Anda di halaman 1dari 19

UPAYA PENGAMATAN, PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN,

PENGAWASAN LALU LINTAS HEWAN, MONITORING DAN EVALUASI


YANG HARUS DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH.

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Masyarakat dan


Epidemiologi Veteriner

Dosen Pengampu : Okta Wismandanu, drh., M. Epid

Disusun oleh:

Rifki Hizbullah Akbar 130212200011

PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya pengamatan, pencegahan, pemberantasan, pengawasan lalu lintas


hewan, monitoring dan evaluasi yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Rabies adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus RNA dari genus
Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus berbentuk seperti peluru yang bersifat
neurotropis, menular dan sangat ganas. Reservoir utama rabies adalah anjing
domestik. Sebagian besar kasus (98%) disebabkan oleh gigitan anjing, sedangkan
sisanya oleh hewan lain seperti monyet dan kucing. Rabies adalah infeksi virus akut
yang menyerang sistem saraf pusat manusia dan mamalia.

(Zakaria F, Yudianingtyas DW, Kertayadnya G. Situasi Rabies di Beberapa Wilayah


Indonesia Timur Berdasarkan Hasil Diagnose Balai Besar Veteriner Maros. Maros.
2005.)

Mengingat dampak rabies terhadap kesehatan dan kondisi psikologis


masyarakat cukup besar serta memiliki dampak terhadap perekonomian khususnya
bagi daerah-daerah pariwisata di Indonesia yang tertular rabies, maka upaya
pengendalian penyakit perlu dilaksanakan seintensif mungkin untuk mewujudkan
Indonesia Bebas Rabies.Program bebas rabies merupakan kesepakatan global,
regional dan nasional. Upaya Indonesia bebas rabies dilaksanakan oleh Kementerian
Pertanian (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan), Kementerian Kesehatan (Ditjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit) dan Kementerian Dalam Negeri (Ditjen
Otonomi Daerah).
Analisis biaya manfaat sering digunakan dalam penanganan penyakit hewan,
Analisis ini digunakan untuk mencari nilai dan perbandingan biaya dan manfaat suatu
kegiatan dan mengubahnya menjadi nilai ekonomi untuk melihat tindakan mana yang
memberikan manfaat terbaik dengan menggunakan sumber daya yang paling efisien.

1.2. Tujuan

Tujuan dituliskan laporan ini adalah untuk menggunakan analisis biaya-


manfaat untuk dua skenario penanganan coccidiosis, yaitu dengan pemberian
antibiotik gabungan sulfadoxine dan trimethropim.

1.3. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah /
pengambil kebijakan dalam menentukan program pengendalian yang paling
tepat untuk dilaksanakan berdasarkan skala prioritas dan bentuk strategi yang
paling menguntungkan.
1.4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Agen Penyakit Rabies

Agen penyebab rabies adalah virus dari genus lyssa virus dan termasuk ke
dalam family Rhabdoviridae. Virus ini bersifat neurotropic, berbentuk menyerupai
peluru dengan panjang 130 – 300 nm dan diameter 70 nm. Virus ini terdiri dari inti
RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal diselubungi lipoprotein. Pada selubung luar
terdapat tonjolan yang terdiri dari glikoprotein G yang berperan penting dalam
timbulnya imunitas oleh induksi vaksin dan penting dalam identifikasi serologi dari
virus rabies.

Virus rabies dapat bertahan pada pemanasan dalam beberapa waktu lama.
Pada pemanasan suhu 560C, virus dapat bertahan selama 30 menit dan pada
pemanasan kering mencapai suhu 1000C masih dapat bertahan selama 2-3 menit. Di
dalam air liur dengan suhu udara panas dapat bertahan selama 24 jam. Dalam
keadaan kering beku dengan penyimpanan pada suhu 40C virus dapat bertahan
selama bertahun-tahun, hal inilah yang menjadi dasar kenapa vaksin anti rabies harus
disimpan pada suhu 20 – 80C. Pada dasarnya semakin rendah suhunya semakin lama
virus dapat bertahan.

Virus rabies mudah mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet, pengaruh
keadaan asam dan basa, zat pelarut lemak, misalnya ether dan kloroform, Na
deoksikolat, dan air sabun (Akoso, 2007). Oleh karena itu sangat penting melakukan
pencucian luka dengan menggunakan sabun sesegera mungkin setelah gigitan untuk
membunuh virus rabies yang berada di sekitar luka gigitan.

1.2. Sumber Penyakit

Cara penularan rabies melalui gigitan dan non gigitan (goresan cakaran atau
jilatan pada kulit terbuka/mukosa) oleh hewan yang terinfeksi virus rabies. Virus
rabies akan masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang terbuka atau mukosa namun
tidak dapat masuk melalui kulit yang utuh. Air liur nantinya akan mentransmisikan
virus dan mulai menginfeksi tubuh inang yang baru (Hukmi dkk., 2019).

1.3. Transmisi Penyakit

Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan/cakaran, virus akan menetap
selama 2 minggu di sekitar luka gigitan dan melakukan replikasi di jaringan otot
sekitar luka gigitan. Kemudian virus akan berjalan menuju susunan saraf pusat
melalui saraf perifer tanpa ada gejala klinis. Setelah mencapai otak, virus akan
melakukan replikasi secara cepat dan menyebar luas ke seluruh sel-sel saraf
otak/neuron terutama sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron- neuron otak, virus berjalan ke arah perifer melalui
serabut saraf eferen baik sistem saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian
virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh, dan virus akan
berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, ginjal dan
sebagainya.

Dr. Richard Hunt. Rabies.Virology – Chapter Twenty. Retrieved from


http://pathmicro.med.sc.edu/virol/rabies.htm : Microbiology and Immunology On-
line University of South Carolina School of Medicine.
1.4. Natural History of Disease

Di dunia sebanyak 99% kematian akibat rabies disebabkan oleh gigitan


anjing. Di sebagian besar negara berkembang, anjing merupakan reservoir utama bagi
rabies sedangkan hewan liar yang menjadi reservoir utama rabies adalah rubah,
musang, dan anjing liar. Di Indonesia, hewan yang dapat menjadi sumber penularan
rabies pada manusia adalah anjing, kucing dan kera namun yang menjadi sumber
penularan utama adalah anjing, sekitar 98% dari seluruh penderita rabies tertular
melalui gigitan anjing. Masa inkubasi penyakit rabies sangat bervariasi yaitu antara 2
minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3 – 8 minggu. Menurut WHO (2007)
disebutkan bahwa masa inkubasinya rata-rata 30 – 90 hari.

Perbedaan masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

a. Jenis/strain virus rabies.


b. Jumlah virus yang masuk.
c. Kedalaman luka gigitan, semakin dalam luka gigitan kemungkinan virus
rabies mencapai sistem saraf semakin besar.
d. Lokasi luka gigitan, semakin dekat jarak luka gigitan ke otak, maka gejala
klinis akan lebih cepat muncul. Oleh karena itu luka gigitan di daerah bahu ke
atas merupakan luka risiko tinggi.
e. Banyaknya persarafan di wilayah luka.
f. Imunitas dari penderita.

Gejala klinis rabies akan timbul setelah virus mencapai susunan saraf pusat
dan menginfeksi seluruh neuron terutama di sel-sel limbik, hipotalamus dan batang
otak.Virus rabies bersifat neurotrofik, yang berarti predileksinya pada sistem saraf.
Virus ini berjalan melalui sistem saraf, sehingga tidak terdeteksi melalui pemeriksaan
darah. Sampai saat ini belum ada teknologi yang bisa mendiagnosis dini sebelum
muncul gejala klinis rabies.

Gejala klinis pada anjing sesuai dengan manifestasinya dibagi dalam 3 tahap
yaitu tahap prodromal, tahap eksitasi, dan tahap paralitik.

A. Tahap Prodromal

Tahap ini merupakan tahap awal dari gejala klinis yang berlangsung selama 2
– 3 hari. Terdapat perubahan perilaku hewan yaitu hewan tidak mengenal tuannya,
sering menghindar dan tidak mengacuhkan perintah tuannya. Mudah terkejut dan
cepat berontak bila ada provokasi. Terjadi kenaikan suhu tubuh, dilatasi pupil dan
refleks kornea menurun terhadap rangsangan.

B. Tahap Eksitasi

Tahap eksitasi berlangsung selama 3 – 7 hari, mulai mengalami fotofobi


sehingga hewan akan bersembunyi di kolong tempat tidur, di bawah meja atau kursi.
Anjing terlihat gelisah, adanya gerakan halusinasi dimana anjing bersikap seolah–
olah akan mencaplok serangga yang terbang di udara. Sering mengunyah benda di
sekitarnya seperti lidi, kawat, kerikil, jeruji kandang, dan benda lainnya yang tidak
sewajarnya atau yang dikenal dengan istilah pika. Bila dikandangkan anjing akan
berjalan mondar-mandir sambil menggeram. Perilaku anjing akan berkembang
semakin sensitif, beringas dan akan menyerang semua obyek yang bergerak.
Seringkali mulutnya berdarah akibat giginya tanggal atau akibat mengunyah benda
keras dan tajam. Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot laring dan faring yang
menyebabkan perubahan suara menyalak anjing, suaranya akan berubah menjadi
parau. Juga terjadi kekejangan otot menelan sehingga akan terjadi hipersalivasi,
frekuensi nafas berubah cepat, air liur berbuih kadang disertai darah dari luka di gusi
atau mulutnya.
C. Tahap Paralisis

Tahap ini berlangsung sangat singkat sehingga gejalanya tidak diketahui,


terjadi kelumpuhan otot pengunyah sehingga rahang tampak menggantung. Suaranya
sering seperti tersedak akibat kelumpuhan otot tenggorokan. Terjadi paralisis kaki
belakang sehingga saat jalan kaki belakang diseret.

Dikenal terdapat 2 tipe rabies pada hewan yaitu:

A. Tipe Ganas

Tipe ganas apabila didominasi tahap eksitasi dimana anjing akan terlihat
beringas serta akan menyerang semua benda yang bergerak.

B. Tipe Dumb (Tenang)

Tipe tenang apabila hewan yang terinfeksi rabies setelah gejala prodormal
langsung masuk ke tahap paralisis.

Gambar 1. Skema natural history of disease


1.5. Determinan Penyakit

Faktor risiko yang berhubungan dengan tingginya prevalensi Eimeria sp. adalah usia
ternak, sistem pemberian pakan, dan kondisi kandang.

Faktor Resiko dari penyakit coccidiosis, yaitu:

1. Umur Hewan
Berdasarkan penelitian Sufii dkk (2016) yang dilakukan oleh Sapi
kelompok umur <6 bulan lebih berisiko 10,3 kali dan sapi kelompok
umur 6-12 bulan berisiko 5,4 kali terkena coccidosis dibandingkan
dengan sapi kelompok umur >12 bulan. Menurut Dawid et al. (2012)
yang melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan terhadap
prevalensi koksidiosis di antara berbagai kategori umur sapi. Pedet
lebih rentan terkena penyakit coccidiosis karena tingkat imunitas dari
pedet tersebut masih rendah.
2. Kondisi perkandangan
Kondisi perkandangan sangat berpengaruh terhadap prevalensi
terjadinya penyakit coccidiosis. Penyebaran penyakit coccidiosis
dipengaruhi oleh kebersihan kandang dan kepadatan kandang. Alas
kandang yang sukar untuk dibersihkan, seperti jerami, kayu, dan karet
memiliki risiko lebih tinggi terkena coccidiosis dibandingkan alas
kandang yang mudah dibersihkan (Sufi, dkk 2016).
3. Sistem pemberian pakan
Menurut Rehman et al (2011) sapi yang diberi makan diatas tanah
lebih besar prevalensinya dibandingkan dengan sapi yang diberi
makan pada bak atau tempat makan. Pemberian makan diatas tanah
lebih berisiko karena ookista dari Eimeria sp dapat bertahan di tanah
dalam beberapa bulan pada suhu tertentu.
1.6. Intervensi pada Natural History of Disease
1. Stage of Suscebtility (Tahap hewan rentan tertular)
Pada tahap ini, perlu dilakukan penerapan biosafety dan biosecurity
pada peternakan yang memelihara sapi, terutama pada peternakan
yang bertempat di daerah endemik coccidiosis untuk mencegah
masuknya agen ke dalam tubuh host. Pencegahan coccidiosis dapat
dilakukan dengan cara:
- Menjaga sanitasi dan kebersihan kandang. Peralatan kandang yang
terkontaminasi atau berpotensi terkontaminasi dibersihkan setelah
digunakan. Alas kandang harus dibersihkan secara rutin.
- Populasi kandang. Kandang yang terlalu ramai akan
mempermudah penularan coccidiosis ini, sehingga jumlah sapi
dalam satu kandang harus ditentukan agar tidak terlalu ramai.
Populasi kandang yang terlalu banyak juga dapat menyebabkan
sapi stress. Pemisahan hewan muda dan hewan tua juga harus
dilakukan agar hewan muda yang masih memiliki imunitas yang
rendah tidak terinfeksi .
- Penggunaan sediaan coccicidal untuk mencegah terjadinya
coccidiosis. Contoh sediaan coccidiosis, yaitu Amprolium (5
mg/kg BB), Decoquitane (0,5 mg/kg BB), Lasalocid (1 mg/kg
BB), dan Monensin (Keeton and Navarre, 2018).
2. Stage of Subclinical Disease (Tahap subklinis)

Pada tahap ini, sapi sudah terpapar Eimeria sp. namun belum
menunjukkan gejala klinis. Pada tahap ini, sapi dapat di screening
menggunakan pemeriksaan laboratorium, menggunakan cara
konvensional, yaitu pemeriksaan natif, uji apung, dan metode
McMaster (Sujatmiko, dkk, 2020). Pada tahap ini, pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan Amprolium (10 mg/kg BB) dan
sulfaxuinoxaline (10-20 mg/kg BB) (Keeton and Navarre, 2018).
3. Stage of Clinical Disease

Sapi yang sudah menunjukkan gejala klinis, kemudian dipisahkan agar


tidak menular ke hewan rentan lainnya. Gejala klinis coccidiosis Pada
tahap ini, pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan, yaitu
Amprolium (10 mg/kg BB) dan sulfaxuinoxaline (10-20 mg/kg BB)
(Keeton and Navarre, 2018). Selain menggunakan obat-obatan yang
telah disediakan, pengobatan secara supportif juga dapat dilakukan.
4. Stage of Recovery, Disability, and Death
Kebanyakan pedet yang terlambat atau tidak diberikan pengobatan
akan mati. Pada penyakit ini, hewan yang memiliki prevalensi paling
tinggi adalah pedet atau anak sapi. Sapi dewasa yang memiliki
imunitas bagus biasanya hanya akan timbul gejala ringan atau tidak
bergejala dan tingkat mortalitas pada sapi dewasa tidak tinggi
(Daughschies and Najdrowski, 2005).

1.7. Teknik Diagnosa


- Metode konvensional,
Metode konvensional dibagi menjadi pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif.
Pemeriksaan kualitatif menggunakan metode natif dan metode apung.
Sedangkan pada pemeriksaan kuantitatif, metode yang digunakan adalah
metode McMaster.

- ELISA
Jenis Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang sering
digunakan adalah Antibody Immunosorbent Enzyme-linked, yaitu teknik yang
menggabungkan antara antibodi spesifik dengan enzim spesifik secara
sederhana. ELISA memberikan pengukuran antigen atau antibodi yang relatif
efektif dan memberikan hasil data kuantitatif. Metode ini dilaporkan mampu
mendeteksi keberadaan antigen Eimeria spp yang dikenali oleh antibodi atau
digunakan untuk menguji antibodi yang mengenali antigen. Teknik diagnosa
ini memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tehnik
konvensional.
- PCR
Teknik PCR primer spesifik merupakan metode diagnosis yang efektif
dan terpadu untuk mendeteksi spesies Eimeria baik secara individu atau
simultan dalam suatu reaksi. Penanda molekuler (primer DNA) gen Internal
Transcribed Spacer 1 (ITS-1) dikenal lebih unggul dan sensitif untuk
mendeteksi spesies Eimeria pada sapi dibanding pemeriksaan konvensional.
Teknik PCR dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan pemeriksaan secara
morfologis. Kelemahan metode PCR adalah biaya yang dibutuhkan relatif
mahal, memerlukan mesin Thermocycler (mesin PCR) dan membutukan
operator yang terlatih (Sujatmiko, dkk, 2020)
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kasus Coccidiosis pada Pasir Jambu dan Ibun, Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung dengan pada 24 November 2020 mendapatkan bantuan


ternak yang diberikan kepada 2 kelompok ternak. Bantuan berupa ternak sapi potong
betina umur kurang dari 2 tahun , masing-masing kelompok mendapatkan 15 ekor.
Dari SKKH yang dikeluarkan oleh Pemkab Bekasi diketahui bahwa ternak2 tersebut
telah diperiksa sehat dan tidak ada penyakit menular. Ternak pada minggu pertama
tampak sehat dan tidak ditemukan adanya penyakit yang mengkhawatirkan, namun
pada akhirnya ada terdapat 6 ekor ternak menunjukkan gejala penyakit dan mati.
Beberapa ternak yang mati tidak sempat dinekropsi karena peternak terlambat
melaporkan adanya kejadian penyakit dan ternak sudah dikubur, namun ada beberapa
ternak sempat dilakukan pengobatan dan nekropsi.

Untuk meneguhkan diagnose, dilakukan pemeriksaan laboratorium.


Pemeriksaan laboratorium tersebut berupa pemeriksaan feses pada sapi-sapi tersebut.
Hasil dari pemeriksaan laboratorium tersebut didapatkan 11 sapi positif protozoa
Eimeria sp.

3.2. Usulan Program Penanggulangan

3.2.1. Definisi Operasional

Coccidiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh


Coccidiosis protozoa dari genus Eimeria
Hewan yang dapat terinfeksi penyakit coccidiosis. Total
Hewan rentan hewan rentan 142 ekor
Jumlah ternak terkena coccidiosis dalam suatu populasi di
Prevalensi periode waktu tertentu
Kesatuan individu atau subjek pada suatu wilayah dan
Populasi waktu dengan kualitas tertentu yang akan diamati/ diteliti
Jumlah ternak yang mati dibandingkan total hewan yang
Case Fatality Rate sakit. Berfungsi untuk mengetahui tingkat keparahan
(CFR) penyakit.
Calving Interval Jarak antar satu kelahiran dengan kelahiran lainnya
Uji laboratorium yang digunakan untuk meneguhkan
Uji Apung diagnosa
Persentase kelahiran adalah persentase kelahiran anak sapi
Tingkat kelahiran dari jumlah ternak yang disurvei.
Tabel 1. Definisi Operasional

3.2.2. Asumsi Parameter Epidemiologi dan Ekonomi

Dampak Ekonomi dari Coccidiosis Satuan


Total Populasi 136 Ekor
Populasi sapi betina 133 Ekor
A. Kerugian Langsung
Prevalensi pedet 33.00%
Tingkat Kelahiran 75.48%
CFR pedet 75%
Kelahiran pedet 100 Ekor/tahun
Pedet terinfeksi 33 Ekor/tahun
Kematian Pedet 25 Ekor/tahun
Harga Pedet lepas sapih 5,835,000 per ekor
Total Kerugian Tidak Langsung 145,875,000 Setiap tahun
B. Kerugian Tidak Langsung
Uji laboratorium
Harga Pemeriksaan Laboratorium 5000 per sampel
Jumlah sampel feses 20
Biaya Pengiriman Sampel 50000 per paket
Total Uji Lab 150,000 per paket
Biaya Surveilans
Jumlah personil 4 orang
Jumlah hari 3 hari
Biaya harian 350000 per orang
Akomodasi 1100000
Transportasi 750000
Peralatan dll 500000
Total Biaya Surveilans 6,550,000
Pengobatan
Harga Obat 30000 per dosis
Peralatan Pengobatan 15000 per dosis
Biaya dokter hewan 30000 per ekor
Obat + dokter hewan 75000 per ekor
Total pemberian 136
Total pengeluaran 10,200,000 Per tahun
Pemberian vitamin
Vitamin 5000 per dosis
Total Pemberian/ekor 24
Total harga 16,320,000 per tahun
Total Kerugian tidak langsung 33,220,000 Per tahun
Tabel 2. Parameter Epidemiologi dan Ekonomi

3.2.3. Analisis Ekonomi Program Penanggulangan

Analisis biaya manfaat pengendalian koksidiosis pada sapi dilakukan dengan


membuat perhitungan arus kas untuk jangka waktu 5 tahun dan menggunakan input
data yang terdapat pada tabel tersebut. Dari data cash flow dapat dihitung tiga
parameter kontrol yaitu nilai NPV, B/C ratio dan IRR. Berdasarkan NPV yang
diperoleh, pengendalian coccidiosis melalui program pengobatan antibiotik
(sulfadoxine dan trimethropim) memberikan pendapatan yang lebih besar jika
dibandingkan dengan tidak dilakukan pengobatan. Hal ini dapat dimaklumi karena
jumlah ternak (pedet) yang dapat diselamatkan lebih banyak akibat kematian pedet.

Dengan perhitungan NPV, didapatkan hasil positif, yaitu 310,359,867. Hal ini
menandakan manfaat yang diterima lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.
Dengan mengacu kepada perhitungan NPV ini, maka strategi pengendalian ini dapat
dilaksanakan. Dengan perhitungan BCR, didapatkan hasil lebih dari 1, yaitu 3.16. Hal
ini menunjukkan strategi ini dapat dilaksanakan. Sedangkan dengan perhitungan IRR,
nilai IRR pada pengendalian ini adalah 261,27%. Nilai ini lebih besar dibandingkan
dengan nilai laju pengembalian, yaitu 5%. Dengan mengacu pada IRR, strategi ini
dapat dilakukan.
Tabel 3. Analisis Biaya Manfaat
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Coccidiosis merupakan penyakit yang mematikan untuk pedet. Pengendalian


coccidiosis dengan melakukan pemberian pengobatan pada kasus coccidiosis pada
peternakan di kabupaten Bandung dapat menekan angka kematian pedet akibat
coccidiosis. Pengobatan tersebut menguntungkan dinilai dari parameter kontrol yaitu
nilai NPV yang bernilai positif, B/C ratio yang bernilai lebih dari 1 dan IRR.
DAFTAR PUSTAKA

Constable, P. D. 2015. Coccidiosis in Sheep. Article. MSD Manual Veterinary


Manual.
Dawid, F., Y. Amede, and M. Bekele. 2012. Calf coccidiosis in selected dairy farms
of dire dawa, Eastern Ethiopia. Global Vet. 9(4):460-464.
Daugschies, A., & Najdrowski, M. (2005). Eimeriosis in cattle: current
understanding. Journal of Veterinary Medicine, Series B, 52(10), 417-427.
Ekawasti, F., Nurcahyo, W., Wardhana, A. H., Shibahara, T., Tokoro, M., Sasai, K.,
& Matsubayashi, M. 2019. Molecular characterization of highly pathogenic
Eimeria species among beef cattle on Java Island, Indonesia. Parasitology
international, 72, 101927.
Keeton, S. T. N., & Navarre, C. B. (2018). Coccidiosis in large and small
ruminants. Veterinary Clinics: Food Animal Practice, 34(1), 201-208.
Kertawirawan, P. A. 2013. Pengaruh tingkat sanitasi dan sistem manajemen
perkandangan dalam menekan angka kasus koksidiosis pada pedet sapi
Bali. Widyariset LIPI, 16, 287-292.
Kertawirawan, I. P. A., & Agus, P. 2014. Identifikasi kasus penyakit gastrointestinal
sapi bali dengan pola budidaya tradisional pada agroekosistem lahan kering
Desa Musi Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Bali. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, 12(36),
73-80.
Mundt HC, Bangoura B, Mengel H, Keidel J, Daughschies A. 2005. Control of
clinical coccidiosis of calves due to Eimeria bovis and Eimeria zuernii with
toltrazuril under field conditions. J Parasitol Res
Rehman, T.U., M.N. Khan, M.S. Sajid, R.Z. Abbas, M. Arshad, Z. Iqbal, and A.
Iqbal. 2011. Epidemiology of Eimeria and associated risk factor in cattle of
district Toba Tek Singh, Pakistan. Parasitol. Res. 108(2011):1171-1177.
(Rehman, et al, 2011)
Sufi, I. M., Cahyaningsih, U., & Sudarnika, E. 2016. PREVALENSI DAN FAKTOR
RISIKO KOKSIDIOSIS PADA SAPI PERAH DI KABUPATEN
BANDUNG. Jurnal Kedokteran Hewan Sciences, 10(2), 195-199.
Sujatmiko, P. S. N., Zelpina, E., Lefiana, D., & Kurnia, D. (2020). PREVALENSI
PROTOZOA GASTROINTESTINAL PADA SAPI DI PASAR TERNAK
PAYAKUMBUH PREVALENCE OF GASTROINTESTINAL PROTOZOA
IN CATTLE IN PAYAKUMBUH LIVESTOCK MARKET. “Tantangan dan
Solusi Pengembangan Peternakan Sapi dan Kerbau Rakyat dari Hulu sampai
Hilir” Rabu, 21 Oktober 2020, 114.

Anda mungkin juga menyukai