Anda di halaman 1dari 15

MATERI TENTANG PD3I (Penyakit yang Dapat Ditanggulangi Dengan Imunisasi)

1. Difteri
Difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada
hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit
ini sangat menular. Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae dan umumnya memiliki masa inkubasi (rentang waktu sejak
bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul) 2 hingga 5 hari.
Gejala-gejala yang mengindikasikan penyakit ini meliputi:
 Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi
tenggorokan dan amandel.
 Demam dan menggigil.
 Sakit tenggorokan dan suara serak.
 Sulit bernapas atau napas yang cepat.
 Pembengkakan kelenjar limfa pada leher.
 Lemas dan lelah.
 Hidung beringus yang lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang
berdarah.
 Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan bisul.
Bisul-bisul tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya
akan meninggalkan bekas pada kulit.

Difteri termasuk salah satu penyakit yang pencegahannya dimasukkan ke


dalam program imunisasi wajib pemerintah. Imunisasi difteri yang
dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus ini disebut dengan
imunisasi DPT 3.

Proses Penularan Difteri :

Penyebaran bakteri difteri dapat terjadi dengan mudah dan umumnya adalah
melalui udara saat seorang penderita bersin atau batuk. Selain itu, ada
sejumlah cara penularan lainnya yang perlu diwaspadai, seperti melalui
barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan
atau handuk. Sentuhan langsung pada bisul akibat difteri di kulit penderita.
Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di lingkungan
yang padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga. Bakteri difteri akan
menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan,
sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang mati inilah yang akan
membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di samping
itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah dan
merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.

Terkadang, difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga


penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi. Apabila tidak
menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit
ini kepada orang di sekitarnya, terutama mereka yang belum mendapatkan
imunisasi. Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah
penyebaran sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-
anak.

Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat
memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di
antaranya meliputi, masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang
diproduksi bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat
menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan
masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu reaksi peradangan pada paru-
paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal
napas.. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan
menyebabkan peradangan otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat
menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung,
dan kematian mendadak.. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami
masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan
pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Paralisis ini akan
membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu
pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba
pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh.
Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi umumnya
dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan. Difteri hipertoksik.
Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang
sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang
parah dan gagal ginjal.

Pencegahan Difteri dengan pemberian vaksinasi. Pencegahan difteri


tergabung dalam vaksin DPT. Vaksin DPT termasuk dalam 5 imunisasi
wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan 5 kali
pada saat anak berusia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, satu setengah tahun, dan lima
tahun. Vaksinasi tersebut umumnya dapat melindungi anak terhadap difteri
seumur hidup. Namun bagi mereka yang belum menerima vaksin ini saat bayi,
terdapat vaksin sejenis yang bernama Tdap yang bisa diberikan pada usia 12
tahun.

2. Pertusis

Pertusis juga dikenal dengan batuk rejan, adalah penyakit pernapasan yang
sangat menular melalui mulut dan hidung. Biasanya, batuk rejan ditandai
dengan batuk parah yang disertai suara tarikan napas bernada tinggi. Batuk
rejan mudah menular namun vaksin seperti DtaP dan Tdap dapat membantu
pencegahan pada anak-anak dan dewasa. Batuk rejan atau pertusis adalah
infeksi bakteri pada paru-paru dan saluran pernapasan yang mudah sekali
menular. Batuk rejan sempat dianggap penyakit anak-anak saat vaksin
pertusis belum ditemukan. Sebenarnya batuk rejan juga dapat diderita orang
dewasa, namun penyakit ini dapat mengancam nyawa bila terjadi pada lansia
dan anak-anak, khususnya bayi yang belum cukup umur untuk mendapat
vaksin pertusis.

Batuk rejan bisa membuat penderita kekurangan oksigen dalam darahnya.


Selain itu dapat terjadi berbagai komplikasi, misalnya pneumonia. Bahkan
penderita batuk rejan bisa secara tidak sengaja melukai tulang rusuk mereka
karena batuk yang sangat keras. Batuk rejan dapat menyebar dengan cepat
dari orang ke orang. Maka dari itu, vaksin pertusis diperlukan untuk
mencegah seseorang terkena batuk rejan.

Gejala Batuk Rejan yaitu, muncul antara 7 hari hingga 21 hari usai
bakteri Bordetella pertussis masuk dalam saluran pernapasan seseorang.
Perkembangan gejala batuk rejan ada tiga tahapan, terutama pada bayi dan
anak kecil. Tahap Pertama (masa gejala awal) munculnya gejala-gejala ringan
seperti hidung berair dan tersumbat, bersin-bersin, mata berair, radang
tenggorokan, batuk ringan, hingga demam. Tahap ini bisa bertahan hingga dua
minggu, dan di tahap inilah penderita berisiko menularkan batuk rejan ke
orang sekelilingnya. Tahap Kedua (masa paroksismal) tahap ini ditandai
dengan meredanya semua gejala-gejala flu, namun batuk justru bertambah
parah, dan tak terkontrol. Di tahap inilah terjadi batuk keras terus menerus
yang diawali tarikan napas panjang lewat mulut. Penderita bisa mengalami
muntah (umumnya pada bayi dan anak-anak) serta tubuh mengalami
kelelahan. Tahap Ketiga (masa penyembuhan) tahap inilah tubuh penderita
mulai membaik, namun gejala batuk rejan tetap ada bahkan penderita bisa
batuk lebih keras. Tahap pemulihan ini bisa bertahan hingga dua bulan atau
lebih tergantung dari pengobatan.

Pengobatan utama yang diberikan adalah antibiotik untuk melawan bakteri


penyebab infeksi. Kortikosteroid akan diberikan untuk mengatasi peradangan
pada saluran napas. Baik antibiotik dan kortikosteroid bisa diberikan melalui
infus. Sungkup okasigen dapat diberikan untuk membantu pernapasan. Bayi
dan anak-anak dengan batuk rejan yang cukup parah bisa menyebabkan
kerusakan pada paru-paru mereka. Penanganan khusus di rumah sakit akan
berkonsentrasi pada pemakaian alat bantu pernapasan (ventilasi) dan
pemberian obat-obatan untuk mengendalikan tekanan darah mereka dengan
obat-obatan. Pada keadaan yang lebih parah, dapat dilakukan Oksigenasi 
Membran Ekstrakorporeal (ECMO=extracorporeal membrane ), dimana
oksigen akan langsung dialirkan ke tubuh tanpa melewati paru-paru. Prosedur
ini akan diberikan jika teknik yang lain tidak berhasil dan paru-paru sudah
mengalami kerusakan cukup parah.

Pencegahan Batuk Rejan

Vaksinasi pertusis adalah cara terbaik untuk mencegah batuk rejan. Biasanya
dokter memberikan vaksin pertusis bersamaan dengan vaksin difteri, tetanus,
polio (vaksin DPT) dan Hib. Biasanya vaksin pertusis diberikan pada usia 2
bulan, pada usia 4 bulan, pada usia 6 bulan, pada usia 1,5 sampai 2 tahun,
serta pada usia 5 tahun.Vaksin pertusis sangat aman, namun terdapat beberapa
efek samping yang muncul setelah vaksinasi, seperti rasa nyeri, kulit
memerah, dan pembengkakan pada bagian yang disuntik.

3. Tetanus

Tetanus adalah kejang bersifat spasme (kaku otot) yang dimulai pada rahang
dan leher. Kondisi ini disebabkan oleh racun berbahaya bakteri Clostridium
tetani, yang masuk menyerang saraf tubuh melalui luka kotor. Clostridium
tetani bisa bertahan hidup di luar tubuh dalam bentuk spora untuk waktu yang
sangat lama. Mislanya, dalam debu, tanah, serta kotoran hewan maupun
manusia. Spora Clostridium tetani umumnya masuk ke tubuh melalui luka
yang kotor, contohnya luka akibat cedera, digigit hewan, paku berkarat,
atau luka bakar. Apabila berhasil memasuki tubuh, spora Clostridium
tetani akan menjadi bakteri tetanus yang aktif. Spora tersebut kemudian akan
berkembang biak untuk melepaskan neurotoksin atau racun yang menyerang
sistem saraf. Neurotoksin yang mengacaukan kinerja saraf itu berpotensi
menyebabkan pengidap mengalamikejang yang menyerupai kekakuan otot.
Inilah gejala utama tetanus yang bisa menyebabkan rahang pengidap
mengatup rapat dan tidak bisa dibuka atau biasa disebut dengan istilah rahang
terkunci (lockjaw). Selain itu, masalah sukar menelan juga bisa dialami oleh
pengidap tetanus.

Jenis-jenis Tetanus yaitu tetanus umum, terlokalisir, cephalic, dan


neonatorum.  

Tipe terlokalisir dan cephalic termasuk jenis yang jarang terjadi. Tetanus


dikatakan terlokalisir bila mengenai bagian tubuh tertentu yang akan
mengalami kejang lokal. Ini terjadi ketika tubuh hanya memiliki kekebalan
parsial terhadap racun tetanus dan bisa menjadi tetanus umum yang menyebar
ke bagian tubuh lain.

Tetanus cephalic terjadi akibat infeksi telinga tengah. Sama seperti tetanus


terlokalisir, tetanus ini juga berpotensi menjadi tetanus umum.

Sementara tetanus neonatorum adalah tetanus yang dialami oleh bayi baru
lahir karena proses penanganan persalinan yang tercemar spora bakteri
tetanus. Jenis tetanus ini dapat terjadi karena kekebalan tubuh sang bayi
terhadap tetanus masih lemah.

Mendiagnosis tetanus, dokter biasanya akan melakukan pemeriksaan fisik.


Termasuk pemeriksaan luka sambil menanyakan riwayat penyakit, vaksinasi
yang pernah diterima, serta gejala dan tanda klinis yang dialami pasien.
Sementara langkah pengobatan tetanus bertujuan untuk memberikan terapi
suportif, memusnahkan spora, dan menghentikan perkembangan bakteri.
Caranya bisa dengan membersihkan luka yang kotor, menghentikan produksi
neurotoksin, menetralkan neurotoksin yang belum menyerang saraf tubuh,
mencegah komplikasi, serta menangani komplikasi bila sudah terjadi.
Tetanus bukanlah penyakit menular, tapi berpotensi mematikan. Terutama
bila luka berada di kepala atau wajah, dialami oleh bayi yang baru lahir, serta
pada penderita yang tidak mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.

Pencegahan dan Komplikasi TetanusLangkah utama untuk mencegah tetanus


adalah dengan vaksinasi. Di Indonesia, vaksin tetanus termasuk dalam
daftar imunisasi wajib untuk anak.

Imunisasi ini diberikan sebagai bagian dari vaksin DTP (difteri, tetanus,
pertusis). Proses vaksinasi ini harus dijalani dalam 5 tahap, yaitu pada usia 2,
4, 6, 18 bulan, dan 5 tahun. Vaksin ini kemudian akan diulangi pada saat anak
berusia 12 tahun yang berupa imunisasi Td. Namun, DTP termasuk imunisasi
yang tidak dilisensikan bagi anak berusia 7 tahun ke atas, remaja, serta
dewasa.

Untuk wanita, imunisasi TT (tetanus toksoid) sebaiknya diberikan 1 kali saat


sebelum menikah dan 1 kali pada saat hamil. Tujuan imunisasi ini adalah
untuk mencegah tetanus pada bayi yang baru lahir. Di samping vaksinasi,
pencegahan tetanus juga dapat dilakukan dengan selalu menjaga kebersihan.
Terutama saat merawat luka agar tidak terkena infeksi.

4. Polio

Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular
dan menyerang sistem saraf, khususnya pada balita yang belum melakukan
vaksinasi polio. Pada kasus yang parah, penyakit ini bisa menyebabkan
kesulitan bernapas, kelumpuhan, atau dan kematian. Sejak awal tahun 2014,
WHO (World Health Organization) telah menyatakan Indonesia sebagai salah
satu negara yang bebas dari penyakit ini berkat program vaksinasi polio yang
luas, bersama dengan negara lainnya di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Eropa,
dan Amerika. Namun, penyakit ini masih rentan di negara seperti Afganistan
dan Pakistan, dan Nigeria.
Gejala Penyakit Polio :

Kebanyakan penderita polio tidak menyadari bahwa diri mereka terinfeksi


karena virus polio pada awalnya hanya menimbulkan sedikit gejala atau
bahkan tidak sama sekali.

Penderita polio dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu polio non-paralisis, polio
paralisis, dan sindrom pasca-polio.

Polio non-paralisisPolio non-paralisis adalah tipe polio yang tidak


menyebabkan kelumpuhan. Gejalanya tergolong ringan. Berikut ini adalah
gejala polio non-paralisis yang umumnya berlangsung antara satu hingga
sepuluh hari.

- Muntah
- Demam
- Sakit kepala
- Kaki, tangan, leher, dan punggung terasa kaku dan sakit
Polio paralisisPolio paralisis adalah tipe polio yang paling parah dan dapat
menyebabkan kelumpuhan. Polio paralisis bisa dibagi berdasarkan bagian
tubuh yang terjangkit, seperti batang otak, saraf tulang belakang, atau
keduanya.

Gejala awal polio paralisis sering kali sama dengan polio non-paralisis, seperti
sakit kepala dan demam. Gejala polio paralisis biasanya terjadi dalam jangka
waktu sepekan, di antaranya adalah sakit atau lemah otot yang serius, kaki dan
lengan terasa terkulai atau lemah, dan kehilangan refleks tubuh. Beberapa
penderita polio paralisis bisa mengalami kelumpuhan dengan sangat cepat
atau bahkan dalam hitungan jam saja setelah terinfeksi dan kadang-kadang
kelumpuhan hanya terjadi pada salah satu sisi tubuh. Saluran pernapasan
mungkin bisa terhambat atau tidak berfungsi, sehingga membutuhkan
penanganan medis darurat.
Sindrom pasca-polio biasanya menimpa orang-orang yang rata-rata 30-40
tahun sebelumnya pernah menderita penyakit polio. Gejala yang sering terjadi
di antaranya:

o Sulit bernapas atau menelan.


o Sulit berkonsentrasi atau mengingat.
o Persendian atau otot makin lemah dan terasa sakit.
o Kelainan bentuk kaki atau pergelangan.
o Depresi atau mudah berubah suasana hati.
o Gangguan tidur dengan disertai kesulitan bernapas.
o Mudah lelah.
o Massa otot tubuh menurun (atrophia).
o Tidak kuat menahan suhu dingin.

Penyebab Polio :

Penyakit polio disebabkan oleh polio virus yang umumnya masuk melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung
virus tersebut. Sama halnya seperti cacar, polio hanya menjangkiti manusia.
Dalam tubuh manusia, virus polio menjangkiti tenggorokan dan usus. Selain
melalui kotoran, virus polio juga bisa menyebar melalui tetesan cairan yang
keluar saat penderitanya batuk atau bersin. Dalam beberapa kondisi, infeksi
virus ini dapat menyebar ke aliran darah dan menyerang sistem saraf.

Pencegahan Polio :

Imunisasi atau pemberian vaksin polio dapat meminimalisasi terjangkit virus


polio. Anak-anak, wanita hamil dan orang yang sistem kekebalan tubuhnya
lemah, sangat rentan terkena virus polio jika di daerah mereka tidak mengikuti
program imunisasi atau tidak memiliki sistem sanitasi yang bersih dan baik.
Komplikasi Polio :

Kecacatan, kelainan bentuk kaki dan pinggul, serta kelumpuhan sementara


atau permanen dapat terjadi akibat polio paralisis. Walaupun operasi dan
terapi fisik bisa dilakukan untuk mengatasi kelainan bentuk pada persendian,
tindakan ini tidak disarankan bagi penderita yang berada di lingkungan polio
aktif karena dapat mengakibatkan potensi disabilitas seumur
hidup.Pencegahan PolioMeskipun telah dinyatakan sebagai negara bebas
polio oleh WHO, tidak menutup kemungkinan bahwa virus ini masih bisa
muncul kembali di Indonesia. Hal ini dapat terjadi apabila orang yang
terjangkit polio dari negara lain memasuki Indonesia, dan menularkan virus
ini kepada orang lainnya.

Maka dari itu, langkah pencegahan melalui vaksinasi masih sangat penting
dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit
polio seumur hidup, terutama pada anak-anak.

Anak-anak harus diberikan empat dosis vaksin polio tidak aktif, yaitu pada
saat mereka berusia 2 bulan, 4 bulan, antara 6 – 18 bulan, dan yang terakhir
adalah pada usia antara 4 - 6 tahun.

Efek samping yang umumnya terjadi setelah pemberian suntikan adalah rasa
sakit dan kemerahan pada titik penyuntikan.

5. Campak
Campak adalah infeksi virus yang ditandai dengan munculnya ruam di seluruh
tubuh dan sangat menular. Campak bisa sangat mengganggu dan mengarah
pada komplikasi yang lebih serius. Gejala campak mulai muncul sekitar satu
hingga dua minggu setelah virus masuk ke dalam tubuh.

Gejala Campak :
- Mata merah.
- Mata menjadi sensitif terhadap cahaya.
- Tanda-tanda seperti pilek (misalnya radang tenggorokan, hidung
beringus, atau hidung tersumbat).
- Demam
- Bercak putih keabu-abuan pada mulut dan tenggorokan.
- Bercak atau ruam berwarna merah-kecokelatan akan muncul di kulit
setelah beberapa hari kemudian.
- Urutan kemunculan bercak ini dari belakang telinga, sekitar kepala,
kemudian ke leher.
- Pada akhirnya ruam akan menyebar ke seluruh tubuh.
- Selain itu, penderita juga berpotensi mengalami pembengkakan pada
kelenjar getah bening di leher.

Penyakit ini disebut juga rubeola atau campak merah. Telah tersedia vaksin
untuk mencegah penyakit ini. Vaksin untuk campak termasuk dalam bagian
dari vaksin MMR (campak, gondongan, campak Jerman).

Salah satu cara untuk mencegah campak yaitu dengan pemberian imunisasi
campak.  Menurut data Departemen Kesehatan tahun 2015, Indonesia
memiliki cakupan imunisasi campak kategori sedang di Asia Tenggara, yakni
84%. Indonesia berkomitmen untuk mencapai angka cakupan imunisasi
campak sebesar 95% pada akhir tahun 2020. Hal ini dikarenakan campak
termasuk dalam 10 besar penyebab kematian terbanyak pada balita di
Indonesia.

Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa


angka kejadian campak telah menurun signifikan dari total 18.488 kasus pada
akhir 2007 menjadi 8.185 kasus pada tahun 2015. Meski mengalami
penurunan yang berarti, cakupan imunisasi campak tetap perlu diperluas
hingga ke seluruh daerah di Indonesia, guna mencapai target Indonesia Bebas
Campak pada tahun 2020.
Penyebaran Virus Campak :

Bagi penderita campak, virus campak ada di dalam percikan cairan yang
dikeluarkan saat mereka bersin dan batuk. Virus campak akan menulari siapa
pun yang menghirup percikan cairan ini. Virus campak bisa bertahan di
permukaan selama beberapa jam dam bisa bertahan menempel pada benda-
benda lain. Saat kita menyentuh benda yang sudah terkena percikan virus
campak lalu menempelkan tangan ke hidung atau mulut, kita bisa ikut
terinfeksi. Campak lebih sering menimpa balita. Tapi pada dasarnya semua
orang bisa terinfeksi virus ini, terutama yang belum pernah terkena campak
atau yang belum mendapat vaksinasi campak.

Pengobatan Campak :

Sistem kekebalan tubuh manusia secara alami akan melawan infeksi virus ini.
Tapi jika komplikasi terjadi atau infeksi campak menjadi sangat parah,
perawatan di rumah sakit kemungkinan akan dibutuhkan.

Untuk mempercepat proses pemulihan, dapat dilakukan hal berikut :

- Minum banyak air untuk mencegah dehidrasi.


- Banyak istirahat dan hindari sinar matahari selama mata masih sensitif
terhadap cahaya
- .Minum obat penurun demam dan pereda sakit. Jangan berikan aspirin
jika anak Anda berusia kurang dari 16 tahun.

Komplikasi Campak :

Komplikasi dari campak bisa sangat berbahaya. Meski jumlah penderita


komplikasi campak cukup sedikit, penyakit ini harus tetap diwaspadai.
Contoh-contoh komplikasinya adalah radang pada telinga, bronkitis, infeksi
paru-paru (pneumonia), dan infeksi otak (ensefalitis).

Kelompok orang yang berisiko mengalami komplikasi adalah:


Bayi berusia di bawah satu tahun. Anak-anak dengan kondisi kesehatan
buruk. Orang dengan penyakit kronis. Orang dengan sistem kekebalan tubuh
yang lemah.

Pencegahan Campak :

Vaksinasi MMR adalah vaksin gabungan untuk campak, gondongan, dan


campak Jerman. Vaksinasi MMR diberikan dua kali. Pertama diberikan ketika
anak berusia 13 bulan, lalu berikutnya diberikan ketika mereka berusia 5-6
tahun atau sebelum memasuki masa sekolah dasar.

Anda mungkin juga menyukai