net/publication/282652092
Prospek Ozonasi Etil Ester dari Beberapa Minyak Nabati untuk Bahan Bakar
Mesin Diesel
CITATIONS READS
0 317
1 author:
Setijo Bismo
University of Indonesia
226 PUBLICATIONS 430 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Setijo Bismo on 08 October 2015.
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi awal dari proses-proses penjenuhan senyawa-senyawa etil ester
dari minyak sawit (palm oil), minyak kelapa (coconut oil), minyak kedelai (soyabean oil) dan
minyak bunga matahari (sunflower oil) yang dianggap cukup potensial untuk digunakan
sebagai komplemen bahan-bakar ataupun aditif bahan bakar mesin-mesin diesel (diesel
engines). Sebagai sumberdaya yang sangat mungkin dikembangkan di Indonesia, minyak-
minyak nabati tersebut dikonversikan menjadi etil-ester melalui proses trans-esterifikasi
menggunakan etanol dan kemudian diikuti dengan proses ozonasi. Selanjutnya, senyawa etil-
ester tersebut direaksikan dengan ozon (O3) menjadi senyawa-senyawa ozonida, atau kemudian
menjadi karboksilat atau senyawa hidrokarbon lain yang lebih pendek rantai karbonnya
sehingga dapat meningkatkan karakteristik spesifiknya sebagai bahan bakar, termasuk juga
sifat penyalaannya. Kendala utama dari konversi tersebut adalah efektifitas dari reaksi ozonasi
itu sendiri. Beberapa materi utama yang disajikan dalam makalah ini sebagian besar
merupakan hasil-hasil investigasi awal dari proses-proses atau konversi yang berlangsung,
yaitu konversi reaksi ozonasi dari semua etil-ester yang berasal dari minyak nabati yang
digunakan baik menjadi senyawa ozonida maupun senyawa karboksilat lainnya. Parameter-
parameter yang diuji untuk investigasi tersebut, pada dasarnya adalah sifat-sifat fisika dan
kimiawi dari campuran reaksi itu sendiri, seperti: densitas, viskositas, keasaman dan juga
indeks setananya.
Pendahuluan
Saat ini, mesin-mesin diesel modern pada dasarnya dirancang untuk bahan-bahan bakar dari sumber
fosil yang tidak sekental minyak nabati termasuk minyak kacang yang diperkenalkan pertamakali oleh
Rudolf Diesel, sedemikian rupa sehingga bahan-bahan bakar dari minyak nabati cenderung mengalami
fenomena dan kinerja yang kurang memuaskan bila diaplikasikan pada mesin-mesin diesel tersebut. Kendala
utama dari kinerja dari minyak-minyak nabati tersebut adalah sifatnya yang tidak mudah dinyalakan pada
keadaan dingin (poor cold-starting performance) dan adanya kecenderungan pembentukan getah atau gum
formation (Sims, 1983; Harrington, 1983). Di samping itu juga, mesin-mesin diesel yang dirancang pada saat
ini lebih memerlukan pembakaran yang jernih dan kestabilan operasi bahan bakar pada berbagai kondisi,
terutama di negara-negara empat musim.
Pada pertengahan tahun 1970-an mulai dikembangkan penggunaan biodiesel atau ester minyak nabati
(fatty ester) untuk bahan bakar mesin diesel sebagai alternatif dari bahan bakar minyak bumi. Kemudian,
pada tahun 1990-an, daya tarik penggunaan biodiesel tersebut semakin meningkat karena kelebihannya
dalam menekan dampak pencemaran lingkungan dibandingkan dengan bila menggunakan bahan bakar
minyak bumi. Dewasa ini, di berbagai negara Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, Jepang, dan Malaysia,
penggunaan biodisel telah diterapkan secara resmi karena didukung oleh undang-undang ataupun peraturan
pemerintah. Bahkan, produksi biodiesel di negara-negara Eropa Barat sampai tahun 2003 yang lalu telah
mencapai 2 juta ton per-tahun, dengan produsen terbesar berada di Jerman (sekitar 1 juta ton), Perancis
(440.000 ton), dan Italia (350.000 ton) (Conneman, 1999; Brunskill, 2001, Bockey, 2002).
Sumber nabati dari biodiesel yang terbanyak digunakan di dunia pada saat ini adalah minyak kanola
(rapeseed oil) dan minyak bunga matahari (sunflower oil). Minyak-minyak nabati yang sumbernya banyak
terdapat di negara kita, seperti minyak sawit (palm oil) dan minyak kelapa (coconut oil) masing belum
banyak dikembangkan secara masal, walaupun di Malaysia hampir seluruhnya menggunakan minyak sawit
dan di Filipina telah mulai digunakan minyak kelapa sejak beberapa tahun yang lalu. Untuk lebih jelasnya,
proporsi dari sumber-sumber biodiesel tersebut, beserta komposisi empiris dari komponen asam lemaknya
dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini (Harrington, 1983; Brunskill, 2001).
Dari tabel di atas, terlihat bahwa ester-ester (terutama metil-ester) asam lemak tak jenuh lebih banyak
mendominasi jenis biodiesel yang diproduksi oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara, karena
senyawa ester dari asam-asam lemak tak jenuh tersebut relatif lebih mudah dimurnikan dalam proses
produksinya.Walaupun jenis biodiesel ini memiliki viskositas yang lebih mendekati bahan bakar diesel
konvensional, namun kelemahannya adalah rentan terhadap beberapa fenomena yang sangat merugikan
mesin, seperti: oksidasi, pembentukan asam dan formasi getah.
Jika dilihat dari bahan bakunya, saat ini methanol (sebagai bahan baku metil-ester) relatif masih lebih
ekonomis dibandingkan dengan etanol yang digunakan sebagai bahan baku etil-ester. Namun, jika dikaji
lebih mendalam lagi, sebenarnya penggunaan metanol tersebut juga mengandung resiko, terutama sifatnya
yang lebih beracun dibandingkan etanol. Di samping itu juga, di masa depan sebenarnya etanol lebih
menjanjikan, mengingat alkohol jenis ini dapat diproduksi dari berbagai jenis umbi-umbian atau produk
karbohidrat lainnya (terutama melalui proses fermentasi) (Schumacher, 2001; Kay, 2001; Methanex, 2002).
Oleh karena itulah, penggunaan bahan baku etanol untuk sintesis ester asam-asam lemak dari minyak nabati
lebih diutamakan dalam penelitian ini.
Penelitian-penelitian tentang ozonasi metil-ester dari minyak nabati telah mulai banyak dilakukan oleh
beberapa peneliti di Jepang, Eropa dan Amerika Utara (Ledea, 2001; Lee, 2002; Diaz, 2003; Soriano, Jr.,
2003). Penelitian-penelitian tersebut umumnya lebih dititik-beratkan pada perbaikan kualitas bahan bakar
mesin diesel yang berasal dari minyak-minyak nabati. Mekanisme reaksi ozonasi dari ester asam-asam lemak
dalam penelitian-penelitian yang ada sampai saat ini, semuanya didasarkan oleh mekanisme reaksi adisi ozon
yang diperkenalkan oleh Criegee (Diaz, 2003; Soriano, Jr., 2003), seperti dapat dilihat pada gambar 1.
Penelitian ini merupakan studi awal dari proses-proses penjenuhan senyawa-senyawa etil ester dari
beberapa jenis minyak nabati, yang sangat potensial untuk digunakan sebagai komplemen bahan-bakar
mesin-mesin diesel (diesel engines). Minyak-minyak nabati yang digunakan dipilih berdasarkan beberapa
faktor, seperti ketersediaan sumber-sumber dayanya, sifat kimia dan fisikanya, juga sifat-sifat mekaniknya
untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar ataupun aditif bahan bakar mesin diesel, seperti: minyak sawit
(palm oil), minyak kelapa (coconut oil), minyak kedelai (soyabean oil) dan minyak bunga matahari
(sunflower oil). Penggunaan etil-ester merupakan pilihan yang diambil terutama karena faktor-faktor
lingkungan, yaitu faktor keberlanjutan atau kesinambungan (sustainibility) dan kurang berbahaya (less
hazardous) dibandingkan metil-ester.
O R1 O
+ -
R1CH = CHR 2 + O3
→ O O
→ C–O–O + CR2
Asam lemak tak jenuh H H
R1 R2
Karbonil oksida Senyawa karbonil
1,2,4-trioksolan
H2O
O O – OH
H O H
R1C + H2O2 R1C – OH
H R1 O O R1
H
Senyawa karbonil Peroksida oligomer Ozonida Criegee
Gambar 1. Skematis mekanisme Criegee untuk reaksi ozonasi ester asam lemak.
g/mL EE-KL
0,98
EE-SW
0,96 EE-BM
EE-KD
0,94
0,92
0,90
0,88
Pra-Ozonasi Ozon-30ºC Ozon-40ºC Ozon-50ºC
Gambar 2. Perubahan densitas karena reaksi ozonasi.
EE-KL
40
t
cS
EE-SW
35
EE-BM
30
EE-KD
25
20
15
10
5
0
Pra-Ozonasi Ozon-30ºC Ozon-40ºC Ozon-50ºC
Viskositas. Perubahan viskositas untuk semua ester yang diuji menunjukkan kecenderungan yang
menaik, dengan perubahan paling signifikan dialami oleh etil-ester dari minyak sawit (EE-SW) dan yang
hampir tidak mengalami perubahan secara signifikan adalah EE-KL (gambar 3). Parameter perubahan ini
sangat berarti untuk menganalisis terjadinya reaksi ozonasi, yaitu reaksi ozonasi yang mengikuti mekanisme
Criegee (Ledea, 2001; Diaz, 2003; Soriano, Jr., 2003). Dari perubahan-perubahan tersebut dapat difahami
jika EE-KL tidak mengalami perubahan yang cukup berarti, mengingat ester ini secara struktur molekular
hanya memiliki ikatan rangkap sekitar 8 % (tabel 1), sehingga kurang reaktif terhadap reaksi adisi oleh ozon.
Fenomena yang dialami EE-SW dan EE-KD, sebagai yang paling sensitif berubah harga viskositasnya,
merupakan hal yang cukup menarik. Hal ini, sebenarnya sangat konfirmatif terutama jika dikaji dari
terjadinya produk-produk reaksi yang bersifat transisional, seperti: 1,2,4-trioksolan (ozonida Criegee),
peroksida-peroksida kompleks (molekul yang teroligomerisasi), dan senyawa-senyawa karbonil lainnya (lihat
gambar 1).
7,2 EE-KL
EE-SW
7,0
[mg-KOH/g-EE]
EE-B M
6,8
EE-KD
6,6
6,4
6,2
6,0
5,8
5,6
Pra-Ozonasi Ozon-30ºC Ozon-40ºC Ozon-50ºC
Kesimpulan
Reaksi ozonasi yang diterapkan pada ke empat jenis etil ester di atas memberikan gambaran dan
prospek yang sangat jelas untuk mengubah sifat-sifat dan atau karakteristik dari ester yang berasal dari
minyak-minyak nabati kelapa sawit, kedele, dan bunga matahari. Adanya konfirmasi terjadinya reaksi
ozonasi tersebut berarti juga adanya reaksi pemutusan ikatan rangkap, terutama ikatan rangkap tunggal, yang
pada akhirnya akan dihasilkan senyawa-senyawa dengan rantai karbon yang lebih sederhana dibandingkan
senyawa asalnya. Senyawa-senyawa hidrokarbon yang terbentuk tersebut diharapkan dapat juga
memperbaiki karakteriskik ester-ester tersebut jika digunakan sebagai bahan bakar ataupun juga sebagai
aditif bahan bakar mesin diesel.
Walaupun belum menggunakan reaktor (kontaktor) ozonator yang standar, dalam penelitian ini telah
dibuktikan bahwa reaksi ozonasi pada senyawa-senyawa etil-ester nabati yang dilakukan telah memberikan
prospek yang cukup berguna. Di samping itu juga, diperoleh informasi tentang suhu reaksi yang terlalu tinggi
(di atas 40 ºC) ternyata tidak memberikan peranan yang cukup signifikan bahkan lebih cenderung kontra
produktif atau ada kemungkinan menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak tepat untuk digunakan sebagai
bahan bakar ataupun aditif bahan bakar mesin diesel.
Sebagai bahan nabati yang jumlahnya sangat melimpah di negara kita, ternyata minyak sawit sangat
potensial untuk dikembangkan lebih lanjut, baik sebagai turunan-turunan esternya ataupun untuk senyawa-
senyawa lain yang dapat menggantikan peranan bahan-bahan kimia yang berasal dari minyak bumi.
Daftar Pustaka
1. Sims, R.E.H., (1983), “The Potential for Rapeseed Oil and Tallow Esters as Fuels for Compression
Ignition Engines.” Paper No. 83014, 2nd National Conference on Fuels from Crops, SAE Australasia,
Melbourne, Australia.
2. Methanex, (2002), “Current World Methanol Prices”, http://ww.methanex.com/
methanol/currentprice.htm
3. Brunskill, A., (2001), “World Oleochemicals and Oil Prices – Cause or Effect”. Asean Oleochemicals
Manufacturers Group. http://ww.aomg.org
4. Harrington, K., (1983), “Chemical and Physical Properties of Vegetable Oil Esters and their Effect on
Diesel Engine performance”, Paper No. 83012, 2nd National Conference of Fuels from Crops,
Melbourne, Australia.
5. Schumacher, L.G., et al,. (2001), “Engine Oil Analysis of Diesel engines fuelled with Biodiesel Blends.”
Paper No. 01-6053, Annual International Meeting Sponsored by ASAE Sacramento, California, USA.
6. Bockey, D., (2002), “Biodiesel Production and Marketing in Germany”., UFOP,
http://www.biodiesel.org/resources/reports_database/reports/gen/071002_biod_in_germany.pdf.
7. Kay, J., (2001), “Biodiesel Revolution begins in S.F. - First Retail Outlet for Vegetable Fuel Opens”,
San Francisco Chronicle, page A-15, San Francisco, USA, http://www.
worldenergy.net/world_energy_news.html
8. Diaz, M.F., et al, (2003), “1H NMR Study of Methyl Linoleate Ozonation”, Ozone Science & Engng.,
Vol. 25, pp 121-126.