Anda di halaman 1dari 17

SKENARIO 3

Perkejuan pada TB Paru

Seorang laki-laki berusia 45 tahun dating ke poliklinik RS dengan keluhan batuk, mudah
lelah, keringat malam, dan berat badan dirasa turun drastis dalam beberapa minggu ini. Dari hasil
pemeriksaan fisik diduga adanya suatu massa di paru yang dimungkinkan karena proses
inflamasi sehingga perlu pemeriksaan biopsi. Dari hasil biopsi paru, didapatkan fokus infeksi
seperti keju berwarna kuning di area yang mengalami nekrosis. Nekrosis ini dikelilingi makrofag
dan sel inflamasi lainnya. Dokter mengatakan gambaran keju berwarna kuning ini merupakan
kematian sel sebagai respons adaptasi terhadap penyakit infeksinya.

STEP 1 :

1. Massa : tata nama anatomik untuk gumpalan kohesif suatu bahan, misalnya jaringan atau
sel. (Dorland)
2. Biopsi : pengambilan dan pemeriksaan biasanya secara mikroskopik, jaringan tubuh yang
hidup, yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti (Dorland). Biopsi adalah
prosedur medis yang melibatkan pengambilan sampel kecil jaringan tubuh sehingga dapat
diperiksa di bawah mikroskop. Sampel jaringan dapat diambil dari hampir semua tempat
di atau di tubuh termasuk kulit, organ, dan struktur lainnya. Biopsi dapat digunakan untuk
menyelidiki kelainan, yang dapat berupa:
fungsional - seperti masalah ginjal atau hati
struktural - seperti pembengkakan pada organ tertentu
Ketika sampel jaringan diperiksa di bawah mikroskop, sel abnormal dapat diidentifikasi,
yang dapat membantu mendiagnosis kondisi tertentu. Jika suatu kondisi telah didiagnosis,
biopsi juga dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahannya (seperti tingkat
peradangan) dan tingkatannya (seperti keagresifan kanker). Informasi ini bisa sangat
berguna ketika memutuskan pengobatan yang paling tepat, dan menilai seberapa baik
seseorang menanggapi jenis pengobatan tertentu.
3. Nekrosis : hasil akhir perubahan-perubahan morfologis akibat kerja degradatif
progresif enzim yang mengindikasikan kematian sel; dapat mengenai kelompok sel atau
bagian suatu stnrktur atau suatu organ (Dorland). Kematian jaringan tubuh yang terjadi
ketika terlalu sedikit darah yang mengalir ke jaringan. Bisa dari cedera, radiasi, atau
bahan kimia. Nekrosis bersifat irreversible, ketika area jaringan yang luas mati karena
kekurangan suplai darah.

STEP 2 :

1. Mengapa dapat terjadi kematian sel?


2. Bagaimana proses terjadinya nekrosis pada tubuh?
3. Bagaimana gambaran sel atau jaringan yang mengalami nekrosis?
4. Bagaimana respon sel untuk beradaptasi terhadap suatu infeksi?

STEP 3&4 :

1. Apoptosis

Eliminasi-diri terprediksi sel-sel terpilih merupakan bagian normal


perkembangan. Sel-sel tertentu yang tidak diinginkan dan dihasilkan selama
perkembangan memang diprogram untuk membunuh dirinya sendiri ketika tubuh telah
terakit menjadi bentuk akhirnya. Selama perkembangan seorang perempuan, contohnya,
apoptosis sengaja membuang duktus embrionik yang mampu membentuk saluran
reproduksi pria.

- Apoptosis Fisiologis
Kematian melalui apoptosis merupakan fenomerta normal yang berfungsi
menghilangkan sel yang tidak diperlukan lagi dan untuk mempertahankan jumlah sel
yang tetap pada berbagai jaringan. Hal tersebut penting untuk situasi fisiologis berikut:
• Destruksi sel terprogram saat embriogenesis. Pertumbuhan normal dikaitkan dengan
kematian sejumlah sel dan munculnya sel serta jaringan baru. Istilah kematian sel yang
terprogram tadinya dihubungkan dengan kematian sel tertentu pada saat tertentu pada
perkembangan organ. Apoptosis merupakan istilah generik untuk pola kematian sel, tidak
tergantung pada konteks yang dimaksud, tetapi sering disebut sebagai kematian sel
terprogram.
• Involusi jaringan yang bergantung hormon pada saat terjadi kekurangan hormon,
misalnya luruhnya sel endomtrium saat siklus haid, dan regresi payudara laktasi setelah
masa sapih.
• Hilangnya sel pada populasi sel yang sedang proliferatif misalnya epitel kripta pada
usus, agar jumlah sel tetap sama.
• Eliminasi sel yang telah selesai melakukan tugasnya, misal neutrofil pada reaksi radang
akut dan limfosit pada akhir respons imunologi. Pada situasi ini, sel mengalami apoptosis
karena kehilangan sinyal yang dibutuhkan untuk hidup, misalnya faktor pertumbuhan.
• Eliminasi limfosit reaktif yang berpotensi merugikan diri pada saat sebelum atau
sesudah masa maturasi, untuk mencegah reaksi terhadap jaringan tubuh sendiri.
• Kematian sel oleh limfosit T sitotoksik, merupakan mekanisme pertahanan terhadap
virus dan tumor untuk membinasakan sel yang terkena infeksi virus dan sel neoplasma.

- Apoptosis Patologis

Kematian akibat apoptosis menyebabkan hilangnya sel pada beberapa keadaan patologis:

• Kerusakan DNA. Radiasi, obat sitotoksik anti kanker, temperatur yang ekstrem, dan
bahkan hipoksia dapat merusak DNA, secara langsung atau melalui pembentukan radikal
bebas. Apabila proses perbaikan tidak dapat mengatasi jejas, sel akan memicu
mekanisme intrinsik yang menyebabkan apoptosis. Pada situasi ini, eliminasi sel
merupakan alternatif yang lebih baik, daripada mengambil risiko terjadinya mutasi di
dalam DNA rusak yang dapat berubah mengalami transformasi keganasan. Stimulus yang
merugikan ini bisa menyebabkan apoptosis apabila kerusakan ringan, tetapi apabila
jumlah dosis stimulus yang sama lebih besar akan berakhir dengan kematian sel nekrotik.
Induksi apoptosis pada sel kanker merupakan efek yang diinginkan pada pemakaian obat
kemoterapi, yang sebagian besar terjadi dengan merusak DNA. • Akumulasi dari protein
yang salah bentuk. Protein salah bentuk dapat terjadi akibat mutasi gen yang menyandi
protein tersebut atau karena pengaruh faktor ekstrinsik, misalnya kerusakan karena
radikal bebas. Akumulasi berlebihan protein ini di ER akan menyebabkan stres ER, yang
berakhir dengan kematian sel apoptotik.
• Jejas sel pada beberapa infeksi, khususnya infeksi virus, yang kematian sel terutama
akibat apoptosis yang diinduksi oleh virus(misal: adenovirus dan infeksi virus
imunodefisiensi manusia) atau sebagai reaksi imun tubuh (misal: pada virus hepatitis).

• Atrofia patologis di organ parenkim setelah obstruksi duktus, seperti yang terjadi pada
pankreas, kelenjar parotis, dan ginjal.

Mekanisme Apoptosis

Diawali melalui 2 jalur utama :

- Jalur mitokondria (intrinsik) dipicu oleh hilangnya sinyal ketahanan hidup (survival),
kerusakan DNA dan akumulasi dari protein salah bentuk (stres ER); dihubungkan
dengan bocornya protein pro apoptotik dari membran mitokondria ke dalam
sitoplasma, dimana terjadi pemicuan aktivasi kaspase; dihambat oleh unsur anti
apoptotik dari kelompok Bcl, yang diinduksi dengan sinyal ketahanan hidup termasuk
faktor pertumbuhan.
- Jalur reseptor kematian (ekstrinsik) berperan pada eliminasi limfosit reaktif badan
sendiri dan kerusakan limfosit T sitotoksik; dipicu oleh ikut sertanya reseptor
kematian (termasuk dalam kelompok reseptor TNF) melalui ikatan sel yang
berdekatan.
Nekrosis

Bentuk lain kematian sel, nekrosis (berarti "membuat mati"), ialah pembunuhan
tak disengaja yang kotor dan tak-terkendali terhadap sel-sei berguna yang sudah cedera
parah akibat pajanan agen eksternal ke sel, seperti benturan fisik, kekurangan O2, atau
penyakit. Sebagai contoh, sel otot jantung yaurangan pasokan O2 akibat sumbatan
komplet pembuluh darah yang mendarahinya ketika terjadi serangan jantung mati akibat
nekrosis. Meskipun nekrosis dan apoptosis sama-sama menyebabkan kematian sel,
langkah-langkah yang terlibat berbeda. Pada nekrosis, sel yang sekarat adalah korban
pasif, sementara pada apoptosis sel turut serta secara aktif dalam proses kematiannya
sendiri.
Pada nekrosis, sel yang cedera tidak dapat memompa keluar Na+ sebagaimana
biasanya. Akibatnya, air mengalir masuk melalui osmosis, menyebabkan sel bengkak dan
pecah. Umumnya, pada nekrosis, jejas pencetus kematian sel mencederai banyak sel yang
berdekatan, sehingga banyak sel-sel di sekitarnya yang ikut bengkak dan pecah.
Pelepasan kandungan intrasel ke jaringan sekitar memicu respons inflamasi pada tempat
jejas.

2. • Deplesi ATP: kegagalan fungsi yang bergantung pada energi → jejas reversibel →
nekrosis
ATP adalah sumber energi sel yang dibentuk terutama melalui fosforilasi
oksidatif adenosin difosfat (ADP) pada waktu reduksi oksigen dalam sistem transportasi
elektron pada mitokondria. Di samping ATP juga bisa dihasilkan melalui jalur glikolisis
tanpa oksigen dengan memakai glukosa yang diperoleh dari sirkulasi atau hidrolisa
glikogen intrasel. Penyebab utama deplesi ATP adalah menurunnya suplai oksigen dan
nutrisi, kerusakan mitokondria dan akibat toksin (misal: sianida). Jaringan dengan
kemampuan glikolisis yang tinggi (misal: hati) dapat lebih mampu menghadapi
kekurangan oksigen dan menurunnya fosforilasi oksidatif dibandingkan dengan jaringan
yang mempunyai kapasitas glikolisis yang terbatas (misalnya, otak). Fosfat energi tinggi
dalam bentuk ATP dibutuhkan untuk hampir seluruh proses sintesa dan proses degradasi
dalam sel, termasuk transpor membran, sintesis protein, lipogenesis, dan reaksi
deasilasireasilasi yang dibutuhkan untuk pembentukan fosfolipid. Diperkirakan sel pada
manusia sehat membakar 50 hingga 75 kg ATP setiap hari!
Deplesi ATP yang signifikan mengakibatkan efek luas pada berbagai sistem sel yang
penting :
• Berkurangnya aktivitas ATP membran plasma yang bergantung pada pompa sodium
menyebabkan tertimbunnya sodium di dalam sel dan keluarnya kalium dari dalam sel.
Hasil akhir penambahan air yang iso osmotik menyebabkan pembengkakan sel dan
dilatasi ER.
• Sebagai upaya untuk mempertahankan sumber energi sel terjadi kegiatan kompensasi
berupa peningkatan glikolisis anerobikenergi. Hal ini mengakibatkan timbunan glikogen
intrasel dengan cepat terkuras, dan akumulasi asam laktat, mengakibatkan menurunnya
pH intrasel dan menurunnya aktivitas berbagai enzim sel.
• Kegagalan pompa Ca2+ yang bergantung pada ATP menyebabkan masuknya Ca2+,
dengan akibat kerusakan berbagai komponen sel, yang akan dibicarakan kemudian.
• Deplesi ATP yang berkepanjangan atau memburuk mengakibatkan rusaknya struktur
alat sintesis protein dan akan tampak sebagai lepasnya ribosom dari ER kasar (RER) serta
terpisahnya polisom menjadi monosom, sehingga sintesis protein berkurang. Akhirnya
terjadi kerusakan ireversibel pada membran mitokondria dan lisosom, dan akan menjadi
nekrotik.
• Kerusakan mitokondria: deplesi ATP → kegagalan fungsi sel yang bergantung pada
energi → terjadi nekrosis; pada beberapa keadaan kebocoran protein mitokondria yang
menyebabkan apoptosis
Mitokondria bisa dianggap sebagai "pabrik mini" yang menghasilkan energi untuk
mempertahankan hidup dalam bentuk ATP. Maka, tidak mengherankan mitokondria
mempunyai peran penting pada jejas sel dan kematian sel. Mitokondria amat rentan
terhadap jejas yang membahayakan, termasuk hipoksia, toksin, dan radiasi. Kerusakan
mitokondria dapat mengakibatkan berbagai kelainan biokimia:
• Kegagalan fosforilasi oksidatif akan mengakibatkan deplesi ATP yang progesif,
berakhir dengan nekrosis sel, seperti dibahas sebelumnya.
• Fosforilasi oksidatif abnormal akan menghasilkan pembentukan spesies oksigen reaktif
(ROS), yang akan memberikan efek merugikan, dibahas di bawah ini.
• Kerusakan pada mitokondria sering dikaitkan dengan dibentuknya jalur konduksi tinggi
pada membran mitokondria, disebut pori transisi permeabilitas mitokondria. Terbukanya
jalur ini menyebabkan hilangnya potensial membran mitokondria dan perubahan pH,
sehingga memudahkan terjadinya fosforilasi oksidatif.
• Mitokondria juga mengandungi beberapa protein yang apabila dilepaskan ke
sitoplasma, akan memberikan tanda pada sel bahwa telah terjadi jejas internal dan akan
mengaktifkan jalur apoptosis, yang akan dibicarakan kemudian.

• Aliran masuk kalsium: aktivasi enzim yang merusak komponen sel juga akan memulai
terjadinya apoptosis.
Pentingnya peran Ca2+ pada jejas sel diketahui dari penelitian bahwa pengurangan Ca2+
ekstrasel akan menunda kematian sel setelah hipoksia dan paparan terhadap beberapa
toksin. Kalsium sitosol bebas dalam keadaan normal diatur oleh transporter kalsium yang
bergantung pada ATP dengan kadar 10.000 kali lebih rendah daripada kadar kalsium
ekstrasel atau dari sekuester mitokondria intrasel dan kalsium ER. Iskemia dan beberapa
toksin akan menyebabkan meningkatnya kadar kalsium sitosol, mula-mula karena
keluarnya Ca2+ dari tempat penimbunan intrasel, dan kemudian berakibat peningkatan
masuknya aliran Ca2+ melalui membran plasma. Peningkatan Ca2+ sitosol akan
mengaktifkan sejumlah enzim, dengan efek potensial merugikan pada sel termasuk enzim
ini ialah fosfolipid (yang mengakibatkan kerusakan membran), protease (yang merusak
membran dan protein sitoskeletal), endonuklease (yang menyebabkan fragmentasi DNA
dan kromatin), dan adenosin trifosfatase (ATPase) (yang mempercepat deplesi ATP).
Peningkatan kadar Ca2+ intrasel akan memicu apoptosis, melalui aktivasi langsung
kaspase dan peningkatan permeabilitas mitokondria.
• Akumulasi spesies oksigen reaktif modifikasi kovalen protein sel, lipid, asam nukleat
•Peningkatan permeabilitas membran sel: mempengaruhi membran plasma, membran
lisosom, membran mitokondria, biasanya berakhir dengan nekrosis
3. Nekrosis ditandai dengan adanya perubahan pada sitoplasma dan inti sel yang mengalami
jejas
• Perubahan sitoplasma. Sel nekrotik akan menunjukkan peningkatan warna eosin
(contoh warna merah jambu dari zat warna eosin E pada pulasan hematoksilin dan eosin
[H&E]), terjadi sebagian oleh karena peningkatan ikatan eosin dengan protein sitoplasma
yang mengalami denaturasi dan akibat hilangnya warna basofil yang biasanya dijumpai
pada asam ribonukleat (RNA) pada sitoplasma (basofil adalah warna biru pada
pewarnaan hematoksilin H pada "H&E"). Dibandingkan dengan sel viabel maka sel ini
memberikan gambaran jernih, homogen terutama akibat hilangnya partikel glikogen.
Gambaran mielin lebih mencolok pada sel nekrotik dibandingkan saat jejas reversibel.
Apabila enzim telah mencerna organel sitoplasmik, sitoplasma bervakuol dan mirip
gambaran seperti "digigit rayap". Dengan elektron mikroskop sel nekrotik ditandai
dengan diskontinuitas pada plasma dan membran organel, dilatasi mencolok pada
mitokondria dengan gambaran benda amorf, kerusakan lisosom dan gambaran mielin
dalam sitoplasma.
• Perubahan inti. Perubahan inti berbentuk satu dari tiga buah pola yang semua
disebabkan oleh kerusakan DNA dan kromatin. Warna basofil dari kromatin akan
memudar (kariolisis), kemungkinan terjadi sekunder akibat aktivitas deoksiribonuklease
(DNase). Gambaran kedua adalah piknosis, berupa inti yang mengecil dan warna basofil
meningkat; DNA berubah menjadi suatu massa padat melisut. Gambaran ketiga adalah
karioreksis, inti piknotik mengalami fragmentasi. Dalam satu atau dua hari inti sel yang
mati akan menghilang. Gambaran mikroskop elektron menunjukkan perubahan inti yang
berakhir dengan disolusi inti.
• Nasib sel nekrotik. Sel nekrotik dapat bertahan beberapa saat atau kemudian dicerna
oleh enzim dan menghilang. Sel mati akan diganti oleh benda mielin yang akan
difagositosis oleh sel lain atau mengalami degradasi menjadi asam lemak. Asam lemak
ini akan mengikat garam kalsium, mengakibatkan sel mati mengalami proses klasifikasi.

• Nekrosis koagulatifa. Merupakan jenis nekrosis yang arsitektur jaringannya tetap


dipertahankan untuk beberapa hari. Jaringan yang terkena mempunyai bentuk padat.
Kemungkinan jejas merusak tidak hanya protein tetapi juga enzim, sehingga tidak terjadi
proteolisis sel mati; akibatnya sel menjadi eosinofilik tanpa nukleus dan bisa bertahan
beberapa hari hingga beberapa minggu. Leukosit akan menuju tempat nekrosis dan sel
mati akan dicerna oleh enzim lisosom dari leukosit. Sisa-sisa sel akan dihilangkan
melalui proses fagositosis. Nekrosis koagulatif adalah karakteristik infark (daerah
nekrosis iskemik) dan terjadi pada semua organ padat kecuali otak.

• Nekrosis liquefaktifa dijumpai pada infeksi bakteri setempat, atau kadang-kadang


infeksi jamur, karena mikroba akan mengakibatkan akumulasi sel radang dan enzim
leukosit yang mencerna ("liquefy") jaringan. Karena alasan tertentu, kematian akibat
hipoksia sel dalam sistem saraf pusat sering mengakibatkan nekrosis liquefaktifa. Apa
pun patogenesisnya, sel mati seluruhnya akan dicerna sehingga jaringan berubah menjadi
massa yang cair. Akhirnya jaringan tersebut akan dihilangkan oleh fagosit. Apabila
proses ini terjadi pada radang akut, seperti pada infeksi bakteri, terbentuk cairan berwarna
kuning kental dan disebut nanah. Walaupun nekrosis gangrenosa bukan merupakan
gambaran tertentu sel yang mati, terminologi ini masih dipakai pada keadaan klinis
sehari-hari. Kelainan tersebut terjadi pada tungkai terutama tungkai bawah yang
mengalami kekurangan aliran darah dan terjadi nekrosis koagulatifa meliputi berbagai
lapisan jaringan. Apabila kemudian diikuti infeksi bakteri, nekrosis koagulatifa akan
berubah menjadi nekrosis liquefaktifa dan akan didatangi oleh leukosit (mengakibatkan
keadaan yang disebut gangren basah). Nekrosis kaseosa, sering dijumpai pada fokus
infeksi tuberkulosa. Kaseosa berarti "mirip keju" menyatakankan gambaran putih
kekuning-kuningan pada daerah nekrosis yang rapuh Pada gambaran mikroskopik fokus
nekrotik menunjukkan kumpulan sel yang berfragmentasi dan sel yang hancur dengan
gambaran merah muda granuler pada pewarnaan jaringan H&E. Berbeda dengan nekrosis
koagulatifa, arsitektur jaringan dirusak secara menyeluruh dan gambaran sel tidak dapat
dikenal lagi. Daerah nekrosis kaseosa biasanya dikelilingi oleh jaringan radang;
gambaran ini merupakan gambaran khas dari fokus radang yang disebut granuloma.
• Nekrosis lemak merupakan daerah setempat yang mengalami destruksi lemak, suatu
kelainan khas akibat pelepasan enzim lipase pankreas yang teraktifkan ke dalam jaringan
pankreas dan rongga peritoneum. Hal ini terjadi pada keadaan darurat abdomen dan
dikenal sebagai pankreatitis akut. Pada kelainan ini enzim pankreas yang keluar dari sel
asinus dan duktusakan mencairkan sel lemak peritoneum, dan lipase akan memecah ester
trigliserida pada sel lemak. Asam lemak yang terbentuk akan mengikat kalsium dan
menghasilkan daerah putih seperti kapur (saponifikasi lemak).
• Nekrosis fibrinoid merupakan nekrosis khusus, tampak dengan mikroskop cahaya,
umumnya terjadi pada reaksi imun dimana kompleks antigen dan antibodi mengendap
pada dinding arteri. Endapan kompleks imun bersama dengan fibrin yang keluar dari
pembuluh, akan memberikan gambaran merah muda amorf yang mencolok pada sediaan
H&E dan disebut fibrinoid (mirip fibrin) oleh dokter spesialis patologi Penyakit akibat
gangguan imunologi (misal: poliarteritis nodosa).
4. Respon Sel terhadap Infeksi/Stress
Adaptasi adalah perubahan reversibel dari jumlah, ukuran, fenotipe, aktivitas metabolit
atau fungsi sel dalam memberikan respons terhadap perubahan lingkungan. Adaptasi
fisiologis umumnya merupakan respons sel terhadap stimulus normal oleh hormon atau
mediator kimia endogen (misal: pembesaran payudara dan uterus selama kehamilan
akibat pengaruh hormon). Adaptasi patologis merupakan respons terhadap stres yang
memungkinkan sel untuk menyesuaikan struktur dan fungsi sehingga dapat menghindari
jejas. Adaptasi tersebut dapat terjadi dalam bentuk yang berbeda-beda.

Jejas sel dapat terjadi mulai dari trauma fisis pada kecelakaan kendaraan bermotor hingga
defek sebuah gen yang mengakibatkan enzim tidak berfungsi pada suatu penyakit
metabolit. Umurnya stimulus yang merusak itu dapat dikelompokkan dalam kategori
berikut.

Kekurangan Oksigen

- Hipoksia, atau defisiensi oksigen, mengganggu respirasi erobik oksidatif dan


merupakan penyebab jejas dan kematian sel yang sangat penting dan tersering.
Hipoksia perlu dibedakan dengan iskemia yang merupakan berkurangnya suplai
darah ke jaringan akibat terganggunya aliran arteri atau menurunnya aliran vena.
Apabila iskemia merupakan penyebab hipoksia tersering, defisiensi oksigen juga
dapat terjadi karena oksigenasi yang tidak memadai, misalnya pada pneumonia, atau
pada menurunnya kemampuan darah membawa oksigen, contohnya pada anemi
akibat kekurangan darah atau keracunan karbon monoksida (CO). (CO membentuk
kompleks stabil dengan hemoglobin yang mencegah ikatan dengan oksigen).
- Agen Kimia Peningkatan jumlah beberapa zat kimia yang bisa mengakibatkan jejas
sel mulai dikenal; zat yang dijumpai sehari-hari pun misalnya glukosa, garam,
maupun air apabila diserap atau diberikan secara berlebihan akan menganggu
lingkungan osmotik sehingga mengakibatkan jejas sel atau kematian sel. Agen yang
biasanya dikenal sebagai racun akan mengakibatkan kerusakan sel dengan
mengganggu permeabilitas membran, homeostasis osmotik, dan integritas dari enzim
atau kofaktor dan kemudian paparan pada racun tersebut dapat mengakibatkan
kematian seluruh organisme. ada agen yang berpotensi toksik yang dijumpai sehari-
hari dalam lingkungan; termasuk di antaranya polutan udara, insektisida, CO, asbes,
dan "stimulan sosial" misalnya etanol. Banyak obat-obatan dapat mengakibatkan jejas
pada sel atau jaringan pada pasien yang sensitif atau apabila dipakai berlebihan atau
tidak tepat. Oksigen pun apabila dipakai dengan tekanan tinggi bisa merupakan racun.

- Agen penyebab infeksi bervariasi mulai dari yang berukuran virus submikroskopik
hingga cacing pita yang panjangnya beberapa meter; di antaranya adalah riketsia,
bakteri, jamur, dan protozoa.
- Reaksi Imunologi
Walaupun sistem imun melindungi tubuh terhadap mikrobakteri patogen, reaksi imun
juga dapat mengakibatkan cedera sel dan jaringan. Contoh reaksi imun yang
merugikan adalah reaksi autoimun terhadap jaringannya sendiri dan reaksi alergi
terhadap substansi lingkungan pada penderita dengan gangguan genetik.
- Gangguan genetik dapat mengakibatkan kelainan patologis yang mencolok seperti
malformasi kongenital berhubungan dengan sindrom Down atau kelainan ringan
seperti pergantian satu asam amino pada hemoglobin S yang mengakibatkan anemia
sel sabit (sickle).Defek genetik dapat mengakibatkan jejas sel karena defisiensi
protein fungsional seperti defisiensi protein fungsional yang menyebabkan gangguan
metabolisme bawaan, atau penimbunan beberapa kerusakan DNA atau kesalahan
pelipatan protein, yang keduanya bisa mengakibatkan kematian sel apabila terjadi
dalam proses perbaikan. Variasi genetik (polimorfisme) ikut menyebabkan timbulnya
berbagai penyakit dan dapat mengakibatkan kerentanan sel terhadap jejas akibat zat
kimia atau pengaruh lingkungan lain.  
- Imbalan Nutrisi
Pada perkembangan dunia yang maju ini defisiensi nutrisi tetap menjadi penyebab
tersering jejas pada sel. Kekurangan protein kalori pada negara yang sedang
berkembang merupakan contoh yang mencolok; defisiensi vitamin tertentu dapat
dijumpai pada negara berkembang pun dengan standar hidup yang tinggi. Amat ironis
bahwa gangguan nutrisi dan bukan kekurangan nutrisi merupakan penyebab penting
pada morbiditas dan mortalitas; contoh obesitas akan meningkatkan diabetes melitus
tipe 2. Juga, diet yang mengandungi lemak hewan diduga kuat akan mengakibatkan
aterosklerosis dan kerentanan yang meningkat terhadap kelainan lain termasuk
kanker.
- Agen Fisis
Trauma, suhu yang ekstrem, radiasi, syok listrik dan perubahan yang tiba-tiba pada
tekanan atmosfir mengakibatkan efek yang luas pada sel.
-  Penuaan pada sel akan mengakibatkan gangguan replikasi dan kemampuan
perbaikan pada sel dan jaringan. Seluruh perubahan ini bisa mengakibatkan
menurunnya kemampuan untuk berespons terhadap kerusakan sel dan kemudian bisa
berakhir dengan kematian sel dan organisme.

Macam-Macam Adaptasi Sel terhadap Infeksi/Stress

• Hipertrofia: penambahan ukuran sel dan organ, sering merespons terhadap beban kerja
yang bertambah; diinduksi oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan akibat stres mekanik
atau stimulus lain; terjadi pada jaringan yang tidak mampu melakukan pembelahan sel.
Hipertrofia dapat terjadi secara fisiologis atau patologis dan disebabkan oleh kebutuhan
fungsional yang meningkat atau stimulasi faktor pertumbuhan atau hormonal.

• Pembesaran fisiologis uterus selama kehamilan terjadi karena hipertrofia otot polos dan
hiperplasia otot polos akibat pengaruh estrogen. Keadaaan berlawanan dalam respons
terhadap tuntutan meningkat terjadi pada otot serat lintang di otot skeletal dan jantung
yang hanya dapat melakukan hipertrofia karena set otot dewasa mempunyai kapasitas
bertambah yang terbatas, sehingga seorang atlet angkat besi pembesaran ototnya karena
proses hipertrofia.

• Contoh hipertrofia sel patologis adalah pembesaran jantung akibat hipertensi atau
penyakit katup aorta

• Hiperplasia: penambahan jumlah sel untuk merespons hormon dan faktor pertumbuhan
lain; terjadi pada jaringan yang mempunyai sel yang mampu membelah atau mempunyai
persediaan cukup sel punca (stem).

Hiperplasia dapat terjadi fisiologis ataupun patologis. Pada kedua keadaan proliferasi sel
dirangsang oleh faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel.

• Dua jenis hiperplasia fisiologis ialah: (1) hiperplasia hormonal, contoh pada proliferasi
epitel kelenjar-kelenjar payudara saat pubertas dan saat kehamilan dan (2) hiperplasia
kompensatorik, keadaan dimana jaringan sisa akan bertambah setelah pengeluaran atau
hilangnya bagian dari suatu organ. Contoh apabila sebagian organ hati direseksi, aktivitas
mitosis pada sel yang tersisa akan dimulai dalam waktu 12 jam, sampai terjadi pemulihan
hati mencapai berat normal semula. Stimulus untuk hiperplasia pada proses ini adalah
faktor pertumbuhan polipeptida yang dihasilkan oleh sel hati dan juga oleh sel non
parenkim di hati. Setelah proses restorasi jaringan hati, proliferasi sel akan dihentikan
oleh berbagai inhibitor pertumbuhan.

• Umumnya hiperplasia patologis disebabkan oleh stimulus hormon dan faktor


pertumbuhan yang meningkat. Contoh setelah siklus haid normal akan terjadi
pertambahan proliferasi epitel uterus yang biasanya dipengaruhi ketat oleh hormon
hipofisis dan hormon estrogen ovarium dan dihambat oleh progesteron. Namun apabila
terjadi gangguan keseimbangan estrogen dan progesteron akan terjadi hiperplasia
endometrium, yang merupakan penyebab tersering dari gangguan siklus haid. Hiperplasia
juga merupakan respons penting sel jaringan ikat pada penyembuhan Iuka, di mana
proliferasi fibroblas dan pembuluh darah menopang terjadinya pemulihan jaringan. Pada
proses ini faktor pertumbuhan dihasilkan oleh sel darah putih (leukosit) dalam respons
terhadap jejas dan matriks ekstrasel. Rangsangan faktor pertumbuhan juga terjadi pada
hiperplasia yang dikaitkan dengan infeksi virus; contoh virus papiloma yang
mengakibatkan kutil kulit dan lesi mukosa yang terjadi atas hiperplasia epitel. Pada
keadaan ini faktor pertumbuhan disandi oleh gen virus atau gen sel pejamu yang terkena
infeksi.

Hal penting pada semua keadaan di atas, proses hiperplasia tetap terkendali; apabila
sinyal yang memulai kejadian itu menghilang, maka hiperplasia juga akan berhenti.
Kemampuan merespons terhadap mekanisme regulasi normal ini yang membedakan
hiperplasia patologis dengan kanker.

•Atrofia: melisutnya ukuran sel dan organ, akibat suplai nutrien yang kurang atau
tidak/kurang digunakan; dikaitkan dengan menurunnya sintesa blok pembangun sel dan
meningkatnya kerusakan organel sel.

Mekanisme atrofia merupakan kombinasi antara sintesa protein yang menurun dan
degradasi protein dalam sel.

• Sintesa protein menurun karena aktivitas metabolit menurun.

• Degradasi protein sel terutama terjadi melalui jalur ubiquitinproteasome. Defisiensi


nutrien dan kurang dipakai akan mengaktifkan ligase ubiquitin, yang akan
menggabungkan beberapa peptida ubiquitin kecil dengan protein sel agar terjadi
degradasi dalam proteasomes. Jalur ini diperkirakan berperan pada peningkatan
proteolisis pada berbagai kondisi katabolik, termasuk keadaan kaheksia pada kanker.

• Pada banyak keadaan, atrofia juga diiringi dengan peningkatan autofagia, yang
meningkatkan vakuol autofagia. Autofagia ("memakan diri sendiri") merupakan proses
yaitu sel yang kelaparan akan memakan komponennya sendiri dalam usaha untuk
bertahan hidup.

•Metaplasia: Metaplasia adalah perubahan reversibel yaitu satu jenis sel dewasa (sel
epitel atau mesenkim) digantikan oleh sel dewasa jenis lain. Dalam adaptasi sel ini, suatu
sel yang sensitif terhadap suatu stres tertentu diganti oleh sel lain yang lebih mampu
bertahan terhadap lingkungan yang tidak menopang. Metaplasia diperkirakan terjadi
karena sel punca (stem) diprogram kembali agar mengikuti jalur baru dan bukan
perubahan fenotipe (perubahan diferensiasi) daripada set yang telah mengalami
diferensiasi.

Metaplasia epitel ditunjukkan dengan perubahan epitel skuamosa yang terjadi pada epitel
saluran napas seorang perokok menahun. Sel epitel kolumnar bersilia normal pada trakea
dan bronkus akan diganti setempat atau mengenai daerah luas dengan epitel berlapis
skuamosa. Epitel berlapis skuamosa yang tebal ini dapat bertahan terhadap zat kimia
yang membahayakan pada asap rokok dibandingkan epitel bronkus semula yang tidak
mampu bertahan. Walaupun epitel skuamosa metaplastik mempunyai daya pertahanan
hidup yang menguntungkan, beberapa mekanisme protektif menghilang, misalnya sekresi
mukus dan silia pembersih terhadap benda partikel. Walaupun epitel skuamosa
metaplastik mempunyai daya pertahanan hidup yang menguntungkan, beberapa
mekanisme protektif menghilang, misalnya sekresi mukus dan silia pembersih terhadap
benda partikel. Metaplasia epitel merupakan pedang bermata dua. Akibat lain, pengaruh
yang menginduksi perubahan metaplastik, apabila menetap, merupakan predisposisi
perubahan keganasan pada epitel.

Anda mungkin juga menyukai