Anda di halaman 1dari 41

RESUME

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN
Keperawatan Medikal Bedah (KMB III)

Dosen Pengajar :
Ns. Yosi Oktarina, S.Kep., M.Kep

Oleh :

Anita Sari : (G1B118038)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020/2021
ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI SSP

A. Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula
spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu
dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza
dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001)..

Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a) Biodata klien
b) Riwayat kesehatan yang lalu
(1) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
(2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
(3) Pernahkah operasi daerah kepala ?
c) Riwayat kesehatan sekarang
(1) Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan
involunter.
(2) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan
darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.
(3) Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
(4) Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor
kulit jelek dan membran mukosa kering.
(5) Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
(6) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena,
kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi
penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan
halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal,
hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski
positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
(7) Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah, menangis.
(8) Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan.

2. Diagnosa keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen
dari patogen
b) Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema
serebral, hipovolemia.
c) Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan
umum, vertigo.
d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan
kekuatan
f) Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
3. Intervensi keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen
dari patogen.

Mandiri

- Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan


- Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
- Pantau suhu secara teratur
- Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
- Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas dalam
- Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
Kolaborasi
- Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.

b) Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan
edema serebral, hipovolemia.

Mandiri

- Tirah baring dengan posisi kepala datar.


- Pantau status neurologis.
- Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
- Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.
- Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi.
- Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
- Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
- Pantau BGA.
- Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen

c) Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum
vertigo.
Mandiri
- Pantau adanya kejang
- Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan
- Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam,
venobarbital.

d) Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.


Mandiri.
- Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang
nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage
otot leher.
- Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
- Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
- Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul

Kolaborasi

- Berikan anal getik, asetaminofen, codein

e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.


- Kaji derajat imobilisasi pasien.
- Bantu latihan rentang gerak.
- Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
- Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan
kesejajaran tubuh secara fumgsional.
- Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.
f) Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
- Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan
proses pikir.
- Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
- Observasi respons perilaku.
- Hilangkan suara bising yang berlebihan.
- Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
- Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
- Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.

g) Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.


- Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
- Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
- Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
- Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk
sumber penyokong.
ASUHAN KEPERWATAN EPILEPSI
Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel
saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Mutakin, 2000)
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neron-neron otak secara
berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik (anonim, 2008)
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang
dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan oleh lepasan muatan listrik abnormal
sel-sel saraf otak yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi, dengan ciri khas serangan
yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang secara tiba-tiba pula.

Asuhan Keperawatan Teoritis


2.2.1 Pengkajian
1. Anamnese
1) Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada bayi dan neonatus), jenios
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk RS, nomor
register, asuransi kesehatan, dan diagnosis medis.
2) Keluhan Utama: kejang, demam.
3) Riwayat kesehatan
Riwayat keluarga dengan kejang
Riwayat kejang demam
Tumor intracranial
Trauma kepal terbuka, stroke
4) Riwayat kejang
Berapa sering terjadi kejang
Gambaran kejang seperti apa
Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
Apa yang dilakuakn pasien setelah kejang
5) Riwayat penggunaan obat
Nama obat yang dipakai
Dosis obat
Berapa kali penggunaan obat
Kapan putus obat
2. Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk,produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
dan penngkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien epilepsy disertai dengan
gangguan system pernapasan.
B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien epilepsy tahap
lanjut apabila klien sudah mengalami syok.

B3 (Brain)
Tingkat kesadaran
Tingkat kesedaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling
sensitive untuk menilai disfungsi system persarafan. Beberapa system dogunakan untuk
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.
Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien, nloai gaya bicara dan
observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien eplepsi tahap lanjut biasanya
mengalami perubahan status mental seperti adanya gangguan prilaku, alam perasaan dan
persepsi
Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien eplepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
Saraf III, IV, dan VI. Dengan alas an yang tidak diketahui, klien epilepsy mengeluh mengalam
fotofobia,( sensitive yang berlebihan terhadap cahaya )
Saraf V. Biasanya tidak didapatkan paralysis otot wajah dan reflex kornea biasanya tidak ada
kelainan
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.Indra
pengecapan normal.
System motorik
Kekutan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada eplepsi tahap lanjut
mengalami perubahan
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, dan periosteum, derajat
reflex pada respons normal.

System sensorik
Basanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan
abnormal dipermukaan tubuh, perasaan propriosetif normal, dan perasaan diskriminatif normal.
Pada rangsang cahaya merupakan tanda khas dari epilepsy.Pascakejang sering dkeluhkan adanya
nyeri kepala yang bersifat akut.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system kemih didapatkan berkurangnya volume output urin, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien pada epilepsy menurun karena anoreksia dan adanya kejang
B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang biasanya ddapatkan adanya penurunan kekuatan otot dan
kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu aktivitas perawatan diri

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko injury berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (Gg
Keseimbangan).
2. Nyeri akut berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca kejang.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan (dipsnea).
4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan beghubungan dengan
kurang pemahaman, salah interpretasi informasi , kurang mengingat.
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi akibat epilepsy.

2.2.3 Intervensi Keperawatan

1. Resiko tinggi injuri berhubungan dengan aktivitas kejang yang tidak terkontrol (Gg
Keseimbangan).
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam perawatan klien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang
dan penurunan kesadaran
Kriteria hasil : klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus
kejang, melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang
Intervensi Rasional
Kaji tngkat pengetahuan klien dan keluarga Data dasar untuk intervensi selanjutnya
cara penanganan saat kejang.
Ajarkan klien dan keluarga metode Orang tua dengan anak yang pernah
mengontrol demam mengalami kejang demam harus
diintstrusikan tentang metode untuk
mengontrol demam ( kompres dingin, obat
antipiretik )
Anjurkan kontroling pasca cedera kepala Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Malalui
program yang memberikan keamanan yang
tinggi dan tindakan pencegahan yang aman,
tetapi juga mengembangkan pencegahan
epilepsy akibat cedera kepala
Anjurkan keluarga agar mempersiapkan Melindungi klien bla terjadi kejang
lingkungan yang aman sepert batasan ranjang,
papan pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat klien
Anjurkan untuk menghindari rangsang cahaya Klien mengalami peka terhadap rangsang
yang berlebihan cahaya yang silau. Dengan menggunakan
kaca mata hitam atau menutup salah satu mata
dapat membantu mengontrol masalah ini
Anjurkan mempertahankan bedrest total Mengurang resiko jatuh, jika vertigo, sncope,
selama fase akut dan ataksia terjadi
Kolaborasi pemberian terapi fenitoin Untuk mengontrol menurunkan respons
(dilantin) kejang berulang

2. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala skunder respons pasca kejang
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan keluhan nyeri
berkurang/rasa sakit terkontrol
Kriteri hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks dank lien memverbalisasikan
penurunan rasa sakit
Intervensi Rasional
Usahakan membuat lingkungan yang aman Menurunkan reaksi terhadap rangsangan
dan tenang eksternal atau sensitivitas terhadap cahaya
dan menganjurkan klien untuk beristirahat
Lakukan manajemen nyeri, dengan metode Membantu menurunkan stimulasi sensasi
distraksi dan relaksasi napas dalam nyeri
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai Dapat membantu relaksasi otot-otot yang
kondisi dengan lembut dan hati-hati tegang dan dapat menurunkan rasa sakit/tidak
nyaman
Kolaborasi pemberan analgetik Untuk menurunkan rasa sakit.
Catatan : narkotika merupakan kontraindikasi
karena berdampak tehadap status neurologis
sehingga sukar untuk dikaji

3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot


pernapasan
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama pasien tidak mengalami
gangguan pola napas.
Kriteria Hasil :
- RR dalam batas normal sesuai umur
- Nadi dalam batas normal sesuai umur
Intervensi Rasional

Lepaskan pakaian pada daerah Memfasilitasi usaha bernapas/ekspansi


leher/dada, abdomen dada.
Masukkan spatel lidah/jalan napas Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan
buatan memfasilitasi saat melakukan
penghisapan lendir, atau memberi
sokongan pernapasan jika diperlukan
Lakukan penghisapan sesuai sesuai Menurunkan risiko aspirasi atau
indikas asfiksia
Kolaborasi Kolaborasi
Berikan tambahan O2 Dapat menurunkan hipoksia serebral

4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi dan


aturan pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman, salah
interpretasi informasi, kurang mengingat.
Tujuan : setelah diberikan penjelasan selama 2 x pasien mengerti proses
penyakitnya dan Program perawatan serta Therapi yg diberikan.
Kriteria Hasil :

1. Menjelaskan kembali tentang penyakit.

2. Mengenal kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa cemas


Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien Mengetahui sebatas kemampuan klien
terhadap jenis penyakitnya. dalam memahami jenis penyakitnya
agar lebih kooperatif akan pemahaman
klien pentingnya
pencegahan,pengobatan dan
sebagainya.
Jelaskan kembali mengenai Memberikan kesempatan untuk
patofisiologi atau prognosis mengklarifikasi kesalahan persepsi dan
penyakit, pengobatan, serta keadaan penyakit yang diderita
penenganan dalam jangka waktu
panjang sesuai prosedur.
Tinjau kembali obat-obatan, dosis, Menambah pemahaman klien terhadap
petunjuk, serta penghentian kondisi kesehatan yang diderita.
penggunaan obat-obatan sesuai
instruksi dokter.
Diskusikan perubahan gaya hidup Mencegah keparahan penyakit
yang mungkin digunakan
untuk mencegah komplikasi

5. Koping individu tidak efektf yang berhubungan dengan depresi


akibat epilepsy.
Tujuan :
Dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi harga diri klien meningkat
Kriteria hasil :
Mampu mengkomunikasikan dengan orang-orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap
situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan
cara akurat tanpa harga diri yang negative
Intervensi Rasional
Kaji perubahan dari gangguan Menentukan bantuan individual dalam
persepsi dan hubungan dengan menyusun rencana perawatan atau
derajat ketidakmampuan pemilihan intervensi.
Dukung perilaku atau usaha seperti Klien dapat beradaptasi tehadap
peningkatan minat atau partisipasi perubahan dan pengertian tentang peran
dalam aktivitas rehabilitasi individu masa mendatang.
Catat ketika klien menyatakan Mendukung penolakan terhadap bagian
terpengaruh seperti sekarat atau tubuh atau perasaan negative terhadap
mengingkari dan menyatakan inilah gambaran tubuh dan kemampuan yang
kematian menunjukan kebutuhan dan intervensi
serta dukungan emosional.
Bantu dan anjurkan perawatan yang Membantu meningkatkan perasaan
baik dan memperbaiki kebiasaan harga diri dan mengontrol lebih dari
satu area kehidupan.
Anjurkan orang yang terdekat untuk Menghidupkan kembali perasaan
mengizinkan klien melakukan hal kemandirian dan membantu
untuk dirinya sebanyak-banyaknya perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehablitasi.
Kolaborasi : rujuk pada ahli Dapat memfasilitasi perubahan peran
neuropsikologi dan konseling bila yang penting untuk perkembangan
ada indikasi perasaan.
ASUHAN KEPERAWATAN TUMOR SSP

Pengertian
1. Tumor otak adalah terdapatnya lesi yang ditimbulkan karena ada desakan ruang baik jinak
maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen, dan tengkorak. (price, A. Sylvia, 1995:
1030).
2. Tumor ialah Istilah umum yang mencakup setiap pertumbuhan benigna (jinak) dalam setiap
bagian tubuh. Pertmbuhan ini tidak bertujuan, bersifat parasit dan berkembang dengan
mengorbankan manusia yang menjadi hospesnya. (Sue Hinchliff, kamus Keperawatan,
1997).
3. Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas (maligna)
membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum tulang
belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat berupa
tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri
disebut tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti kanker
paru, payudara, prostate, ginjal, dan lain-lain disebut tumor otak sekunder. (Mayer.
SA,2002).

PENGKAJIAN
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, usia, status, agama, alamat, pekerjaan, dan identitas penanggung
jawab.
b. Riwayat Sakit dan Kesehatan
· Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala
· Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh nyeri kepala, muntah, papiledema, penurunan tingkat kesadaran,
penurunan penglihatan atau penglihatan double, ketidakmampuan sensasi (parathesia atau
anasthesia), hilangnya ketajaman atau diplopia.
· Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami pembedahan kepala
· Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya
dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan tumor otak.
· Pengkajian psiko-sosio-spirituab
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan mengambil
keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan,
adanya perubahan peran.

c. Pemeriksaan Fisik (ROS : Review of System)


Pemeriksaan fisik pada klien dengan tomor otak meliputi pemeriksaan fisik umum per
system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2
(Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).

- Pernafasan B1 (breathing)
Bentuk dada : normal
Pola napas : tidak teratur
Suara napas : normal
Sesak napas : ya
Batuk : tidak
Retraksi otot bantu napas; ya
Alat bantu pernapasan: ya (O2 2 lpm)
- Kardiovaskular B2 (blooding)
Irama jantung : irregular
Nyeri dada : tidak
Bunyi jantung ; normal
Akral : hangat
Nadi : Bradikardi
Tekanan darah Meningkat
- Persyarafan B3 (brain)
Penglihatan (mata) : Penurunan penglihatan, hilangnya ketajaman atau diplopia.
Pendengaran (telinga): Terganggu bila mengenai lobus temporal
Penciuman (hidung) : Mengeluh bau yang tidak biasanya, pada lobus frontal
Pengecapan (lidah) : Ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia)
Gangguan neurologi:
1. Afasia: Kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif atau kesulitan
berkata-kata, reseotif atau berkata-kata komprehensif, maupun kombinasi dari keduanya.
2. Ekstremitas: Kelemahan atau paraliysis genggaman tangan tidak seimbang, berkurangnya
reflex tendon.
3. GCS: Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam
kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1– 6 tergantung
responnya yaitu :
a. Eye (respon membuka mata)
(4) :Spontan
(3) : Dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : Dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) : Tidak ada respon
b. Verbal (respon verbal)
(5) : Orientasi baik
(4) : Bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat
dan waktu.
(3) : Kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam
satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : Suara tanpa arti (mengerang)
(1) : Tidak ada respon
c. Motor (respon motorik)
(6) : Mengikuti perintah
(5) : Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) : Withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat
diberi rangsang nyeri)
(3) : Flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi
saat diberi rangsang nyeri).
(2) Extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) Tidak ada respon
- Perkemihan B4 (bladder)
1. Kebersihan : bersih
2. Bentuk alat kelamin : normal
3. Uretra : normal
4. Produksi urin: normal
- Pencernaan B5 (bowel)
1. Nafsu makan : menurun
2. Porsi makan : setengah
3. Mulut : bersih
4. Mukosa : lembap
- Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
1. Kemampuan pergerakan sendi : bebas
2. Kondisi tubuh: kelelahan

2.2.2. Diagnosa Keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial, pembedahan tumor, edema serebri, hipoksia seebral.
3. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan pergerakan dan kelemahan.
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek afasia pada ekspresi atau
interpretasi, kerusakan sirkulasi verbal.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah dan tidak nafsu
makan.
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b.d
ketidakmampuan mengenai informasi.
2.2.3. Intervensi
Dx 1: Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang
Kriteria Hasil:
o Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi ditunjukkan
penurunan skala nyeri. Skala = 2
o Klien tidak merasa kesakitan.
o Klien tidak gelisah
Intervensi:
1) Teliti keluhan nyeri: intensitas, karakteristik, lokasi, lamanya, faktor yang memperburuk
dan meredakan.Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien.
Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal yang
amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan
dari terapi yang diberikan.
2) Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal seperti ekspresi wajah, gelisah,
menangis/meringis, perubahan tanda vital.Merupakan indikator/derajat nyeri yang tidak
langsung yang dialami.
3) Instruksikan pasien/keluarga untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri
timbul.Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan dapat mengurangi beratnya
serangan.
4) Berikan kompres dingin pada kepala.Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan
vasodilatasi.
5) Mengajarkan tehnik relaksasi dan metode distraksi Mengurangi rasa nyeri yang dialami
klien.
6) Kolaborasi pemberian analgesic. Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri
berkurang

Dx 2: Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial,


pembedahan tumor, edema serebri, hipoksia seebral.
Tujuan: Perfusi jaringan membaik ditandai dengan tanda-tanda vital stabil
Kriteria hasil:
o Tekanan perfusi serebral >60mmHg, tekanan intrakranial <15mmHg, tekanan
arteri rata-rata 80-100mmHg
o Menunjukkan tingkat kesadaran normal
o Orientasi pasien baik
o RR 16-20x/menit
o Nyeri kepala berkurang atau tidak terjadi
Intervensi:
1) Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar. Mengkaji
adanya perubahan pada tingkat kesadran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat
dalam menentukan okasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

2) Pantau tanda vital tiap 4 jam.Normalnya autoregulasi mempertahankan aliran darah ke otak
yang stabil. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal
dan menyeluruh.
3) Pertahankan posisi netral atau posisi tengah, tinggikan kepala 200-300.Kepala yang miring
pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran darah vena yang
selanjutnya akan meningkatkan TIK.
4) Pantau ketat pemasukan dan pengeluaran cairan, turgor kulit dan keadaan membran
mukosa.Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi
jaringan.
5) Bantu pasien untuk menghindari/membatasi batuk, muntah, pengeluaran feses yang
dipaksakan/mengejan.Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intra toraks dan intra
abdomen yang dapat meningkatkan TIK.
6) Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku yang tidak
sesuai lainnya. Petunjuk non verbal ini mengindikasikan adanya penekanan TIK atau
menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan keluhannya secara
verbal.
7) Kolaborasi:
- Kolaborasi dalam pemberian oksigen
Memenuhi kebutuhan oksigen
- Berikan sedative atau analgetik dengan kolaboratif.
Mengurangi peningkatan TIK

Dx 3: Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan pergerakan dan kelemahan


Tujuan : Gangguan mobilitas fisik teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil :
Pasien mendemonstrasikan tehnik / prilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktifitas.

Intervensi:
1) Kaji derajat mobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan ( 0-4 )
Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai resiko kecelakaan.
2) Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena
tekanan.Perubahan posisi yang teratur meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh.
3) Bantu untuk melakukan rentang gerak
Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi.
4) Tingkatkan aktifitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan
Proeses penyembuhan yang lambat sering kali menyertai trauma kepala, keterlibatan pasien
dalam perencanaan dan keberhasilan.
5) Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab.: Meningkatkan sirkulasi
dan elastisitas kulit

Dx 4: Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek afasia pada ekspresi atau
interpretasi, kerusakan sirkulasi verbal
Tujuan: Klien dapat membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat di ekspresikan
Kriteria Hasil :
- Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi
- Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat diekspresikan
- Menggunakan sumber-sumber dengan tepat
Intervensi :
1) Kaji tipe/derajat disfungsi seperti pasien tidak tampak memahami kata atau mangalami
kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri
Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan
pasien dalam bebrapa atau seluruh tahap proses komunikasi.
2) Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik
Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapn yang keluar dan tidak
menyadari bahwa komunikasi yang diucapkan tidak nyata.
3) Minta pasien untuk mengikuti perintah sederhana
Menilai adanya kerusakan motorik.
4) Katakan secara langsung pada pasien, bicara perlahan dan tenang
Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan respon pada informasi
yang lebih banyak pada satu waktu tertentu.

Dx 5: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah dan tidak nafsu makan.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi setelah dilakukan keperawatan
Kriteria Hasil:
- Nutrisi klien terpenuhi
- Mual berkurang sampai dengan hilang.
Intervensi:
1) Hidangkan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan hangat.
2) Kaji kebiasaan makan klien.
3) Ajarkan teknik relaksasi yaitu tarik napas dalam.
4) Timbang berat badan bila memungkinkan.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin

Dx 6: Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan


mengenal informasi.
Tujuan: dapat menyatakan pemahamannya menggenai penyakit, tindakan pengobatan dan
prognosisnya.
Kriteria hasil: Klien/keluarga mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan pengobatan,
memulai perubahan perilaku yang tepat.
Intervensi:
1) Diskusikan etiologi individual dari sakit kepala bila diketahui.
R/ Mempengaruhi pemilihan terhadap penanganan dan berkembnag ke arah proses
penyembuhan.
2) Bantu pasien dalam mengidentifikasikan kemungkinan faktor predisposisi.
R/ Menghindari/membatasi faktor-faktor yang sering kali dapat mencegah berulangnya
serangan.
3) Diskusikan mengenai pentingnya posisi/letak tubuh yang normal.
R/ Menurunkan regangan pada otot daerah leher dan lengan dan dapat menghilangkan
ketegangan dari tubuh dengan sangat berarti.
4) Diskusikan tentang obat dan efek sampingnya.
Pasien mungkin menjadi sangat ketergantungan terhadap obat dan tidak mengenali bentuk
terapi yang lain.
ASUHAN KEPERAWATAN HIDROCEPHALUS

Definisi
Hidrosefalus (kepala-air, istilah yang berasal dari bahasa Yunani: "hydro" yang berarti air
dan "cephalus" yang berarti kepala; sehingga kondisi ini sering dikenal dengan "kepala air")
adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan dalam otak cairan serebro spinal atau
CSS). Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak yang selanjutnya akan
menembus jaringan otak di sekitarnya, khususnya pusat-pusat saraf yang vital.
Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis yang terjadi pada suhu yang bertambahnya
cairan serebrospinalis, yang disebabkan oleh produksi yang berlebihan atau gangguan absorpsi,
dengan atau pernah ada tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-
ruangan tempat aliran cairan serebrospinalis.

A.PENGKAJIAN

a) Biodata : Terjadi pada bayi dan anak


b) Riwayat Kesehatan
Prenatal: Adanya infeksi intra Uterin/ Kongenital
Post Natal : Perdarahan, Neoplasma.
c) Pemeriksaan Fsik
Masa bayi :
kepala membesar , Fontanel Anterior menonjol, Vena pada kulit kepala dilatasi
dan terlihat jelas pada saat bayi menangis, terdapat bunyi Cracked- Pot ( tanda
macewe),Mata melihat kebawah (tanda setting – sun ) , mudah terstimulasi, lemah,
kemampuan makan kurang, perubahan kesadaran, opistotonus dan spatik pada
ekstremitas bawah.pada bayi dengan malformasi Arnold- Chiari, bayi mengalami
kesulitan menelan, bunyi nafas stridor, kesulitan bernafas, Apnea, Aspirasi dan tidak
reflek muntah.
Masa Kanak-Kanak
Sakit kepala, muntah, papil edema, strabismus, ataxsia mudah terstimulasi , Letargy Apatis,
Bingung, Bicara inkoheren.

d) Pemeriksaan Diagnostik
o Lingkar Kepala pada masa bayi
o Translumiasi kepala bayi, tampak pengumpulan cairan serebrospinalis yang abnormal
o Perkusi pada tengkorak bayi menghasilkan "suara khas"
o Opthalmoscopi menunjukan papil edema
o CT Scan
o Foto Kepala menunjukan pelebaran pada fontanel dan sutura serta erosi tulang
intra cranial
o Ventriculografi ( jarang dipakai ) : Hal- hal yang Abnormal dapat terlihat di dalam
system ventrikular atau sub – arakhnoid.
e) Perkembangan Mental/ Psikososial
o Tingkat perkembangan
o Mekanisme koping
o Pengalaman di rawat di Rumah Sakit
f) Pengetahuan Klien dan Keluarga
o Hidrosephalus dan rencana pengobatan
o Tingtkat pengetahuan

B. Diagnosa keperawatan
a) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan meningkatnya volume cairan
serebrospinal, meningkatnya tekanan intra karnial.
b) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penekanan lobus oksipitalis
c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pemasangan drain
d) Kurangnya pengetahuan orang tua sehubungan dengan penyakit yang di derita oleh
anaknya
B .Perencanaan

a) Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan meningkatnya volume


cairan serebrospinal, meningkatnya tekanan intra karnial.
Tujuan : perfusi jaringan serebral adequat.
Intervensi :
1. Observasi TTV
2. Kaji data dasar neurologi
3. Hindari pemasangan infuse pada vena kepala jika terjadi pembedahan.
4. Tentukan posisi anak :
- tempatkan pada posisi terlentang
- tinggikan kepala
5. Hindari penggunaan obat – obat penenang

b) Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penekanan lobus oksipitalis


Tujuan : Tidak terjadi disorientasi pada anak
Intervensi :
1. Mempertahankan visus agar tidak terjadi penurunan visus yang lebih parah
2. Membantu ADL pasien
3. Membantu orientasi tempat
4. Berikan tempat yang nyaman dan aman ( pencahayaan terang, bed plang dll
dipasang agar tidak cedera )
5. Membantu pasien untuk mengenali sesuatu dengan kondisi penglihatan yang
terganggu

c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pemasangan drain


Tujuan : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi ( 3 x 24 jam )
Intervensi:
1. Pantau tanda-tanda infeksi( letargi, nafsu makan menurun,
ketidakstabilan,perubahan warna kulit )
2. Lakukan rawat luka
3. Pantau asupan nutrisi
4. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik

d). Kurangnya pengetahuan orang tua sehubungan dengan penyakit yang di derita
oleh anaknya
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai penyakit yang diderita
anaknya
Intervensi :
1. Beri kesempatan orang tua untuk mengekspresikan kesedihannya
2. Beri kesempatan orang tua untuk bertanya mengenai kondisi anaknya
3. Jelaskan tentang kondisi penderita, prosedur, terapi dan prognosanya.
4. Ulangi penjelasan tersebut bila perlu dengan contoh bila keluarga belum mengerti
ASUHAN KEPERAWATAN GBS

Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah sindroma yang memiliki karakteristik berupa paralisis
asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya mengikuti infeksi virus. Adanya
riwayat flu saluran pernapasan atas atau gastrik, infeksi mononukleus, atau hepatitis merupakan
hal yang umum. Pemulihan biasanya sempurna, namun dapat di alami klien sampai 18 bulan,
jika derajat yang dipengaruhi cukup luas. Pemulihan motorik dimulai lebih kurang 10-14 hari
setelah serangan dari gejala-gejala tersebut (Widagdo,W dkk, 2008).

PROSES KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya kelemahan, baik kelemahan fisik secara
umum ataupun lokalis seperti kelemahan otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan
gangguan pernapasan.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan
infeksi pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang dapat mengarah kepada
aspirasi.Selain itu, kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah, kelainan dari fungsi
kardiovaskuler yang dapat menyebabkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang dapat
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit lain yang pernah dialami klien yang memungkinkan hubungan atau menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Selain itu obat-obatan yang dikonsumsi klien juga dikaji seperti pemakaian obat
kortikosteroid, antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik).
4. Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh persepsi yang jelas tentang status emosi, kognitif,
dan perilaku klien.Mekanisme koping klien juga penting dikaji untuk menilai respon emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga
ataupun masyarakat, dan apakah klien dapat mendiskusikan masalah kesehatan saat ini. Apakah
klien merasa cemas dan timbul ketakutan akan kecacatan, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan timbul pandangan terhadap dirinya yang salah.Selain
itu, perlu juga dikaji dampak perawatan terhadap status ekonomi klien, karena biaya perawatan
dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.

5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus pemeriksaan pada B3 (Brain) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.
- B1 (Breathing)
Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, takipnue
(karena infeksi pernapasan), bradipnue (karena melemahnya otot-otot pernapasan). Terdapat
bunyi napas tambahan seperti ronkhi akibat akumulasi secret dari infeksi saluran napas.
- B2 (Blood)
Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat penurunan perfusi perifer.Tekanan darah
didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien) yang
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
- B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya yaitu komposmentis.Tetapi dapat pula terjadi
penurunan kesadaran, dan penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien
dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu bagaimana penampilan klien dan tingkah lakunya,
gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta aktivitas motorik klien dimana pada tahap lanjut
dapat disertai penurunan tingkat kesadaran. Biasanya status mental klien mengalami perubahan.

c. Pemeriksaan saraf kranial


· Saraf I : Biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman normal.
· Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
· Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata,
paralisis ocular
· Saraf V : terdapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah
· Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral
· Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
· Saraf IX dan X : terdapat paralisis pada otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah
dan menelan, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral
· Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius, kemampuan
mobilisasi leher baik
· Saraf XII : lidah asimetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra
pengecapan normal.
d. Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, pada klien GBS tahap lanjut dapat terjadi perubahan control
keseimbangan dan koordinasi. Klien mengalami kelemahan motorick secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat
refleks pada respon normal.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, TIK, dan dystonia

g. Sistem sensorik
Gejala yang ditemukan yaitu parestesia dan kelemahan otot kaki, dapat berkembang ke
ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.Klien mengalami penurunan kemampuan
penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu.
- B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran
urine
- B5 (Bowel)
Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah akibat peningkatan asam lambung. Anoreksia
dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan terjadinya
penurunan pemenuhan nutrisi
- B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan
dan ancaman gagal pernapasan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan
batuk menurun
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan
konduksi listrik jantung
4. Gangguan menelan berberhubungan dengan paralisis serebri
5. Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan
mengunyah dan menelan makanan
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neoromuskular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
7. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang sensorik,
transmisi, dan/atau integrasi sensori serta ketikmampuan berkomunikasi atau berespons.
8. Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit,
perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, dan ketidakberdayaa
9. Cemas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.
C. Rencana/intervensi keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan (Muttaqin, 2008)
Kriteria hasil: tidak ada sesak napas, tidak menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada
normal
Intervensi
1) Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot aksesori
R/ Menjadi bahan parameter monitoring serangan gagal napas dan menjadi data dasar
intervensi selanjutnya
2) Evaluasi keluhan sesak napas baik secara verbal maupun nonverbal
R/ Tanda dan gejala meliputi adanya kesukaran bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
irregular, menggunakan otot-otot aksesoris, takikardi dan perubahan pola napas
3) Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
R/ Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan dengan interval yang teratur dalam
penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang tidak
efektif dapat diantisipasi. Penurunan kapasitas vital dapat dihubungkan dengan kelemahan
otot-otot yang digunakan saat menelan, sehingga hal ini menyebabkan kesukaran saat batuk
dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan
4) Beri ventilasi mekanik
R/ Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
perkembangan kea rah kemunduran, yang mengindikasikan kea rah memburuknya kekuatan
otot-otot pernapasan
5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian humidifikasi oksigen 3 l/mnt
R/ Membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan kondisi laju
metabolisme sedang meningkat

2. Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk


menurun (Muttaqin, 2008)
Kriteria hasil: tidak ada sesak napas, tidak menggunakan otot bantu napas, tidak ada retraksi,
tidak ada bunyi napas tambahan, dan dapat mendemonstrasikan batuk efektif
Intervensi
1) Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot aksesori, warna dan kekentalan sputum
R/ Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernapasan dengan
interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya
kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan diafragma
yang berkembang dengan cepat
2) Atur posisi semifowler
R/ Peninggian kepala tempat tidur dapat mempermudah pernapasan, meningkatkan ekspansi
dada, dan meningkatkan batuk efektif
3) Ajarkan cara batu efektif
R/ Batuk efektif untuk membersihkan jalan napas sehingga menghindari risiko aspirasi saliva
yang mencetuskan gagal napas akut

4) Lakukan fisioterapi dada: vibrasi dada


R/ Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif
5) Penuhi hidrasi cairan melalui oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan
2500 cc/hari
R/ Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus yang kental
6) Lakukan pengisapan lendir di jalan napas
R/ Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi
bersih

3. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekwensi, irama, dan
konduksi listrik jantung (Muttaqin, 2008)
Kriteria hasil: stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dalam batas normal, curah jantung
kembali meningkat, tidak menunjukkan tanda-tanda disritmia)
Intervensi
1) Periksa tekanan darah, bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk,
atau berdiri bila memungkinkan. Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi ventrikel,
hipertensi juga fenomena umum karena nyeri, cemas, pengeluaran katekolamin
2) Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi
R/ Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi
3) Catat murmur
R/ Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung (kelainan katup, kerusakan septum,
atau vibrasi otot papilar)
4) Pantau frekwensi jantung dan irama
R/ Perubahan frekwensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi disritmia
5) Kolaborasi dalam pemberian O2, tambahan sesuai indikasi
R/ Oksigen yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi oksigen darah.

4. Gangguan menelan berhubungan dengan paralisis serebri (Carpenito, 2010)


Kriteria hasil: klien dapat makan tanpa tersedak, tidak ada kerusakan otot tenggorokan atau
fasial dan tidak ada refleks muntah
Intervensi (Wilkinson, 2007)
1) Pantau kemampuan menelan, refleks batuk, dan refleks muntah
2) Ajarkan klien untuk menggapai makanan di bibir atau di pipi dengan menggunakan lidah
3) Posisikan kepala tegak lurus 900
4) Beri makanan dengan porsi sedikit dan potong makanan kecil-kecil
5) Berikan perawatan mulut
6) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang makanan yang dapat mudah ditelan
7) Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (ahli terapi okupasi, ahli patologi wicara, dan
ahli gizi) untuk memberikan kontinuitas perencanaan rehabilitasi klien

5. Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan


mengunyah dan menelan makanan (Muttaqin, 2008)
Kriteria hasil: tidak terjadi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dan komplikasi
akibat penurunan asupan nutrisi
Intrvensi
1) Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral
R/ Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot
karena kurang nutrisi
2) Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisiensi aktivitas parasimpatis
R/ Ileus paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian
ini, makanan melalui intravena dipertimbangkan, dan perawat memantau bising usus sampai
terdengar
3) Berikan nutrisi melalui NGT
R/ Jika klien tidak mampu menelan, makanan diberikan melalui selang lambung untuk tetap
memenuhi kebutuhan tubuh akan nutrisi
4) Berikan nutrisi melalui oral bila paralisis menelan berkurang
R/ Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-
hati.

6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neoromuskular, penurunan kekuatan


otot, dan penurunan kesadaran (Muttaqin, 2008)
Kriteria hasil: peningkatan kemampuan mobilitas fisik dan tidak terjadi komplikasi akibat
paralisis yaitu thrombosis vena profunda, emboli paru, dan dekubitus.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas fisik
R/ Merupakan data dasar dalam melakukan intervensi selanjutnya
2) Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
R/ Bila pemulihan mulai untuk dilakukan, klien dapat mengalami hipotensi ortostatik (dari
disfungsi otonom) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menolong
mereka mengambil posisi duduk tegak
3) Hindari faktor yang memungkinkan terjadinya trauma pada saat klien melakukan mobilisasi
R/ Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati, paling sering
saraf ulnar dan peritoneal. Bantalan dapat ditempatkan di siku dan kepala fibula utuk
mencegah terjadinya masalah ini
4) Sokong ekstremitas yang mengalami paralisis
R/ Ekstremitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan latihan rentang
gerak secara pasif paling sedikit dua kali sehari
5) Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
R/ Deteksi awal thrombosis vena profunda dan decubitus sehingga dengan penemuan yang
cepat penanganan lebih mudah dilaksanakan
6) Kolaborasi dengan tim fisioterapis
R/ Untuk mencegah deformitas kontraktrur dengan menggunakan pengubahan posisi yang
hati-hati dan latihan rentang gerak

1. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi, transmisi, dan/atau integrasi
sensori (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2012)
Kriteria hasil: klien dapat mempertahankan mental/orientasi umum dan mengungkapkan
kesadaran tentang defisit sensori
Intervensi
1) Pantau status neurologis secara periodik (seperti kemampuan berbicara, kemampuan
berespon pada perintah yang sederhana dan terhadap stimulus nyeri; kesadaran akan keadaan
panas/dingin, tumpul/tajam). Laporkan semua penemuan dalam tatanan yang teratur dan
sistematik
R/ Perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat
bervariasi.Perkembangan tersebut seringkali cukup cepat dan mungkin memuncak dalam
beberapa hari/minggu. Proses penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah proses
perkembangan penyakit berakhir dan kebanyakan secara perlahan. Catatan yang teratur
sangat membantu dalam perawatan untuk menemukan adanya komplikasi yang memerlukan
intervensi/evaluasi secepatnya.
2) Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara, seperti
“metode kedipan” (cara nonverbal), dengan papan bergambar atau dengan huruf-huruf.
R/ Jika gejala tersebut berkembang dengan lambat, klien dapat membantu untuk menciptakan
metode komunikasi alternatif.
3) Berikan lingkungan yang aman (penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma
termal)
R/ Kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari pemberi
asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah trauma.
4) Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan
berikan aktivitas lain yang sesuai dengan batas kemampuan klien
R/ Menurunkan stimulus berlebihan yang dapat meningkatkan kecemasan dan
meminimalkan kemampuan koping
5) Orientasikan klien pada lingkungan dan staf sesuai kebutuhan
R/ Sangat bermanfaat jika terjadi gangguan penglihatan
6) Berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara music yang lembut; jam (waktu);
televise (berita/pertunjukan); bercakap-cakap santai
R/ Pasien biasanya sadar jika ia merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama fase
penyembuhan
7) Rujuk ke berbagai sumber penolong untuk membantu, seperti terapi fisik/terapi
okupasi/terapi wicara, ahli agama, pelayanan social, departemen rehabilitasi
R/ Semua pelayanan mengkordinasikan usaha untuk meningkatkan proses
penyembuhan/meminimalkan gejala sisa penurunan neurologis.

8. Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit, perubahan
psikososial, perubahan persepsi kognitif, dan ketidakberdayaan (Muttaqin, 2008)
Kriteria hasil : Mampu menyatakan dan mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang
situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi,
mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa
harga diri yang negative.
Intervensi
1) Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan
R/ Menentukan bantuan untuk individu dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan
intervensi.
2) Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien
R/ Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan
sedikit penyesuaian diri, sementara klien yang lain mempunyai kesulitan mengenal dan
mengatur kekurangan.
3) Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan termasuk permusuhan dan kemarahan
R/ Menunjukkan penerimaan, membantu klien untuk mengenali dan mulai menyesuaikan
dengan perasaan tersebut
4) Catat ketika klien menyatakan pernyataan pengakuan terhadap penolakan tubuh, seperti
sekarat atau mengingkari dan menyatakan ingin mati
R/ Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau perasaan negative terhadap gambaran
tubuh dan kemampuan yang menunjukkan kebutuhan dan intervensi serta dukungan
emosional
5) Ingatkan kembali fakta kejadian tentang realitas bahwa masih dapat menggunakan sisi yang
sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat
R/ Membantu klkien untuk melihat bahwa perawat menerima kedua bagian sebagai bagian
dari seluruh tubuh.Membiarkan klien untuk merasakan adanya harapan dan mulai menerima
situasi baru.
6) Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan
R/ Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengendalikan lebih dari satu area
kehidupan.
7) Anjurkan orang yang terdekat untuk mengijinkan klien melakukan sebanyak-banyaknya
hal-hal untuk dirinya
R/ Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri
serta mempengaruhi proses rehabilitasi
8) Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas
rehabilitasi
R/ Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa
mendatang
9) Kolaborasi dengan ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi
R/ Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan

9. Cemas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk (Muttaqin, 2008)
Kriteria hasil: klien dapat mengenal perasaannya, mengidentifikasi faktor atau penyebab yang
mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi
1) Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan takut
R/ Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya
2) Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping klien, dan lakukan tindakan bila
menunjukkan perilaku merusak
R/ Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah, dan gelisah
3) Hindari konfrontasi
R/ Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin
memperlambat penyembuhan
4) Lakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat
R/ Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
5) Tingkatkan kontrol sensasi klien
R/ Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankan penghargaan terhadap sumber-sumber koping
(pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi, dan tekhnik-tekhnik pengalihan
dan memberikan respon balik yang positif.
6) Berikan kesempatan untuk mengungkapkan kecemasan
R/ Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
7) Berikan privasi pada klien dan orang terdekat
R/ Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan membentuk
perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas
dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J. (2010). Buku saku diagnosis keperawatan edisi 13. Jakarta: EGC.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012). Rencana asuhan keperawatan
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan. Jakarta:
Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, S. C. (2001). Buku ajar keperawatan medikal-bedah vol 3. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J. M. (2007). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria
hasil NOC. Jakarta: EGC.
Widagdo, W., Suharyanto, T., & Aryanti, S. (2008). Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem persarafan. Jakarta: TIM.

Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati.
Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica
Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.

Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome.
Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.

Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa
Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.

Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung :
yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan; 1996.

Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ngoerah, I Gusti Ngoerah. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Saharso. 2008. Hydrocephalus. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2012
Mc.Closky & Bulechek (2002) . Nursing Intervention Classification (NIC), United States of
America : Mosby

Anda mungkin juga menyukai