Anda di halaman 1dari 20

SKENARIO 4

Borok Pada Kaki

Seorang anak perempuan berusia 8 tahun datang dibawa oleh orang tuanya ke Puskesmas
dengan keluhan borok di kaki kanan sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan borok disertai nyeri dan
kadang terasa gatal. Awalnya pasien mengalami luka akibat terjatuh dari pohon tapi tidak
langsung diobati. Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka akibat terjatuh dari pohon tetapi tidak
langsung diobati. Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka yang sudah kering dan pus (+), tepi
hiperemis. Dokter mengatakan bahwa lukanya telah mengalami infeksi oleh bakteri.

STEP 1 :

1. Borok : luka bernanah dan busuk akibat infeksi bakteri (KBBI). Salah satu penyakit yang
terjadi pada kulit atau selaput lendir yang diserta dengan erosi jaringan. Bentuknya
bermacam-macam dapat berbentuk lingkaran kecil atau besar dan dapat disertai dengan
rasa gatal.
2. Luka : cedera/lecet pada kulit karena kena barang yang tajam dan sebagainya (KBBI).
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang bisa disbabkan oleh
trauma benda tajam atau tumpu, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau
gigitan hewan.
3. Nyeri : berasa sakit (seperti ditusuk-tusuk jarum atau seperti dijepit pada bagian tubuh),
pengalaman fisik dan emosional yang diakibatkan karena luka pada jaringan.
4. Pus : cairan hasil proses peradangan yang terbentuk dari leukosit, debris selular, dan
cairan encer kaya protein yang dinamakan liquor puris (Dorland).
5. Hiperemis : merupakan suatu keadaan adanya volume darah yang berlebihan atau
pembendungan dalam pembuluh darah (kemerahan).
6. Bakteri : makhluk hidup terkecil bersel tunggal, terdapat di mana-mana, dapat
berkembang biak dengan kecepatan luar biasa dengan jalan membelah diri, ada yang
berbahaya dan ada yang tidak, dapat menyebabkan peragian, pembusukan, dan penyakit
(KBBI).

STEP 2 :
1. Mengapa dapat terjadi borok pada kaki pasien?
2. Bagaimana bisa terjadi infeksi bakteri?
3. Bagaiman respon tubuh pasien terhadap infeksi dari bakteri tersebut?

STEP 3&4 :

1. Karena terjadi proses penyembuhan dari jaringan kulit terhadap luka yang terjadi, proses
penyembuhan luka tersebut dapat juga menjadi sebuah mekanisme pemulihan jaringan
yang dapat terjadi dalam dua cara yakni:

• Regenerasi. Beberapa jaringan mampu mengganti sel yang rusak dan kembali menjadi
normal; proses ini disebut regenerasi. Regenerasi terjadi melalui proliferasi sel residu
(tidak kena jejas) yang tetap mempunyai kapasitas untuk membelah, dan pergantian
melalui sel punca. Hal ini merupakan respons khas terhadap jejas pada epitel yang
membelah dengan cepat di kulit dan usus, dan beberapa organ parenkim, yaitu hati.

• Pembentukan jaringan parut. Apabila jaringan cedera tidak mampu melakukan


regenerasi, atau jaringan penunjang mengalami kerusakan berat, pemulihan jaringan
terjadi dengan pengendapan jaringan ikat (fibrotik), suatu proses yang menghasilkan
jaringan parut. Walaupun jaringan parut tidak dapat melakukan fungsi sel parenkim yang
telah hilang, tetapi dapat memberikan stabilitas struktur semula. Istilah fibrosis sering
dipakai untuk menjelaskan deposisi ekstensif di paru, hati, ginjal, dan organ lain sebagai
akibat radang kronik, atau di miokardium setelah nekrosis ekstensif (infark). Apabila
fibrosis terjadi pada suatu rongga berisi cairan eksudat, hal tersebut disebut organisasi
(seperti organisasi pada pneumonia di paru).

Regenerasi Sel dan Jaringan

a. Pengaturan Proliferasi Sel


Beberapa sel berproliferasi selama pemulihan jaringan. Termasuk sisa-sisa jaringan
cedera (yang berupaya restorasi menjadi struktur normal), sel endotel vaskular (untuk
membentuk pembuluh darah baru untuk memberikan nutrisi yang dibutuhkan pada
proses pemulihan) dan fibroblas (sumber untuk jaringan ikat yang akan membentuk
jaringan parut untuk mengisi defek yang tidak dapat diperbaiki oleh proses
regenerasi). Proliferasi sel tersebut dipicu oleh protein yang disebut faktor
pertumbuhan. Produksi faktor pertumbuhan polipeptida dan kemampuan sel untuk
membelah karena respons faktor tersebut merupakan determinan penting untuk
keberhasilan proses pemulihan. Ukuran populasi sel normal ditentukan oleh
keseimbangan proliferasi sel, kematian sel akibat apoptosis, dan timbulnya sel baru
yang telah berdiferensiasi yang berasal dari sel punca. Proses penting pada proliferasi
sel ialah replikasi DNA dan mitosis.. Jadi roliferasi sel terjadi apabila sel tenang
memasuki siklus sel. Siklus sel diatur ketat oleh stimulator dan inhibitor dan terdapat
pula titik pengamatan untuk mencegah terjadinya replikasi sel abnormal.

b. Kapasitas Proliferasi Jaringan


Kemampuan jaringan untuk memulihkan diri sendiri dipengaruhi terutama oleh
kapasitas proliferatif intrinsik. Berdasarkan kriteria ini, jaringan tubuh dibagi atas tiga
kelompok.
• Jaringan labil (selalu membelah). Sel dari kelompok jaringan ini akan terus hilang
dan diganti oleh sel punca yang mengalami pematangan dan melalui proliferasi sel
matur. Termasuk sel labil ialah sel hematopoietik dari sumsum tulang dan semua sel
epitel permukaan, misalnya epitel berlapis gepeng kulit, rongga mulut, vagina, dan
serviks; epitel kubik duktus organ eksokrin (misal kelenjar liur, pankreas, traktus
biliaris); epitel kolumnar saluran cerna, uterus, dan tuba fallopii; dan epitel
transisional saluran kemih. Jaringan ini dapat segera beregenerasi selama dijumpai
cukup sel punca ditempat cadangan.
• Jaringan stabil. Sel kelompok ini bersifat diam dan hanya mempunyai aktivitas
replikasi terbatas pada keadaan normal. Tetapi, sel ini mampu berproliferasi
merespons jejas atau apabila ada jaringan yang rusak. Sel stabil membentuk jaringan
parenkim organ padat, misalnya hati, ginjal, dan pankreas. Termasuk pula sel endotel,
fibroblas, dan otot polos; proliferasi sel ini penting pada penyembuhan luka. Jaringan
stabil mempunyai kapasitas terbatas untuk regenerasi setelah jejas, kecuali hati.
• Jaringan permanen. Sel jaringan ini dianggap telah selesai berdiferensiasi lengkap
dan bersifat non-proliferatif setelah kelahiran. Termasuk kelompok ini ialah neuron
dan otot jantung. Sehingga jejas pada otak dan jantung bersifat ireversibel dan akan
menghasilkan jaringan parut, karena neuron dan miosit jantung tidak dapat
beregenerasi. Replikasi sel punca terbatas dan diferensiasi terjadi pada beberapa
daerah otak dewasa, dan ada bukti bahwa sel punca jantung dapat berproliferasi
setelah nekrosis miokardium. Namun, kapasitas proliferasi jaringan ini tidak
mencukupi untuk regenerasi jaringan akibat jejas. Otot lurik biasanya dikelompokkan
pada jaringan permanen, tetapi adanya sel satelit yang melekat pada lapisan
endomisium memungkinkan kapasitas regenerasi pada jaringan ini. Pada jaringan
permanen pemulihan didominasi dengan pembentukan jaringan parut.

c. Sel Punca (Stem Cell)


Karakteristik sel punca ialah mempunyai dua kemampuan: kapasitas mengganti diri
sendiri dan replikasi asimetrik. Replikasi asimetrik berarti apabila sebuah sel punca
membelah, satu sel anak akan mengikuti jalur berbeda dan menjadi sel matur, sedang
yang lainnya tetap merupakan sel punca tanpa diferensiasi yang mempertahankan
kemampuan kapasitas ganti diri sendiri. Karena adanya kemampuan penggantian diri
sendiri maka sel punca dapat mengatur populasi prekursor yang fungsional untuk
waktu yang lama. Walaupun bahan rujukan penuh dengan deskripsi sel punca, pada
dasarnya dijumpai dua jenis:
• Sel punca embrionik (sel ES) merupakan sel punca yang paling tidak
berdiferensiasi. Dijumpai pada bagian dalam sel blastosis dan mempunyai
kemampuan penggantian sel yang sangat ekstensif. Sehingga dapat bertahan dalam
kultur jaringan selama satu tahun tanpa mengalami diferensiasi. Pada lingkungan
kultur yang tepat, sel ES dapat diinduksi untuk membentuk sel khusus dari seluruh
tiga lapisan sel germinal, termasuk neuron, otot jantung, sel hati, dan sel pulau
pankreas.
• Sel punca dewasa, disebut juga sel punca jaringan, kurang berdiferensiasi dibanding
sel ES dan dijumpai di antara sel yang telah berdiferensiasi dalam organ atau
jaringan. Namun, seperti sel ES, mempunyai kapasitas penggantian diri sendiri,
walaupun agak terbatas. Sebaliknya, potensi lineasi (kemampuan untuk berobah
menjadi sel khusus) terbatas pada sel yang telah mengalami diferensiasi di jaringan
atau organ di mana sel tersebut dijumpai.

d. Faktor Pertumbuhan
Sebagian besar faktor pertumbuhan adalah protein yang menstimulasi ketahanan
hidup dan proliferasi sel tertentu, dan juga bisa mengakibatkan migrasi, diferensiasi,
dan respons seluler lain. Faktor pertumbuhan umumnya berfungsi dengan berikatan
pada reseptor spesifik di permukaan sel dan memicu sinyal biokimia dalam sel.
Reseptor protein umumnya terletak di permukaan sel, tetapi mungkin juga intrasel;
dalam hal ini ligan harus bersifat cukup hidrofobik agar dapat memasuki sel (misal
vitamin D, atau steroid dan hormon tiroid). Atas dasar jalur sinyal transduksi utama,
reseptor membran plasma dibagi menjadi tiga jenis;

e. Peran Matriks Ekstrasel pada Pemulihan Jaringan


ECM mengeluarkan air, mengatur turgor jaringan lunak dan mineral, sehingga tulang
menjadi kaku. Juga mengatur proliferasi, gerak dan diferensiasi sel sekitarnya,
dengan mensuplai substrat untuk adhesi sel, migrasi dan berfungsi sebagai tempat
penyimpanan faktor pertumbuhan. ECM terjadi dalam dua bentuk dasar: matriks
interstisium dan membran basalis:
• Matriks interstisium: ECM jenis ini dijumpai di rongga antar sel di jaringan ikat,
dan di antara epitel dan jaringan penunjang vaskular dan struktur otot polos. Disintesa
oleh sel mesenkim (misal fibroblas) dan juga cenderung membentuk gel amorfus tiga
dimensi. Konstitusi utama ialah kolagen fibril dan non fibril, juga fibronektin, elastin,
proteoglikan, hialuronat, dan elemen lain (dibahas kemudian).
• Membran basalis: Matriks interstitium yang tersusun acak di jaringan ikat menjadi
terorganisasi disekitar sel epitel, sel endotel, dan sel otot polos, membentuk membran
basalis. Membran basalis terletak di bawah epitel dan disintesis oleh epitel di atasnya
dan sel mesenkim di bawahnya, cenderung membentuk jaringan dengan susunan
mirip "kawat ayam".

Komponen Matriks Ekstrasel Ada tiga komponen dasar ECM:


(1) protein struktural fibrosa seperti kolagen dan elastin, yang kuat dan dapat
membentuk kumparan;
(2) gel dengan hidrasi air seperti proteoglikan dan hialuronat, yang memungkinkan
lentur dan berminyak; dan
(3) glikoprotein adhesif yang menghubungkan elemen matriks satu dengan lainnya
dan dengan sel.

Fungsi Matriks Ekstrasel


• Penopang mekanis untuk menjadi jangkar sel dan migrasi sel dan mempertahankan
polaritas sel.
• Mengatur proliferasi sel melalui ikatan dan penampilan faktor pertumbuhan dan
sinyal melalui reseptor kelompok integrin. Jenis protein ECM dapat mempengaruhi
derajat diferensiasi sel di jaringan terutama melalui integrin sel permukaan.
• Penopang kerangka dasar untuk pembaharuan sel. Karena untuk mempertahankan
struktur jaringan normal dibutuhkan membran basalis atau penopang kerangka
stroma, maka integritas membran basalis atau stroma sel parenkim menjadi sangat
penting untuk regenerasi jaringan yang telah terorganisasi. Sehingga walaupun sel
labil dan sel stabil mampu beregenerasi, namun kerusakan ECM akan mengakibatkan
kegagalan jaringan membentuk jaringan parut untuk regenerasi dan pemulihan.
• Pengadaan lingkungan mikro jaringan. Membran basalis berperan sebagai
penghubung antara epitel dan jaringan ikat di bawahnya dan juga membentuk bagian
dari aparat filtrasi di ginjal.

Pembentukan Jaringan Parut


a. Tahapan Pembentukan Jaringan Parut
Pemulihan dengan pembentukan jaringan ikat terdiri atas proses sekuensial
setelah respons radang;
• Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis)
• Migrasi dan proliferasi fibroblas dan deposisi jaringan ikat yang bersama dengan
pembuluh darah yang banyak dan leukosit yang tersebar, berwarna merah muda
dan memberikan gambaran granuler sehingga disebut jaringan granulasi.
• Maturasi dan reorganisasi jaringan ikat (remodel) menghasilkan jaringan parut
yang stabil.
b. Angiogenesis
Angiogenesis ialah proses pembentukan pembuluh darah baru dari pembuluh
yang telah ada, terutama vena. Merupakan proses yang sangat penting pada
pemulihan luka di tempat jejas, untuk pembentukan kolateral di daerah iskemia,
dan menyebabkan tumor dapat bertambah besar walaupun suplai darah terbatas.
• Vasodilator terjadi karena respons terhadap NO dan pertambahan permeabilitas
yang diinduksi oleh VEGF.
• Lepasnya perisit dari permukaan.
• Migrasi sel endotel menuju tempat jejas.
• Proliferasi sel endotel dibelakang sel yang bermigrasi didepannya.
• Proses penyesuaian bentuk menjadi pipa kapiler.
• Pengumpulan sel periendotel (perisit untuk kapiler kecil dan sel otot polos untuk
pembuluh darah yang lebih besar) untuk membentuk pembuluh matur.
• Supresi proliferasi endotel dan migrasi serta deposisi membran basalis

Proses angiogenesis melibatkan berbagai faktor pertumbuhan, interaksi antar sel,


interaksi dengan protein ECM, dan enzim jaringan. Faktor Pertumbuhan yang
Terlibat pada Angiogenesis Beberapa faktor pertumbuhan berperan pada proses
angiogenesis; yang terpenting ialah VEGF dan faktor pertumbuhan dasar
fibroblast.
c. Pengaktifan Fibroblas dan Penimbunan Jaringan Ikat
Pengendapan jaringan ikat pada jaringan parut terjadi melalui dua tahapan: (1)
migrasi dan proliferasi fibroblas di tempat cedera dan (2) penimbunan protein
ECM yang diproduksi oleh sel tersebut. Pengumpulan dan pengaktifan fibroblas
untuk mensintesa protein jaringan ikat dipicu oleh berbagai fakor pertumbuhan,
termasuk PDGF, FGF-2 (dibicarakan terdahulu), dan TGF-β. Sumber utama
faktor ini ialah sel radang, terutama makrofag, yang berada di tempat jejas dan di
jaringan granulasi. Di tempat terjadinya radang juga dijumpai banyak sel mast,
dan dalam lingkungan kemotaksis yang sesuai, limfosit juga dijumpai. Masing-
masing jenis sel dapat mensekresi sitokin dan faktor pertumbuhan yang berperan
pada proliferasi dan pengaktifan fibroblas.
d. Penyesuaian Bentuk Jaringan Ikat
Setelah sintesa dan deposisi, jaringan ikat pada jaringan parut akan dilanjutkan
dengan proses pengubahan dan penyesuaian bentuk. Sehingga hasil akhir proses
penyembuhan adalah keseimbangan antara sintesa dan degradasi protein ECM.
Telah dibahas sel dan faktor yang mengatur sintesa ECM. Degradasi kolagen dan
komponen ECM lain terjadi karena kelompok metalloproteinases matriks
(MMPs), yang bergantung pada ion zinc untuk aktivitasnya. MMPs harus
dibedakan dengan elastase neutrofil, kathepsin G, plasmin, dan proteinase serin
lain yang juga dapat mendegradasi ECM tetapi bukan metalloenzymes. Termasuk
MMPs ialah kolagen interstisium, yang menghasilkan kolagen fibril (MMP-1, -2,
dan -3); gelatinase (MMP-2 dan -9), yang akan mendegradasi kolagen amorfik
dan fibronektin; dan stromelysin (MMP-3, -10, dan -11), yang akan mendegradasi
sejumlah unsur ECM, termasuk proteoglikan, laminin, fibronektin, dan kolagen
amorfik. Sehingga selama proses pembentukan jaringan parut, MMPs diaktifkan
untuk penyesuaian bentuk ECM yang dideposit, dan kemudian aktivitasnya akan
dihentikan oleh TIMPs.

Faktor yang Mempengaruhi Pemulihan Jaringan


Pemulihan jaringan dapat terhambat akibat bermacam-macam pengaruh, sehingga
menurunkan kualitas proses pemulihan. Variabel yang mempengaruhi pemulihan bisa
ekstrinsik (misal infeksi) atau intrinsik terhadap jaringan yang mengalami jejas.
Penyebab terpenting ialah infeksi dan diabetes.
o Infeksi merupakan penyebab terpenting yang menghambat proses pemulihan.
Infeksi akan memperpanjang proses radang dan berpotensi menambah luas tempat
cedera.
o Nutrisi berperan penting pada pemulihan, defisiensi protein, misalnya, pada
khususnya defisiensi vitamin C akan menghambat sintesa kolagen dan
menghambat proses penyembuhan.
o Glukokortikoid (steroids) dikenal mempunyai efek anti-radang, pemberian obat
ini mengakibatkan lemahnya jaringan parut karena inhibisi produksi TGF-β dan
pengurangan fibrosis.
o Variabel mekanik seperti tekanan lokal yang meningkat atau torsi dapat
mengakibatkan luka tertarik menjadi pecah (dehisce).
o Perfusi buruk akibat arteriosklerosis dan diabetes atau karena obstruksi drainase
vena (misal varices) juga akan menghambat penyembuhan.
o Benda asing misal fragmen besi, kaca, atau tulang juga akan mengganggu
penyembuhan.
o Tipe dan luasnya jejas jaringan mempengaruhi proses pemulihan. Restorasi
lengkap hanya dapat terjadi pada jaringan yang terdiri atas sel stabil dan sel labil,
kerusakan jaringan yang terdiri atas sel permanen tidak dapat dihindarkan akan
mengakibatkan jaringan parut seperti pada infark miokardium.
o Lokasi jejas dan sifat jaringan tempat jejas berada juga menentukan. Contoh,
inflamasi yang berasal dari jaringan berongga (misalnya pleura, peritoneum, atau
rongga sinovia) akan menyebabkan terbentuknya eksudat yang ekstensif.
Pemulihan terjadi dengan pencernaan eksudat, diinisiasi oleh enzim proteolitik
leukosit dan resorpsi eksudat yang menjadi encer. Hal ini disebut resolusi, dan
biasanya, apabila tidak ada nekrosis sel, arsitektur normal jaringan akan pulih
kembali. Apabila dijumpai akumulasi eksudat yang banyak, akan terjadi
organisasi eksudat. Jaringan granulasi tumbuh di dalam eksudat dan akan
terbentuk jaringan parut.
o Aberasi pertumbuhan sel dan produksi ECM dapat terjadi pada awal
penyembuhan luka. Contohnya, akumulasi kolagen yang berlebihan akan
mengakibatkan jaringan parut yang tumbuh menonjol ke atas, disebut keloid
(Gambar 2-32). Agaknya ada pengaruh keturunan pada timbulnya keloid, keadaan
ini lebih sering dijumpai pada orang Amerika asal Afrika. Penyembuhan luka juga
dapat menghasilkan jaringan granulasi yang berlebihan dan menonjol sampai di
atas permukaan jaringan kulit sekitarnya dan akan mengganggu proses
reepitelisasi. Jaringan tersebut disebut daging yang membanggakan ("proud
flesh") jaman dahulu, dan untuk restorasi kontinuitas epitel dibutuhkan kauterisasi
atau reseksi bedah jaringan granulasi tersebut.

Penyembuhan Luka Kulit


Penyembuhan luka kulit melibatkan regenerasi epitel dan pembentukan jaringan ikat
parut dan merupakan contoh prinsip umum yang berlaku untuk semua jaringan.
Bergantung pada sifat dan besarnya luka, dapat terjadi penyembuhan perprimam atau
penyembuhan persekundam.  

a. Penyembuhan Perprimam
Salah satu contoh sederhana pemulihan luka, ialah penyembuhan dari luka insisi
bedah yang bersih tanpa infeksi dan dijahit dengan benang. Hal ini disebut penyatuan
primer, atau penyembuhan perprimam. Insisi hanya akan mengakibatkan gangguan
lokal kontinuitas epitel membran basalis dan kematian terbatas sel epitel dan jaringan
ikat. Akibatnya, regenerasi epitel merupakan mekanisme utama pemulihan jaringan.
Suatu jaringan parut yang kecil terbentuk, tapi hanya ada pengerutan luka terbatas.
Ruang insisi yang kecil mulamula diisi dengan fibrin beku darah, kemudian segera
diganti oleh jaringan granulasi dan dilapisi epitel baru. Langkah pada proses ini ialah:

 Dalam 24 jam, neutrofil dijumpai pada tepi insisi, migrasi menuju bekuan fibrin.
Sel basal di tepi insisi epidermis akan memperlihatkan aktivitas mitosis yang
bertambah. Dalam 24 hingga 48 jam, sel epitel kedua tepi mulai bermigrasi dan
berproliferasi sepanjang dermis, mengendapkan komponen membran basalis
selama proses. Sel akan bertemu di garis tengah di permukaan di bawah sisa sel
yang cedera, membentuk lapisan epitel tipis yang kontinu.
 Pada hari ke 3, neutrofil telah digantikan oleh makrofag, dan jaringan granulasi
secara progresif mengisi ruang insisi. Serat kolagen sekarang tampak di tepi
insisi, tetapi letak memanjang dan tidak menghubungkan insisi. Proliferasi sel
epitel berlanjut, membentuk lapisan penutup epidermis.
 Pada hari ke 5, neovaskularisasi terbentuk lengkap dan jaringan granulasi
mengisi ruang insisi. Serat kolagen dijumpai makin banyak dan mulai
menghubungkan kedua tepi insisi. Tebal epidermis menjadi normal kembali dan
diferensiasi sel permukaan membentuk arsitektur epidermis matur dengan
keratinisasi di permukaan.
 Selama minggu kedua, terjadi akumulasi kolagen terus menerus dan proliferasi
fibroblas. Infiltrasi leukosit, edema, dan pembuluh darah yang meningkat
perlahan-lahan berkurang. Proses pemulihan yang panjang dimulai dengan
deposit kolagen dalam luka parut insisi dan regresi pembuluh darah.
 Pada akhir bulan pertama, jaringan parut mengandungi jaringan ikat seluler,
tanpa sel radang, dilapisi epitel epidermis normal. Namun, apendiks kulit yang
rusak pada garis insisi, hilang selamanya, tidak diganti. Kekuatan daerah luka
akan meningkat dengan berlalunya waktu, seperti akan dibicarakan kemudian.  
b. Penyembuhan Persekundam

Apabila kerusakan sel atau jaringan lebih ekstensif, misalnya pada luka yang luas,
pada tempat pembentukan abses, ulserasi, dan nekrosis iskemik (infark) di organ
parenkim, proses penyembuhan lebih kompleks dan melibatkan kombinasi regenerasi
dan pembentukan jaringan parut. Pada penyembuhan persekundam pada luka
kulit,juga disebut penyembuhan melalui penyatuan sekunder, reaksi radang lebih
intens, dan terjadi jaringan granulasi yang luas, dengan akumulasi ECM dan
pembentukan jaringan parut yang luas, diikuti dngan kontraksi luka dimediasi oleh
miofibroblas. Penyembuhan persekundam berbeda dengan penyembuhan perpriman
dalam beberapa aspek:

 Beku darah yang besar atau bekas sisa jaringan kaya fibrin dan fibronektin
terbentuk di permukaan luka.
 Inflamasi lebih intens karena defek luas dengan sisa jaringan nekrotik yang
banyak, eksudat, dan fibrin yang harus dibuang bertambah. Sebaliknya, defek
yang luas mempunyai potensi yang lebih besar untuk menimbulkan radang
sekunder akibat jejas.
 Defek yang besar membutuhkan volume jaringan granulasi yang besar untuk
mengisi rongga yang besar dan kerangka jaringan untuk proses pertumbuhan
epitel kembali. Volume jaringan granulasi yang besar akan mengakibatkan
jaringan parut yang luas.
 Penyembuhan persekundam berkaitan dengan kontraksi luka. Dalam 6 minggu,
sebagai contoh, defek kulit yang luas akan berkurang menjadi 5% hingga 10%
lebih kecil dari ukuran semula, terutama karena terjadinya kontraksi. Proses ini
dijelaskan dengan adanya miofibroblas, yang merupakan fibroblas, yang telah
dimodifikasi, yang mempunyai kemampuan berbagai fungsi ultrastruktural dan
fungsional sel otot polos.
2. Agen-agen penyebab infeksi
a. Prion
b. Virus
c. Bakteri
1. Gram Positif (+)
2. Gram Negatif (-) 2 d. Jamur
e. Parasit
1. Cacing bulat (nematoda)
2. Cacing pita (cestoda)
3. Cacing pipih (trematoda)

Agen penyebab infeksi


a. Prion : Protein pejamu abnormal
b. Virus : Hidup di intrasel dan bergantung pejamu, Replikasi dalam sel, mengganggu sel
khusus, mengganggu perkembangan sel tanpa menimbulkan inflamasi, menyerang
monosit.
c. Bakteri : Propiotik yang dilapisi membrane, menyerang neutrofil
d. Jamur : Mengandung dinding tebal
Proses Infeksi bakteri
e. Parasit : menyerang eosinofil
 Kontak langsung
 Toksin
 Menyebabkan respon imun pejamu yang walaupun ditunjukan pada penyerangan dan
menyebabkan juga kerusakan jaringan
Mekanisme Jejas oleh Bakteri
a. Virulensi Bakteri
Kerusakan jaringan pejamu oleh bakteri tegantung pada kemampuan bakteri untuk
melekat pada sel pejamu, menginvasi sel dan jaringan atau mengeluarkan toksin.
Bakteri patogen mempunyai gen virulen yang menyandi protein yang mempunyai
kemampuan tersebut. Gen virulen biasanya dijumpai berkelompok disebut
pathogenicity islands.
b. Melekatnya Bakteri pada Sel Pejamu
Molekul permukaan bakteri yang terikat pada sel pejamu atau pada matriks ekstrasel
disebut adhesins. Berbagai struktur pada permukaan terlibat dalam perlekatan
bermacam bakteri. Streptococcus pyogenes mempunyai protein F dan asam teichoic
yang menonjol dari dinding sel yang mengikat fibronektin pada permukaan sel
pejamu dan di dalam matriks ekstrasel. Bakteri lain mempunyai protein berupa
filamen disebut pili pada permukaannya. Tangkai pili dikonservasi secara struktural,
sedangkan asam amino pada ujung pili bervariasi dan menentukan spesifisitas ikatan
dari bakteri. Strains E. coli yang menyebabkan infeksi saluran kemih adalah unik
mengekspresi suatu P pilus spesifik, yang berikatan dengan (α1-4) gagal moiety yang
terekspresi pada sel urotelium. Pili pada bakteri N. gonorrhoeae mengatur perlekatan
bakteri dengan sel pejamu dan juga menjadi target respons antibodi pejamu. Variasi
dari tipe pili yang diekspresikan merupakan mekanisme penting di mana bakteri N.
gonorrhoeae menghindari respons imun.
c. Virulensi Bakteri Intrasel
Bakteri intrasel fakultatif biasanya menginfeksi sel epitel (Shigella dan enteroinvasive
E. coli), makrofag (M. tuberculosis, M. leprae), atau keduanya (S. typhi).
Pertumbuhan bakteri dalam sel memungkinkan bakteri tersebut menghindar dari
mekanisme efektor imun tertentu, seperti antibodi dan komplemen, atau memfasilitasi
penyebaran bakteri dalam tubuh, seperti saat makrofag membawa M. tuberculosis
dari paru menuju tempat lain. Bakteri mempunyai berbagai mekanisme untuk
memasuki sel pejamu. Beberapa bakteri memakai respons imun pejamu untuk
memasuki makrofag. Adanya antibodi atau komplemen C3b (opsonisasi) yang
melapisi bakteri menyebabkan terjadinya fagositosis bakteri oleh makrofag.
d. Toksin Bakteri
Endotoksin bakteri adalah lipopolisakarida (LPS) yang merupakan komponen
dari membran luar bakteri gram-negatif. LPS terdiri atas jangkar asam lemak rantai
panjang, disebut lipid A, berhubungan dengan inti rantai gula, keduanya sangat mirip
pada semua bakteri gram-negatif. Terlekat dengan inti gula adalah beberapa rantai
karbohidrat (antigen O), yang dipakai untuk menentukan serotipe strain bakteri. Lipid
A mengikat CD14 pada permukaan leukosit pejamu dan kompleks tersebut akan
berikatan dengan Toll-like receptor 4 (TLR4), suatu reseptor dari sistem imun bawaan
yang berperan sebagai pengenal pola dan mengirim sinyal untuk meningkatkan
aktivitas sel dan respons radang. Respons terhadap LPS dapat menguntungkan dan
dapat juga merugikan bagi pejamu.
Eksotoksin merupakan protein yang disekresi yang mengakibatkan jejas sel dan
penyakit. Mereka dapat diklasifikasi dalam kategori umum menurut mekanisme dan
lokasi kerjanya.
o Enzim. Bakteri mensekresi sejumlah enzim (protease, hyaluronidase, koagulase,
fibrinolisin) yang bekerja sesuai dengan substratnya in vitro, tetapi perannya pada
penyakit hanya diketahui pada beberapa kasus saja. Contoh, toksin eksofoliativa
merupakan protease yang dibuat oleh S. aureus, yang membelah protein yang
diketahui mengikat keratinosit, menyebabkan epidermis terlepas dari kulit yang
lebih dalam.
o Toksin yang meningkatkan sinyal intrasel atau jalur regulasi. Sebagian besar
toksin mempunyai komponen aktif (A) dengan aktivitas enzimatik dan komponen
(B) yang bersifat mengikat reseptor permukaan sel dan mengirimkan protein A ke
dalam sitoplasma sel. Efek dari toksin ini tergantung pada kemampuan mengikat
yang spesifik dari domain B dan jalur sel yang dipengaruhi oleh domain A.
Toksin A-B dibuat oleh banyak bakteri termasuk Bacillus anthracis, V. cholerae,
dan Corynebacterium diphtheriae. Toksin antraks mempunyai dua komponen
alternatif A, faktor edema (EF) dan faktor letal (LF), yang akan memasuki sel
setelah terjadinya ikatan dengan komponen B dan akan memulai beberapa efek
patologis yang berbeda.
o Superantigen menstimulasi sejumlah besar limfosit T dengan mengikat sisa dari
reseptor sel T, dan mengakibatkan proliferasi limfosit T yang masive serta
pengeluaran sitokin. Kadar sitokin yang tinggi akan mengakibatkan kebocoran
kapiler dan diikuti syok. Superantigen yang dibentuk oleh S. aureus dan S.
pyogenes menyebabkan sindrom syok toksik/ toxic shock syndrome (TSS).
o Neurotoksin diproduksi oleh Clostridium botulinum dan Clostridium tetapi akan
mencegah pengeluaran neurotransmiter, dan mengakibatkan kelumpuhan. Toksin
ini tidak mematikan neuron; tetapi; domain A menghasilkan protein yang terlibat
dalam sekresi neurotransmitter pada perbatasan sinapsis. Tetanus dan botulisme
dapat berakibat kematian karena kegagalan pernapasan disebabkan kelumpuhan
otot dada dan diafragma.
o Enterotoksin mempengaruhi saluran cerna dengan berbagai cara dan
menyebabkan beragam efek, termasuk mual dan muntah (S. aureus), diare encer
berlebihan (V. cholerae), atau diare dengan darah (C. difficile).
e. Efek Respon Imun Pejamu yang Merugikan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, respons imun pejamu terhadap mikroba
kadang-kadang mengakibatkan kerusakan jaringan. Reaksi radang granulomatosa
pada M. tuberculosis merupakan respons hipersensitif yang terlambat yang
memisahkan basil dan mencegah penyebaran, tetapi juga mengakibatkan kerusakan
jaringan (nekrosis kaseosa) dan fibrosis. Hal serupa terjadi pada kerusakan hati akibat
infeksi HBV dan HCV pada hepatosit yang disebabkan oleh respons imun terhadap
sel hati yang terinfeksi dan bukan efek sitopatik virus. Respons imun humoral juga
dapat mengakibatkan konsekuensi patologis. Contohnya, glomerulonefritis post
streptokokal, yang dapat terjadi setelah infeksi dengan S. pyogenes, disebabkan oleh
antibodi antistreptokokal yang mengikat antigen streptokokus untuk membentuk
kompleks imun, yang tertimbun pada glomerulus ginjal dan mengakibatkan nefritis.
Jadi, respons imun anti mikroba dapat memberikan efek menguntungkan atau efek
patologis.

3. Benda asing dapat merusak sel pejamu (virus, bakteri, jamur dan protozoa) detereminan
utama untuk tropisme jaringan ialah adalah contoh reseptor virus pada pejamu,virus
mempunyai permukaan spesifik permukaan selnya yang mengikat sel pejamu tertentu.
Banyak virus memakai reseptor sel yang normal pada pejamu,kemampuan virus untuk
bereflikasi didlam beberapa sel tertentu dan bukan sel yang lain bergantung pada adanya
faktor transkripsi spesifik sel yang menegenali elemen promotor virus.
Lingkungan fisis,misalnya zat kimia dan suhu, berkontribusi tropisme jaringan. Contoh
enterovirus melakukan reflikasi di usus, karena dapat tahan terhadap inaktivasi oleh asam
empedu dan enzim pencernaan. Sekali virus berada dalam sel pejamu, mereka akan
merusak atau mematikan sejumlah mekanisme.
Agen inaktif mengakibatkan infeksi dan kerusakan jaringan melalu tiga mekanisme :
 Dapat terjadi kontak atau masuk sel pejamu dan langsung mengakibatkan kematian sel.
 Mengeluarkan toksin yang dapat mematikan sel pada jarak tertentu, mengeluarkan
enzim yang mendegradasi komponen jaringan, atau merusak pembuluh darah dan
menyebabka nekrosis iskemik.
 Menyebabkan respon imun pejamu yang walaupun ditujukan pada penyerang,
menyebabkan juga kerusakan jaringan. Respons defensif pejamu mempunyai pengaruh
campuran. Dibutuhkan untuk melawan infeksi tetapi pada saat yang sama dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan

Anda mungkin juga menyukai