Gadai 3
Gadai 3
SAW. Dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 283 hilanglah aspek sosial dari barang tersebut.
Allah SWT berfirman yang artinya : “Jika Sebaliknya apabila dapat dimanfaatkan,
kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah apalagi secara bersama-sama, maka aspek
tidak secara tunai) sedang kamu tidak sosial pada barang tersebut dapat
memperoleh seorang penulis, maka diwujudkan.
hendaklah ada barang jaminan yang
dipegang (oleh yang berpiutang)” ..... Ulama Pengertian dan Dasar Hukum Rahn
Fikih sepakat menyatakan bahwa gadai bisa
dilakukan dalam perjalanan dan ketika a. Pengertian Rahn
menetap di suatu tempat, asal barang Secara etimologi, Rahn ialah al-habs,
jaminan itu bisa langsung dipegang (al-gabd) artinya tertahan. Sedangkan menurut
secara hukum oleh kreditor. Maksudnya, terminologi adalah : Ja’ala ain lahaa
karena tidak semua barang jaminan dapat qiimah maaliah fi nazri al Syar’i wa tsiiqah
dipegang/dikuasai oleh kreditor secara bidain bihaitsu yumkin al dain, au akhaza
langsung, maka paling tidak ada semacam ba’dhah min tilk al ain. (Menjadikan benda
pegangan yang dapat menjamin bahwa berupa harta yang mempunyai harga
barang dalam status al-marhun (menjadi dalam pandangan syara’ sebagai jaminan
agunan utang). Misalnya apabila barang hutang yang mungkin dijadikan sebagai
jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka pembayaran hutang baik secara
yang dikuasai (al-gabd) adalah sertifikat keseluruhan maupun sebagiannya).1
tanah tersebut. Ulama Mazhab Maliki
Kemudian dalam sebuah riwayat mendefinisikannya dengan, “Harta yang
dikatakan bahwa Rasulullah SAW membeli dijadikan pemiliknya sebagai jaminan
makanan dari seorang Yahudi di Madinah utang yang bersifat mengikat”. Menurut
dengan menjadikan baju besinya sebagai mereka, yang dijadikan agunan bukan
barang jaminan (HR. al-Bukhari dan Muslim saja harta yang bersifat materi, tetapi
dari Aisyah binti Ab’ Bakar) juga harta yang mempunyai manfaat
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist tertentu. Harta tersebut tidak harus
diatas, maka ulama fikih sepakat mengatakan diserahkan secara aktual, tetapi bisa juga
bahwa akad gadai itu dibolehkan, karena penyerahannya secara hukum, seperti
banyak kemaslahatan yang terkandung menjadikan sawah sebagai agunan, maka
didalamnya guna mewujudkan hubungan yang diserahkan itu adalah sertifikatnya.2
diantara sesama manusia. Akan tetapi yang Ulama Mazhab Hanafi
menjadi persoalan adalah pemanfaatan suatu mendefinisikan rahn dengan
barang yang telah digadaikan sebagai “menjadikan sesuatu (barang) sebagai
jaminan utang. Apakah barang gadai boleh jaminan terhadap hak (piutang) yang
atau tidak dimanfaatkan oleh pemilik atau mungkin dijadikan sebagai pembayar
penerima gadai, baik secara sendiri-sendiri hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya
maupun secara bersama-sama. Pertanyan- maupun sebagiannya.3 Sementara itu,
pertanyaan inilah yang akan dicari ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab
jawabannya dan dikemukakan pada uraian- Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti
uraian berikutnya. Apabila barang gadai akad, “Menjadikan materi (barang)
tidak dapat dimanfaatkan sama sekali baik sebagai jaminan utang yang dijadikan
oleh pemilik maupun pemegang, maka akan pembayar utang apabila orang yang
berutang tidak bisa membayar utangnya sendiri oleh Nabi SAW. Berdasarkan ayat
itu.4 Definisi yang dikemukakan ulama al-Quran dan hadis diatas, ulama fikih
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali ini sepakat mengatakan bahwa akad gadai
mengandung pengertian bahwa barang itu dibolehkan, karena banyak
yang bisa dijadikan agunan utang kemaslahatan yang terkandung
tersebut hanyalah harta yang bersifat didalamnya dalam rangka hubungan
materi, tidak termasuk manfaat antara sesama manusia.
sebagaimana yang dikemukakan ulama Para ulama telah ijma’ tentang
Mazhab Maliki, sekalipun sebenarnya hukum mubah (boleh) mengadakan
manfaat tersebut, menurut mereka perjanjian gadai. Hanya mereka sedikit
(ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab berbeda pendapat tentang: “Apakah
Hanbali) termasuk dalam pengertian gadai hanya dibolehkan ketika musafir
harta. (bepergian) saja, ataukah bisa dilakukan
dimana dan kapan saja ? Mazhab
b. Dasar Hukum Rahn Dzahiri, Mujahid, dan ad-Dahak hanya
Para ulama fikih mengemukakan membolehkan gadai pada waktu
transaksi gadai dibolehkan dalam Islam bepergian saja, berdasarkan Surat al-
berdasarkan firman Allah dalam al- Baqarah ayat 283 diatas, sedangkan
Quran surat al-Baqarah ayat 283, artinya: jumhur ulama membolehkan gadai, baik
“Jika kamu dalam perjalanan (dan pada waktu bepergian maupun ketika
bermu’amalah tidak secara tunai) sedang menetap ditempat tinggal. Hal ini
kamu tidak memperoleh seorang didasarkan pada praktek Rasullah SAW
penulism maka hendaklah ada barang sendiri yang melakukan gadai pada
tanggunggan yang dipegang (oleh orang waktu beliau berada di Madinah.
yang berpiutang)”. Akan tetapi jika Sementara ayat yang mengaitkan gadai
sebagian kamu mempercayai sebagian dengan bepergian itu tidak dimaksudkan
yang lain, maka hendaklah yang sebagai syarat sahnya gadai, melainkan
dipercayai itu menunaikan amanatnya menunjukkan bahwa gadai itu pada
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa umumnya dilakukan ketika bepergian
kepada Allah, TuhanNya, Dan pada waktu itu.5
barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang Rukun dan Syarat Rahn
yang berdosa hatinya dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan
Kemudian dalam sebuah riwayat ulama fikih dalam menetapkan rukun rahn.
dikatakan bahwa Rasulullah SAW, Menurut jumhur ulama rukun rahn itu ada
menggadaikan baju besinya kepada empat yaitu lafal ijab dan kabul (shigat)
seorang Yahudi di Madinah dan orang yang berakal (al-rahin wa al-murtahin)
mengambil (membeli) makanan untuk harta yang dijadikan agunan (al-marhun) dan
keperluan keluarganya. utang (al-marhun bih). Sementara itu ulama
Menurut kesepakatan ahli fikih, mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun
peristiwa Rasulullah SAW menggadailan rahn itu hanya dua, yaitu ijab (pernyataan
baju besinya itu adalah kasus gadai penyerahan barang sebagai agunan oleh
pertama dalam Islam dan dilakukan pemilik barang) dan kabul (pernyataan
kesediaan menerima barang agunan rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat
tersebut). Disamping itu, menurut mereka contoh diatas (perpanjangan rahn satu
untuk sempurna dan mengikatnya akad bulan dan agunan boleh dimanfaatkan),
rukun ini, maka diperlukan al-qabd termasuk syarat yang tidak sesuai
(penguasaan barang) oleh kreditor. dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu
Selanjutnya ulama fikih dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan
mengembangkan syarat-syarat rahn sesuai itu, misalnya, untuk sahnya rahn tersebut
dengan rukun rahn itu sendiri sebagai pihak kreditor minta agar akad itu
berikut.6 disaksikan oleh dua orang saksi. Adapun
1. Syarat yang terkait dengan orang yang syarat yang batal, misalnya, disyaratkan
berakal adalah cakap bertindak hukum, bahwa agunan tersebut tidak boleh
mereka itu menurut jumhur ulama dijual ketika rahn tersebut jatuh tempo,
adalah orang yang telah baligh dan padahal debitor tidak mampu
berakal. Tetapi menurut ulama mazhab membayarnya.
Hanafi, kedua belah pihak yang berakal 3. Syarat al-marhun bih (utang) adalah: (a)
tidak disyaratkan baligh, melainkan Merupakan hak yang wajib
cukup berakal saja. Oleh sebab itu dikembalikan kepada kreditor; (b) Utang
menurut mereka, anak kecil yang itu bisa dilunasi dengan agunan tersebut
mumayiz boleh melakukan akad rahn (c) Utang itu jelas dan tertentu.
dengan syarat akad rahn yang dilakukan 4. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan
anak tersebut mendapat persetujuan dari agunan), menurut para ahli fikih, adalah:
walinya. (a) agunan itu bisa dijual dan nilainya
2. Syarat sighah (lafal). Ulama Mazhab seimbang dengan utang; (b) agunan itu
Hanafi mengatakan dalam akad rahn bernilai harta dan bisa dimanfaatkan
tidak boleh dikaitkan dengan syarat karenanya khamar tidak bisa dijadikan
tertentuu atau dikaitkan dengan masa agunan, disebabkan khamar tidak
yang akan datang, karena akad rahn sama bernilai harta dan bermanfaat dalam
dengan akad jual beli. Apabila akad Islam; (c) agunan itu jelas dan tertentu
tersebut dibarengi dengan syarat (d) agunan itu tidak sah debitor (e)
tertentu atau dikaitkan dengan masa agunan itu tidak terakit dengan hak
yang akan datang, maka syaratnya batal, orang lain (f) agunan itu merupakan
sedangkan akadnya sah. Misalnya, harta yang utuh, tidak bertebaran dalam
debitor mensyaratkan apabila tenggang beberapa tempat; dan (g) agunan itu bisa
waktu utang telah habis dan utang diserahkan baik materinya maupun
belum terbayar, maka rahn itu manfaatnya.
diperpanjang satu bulan, atau kreditor
mensyaratkan harta agunan itu bisa ia Disamping syarat-syarat diatas, ulama
manfaatkan. Ulama Mazhab Maliki, fikih sepakat menyatakan bahwa rahn itu
Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali baru dianggap sempurna apabila barang
mengatakan bahwa apabila syarat itu yang di-rahn-kan itu secara hukum sudah
adalah syarat yang mendukung berada ditangan kreditor, dan uang yang
kelancaran akad tersebut, maka syarat dibutuhkan telah diterima debitor. Apabila
tersebut dibolehkan, tetapi apabila syarat barang jaminan itu berupa benda tidak
itu bertentangan dengan tabiat akad bergerak, seperti rumah dan tanah, maka
Menurut ulama mazhab Hanafi, pemegang dari pemiliknya. Namun ulama Mazhab
gadai boleh memanfaatkan hewan ternak Maliki dan Mazhab Syafi’i mengatakan
tersebut kalau mendapat izin dari bahwa kebolehan memanfaatkan hewan
pemiliknya. Ulama mazhab Maliki dan yang dijadikan gadai oleh pemegangnya,
ulama mazhab Syafi’i berpendirian bahwa hanya apabila hewan tersebut dibiarkan saja
jika hewan tersebut dibiarkan saja, tidak tanpa diurus oleh pemiliknya.
diurus oleh pemiliknya, maka pemegang Selain perbedaan pendapat diatas, di
gadai boleh memanfaatkannya. Karena kalangan ulama fikih juga terjadi khilafiah
membiarkan hewan tersebut tersia-sia, tentang pemanfaatan barang gadai oleh
termasuk yang dilarang dalam Islam. penerimanya. Ulama Mazhab Hanafi dan
Ulama mazhab Hanafi berpendapat Mazhab Hambali menyatakan bahwa
bahwa apabila yang dijadikan barang agunan pemilik gadai boleh memanfaatkan miliknya
itu adalah hewan, maka pemegang agunan yang telah diagunkan tersebut jika diizinkan
berhak mengambil susunya dan pemegang gadai. Mereka berprinsip bahwa
memanfaatkannya, sesuai dengan jumlah segala hasil dan resiko yang timbul dari
biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya barang gadaian menjadi tanggung jawab
untuk keperluan itu. Hal ini sesuai dengan pihak yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan
sabda Rasulullah SAW. dengan sabda Rasulullah SAW yang
Punggung (boleh) ditunggangi sesuai diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibnu
dengan biaya (yang dikeluarkan) apabila ia Hibban diatas. Oleh sebab itu, apabila kedua
digadaikan, dan susunya (boleh) diminum belah pihak ingin memanfaatkan barang
sesuai dengan biayanya (yang dikeluarkan) gadaian tersebut, haruslah mendapat izin
apabila ia digadaikan dan bagi otang yang dari pihak lainnya. Apabila barang yang
menanggungi dan yang meminum susunya dimanfaatkannya itu rusak, maka orang
(wajib) memberikan/pengeluaran biayanya. tersebut bertang gung jawab untuk
(HR al-Bukhari, al-Tirmizi, dan Abu Daud membayar ganti rugi.8
dari Abu Hurairah) Ulama Mazhab Syafi’i mengemukakan
Dalam hadist lain Rasulullah Saw pendapat yang lebih longgar dari pendapat
bersabda yang artinya “jika gadai itu seekor ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali
kambing, orang yang memegang agunan itu, diatas. Menurut mereka (ulama Mazhab
boleh meminum susunya, sesuai dengan Syafi’i), apabila pemilik barang ingin
biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan memanfaatkan barang gadaian, maka tidak
kambing tersebut. Apabila susu yang diambil perlu mendapat izin dari pemegang gadai
melebihi biaya pemeilharaan, maka itu. Karena barang itu adalah miliknya dan
kelebihannya itu, menjadi riba.” (HR Ahmad seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi
bin Hambal dari Abu Hurairah). untuk memanfaatkan hak miliknya. Akan
Akan tetapi, menurut ulama Mazhab tetapi pemanfaatan barang gadai tidak boleh
Hambali, apabila gadai itu bukan hewan atau merusak benda tersebut. Baik kualitas
sesuatu yang tidak memerlukan biaya maupun kuantitasnya. Jika terjadi kerusakan,
pemeliharaan, seperti tanah, maka pemegang maka pemilik bertanggung jawab terhadap
gadai tidak boleh memanfaatkannya. Ulama kerusakan tersebut. Hal ini sesuai dengan
Mazhab Hanafi berpendapat apabila barang Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan al-
gadai itu hewan ternak, pemegang gadai boleh Bukhari, al-Tirmidzi dan Abu Daud dari
memanfaatkannya apabila mendapatkan izin Abu Hurairah diatas.
bank. Untuk mendapatkan kredit dari menggunakan barangnya itu. Tetapi sebagai
lembaga keuangan, pihak bank juga pemilik apabila barang yang digadaikam itu
menuntut barang agunan yang bisa dipegang mengeluarkan hasil, maka hasil tersebut,
bank sebagai jaminan atas kredit tersebut. menjadi miliknya.11
Barang agunan ini dalam istilah bank disebut Berdasarkan ketentuan gadai seperti
dengan collateral. Collateral ini sejalan dengan diatas, maka jika barang gadai itu berupa
al-marhun (barang gadai) yang berlaku dalam kendaraan roda dua atau roda empat atau
akad rahn yang dibicarakan ulama klasik. tanah misalnya, tanpa izin pemilik barang,
Perbedaannya hanya terletak pada kedua belah pihak tidak berhak
pembayaran utang yang ditentukan oleh mamnfaatkan barang gadai itu. Namun
bank. Kredit di bank biasanya harus dibayar ketentuan demikian itu bisa bertentangan
sekaligus dengan bunga uang yang dengan salah satu prinsip Islam diantaranya
ditentukan oleh bank. Oleh sebab itu, tentang hak milik, yaitu bahwa hak milik
jumlah uang yang harus dibayar oleh debitor pribadi itu tidak mutlak, tetapi berfungsi
akan lebih besar dari utang yang dipinjam sosial, sebab harta benda itu pada
dari bank. Dengan demikian, menurut hakekatnya milik Allah SWT, sebagaimana
Mustafa Ahmad az-Zarqa’ (ahli fikih dari firman Nya: Katakanlah: “Kepunyaan
Universitas Amman, Jordanian) persoalan siapakah bumi ini, dan semua yang ada
utang (bunga bank) yang berlaku di bank padanya? Mereka akan menjawab:
yang mewajibkan adanya collateral terkait Kepunyaan Allah ..” (QS. Al-Mukminin: 84-
dengan penambahan utang. Persoalan ini, 85).
oleh ulama fikih, dibahas dalam persoalan Karena itu, diusahakan agar didalam
riba, yaitu apakah bunga sebagai tambahan perjanjian gadai itu tercantum jika pemegang
utang di bank itu, termasuk riba atau bukan minta diizinkan memanfaatkan barang gadai,
(riba). maka hasilnya menjadi milik bersama
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh (production sharing). Ketentuan ini
diambil manfaatnya, baik oleh pemilik dimaksudkan untuk menghindari harta
barang maupun oleh penerima/pemegang benda tidak berfungsi (mubazir).
gadai, kecuali mendapat izin dari masing- Berdasarkan ketentuan hukum gadai
masing pihak yang bersangkutan. Sebab hak diatas, maka Islam tidak membenarkan adat-
pemilik barang tidak memiliki secara istiadat dalam suatu masyarakat yang
sempurna yang memungkinkan ia memperbolehkan penerima/pemegang
melakukan perbuatan hukum sewaktu- gadai menanami tanah gadai dan memanen
waktu, misalnya mewakafkan, menjual, dan seluruh hasilnya, sebab tindakan ini berarti
lain sebagainya. Sedangkan hak penerima/ mengekspoloitasi dan sangat merugikan
pemegang gadai terhadap barang tersebut pemilik barang gadai itu sendiri.
hanya pada keadaan atau sifat Menurut Mahmud Syaltut, apabila kita
keberadaaannya yang mempunyai nilai, menghadapi dua alternatif, yaitu antara utang
tetapi tidak pada guna dan pemanfaaatan/ dengan menggadaikam barang berupa tanah
pemungutan hasilnya. Pemegang gadai yang seluruh hasilnya diambil oleh
hanya berhak menahan barang gadai tetapi pemegang gadai dengan utang pakai bunga
tidak berhak meng gunakan atau yang relatif ringan sesuai dengan ketentuan
memanfaatkan hasilnya, sebagaimana peraturan perundang-undangan yang
pemilik barang gadai tidak berhak berlaku, maka kita harus memilih utang
dengan sistem bunga, karena resikonya lebih dipandang bertentangan dengan tabi’at akad
ringan.12 gadai itu sendiri.
Mayoritas ulama tidak Perlu disadari bahwa terjadinya akad
membolehkan penerima/pemegang gadai gadai disebabkan adanya utang piutang
memanfaatkan barang gadai, sekalipun antara orang yang tidak/kurang berpunya
pemiliknya mengizinkannya sebab termasuk (they have not) dengan orang yang berpunya
riba yang dilarang oleh Islam berdasarkan (they have). Pihak yang berpunya telah
hadis Rasulullah SAW yang artinya “semua melapangkan kesempitan yang dialami oleh
pinjaman yang menarik manfaat adalah pihak yang kurang berpunya dengan
riba.” (HR al-Haris dari Ali) memberikan pinjaman sejumlah uang yang
Tetapi menurut ulama Hanafi, dibutuhkan. Dengan pemberian pinjaman
pemegang boleh memanfaatkan barang dana tersebut, maka pihak yang berhutang
gadai atas izin pemiliknya, sebab pemilik telah merasa tertolong dan keluar/lepas dari
barang itu boleh mengizinkan kepada siapa kesulitan yang dihadapi berkat bantuan yang
saja ia kehendaki termasuk pemegang gadai diberikan. Oleh karena itu, pihak yang
untuk mengambil manfaat barang yang telah memberikan pinjaman telah merealisasikan
digadaikannya. Namun itu bukan riba, salah satu aspek sosial dari harta yang dia
karena pemanfaatan barang gadai itu ditarik/ miliki dengan memberikan bantuan dalam
diperoleh berdasarkan izin, bukan bentuk pinjaman. Karena itu, tidak ada
didasarkan pinjaman.13 salahnya pula bila sebaliknya pihak yang
Mahmud Syaltut dapat menyetujui berhutang (sekaligus pemilik barang
pendapat ulama Hanafi tersebut di atas gadai)memberikan izin secara ikhlas kepada
dengan catatan, izin pemilik itu bukan pihak yang berpiutang (yang juga pemegang
sekedar formalitas, tetapi benar-benar tulus gadai) untuk mengambil mafaat barang yang
ikhlas berdasarkan mutual understanding and digadaikan itu secara wajar, yang juga dapat
mutual help (saling mengerti dan saling dikategorikan sebagai salah satu bentuk
menolong). fungsi sosial dari barang agunan tersebut dan
Sebagaimana yang telah dikemukakan sekaligus sebagai wujud tanda terima kasih
sebelumnya bahwa menurut Fathi ad- atas bantuan yang diberikan.
Duraini (ahli fiqh dari Universitas Penulis sejalan dengan pendapat
Damaskus, Suriah) kehati-hatian ulama fikih ulama Hanafi dan Mahmud Syaltut diatas,
dalam menetapkan hukum pemanfaatan bahwa pemegang gadai boleh
barang gadai, baik oleh pemilik barang atau memanfaatkan barang gadai atas izin
pemegang gadai bertujuan agar kedua belah pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh
pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan mengizinkan kepada siapa saja yang ia
riba. Karena hakikat rahn dalam Islam adalah kehendaki untuk mengambil manfaat barang
akad yang dilaksanakan tanpa imbalan jasa yang telah digadaikannya itu. Terlebih lagi
dan tujuannya adalah untuk tolong- kepada pemegang gadai yang telah
menolong. Oleh sebab itu, ulama fikih memberikan pinjaman uang yang sangat ia
menyatakan bahwa apabila ketika butuhkan. Karena itu, manfaat yang diambil
berlangsungnya akad kedua belah pihak pemegang gadai bukanlah riba, sebab
menetapkan syarat bahwa mereka sama- pemanfaatan barang gadai tersebut
sama boleh memanfaatkan barang diperoleh berdasarkan izin bukan didasarkan
gadai,maka rahn itu tidak sah, karena hal ini pinjaman, dan izin dari pemilik barang gadai
itu bukan sebagai formalitas, tetapi benar- Murtahim), harta yang digadaikan (al-
benar tulus ikhlas berdasarkan saling Marhum), dan utang (al-Marhum bih)
mengerti dan saling menolong (mutual 4. Para ulama berbeda pendapat tentang
understanding and mutual help) boleh atau tidaknya memanfaatkan
Menurut ajaran Islam, apabila waktu barang gadai, baik oleh pemiliknya
pembayaran utang telah jatuh tempo, maka maupun penerima/pemegang gadai,
pemilik barang gadai wajib melunasi karena masing-masing tidak mempunyai
utangnya, dan pemegang gadai wajib pula hak milik secara sempurna. Oleh karena
menyerahkan barang gadai dengan segera itu, masing-masing pihak harus
kepada pemiliknya. Jika pemilik agunan tidak mendapat izin secara ikhlas sebelum
mau membayar utangnya dan tidak mau pula barang tersebut dapat dimanfaatkan
memberi izin kepada pemegang gadai untuk
menjual barang tersebut, maka hakim
(pengadilan) dapat memaksa pemiliki barang Catatan Akhir
membayar utang atau menjual barangnya.
1
Kemudian jika barang itu telah dijual, dan Abd. Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib
al-Arba’ah, Dar al-Kutub al-Juriyah, Beirut, 1990,
ternyata harga penjualan lebih banyak dari juz II, hlm.289
pada utangnya, maka kelebihan uang hasil 2
Perpustakaan Nasional, Ensiklopedi Hukum Islam,
penjualan barang tersebut wajib PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm.
dikembalikan kepada pemilik gadai, tetapi 1481
3
Ibid, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah,
sebaliknya, kalau hasil penjualan gadai itu
hlm.289
masih kurang untuk membayar utangnya, 4
Ibid, hlm. 289
maka kekurangan itu harus ditanggung oleh 5
Ibid, hlm. 291
6
pemilik barang gadai tersebut. Ensiklopedia Hukum Islam, op.cit, 1481-1482
7
Musthafa Muhamd Imarah, Jawahir al-Bukhari,
Darul Ihya’, Indonesia, 1993, hlm. 262
Kesimpulan 8
Sayid Sabig, Fiqh al-sunnah, III, Dar al-Fikr,
Lebanon, 1981, hlm. 188-189
9
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya Syaikh Abdul Hamid al-Khatib, Asmar Risalat, Alih
dapat disimpulkan sebagai berikut: bahasa, H. Bey Arifin, Bulan Bintang, Jakarta, hlm.
552
1. Gadai adalah harta yang dijadikan 10
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba,
pemiliknya sebagai jaminan utang yang Utang Piutang, Gadai, Bandung, Al-Ma’arif, 1983,
bersifat mengikat, dan dijadikan pembayar hlm. 160
11
utang, baik seluruhnya maupun sebagian Prof. Dr. Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT.
apabila sudah jatuh tempo. Midas Surya Grafindo, jakarta, 1990, hlm. 118
12
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Mesir, Darul Qalam,
2. Gadai dibolehkan dalam Islam hlm. 344-345Prof. Dr. Masyfuk Zuhdi, Masail
berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Sunnah Fiqhiyah, PT. Midas Surya Grafindo, Jakarta, 1990
Rasulullah SAW Sayid Sabig, Fiqh al-sunnah, III, Dar al-Fikr,
3. Menurut Jumhur ulama, rukun rahn itu Lebanon, 1981Syaikh Abdul Hamid al-Khatib,
Asmar Risalat, Alih bahasa, H. Bey Arifin, Bulan
ada empat, yaitu lafal ijab dan kabul
Bintang, Jakarta
(shigat), orang yang berakad ( ar-rahim wal 13
Ensiklopedi Hukum Islam, Op.cit, 1997
Daftar Pustaka
Abd. Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Dar al-Kutub al-Juriyah,
Beirut, 1990, juz II
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang, Gadai, Bandung, Al-
Ma’arif.
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Mesir, Darul Qalam
Musthafa Muhamd Imarah, Jawahir al-Bukhari, Darul Ihya’, Indonesia, 1993