Anda di halaman 1dari 22

KAJIAN PILIHAN TEORI KONTEMPORER

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah

Belajar dan Pembelajaran

Yang diampu oleh Ibu Indriyana Rahmawati M.pd.

Disusun oleh :

1. Devi Safitri (190151602733)


2. Fahmi Ilham Azizi ()
3. Martha Adilla Safitri (190151602686)
4. Sinta Ledi Auisa (190151602500)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
OKTOBER 2020
BAB II

PEMBAHASAN

Dalam bab 2 ini akan berisikan jawaban dari rumusan masalah. Adapun diantaranya
akan dipaparkan sebagai berikut.

2.1 Teori Multiple Intelligence


Teori multiple intelligence atau kecerdasan majemuk pertama kali
diperkenalkan oleh Dr. Howard Gardner, seorang psikolog sekaligus profesor
pendidikan dari Harvard University pada 1983. Ia adalah seorang tokoh populer yang
menentang gagasan bahwa IQ merupakan ukuran inteligensi yang terbaik.
Menurutnya, indikator kecerdasan tidak hanya seputar persoalan matematika dan
bahasa seperti yang ada pada tes IQ pada umumnya. Kata inteligensi sering dimaknai
dengan kecerdasan, kemampuan, atau bahkan keahlian. Inteligensi sering dimaknai
sebagai kemampuan memahami sesuatu dan kemampuan berpendapat. Artinya,
inteligensi dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan
masalah secara mandiri.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk kecerdasan yang dicetuskan oleh Howard Gardner :
A. Kecerdasan linguistik
Kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif,
baik secara lisan maupun tertulis. Kecerdasan linguistik bisa juga disebut dengan
kecerdasan berbahasa yang mencangkup kemampuan berpikir dengan kata-kata
seperti kemampuan untuk memahami dan merangkai kata dan kalimat baik lisan
maupun tulisan. Individu yang memiliki intelegensi linguistik tinggi akan
berbahasa lancar, baik, dan lengkap, mudah mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa, dan mudah belajar beberapa bahasa. Karakteristik individu
yang menunjukkan kecerdasan linguistik atau bahasa, yaitu
a) Senang membaca buku, mendongeng atau bercerita
b) Senang berkomunikasi, berbicara, berdialog, berdiskusi atau berbahasa asing
c) Pandai menghubungkan atau merangkai kata-kata dan kalimat baik lisan
maupun tulisan

B. Kecerdasan logika matematika


Kecerdasan logika matematika merupakan kemampuan yang berkaitan
dengan penggunaan bilangan perhitungan, pola serta pemikiran logis dan ilmiah.
Selain itu, kecerdasan logika matematika merupakan kemampuan berpikir dalam
penalaran dan menghitung, seperti kemampuan menelaah masalah secara logis,
ilmiah, dan matematis. Pada dasarnya, matematikawan bukanlah satu-satunya ciri
orang yang menonjol dalam inteligensi logika matematika. Siapapun yang dapat
menunjukkan kemampuan berhitung dengan cepat, menaksir, melengkapi
permasalahan aritmatika, memahami atau membuat alasan tentang hubungan-
hubungan antar angka, menyelesaikan pola atau melengkapi irama bilangan dan
membaca penanggalan atau sistem notasi lain sudah merupakan ciri menonjol dari
kecerdasan logika matematika. Karakteristik individu yang memiliki kemampuan
ini, yaitu
a) Senang bereksperimen, bertanya, menyusun atau merangkai teka-teki
b) Senang dan pandai berhitung dan bermain angka
c) Senang mengorganisasikan sesuatu dan menyusun skenario
d) Mampu berpikir logis, baik induktif maupun deduktif
e) Senang berpikir abstraksi dan simbolis serta mengoleksi benda-benda

C. Kecerdasan ruang-visual
Kecerdasan ruang merupakan kemampuan untuk menangkap dunia ruang-
spasial dengan tepat, dalam artian bahwa kemampuan untuk membayangkan suatu
objek. Gardner mengakui bahwa pusat bagi kecerdasan ruang adalah kapasitas
untuk merasakan dunia visual secara akurat untuk melakukan transformasi dan
modifikasi terhadap persepsi awal atas penglihatan dan mampu menciptakan
kembali aspek dari pengalaman visual bahkan sampai pada ketidakhadiran dari
stimulus fisik yang berhubungan dengan pengalaman visualnya. Karakteristik
individu yang menunjukkan kecerdasan ruang, yaitu
a) Senang merancang gambar, desain, dan peka terhadap citra serta warna
b) Pandai memvisualisasikan ide dan imajinasinya secara aktif
c) Mudah menemukan jalan dalam ruang, mempunyai persepsi yang tepat dari
berbagai sudut dan senang membuat rumah-rumah dari balok

D. Kecerdasan gerakan badan


Merupakan kemampuan yang berhubungan dengan gerakan tubuh termasuk
gerakan motorik otak yang mengendalikan dan menggunakan badan dengan
mudah dan cekatan atau bisa juga disebut dengan kemampuan mengekspresikan
gagasan atau perasaan. Individu dengan inteligensi gerakan badan yang menonjol
akan sangat mudah mengungkapkan diri dengan gerakan tubuh mereka. Mereka
akan sangat menikmati kegiatan fisik seperti berjalan kaki, menari, berlari,
berkemah, ataupun berenang. Karakteristik individu yang menunjukkan
kemampuan gerakan badan, yaitu
a) Senang menari dan akting, pandai dan aktif dalam olaharaga tertentu, dan
mudah berekspresi dengan tubuh
b) Mampu memainkan mimik dan cenderung menggunakan bahasa tubuh
c) Senang dan efektif berpikir dan sambil berjalan, berlari, dan olahraga

E. Kecerdasan musikal
Kecerdasan musikal merupakan kemampuan untuk mengembangkan,
mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Selain itu
kecerdasan musikal juga bisa dikatakan kemampuan berpikir dengan nada, ritme,
irama, dan melodi juga pada suara alam. Individu dengan inteligensi musikal yang
menonjol akan sangat peka terhadap suara dan musik. Mereka akan dengan mudah
belajar dan bermain musik dengan baik. Karakteristik individu yang menunjukkan
kemampuan inteligensi musikal, yaitu
a) Pandai mengubah dan menciptakan musik, senang bernyanyi, bersenandung,
dan pandai memainkan alat musik
b) Mudah menangkap musik dan peka terhadap suara dan musik
c) Serta dapat membedakan bunyi berbagai alat musik dan gerak sesuai irama

F. Kecerdasan interpersonal
Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk mengerti dan peka
terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain atau
kemampuan. Individu yang mudah memahami orang lain dan mementingkan relasi
merupakan individu yang memiliki kecerdasan interpersonal yang baik. Individu
yang memiliki kecerdasan interpersonal mempunyai rasa belas kasihan dan
tanggung jawab sosial yang besar. Karakteristik individu yang menunjukkan
kecerdasan interpersonal, yaitu
a) Mampu berorganisasi dan mampu menjadi pemimpin dalam suatu organisasi
b) Mampu bersosialisasi dan menjadi moderator
c) Senang permainan berkelompok daripada individu
d) Mampu bekerja sama dengan teman
e) Biasanya menjadi tempat mengadu orang lain dan mudah mengenal
f) Senang berkomunikasi verbal dan non-verbal
g) Peka terhadap teman dan suka memberi feedback

G. Kecerdasan intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal tercermin dalam kesadaran mendalam akan
perasaan batin. Kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri
dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan pengenalan diri.
Individu dengan kecerdasan intrapersonal tinggi bukan berarti memiliki
kecenderungan untuk bekerja sendiri atau mengurung diri. Akan tetapi, mampu
mengenali dirinya dengan baik dan memiliki manajemen diri yang baik sehingga
mampu mengendalikan berbagai kegiatan dan pekerjaan sendiri tanpa menunggu
instruksi orang lain. Karakteristik individu yang menunjukkan kecerdasan
intrapersonal, yaitu
a) Mampu menilai diri sendiri atau instrospeksi diri
b) Berkonsentrasi
c) Keseimbangan diri
d) Reflektif dan bekerja mandiri
e) Mudah mengelola dan menguasai perasaanya dan sering mengamati serta
mendengarkan
f) Mampu merancang dan menyusun tujuan serta cita-cita dan planning hidup

H. Kecerdasan naturalistik
Kecerdasan naturalistik diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat
mengerti flora dan fauna dengan baik. Kemampuan untuk memahami dan
menikmati alam, dan menggunakan kemampuan itu secara produktif dalam
berburu, bertani, dan mengembangkan pengetahuan akan alam. Para pecinta alam
adalah contoh orang yang tergolong sebagai orang-orang yang memiliki
kecerdasan ini. Secara umum, individu dengan kecerdasan naturalistik yang
menonjol memiliki kemapuan untuk
a) Mengenal flora dan fauna
b) Mengklasifikasi dan identifikasi tumbuh-tumbuhan dan binatang
c) Menyukai alam dan hidup diluar rumah

I. Kecerdasan eksistensial
Kecerdasan eksistensial berhubungan dengan kepekaan dan kemampuan
seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam terkait eksistensi
manusia. Kecerdasan jenis ini tampak pada filsuf eksistensialis yang selalu
mempertanyakan dan mencoba menjawab persoalan eksistensi hidup manusia.
Orang-orang yang memiliki kecerdasan eksistensial sering melontarkan
pertanyaan yang jarang dipikirkan oleh orang lain bahkan pendidikanya sendiri.
Misalnya “apa semua manusia akan mati ?” kalau semua akan mati kenapa aku
hidup ? pada umumnya orang yang menonjol kecerdasan eksistensialnya juga
berkemampuan untuk
a) Peka dalam menjawab persoalan eksistensi diri atau manusia
b) Melakukan refleksi diri
c) Kontemplasi diri

Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa


multiple intelligence menyarankan kepada kita semua untuk mempromosikan
kemampuan atau kelebihan seorang anak dan mengubur ketidakmampuan atau
kelemahan anak. Proses menemukan inilah yang menjadi sumber kecerdasan
seorang anak. Dalam menemukan kecerdasanya seorang anak harus dibantu oleh
lingkunganya baik orangtua, guru, sekolah, maupun sistem pendidikan yang
diimplementasikan.

Kecerdasan yang dimiliki seseorang dapat berkembang sampai tingkat


kemampuan yang disebut mumpuni. Pada tingkat ini, kemampuan seseorang di
bidang tertentu, yang berkaitan dengan kecerdasan itu, akan terlihat sangat
menonjol. Menurut Armstrong (1993:21-22) berkembang tidaknya suatu
kecerdasan bergantung pada tiga faktor penting berikut:

a) faktor biologis (biological endowment), termasuk di dalamnya faktor keturunan


atau genetis dan luka atau cedera otak sebelum, selama, dan setelah kelahiran.
b) Sejarah hidup pribadi, termasuk di dalamnya adalah pengalaman-pengalaman
(bersosialisasi dan hidup) dengan orang tua, guru, teman sebaya, atau orang
lain, baik yang membangkitkan maupun yang menghambat perkembangan
kecerdasan.
c) Latar belakang kultural dan historis, termasuk waktu dan tempat seseorang
dilahirkan dan dibesarkan serta sifat dan kondisi perkembangan historis atau
kultural di tempat yang berbeda.

2.2 Pilar-pilar Belajar


Pada 17 tahun silam, komisi pendidikan abad 21 UNESCO telah
merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan dalam menyambut abad ke 21.
Rekomendasi badan dunia PBB tersebut menarik untuk dicermati mengingat sampai
saat ini proses pendidikan masih berlangsung. Pendidikan berkelanjutan bagi manusia
berrtujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan
berlangsung seumur hidup, hal ini mengisyaratkan bahwa manusia tidak pernah
berhenti belajar memperbaiki kualitas diri, dan belajar tidak tergantung usia.
Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa dapat dilakukan melalui
peningkatan mutu pendidikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui lembaga
UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) yang
bergerak dibidang pendidikan, pengetahuan dan budaya mencanangkan empat pilar
pendidikan yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to
live together. Keempat pilar tersebut secara sinergi membentuk dan membangun pola
pikir pendidikan di Indonesia. Adapun empat pilar tersebut adalah sebagai berikut:
A. Learning to know
Pilar pertama ini memiliki arti bahwa para peserta didik dianjurkan untuk
mencari dan mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melalui
pengalaman-pengalaman. Hal ini akan dapat memicu munculnya sikap kritis dan
semangat belajar peserta didik meningkat. Learning to know selalu mengajarkan
tentang arti pentingnya sebuah pengetahuan, karena didalam learning to know
terdapat learning how to learn, artinya peserta didik belajar untuk memahami apa
yang ada di sekitarnya, karena itu adalah proses belajar. Hal ini sesuai pendapat
Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004: 128) yaitu belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Purwanto (2004: 44), belajar
merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan lingkungan untuk
mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Dari dua pendapat diatas
menunjukkan bahwa belajar bukan saja berasal dari bangku sekolahan saja tetapi
belajar dapat terjadi melalui interaksi dengan lingkungan. Belajar bukan hanya
dinilai dari segi hasilnya saja, melainkan dinilai dari segi proses, bagaimana cara
anak tersebut memperoleh pengetahuan, bukan apa yang diperoleh anak tersebut.
Learning to know juga mengajarkan tentang live long of education atau yang
disebut dengan belajar sepanjang hayat. Arti pendidikan sepanjang hayat (long life
education) adalah bahwa pendidikan tidak berhenti hingga individu menjadi
dewasa, tetapi tetap berlanjut sepanjang hidupnya (Suprijanto, 2008: 4). Hal ini
menegaskan bahwa pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga.
Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua
setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan
sosialnya. Sekolah diselenggarakan secara formal. Di sekolah anak akan belajar
apa yang ada di dalam kehidupan, dengan kata lain sekolah harus mencerminkan
kehidupan sekelilingnya. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari
kehidupan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya.
B. Learning to do
Pilar kedua menekankan pentingnya interaksi dan peserta didik diajak untuk
ikut serta dalam memecahkan permasalahan yang ada di sekitarnya melalui sebuah
tindakan nyata. Belajar untuk menerapkan ilmu yang didapat, bekerja sama dalam
sebuah tim guna untuk memecahkan masalah dalam berbagai situasi dan kondisi.
Learning to do berkaitan dengan kemampuan hard skill dan soft skill. Soft skill dan
hard skill sangat penting dan dibutuhkan dalam dunia pendidikan, karena
sesungguhnya pendidikan merupakan bagian terpenting dari proses penyiapan
SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, tangguh, dan terampil dan siap
untuk mengikuti tuntutan zaman. Hard skill merupakan kemampuan yang harus
menuntut fisik, artinya hard skill memfokuskan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan, teknologi dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan
kemampuan peserta didik. Penguasaan kemampuan hard skill dapat dilakukan
dengan menerapkan apa yang dia dapatkan/apa yang telah dipelajarinya di
kehidupan sehari-hari, contohnya anak disekolah belajar tentang arti penting sikap
disiplin, maka untuk memahami dan mengerti tentang disiplin itu, anak harus
belajar untuk melakukan sikap disiplin, baik dirumah, disekolah atau dimanapun.
Dengan begitu anak menjadi tahu dan faham tentang pentingnya sikap disiplin.
Selanjutnya adalah soft skill, artinya keterampilan yang menuntut intelektual. Soft
skill merupakan istilah yang mengacu pada ciri-ciri kepribadian, rahmat sosial,
kemampuan berbahasa dan pengoptimalan derajat seseorang. Jadi yang dimaksud
dengan kemampuan soft skill adalah kepribadian dari masing-masing individu.
Soft skill tidak diajarkan tetapi gurulah yang harus mencontohkan, seperti sikap
tanggung jawab, disiplin, dan lain sebagainya. Dengan memberikan contoh
tersebut, anak akan mencoba untuk menirukan apa yang dilihat. Hal itu merupakan
bagian dari menumbuhkan kemampuan soft skill.

C. Learning to be
Pilar ketiga artinya bahwa pentingnya mendidik dan melatih peserta didik
agar menjadi pribadi yang mandiri dan dapat mewujudkan apa yang peserta didik
impikan dan cita citakan. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan (soft skill dan
hard skill) merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be).
Menjadi diri sendiri dapat diartikan sebagai proses pemahaman terhadap
kebutuhan dan jati diri. Belajar untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma dan
kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil,
sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri. Learning to be sangat
erat kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan anak serta
kondisi lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati
dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi
siswa yang pasif, peran guru sebagai fasilitator bertugas sebagai penunjuk arah
sekaligus menjadi mediator bagi peserta didik. Hal ini sangat diperlukan untuk
menumbuh kembangkan potensi diri peserta didik secara utuh dan maksimal.
Selain itu, pendidikan juga harus bermuara pada bagaimana peserta didik menjadi
lebih manusiawi, menjadi manusia yang berperi kemanusiaan.

D. Learning to live together


Pilar terakhir artinya menanamkan kesadaran kepada para peserta didik
bahwa mereka adalah bagian dari kelompok masyarakat. Jadi, mereka harus
mampu hidup bersama. Dengan beragamnya etnis di Indonesia, kita perlu
menanamkan sikap untuk dapat hidup bersama. Pada pilar keempat ini, kebiasaan
hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu
dikembangkan disekolah. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik,
sebagai hasil dari proses pembelajaran, dapat dijadikan sebagai bekal untuk
mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan
sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang
peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam
bersosialisasi di masyarakat (learning to live together). Untuk itu, pembelajaran di
lembaga formal dan non formal harus diarahkan pada peningkatan kualitas dan
kemampuan intelektual dan profesional serta sikap dalam hal ini adalah
kemampuan hard skill dan soft skill. Dengan kemampuan dan sikap manusia
Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat
Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.

Empat pilar belajar menurut UNESCO ini akan membuat pembelajaran lebih
bermakna. Sedangkan, pada pilar pendidikan di Indonesia ada pilar yang kelima
(tidak dimasukkan oleh UNESCO) yaitu pilar tentang Ketuhanan. Belajar untuk
mempercayai dan meyakini Tuhan yang Maha Esa. Mengacu pada Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Undang-undang itu menyatakan
bahwa salah satu Tujuan Pendidikan Nasional yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa , berilmu, cakap, kreatif, madiri, berakhlak mulia, sehat dan menjadi
warga negara demokratis serta bertanggung jawab. Indonesia sebagai negara yang
melandaskan pancasila sebagai pedoman hidup bangsanya mempercayai dan
meyakini Tuhan yang Maha Esa. Sebab, Indonesia merupakan negara ketuhanan
yang menjunjung tinggi nilai keagamaan oleh karena itu pilar ini dimasukan
kedalam pilar belajar di Indonesia. Penerapan pilar ini dibuktikan dengan adanya
mata pelajaran agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Yang
mengajarkan budi pekerti dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

2.3 Connectivism Learning


Prof George Siemens, seorang guru besar dari Athabasca University di Kanada
merupakan salah seorang pelopor pengembangan pedagogi untuk pembelajaran yang
memanfaatkan teknologi. Ia mengusulkan sebuah teori alternatif untuk pendidikan
yaitu Connectivism. Ini adalah sebuah teori pendidikan yang memasukkan teknologi
dan konektivitas sebagai bagian dari kegiatan belajar yang penting. Connectivism
merupakan teori pembelajaran yang mengintegrasikan prinsip-prinsip yang digali
melalui teori chaos, jejaring, kompleksitas (complexity), dan self-organizing.
Pembelajaran dalam pengertian connectivism dipahami sebagai suatu proses yang
terjadi dalam lingkungan-lingkungan perubahan elemen-elemen inti pembelajaran
yang kabur dan tidak sepenuhnya dalam kendali seorang individu.
Model pembelajaran connectivism merupakan model pembelajaran yang
menekan pada pengambilan keputusan secara cepat oleh siswa, kegiatan tersebut
dibutuhkan untuk melatih siswa dalam proses belajar mandiri di dalam maupun diluar
kelas. Kegiatan yang dimaksudkan adalah kegiatan dimulai dari kegiatan mengetahui
sampai dengan kegiatan menciptakan pengetahuan yang dapat ditindakkan. Hal
tersebut dimaksudkan bahwa dengan pengunaan model connectivism ini siswa
diharapkan mampu mengikuti proses pembelajaran dikelas dari kegiatan mengetahui
materi pelajaran apa yang akan mereka pelajari hinggga sampai menciptakan
pengetahuan baru dari hasil belajarnya.
Connectivism adalah integrasi prinsip-prinsip dieksplorasi oleh kekacauan,
jaringan, dan kompleksitas dan self organisasi teori. Belajar adalah proses yang
terjadi dalam lingkungan samar-samar dari pergeseran elemen inti tidak sepenuhnya
di bawah kendali individu. Belajar (didefinisikan sebagai pengetahuan
ditindaklanjuti) dapat berada di luar diri kita (dalam suatu organisasi atau database),
difokuskan pada menghubungkan set informasi khusus, dan koneksi yang
memungkinkan kita untuk mempelajari lebih lanjut lebih penting daripada negara kita
saat mengetahui. Connectivism didorong oleh pemahaman bahwa keputusan
didasarkan pada mengubah dengan cepat yayasan. Informasi baru terus diakuisisi.
Kemampuan untuk menarik perbedaan antara informasi yang penting dan tidak
penting sangat penting. Kemampuan untuk mengenali kapan informasi baru
mengubah lanskap berdasarkan keputusan yang dibuat kemarin juga penting.
Kegiatan-kegiatan ini dapat terjadi di luar diri manusia (dalam suatu organisasi, suatu
database, dan lain sebagainya). Kegiatan ini berfokus pada penghubungan kumpulan
kumpulan informasi khusus, dan hubungan hubungan lain yang memungkinkan kita
belajar lebih banyak. Karena itu, kemampuan melakukan penghubungan
penghubungan ini merupakan hal yang lebih penting dari pengetahuan yang kita
kuasai. Connectivism dilandasi oleh pemahaman akan kenyataan bahwa pengambilan
keputusan di era informasi akan didasarkan pada landasan-landasan yang berubah
dengan cepat. Informasi-informasi baru akan diperoleh secara terus menerus secara
berkelanjutan. Kemampuan membedakan informasi yang penting dan yang tidak
penting dengan demikian bersifat vital. Dan juga, kemampuan untuk mengenali
kapan suatu informasi baru telah mengubah landasan yang menjadi dasar keputusan
keputusan yang diambil kemarin merupakan hal yang sangat kritis sifatnya (critical).
Model pembelajaran connectivism mengarahkan siswa untuk mampu
mengumpulkan informasi-informasi yang dibutuhkannya dalam belajar secara cepat
dan tepat, dimana pada era digital saat ini informasi telah banyak dapat diperoleh
melalui internet ataupun e-book. Hal ini tentunya akan sangat membantu bagi siswa
dalam meningkatkan keterampilan belajarnya. Terlebih lagi pada saat ini telah
diputuskan bahwa siswalah yang lebih aktif dalam proses pembelajaran dikelas
maupun diluar kelas (student centered), sehingga siswa akan lebih diarahkan untuk
belajar secara mandiri dengan memanfaatkan teknologi dan sumber belajar yang ada
disekitarnya dengan dipandu oleh guru sebagai fasilitatornya dalam belajar.
Penggunaan model pembelaran connectivism sangat dibutuhkan untuk
mengembangkan daya berpikir kritis siswa dalam belajar. Siswa akan terlatih dalam
mengambil keputusan secara cepat dalam menghadapi permasalahan yang
ditemukannya dan terbiasa mengumpulkan informasi-informasi yang penting
mengenai materi pembelajaran maupun hal lainnya yang mendukung dirinya sendiri
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas lagi. Model pembelajaran
connectivism ini dapat diimplementasikan sebaik mungkin oleh guru dalam
membantu dan menunjang proses pembelajaran dikelas agar lebih efektif dan lebih
bisa menekankan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

2.4 Distance Learning


Distance learning yang terkenal dengan sebutan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ),
merupakan sebuah model pembelajaran solutif dari kegiatan belajar mengajar yang
terkendala waktu, tempat, dan sumber daya manusia. Perlu disepakati terlebih dahulu
bahwa model pembelajaran jarak jauh bisa dibagi dalam beberapa bagian. Bagian
pertama adalah pembelajaran jarak jauh dalam lingkup e-learning, yaitu sebuah media
online yang memiliki sumber untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar
berbasis teknologi informasi melalui internet. Sistem ini dapat berisi materi buku,
modul ajar, soal-soal latihan, dan forum diskusi.
Sehubungan dengan pelaksanaannya yang bersifat jarak jauh antara pengajar
dan murid, maka ada banyak pilihan metode untuk menyampaikan bahan ajar dalam
penerapan sistem PJJ yang dikelompokkan pada empat kategori besar, yaitu:
A. Voice/Audio
Alat pembelajaran yang memanfaatkan teknologi suara dengan metode interaktif
seperti telepon, audio-conferencing, dan radio. Ataupun dengan metode pasif
seperti penggunaan pembelajaran bahan ajar yang sudah direkam kedalam sebuah
kaset tape-recorder.
B. Video
Alat pembelajaran yang menggunakan teknologi berbasis video atau gambar
bergerak meliputi beberapa aspek seperti adanya gambar statis,slides, film, foto,
video tape, hingga video-conferencing.
C. Data
Penggunaan kata “data” disini digambarkan sebagai beragam kategori dari
penggunaan alat pembelajaran yang menggunakan komputer. Ada beberapa
kategori aplikasi komputer untuk digunakan dalam PJJ seperti :
a) Computer-assisted instruction (CAI)
Penggunaan komputer sebagai alat bantu dalam pembelajaran untuk
memberikan materi ajar pada individu.
b) Computer-managed instruction (CMI)
Komputer digunakan sebagai alat bantu pengaturan pembelajaran dan
melacak perkembangan serta hasil belajar dari peserta didik. Meskipun CMI
sering digabungkan dengan CAI, namun pengiriman bahan ajarnya tidak selalu
harus menggunakan komputer.
c) Computer-mediated education (CME)
Menggambarkan aplikasi komputer yang dapat memfasilitasi pengiriman
bahanajar. Beberapa contohnya adalah e-mail, fax, dan World-WideWeb pada
internet.
D. Printout
Bentuk ini adalah cara pengiriman bahan ajar yang dikemas dalam modul-modul
dan dikirim dalam bentuk fisik berupa hard-copy. Cara pengirimannya bermacam-
macam, namun umumnya menggunakan jasa pengiriman pos untuk disebar ke
berbagai tempat yang agak sulit dijangkau oleh jalur distribusi pada umumnya
terutama untuk daerahyang mengalami kesulitan dalam aplikasi teknologi
elektronik seperti cara-cara diatas.

Kelebihan dan Kekurangan pembelajaran jarak jauh (distance learning) antara lain

a) Kelebihan pembelajaran jarak jauh


 Pembelajaran dapat dilakukan dengan sifat terbuka dan fleksibel.
 Membantu interaksi antara murid yang berada di daerah terpencil dan
pengajar/instrukturnya dengan diadakannya pertemuan berkala.
 Menjangkau peserta didik dalam cakupan yang luas untuk meningkatkan
pemerataan pendidikan.
 Mengurangi angka putus sekolah atau putus kuliah.
 Meningkatkan prestasi belajar, khususnya bagi murid yang mengalami
hambatan secara geografis karena jauh dari lokasi pembelajaran.
 Meningkatkan rasa percaya diri bagi peserta didiknya.
 Meningkatkan wawasan keilmuan yang tidak terbatas lagi oleh jarak, waktu,
maupun usia.
 Mengatasi kekurangan tenaga pendidikan.

b) Kekurangan pembelajaran jarak jauh


Disamping banyak kelebihan yang diberikan oleh model belajar distance learning,
ada juga kekurangan yang dimilikinya seperti berikut ini:
 Biaya infrastruktur yang mahal menyebabkan imbas pada biaya pendaftaran
calon peserta didik yang juga menjadi mahal.
 Jarak tempuh pengiriman dengan jalur darat/pos memakan waktu yang cukup
lama khususnya bagi daerah terpencil.
 Interaksi antara peserta didik dan pengajar terbatas pada beberapa kali
pertemuan, itu pun jika situasi dan kondisi lokasi pembelajaran memungkinkan
untuk dikunjungi pengajar.
 Kualitas bahan ajar dengan jalur pos tidak dapat dipastikan tiba ditempat tujuan
dengan utuh, terutama untuk daerah yang jangkauan lokasinya harus ditempuh
dengan berbagai cara baik darat, laut, maupun udara. Hal ini berkaitan dengan
cuaca dan hambatan selama di perjalanan.
 Sulitnya menerapkan pembelajaran jarak jauh berbasis TIK bagi daerah yang
masih belum terjangkau listrik, atau belum tersentuh teknologi komputer sama
sekali.
2.5 Transformative Learning
Dalam kehidupan manusia masalah pendidikan sangat vital dan urgen untuk
sebuah perdaban. Jadi pendidikan harus dinamis dan transformatif dalam rangka
menuju masa depan kehidupan manusia yang lebih baik. Pendidikan transformatif
adalah sebuah pendidikan yang tardisional menuju pendidikan yang moderen. Jadi
pendidikan seperti ini akan selalu efektif dalam keadaan apapun. Pendidikan
transformatif sangat penting karna dilihat dari hegemoni dunia yang makin keras
maka upaya pendidikan ini semestinya diimplementasikan disetiap lembaga
pendidikan yang ada. Maka pendidikan akan sangat efektif dan outputpun akan cukup
berkualitas untuk menjalankan peran kehidupan di masa mendatang. Namun salah
satu contoh di Indonesia saat ini kita dapat melihat perubahn signifikan pada segi
pendidikan tapi belum sepenuhnya dapat di katakan transformatif. Karena ada hal-hal
yang belum dapat diselesaikan contohnya, yaitu fasilitas yang belum memadai seperti
yang ada di negara-negara lain. Ini hanya sebagian saja atau bisa di katakan pelayan
masyarakat yang belum merata.
Selanjutnya dari Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional (2004)
dirumuskan tentang tujuan pendidikan transformatif yaitu melahirkan insan cerdas
komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif yaitu :
A. Cerdas Spiritual (Olah Hati) : beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk
menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk
budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.
B. Cerdas Emosional (Olah Rasa) : beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk
meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni
dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.
C. Cerdas Sosial : beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang:
a) Membina dan memupuk hubungan timbal balik demokratis.
b) Empatik dan simpatik menjunjung tinggi hak asasi manusia ceria dan percaya
dirimenghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara serta
berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga
negara.
D. Cerdas Intelektual (Olah Pikir) : Beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk
memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,
aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.
E. Cerdas Kinestetis (Olah Raga) : Beraktualisasi diri melalui olah raga untuk
mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan
trengginas, aktualisasi insan adiraga.

Cerdas kompetitif yaitu memiliki kepribadian unggul dan gandrung akan


keunggulan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan
pembina jejaring, bersahabat dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen
perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global, dan pembelajar sepanjang
hayat.

Untuk mewujudkan manusia yang cerdas komprehensif dan kompetitif tentu


tidaklah mudah karena :

a) Keterbatasan : secara internal Indonesia masih memiliki banyak keterbatasan


dalam penyelenggaraan pendidikan yang unggul dalam hal :
b) Man (manusia) : sumber daya manusia pengelola pendidikan yang kualitasnya
masih belum memuaskan.
c) Money (uang) : keuangan yang masih terbatas dan belum dapat memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang unggul dan bermutu.
d) Method (metode) : metode pendidikan yang belum beragam dan kurang kreatif
sehingga proses pendidikan kurang efektif.
e) Machines (alat) : peralatan pendukung pendidikan yang masih terbatas sehingga
hanya menggunakan apa yang ada.
f) Material : siswa yang menjadi input pendidikan juga memiliki banyak keterbatasan
karena kondisi pribadi, keluarga dan masyarakat yang banyak problematika.
g) Tantangan : secara eksternal Indonesia juga menghadapi tantangan dunia dan era
global yang merugikan (selain peluang yang menguntungkan) yaitu :
 Penyalahgunan teknologi ke hal-hal yang negatif seperti pornografi, game
kekerasan dan lainnya. Budaya hidup global yang hedonistis dan materialistis
sehingga masyarakat hanya mementingkan diri sendiri demi menikmati
kehidupan dunia dengan ukuran materi dan harta. Persaingan yang semakin
ketat dan membuat kehidupan masyarakat bergerak sangat cepat dan tertekan
sehingga gampang untuk stress. Ketidakadilan kondisi dunia terutama negara-
negara besar sepeti Amerika Serikat yang menetapkan standar ganda dalam
kebijakan globalnya.
 Keserakahan negara-negara kapitalis yang menjadikan negara-negara
berkembang dan lemah semakin miskin dan terbelakang dengan sumber daya
yang terus dieksploitasi. Ketidaksesuaian terjadi krisis keteladanan dengan
adanya paradoks antara teori dengan praktek, antara idealita dengan realita
kehidupan yang sangat mengganggu proses pendidikan. Ini dapat dilihat di
tingkat :
- Pendidikan keluarga : orang tua yang belum dapat menjadi tauladan dalam
kehidupan sehari-hari dan hanya menuntut dan meminta anak-anaknya
berbuat tanpa memberi ketauladanan.
- Pendidikan formal sekolah : apa yang diajarkan oleh guru dengan yang
terlihat di kehidupan sekolah sering berbeda seperti ajaran kejujuran dan
keadilan, namun sekolah mengambil jalan pintas demi mencapai prestasi dan
prestise. Kasus Ujian Nasional dapat dijadikan contoh di mana beberapa
sekolah membocorkan kunci jawaban demi menjadikan kelulusan mendekati
100 %.
- Pendidikan masyarakat : kehidupan masyarakat juga berbeda dengan nilai-
nilai yang diajarkan di sekolah. Tingkat korupsi yang tinggi, tingkat
kejahatan, pelanggaran hukum yang tidak diberi tindakan yang tegas. Jika
bangsa Indonesia ingin menjadi bangsa yang maju dan bermartabat maka
kunci utamanya adalah SDM yang unggul.
Untuk itu dibutuhkan pendidikan dalam Perspektif Terpadu meliputi :
a. Keterpaduan manusia seutuhnya : proses pendidikan yang memandang
manusia secara utuh yaitu spiritual, emosional, sosial, intelektual,
kinestetis. Juga keterpaduan iman, ilmu dan amal sehingga lahir manusia
sempurna (insan kamil) yang takwa dan cendekia yang bahagia di dunia
dan akhirat.
b. Keterpaduan pengelolaan : proses pengelolaan yang tuntas mulai dari
perencanaan (plan), pelaksanaan (action), monitoring dan evaluasi
(check) dan perbaikan (improve) program sehingga secara terus-menerus
terjadi peningkatan mutu pendidikan.
c. Keterpaduan sumber daya : pengelolaan sumber daya pendidikan meliputi
man (manusia), money (uang), method (metode), machines (alat),
materials input yang unggul, cukup, tepat, efisien dan saling mendukung
dalam proses pendidikan.
d. Keterpaduan partisipasi : antara pemerintah dan masyarakat terjadi sinergi
dan saling menjalankan peran dengan sebaik-baiknya sehingga
pelaksanaan pendidikan dalam proses dan pembiayaan dapat efektif dan
efisien.
e. Keterpaduan proses : antara pendidikan di sekolah, rumah dan masyarakat
terjadi keterpaduan sinergi sehingga apa yang diajarkan di sekolah,
dikuatkan di rumah dan didukung oleh masyarakat.
f. Keterpaduan antara teori dengan praktek : adanya keteladanan dari para
pendidik (orang tua, guru, pengelola sekolah, penyelenggara negara dan
tokoh masyarakat) sehingga nilai-nilai yang diajarkan dapat terlihat
wujudnya dalam kehidupan sehingga membekas dan membentuk
karakter.
g. Keterpaduan nasional, regional dan global : adanya kerja sama terpadu
antara seluruh komponen bangsa (nasional). Kemudian dalam lingkup
regional seperti Asia Tenggara terjalin kerja sama untuk kemajuan
pendidikan dan kerja sama global untuk kemajuan kehidupan manusia
yang semakin adil, aman, sejahtera dan bahagia.

2.6 Distruptive Learning


Distruptive adalah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama
dengan cara-cara baru. Distruptive berpotensi menggantikan pemain-pemain lama
dengan baru. Distruptive bisa dilihat sebagai sesuatu yang positif karena merupakan
sebuah inovasi yang dinamis. Di era distruptive, pengelolaan lembaga tidak lagi
dilakukan sebagai bisnis biasa, tetapi harus berupaya agar bisa bersaing di era global
dengan cepat. Oleh karena itu Perguruan tinggi harus melakukan melakukan
perubahan fundamental. PT harus beradaptasi dengan perkembangan zaman agar
mampu menghasilkan lulusan bekualitas. Mampu menyiapkan sumber daya
berkualitas dan memiliki kemampuan yang dibutuhkan dunia kerja kekinian.
Perguruan tinggi tidak hanya dituntut inovasi di bidang pendidikan dan
pengajarannya, tetapi perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan perubahan
dalam sistem pembelajaran yang melibatkan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK)
menjadi hal yang sangat penting untuk menghadapi era disruptif. Begitupula dosen
dituntut agar benar-benar profesional sesuai bidangnya. Selain meguasai bidang
keilmuanya, dosen juga harus mampu memanfaatkan teknologi. Peran dosen tidak
hanya meningkatkan kompetensi peserta didik, namun juga dituntut beradaptasi
dengan perubahan zaman.
Pada masa lalu, peserta didik tidak dapat mengakses secara langsung sumber
informasi karena struktur atau sistem pengajaran memposisikan dosen sebagai
perantara peserta didik dan sumber materi pelajaran. Struktur ini memberi peran
penting bagi pendidik sebagai pusat bertanya atau sumber ilmu pengetahuan. Sejalan
dengan perkembangan zaman, mengubah cara cara tersebut. Dosen tidak lagi menjadi
satu satunya sumber pengetahuan bagi peserta didik. Peran pendidik bergeser ibarat
tukang masak yang dapat menyiapkan masakan kepada sejumlah orang yang berbeda
selera atau minat. Artinya, Pandangan ini mengindikasikan bahwa pendidik adalah
penyedia, fasilitator, motivator dan dinamisator bagi peserta didiknya. Distruptive era
ini semuanya telah berubah, hal ini dapat kita rasakan saat beberapa PTS mencoba
melakukan inovasi pembelajaran dengan melakukan berbagai standarisasi mutu
pendidikan, sarana dan fasilitas yg memeadai, menaikkan insentif dosen, dan
membuat dosen benar-benar mengajar serius di kampus. Hasilnya, dengan
kompetensi mahasiswa yang lebih unggul dibandingkan negeri, mereka bisa
menghasilkan lulusan yang lebih dipilih industri. Terkadang kita masih berjumpa
dengan dosen yang sejak kita kuliah dulu hingga sekarang sama cara mengajarnya,
sama cara memberikan tugasnya, dan materi yang diajarkan tidak di update. Saat
industri masuk ke era disruption, hal yang masih diajarkan sebatas teori porter five
forces. Tentu saya khawatir, jika ini terjadi terus – menerus kampus akan sangat
mungkin menjadi korban disruptive era.
Prinsip yang harus dipegang pendidik di era distruptive :
A. Push Beyond Comfort Zone (Keluar dari zona nyaman)
Pendidik bisa menerapkan pola ajar dengan bentuk student centered learning dan
remote learning pada aktivitas mengajar. Saat ini, model belajar 1 arah atau
ceramah, dirasa tidak efektif karena mahasiswa bisa mencari informasi dengan
mudah.
B. Works Toward Well Defined, Specific Goals (Bekerja dengan target atau capaian
yang jelas)
Pendidik bisa memberikan materi atau tugas yang esensial, dengan tujuan yang
clear, dan bisa ditangkap dengan baik oleh mahasiswa. Tugas pembelajaran
dengan metode riset dapat diberikan kepada mahasiswa untuk memberi mereka
pengalaman menerapkan riset model dan simulasi untuk memecahkan masalah
secara langsung.
C. Focus Intently on Impactful Activities (Fokus memberikan aktivitas yang
bermakna dan berdampak)
Dosen sebagai pendidik bisa bertanya kepada mahasiswa tentang penerapan
lecture, role play & simulation, problem based learning, remote learning,
collaborative learning, atau research based learning pada aktivitas belajar yang
telah diberikan kepada mereka.
D. Receive and Respond High Quality Impact (Menerima dan Memberikan feedback
berkualitas)
Pendidik bisa mengajak mahasiswa untuk membuat refleksi dan memberikan
masukan/saran kepada dosen untuk mengembangkan teknik pendidikan yang lebih
baik ke depannya. Selain itu, dosen juga harus membiasakan memberikan
feedback atas tugas–tugas mahasiswa, agar mereka tahu di titik mana mereka
harus memperbaiki kesalahan atau mempertahankan hal yang sudah bagus.
Kebanyakan dosen hanya memberi tugas, tanpa memberikan feedback (karena
tidak sempat).
E. Develop Mental Model of Expertise (Membentuk mental model seorang expert)
Dosen menerapkan pola pikir yang menjadikan mahasiswa expert setelah keluar
dari kelas. Menggunakan expertise mental model ini secara langsung dan tak
langsung akan membuat standar belajar dan mendidik naik.
BAB III

PENUTUP

Dalam bab 3 ini berisi tentang simpulan makalah dan saran, adapun diantaranya
akan diuraikan sebagai berikut.

3.1 Simpulan Makalah

Dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa dapat dilakukan melalui


peningkatan mutu pendidikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui lembaga
UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization)
yang bergerak dibidang pendidikan, pengetahuan dan budaya mencanangkan
empat pilar pendidikan yakni learning to know, learning to do, learning to be, dan
learning to live together. Keempat pilar tersebut secara sinergi membentuk dan
membangun pola pikir pendidikan di Indonesia.

Kegiatan-kegiatan ini dapat terjadi di luar diri manusia (dalam suatu organisasi,
suatu database, dan lain sebagainya). Kegiatan ini berfokus pada penghubungan
kumpulan kumpulan informasi khusus, dan hubungan hubungan lain yang
memungkinkan kita belajar lebih banyak. Karena itu, kemampuan melakukan
penghubungan penghubungan ini merupakan hal yang lebih penting dari
pengetahuan yang kita kuasai.

Dalam kehidupan manusia masalah pendidikan sangat vital dan urgen untuk
sebuah perdaban. Jadi pendidikan harus dinamis dan transformatif dalam rangka
menuju masa depan kehidupan manusia yang lebih baik. Pendidikan transformatif
adalah sebuah pendidikan yang tardisional menuju pendidikan yang moderen. Jadi
pendidikan seperti ini akan selalu efektif dalam keadaan apapun.

3.2 Saran Penulis


Semoga dalam membaca makalah tentang Kajian Pilihan Teori Kontemporer
ini dapat memberi pembelajaran bagi para pembaca dalam mengetahui macam-
macam kecerdasan siswa dan cara pembelajaran yang baik. Kami dari tim
penyusun mengucapkan mohon maaf apabilan masih ada kesalahan dalam
pembuatan makalah ini, kritik dan saran kami terima untuk menyempurnakan
makalah Kajian Pilihan Teori Kontemporer ini.
Daftar Rujukan

Ahmadi dan Widodo Supriyono, Abu. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.

Armstrong, Thomas. (1993). 7 Kinds of Smart : Identifying and Developing Your


Intelligences. New York : Penguin Group.

Junie, C. (2012, August 7). Empat Pilar Belajar UNESCO. Retrieved October 10, 2020,
from candrajunie.com: https://www.candrajunie.com/2012/08/empat-pilar-
pembelajaran-unesco.html

Krisnadi, I. (2015). Distance Learning, Simulation, dengan Metode Pendukung Secara


Konvensional.

Laksana, S. D. (n.d.). Integrasi Empat Pilar Pendidikan (UNESCO). 46-51.

Mayling, Susanto dkk (2017) Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia.
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Musfiroh, T. (2004). Multiple Intelligences . 9.

Purwanto. (2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sahnan, A. (2019). Multiple Intelligence dalam Pembelajaran PAI. Jurnal Auladuna


INAIFAS, 45-53.

Sanjaya, R. (2017). Distruptive Innovation dalam Pendidikan Tinggi. Semarang.

Supradono, B. (2009). Perancangan Pengembangan Komprehensif Sistem Pembelajaran


Jarak Jauh (Distance Learning) di Institusi Perguruan Tinggi yang Berbasis E-
Learning.

Suprijanto. (2008). Pendidikan Orang Dewasa: Dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi
Aksara

5 Pilar Pendidikan di Indonesia. (2019, December 9). Retrieved October 10, 2020, from
seputarkuliah.com: https://seputarkuliah.com/pilar-pendidikan/

https://www.scribd.com/doc/145475258/Pendidikan-Transformatif

https://www.academia.edu/35505376/Makalah_Pendidikan_Transformatif

Anda mungkin juga menyukai