Anda di halaman 1dari 42

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Luka

Luka adalah rusaknya atau hilangnya kontuinitas jaringan

yang dapat diakibatkan oleh faktor internal seperti obat-obatan,

perubahan sirkulasi, perubahan proses metabolisme, infeksi, kegagalan

transport oksigen dan juga oleh faktor eksternal seperti suhu yang

ekstrim, injury, alergen, radiasi, zat-zat kimia (Gitaraja, 2008; Potter &

Perry, 2009) Pembagian luka yang dihubungkan dengan waktu

penyembuhan terbagi menjadi 2, yaitu:

2.1.1 Luka akut yaitu luka yang proses penyembuhannya sesuai dengan

waktu pada konsep penyembuhan luka.

2.1.2 Luka kronik yaitu luka yang proses penyembuhannya gagal dan

tidak sesuai dengan waktu pada konsep penyembuhan luka (Falabella

& Kirsner, 2005; Gitaraja, 2008; Potter & Perry, 2009)

2.2 Proses Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka adalah sebuah proses yang

kompleks dan dinamis yang menghasilkan perbaikan kontuinitas anatomi

dan fisiologi (Black & Hawks,2009). Untuk mengembalikan fungsi tubuh

yang maksimal setelah terjadinya luka, maka tubuh sesaat setelah

terjadinya luka akan memulai proses metabolisme untuk membangun

kembali jaringan yang rusak.

Universitas Sumatera Utara


Proses penyembuhan luka ini terdiri dari 3 fase, yaitu:

2.2.1 Fase inflamasi/eksudasi

Fase inflamasi adalah fase pertama yang terjadi pada proses

penyembuhan luka dimana vaskular dan seluler berespon terhadap

terjadinya luka dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan dan

membersihkan area luka dari benda asing, mikroba, dan sel-sel mati. Fase

inflamasi ini menyebabkan luka bersiap untuk melanjutkan proses

penyembuhan berikutnya.

Pada awalnya rusaknya pembuluh darah akan menyebabkan

keluarnya platelet untuk menutup pembuluh darah yang terbuka, juga

menyebabkan vasokonstriksi sehingga perdarahan akan terhenti,

periode ini berlangsung cepat sekitar 5-10 menit. Selanjutnya akan terjadi

vasodilatasi akibat respon syaraf sensori dan juga akan mengeluarkan

histamin, serotonin dan sitokin. Histamin sendiri selain

mengakibatkan vasodilatasi juga akan meningkatkan permeabilitas vena

sehingga cairan plasma akan berpindah ke daerah luka.

Peningkatan permeabilitas ini juga akan mengakibatkan terjadinya

perpindahan sel leukosit ke area luka. Netrofil yang merupakan agen sel

leukosit akan melakukan fagositosis benda asing dan bakteri selama 3

hari dan selanjutnya akan digantikan oleh makrofag.

Adapun fungsi makrofag selain dari fagositosis adalah sintesa

kolagen, bersama-sama dengan fibroblast membentuk jaringan granulasi,

memproduksi growth factor dan berperan dalam reepitelisasi

dan
melakukan angiogenesis atau pembentukan kapiler-kapiler baru.

Secara klinis, tanda dan gejala terjadinya fase inflamasi ini adalah

eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung 3

sampai 5 hari.

2.2.2 Fase proliferatif

Pada fase ini terjadi proses untuk memperbaiki dan

menyembuhkan luka yang ditandai dengan adanya pembelahan sel.

Fibroblast memiliki peran yang sangat penting dalam proses

penyembuhan yaitu bertanggung jawab dalam persiapan untuk

menghasilkan struktur protein baru yang akan terlibat dalam proses

rekonstruksi jaringan.

Fibroblast yang selama ini berada di jaringan penunjang menjadi

aktif ketika terjadi luka kemudian fibroblast ini akan mengeluarkan

beberapa substansi seperti kolagen, elastin, hyaluronic acid,

fibronectin dan proteoglycan dan akan berperan dalam membentuk

jaringan yang baru.

Kolagen merupakan cikal bakal munculnya jaringan baru.

Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang berada di jaringan

baru disebut dengan jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi

fibroblast dengan aktifitas enzim-enzimnya disebut fibroplasia

Angiogenesis adalah proses pembentukan pembuluh darah kapiler

baru di dalam luka. Kegagalan pembentukan pembuluh darah kapiler ini

mengakibatkan tertundanya proses penyembuhan karena kurangnya

asupan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka.


Pada fase ini angiogenesis dan fibroplasia bekerja terintegrasi

dan
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag

(growth factor).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi. Pada proses ini

fibroblast akan mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor (KGF) dan

berperan dalam merangsang mitosis sel epidermis. Proses ini dimulai dari

pinggir luka dan akhirnya akan membentuk barier yang menutupi seluruh

permukaan luka. Bersama-sama dengan kolagen pembentukan lapisan

dermis semakin berkualitas dengan mengatur keseimbangan jaringan

granulasi dan dermis.

Fibroblast akan merubah bentuknya menjadi myofibroblas dan

memiliki kemampuan untuk melakukan kontraksi pada jaringan.

Selanjutnya fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan

kolagen telah terbentuk. Fase ini akan berlangsung hingga 3 minggu.

2.2.3 Fase maturasi

Fase ini dimulai dari minggu ke 3 sejak luka dan akan berakhir

sampai kurang lebih 1 tahun. Fase ini bertujuan agar dihasilkan jaringan

baru yang kuat dan menyerupai jaringan yang dulu telah rusak.

Fibroblast sudah mulai meningga lkan jaringan granulasi,

warna kemerahan yang ada pada jaringan akan mulai berkurang karena

pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah

banyak untuk memperkuat jaringan parut. Pembentukan kolagen yang

telah terbetuk sejak fase proliferasi akan berlanjut di fase ini. Selain

pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh

enzim kolagenase.
Pembentukan dan pemecahan ini harus seimbang agar penyembuhan

optimal terjadi. Bila pembentukan lebih banyak maka terjadi

pembentukan penebalan jaringan parut, namun bila pemecahan yang lebih

banyak maka kekuatan jaringan parut melemah dan luka akan selalu

terbuka. Luka dikatakan sembuh bila kontuinitas lapisan kulit dan

kekuatan jaringan parut yang kuat dan tidak mengganggu aktifitas yang

normal (Gitaraja,

2008; Falabella & Kirsner, 2005; Black & Hawks,2009).

2.3 Luka Kaki Diabetik

Luka kaki diabetik merupakan salah satu dari banyaknya

komplikasi kronik dari DM. Pengelolaannya sering tidak berhasil dan

mengakibatkan hari perawatan semakin memanjang. Sering kali luka kaki

diabetes ini berakhir pada kecacatan dan bahkan kematian. Maka, tidak

heran luka kaki diabetes ini merupakan komplikasi yang paling ditakuti

oleh penderita DM

2.3.1 Etiologi luka kaki


diabetik

Penyebab utama dari terjadinya luka pada kaki diabetik

adalah kondisi hiperglikemia yang menyebabkan perubahan di level

molekul dan seluler. Perubahan di level molekul dan seluler tersebut

mengakibatkan penundaan proses penyembuhan dan penurunan kekuatan

luka. Kondisi hiperglikemia tersebut juga mengakibatkan hipoksia

jaringan dan dislipidemia yang merupakan faktor-faktor yang

berkontribusi terhadap terjadinya neuropati (Benbow, 2012). Wounds

UK (2013) menyebutkan
bahwa etiologi terjadinya luka kaki diabetik adalah neuropati, iskemia

dan neuroiskemia.

Neuropati merupakan faktor predisposisi terjadinya luka kaki

diabetik yang memberikan efek pada sensori, motorik dan syaraf otonom.

Kehilangan sensori akan mengakibatkan kehilangan perlindungan tubuh

terhadap trauma fisik, kimia dan termal. Motor neuropati dapat menjadi

penyebab deformitas pada kaki yang hasilnya adalah tekanan abnormal

pada kaki. Syaraf otonom secara tipikal berhubungan dengan kulit kering

yang mengakibatkan fisura, cracking dan kalus.

Iskemia berhubungan dengan sirkulasi yang buruk pada area

perifer. Periperal arterial disease adalah salah satu contoh dari iskemia ini.

Kondisi ini mengakibatkan hampir 50 % terjadinya luka kaki diabetik.

Penyebab terakhir adalah neuroiskemia dimana kondisi ini adalah

kombinasi dari neuropati dan iskemia.

2.3.2 Patofisiologi luka kaki diabetik

Kondisi hiperglikemia adalah awal dari terjadinya luka kaki

diabetik. Hiperglikemia akan menstimulasi terjadinya peningkatan enzim

aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase. Peningkatan kedua enzim

ini akan meningkatkan terjadinya konversi glukosa menjadi sorbitol dan

fruktosa. Semakin banyak glukosa maka akan semakin banyak sorbitol

dan fruktosa.

Peningkatan kadar gula ini akan memicu terjadinya penurunan

sintesa myoinositol sel syaraf serta berdampak pada penurunan

konduksi
pada sistem syaraf. Penurunan konduksi ini akan sangat terasa pada

area perifer.

Selain itu, peningkatan kadar gula tadi juga akan menipiskan

cadangan nikotinamid adenin dinukleotid fosfat yang beradampak pada

terjadinya vasokonstriksi permiten dan meningkatnya terjadinya oxodatif

stress. Selajutnya oxidatif stress ini juga akan mengakibatkan abnormal

glycation protein sel syaraf dan penurunan aktivasi proteinkinase C.

Sehingga mengakibatkan disfungsi sel syaraf dan iskemia. Proses di atas

akan mengakibatkan munculnya dua kondisi, yaitu neuropati dan iskemia,

dimana kedua kondisi ini adalah etiologi dari luka kaki diabetik (Clayton

dan Elasy, 2009).

2.3.3 Stadium luka kaki diabetes

Stadium Wagner (1987) untuk luka kaki diabetes sebagai berikut:

1. Superficial ulcer

Stadium 0: Tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik

tetapi dengan bentuk tulang yang menonjol

Stadium 1: Hilangnya lapisan kulit hingga dermis dan

kadang- kadang tampak tulang menonjol

2. Deep ulcer

Stadium 2: Lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau tendon

(dengan goa)

Stadium 3: Penetrasi hingga dalam, osteomyelitis, abses

plantar atau infeksi hingga tendon


3. Ganggren

Stadium 4: Ganggren sebagian, menyebar hingga sebagian jari

kaki, kulit sekitarnya selulitis, ganggren lembab/kering

Stadium 5: Seluruh kaki dalam kondisi nekrotik dan


ganggren.

2.3.4 Pengelolaan kaki diabetik dan luka kaki diabetik.

Luka pada kaki merupakan permasalahan yang sering terjadi bagi

penderita DM. Hal ini terjadi akibat dari neuropati dan penyakit pembuluh

darah perifer yang menghambat aliran darah ke perifer seperti pada kaki.

Orang yang mengalami neuropati tidak mampu mendeteksi

kerusakan pada kaki karena penurunan sensasi dan respon terhadap nyeri.

Sehingga sangat beresiko terhadap terjadinya luka pada kaki.

DM juga mengganggu aliran darah di perifer. Buruknya sirkulasi

di kaki mengakibatkan terhambatnya proses penyembuhan pada luka dan

meningkatkan resiko terjadinya infeksi.

Menurut Chadwick (2012) ada lima hal yang menjadi prinsip

dalam pengelolaan kaki diabetik.

1. Pengelolaan yang holistik

Pengelolaan diabetes merupakan tantangan tersendiri.

Pengelolaan secara holistik mencakup perubahan gaya hidup

seperti merokok, modifikasi diet dan level aktifitas fisik,

pengobatan dan secara teratur mengontrol gula darah. Bila hal

tersebut tercapai maka penyembuhan yang optimal akan tercapai

pula.
2. Menurunkan tekanan

Menurunkan tekanan pada luka merupakan komponen kunci

dalam perawatan luka. Peningkatan tekanan disekitar batas luka

akan mengakibatkan pembentukan callus. Bila callus ini tidak

ditangani akan memperlambat penyembuhan luka dan perawatan

yang dilakukan tidak efektif. Edmonds, Foster dan Vowden

(2004) menambahkan selain dari menurunkan tekanan, distribusi

tekanan yang merata juga dapat dilakukan sebagai

penanganan pada kaki diabetik.

3. Kontrol infeksi

Luka pada kaki diduga mengalami infeksi polimikrobial dan

infeksi tersebut mengakibatkan kerusakan jaringan. Infeksi

merupakan alasan utama pelaksanaan amputasi pada pasien

dengan luka kaki diabetik. The National Institute for Clinical

Excellence (2004) dalam Chadwick (2012) merekomendasikan

pasien dengan luka tidak sembuh dengan tanda-tanda infeksi aktif

diberikan terapi antibiotic sistemik. Antibiotik dengan spektrum

luas digunakan pertama kali untuk luka yang berkaitan dengan

selulitis atau pus.

4. Revaskularisasi.

Iskemia (penurunan aliran darah ke kaki) secara signifikan

mengambat penyembuhan luka. Iskemia adalah sebuah faktor

resiko terhadap luka kaki diabetik dan juga sering

terjadi
bersamaan dengan penurunan atau kehilangan sensasi. Oleh

karena itu pengamatan terhadap iskemia perlu diperhatikan salah

satunya melalui pengkajian. Pengkajian pembuluh darah seperti

mengecek denyut nadi dorsalis pedis, jika tidak ditemukan denyut

nadi maka pemeriksaan dengan ABPI (ankle brachial presssure

index) perlu dilakukan

5. Debridement

Debridement adalah pengangkatan jaringan nekrotik atau jaringan

mati dari luka dan sekitarnya agar jaringan sehat tidak

tertutup.Selanjutnya proses penyembuhan luka akan lebih

maksimal.

Menurut Gitaraja (2008) manajemen perawatan luka meliputi

pencucian luka, debridemen, pemilihan bahan topical terapi.

1. Pencucian luka

Pencucian luka dilakukan untuk membuang jaringan

nekrosis, meminimalisir cairan luka yang berlebihan, sisa balutan

serta sisa metabolik tubuh pada cairan luka. Pencucian luka ini

menjadi sangat penting karena merupakan komponen mendasar

dalam manajemen luka. Proses penyembuhan luka akan lebih

baik bila lukanya dalam keadaan bersih.

Cairan normal salin/ Na Cl 0,9 % atau air steril disarankan

digunakan sebagai cairan pencuci luka pada semua jenis luka.

Hal ini dikarenakan cairan ini merupakan cairan isotonik, tidak

toksik
terhadap jaringan, tidak menghambat fase penyembuhan luka

serta tidak menyebabkan reaksi alergi atau mengubah flora

normal di kulit. Teknik dalam pencucian luka yang dapat

dilakukan diantaranya adalah dengan swabbing, scrubbing,

showering (irigasi), hydrotherapy, whirlpool dan bathing.

2. Debridement

Debridement adalah sebuah tindakan pengangkatan

jaringan nekrotik yang ada pada luka. Jaringan nekrotik adalah

jaringan mati akibat degradasi enzim secara progresif sehingga

terjadi perubahan morfologi pada jaringan tersebut, hal ini

merupakan respon yang normal dari tubuh terhadap jaringan yang

rusak.

Jaringan nekrotik dibedakan menjadi 2


bentuk:

a. Eschar yang berwarna hitam, keras serta dehidrasi

impermeabel dan lengket pada permukaan luka

b. Slough basah, kuning berupa cairan dan tidak lengket

pada luka

Jaringan nekrotik ini harus disingkirkan dari luka karena

dapat mengakibatkan proses penyembuhan luka terhambat dan

dapat juga memberikan tempat yang bagus untuk

pertumbuhan bakteri. Maka tindakan untuk mengangkat jaringan

sangat diperlukan seperti debridement.


3. Penggunaan bahan topikal

Tindakan terakhir dalam manajemen perawatan luka adalah

menggunakan bahan topikal terapi. Memilih balutan yang tepat

dapat mempromosikan penyembuhan luka lebih baik,

sehingga kemampuan untuk memilih balutan sangat penting demi

penyembuhan luka tepat waktu, efektif dan efisien.

Tujuan pemilihan balutan antara lain untuk membuang

jaringan nekrotik dan benda asing, balutan dapat mengontrol

kejadian infeksi dan juga melindungi luka dari trauma dan invansi

bakteri. Tujuan berikutnya adalah untuk mempertahankan

kelembaban luka sehingga dapat mempromosikan proses

penyembuhan luka. Balutan juga dapat mengabsorbsi cairan luka

yang berlebihan dan menyokong autolytic debridement.

2.4 Wound Bed Preparation

2.4.1 Pengertian wound bed preparation.

Menurut Falanga (2000) wound bed preparation muncul sebagai

element yang penting untuk memperoleh keuntungan maksimal dari

produk perawatan luka lanjut saat ini. Secara sederhana diartikan

bahwa kita tidak bisa mengobati luka yang persiapan dasar lukanya buruk

dengan berbagai macam terapi apapun kecuali dengan terlebih dahulu

mempersiapkan dasar luka.

Menurut Halim, Khoo dan Mat Saad (2012) wound bed

preparation adalah konsep pendekatan yang holistik dan sistematis

untuk
mengevaluasi atau menyingkirkan hambatan luka sehingga luka

mengikuti proses penyembuhan yang semestinya. Hal ini akan memandu

kita untuk mengembangkan strategi pengobatan yang sesuai baik kepada

pasien itu sendiri dan juga penyebab terjadinya luka.

Wound bed preparation ini bermaksud untuk menyediakan

lingkungan yang sesuai untuk proses penyembuhan luka. Jadi semua

komponen yang mengganggu proses penyembuhan harus disingkirkan

terlebih dahulu (Collier, 2003)

2.4.2 Komponen wound bed


preparation

Felcher (2005); Halim, Khoo dan Mat Saad (2012) mengatakan

untuk membantu klinisi dalam memahami pendekatan wound bed

preparation ini, sebuah kerangka kerja yang disingkat dengan TIME

dikembangkan. Jadi, dalam wound bed preparation ini terdiri dari 4

komponen yaitu

T: Tissue (jaringan)

I: Infection atau inflamasi

M: Moisture imbalance (ketidakseimbangan

kelembaban) E: Edge (pinggir luka)

TIME ini terdiri dari berbagai strategi yang dapat dilakukan pada

berbagai macam tipe luka yang berbeda-beda untuk mengoptimalkan

penyembuhan luka.
1. Manajemen jaringan nekrotik

T yang ada dalam TIME berhubungan dengan

tampilan fisik dari dasar luka. Tampilan dasar luka bisa

berwarna hitam atau jaringan nekrotik, warna kuning atau slough

dan juga warna merah atau jaringannya sudah bergranulasi dan

epitelisasi. (Fletcher, 2005)

Jaringan nekrotik yang menempel pada luka akan

mengganggu klinisi untuk mengkaji kedalaman luka dan kondisi

luka. Sehingga pengkajian luka seringkali tidak tepat akibat

jaringan nekrotik menghalanginya. Observasi dari luar terlihat

luka sudah menghitam saja, padahal dibagian dalam atau dibawah

jaringan nekrotik sudah bermunculan underminning yang juga

berkontribusi dalam menghambat proses penyembuhan luka.

Hal lain yang terjadi akibat jaringan nekrotik ini

adalah jaringan nekrotik menjadi tempat yang sangat baik untuk

pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Koloni bakteri di

jaringan nekrotik dapat memproduksi metaloproteinase yang

memberikan efek negatif terhadap komponen matriks

ekstraselular selama proses penyembuhan (Halim, Khoo dan Mat

Saad, 2012).

Manajemen jaringan adalah tindakan yang dilakukan

pada T dari akronim TIME ini. Manajemen jaringan adalah

proses menyingkirkan jaringan mati atau jaringan nekrotik,

bakteri dan
sel yang menghambat proses penyembuhan sehingga dapat

menurunkan kontaminasi luka dan kerusakan jaringan. Tujuan

dari manajemen jaringan ini adalah untuk mengembalikan dasar

luka yang viabel dengan fungsi matriks ekstraseluler

yang optimal. Manajemen jaringan yang dimaksud dalam

pembahasan ini sering kita kenal dengan istilah debridement.

2. Pemulihan keseimbangan bakteri

I dari akronim TIME dimaksudkan kepada infeksi atau

inflamasi. Bagi paraktisi, kemampuan untuk membedakan

inflamasi akut yang normal dan keadaan infeksi lainnya karena

pengelolaannya cukup berbeda. Inflamasi merupakan respon

normal tubuh ketika terjadi cedera pada jaringan tubuh.

Respon ini bertujuan untuk melindungi atau memperbaiki

kerusakan. Hal ini ditandai dengan panas, kemerahan, nyeri

dan bengkak yang juga merupakan tanda-tanda klasik dari

terjadinya infeksi. Untuk dapat membedakan keduanya

dibutuhkan pemahaman terhadap proses penyembuhan luka dan

memastikan tanda serta gejala yang normalnya muncul pada

masing-masing tahap penyembuhan luka.

Dasar luka kronik sering menjadi tempat kolonisasi oleh

berbagai bakteri dan organisme jamur akibat luka terbuka dalam

waktu lama, aliran darah yang buruk dan juga karena proses

penyakit. Terdapatnya bakteri pada dasar luka berada dalam


rentang dari kontaminasi, kolonisasi, kolonisasi kritis

hingga infeksi invasif.

Mengenali kolonisasi kritik merupakan hal yang

penting karena pada level ini proses penyembuhan luka mulai

tertunda, kejadian ini terjadi sebelum infeksi invasif terjadi.

Kolonisasi kritik maksudnya adalah terdapatnya mikroorganisme

yang memulai terjadinya kerusakan jaringan lokal. Pada saat ini

daya tahan tubuh pasien tidak mampu mempertahankan

keseimbangan mikroorganisme. Tanda dan gejala yang muncul

pada tahap ini seperti perubahan warna dasar luka, jaringan

granulasi yang rapuh dan tidak sehat, bau yang tidak enak,

peningkatan eksudat dan nyeri disekitar luka.

Untuk memastikan terjadinya kolonisasi kritik,

pemeriksaan diagnostik perlu untuk dilakukan. Pemeriksaan

diagnostiknya dapat dilakukan dengan biopsi jaringan atau juga

dengan swab pada luka. Selain dari perhitungan bakteri secara

kuantitatif, munculnya empat atau lebih mikroorganisme pada

dasar luka dapat memprediksi tertundanya penyembuhan luka.

Tindakan yang dapat dilakuka n dalam mengelola infeksi

ini adalah dengan menggunakan balutan antimikroba.


3. Meningkatkan keseimbangan kelembaban.

M dari akronim TIME bermaksud untuk meningkatkan

keseimbangan kelembaban yang bertujuan untuk mendorong

penyembuhan denga prinsip penyembuhan lukan dengan

kelembaban. Luka yang kering dan dehidrasi dapat

mengakibatkan nyeri dan gatal pada pasien. Luka kering

juga dapat menghambat penyembuhan luka karena sel epitel

tidak bisa berpindah melalui jaringan yang kering.

Kebanyakan luka memiliki derajat yang basah dikarenakan

keberadaan eksudat. Hal ini merupakan fenomena yang normal

pada semua jenis luka dan dengan berbagai etiologi.

Produksi eksudat ini merupakan bagian dari proses inflamasi

yang terjadi pada luka. Pada luka operasi produksi eksudat adalah

hal normal pada 48 hingga 72 jam, namun secara umum bila

eksudat yang dihasilkan banyak dan dalam tempo waktu yang

panjang justru mengakibatkan keterlambatan penyembuhan luka.

Secara umum menurut Fletcher (2005) dan Halim, Khoo

serta Mat Saad (2012) eksudat dapat bermanfaat pada

penyembuhan luka akut. Eksudat ini mengandung enzim

proteolitik seperti kolagen dan elastin yang dapat memecahkan

debris. Namun bila berlebihan maka luka akan semakin lama

sembuhnya.
Oleh karena itu keseimbangan kelembaban sangat

diperlukan. Menurut Hofman (2007) untuk menciptakan

keseimbangan kelembaban, maka penggunaan balutan yang tepat

perlu diperhatikan. Balutan tersebut harus bersifat

memberikan kelembaban bila luka kering dan menyerap

kelembaban bila luka basah.

4. Perkembangan tepi luka

Perkembangan tepi luka dalam pengertian migrasi sel

epidermis atau keratinosit dan kontraksi luka adalah satu dari

indikator utama penyembuhan luka. Jika terjadi tahanan

perkembangan, klinisi seharusnya kembali mempertimbangkan

komponen yang dibahas sebelumnya (TIME), termasuk disfungsi

seluler dan ketidakseimbangan biokimia adalah alasan yang

paling mungkin penyebab kegagalan penyembuhan.

Secara sederhana keratinosit tidak mampu berproliferasi

dan mengangkat seluruh jaringan nekrotik, biofilm,

hipergranulasi, slough, munculnya kalus. Lingkungan yang

merugikan ini harus disingkirkan melalui debridement.

Pengendalian infeksi serta peradangan yang berlebihan harus

dicapai untuk mengurangi tingkat prostease ke level normal

sehingga dengan kondisi tersebut replikasi sel epitel dapat terjadi.

Level kelembaban yang optimal pada luka disebutkan dapat

mendukung epitelisasi sebagai bukti telah terjadi

perkembangan
tepi luka. Secara mikroskopis, penuaan sel mungkin ada di tepi

luka kronik yang dibutuhkan untuk mencapai penyembuhan.

Dengan konsep lanjut tentang wound bed preparation dan dengan

basis sains, klinisi dapat menyatakan masalah dan segera

mengambil tindakan yang dibutuhkan (Halim, Khoo dan Mat

Saad, 2012).

Untuk lebih sederhana, Fletcher (2005) menyimpulkan

penjelasan wound bed preparation sesuai dengan prinsip TIME

sebagaimana tabel 2.1 dibawah ini

Tabel 2.1 Wound bed preparation sesuai dengan prinsip TIME


Observasi Patofisiologi Tindakan Efek tindakan Hasil
klinik wound bed wound bed
preparation
preparation
Tissue Matriks yang cacat dan Debridement Restorasi dasar Dasar luka
(jaringan) kerusakan sel luka yang baik
mengganggu
penyembuhan
Infection Jumlah bakteri yang Topical atau Bakteri sedikit Keseimbang
atau tinggi atau inflamasi sistemik atau inflamasi an bakteri
inflamasi yang memanjang. antimikroba terkontrol
Peningkatan cytokines
inflammatory,
penurunan growth
factor
Moisture Luka kering Mengaplikasikan Migrasi sel epitel Keseimbang
imbalance memperlambat migrasi balutan yang pulih an
sel epitel. Kelebihan menjaga kelembaban
cairan menyebabkan keseimbangan
maserasi di batas luka kelembaban
Edge of Keratinosit tidak Mengkaji Migrasi keratinosit Kemajuan
wound berpindah, sel luka kembali dan sel luka tepi luka
tidak responsif dan penyebab atau responsif
ketidaknormalan matrix mengkoreksi
ekstraseluler atau kembali terapi
ketidaknormalan
aktifitas protease.
2.4.3 Pengertian debridement

Debridement dipandang sebagai komponen yang esensial pada

wound bed preparation yang bertujuan untuk menciptakan

lingkungan yang baik untuk penyembuhan luka dengan memproduksi

vaskularisasi yang baik dan meminimalkan eksudat (Fletcher, 2005;

Kelly, 2010; Benbow, 2011; Mcintosh, 2009; Falanga et.al, 2008). Selain

itu menurut Anderson (2006); Chadwick (2012) debridement

merupakan tindakan untuk menyingkirkan jaringan terinfeksi atau benda

lain dari luka.

2.4.4 Metode debridement

Jaringan nekrotik itu kering, teksturnya kasar dan warnanya hitam.

Jika dan ketika jaringan nekrotik melunak maka akan mengubah

warnanya menjadi coklat atau kuning atau abu-abu dan menjadi bersabut

serta basah. Hal ini terjadi tergantung pada level kelembaban

(Anderson,2006).

Debridement pada luka dapat memfasilitasi dan melepaskan abses

dan jaringan nekrotik. Ada beberapa metode debridement yang

dikenal hingga saat ini, yaitu

1. Surgical debridement

Surgical debridement adalah melakuka n tindakan

eksisi jaringan nekrotik dan juga jaringan disekitarnya. Tindakan

ini sering dilakuka n dibawah anastesi. Tindakan debridement

ini sangat cepat untuk mendebridement luka tetapi tidak semua

orang cocok dengan tindakan ini, misalnya kepada orang yang


secara klinis tidak fit untuk memperoleh anastesi (Anderson,

2006).
2. Sharp debridement.

Menurut Chadwick (2012) sharp debridement dan surgical

debridement dimasukkan dalam jenis yang sama. Namun menurut

Anderson (2006) kedua debridemen ini dibedakan, karena surgical

ini hanya bisa dilakukan oleh dokter karena

membutuhkan tindakan anastesi, sedangkan sharp debridement

bisa dilakukan oleh perawat yang sudah memiliki kualifikasi

melakukannya. Secara garis besar surgical dan sharp debridement

hampir sama dalam prosedurnya.

Pada sharp debridement ini memiliki kontraindikasi yaitu

iskemia digit, pasien dengan gangguan pembekuan darah dan luka

akibat keganasan. Selain itu nyeri merupakan masalah yang

sering muncul dari tindakan ini karena tindakan dilakukan tanpa

menggunakan anastesi (Anderson, 2006).

3. Chemical debridement.

Chemical debridement adalah tindakan debridement yang

dilakukan dengan menggunakan zat kimia seperti calcium atau

sodium hypochlorite solution untuk mengankat jaringan nekrotik.

Penggunaan chemical debridement sangat susah. Penggunaan

debridement model ini tidak bisa digunakan secara luas karena

dapat menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan kerusakan

jaringan yang sehat (Chadwick, 2012).


4. Enzymatic debridement.

Kolagenase dapat digunakan dalam tindakan ini. Secara

alamiah hadirnya enzim dapat menonaktifkan kolagen. Enzim ini

diperoleh dari fermentasi Clostridium bistolytieum dan

diaplikasikan ke jaringan yang ada di luka. Penggantian balutan

mudah untuk dilakukan dan minimal nyeri (Chadwick, 2012).

Menurut Benbow (2011) biaya untuk debridemen enzim ini cukup

mahal.

5. Mekanikal debridement.

Metode debridement mekanikal yang paling sederhana

adalah balutan basah ke kering, yang sudah umum

digunakan. Proses pelaksanaannya adalah dengan menggunakan

balutan kasa yang basah menutupi seluruh luka kemudian

dibiarkan hingga kering. Jaringan nekrotik tersebut akan dengan

sendirinya lepas dengan lengket ke kasa, maka jaringan nekrotik

secara mekanik terlepas dari luka. Metode ini kemungkinan akan

menyebabkan trauma pada jaringan yang sehat dan prosesnya

juga dapat menimbulkan nyeri terutama bila lukannya

bukan karena neuropati (Chadwick, 2012; Benbow, 2011;

Anderson, 2006).

6. Biological debridement / larva therapy.

Larva Lucillia sericata adalah larva yang umum digunakan

sebagai biological debridement. Larva ini secara alami akan

memakan jaringan nekrotik yang ada pada luka tanpa

memakan
jaringan yang sehat. Selain itu sekresi dari larva ini memiliki efek

proteolitik dan pergerakan fisik dari larva menstimulasi

terbentuknya granulasi pada luka.

Larva ini diindikasikan untuk debridement luka yang ada

slough atau jaringan nekrotik baik itu luka akut atau kronik.

Kontraindikasi yang sering terjadi pada metode ini adalah

penolakan dari pasien walaupun fenomena pasien semakin

terbuka kepada metode ini (Chadwick, 2012; Benbow, 2011;

Anderson,

2006).

2.4.5 Autolytic debridement.

1. Defenisi

Autolytic debridement adalah kemampuan tubuh itu sendiri

untuk melisiskan atau memecah jaringan nekrotik dengan

menggunakan enzim dan makrofag serta aktifitas dari sel darah

putih (Collins, et.al, 2002; Benbow, 2011). Brown (2013)

menambahkan autolytic debridement ini terjadi dimana tubuh

memanfaatkan kelembaban untuk melepaskan jaringan mati.

Autolisis ini dapat diperoleh melalui balutan yang

dapat meretensi kelembaban. Permukaan luka yang lembab ini

mendukung rehidrasi jaringan mati dan cairan luka yang terdiri

dari sel darah putih serta enzim ini akan memecahkan jaringan

nekrotik (Sussman & Bates-Jensen, 1998).


2. Proses terjadinya autolytic debridement

Proses terjadinya autolytic debridement hanya bisa terjadi

dalam keadaan lembab, lingkungan vaskular dan tergantung pada

fungsi sistem imun yang optimal (Benbow, 2011). Lingkungan

yang kelembabannya seimbang merupakan kunci dari

keberhasilan autolytic debridement. Semakin seimbang

kelembaban maka autolytic debridement akan semakin baik.

Makrofag memproduksi kolagenase dan protease yang

bertanggung jawab terhadap debridement melalui pemisahan dan

pemecahan protein yang menjaga jaringan mati pada luka. Ketika

protein terpecahkan maka jaringan mati akan terpisah dan

terjadilah debridement. Proses ini juga distimulasi oleh neutropil

yang akan meningkat ketika terjadi proses debridement

(Anderson, 2006; Falabella & Kirsner, 2005).

Aktifitas sel seperti ini tergantung pada suasana

hangat, lingkungan yang lembab, maka oleh karena itu

penggunaan balutan yang dapat mencapai hal itu merupakan

kunci terjadinya autolytic debridement. Jadi bila luka kering maka

balutan akan memberikan kelembaban dan bila luka banyak

dengan eksudat makan balutan akan menyerapnya. Stimulasi

aktifitas enzim potensial mempengaruhi semua jenis jaringan

(Anderson, 2006; Falabella & Kirsner, 2005; Brown, 2013).


Secara umum proses autolytic debridement ini akan terlihat

dalam 72-96 jam jaringan eskar hitam akan berubah menjadi

coklat atau abu-abu dan akhirnya menjadi jaringan slough kuning

berserabut (Brown, 2013). Menurut Sussman & Bates-Jensen

(2012) kerangka waktu dalam terjadinya autolytic

debridement pada jaringan eskar dan slough adalah 14 hari.

3. Keuntungan dan kekurangan

Secara umum keuntungan dari autolytic debridement

adalah nyeri minimal atau tanpa nyeri, sedangkan kerugiannya

adalah membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai hasil

yang diinginkan. Waktu yang lama tersebut juga memungkinkan

akan terjadinya peningkatan infeksi pada luka (Benbow, 2011;

Price & Young, 2012; ).

Vowden dan Vowden (2011) menyebutkan keuntungan lain

dari autolytic debridement ini adalah dapat digunakan

menjadi “maintenance” debridement. Selain itu dapat juga

menjadi metode debridement pilihan ketika metode lain tidak

dapat digunakan dalam luka tertentu. Kerugiannya juga

berhubungan dengan proses yang membutuhkan waktu yang

lama sehingga mengakibatkan maserasi di sekitar luka.

4. Outcome measure autolytic debridement

Outcome measure adalah alat yang digunakan untuk

mengevaluasi keefektifan dari manajemen jaringan

nekrotik
seperti autolytic debridement. Tiga karakteristik yang digunakan

untuk mengevaluasi debridement ini diambil dari Pressure Sore

Status Tools, yaitu jumlah jaringan nekrotik di luka, jenis

jaringan nekrotik dan penempelan jaringan nekrotik (Sussman &

Bates- Jensen, 2012; Sussman & Bates-Jensen, 1998)

Jumlah jaringan nekrotik

Jumlah jaringan nekrotik seharusnya akan berkurang secara

progresif jika dilakukan penanganan yang tepat. Jumlah jaringan

nekrotik ini dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu dengan

pengukuran linear (mengukur panjang dan lebar jaringan

nekrotik), pengkajian secara visual persentase dasar luka yang

ditutupi oleh jaringan nekrotik, pengukuran linear (mengukur

panjang dan lebar dari jaringan nekrotik), digital planimetry

(mengukur area luka menggunakan analisis fotografi dan

fotografi.

Penilaian persentase dasar luka yang tertutup oleh jaringan

nekrotik dapat dilakukan dengan cara membagi dasar luka

menjadi 4 kuadran. Pembagian ini seperti pemotongan kue pie

menjadi 4 bagian, dimana masing-masing bagian sama

dengan

25% luka. (Sussman & Bates-Jensen, 2012).

Penilaiannya dengan ukuran berikut ini:

1 = tidak terlihat

2 = < 25 % menutup dasar luka


3 = 25 % - 50 % menutup dasar luka

4 = 50 % - 75 % menutup dasar luka

5 = > 75 % menutup dasar luka

Jenis jaringan nekrotik

Jaringan nekrotik akan berubah seiring dengan peningkatan

dan penyembuhan luka. Jaringan nekrotik akan berubah dari

kering, eskar kering ke basah seperti slough dan akhirnya menjadi

musinosa dan mudah lepas dari dasar luka

Penilaiannya dengan ukuran berikut:

1 = tidak ada

2 = putih/abu-abu

3 = slough kuning

4 = eskar lunak

5 = eskar keras

Penempelan jaringan nekrotik

Penempelan jaringan nekrosis harus menurun sebagai hasil

dari proses debridement. Awalnya jaringan nekrotik melekat

erat ke dasar luka dan semua tepi luka. Akibat dari debridement

ini, nekrosis mulai terangkat dan mengendur dari tepi luka dan

akhirnya akan terlepas dari dasar luka. Cara terbaik untuk

mengevaluasi penempelan jaringan nekrotik ini adalah rating

scale yang sama dengan rating scale untuk menentukan

jenis
jaringan nekrotik (Sussman & Bates-Jensen, 1998; Sussman &

Bates-Jensen, 2012).

Pada tabel berikut ini, Falanga et.al (2008) menyimpulkan

berbagai metode debridement beserta kelebihan atau kekurangan

yang dimiliki masing-masing metode tersebut

Tabel. 2.2 Pemilihan tipe dan metode debridement


Tipe Contoh Kecepatan Pemeliharaan Kenyamanan
Debridement pengangkatan jaringan yang Pasien
jaringa n sehat
Agen absorben Dextranomer □ □□□□ □□□
beads,
beberapa
balutan
absorben
Antiseptik Cadexomer □ □□□ □□
iodine, Slow-
release agent
Autolytic Balutan □ □□□□ □□□□
oklusif
Biological Larva terapi □□□ □□□ □
Chemical Zinc chloride □□ □ □
Enzymatic Ko lagenase □□□ □□□□ □□□□
Mekanikal Kasa basah- □□□ □□ □
kering
Surgical/sharp Scalpel, □□□□□ □ □
curette
Keterangan: □ = minimal atau tidak; □□□□□ = Maksimal

2.5 Madu.

2.5.1 Pengertian madu.

Menurut Badan Standar Nasional (2004) madu adalah cairan alami

yang dihasilkan oleh lebah madu dari nektar sari bunga tanaman atau juga

bagian lain selain bunga tanaman yang secara umum berasa manis. Madu

sudah digunakan oleh masyarakat jauh sebelum penyebab

infeksi
diketahui. Catatan menunjukka n bahwa imperium yang zaman

dahulu berkuasa sudah menggunakan madu sebagai antiseptik pada luka.

Hal ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat dari zaman dahulu

sudah sangat positif menganggap bahwa madu cocok untuk terapi

pengobatan salah satunya untuk luka (Sharp, 2009).

Madu aslinya adalah nektar yang berubah menjadi larutan

gula yang seperti agar-agar. Oleh lebah dikurangi kandungan airnya dan

mengubahnya dari sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa digunakan

sebagai enzim saliva lebah (Cray, 2010). Madu terdiri dari 20 % air dan

sisanya adalah kandungan gula (Belcher, 2012). Kandungan gula tersebut

sebagian besar terdiri dari fruktosa dan glukosa, sedangkan sebagian kecil

lainnya terdiri dari disakarida, trisakarida dan oligosakarida (Sharp, 2009).

Madu di Indonesia telah diatur melalui Standar Nasional Indonesia

yaitu SNI 01-3545-2004. Standar Nasional Indonesia (SNI) madu ini

merupakan Revisi SNI 01-3545-1994, Madu. Standar ini disusun oleh

Panitia Teknis 93S, Makanan dan Minuman. Adapun maksud dan tujuan

penyusunan standar adalah sebagai acuan sehingga madu yang beredar di

pasaran dapat terjamin mutu dan keamanannya (Badan Standar

Nasional,

2004).

2.5.2 Kegunaan madu terhadap luka.

Menurut Eddy, Gideonsen dan Mack (2008) madu mengandung

20 % air dan bersifat hiperosmolar sehingga akan menarik cairan

dari pembengkakan luka dan juga dari bakteri. Akibatnya aktifitas bakteri

akan
terhambat. Madu juga mengandung enzim glukosa oksidase dan katalase.

Bila kedua enzim tersebut bersentuhan dengan eksudat luka akan

menghasilkan hydrogen peroksida yang merupakan agen antimikroba

pada luka (Sharp, 2009; Hampton, 2007; Eddy, Gideonsen dan Mack,

2008; Song dan Salcido, 2010; Lee, Sinno dan Khachemoune, 2011).

Selain penjelasan tersebut, antimikroba yang dimiliki madu merupakan

multifaktorial sehingga sangat tidak memungkinkan bakteri akan resisten

terhadap madu (Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

Madu sebagai agen penyembuh luka merupakan fungsi dari

penggunaan madu lainnya terhadap luka. Fungsi ini merupakan efek dari

kandungan gula yang tinggi pada madu. 80 % kandungan madu

adalah gula. Konsentrasi gula yang tinggi tersebut akan memberi sifat

osmosis pada madu dan akan memberikan lingkungan dengan kelembaban

yang seimbang pada luka. Lingkungan luka dengan keseimbangan

kelembaban tersebut akan menstimulasi terjadinya autolytic debridement.

Lingkungan luka dengan keseimbangan kelembaban ini juga akan

menstimulasi terjadi granulasi dan epitelisasi pada luka (Sharp, 2009).

Madu memberikan efek yang baik pada kondisi kulit pasca

sembuh merupakan fungsi lain dari penggunaan madu pada luka.

Hal ini khususnya terjadi pada luka bakar, dimana scar dan

kontraktur sering terjadi. Efek lain adalah persepsi pasien dan klinisi

positif terhadap penggunaan madu ini. Mudah dalam memperoleh, mudah

dalam menggunakannya serta tidak menimbulkan nyeri merupakan

beberapa
alasan yang menyebabkan pasien dan perawat berpersepsi positif

terhadap penggunaan madu ini (Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

Kegunaan madu diatas terhadap luka menimbulkan efek

positif lainnya. Efek lanjutannya adalah meningkatnya kualitas hidup

pasien, mental pasien yang positif. Khusus pada kasus malignansi

terdapat dampak lain yaitu meningkatnya “time survival” pada pasien

dengan ukuran luka yang berkurang akibat penggunaan madu dibanding

dengan pasien yang ukuran lukanya tidak berkurang.

2.5.3 Sifat zat yang terkandung dalam madu.

Kandungan dan sifat madu dapat berbeda tergantung dari sumber

madu (Gheldof, Wang dan Engeseth, 2002; Gheldof dan Engeseth, 2002).

Pada saat ini salah satu madu yang cukup dikenal luas dalam perawatan

luka adalah Manuka Honey. Madu lebih efektif digunakan sebagai terapi

topikal karena kandungan nutrisi dan sifat madu.

1. Osmolaritas tinggi

Madu merupakan larutan yang mengalami supersaturasi

dengan kandungan gula yang tinggi danmempunyai interaksi kuat

dengan molekul air sehingga akan dapat menghambat

pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi aroma pada luka.

Salah satunya adalah pada luka infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Staphylococcus aureus. Luka dapat menjadi steril terhadap

kuman apabila menggunakan madu sebagai dressing untuk terapi

topikal. Apabila terjadi kontak dengan cairan luka khususnya

luka kronis,
cairan luka akan terlarut akibat kandungan gula yang tinggi pada

madu, sehingga luka menjadi lembap dan hal ini dianggap baik

untuk proses penyembuhan.

2. Hidrogen peroksida

Bila madu dilarutkan dengan cairan (eksudat) pada luka,

hidrogen peroksida akan diproduksi. Hal ini terjadi akibat adanya

reaksi enzim glukosa oksidase yang terkandung di dalam

madu yangmemiliki sifat antibakteri. Proses ini tidak

menyebabkan kerusakan pada jaringan luka dan juga akan

mengurangi bau yang tidak enak pada luka khususnya luka kronis.

Hidrogen peroksida dihasilkan dalam kadar rendah dan tidak

panas sehingga tidak membahayakan kondisi luka (Molan,1992).

Selain itu hidrogen peroksida yang dihasilkan tergantung dari jenis

dan sumber madu yang digunakan.

3. Aktivitas limfosit dan


fagosit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas sel darah

lymphosit B and lymphosit T dapat distimulasi oleh madu dengan

konsentrasi 0.1%. Adanya aktivitas limfositdan fagosit ini

menunjukkan respons kekebalan tubuh terhadap infeksi khususnya

pada luka.

4. Sifat asam madu

Madu yang bersifat asam dapat memberikan lingkungan

asam pada luka sehingga akan dapat mencegah bakteri melakukan


penetrasi dan kolonisasi. Selain itu kandungan air yang terdapat

dalam madu akan memberikan kelembapan pada luka. Hal ini

sesuai dengan prinsip perawatan luka modern yaitu "Moisture

Balance". Hasil penelitian Gethin, Seamus dan Ronan (2008)

melaporkan madu dapat menurunkan pH dan mengurangi ukuran

luka kronis (ulkus vena/arteri dan luka dekubitus) dalam waktu dua

minggu secara signifikan. Hal ini akan memudahkan

terjadinya proses granulasidan epitelisasi pada luka.

2.5.3 Bukti keefektifan madu.

Menurut Belcher (2012) madu memiliki lima cara kerja inti, yaitu:

1. Anti mikroba: kandungan gula yang tinggi dan kandungan air

rendah, membuat bakteri yang ada dalam luka kekurangan air untuk

mempertahankan kehidupannya. Selain itu pH madu yang

asam yaitu 3,5 sampai 4,5 juga menghambat pertumbuhan bakteri

(Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

2. Anti inflamasi: Kemampuan madu pada osmotik mengakibatkan

madu mampu menarik getah bening dari sel dan menurunkan edema

(Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

3. Mendukung debridement slough atau jaringan nekrotik: Madu

mempertahankan lingkungan yang lembab dan memicu

terjadinya autolytic debridement. Kecepatan waktu debridement

madu kemungkinan berhubungan dengan aktifitas enzim,

madu ini
disarankan bahwa madu akan mengaktifkan plasmin yang akan

memecahkan ikatan jaringan nekrotik pada dasar luka.

4. Mendukung lingkungan luka yang lembab: Karena aktifitas

osmotik madu dengan menarik cairan dari jaringan sekitarnya maka

akan terjadi kelembaban pada permukaan luka.

5. Menurunkan bau tak sedap: Substansi dari bau tak sedap ini

terdiri dari amonia, senyawa amino dan sulfur yang diproduksi

ketika bakteri di dasar luka memetabolisme asam amino. Asam

amino ini hasil dari penguraian serum dan jaringan protein pada

jaringan nekrotik pada luka.

2.5.4 Aplikasi madu terhadap luka

1. Resiko dan keuntungan.

Selain seperti yang telah disebutkan diatas, kegunaan

utama dari madu adalah biaya yang murah dan potensial untuk

mempercepat penyembuhan luka. Resiko yang umum terjadi

akibat pemakaian madu adalah rasa terbakar dan menyegat.

Hal ini berhubungan dengan pH madu yang rendah. Resiko ini

tidak relevan terhadap luka akibat neuropati seperti pada luka

kaki diabetik karena kehilangan sensasi.

Resiko potensial lain yang serius terkait penggunaan madu

pada luka adalah terjadinya infeksi pada luka karena madu

mengandung spora yang juga ikut menempel bakteri seperti

Clostridium atau Bacilus. Namum resiko terjadinya hal ini cukup


jarang. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan bakteri bersaing

dengan flora norma, lingku ngan yang asam,

mengandung kelembaban yang tinggi dan kandungan gula kurang

dari 56 %. Lagi pula, lebih dari 2000 laporan kasus penggunaan

madu secara topikal dalam literatur medis belum pernah

melaporkan infeksi karena spora-spora ini (Eddy, Gideonsen dan

Mack, 2008).

2. Tipe madu yang dapat digunakan cara penggunaannya.

Menurut Eddy, Gideonsen dan Mack (2008) semua jenis

madu dapat digunakan untuk perawatan luka. Madu dari berbagai

sumber yang berbeda memiliki komponen antibakteri yang

beragam pula. Misalnya seperti manuka honey atau jellybush dan

jhambul honey dari India secara khusus menunjukkan kemampuan

penekanan terhadap bakteri dalam uji coba in vitro. Terkadang

ada juga madu yang memiliki efek toksik jika dimakan, namun

untuk pemakaian luar tidak terjadi demikian.

Madu yang dijual bebas di supermarket merupakan hal

yang menarik untuk diperhatikan. Kemudahan dalam

memperoleh dan harganya yang murah membuat madu ini terlihat

lebih efektif. Memang terbukti bahwa madu tersebut juga

aman dipakai dan berdasarkan laporan kasus dan pengalaman

pakar yang profesional dalam hal madu juga mengatakan efektif

bila digunakan untuk luka.


Literatur medis melaporkan bahwa madu dapat digunakan

sebanyak 1 hingga 4 kali dalam sehari. Namun tidak bukti yang

mengatakan frekuensi penggantian balutan dengan madu ini.

Sedangkan menurut uji coba Eddy, Gideonsen dan Mack (2008),

balutan madu ini dapat diganti 2 kali sehari. Pemakaiannya

dengan mengoleskan madu yang cukup untuk menutup seluruh

permukaan luka dengan lapisan yang tebal pada sebuah kassa dan

kemudian meletakkannya di atas luka, kemudian lekatkan

lagi kassa dan membalut balutan tadi

Ada beberapa tips yang dapat dipakai saat merawat luka

dengan terapi madu (Molan, 2001):

a. Gunakan jumlah madu sesuai dengan jumlah cairan atau

eksudat yang keluar dari luka. Madu yang digunakan 20 ml

pada 10 cm x 10 cm dressing

b. Frekuensi penggantian balutan tergantung pada cepatnya

madu terlarut dengan eksudat luka. Jika tidak ada cairan luka,

balutan dapat diganti dua kali seminggu supaya komponen

antibakteri yang terkandung di dalam madu dapat terserap ke

dalam jaringan luka.

c. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, gunakan second

dressing yang bersifat absorbent. Jika madu digunakan

langsung pada luka, madu akan meleleh sehingga keluar

area
luka. Hal ini tidak akan efektif untuk merangsang

proses penyembuhan luka.

d. Gunakan balutan yang bersifat oklusif, yaitu menutup

semua permukaan luka untuk mencegah madu meleleh

keluar dari area luka.

e. Pada cairan luka yang sedang, sebaiknya gunakan transparent

film sebagai second dressing.

f. Pada abses (nanah) dan undermining (luka berkantong), perlu

lebih banyak madu untuk mencapai jaringan di dalamnya.

Dasar luka harus diisi dengan madu sebelum ditutup dengan

second dressing seperti kasa atau dressing pad lainnya.

g. Untuk memasukkan madu pada luka berkantong,

sebaiknya gunakan kasa atau dressing pad sehingga kerja

kandungan madu lebih efektif.

2.6 Comfort Theory.

Kolcaba mendefenisikan kenyamanan sebagai suatu keadaan yang

dialami seseorang melalui comfort measure. Comfort measure itu sendiri

didefenisikan sebagai intervensi keperawatan yang sengaja didesain untuk

dapat memenuhi kebutuhan kenyamanan seseorang yang spesifik.

Jadi, kenyamanan tersebut adalah suatu keadaan seseorang yang telah

diberikan intervensi keperawatan yang dapat memenuhi kebutuhan

kenyamanannya (Kolcaba, 1994). Kenyamanan juga merupakan pusat

dari konsep keperawatan itu sendiri (Kolcaba, 1991).


Kenyamanan dibagi menjadi 3 tipe, yaitu relief, ease dan

transcendence. Relief adalah keadaan dimana seseorang sudah

memperoleh kebutuhan spesifiknya. Ease adalah keadaan seseorang yang

tenang atau mencapai kepuasaan. Transcendence adalah keadaan dimana

seorang individu mencapai penyelesaian masalah melebihi masalah yang

ada (Kolcaba, 1991; Kolcaba, 1994).

Relief dalam penelitian ini adalah ketika seseorang telah

memperoleh kebutuhan spesifiknya yaitu mendapatkan perawatan luka

dengan madu. Ease dalam penelitian ini tercapai ketika seseorang telah

merasakan dampak berupa kenyamanan fisik setelah dilakukan perawatan

luka dengan madu, seperti terjadinya proses autolytic debridement yang

berdampak terhadap penurunan jumlah eksudat dan juga bau.

Transcendence dalam penelitian ini adalah ketika telah terjadinya

penyembuhan luka sebagai indikator keberhasilan perawatan luka.

Kenyamanan juga melingkupi 4 konteks, yaitu konteks fisik,

psikospritual, lingkungan dan sosial. Konteks fisik berhubungan dengan

kenyamanan yang dirasakan sebagai sensasi tubuh. Konteks psikospritual

berhubungan dengan kesadaran diri internal, seperti harga diri, konsep

diri, seksualitas dan arti dari kehidupan, hubungan dengan kekuatan yang

lebih tinggi. Konteks lingkungan berkaitan dengan kodisi ekternal.

Konteks sosial berkaitan dengan hubungan interpersonal, support system

dari keluarga dan hubungan sosial (Kolcaba, 1991; Kolcaba, 1994).


Konteks kenyamanan fisik dalam penelitian adalah ketika

telah terjadinya autolytic debridement dengan hilangnya jaringan nekrotik

sehingga menurunkan jumlah eksudat, proses infeksi ataupun bau yang

tidak enak. Kenyamanan dalam konteks psikospritual merupakan dampak

dari hilangnya bau atau eksudat berlebihan sehingga individu tersebut

meningkat harga dirinya atau citra dirinya. Kenyamanan dalam konteks

lingkungan merupakan dampak menurunya bau tidak sedap atau

menurunnya eksudat sehingga berpengaruh terhadap respon sekitarnya.

Kenyamanan dalam konteks sosial berkaitan dengan tetap berjalannya

support system baik dari keluarga, teman dekat ataupun masyarakat

sekitar. Gambar di bawah ini menggambarkan conceptual framework dari

Teori Kenyamanan yang disusun oleh Kolcaba (1991)

Gambar 2.1 Conceptual framework comfort theory

Conceptual framework teori kenyamanan dijadikan sebagai landasan teori

dalam penelitian ini. Gambar 2.2 dibawah ini menggambarkan keterkaitan

antara pelaksanaan perawatan luka dengan madu terhadap landasan teori

kenyamanan Kolcaba (1991).


IMT Kadar
glukosa Usia
Luka kaki Moisture Aktifitas makrofag
diabetik balance

Stimulasi kolagenase dan


Kondisi Perawatan protease
luka dengan Dampak
relief
madu
Pemisahan dan pemecahan
protein di jaringan nekrotik
Kondisi Kenyamanan
ease fisik

Autolytic Kondisi
debridement transcendence
Konteks kenyamanan
(Kolcaba,1991; Kolcaba,1994)
1. Fisik Healing
2. Psikospritual process
3. Lingkungan
4. Sosial

Gambar 2.2 Aplikasi comfort theory pada perawatan luka dengan madu

2.7 Kerangka Konsep


Luka kaki Outcome Outcome Autolytic
diabetik measure measure debridement
sebelum setelah
tindakan tindakan

Skala Skala
kenyamanan kenyamanan
sebelum setelah
tindakan tindakan

Terapi madu Stimulasi Pemisahan dan


makrofag pemecahan
protein di
Stimulasi jaringan
prostease nekrotik

Stimulasi
kolagenase

Keterangan:

= Diteliti, = Tidak diteliti


Gambar 2.3 Kerangka konsep.

Anda mungkin juga menyukai