Anda di halaman 1dari 11

GENDER DAN DISKRIMINASI DALAM SUDUT PANDANG ISLAM

Oleh :

RINALDI FAZRIN

1831090283

Mahasiswa Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin

Abstrak

Tulisan ini pada dasarnya adalah ingin mengkaji secara mendalam tentang isu
gender yang semakin marak dibicarakan dalam persfektif Islam, perempuan
Islam dewasa ini banyak yang ingin meninjau ulang ajaran Islam yang
mewajibkan istri patuh kepada suaminya. Apakah ajaran ini memang
mempunyai dasar yang kuat atau sekedar pemahaman ulama sesuai dengan
kondisi perempuan di zaman mereka. Apakah ajaran demikian tidak bisa
ditawar lagi atau dipahami sesuai dengan kemajuan yang telah dicapai
perempuan masa kini. Sedangkan tujuan dari tulisan ini adalah penulis ingin
mendiskripsikan isu-isu gender dalam sudut pandang Islam yang sampai hari ini
banyak diperbincangkan oleh kaum intlektual. Adapun metode dalam tulisan ini
adalah melalui studi pustaka dimana penulis mengumpulkan data dari berbagai
sumber dan kemudian di deskripsikan untuk mendapatkan hasil yang lebih
maksimal. Adapun implikasi dari tulisan ini adalah bahwa dalam Islam tidak
ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah gender, namun jika yang
dimaksud gender menyangkut perbedaan laki-laki dan perempuan secara non-
biologi. Kemudian terkadang gender dan diskriminasi memiliki hubungan satu
sama lain.

Kata kunci : Gender dan Diskriminasi

1
1
A. Pendahuluan

Isu tentang gender telah menjadi bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan
dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik
utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial.
Bahkan, beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa
maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang
protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap
kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi itu terjadi hampir di semua
bidang, mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, sosial, budaya,
ekonomi, bahkan sampai tingkatan rumah tangga.

Perempuan adalah salah satu makhluk ciptaan Allah yang paling unik. Sebab,
keberadaannnya memberikan andil yang sangat besar bagi kehidupan manusia.
Tanpa perempuan, maka tidak akan ada pemimpin-pemimpin besar dunia. Tanpa
perempuan, tidak akan ada penemuan-penemuan mutakhir untuk kesejahteraan
umat manusia. Karena itulah, Allah SWT pun secara khusus memberikan satu
surah khusus didalam Alquran dengan nama surah An-Nisaa' (wanita-wanita).
Penghargaan ini tidak diberikan kepada laki-laki. Ini menunjukkan, betapa
mulianya seorang perempuan.Sayangnya, keberadaan mereka acapkali
dipergunjingkan. Baik oleh kalangan orientalis maupun pihak-pihak yang merasa
terpojokkan oleh sepak terjangnya. Kalangan yang tidak senang ini pun lantas
menempatkan perempuan sebagai second line, hal ini secara tidak langsung telah
melakukan diskriminasi kepada kaum perempuan.

Agama Islam sendiri tidak pernah mendiskriminasi keberadaan perempuan. Justru


agama Islam yang membebaskan perempuan dari kebudayaan jahiliyah di masa
lampau. Seperti yang diketahui tentang kondisi perempuan pada masa jahiliyah.
Apabila suatu masyarakat melahirkan seorang perempuan maka itu merupakan
suatu aib sehingga perempuan terkadang harus dibunuh hidup-hidup oleh orang.
2
B. Pembahasan

1
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-Desember 2014

2
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-Desember 2014

2
Islam memiliki perhatian penuh terhadap gender dan diskriminasi, karena islam
memandang perempuan dengan sangat mulia walaupun pada hakikat pemimpin
dalam kehidupan didunia adalah laki-laki tapi tidak mengesampingkan kaum
wanita dalam hal lain, seperti melahirkan, mendidik anak yang tidak dapat
dilakulan oleh kaum laki-laki. Eksistensi kaum perempuan dalam perputaran
waktu pada masa peradabanperadaban serta agama-agama tersebut memiliki
nuansa tersendiri. Hal tersebut secara khusus dapat dilihat dari sisi kesetaraan
antara kaum laki-laki dan perempuan, baik dalam hal publik maupun domestik.

Ketika agama Islam datang, masyarakat pertama yang bersentuhan dengan


dakwahnya adalah masyarakat Arab. Kedudukan wanita dalam masyarakat ini
tergambar dari sikap umum masyarakatnya yang tidak merasa bangga ketika para
isteri melahirkan anak perempuan. Bahkan ada sebagian dari mereka langsung
mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru lahir. Dan hukum jahiliyah
tidak mengakui hak kewarisan anak perempuan, kaum perempuan sama sekali
tidak mempunyai hak dalam kehidupan rumah tangga. Laki-laki mempunyai hak
tidak terbatas untuk memiliki sejumlah istri yang diinginkan dan juga mempunyai
hak yang tidak terbatas untuk menceraikan istri-istri mereka.

Masyarakat Yunani yang terkenal dengan keagungan ilmu filsafat, tidak


menjadikan masalah hak dan kewajiban perempuan sebagai topik pembicaraan.
Bagi kalangan elit, kaum perempuan dikurung dalam istana-istana, dan dikalangan
bawah nasib perempuan sangat menyedihkan, mereka diperjualbelikan di pasar-
pasar dan dalam urusan berumah tangga sepenuhnya berada dibawah kekuasaan
para suami (kaum laki-laki). Hak-hak sipil kaum perempuan sama sekali tidak
diakui, misalnya kaum perempuan tidak dipandang sebagai ahli waris dari
keluarganya yang meninggal. Puncak peradaban Yunani menggambarkan kaum
perempuan diberi kebebasan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan selera kaum
lelaki, sehingga hubungan seksual bebas tidak dianggap sesuatu yang melanggar
kesopanan, dan tempat-tempat pelacuran menjadi pusatpusat kegiatan politik
dan sastra atau seni. Kondisi tersebut sangat mendiskreditkan kaum perempuan,
sehingga mereka tidak dapat berekspresi secara alamiah.

3
3
Selanjutnya dalam peradaban Romawi, kaum perempuan sepenuhnya berada di
bawah kekuasaan ayahnya dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga.
Ketika kaum perempuan telah berkeluarga maka kekuasan dalam rumah tangga
beralih kepada sang suami. Oleh karena itu, kekuasaan yang kaum laki-laki miliki
pada saat itu merupakan kekuasaan pemilikan bukan kekuasaan pengayoman.
Kekuasaan yang ditunjukkan oleh kaum laki-laki bersifat kekuatan mutlak yang
tidak disandingkan dengan kasih sayang sehingga eksistensi kaum perempuan
selalu dalam dunia kecaman yang berkepanjangan.

Adapun tentang hak dan kewajiban wanita dalam agama Yahudi dan Nasrani,
dikemukakan bahwa dalam ajaran Yahudi, martabat wanita itu adalah sama
dengan pembantu. Ada sekelompok manusia yang menganut ajaran bahwa
seorang ayah berhak menjual anak perempuannya selama belum baligh dan anak
perempuan tidak menjadi ahli waris dari harta peninggalan ayahnya kecuali kalau
dia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap bahwa kaum
perempuan itu sumber laknat, karena salah satu asumsi bahwa menurut mereka
kaum perempuan yang menyebabkan Adam keluar dari Surga. Sedangkan ajaran
agama Nasrani menganggap kaum perempuan sebagai senjata iblis untuk
menyesatkan manusia dan kaum perempuan dikategorikan sama dengan status
anak di bawah umur dan orang-orang gila yang tidak mempunyai hak publik
penuh, begitu mengerikannya mereka memandang kaum perempuan.

Lalu bagaimana posisi kaum perempuan dalam pandangan Islam. Seringkali


didengar beberapa tudingan yang menganggap Islam diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Kaum perempuan dianggap tidak memiliki hak dan kewajiban yang
sama dengan kaum pria. Kaum perempuan tidak bisa menentukan jalan hidupnya
bahkan disebut selalu mengekor pada kaum pria. Tudingan-tudingan seperti inilah
yang mendasari untuk memahami ajaran Islam secara lebih mendalam lagi.

Pandangan Islam tentang Gender


4
Di dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 71, Allah berfirman :

3
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-Desember 2014

4
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 10 No. 2 Juli-Desember 2017

4
Terjemahnya :

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka


menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka
ta'at pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"

Ayat tersebut diatas menekankan pandangan Islam terhadap kaum perempuan


dan kaum laki-laki. Mereka tidak dibedakan sedikit pun satu sama lain baik dalam
mendapatkan hak maupun dalam menunaikan kewajiban, bahkan kaum
perempuan dijadikan partner kaum laki-laki dalam beramar ma’ruf nahi mungkar.

Nasruddin menyebutkan :

"Secara perlahan tetapi pasti, kehadiran Islam mengubah pandangan masyarakat


terhadap kaum perempuan. Perempuan yang sebelumnya hanya ditempatkan
dalam posisi sebagai “obyek” yang hampir-hampir tidak memiliki hak dan peran
sosial, ditempatkan kembali pada posisi yang selayaknya. Bahkan dalam teks-teks
agama, ditemukan sekian banyak hadits yang memuliakan perempuan. Maka
dengan sendirinya perempuan di samping sebagai objek juga lebih dipandang
sebagai subjek dengan hak-hak dan kewajibannya".

Kiprah perempuan bisa melalui berbagai sarana dan profesi, misalnya bergerak
melalui yayasan pendidikan, lembaga pemerintahan, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan masih banyak lagi. Perempuan dijadikan mitra kaum laki-
laki bukan hanya dalam mengelola rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.
Tetapi ajaran Islam yang agung memberikan kesempatan kepada kaum
perempuan untuk senantiasa menggali potensi yang dimilikinya untuk
kepentingan ummat. Perempuan diberikan hak seluas-luasnya untuk menuntut
ilmu sesuai bidang yang diminatinya, bukankah kewajiban mencari ilmu ditujukan
bukan hanya bagi kaum laki-laki namun juga untuk kaum perempuan. Bahkan
Rasulullah sendiri membuka ruang bagi perempuan untuk memenuhi minat para
sahabat dalam menuntut ilmu. Sehingga tidak ada alasan untuk melarang kaum

5
perempuan dalam menuntut ilmu selama memberikan maslahat untuk dirinya
dan orang lain.

Kedudukan perempuan dalam ajaran Islam tidak seperti yang dipraktekkan oleh
sebahagian masyarakat. Ajaran Islam pada hakekatnya memberikan perhatian
yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Oleh karena
itu, mulai muncul gerakan-gerakan yang menginginkan dan menuntut kesetaraan
dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Kehidupan yang mengisahkan penderitaan bagi kaum perempuan yang dibaluti


oleh kondisi tragis yang terkadang tak terlihat oleh mata hati nurani kebanyakan
manusia adalah ketika kaum perempuan mengalami kekerasan dalam rumah
tangga atau ketimpangan hak asasi manusia antara kaum laki-laki dan perempuan
maka muncul wacana baru dalam dunia gender. Sebuah wacana yang
memperbincangkan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan sebagai makhluk
yang sama namun berbeda dari sudut pandang jenis kelamin. Wacana gender ini
menjadi gerbang terlihatnya realitas bahwa kedudukan kaum laki-laki yang selalu
identik 5dengan penguasa alias bak seorang raja dan penentu segala keputusan
kini mulai pupus sehingga layak dan patut untuk diperbincangkan. Kondisi terbalik
yang terlihat bahwa adanya realitas dalam dunia kaum perempuan yang mulai
menggugat keberadaan dan hak mereka dalam ruang puklik maupun ranah
domestik.

Wacana gender di lingkungan umat Islam ditanggapi secara beragam, ada yang
merespon secara positif dan menerimanya sebagai kemestian sejarah, namun
juga ada yang meresponnya secara negatif dan secara apriori menolaknya karena
dianggap sebagai sesuatu yang datang dari Barat yang akan merusak Islam. Di luar
dua sikap yang ambivalen itu, terdapat model ketiga dalam merespon wacana
gender, yaitu sikap kritis. Respon tersebut wajar muncul karena sebagai istilah,
gender merupakan wacana baru di lingkungan umat Islam.

Kenyataan terhadap respon di atas tampaknya berangkat dari kegelisahan


sekaligus kekhawatiran masyarakat terhadap pudarnya

5
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-Desember 2014

6
sakralitas Islam, karena mereka umumnya meyakini bahwa Islam adalah sistem
ajaran yang sudah lengkap, paripurna, dan tidak kurang suatu apa. Tidak ada satu
persoalan apapun, besar maupun kecil, yang mencolok maupun yang remang-
remang, yang belum ada jawabannya. Semuanya telah sempurna sebagaimana
ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam QS. Al-Ma‟idah [5]: 1. Persoalannya
adalah bagaimana memahami teks tersebut dalam hubungannya dengan gender.
Apakah gender bagian dari Islam, apakah Islam memiliki pandangan mengenai
gender dan beberapa pertanyaan yang menggelayut lainnya.

6
Dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah zauj;
berpasangan. Konsep ajaran ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan itu
adalah setara/equal (musawa) dan bersifat komplementaris (saling melengkapi).
Allah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan. Laki-
lakiperempuan, suami-istri, siang-malam, bumi-langit, malam-siang, dan positif-
negatif. Keberpasangan mengandung perbedaan sekaligus persamaan. Meskipun
demikian, keberpasangan bukan sesuatu yang bersifat suplemen, namun bersifat
komplemen. Karena itu, perbedaan dan persamaan dalam keberpasangan
merupakan sesuatu yang given, apa adanya dan tidak dapat dihindari.
Keberpasangan dengan perbedaan dan persamaan merupakan desain, agar
kehidupan berjalan baik dan seimbang.

Laki-laki dan perempuan keduanya berkewajiban menciptakan situasi harmonis


dalam keluarga dan masyarakat. Ini berarti kita dituntut untuk mengetahui
keistimewaan dan kekurangan masing-masing, serta perbedaan-perbedaan antar
keduanya. Tanpa mengetahui hal-hal tersebut, maka orang bisa
mempermasalahkan dan menzalimi banyak pihak. Dia bisa menganiaya
perempuan karena mengusulkan hal-hal yang justru bertentangan dengan
kodratnya.

6
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-Desember 2014

7
Meskipun seharusnya seperti dikemukakan di atas, namun dalam realitas
sosialnya, kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan sering tidak berjalan
seiring, sehingga berakibat pada terjadinya tindak kekerasan terhadap salah satu
pihak, terutama kepada perempuan. Ironisnya, tindakan itu sering dirujukkan
pada teks-teks otoritatif, al-Qur‟an dan Hadis. Tentu saja ada sebagian
masyarakat yang merujuk al-Qur‟an untuk dasar tindakannya yang tidak benar,
bukan kedua sumber itu yang salah, namun lebih pada pemahamannya yang
kurang tepat dan relevan. Untuk itu, merupakan keharusan untuk rethinking
terhadap paham-paham tersebut, dengan maksud agar tujuan agama tidak
tereduksi dan terdistorsi.

7
Oleh karena itu Islam hadir sebagai agama yang didasarkan pada teks atau nash.
Teks tersebut adalah al-Qur‟an dan Hadis atau Sunnah Nabi. Al-Qur‟an dan Hadis
merupakan dua hal pokok dalam seluruh bangunan dan sumber keilmuan Islam.
Sebagai sesuatu yang sentral dalam jantung umat Islam, adalah wajar dan logis
bila perhatian dan apresiasi terhadapnya melebihi perhatian dan apresiasi
terhadap bidang lainnya. Al-Qur‟an dan Hadis merupakan sumber inspirasi dan
ajaran bagi umat Islam. Al-Qur‟an dan Hadis hadir di tengah-tengah masyarakat
yang berbudaya. Kehadirannya sebagai bentuk rahmat Tuhan untuk membimbing
dan mengarahkan manusia agar dapat menjalani hidup dengan baik tanpa
kekerasan, penindasan, monopoli, pengrusakan, diskriminasi dan lain-lain. Baik al-
Qur‟an maupun Hadis memiliki visi etis yang sama yang bersifat universal,
meskipun terkadang keduanya merespon peristiwa yang bersifat temporal dan
partikular. Visi etis inilah yang merupakan hal penting dalam kehadiran al-Qur‟an
dan Hadis Nabi. Termasuk dalam lingkup tersebut adalah dalam aturan atau
tuntunan relasi laki-laki dan perempuan.

Dari paradigm Islam tersebut di atas, maka ditemukan beberapa prinsip kesetaran
gender dalam Islam:

1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah, sebagaimana


ditegaskan dalam QS. adz-Dzariat [51]: 56
7
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-Desember 2014

8
2. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah Allah sebagaimana
ditegaskan QS. al-An‟am [6]: 165 dan alBaqarah [2]: 30.

3. Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial


sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-A‟raf [7]: 172.

4. Laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa) sama-sama terlibat aktif dalam


peristiwa drama kosmis, sebagaimana terekam dalam banyak ayat seperti QS. al-
Baqarah [2]: 35, al-A‟raf: 20 dan 22, serta 23 dan al-Baqarah:187.
8
5. Laki-laki dan perempuan berpotensi yang sama dalam meraih prestasi
sebagaimana terdapat dalam QS. Ali „Imran [3]: 195, an-Nisa‟ [1]: 124, an-Nah{l
[16]: 97 dan Ghafir [40]: 40.

Sebagaimana yang digambarkan seorang tokoh pembaharu dalam Islam, Qasim


Amin dalam beberapa tulisannya yang memotivasi kaum perempuan menyadari
eksistensi dan potensinya untuk berkiprah pada peluang dan kesempatan dengan
kemampuan yang dimilikinya. Qasim Amin adalah salah seorang pemikir
pembaharuan dalam Islam dilahirkan di sebuah desa bernama Tarah, daerah
pinggiran kota Mesir pada bulan Desember 1865. Idenya yang paling menonjol
adalah berusaha mengangkat derajat wanita atau emansipasi wanita khususnya
dalam bidang pendidikan. Lebih lanjut ia mengatakan tertinggalnya di bidang
pendidikan berarti tertinggalnya bangsa dari kemajuan, ini dikarenakan penduduk
suatu negeri 50 % adalah wanita bagaimana mungkin wanita bodoh bisa mendidik
anak-anaknya. Realitas yang diselami Qasim Amin pada saat itu adalah
kemunduran dunia Islam, menurutnya kemunduran umat Islam disebabkan
karena kaum wanita yang merupakan setengah dari jumlah penduduk kota Mesir
tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah. Bagi wanita, pendidikan tidak
hanya diperlukan untuk mengatur rumah tangga dengan baik, tetapi juga untuk
dapat memberikan didikan dasar bagi anak.

Hal ini senada dengan ungkapan Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah.
Yang berarti:“Sesungguhnya kaum wanita tidak akan mampu mengatur rumah
tangganya kecuali dia telah memperoleh ilmu pengetahuan, etika, dan adab.
8
Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-Desember 2014

9
Maka mereka wajib belajar seperti halnya yang dipelajari oleh kaum laki-laki
sekurang-kurangnya dari pendidikan dasar sehingga mereka memiliki penjelasan
pada bagian-bagian keilmuan, supaya mereka dapat memilih sesuatu yang sesuai
dengan keinginannya, dan mampu mengerjakan sesuatu dengan teliti.”
Penutup

Islam tidak pernah mengajarkan adanya perbedaan antar laki -laki dan
perempuan karena sesungguhnya yang membedakan mereka hanyalah tingkat
ketakwaannya pada Sang Khalik. Islam menempatkan perempuan pada posisi
yang setara dengan kaum laki-laki sehingga mereka bisa saling membantu dalam
mengisi kehidupan ini. Masing-masing memiliki karakteristik berbeda yang bisa
menjadi potensi untuk saling menguatkan dan mendukung satu sama lain.
Beberapa ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa perempuan dan kaum laki-laki akan
mendapatkan imbalan yang setimpal ketika mereka melakukan suatu kebajikan.
Hanya saja yang harus diingat bahwa kebebasan yang diberikan kepada kaum
perempuan bukan kebebasan tanpa batas aturan dan norma. Aturan tersebut
bukan untuk mengebiri eksistensi kaum perempuan tetapi justru untuk
melindungi kepentingannya.

Prinsip kesetaraan gender dalam perspektif Islam adalah kaum laki-laki dan
perempuan sama dalam beberapa hal, yaitu; sebagai hamba Allah, sebagai
khalifah Allah, menerima perjanjian primordial, terlibat aktif dalam peristiwa
drama kosmis, dan berpotensi yang sama dalam meraih prestasi. Prinsip ini secara
jelas diuraikan dalam pedoman ajaran Islam berupa teks atau nash al-Qur,an dan
Hadis. Sedangkan perbedaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan hanya
dapat dilihat dari segi tingkat ketaqwaan kepada Allah SWT.

10
Daftar Pustaka

Baqi, Muhammad Fuad Abd al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzil Qur’an

al-Karim, Ttp: Dar al-Fikr, 1981.

Subhan, Zaitunah, Kodrat Peempuan Takdir atau Mitos. Yogyakarta, PT

Elkis Pelangi Aksara, 2004.

Soebahar, Abd Halim, Poligami Pintu Daruratkah? Debat di Kalangan

Tokoh Agama, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005.

11

Anda mungkin juga menyukai