik, formalistik dan
hanya di permukaan saja. Akibatnya kebudayaan dan keagamaan menjadi mandul, tidak
bermakna, tidak transformatif, kurang realistik, kehilangan kekritisan dan tidak memiliki
visi ke depan bagi kehidupan ini.
Menghadapi masa-masa krisis lembaga keagamaan dan para pimpinan umat kurang
memiliki sense of crisis dan sense of urgency. Sedangkan seharusnya, di tengah-tengah
berbagai kemelut masyarakat agama-agama merasa paling bertanggung jawab terhadap
berbagai krisis yang terjadi. Hal ini menandakan bahwa pendidikan agama yang
dibanggakan selama ini hanyalah bersifat simbolik dan tidak menyentuh sanubari, alam
pikiran serta perasaan yang mewujud dalam sikap dan perilaku. Kemandulan ini
disebabkan oleh pelaksanaan pendidikan agama yang tidak transformatif, nilai-nilai agama
tidak didialektikkan dengan realitas secara positif, kreatif dan kritis. Keberagamaan
tampak maju pesat, namun baru pada tahap ritualistik dan simbolik, belum berhasil
memajukan peradaban manusia.
Tuntutan untuk memberlakukan nilai-nilai substansial agama untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera, demokratis, menghargai hak-hak asasi dan bebas dari segala
bentuk diskriminasi, merupakan sesuatu yang urgen. Maraknya simbol-simbol keagamaan
tanpa esensi dan tanpa penghayatan secara eksistensial hanya menimbulkan diabolisme,
pendewaan ritual dan seremonialisme. Akibatnya, kegiatan peribadatan tampak saleh dan
kental, namun perilaku yang dilaksanakan buruk. Dalam kondisi semacam itu agama-
agama sulit berperan sebaga sumber landasan moral dan etika bagi pembangunan
bangsa.
Formalisme dan ritualisme keagamaan lebih mementingkan bentuk daripada isi, sehingga
lembaga-lembaga agama sulit membebaskan manusia dari segala keterbelengguan
seperti: kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Sudah tiba waktunya,
keberagamaan yang bersifat individualistik direorientasikan kepada kesalehan sosial,
dibebaskan dari rivalitas antaragama dan kolusi dengan kekuasaan.
Memasuki milenium III, tugas dan tanggung jawab agama-agama semakin berat.
Perkembangan masyarakat mengindikasikan kecenderungan materialistik-sekularistik,
individualistik dan konsumtifistik. Orang dapat dengan mudah menggeser posisi Tuhan
dalam hidupnya dengan harta benda atau kebutuhan-kebutuhan lain. Perubahan-
perubahan mendasar di bidang tata-nilai dan etika kehidupan terjadi dengan cepat. Hal
ini ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi yang tidak lagi
memberi kemungkinan bagi suatu masyarakat untuk mengisolasi diri. Kalaupun usaha
isolasi tersebut dipaksakan, toh tidak lagi bijaksana dan masyarakat justru akan
terpinggirkan dari arus kehidupan global.
Menghadapi tantangan-tantangan yang amat kompleks tersebut, secara bersama-sama di
antara umat beragama perlu dikembangkan:
a. solidaritas dengan kesediaan membongkar tembok-tembok eksklusivisme.
b. visi kemanusiaan bersama dan etika global sebagai suatu paradigma baru.
c. keterbukaan untuk memelihara otonomi dan otoritas agama dari campurtangan
negara yang terlalu jauh.

39
d. usaha untuk menjaga otentisitas agama agar tidak terjebak dalam legalisme dan
ritualisme peribadatan, sebaliknya mewujud dalam kegiatan nyata sehari-hari.
e. kerukunan hidup beragama secara otentik dan fungsional dilandasi kesadaran
senasib sepenanggungan untuk bersama-sama membangun kemanusiaan dalam arti
sebenarnya.
f. teologi kontekstual dalam pluralitas masyarakat, secara jujur, objektif dan realistik.
g. nation and character building dengan memberikan ruang seluas-luasnya kepada
otonomi budaya dan aspirasi daerah dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara
yang memperhatikan keseimbangan antara ketunggal-ikaan dengan kebhinekaan.
h. keterbukaan sikap terhadap perkembangan teknologi dengan tetap menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta keluhuran hidup.
i. pelaksanaan HAM, pengembalian kedaulatan rakyat serta penegakan keadilan
melalui supremasi hukum.

6. HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA

6.1. Toleransi dan intoleransi

Dalam perjalanan sejarah dapat dilihat bahwa manakala agama berkolusi dengan
kepentingan politik, maka ia akan cenderung tampil dalam wajah kekerasan. Klaim
kebenaran yang bersifat eksklusif membuat agama jadi intoleran. Legitimasi atas klaim
tersebut sering diwujudkan dalam kekuasaan. Jika negara berusaha mengakomodasi
seluruh kepercayaan atau keyakinan yang dianut oleh penduduk, maka hal itu
diinterpretasikan sebagai ‘kekalahan’, bukan saja kekalahan politik, melainkan juga
kekalahan agama. Pemahaman seperti ini muncul karena agama tidak saja dipahami
sebagai pranata etis dan moral, melainkan juga sebagai aturan ketatanegaraan. Hal
seperti ini telah menjadi beban sejarah yang mewarnai, baik hubungan antara agama
dengan negara, maupun hubungan antaragama dan antarkepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Beban politik yang mewarnai hubungan antarumat beragama di Indonesia menghasilkan
kerukunan semu yang dipaksakan melalui berbagai bentuk rekayasa. Sesungguhnya
kerukunan sejati muncul bukan karena diatur, melainkan karena keterikatan pada
kesamaan penghayatan terhadap harkat, martabat dan nilai kemanusiaan. Tri kerukunan
umat beragama yang ditetapkan pemerintah tidak bermaksud menciptakan kerukunan
yang sesungguhnya, melainkan hanya memberi kesahihan pada kekuasaan. Berbagai
slogan diciptakan untuk memberi gambaran tentang hubungan antaragama yang
harmonis, selaras dan serasi, kendati dalam kenyataan sering terjadi berbagai bentuk
diskriminasi dan ketegangan. Berbagai wadah kerukunan antarumat beragama diciptakan
sekadar sebagai gambaran semu bahwa agama-agama yang ada dapat ‘duduk sama
rendah berdiri sama tinggi’. Berbagai peraturan perundangan untuk mengatur kehidupan
bersama antaragama justru memicu terjadinya pengkotak-kotakan masyarakat menurut
agama atau keyakinannya. Hal seperti ini lebih jauh telah mendorong agama-agama
tampil secara munafik, tidak otentik dan tidak memiliki otoritas atas dirinya sendiri.
Berbagai keputusan bersama disepakati, namun masing-masing tetap berjalan sendiri-
sendiri dengan membangun prasangka-prasangka menurut versi masing-masing.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: pada saat terjadi kebangkitan agama-agama
dengan semarak ritualnya, pada saat itu pula agama-agama gagal meningkatkan kualitas
manusia. Sebaliknya, konflik sosial justru makin meningkat intensitasnya, masyarakat
semakin pragmatis, nilai-nilai etika dan moralitas semakin longgar. Yang menjadi
persoalan adalah: mengapa agama-agama tidak berhasil memberi arti bagi kepentingan
kemanusiaan dan kebersamaan? Upacara-upacara keagamaan dilakukan secara formal
namun sekaligus mereduksi hakikat agama itu sendiri. Ritualitas keagamaan hanya
digunakan untuk melegitimasi spiritualitas semu para pemimpin agama. Simbol-simbol
keagamaan yang makin marak digunakan (termasuk pengutamaan jumlah umat) ternyata
tidak menjamin sentuhan keagamaan yang terdalam pada kemanusiaan manusia. Manusia
cenderung ditempatkan sebagai ‘angka’ dalam menambah jumlah pengikut, dan bukan
sebagai komponen penunjang bagi meningkatnya kualitas kemanusiaan.
Mestinya, umat beragama dibiarkan tumbuh secara alami dalam proses kerukunan sejati
dengan saling menghargai. Kepada mereka disadarkan peranan agama sebagai suatu

40
kekuatan etis dan moral yang mampu membawa manusia ke arah kehidupan bersama
sebagai umat Tuhan dalam suatu wilayah bersama dan berorientasi pada kepentingan dan
kesejahteraan bersama. Dialog dan kerjasama secara terbuka, jujur dan saling
menghargai amat penting maknanya. Hal itu akan dapat terjadi jika agama-agama
berhasil mengembalikan otoritasnya sebagai agama, dan bukan menjadi bagian
subordinatif dari kekuasaan.

6.2. Konflik antarumat beragama dan sumbernya

Konflik dalam arti luas adalah kompetisi yang berkesadaran. Para kompetitor yang terlibat
dengan sadar merupakan oponen satu terhadap yang lain, bahkan dalam tahap tertentu
dapat saling bermusuhan. Konflik sosial dapat terjadi jika masing-masing kelompok
berusaha (bahkan memaksa) menerapkan nilai-nilai eksklusif secara sadar. Dalam
tingkat-tingkat tertentu konflik dapat terjadi dalam bentuk perang mulut, perkelahian,
huru-hara, bahkan sampai pada peperangan antarbangsa. Secara moral dan religius,
konflik-konflik destruktif seperti perusakan, penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan, dan
segala tindakan yang merugikan dan tidak menghargai martabat pihak lain, apa pun
alasannya, tidak dapat diterima. Sangat ironis jika dalam kenyataan, konflik-konflik
destruktif tersebut sering dilakukan atas nama agama.
Campur-aduk antara agama dan politik dapat terjadi jika terjadi intervensi politik terhadap
agama, atau sebaliknya, intervensi agama terhadap politik. Tumpang-tindih ini sangat
mungkin terjadi karena pelaku politik dan agama adalah manusia-manusia yang sama,
terutama ketika mereka terlibat dalam perebutan kekuasaan. Dalam rangka melegitimasi
kekuasaan dan wewenang, agama pun dapat diperalat sebagai legitimator. Masalah
kekuasaan dan legitimasinya sudah menjadi pergumulan manusia sejak zaman Yunani
kuno. Pada zaman Yunani kuno, masyarakat memiliki keyakinan bahwa kekuasaan dan
legitimasinya berasal dari kuasa transenden, dari kuasa yang mengatasi manusia. Karena
itu timbul gagasan tentang Raja Dewa (Divine Kingship) yang bertalian erat dengan
mitologi Yunani. Hal ini diterapkan dalam kekaisaran Romawi, sehingga kaisar-kaisar
disembah sebagai dewa. Besar kemungkinan bahwa gejala seperti ini tidak hanya terjadi
di Yunani, melainkan dalam tingkat tertentu juga terjadi pada bangsa-bangsa lain, seperti
di Mesir, negara-negara Timur Tengah purba, bahkan juga bangsa-bangsa Asia. Inti
pandangan itu adalah bahwa penguasa dapat memegang kekuasaan dan memperoleh
legitimasi kedaulatan karena ketentuan dari kuasa transenden.
Sekalipun gagasan Divine Kingship mungkin sudah tidak ada lagi, namun dalam kenyataan
salah satu dari sekian banyak sumber konflik antarumat beragama adalah adanya upaya
memperoleh kekuasaan dengan jalan rekayasa politis yang melibatkan umat beragama,
struktur-struktur sosio-religius, lembaga-lembaga keagamaan dan berbagai ideologi
keagamaan. Dalam hal ini agama telah disalahgunakan demi kepentingan politik sekular
yang dicampur-aduk dengan kepentingan pribadi atau kelompok agamis. Agama yang
sewajarnya memiliki fungsi murni untuk mengungkapkan sikap-sikap, nilai-nilai dan
pandangan-pandangan hidup dalam berelasi dengan Tuhan telah disalahfungsikan
menjadi alat perjuangan untuk mencapai kekuasaan. Lebih celaka lagi, kadang-kadang
nilai-nilai luhur keagamaan telah digantikan dengan tindakan-tindakan kotor yang
dilegitimasi atas nama agama demi mencapai kepentingan politik.

6.3. Dialog dan kerjasama antarumat beragama

Prof. Dr. H.A. Mukti Ali mengemukakan bahwa dialog antarumat beragama bukan hanya
saling memberi informasi tentang agama yang dipeluk, atau memberi penjelasan tentang
persamaan dan perbedaan antara agama yang satu dengan agama lainnya. Dialog
antarumat beragama bukanlah usaha untuk menjadikan seseorang yakin terhadap agama
yang dianutnya dan menjadikan orang lain berpindah agama untuk mengikuti agama yang
dianutnya, sebab menganut suatu agama adalah pilihan bebas setiap individu berdasar
keyakinannya sendiri. Dialog juga bukan merupakan studi agama secara akademis, yang
hanya membicarakan agama secara teoretis tanpa dilaksanakan dalam perbuatan. Dialog
bukanlah usaha untuk membuat semua agama menjadi satu. Dialog antarumat beragama
adalah komunikasi agamis, pertemuan hati dan pikiran antara para penganut agama-

41
agama yang berbeda. Dialog merupakan jalan bersama menuju kebenaran, yang terjabar
bukan hanya dalam bentuk kata-kata, melainkan juga dalam bentuk tindakan konkret:
kerjasama demi kepentingan kemanusiaan. Untuk itu, dialog haruslah dilaksanakan dalam
keterbukaan, kejujuran dan kalis dari maksud yang tersembunyi.54

6.3.1. Macam-macam dialog

Prof. Mukti Ali memaparkan lima macam bentuk dialog antarumat beragama, yaitu:

1) Dialog Kehidupan, yaitu dialog antarumat beragama dalam tataran kehidupan sehari-
hari. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, individu-individu penganut bermacam-
macam agama hidup dan bekerja bersama-sama. Tanpa pembahasan formal, masing-
masing individu diperkaya oleh praktik dan nilai-nilai dari sesamanya yang beragama
lain. Perjumpaan dialogis dalam kehidupan ini dapat terjadi di mana pun, di tengah
masyarakat, di tengah lingkungan kerja, di rumah sakit, di sekolah dan dimana pun
orang berjumpa dalam kebersamaan dengan orang lain. Tanpa adanya campur tangan
pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, dialog
kehidupan sesungguhnya merupakan dialog otentik yang telah terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Otentisitas perjumpaan dialogis tersebut menjadi rusak jika ada
intervensi dari pihak lain yang memiliki tujuan atau kepentingan tertentu.
2) Dialog kerja sosial, yaitu dialog antarumat beragama dalam bentuk kerjasama sosial
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup umat manusia dan pembebasan integral
umat manusia dari segala bentuk penindasan dan ketertekanan. Dalam hal ini,
penganut bermacam-macam agama dapat bekerja bersama-sama dalam rangka
mengatasi kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dsb., sehingga harkat dan
martabat manusia dapat dihargai sebagaimana mestinya.
3) Dialog antarmonastik, yaitu dialog dalam bentuk komunikasi pengalaman agama, doa,
meditasi, dsb. Pemeluk suatu agama dapat tinggal beberapa waktu bersama dengan
pemeluk agama lain untuk menyaksikan dan memperoleh pengalaman hidup
keagamaan orang lain. Dengan demikian ia akan memahami keberagamaan orang lain,
sehingga dapat menghargai keberagamaan orang lain. Dialog antarmonastik haruslah
didasari dengan ketulusan hati untuk memahami dan mengalami kehidupan
keagamaan orang lain.
4) Dialog dalam bentuk doa bersama. Dalam dialog ini, para penganut bermacam-macam
agama berkumpul bersama untuk berdoa bersama menurut keyakinan masing-
masing, berkenaan dengan masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapi bersama.
Tentu saja, cara-cara untuk berdoa tidak harus sama, sebab masing-masing idividu
boleh berdoa dengan caranya sendiri dan berdasar keimanannya sendiri.
5) Dialog teologis, yaitu dialog berbagai masam penganut agama untuk saling tukar
informasi mengenai kepercayaan dan pokok-pokok ajaran masing-masing. Dengan
jalan ini, para peserta dialog dapat saling memahami kesamaan dan perbedaan ajaran
yang satu dengan yang lain, sehingga mereka dapat saling menghargai dan
menghormati.

6.3.2. Pentingnya dialog antarumat bergama

1) Mengembangkan sikap pluralisme atau kesadaran akan pluralitas keagamaan.

Pluralitas keagamaan di dunia ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diingkari.
Dalam menyikapi kepelbagaian agama, haruslah diingat bahwa bagaimana pun, secara
hakiki agama merupakan ekspresi keyakinan, penghayatan dan pengalaman manusia
dengan kuasa yang disembahnya. Ekspresi tersebut antara lain mencakup cara hidup, cara
penyembahan, dan asal serta tujuan manusia. Tentu saja, masing-masing agama memiliki
kekhasannya tersendiri. Namun seharusnya kekhasan tersebut tidak membawa seseorang
kepada pandangan keagamaan yang sempit, memandang rendah dan meremehkan
keagamaan orang lain. Sebaliknya, mengingat hakikat agama di atas, mestinya kita harus

54Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, “Dialog dan Kerjasama Agama-agama dalam Menanggulangi Kemiskinan”, paper disampaikan
dalam Pertemuan Agama-agama yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, Sabtu, 9
Juli 1994.

42
lebih terbuka untuk menghormati keyakinan dan ekspresi keagamaan orang lain. Di
tengah kehidupan modern yang heterogen, sudah selayaknya kita mengembangkan sikap
pluralisme dan menghargai pluralitas keagamaan. Kita tidak mungkin hidup menyendiri
atau mengisolasi diri dari realitas keragaman yng ada. Memandang rendah dan
mengabaikan pihak lain merupakan cerminan sikap kerdil. Seharusnya dengan
keterbukaan sikap menerima realitas keragaman agama, para pemeluk agama justru
berusaha untuk saling memperkaya dan memperdalam keimanan masing-masing.

2) Mengembangkan motivasi untuk berkomunikasi

Kesadaran akan realitas masyarakat yang pluralistik dalam berbagai segi, termasuk dalam
segi keagamaan, mau tidak mau mendorong orang untuk berkomunikasi satu sama lain.
Dalam situasi seperti ini, seharusnya masing-masing komunitas justru lebih menekankan
pencarian kesamaan di antara mereka dan berusaha sedapat mungkin memperkecil
perbedaan-perbedaan. Dengan mengembangkan komunikasi yang baik, paling tidak akan
tercipta saling pengertian di antara komunitas-komunitas keagamaan. Dengan
komunikasi, banyak masalah bersama dapat dipecahkan, hambatan-hambatan yang
diakibatkan oleh kesalahmengertian dan kecurigaan dapat diminimalisasi. Melalui
komunikasi, kerukunan otentik antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain
akan tercipta tahap demi tahap, sehingga perdamaian sejati akan terwujud.

3) Memupuk saling pengertian

Dengan keterbukaan sikap untuk berdialog dan berkomunikasi, kesadaran akan


kesetaraan kedudukan serta penghargaan atas martabat masing-masing komunitas akan
bertumbuh dan berkembang. Tumbuhnya saling pengertian tidak akan membawa kerugian
apa pun, justru sebaliknya, akan makin banyak hal positif yang didapat. Dengan saling
pengertian, secara bersama-sama, semua komunitas keagamaan akan menyadari
pentingnya menggapai kebenaran yang lebih tinggi, sehingga penghayatan dan
pemahaman terhadap keimanan masing-masing pun akan bertambah.

4) Meningkatkan kerjasama dalam masyarakat

Dialog otentik akan menumbuhkan hubungan persaudaraan sejati, yang pada gilirannya
akan meningkatkan kesadaran untuk bekerja sama mengatasi problem-problem
kemanusiaan seperti: kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan, memecahkan
problem-problem sosial seperti: penegakan keadilan, penanggulangan kejahatan,
pencegahan dekadensi moral, dll. Sebaliknya, tanpa dialog otentik, persaudaraan sejati
tidak akan terwujud, dan yang terpupuk adalah rivalitas tidak sehat, hegemoni,
penindasan salah satu kelompok terhadap yang lain, tidak dihargainya martabat manusia
sebagaimana mestinya, yang semuanya itu bisa terjadi atas nama agama! Alangkah
ironisnya jika agama hanya dipergunakan sebagai legitimator semua bentuk tindakan
yang tidak manusiawi. Jika hal itu terjadi, maka agama tidak lagi menjadi rahmat,
melainkan menjadi laknat, yang dapat menghancurkan nilai kemanusiaan manusia.

6.3.3. Hambatan dialog antarumat beragama

1) Hambatan teologis

Secara teologis, masing-masing agama mengklaim bahwa iman mereka adalah jalan satu-
satunya menuju kebenaran tertinggi. Akibatnya, jalan setapak menuju hubungan yang
lebih baik di antara agama-agama yang berbeda-beda makin dipersempit. Jika klaim
masing-masing agama dimutlakkan, maka tidak akan ada ruang untuk mengakui atau
menerima kebenaran pihak lain. Tidak ada kemungkinan untuk menyelenggarakan dialog
otentik, yang menolong umat manusia untuk mengembangkan cara berpikir yang
memadai, serta sikap keagamaan yang memberi tuntunan yang benar untuk
menyelesaikan masalah-masalah dunia dewasa ini. Rasa kebersamaan di antara
komunitas agamawi yang berbeda-beda akan tersegregasi dan harmoni otentik di antara
mereka tidak akan pernah terwujud. Untuk menyongsong kehidupan bersama antarumat

43
beragama secara damai di masa depan, perlu adanya keberanian untuk meretas hambatan
eksklusivitas mutlak.

2) Adanya perasaan saling curiga

Kadang-kadang ada kecurigaan terhadap kejujuran dialog. Masing-masing pihak


berprasangka bahwa dialog merupakan tipu muslihat untuk menarik orang lain masuk ke
dalam agama tertentu. Akibat kecurigaan ini, timbul keengganan untuk mengadakan
dialog antarumat beragama. Sebenarnya kecurigaan seperti ini tidak perlu terjadi. Sejauh
dialog otentik dibangun dengan semangat perdamaian, saling menghargai dan
keterbukaan untuk saling memahami, maka masing-masing komunitas agama tidak perlu
khawatir satu terhadap yang lain.

3) Kurang seriusnya perhatian terhadap dialog

Dapat dikatakan bahwa sejak kedatangan agama Kristen di Indonesia pada abad XVI
hingga dewasa ini, dialog Islam-Kristen, yang diselenggarakan secara resmi, terencana
dan didorong oleh kerinduan untuk menumbuhkan saling pengertian di antara para
penganutnya belum pernah diadakan. Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah
menerapkan prinsip pemisahan antara agama dan Negara.55 Pemerintah kolonial melarang
lembaga-lembaga keagamaan melakukan aktivitas politik. Mereka hanya diizinkan
mengurusi masalah-masalah keagamaan. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga
stabilitas sosial demi kepentingan politik dan perdagangannya. Instabilitas sosial akan
membahayakan kepentingan perdagangan dan kepentingan politis pemerintah kolonial. 56
Dalam keadaan seperti itu, ternyata bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga
keagamaan tidak memberi perhatian pada dialog antariman secara resmi dan memang
tidak pernah mencoba untuk mengadakannya. Kalaupun ada hubungan baik antarindividu
dalam masyarakat, itu bukan akibat hubungan antariman yang baik, melainkan karena
komitmen etnis dan kultural yang terjadi di aras lokal.
Keadaan seperti itu berlangsung hingga zaman kemerdekaan. Sejak semula para pendiri
Negara ini bercita-cita untuk membangun Indonesia sebagai Negara modern. Secara
kompromis mereka menerima Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang
baru berdiri itu. Namun, kondisi hidup kemasyarakatan bangsa Indonesia selama periode
awal kemerdekaan hingga tahun 60-an masih merupakan “masyarakat terkotak-kotak”
atau “masyarakat kelompok”, sekalipun mereka semua setuju untuk bernaung di bawah
dasar Negara Pancasila.57 Ternyata dengan dasar negara Pancasila itu dialog-dialog otentik
antariman tidak secara otomatis terjadi di tengah masyarakat. Masing-masing kelompok
keagamaan tetap menjadi “orang asing” bagi yang lain dan mereka tidak mengerti agama
atau kepercayaan lain dengan benar.
Selama Orde Baru tidak ada perubahan kebijakan yang berarti. Pada masa itu, demi
pembangunan, terutama pembangunan di bidang ekonomi, lembaga-lembaga keagamaan
didepolitisasi. Di bawah pemerintahan Soeharto memang ada sedikit perubahan dalam
kehidupan sosial-keagamaan. Pada 1967, pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk
menyelenggarakan dialog antariman dengan jalan mengadakan pertemuan lintas agama
yang disebut Konsultasi Antaragama, yang pada 1980 ditingkatkan menjadi Wadah
Musyawarah Antarumat Beragama. 58 Namun dalam kenyataannya, ketimbang
mempromosikan saling pengertian di antara berbagai komunitas keagamaan, usaha ini
lebih bernuansa politis. Tujuannya adalah untuk mencegah timbulnya berbagai masalah
sosial, perpecahan, perselisihan, dan konflik dalam masyarakat, yang sangat potensial
mengganggu stabilitas politik dan performance pembangunan yang dikendalikan oleh
Negara itu.

55 Umat Islam sama sekali tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, karena bagi Islam, Sang Pencipta sangat
memperhatikan semua aspek kehidupan manusia, termasuk aspek politis, sosial, ekonomis, dan aspek-aspek kehidupan
lainnya. Bagi umat Islam, Islam adalah jalan hidup yang lengkap. Dalam rangka menghindari konsepsi non-Islami, yang antara
lain memisahkan antara agama dan negara, umat Islam lebih suka menyebut Islam sebagai jalan hidup ketimbang agama.
56 Bnd. Jan Sihar Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm.

79-80.
57 Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam, Contacts and Conflicts 1596-1950 (Amsterdam-Atlanta, Rodopi

B.V., 1993), hlm. 144.


58 Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam, hlm. 145.

44
4) Perbedaan interpretasi terhadap sejarah

Ada kemungkinan terjadi distorsi fakta sejarah. Perlu diingat bahwa fakta historis memang
dapat ditafsirkan secara berbeda. Fakta tersebut dapat dibelokkan sehingga menghasilkan
lebih dari satu interpretasi dan dapat diberi konstruksi tertentu untuk mengekalkan sikap-
sikap yang sama sekali berbeda dengan pandangan pihak lain mengenai realitas. Misalnya
interpretasi sejarah terhadap kedatangan agama Kristen. Dari sisi pandang Kristen,
meskipun agama Kristen datang ke Indonesia melalui para misionaris yang berasal dari
negara penjajah, tidak berarti bahwa dengan serta-merta agama Kristen identik dengan
penjajah, atau bahwa agama Kristen adalah agama penjajah. Agama atau iman harus
dibedakan dari kebijakan pemerintah. Namun, sebagian orang menganggap penyebaran
agama Kristen di Indonesia di masa lalu sebagai berjalan seiring dengan ekspansi
kolonialisme. Zending Kristen dianggap sebagai salah satu faktor penting kolonialisme.59
Sementara orang menafsirkan bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia dimotivasi oleh
tiga ‘G’, yaitu: ‘Gold’ (dalam arti harta kekayaan), ‘Glory’ (dalam arti kekuasaan) dan
‘Gospel’ (Injil) atau tiga ‘M’, yaitu: ‘Merchant’ (perdagangan), ‘Military’ (militer,
kekuasaan), dan ‘Missionary’ (pemberitaan Injil). Di samping motivasi politis untuk
menguasai wilayah jajahan (Glory) dan motivasi ekonomis untuk mengeksploitasi dan
menguras kekayaan wilayah jajahan melalui perdagangan (Gold), kaum penjajah juga
memiliki motivasi keagamaan untuk menyebarkan keyakinan Kristen kepada penduduk
wilayah jajahan, sehingga mereka ‘bertobat’ menjadi Kristen (Gospel).60 Kedatangan
penjajah Belanda dianggap telah merusak dasar-dasar budaya, peradaban dan agama,
terutama Islam di Indonesia.61 Tidak dapat disangkal ada pula pengalaman dan warisan-
warisan sejarah yang telah menciderai hubungan antaragama di Indonesia merupakan
penghambat bagi terjadinya dialog otentik antaragama.

5) Sifat misioner masing-masing agama

Hampir semua agama memiliki sifat misioner. Para penganutnya merasa memiliki
tanggung jawab untuk meneruskan dan menyebarluaskan agama mereka. Para pemimpin
agama merasa bahwa mereka mengemban tugas untuk menyebarkan agamanya. Mereka
menganggap para penganut agama lain tidak berada di jalan yang benar, sehingga
merupakan sasaran pemberitaannya. Tanpa keterbukaan untuk mengakui kebenaran
pihak lain, atau paling tidak memahami secara benar iman pihak lain, pihak yang satu
cenderung menempatkan pihak yang lain dalam kedudukan yang tidak setara, dan
memandangnya sebagai objek penyebaran agama. Dengan kata lain, setiap usaha untuk
menyebarkan agama, sedikit banyak akan disertai dengan kesombongan diri sekaligus
perendahan terhadap pihak lain. Lantaran sifat misioner ini, pertentangan di antara para
penganut agama sering terjadi dalam berbagai tingkatan.

6) Penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik

Kadang-kadang agama digunakan oleh individu atau golongan tertentu sebagai alat untuk
mencapai tujuan atau kepentingan-kepentingan politisnya sendiri. Mereka memprovokasi
pertentangan; bahkan menyulut pertikaian berdarah di antara para pengikut agama yang
berbeda. Akibatnya, ketegangan potensial antaragama di Indonesia sering tampil ke
permukaan dalam bentuk perselisihan, bahkan pertikaian berdarah yang amat mahal
harganya pun dapat terjadi. Di samping itu, heterogenitas etnik, budaya dan kedaerahan
juga sering memicu konflik di tengah masyarakat, yang pada akhirnya merembet juga ke
konflik keagamaan. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat Indonesia cenderung
tersegregasi ke dalam kelompok-kelompok religius. Misalnya, Kawasan Timur Indonesia
dan Tanah Batak – Sumatera Utara sering diasosiasikan sebagai kawasan Kristen,
sedangkan bagian Sumatera yang lain, terutama Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera
Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa, sering dianggap sebagai kawasan Islam.

59 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 18.
60 Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 72-73; cf. Aritonang,
Sejarah Perjumpaan, hlm. 21.
61 Musthafa Kamal Pasha and Ahmad Adaby Darban, Muhammdiyah Sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: LPPI, 2000), hlm.

71-72.

45
6.4. Kerukunan antar umat beragama

6.4.1. Realitas bangsa Indonesia secara religius

Realitas manusia Indonesia adalah manusia beragama. Secara fenomenal, pada dasarnya
setiap manusia Indonesia memiliki agama. Apa pun bentuknya, setiap orang memiliki
keyakinan kepada kuasa supra-natural yang disembahnya. Karena itu, masyarakat
Indonesia sering disebut sebagai masyarakat sosial-religius. Agama memiliki tempat
tertentu dalam kehidupan bangsa Indonesia. Manusia tidak dipahami sebagai makhluk
sosial semata-mata, melainkan juga makhluk religius. Dengan demikian, manusia
ditempatkan di tengah tiga tuntutan tanggung jawab, yaitu tanggung jawab kepada Allah,
sesama dan alam semesta yang ditinggalinya.
Realitas lain yang harus disadari dan diterima adalah heterogenitas keyakinan
masyarakat. Realitas ini tidak dapat dipungkiri, melainkan diakui secara lapang. Lahirnya
bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka telah dilatarbelakangi heterogenitas
tersebut. Karena itu wajar jika kelestarian semua agama dan hak untuk meyakini agama
dan kepercayaan diberi jaminan hukum (hal ini sesuai dengan pasal 18 Deklarasi Universal
Hak-hak Asasi Manusia). Paling tidak, kita memiliki tiga landasan konstitusional tentang
kebebasan beragama dan berkepercayaan:

a. Pembukaan UUD 1945, alinea ketiga: “Atas berkat rahmat Allah yang mahakuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Dalam
alinea ini tersirat pengakuan agamawi bahwa kemerdekaan Indonesia tidak terlepas
dari campur tangan ilahi. Secara tidaklangsung, itu berarti bahwa kehidupan agamawi
dalam sanubari masyarakat Indonesia diakui. Dengan demikian sewajarnya jika hak
untuk memeluk agama pun dijamin secara hukum.
b. UUD 1945, pasal 29 ayat (1) dan (2) secara tegas menyatakan bahwa kebebasan
memeluk agama dan melaksanakan ibadah menurut agama dan kepecayaan masing-
masing dijamin oleh hukum. Disadari sepenuhnya bahwa hak untuk meyakini agama
atau kepercayaan adalah hak manusia yang paling fundamental, tidak dapat dicampuri
oleh siapa pun. Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mahaesa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
c. Sila pertama Pancasila secara khusus merupakan dasar hukum tersendiri bagi
masyarakat Indonesia untuk memeluk agamanya. Dengan diakuinya asas ketuhanan
sebagai landasan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia, maka hidup
keagamaan dijamin secara hukum.

Sekalipun hak untuk memeluk agama atau kepercayaan diakui sebagai hak asasi manusia
dan hak tersebut telah memiliki jaminan hukum yang kokoh, namun dalam praktik, masih
sering terjadi ketegangan hubungan antarumat beragama. Ketegangan ini disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Sifat misioner masing-masing agama. Semua umat beragama merasa memikul


tanggung jawab untuk menyebarkan agamanya. Jika tidak ada tenggang rasa, hal ini
dapat menimbulkan ketegangan hubungan antarpemeluk agama.
b. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama, baik mengenai agamanya sendiri
maupun agama pihak lain.
c. Kurangnya kemampuan para pemeluk agama menahan diri, sehingga sering tidak
menghargai, bahkan memandang rendah pihak lain.
d. Kaburnya pengertian antara memegang teguh suatu agama dengan toleransi dalam
kehidupan bermasyarakat.
e. Kecurigaan masing-masing terhadap kejujuran pihak lain.
f. Ketimpangan sosial, ekonomi, pendidikan dan tingkat kesejahteraan seringkali secara
naif dikait-kaitkan dengan agama.
g. Ketakutan terdesak oleh pihak lain.

46
h. Kurang adanya komunikasi di antara para pemuka agama.
i. Kurang saling pengertian dalam menghadapi perbedaan pendapat.

6.4.2. Unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam membangun kerukunan

a. Kata ‘kerukunan’ mengandaikan adanya dua subjek atau lebih yang terlibat dalam
relasi. Subjek-subjek tersebut harus ditempatkan dan dihargai sebagai pihak-pihak
yang sederajat, dan tidak boleh dipandang sebagai objek. Harus diakui bahwa masing-
masing subjek memiliki kemandirian dan kebebasan. Jika salah satu ditempatkan
sebagai objek oleh pihak lain, maka kerukunan sejati tidak akan pernah terwujud.
b. Subjek-subjek yang terlibat harus berada dalam kesamaan ruang dan waktu,
berdekatan dan mengadakan kontak satu sama lain. Sekalipun saling berdekatan,
namun jika tidak terjadi kontak satu sama lain, maka tidak akan tercipta kerukunan.
c. Kerukunan dan komunikasi yang baik dikehendaki oleh semua subjek secara sadar dan
bebas, tanpa paksaan atau dorongan motif-motif tersembunyi. Dengan kata lain,
semua pihak memang memiliki keinginan untuk rukun, damai dan berhubungan secara
akrab.
d. Didukung oleh faktor-faktor pengikat, seperti kesamaan tempat, kesamaan bahasa,
kesamaan budaya, kesamaan bangsa, kesamaan nasib, kesamaan hobby, kesamaan
pandangan hidup, dsb.
e. Ada landasan atau kesepakatan bersama yang dipatuhi bersama oleh semua pihak
dengan jujur, tanpa kepura-puraan atau motif-motif yang tersembunyi. Kesepakatan
ini terutama bukan didasarkan pada peraturan, melainkan didasarkan pada tenggang
rasa dan penghargaan atas nilai dan martabat kemanusiaan.
f. Kerukunan sejati tidak sekadar tidak saling mengganggu atau saling merugikan,
melainkan tampak dalam kerja sama yang kompak dalam menghadapi masalah
bersama, tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama.

6.4.3. Fakta ironis: perkembangan agama dan campur tangan pemerintah

Dalam perjalanan sejarah dapat dilihat bahwa manakala agama berkolusi dengan
kepentingan politik, maka ia akan cenderung tampil dalam wajah kekerasan. Klaim
kebenaran yang bersifat eksklusif menjadikannya intoleran. Legitimasi atas klaim tersebut
diwujudkan dalam kekuasaan. Jika negara berusaha mengakomodasi seluruh kepercayaan
atau keyakinan yang dianut oleh penduduk, maka hal itu diinterpretasikan sebagai
‘kekalahan’, bukan saja kekalahan politik, melainkan juga kekalahan agama. Pemahaman
seperti ini muncul karena agama tidak saja dipahami sebagai pranata etik dan moral,
melainkan juga sebagai aturan ketatanegaraan. Hal seperti ini telah menjadi beban
sejarah yang mewarnai, baik hubungan antara agama dengan negara maupun hubungan
antar agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Beban politik yang mewarnai hubungan antar agama di Indonesia menghasilkan
kerukunan semu (dipaksakan) melalui berbagai bentuk rekayasa. Sesungguhnya
kerukunan sejati muncul bukan karena diatur, melainkan karena keterikatan pada
kesamaan penghayatan terhadap harkat, martabat dan nilai kemanusiaan. Tri kerukunan
umat beragama tidak menciptakan kerukunan yang sesungguhnya, melainkan hanya
memberi kesahihan pada kekuasaan. Berbagai slogan diciptakan untuk memberikan
gambaran tentang hubungan antar agama yang harmonis, selaras dan serasi, kendati
dalam kenyataan sering terjadi berbagai bentuk diskriminasi, sering terjadi berbagai
ketegangan. Berbagai wadah kerukunan antar umat beragama diciptakan sekadar sebagai
gambaran semu bahwa agama-agama yang ada dapat ‘duduk sama rendah berdiri sama
tinggi’. Berbagai peraturan perundangan untuk mengatur kehidupan bersama antaragama
justru memicu terjadinya pengkotak-kotakan masyarakat menurut agama atau
keyakinannya. Hal seperti ini lebih jauh telah mendorong agama-agama tampil secara
munafik, tidak otentik dan tidak memiliki otoritas. Berbagai keputusan bersama
disepakati, namun masing-masing tetap berjalan sendiri-sendiri dengan membangun
prasangka-prasangka menurut versinya.
Pertanyaan besar yang muncul adalah pada saat terjadi kebangkitan agama-agama
dengan semarak ritualnya, pada saat itu pula agama-agama gagal meningkatkan kualitas
manusia. Sebaliknya, konflik sosial justru makin meningkat intensitasnya, masyarakat

47
semakin pragmatis, nilai-nilai etika dan moralitas semakin longgar. Di sinilah
persoalannya, mengapa agama-agama tidak berhasil memberi arti bagi kemanusiaan dan
kebersamaan? Upacara-upacara keagamaan dilakukan secara formal namun sekaligus
mereduksi hakikat agama itu sendiri. Ritualitas keagamaan hanya digunakan untuk
melegitimasi spiritualitas semu para pemimpin agama. Simbol-simbol keagamaan yang
semakin marak digunakan (termasuk pengutamaan jumlah umat) ternyata tidak
menjamin sentuhan keagamaan yang terdalam pada kemanusiaan manusia. Manusia
cenderung ditempatkan sebagai ‘angka’ dalam menambah jumlah pengikut, dan bukan
sebagai komponen penunjang meningkatnya kualitas kemanusiaan.
Mestinya, umat beragama dibiarkan tumbuh secara alami dalam proses kerukunan sejati
dengan saling menghargai. Kepada mereka disadarkan akan peranan agama sebagai
suatu kekuatan etis dan moral yang mampu membawa ke arah kehidupan bersama
sebagai umat Tuhan dalam suatu wilayah bersama dan berorientasi pada kepentingan dan
kesejahteraan bersama. Dialog dan kerjasama secara terbuka, jujur dan saling
menghargai amat penting maknanya. Hal itu akan dapat terjadi jika agama-agama
berhasil mengembalikan otoritasnya sebagai agama, dan bukan menjadi bagian
subordinatif dari kekuasaan.

7. REFLEKSI TEOLOGIS

7.1. Agama dalam praksis

Kita percaya bahwa Allah adalah pencipta alam semesta. Ciptaan Allah itu dipercayakan
kepada manusia untuk dikelola dan dipelihara bagi kehidupan yang damai sejahtera.
Tuhan Allah menciptakan kehidupan dan kehidupan inilah yang harus dipelihara. Untuk
memelihara kehidupan, manusia mendesain pola hidupnya dan itulah yang kita sebut
kebudayaan, yang ikut berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.
Agama adalah sumber hidup manusia dalam relasi tiga dimensi, yaitu relasi dengan Allah
Pencipta, dengan sesama dan dengan seluruh ciptaan lainnya. Dengan demikian agama
tidak identik dengan kebudayaan. Meskipun demikian, agama sebagai pola hidup tidak
terpisahkan dari kebudayaan, bahkan kebudayaan berorientasi kepada agama, sebab
agama adalah respons manusia terhadap kuasa transenden, kuasa yang berada di luar
jangkauan kuasa manusia. Kiprah manusia dalam relasi dengan kuasa transenden itu
ditentukan oleh relasi itu sendiri. Pola relasi itulah yang disebut agama.
Kiprah manusia dalam berelasi tiga dimensi itu harus pula dilihat secara historis. Dalam
perkembangan sejarah, kebudayaan pun ikut berkembang seiring dengan dinamika
perkembangan manusia. Terciptalah pluralitas kebudayaan dan agama. Tiap-tiap
kelompok dan suku-suku bangsa mengembangkan pola hidupnya (kebudayaan dan
agama) masing-masing dalam keterasingan satu terhadap yang lain. Kecenderungan yang
negatif adalah munculnya sikap saling merendahkan dan bahkan saling bermusuhan. Pada
hakikatnya, kebudayaan pada dirinya sendiri bukanlah dosa, namun dalam
pengembangannya, unsur dosa manusia tidak dapat dilupakan. Oleh karena itu
kebudayaan dapat berkembang menjadi demonis, anti Allah, anti kebenaran sebagaimana
dikehendaki Allah. Seharusnya, kebudayaan dikembangkan secara positif sebagai
panggilan hidup, namun harus kritis, kreatif dan realistik.
Allah sendiri berkenan terhadap kebudayaan ciptaan manusia, sejauh itu digunakan untuk
kemuliaan nama-Nya. Agama-agama (seharusnya) hidup dalam kebudayaan lokalnya
serta mentrasformasikan kebudayaan itu menjadi kebudayaan untuk memelihara
kehidupan dalam persekutuan tiga dimensi, persekutuan dengan Allah, dengan sesama
dan dengan seluruh ciptaan. Kebudayaan dan agama, keduanya harus memelihara
kehidupan agar menjadi kehidupan Paradise (Firdaus), penuh damai sejahtera. Di sana
tidak ada penghisapan manusia atas manusia, tidak ada penindasan penguasa terhadap
rakyat kecil, melainkan keadilan dan kebenaran. Kebudayaan harus ditransformasikan,
maksudnya diubah secara kualitatif dan dinamis ke tingkat yang lebih tinggi, ke arah
kehidupan yang dikehendaki Allah.
Sebagai umat beragama kita meyakini bahwa Allah menghendaki dan menciptakan
kehidupan yang sejahtera yang digambarkan dengan kondisi Firdaus. Namun secara
retrospektif, kita juga harus mengakui dengan jujur bahwa karena kecenderungan
manusia untuk berbuat dosa, kehidupan seperti itu sekarang tidak lagi terwujud dengan

48
sempurna. Dalam hal inilah seluruh umat beragama terpanggil untuk melakukan
pembenahan, sehingga kehidupan manusia mengarah kepada kondisi sejahtera
sebagaimana dikehendaki oleh penciptanya. Merupakan panggilan bersama, bahwa
dengan seluruh aktivitas dan seluruh potensi yang ada, kita harus memelihara kehidupan.
Berolah agama secara benar tidak lain adalah mengamalkan visi kehidupan yang
berorientasi kepada praksis untuk mewujudnyatakan kehidupan yang sejahtera.
Keberagamaan seseorang sesungguhnya dilegitimasi oleh pelaksanaan panggilannya
untuk kehidupan sejahtera tersebut.
Pertanyaan reflektif yang perlu direnungkan adalah: bagaimana mungkin kita beragama
secara benar, jika dalam kenyataan kehidupan bersama diwarnai dengan perasaan saling
membenci, saling mencurigai, saling terpecah-belah dan saling bermusuhan? Bagaimana
mungkin umat beragama mampu mewujudkan kehidupan yang sejahtera jika dalam
kehidupan bersama justru diwarnai kekacauan? Dalam hal inilah umat beragama terbeban
untuk merintis dan memperjuangkan kedamaian satu sama lain, cinta kasih satu sama
lain dan sadar akan tanggungjawab bersama dalam soal kemanusiaan.
Ikatan organisatoris (baik kemasyarakatan, keagamaan, maupun kenegaraan) yang
sering menjadi kotak-kotak penyekat kehidupan bersama, tidak menjadi jaminan bagi
kehidupan yang sejahtera. Sebaliknya, kehidupan yang sejahtera pasti akan membawa
kebaikan bagi segala bentuk ikatan/persekutuan kemanusiaan. Sayang sekali bahwa
dalam kehidupan bersama kita sering terbelok dari keharusan yang hakiki dan asasi ini.
Bagaimana kita harus memandang sesama kita yang berbeda keyakinan/agama? Setiap
orang, melalui agamanya masing-masing, mendambakan kehidupan yang lestari dan
sejahtera, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Selama masih di dunia, kita semua
adalah musafir pencari kehidupan. Sebagai sesama musafir pencari kehidupan,
selayaknyalah kita solider satu terhadap yang lain. Manusia bukan saja musafir pencari
kehidupan, tetapi ia adalah juga musafir pencari kebenaran. Sebagai musafir pencari
kebenaran, selayaknya kita sadar bahwa tidak seorang pun memiliki klaim kebenaran
secara mutlak, dan menutup mata bagi kebenaran orang lain. Sebaliknya, dengan lapang
dada, kita masing-masing harus terbuka untuk saling memberi dan menerima. Solidaritas
sejati tidak memberi tempat kepada kesombongan diri dan kecenderungan untuk merasa
lebih baik dari orang lain. Kita juga meyakini bahwa Allah mengasihi semua umat-Nya.
Kasih Allah tersebut tidak eksklusif.
Adalah manusiawi, jika manusia memberikan respons terhadap kasih Allah menurut
caranya sendiri. Adalah hal yang wajar pula jika kita masing-masing menganggap cara
kita merespon kasih Allah menurut agama kita adalah jalan yang benar. Namun
bersamaan dengan itu, tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa tidak ada cara
lain untuk merespons kasih Allah di luar keyakinan kita sendiri. Perlu direnungkan,
bukankah kita perlu merelatifkan tembok-tembok doktrin dan tradisi yang membentengi
kasih Allah kepada semua umat secara universal? Hal ini tidak berarti bahwa kita harus
menjadi sinkretistik. Kita harus setia dengan keyakinan kita sendiri, namun di samping itu
kita juga harus menghormati kesetiaan orang lain kepada keyakinannya. Kita harus
menganggap benar keyakinan kita sendiri, namun tidak berarti bahwa dengan semena-
mena kita boleh menyalahkan keyakinan orang lain. Kasih Allah tidak terjangkau oleh akal
budi, jauh melampaui pemikiran manusia maupun doktrin dan tradisi keagamaan kita
masing-masing. Demikian pula kedaulatan-Nya, tidak mungkin dibatasi oleh sekat-sekat
kemanusiaan, yang langsung atau pun tidak langsung, diciptakan oleh manusia sendiri.
Adalah suatu ironi, jika setiap agama terpanggil untuk mewujudkan kehidupan bersama
yang damai dan sejahtera, namun bersamaan dengan itu masing-masing memandang
rendah agama/keyakinan lain.
Apakah fungsi umat beragama yang harus dilakukan dalam kehidupan bersama ini?
Secara teoretis, paling tidak ada tiga fungsi pokok, yaitu:
(1) menjadi rahmat (berkat) bagi semua umat manusia,
(2) menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik,
(3) mencari kebenaran dan keadilan Allah.

Ketiga fungsi tersebut sangat inklusif. Inklusivisme inilah yang hendaknya mewarnai
pelaksanaan keberagamaan di tengah-tengah kemajemukan budaya, suku dan agama.
Godaan bagi kita pada umumnya adalah sikap eksklusif, sibuk dengan diri sendiri dan
kurang peduli terhadap orang lain serta lingkungan kita. Akibat eksklusivisme, peran kritis

49
agama sering menjadi mandul, sehingga kita terlupa pada panggilan untuk menyampaikan
kabar baik bagi orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang
yang tertawan, memberikan penglihatan kepada orang-orang buta, membawa
pembebasan bagi orang-orang yang tertindas, serta memberitakan rahmat Allah bagi
semua umat-Nya.

7.2. Ambiguitas kehidupan modern

Kehidupan modern sering bersifat ambigu. Pada satu sisi, ada dorongan kuat bagi
terjadinya emansipasi dalam segala hal dan desakan bagi demokratisasi serta
modernisasi. Namun pada sisi lain sering terjadi kesewenangan, karena suatu budaya lokal
dapat menguasai kebenaran dan diglobalisasikan sedemikian rupa, sehingga meniadakan
keberadaan budaya-budaya yang lain. Dalam keadaan ini, suatu entitas (eksistensi) dapat
menjelma menjadi patron bagi entitas-entitas yang lain, yang dianggap lebih rendah dan
‘halal’ untuk dilecehkan. Apalagi jika masyarakat tidak mau belajar mengenai perbedaan
dan tidak mau menerima realitas yang ada dengan dewasa, yang terjadi adalah upaya
penyeragaman atas kenyataan hidup bersama yang beragam. Manakala upaya
penyeragaman itu berbenturan dengan realitas perbedaan, maka pasti ada pihak-pihak
yang dikorbankan demi kelangsungan proses uniformitas itu.
Memasuki masa depan bersama, yang diperlukan adalah cara pandang baru, yang
mengakui perbedaan sebagai kekayaan dan menerimanya dengan kelapangan dada.
Wajah postmodern kita temukan dalam wajah orang lain, wajah yang berseru ‘jangan
membunuhku’, ‘jangan merendahkanku atau merendahkan siapa pun’. 62 Pada satu pihak,
sisi barbar dari kehidupan modern hendaknya ditolak, dan pada pihak yang lain dunia
postmodern menuntut suatu penerimaan terhadap kehadiran orang lain (face of the
other).
Modernitas mendidik manusia dalam sebuah kehidupan rasional menuju kemandirian dan
kemajuan. Namun demikian tidak berarti bahwa dengan sendirinya ia berhasil membentuk
manusia siap menghadapi kemajemukan. Bahkan rasionalitas sendiri sering dipakai
sebagai alat untuk melegitimasi penindasan.
Perlu disadari bahwa dalam perjumpaan dengan orang lain kita pun menjadi orang lain
bagi mereka. Oleh sebab itu perjumpaan interpersonal harus menjadi perjumpaan etis.
Kehadiran orang lain menyapa, mengusik dan mengundang respons kita. Sayangnya,
yang kerapkali terjadi adalah kita merasa hadir untuk sesama tanpa memberi kesempatan
bahwa sesama itu mesti hadir pula untuk kita. Hubungan interpersonal sering menjadi
hubungan intersubjektif, yang dilihat dari perspektif diri sendiri, sehingga bersifat
asimetris dan tidak berdasar prinsip resiprositas.
Harus diakui bahwa orang lain tidak mungkin diselami sepenuhnya. Bagaimana pun, ia
tetap tamu, pendatang dan orang asing. Namun demikian, merupakan panggilan bagi
setiap umat beragama bahwa dalam hidup keagamaannya ada tuntutan etis yang
memaksanya untuk tidak memandang orang lain berdasar pemahaman dan sistem
pemikirannya sendiri. Dengan demikian fundamental etika terletak pada tanggung jawab
satu sama lain ketika seseorang berjumpa dengan orang lain (the others).
Dunia real bukan sekadar dipahami dan diselidiki, melainkan harus pula dialami. Orang
lain bukan harus disikapi dengan belas kasihan sebagai objek, melainkan ditempatkan
sebagai subjek mandiri dan bersifat personal, karena manusia bukanlah makhluk anonim
dan bukan jenis yang seragam. Harus disadari adanya heterogenitas wacana. Masing-
masing wacana memiliki aturan mainnya sendiri. Ketidakadilan akan terjadi jika suatu
wacana ingin menguasai wacana lainya dan berusaha menjadi wacana universal. Oleh
sebab itu tugas etis dalam perjumpaan dengan orang lain adalah menghadirkan yang tidak
mampu hadir (to present the unpresentable) dan memerangi totalisme.
Dalam pemikiran ini, tidak pernah ada pusat kebenaran atau kebenaran final. Kebenaran
selalu berada dalam hubungan-hubungan saling terkait baik secara kultural, historis,
maupun kontekstual. Ia dirumuskan melalui bahasa metaforik, bukan melalui logika dan
mengalir terus tidak pernah sampai kepada titik final yang bersifat absolut.

7.3. Agama-agama dan etika pembebasan

62David Tracy, Theology and the Many Faces of Postmodernity, hlm. 108.

50
Keberagaman agama-agama di dunia adalah suatu realitas yang tidak mungkin diingkari.
Dalam perjumpaan satu dengan yang lain, ada tiga paradigma utama yang nampak, yaitu:
eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Namun toh dalam kenyataan ketiga
paradigma tersebut tidak mampu memberi respon yang memadai terhadap relaitas
pluralitas agama-agama. Eksklusivisme terlalu arogan, dengan sikap yang seakan-akan
ilmiah, terlalu a priori terhadap yang lain. Inklusivisme tidak mampu bersikap konsisten
dalam menerjemahkan makna universalitas kasih Allah sekaligus partikularitas jalan
keselamatan yang diyakini. Pluralisme tidak mampu meneguhkan secara utuh keunikan
iman masing-masing.
Ketidakmampuan ketiga paradigma memberi respon terhadap pluralitas agama-agama
masih dibarengi dengan kecenderungan makin terkikisnya kemanusiaan. Peperangan
yang berkecamuk di mana-mana, kerusakan lingkungan hidup, devaluasi makna
hubungan keluarga, serta beraneka persoalan global yang lain, akhirnya bermuara pada
turunnya nilai kemanusiaan itu sendiri. Lebih ironis lagi, tidak jarang semua itu dilegitimasi
oleh nilai-nilai religius, atau paling tidak, didasarkan pada keabsahan religius. Dalam
keadaan demikian yang diperlukan sekarang adalah keberagamaan (sikap beragama)
yang menyentuh langsung pada persoalan-persoalan dunia secara nyata. Dengan kata
lain, dibutuhkan etika bersama agama-agama yang berwajah liberatif (membebaskan).
Tugas umat beragama secara bersama-sama adalah menemukan dasar etis yang
berwajah ganda, yaitu: (1) etika yang dimiliki semua agama, yang kemudian dapat
menjadi sikap moral yang secara mendasar diakui oleh agama-agama, (2) etika fungsional
dan liberatif, yang membebaskan dan menempatkan kemanusiaan sebagai kriterium
utamanya.

*****

Sumber dan Daftar Bacaan

Bacaan Wajib:

A.P. Budiyono H.D, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman, Jilid 1 (Yogyakarta:
Penerbit Yayasan Kanisius, 1983).
H.A. Mukti Ali, “Dialog dan Kerjasama Agama-agama dalam Menanggulangi Kemiskinan”,
paper disampaikan dalam Pertemuan Agama-agama yang diselenggarakan oleh
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, Sabtu, 9 Juli 1994.
Huybers, Manusia Mencari Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982).
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (PT Gramedia, Jakarta,
1974).
Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perennial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Seri Dian I, Dialog, Kritik & Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 1994).

Bacaan Tambahan:

Bruce M. Metzger - Michael D. Coogan (ed), The Oxford Companion to The Bible (New
York: Oxforf University Press, 1993).
Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (PT Hanindita, Yogyakarta, Cet. III,
1987).
Chris T.R. Hewer, Understanding Islam, the First Ten Steps (London: SCM Press, 2006).
Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya,
1981).
Elie Kedourie, Nationalism (Praeger University Series, 1961).
James Windrow Sweetman, Islam and Christian Theology, A Study of the Interpretation of
Theological Ideas in the Two Religions, Part II, Vol. II, (London: Lutterworth Press, 1967).
Jerome Barkow, Leda Cosmides, and John Tooby, The Adapted Mind: Evolutionary
Psychology and the Generation of Culture (New York: Oxford University Press, 1992).

51
Johannes Calvijn, Institutie, Boek 1, Hfst. III, 1,2,3 (vertaald door A. Sizoo, Amsterdam:
Uitg. Naamloze Venootschap W-D Meinema, Delft, Tweede Druk, 1949).
Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam, A Thousand Years of Faith and Power (New Heaven
& London: Yale University Press, 2002).
Karen Armstrong, A History of God, The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and
Islam (New York: Alfred A. Knopf, 1993).
Kevin J. Christiano, et al., Sociology of Religion: Contemporary Developments (U.S.:
AltaMaira Press, 2001, p. 124).
Linda Smith dan William Raeper, Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang,
diterjemahkan dari A Beginner’s Guide to Ideas oleh P. Hardono Hadi (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2000).
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity (New York, 1957).
Marvin Harris, Cows, Pigs, Wars, Witches: the Riddles of Culture (New York: Random
House, 1974).
Mircea Eliade (Editor in Chief), The Encyclopedia of Religion, Vol. 12 (New York: Macmillan
Publishing Company, 1987).
Nico Syukur Dister, Bapak & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1983).
Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani (Yogyakarta dan Jakarta: Yayasan Kanisius
dan BPK, 1985).
Pascal Boyer, The Naturalness of Religious Ideas: A Cognitive Theory of Religion (Berkeley:
University of California Press, 1994).
Randolph Nesse (ed.), Evolution and the Capacity for Commitment (New York: Russell
Sage Foundation, 2001).
R. Guardini, Religion und Offenbarung (Wurzburg, 1958).
Richard Sosis, “The Adaptive Value of Religious Ritual” dalam American Scientist 92.
Robert H. Frank, Passion with Reason: the Strategic Role of the Emotions (New York:
Norton, 1988).
Roy A. Rappaport, Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People,
2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 1984).
Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Harmondswoth: Penguin Books, 1959).
Scott Atrand, In God We Trust: The Evolutionary Landscape of Religion (Oxford, New York:
Oxford University Press, 2002).
Sutan Takdir Alisyahbana, Antropologi Baru (Djakarta: PT Dian Rakjat, 1968).
S. Paul Schilling, God in the age of Atheism (New York, 1969)
Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, hasil penelitian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud,
Yogyakarta 1983/1984).

52

Anda mungkin juga menyukai