Anda di halaman 1dari 9

PERCOBAAN 2b

LAPORAN PRAKTIKUM
Praktikum Pemisahan Kimia
Penentuan Koefisien Distribusi I2
Dosen Pengampu Matakuliah :
Dr. Irma Kartika Kusuma Ningrum, S.Si., M.Si
Hanumi Oktiyani Rusdi, S.Pd., M.Si

Oleh :
Kelompok 2 Offering G
Alif Alfarisyi Syah (180332616508)
Amalia Bella Saputri (180332616518)*
Diah Ayu S. (180332616531)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
SEPTEMBER 2020
A. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat memahami fenomena distribusi diantara dua cairan yang tidak
saling bercampur
2. Mahasiswa dapat menentukan koefisien distribusi
B. DASAR TEORI
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila suatu zat terlarut terdistribusi
antara dua pelarut yang tak-dapat-campur, maka pada suatu temperature yang konstan
untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi yang konstan antara kedua
pelarut itu, dan angka banding distribusi ini tidak bergantung pada spesi molekul lain
apapun yang mungkin ada. Harga angka banding berubah dengan sifat dasar kedua
pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperature (Vogel, 1985; 140).
Bila suatu zat terlarut tidak saling bercampur maka akan membentuk 2 fasa dan
diantara fasa tersebut ada hubungannya dengan konsentrasi zat terlarut dalam dua fasa
pada kesetimbangan. Hukum distribusi kadang disebut hukum nernst. Bila substansi
ekstraksi pelarut mengambil bagian dan kesetimbangan-kesetimbangan lain dalam salah
satu (atau kedua) fasa itu, suatu angka bandingDapat dimanfaatkan, dimana konsentrasi
dijumlahkan untuk semua spesies yangrelefan dalam kedua fasa itu ( Underwood, 2002 :
481-482 ).
Jika suatu zat terlarut terdistribusi antara dua cairan yang tak saling campur, maka
pada keadaan yang berkesetimbangan terdapat hubungan antara konsentrasi zat terlarut
pada kedua cairan bersangkutan. Hubungan inilah yang dikenal sebagai hukum distribusi
dan dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
[ A1]
KD =
[ A2]
Dimana : KD= koefisien distribusi; [A1] = konsentrasi spesi pada fasa 1; [A2] =
konsentrasi spesi pada fasa 2
Persamaan distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan
aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivasi zat terlarut dalam pelarut lain
diketahui, asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna satu sama lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi diantaranya adalah Harga
K berubah dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga K tergantung jenis
pelarutnya dan zat terlarut. Menurut Walter Nersnt, hukum diatas hanya berlaku bila zat
terlarut tidak mengalami disosiasi atau asosiasi, hukum di atashanya berlaku untuk
komponen yang sama.
Hukum distribusi banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan penentuan
tetapan kesetimbangan. Dalam laboratorium ekstraksi dipakai untuk mengambil zat-zat
terlarut dalam air dengan menggunakan pelarut pelarut organik yang tidak bercampur
seperti eter, CHCl3, CCl4, dan benzene. Dalam industri ekstraksi dipakai untuk
menghilangkan zat-zat yang tidak disukai dalam hasil, seperti minyak tanah, minyak
goreng dan sebagainya. (Azam Khan,2012)
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan koefisien distribusi I 2 dalam system
air-kloroform. Jika kedalam sistem dua fasa cair yang tak dapat saling bercampur
ditambahkan zat ketiga yang dapat melarut pada keduanya maka zat ketiga akan
terdistribusi diantara kedua fasa tadi dalam jumlah tertentu. Bila larutan jenuh I2 dalam
CHCl3 dikocok dengan air maka akan terbentuk dua fasa. Kemudian fasa air dititrasi
dengan Na2S2O3 0,1 N untuk mengetahui konsentrasi I 2 pada fasa air dan organik
sehingga dapat diketahui koefisien distribusinya.

C. ALAT DAN BAHAN


Alat :
- Pipet volume
- Corong pisah
- Buret
- Erlenmeyer
- Gelas kimia
- Labu takar
- Gelas arloji
Bahan :
- Larutan HCl
- Larutan K2Cr2O7 0,1N
- Larutan Ki 0,1N
- Larutan Iod
- Kloroform
- Indikator amilum
- Larutan Na2S2O3
- Aquades
D. PROSEDUR KERJA

No Prosedur
1 Pembakuan Larutan Natrium Tiosulfat dengan K2Cr2O7
K2Cr2O7 0,1N, HCl pekat, KI 0,1N
- Dimasukkan 10mL K2Cr2O7 kedalam
Erlenmeyer
- Ditambahkan 3 mL HCl pekat dan 15 mL KI
0,1 N
- Dikocok Erlenmeyer
- Didiamkan selama 5 menit dan ditaruh di
tempat gelap
- Ditutup Erlenmeyer dengan gelas arloji
- Dititrasi dengan Na2S2O3 sampai warna
larutan kuning muda
- Ditambah indicator amilum dan dititrasi
kembali hingga warna biru hilang
- Dicatat volume Na2S2O3
- Dihitung konsentrasi Na2S2O3
Hasil

2. Penentuan Konsentrasi I2 awal

Larutan iod
- Ditambah 10 mL larutan iod dengan 2 mL
larutan H2SO4 encer
- Dititrasi dengan Na2S2O3 hingga kuning muda
- Ditambah dengan amilum 3 tetes
- Dititrasi kembali dan dihentikan hingga
warna biru hilang
- Dicatat volume Na2S2O3
Hasil
3. Penentuan Koefisien Distribusi

Larutan iod
- Dipipet 25 mL larutan iod dimasukkan dalam
corong pisah
- Ditambahkan 10 mL kloroform dan dikocok
selama 15 menit
- Didiamkan sebentar
- Dikeluarkan fasa organiknya
- Ditampung fasa air dalam Erlenmeyer
- Ditambah 4 mL asam sulfat encer
- Dititrasi fasa air dengan larutan Na2S2O3
sampai berwarna kuning muda
- Ditambah dengan indikator amilum dan
dilanjutkan titrasi samapi warna biru hilang
- Dicatat volume tiosulfat yang diperlukan
- Dihitung iod yang tertinggal dalam air
- Dientukan harga Kd iod untuk system
organik/air
Hasil

E. DATA PENGAMATAN

No Langkah Kerja Hasil pengamatan


1 Pembakuan Larutan Natrium Tiosulfat dengan
K2Cr2O7
- Volume K2Cr2O7 0,1N 10,00 mL
- Volume Na2S2O3 Titrasi I = 10,20 mL
Titrasi II = 10,20 mL

No Langkah Kerja Hasil Pengamatan


2 Penentuan konsentrasi I2 awal
- Volume larutan Iod 10,00 mL
- Volume Na2S2O3 Titrasi I = 1,20mL
Titrasi II = 1,20mL

No Langkah Kerja Hasil Pengamatan


3 Penentuan koefisien distribusi
- Volume larutan iod 10,00mL
- Volume Na2S2O3 Titrasi I = 1,00mL
Titrasi II = 1,00mL
F. PEMBAHASAN
1. Pembakuan Larutan Natrium Tiosulfat dengan K2Cr2O7
Percobaan ini diawali dengan pembakuan larutan natrium tiosulfat dengan K2Cr2O7.
Percobaan ini dilakukan dengan prinsip Iodometri yang merupakan titrasi tidak
langsung dan digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai
potensial oksidasi lebih besar dari sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang
bersifat oksidator seperti K2Cr2O7. Pada iodometri, sampel bersifat oksidator
direduksi dengan kalium iodida berlebih sehingga dibebaskan I2 yang selanjutnya
dititrasi dengan larutan baku tiosulfat dengan indikator amilum.
Pembakuan dilakukan dengan memasukkan 10 mL K2Cr2O7 kedalam Erlenmeyer dan
ditambah dengan 3 mL HCl pekat dan 15 mL KI 0,1 N. penambahan larutan HCl
pekat dimaksudkan untuk mengasamkan suasana larutan K2Cr2O7 dan mereduksi ion
Cr6+ menjadi ion Cr3+. Adapun persamaan reaksinya adalah sebagai berikut :

K2Cr2O7(aq)+ 14 HCl(aq) → 2CrCl3(aq) + 3Cl2(l) + 2KCl(aq) + 7H2O(l)


Penambahan larutan KI 0,1N bertujuan untuk membentuk I2 dalam larutan dengan
persamaan reaksi sebagai berikut :
2CrCl3(aq) + 3Cl2(l) + 2KCl(aq) + 7H2O(l) + 6KI(aq) → 2CrCl3(aq) + 8KCl(aq)
+ 7H2O(l) + 3I2(l)
Setelah ditambahkan 3mL larutan HCl pekat dan 15 mL larutan KI 0,1 N larutan
kemudian dikocok. Fungsi dari pengocokan ini adalah unutk membuat campuran
larutan menjadi homogen. Larutan kemudian didiamkan selama 5 menit dan ditaruh
dalam tempat yang gelap agar I2 yang terbentuk tidak terurai oleh cahaya matahari.
Larutan selanjutnya dititrasi dengan larutan Na2S2O3 sampai berwarna kuning muda.
Larutan Na2S2O3 berfungsi sebagai titran untuk menitrasi I2 yang dibebaskan. Adapun
persamaan reaksi pada saat dilakukan titrasi adalah sebagai berikut :
I2(l)+ 2Na2S2O3(aq) → 2NaI(aq) + Na2S4O6(aq)
Titrasi dilakukan sampai larutan berwarna kuning muda kemudian ditambah dengan
indikator amilum sehingga warna larutan berubah menjadi biru. Penambahan
indikator amilum mendekati titik akhir titrasi bertujuan agar I2 yang terbentuk tidak
berikatan dengan amilum. Amilum memiliki sifat kurang larut dalam air dan kurang
stabil dalam suspensi air. Jika bereaksi dengan iodin, amilum akan membentuk
kompleks yang sukar larut dalam air sehingga iodin sukar dititrasi. Titrasi kemudian
dilanjutkan sampai warna biru pada larutan hilang atau sampai warna biru berubah
menjadi hijau. Dalam percobaan ini titrasi dilakukan 2 kali atau duplo dan diperoleh
hasil yang sama yaitu volume Na2S2O3 yang dibutuhkan adalah 10,20 mL. dari
prosedur pembakuan larutan natrium tiosulfat dengan K2Cr2O7 dapat dihitung
konsentrasi larutan Na2S2O3 sebagai berikut :

N K2Cr2O7 . V K2Cr2O7 = N Na2S2O3 . V Na2S2O3


0,1 N . 10 mL = N Na2S2O3 . 10,20 mL
0,1 N .10 mL
N Na2S2O3 =
10,20 mL
N Na2S2O3 = 0,098 N
2. Penentuan Konsentrasi I2 awal
Pada tahap kedua yaitu penentuan konsentrasi I2 awal yang bertujuan untuk
mengetahui konsentrasi awal I2 yang akan ditentukan koefisien distribusinya.
Langkah pertama yang dilakukan adalah diambil 1o mL larutan iod dalam KI dan
ditambah dengan 2 mL larutan H2SO4 encer untuk mengasamkan suasana larutan
karena dalam suasana alkalis iodium bereaksi dengan hidroksida (OH -) menghasilkan
ion hipoiodit yang akhirnya membentuk ion iodat. Berikut merupakan persamaan
reaksi antara larutan KI dengan H2SO4:
8KI(aq) + 5H2SO4(aq) → 4K2SO4(aq) + 4I2(l) + H2S(aq) + 4H2O(aq)
Larutan selanjutnya dititrasi dengan larutan Na2S2O3 yang sudah diketahui
konsentrasinya melalui standarisasi hingga berwarna kuning muda. Banyaknya
volume tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iod yang dihasilkan dan
setara dengan banyaknya sampel. Larutan yang sudah berwarna kuning kemudian
ditambah dengan indikator amilum sehingga warna larutan berubah menjadi biru.
Penambahan amilum yang dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi dimaksudkan
agar amilum tidak membungkus iod karena akan menyebabkan amilum sukar dititrasi
untuk kembali ke senyawa semula. Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin,
hal ini disebabkan sifat I2 yang mudah menguap. Pada titik akhir titrasi iod yang
terikat juga hilang bereaksi dengan titran sehingga warna biru mendadak hilang dan
perubahannya sangat jelas. Penggunaan indikator ini untuk memperjelas perubahan
warna larutan yang terjadi pada saat titik akhir titrasi. Sensitivitas warnanya
tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum memiliki
kelarutan yang kecil dalam air, sehingga umumnya ditambahkan pada titik akhir
titrasi. Dalam percobaan ini titrasi dilakukan 2 kali atau duplo dan diperoleh hasil
yang sama yaitu volume Na2S2O3 yang dibutuhkan adalah 1,20 mL. Dari percobaan
ini kita dapat menghitung konsentrasi I2 awal sebagai berikut :
N Iod . V Iod = N Na2S2O3 . V Na2S2O3
N Iiod . 10 mL = 0,098 N . 1,2mL
0,098 N x 1,2mL
N Iod =
10 mL
N Iod = 0,01176 N

3. Penentuan Koefisien Distribusi


Percobaan ini kemudian dilanjutkan dengan penentuan koefisien distribusi. Pada
percobaan ini, 25 mL larutan iod dicampur dengan klorofom pada corong pisah.
Larutan kemudian dikocok selama 15 menit agar larutan iod terdistribusi ke fasa air
dan organik. Pada saat melakukan pengocokan corong pisah dibuka tutup krannya ± 5
menit sekali untuk mengurangi tekanan yang ada dalam corong pisah. Setelah terjadi
kesetimbangan, campuran didiamkan agar fasa air dan organic benar-benar terpisah.
Campuran yang sudah terpisah membentuk 2 lapisan berwarna ungu untuk fasa
organik dan coklat pada fasa air. Lapisan bawah adalah fasa organic dan lapisan atas
adalah fasa air. Kloroform berada pada lapisan bawah karena kerapatannya lebih
besar daripada air yaitu 1,48g/mL sedangkan air kerapatannya sebesar 1 g/mL.
berikut merupakan persamaan reaksi larutan iod dalam fasa air dan organik :
Fasa air kemudian dipisahkan dari fasa organiknya dengan menampungnya kedalam
Erlenmeyer kemudian ditambah dengan asam sulfat untuk mengasamkan suasana dan
menitrasinya dengan natrium tiosulfat hingga berwarna kuning muda. Persamaan
rekasi pada saat titrasi adalah :
I2(l)+ 2Na2S2O3(aq) → 2NaI(aq) + Na2S4O6(aq)
Larutan kemudian ditambahkan dengan indikator amilum yang membuat larutan
menjadi berwarna biru. Larutan dititrasi kembali sampai warna biru pada larutan
hilang atau berubah menjadi hijau. Fungsi titrasi ini untuk mengetahui berapa
konsentrasi iod yang terdistribusi ke fasa organik dan fasa air. Dari percobaan ini,
koefisien distribusi larutan iod dapat dihitung sebagai berikut :
 Konsentrasi I2 fasa air
N iodin . V iodin = N Na2S2O3 . V Na2S2O3
N iodin . 10 mL = 0,098 N . 1 mL
0,098 N . 1 0 mL
N iodin =
10 mL
N iodin = 0,098N
 Konsentrasi I2 fasa organik
N I2 awal = N I2 fasa air + N I2 fasa organik
N I2 fasa organik = N I2 awal – N I2 fasa air
N I2 fasa organik = 0,01176 N – 0,098 N
N I2 fasa organik = -0,086 N
 Koefisien distribusi
[fasa organik ]
Kd =
[fasaair ]
−0,086 N
=
0,0098 N
= -0,88
Jadi, koefisien distribusi I2 sebesar -0,88. Karena harga koefisien distribusi kurang
dari 1 maka I2 lebih terdistribusi ke fasa air.

G. KESIMPULAN
- Fenomena distribusi diantara dua cairan tidak saling bercampur terjadi jika kedalam
sistem dua fasa cair yang tak dapat saling bercampur ditambahkan zat ketiga yang
dapat melarut pada keduanya maka zat ketiga akan terdistribusi diantara kedua fasa
tadi dalam jumlah tertentu.
- Koefisien distribusi I2 dalam system air kloroform adalah 0,2.
- I2 lebih terdistribusi ke fasa air karena kd < 1.

H. DAFTAR RUJUKAN

Underwood,A.L. dan R.A.Day,JR.2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi keenam.Erlangga.Jakarta

Vogel. 1985. Buku Teks Analisis Secara Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta: PT. Kalman
Media Pustaka.

Azma khan. 2012. Koefisien


ditribusi.http://www.mediafire.com/view/951pjdtc6t7cyqt/koefisien+distribusi

Anda mungkin juga menyukai