Disusun oleh:
Rabies adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus RNA dari genus
Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus berbentuk seperti peluru yang bersifat
neurotropis, menular dan sangat ganas. Reservoir utama rabies adalah anjing
domestik. Sebagian besar kasus (98%) disebabkan oleh gigitan anjing, sedangkan
sisanya oleh hewan lain seperti monyet dan kucing. Rabies adalah infeksi virus akut
yang menyerang sistem saraf pusat manusia dan mamalia.
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah /
pengambil kebijakan dalam menentukan program pengendalian yang paling
tepat untuk dilaksanakan berdasarkan skala prioritas dan bentuk strategi yang
paling menguntungkan.
1.4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Agen Penyakit Rabies
Agen penyebab rabies adalah virus dari genus lyssa virus dan termasuk ke
dalam family Rhabdoviridae. Virus ini bersifat neurotropic, berbentuk menyerupai
peluru dengan panjang 130 – 300 nm dan diameter 70 nm. Virus ini terdiri dari inti
RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal diselubungi lipoprotein. Pada selubung luar
terdapat tonjolan yang terdiri dari glikoprotein G yang berperan penting dalam
timbulnya imunitas oleh induksi vaksin dan penting dalam identifikasi serologi dari
virus rabies.
Virus rabies dapat bertahan pada pemanasan dalam beberapa waktu lama.
Pada pemanasan suhu 560C, virus dapat bertahan selama 30 menit dan pada
pemanasan kering mencapai suhu 1000C masih dapat bertahan selama 2-3 menit. Di
dalam air liur dengan suhu udara panas dapat bertahan selama 24 jam. Dalam
keadaan kering beku dengan penyimpanan pada suhu 40C virus dapat bertahan
selama bertahun-tahun, hal inilah yang menjadi dasar kenapa vaksin anti rabies harus
disimpan pada suhu 20 – 80C. Pada dasarnya semakin rendah suhunya semakin lama
virus dapat bertahan.
Virus rabies mudah mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet, pengaruh
keadaan asam dan basa, zat pelarut lemak, misalnya ether dan kloroform, Na
deoksikolat, dan air sabun (Akoso, 2007). Oleh karena itu sangat penting melakukan
pencucian luka dengan menggunakan sabun sesegera mungkin setelah gigitan untuk
membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan.
Cara penularan rabies melalui gigitan dan non gigitan (goresan cakaran atau
jilatan pada kulit terbuka/mukosa) oleh hewan yang terinfeksi virus rabies. Virus
rabies akan masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terbuka atau mukosa namun
tidak dapat masuk melalui kulit yang utuh. Air liur nantinya akan mentransmisikan
virus dan mulai menginfeksi tubuh inang yang baru (Hukmi dkk., 2019).
Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan/cakaran, virus akan menetap
selama 2 minggu di sekitar luka gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot
sekitar luka gigitan. Kemudian virus akan berjalan menuju susunan saraf pusat
melalui saraf perifer tanpa ada gejala klinis. Setelah mencapai otak, virus akan
melakukan replikasi secara cepat dan menyebar luas ke seluruh sel-sel saraf
otak/neuron terutama sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron- neuron otak, virus berjalan ke arah perifer melalui
serabut saraf eferen baik sistem saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian
virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh, dan virus akan
berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan
sebagainya.
Gejala klinis rabies akan timbul setelah virus mencapai susunan saraf pusat
dan menginfeksi seluruh neuron terutama di sel-sel limbik, hipotalamus dan batang
otak.Virus rabies bersifat neurotrofik, yang berarti predileksinya pada sistem saraf.
Virus ini berjalan melalui sistem saraf, sehingga tidak terdeteksi melalui pemeriksaan
darah. Sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa mendiagnosis dini sebelum
muncul gejala klinis rabies.
Gejala klinis pada anjing sesuai dengan manifestasinya dibagi dalam 3 tahap
yaitu tahap prodromal, tahap eksitasi, dan tahap paralitik.
A. Tahap Prodromal
Tahap ini merupakan tahap awal dari gejala klinis yang berlangsung selama 2
– 3 hari. Terdapat perubahan perilaku hewan yaitu hewan tidak mengenal tuannya,
sering menghindar dan tidak mengacuhkan perintah tuannya. Mudah terkejut dan
cepat berontak bila ada provokasi. Terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan
refleks kornea menurun terhadap rangsangan.
B. Tahap Eksitasi
A. Tipe Ganas
Tipe ganas apabila didominasi tahap eksitasi dimana anjing akan terlihat
beringas serta akan menyerang semua benda yang bergerak.
Tipe tenang apabila hewan yang terinfeksi rabies setelah gejala prodormal
langsung masuk ke tahap paralisis.
Faktor risiko yang berhubungan dengan tingginya prevalensi Eimeria sp. adalah usia
ternak, sistem pemberian pakan, dan kondisi kandang.
1. Umur Hewan
Berdasarkan penelitian Sufii dkk (2016) yang dilakukan oleh Sapi
kelompok umur <6 bulan lebih berisiko 10,3 kali dan sapi kelompok
umur 6-12 bulan berisiko 5,4 kali terkena coccidosis dibandingkan
dengan sapi kelompok umur >12 bulan. Menurut Dawid et al. (2012)
yang melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan terhadap
prevalensi koksidiosis di antara berbagai kategori umur sapi. Pedet
lebih rentan terkena penyakit coccidiosis karena tingkat imunitas dari
pedet tersebut masih rendah.
2. Kondisi perkandangan
Kondisi perkandangan sangat berpengaruh terhadap prevalensi
terjadinya penyakit coccidiosis. Penyebaran penyakit coccidiosis
dipengaruhi oleh kebersihan kandang dan kepadatan kandang. Alas
kandang yang sukar untuk dibersihkan, seperti jerami, kayu, dan karet
memiliki risiko lebih tinggi terkena coccidiosis dibandingkan alas
kandang yang mudah dibersihkan (Sufi, dkk 2016).
3. Sistem pemberian pakan
Menurut Rehman et al (2011) sapi yang diberi makan diatas tanah
lebih besar prevalensinya dibandingkan dengan sapi yang diberi
makan pada bak atau tempat makan. Pemberian makan diatas tanah
lebih berisiko karena ookista dari Eimeria sp dapat bertahan di tanah
dalam beberapa bulan pada suhu tertentu.
1.6. Intervensi pada Natural History of Disease
1. Stage of Suscebtility (Tahap hewan rentan tertular)
Pada tahap ini, perlu dilakukan penerapan biosafety dan biosecurity
pada peternakan yang memelihara sapi, terutama pada peternakan
yang bertempat di daerah endemik coccidiosis untuk mencegah
masuknya agen ke dalam tubuh host. Pencegahan coccidiosis dapat
dilakukan dengan cara:
- Menjaga sanitasi dan kebersihan kandang. Peralatan kandang yang
terkontaminasi atau berpotensi terkontaminasi dibersihkan setelah
digunakan. Alas kandang harus dibersihkan secara rutin.
- Populasi kandang. Kandang yang terlalu ramai akan
mempermudah penularan coccidiosis ini, sehingga jumlah sapi
dalam satu kandang harus ditentukan agar tidak terlalu ramai.
Populasi kandang yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan
sapi stress. Pemisahan hewan muda dan hewan tua juga harus
dilakukan agar hewan muda yang masih memiliki imunitas yang
rendah tidak terinfeksi .
- Penggunaan sediaan coccicidal untuk mencegah terjadinya
coccidiosis. Contoh sediaan coccidiosis, yaitu Amprolium (5
mg/kg BB), Decoquitane (0,5 mg/kg BB), Lasalocid (1 mg/kg
BB), dan Monensin (Keeton and Navarre, 2018).
2. Stage of Subclinical Disease (Tahap subklinis)
Pada tahap ini, sapi sudah terpapar Eimeria sp. namun belum
menunjukkan gejala klinis. Pada tahap ini, sapi dapat di screening
menggunakan pemeriksaan laboratorium, menggunakan cara
konvensional, yaitu pemeriksaan natif, uji apung, dan metode
McMaster (Sujatmiko, dkk, 2020). Pada tahap ini, pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan Amprolium (10 mg/kg BB) dan
sulfaxuinoxaline (10-20 mg/kg BB) (Keeton and Navarre, 2018).
3. Stage of Clinical Disease
- ELISA
Jenis Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang sering
digunakan adalah Antibody Immunosorbent Enzyme-linked, yaitu teknik yang
menggabungkan antara antibodi spesifik dengan enzim spesifik secara
sederhana. ELISA memberikan pengukuran antigen atau antibodi yang relatif
efektif dan memberikan hasil data kuantitatif. Metode ini dilaporkan mampu
mendeteksi keberadaan antigen Eimeria spp yang dikenali oleh antibodi atau
digunakan untuk menguji antibodi yang mengenali antigen. Teknik diagnosa
ini memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tehnik
konvensional.
- PCR
Teknik PCR primer spesifik merupakan metode diagnosis yang efektif
dan terpadu untuk mendeteksi spesies Eimeria baik secara individu atau
simultan dalam suatu reaksi. Penanda molekuler (primer DNA) gen Internal
Transcribed Spacer 1 (ITS-1) dikenal lebih unggul dan sensitif untuk
mendeteksi spesies Eimeria pada sapi dibanding pemeriksaan konvensional.
Teknik PCR dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan pemeriksaan secara
morfologis. Kelemahan metode PCR adalah biaya yang dibutuhkan relatif
mahal, memerlukan mesin Thermocycler (mesin PCR) dan membutukan
operator yang terlatih (Sujatmiko, dkk, 2020)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Kasus Coccidiosis pada Pasir Jambu dan Ibun, Kabupaten Bandung
Dengan perhitungan NPV, didapatkan hasil positif, yaitu 310,359,867. Hal ini
menandakan manfaat yang diterima lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.
Dengan mengacu kepada perhitungan NPV ini, maka strategi pengendalian ini dapat
dilaksanakan. Dengan perhitungan BCR, didapatkan hasil lebih dari 1, yaitu 3.16. Hal
ini menunjukkan strategi ini dapat dilaksanakan. Sedangkan dengan perhitungan IRR,
nilai IRR pada pengendalian ini adalah 261,27%. Nilai ini lebih besar dibandingkan
dengan nilai laju pengembalian, yaitu 5%. Dengan mengacu pada IRR, strategi ini
dapat dilakukan.
Tabel 3. Analisis Biaya Manfaat
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan