Abstrak
Seperti di beberapa negara demokrasi, populisme juga menjadi salah satu ciri politik
Indonesia. Meski tidak persis sama dengan model umum populisme di Barat, tokoh populis
Indonesia seperti Joko Widodo dan Prabowo Subianto memiliki daya tarik politik yang
tinggi. Keduanya menggunakan gaya populis pada pemilihan presiden 2014. Gerakan populis
lain yang kurang dikenal adalah populisme Islam yang memiliki akar sejarah panjang dan
berpegang pada Pilgub Jakarta 2017. Dalam konteks ini, populisme tidak mengancam
demokrasi bahkan dapat menyalurkan kepentingan langsung rakyat. Meski demikian, dalam
jangka panjang potensi ancaman populisme terhadap demokrasi tidak bisa dianggap remeh
terutama karena kecenderungan tokoh-tokoh populis yang cenderung otoriter untuk
menantang prinsip-prinsip demokrasi. Begitu pula kampanye populis yang masif dapat
memperkuat pembentukan identitas kelompok yang mengganggu relasi sosial di masyarakat.
PENDAHULUAN
Populisme telah menjadi salah satu bagian yang populer dalam mempelajari politik dan
demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Ada beberapa tulisan yang
menggunakan populisme sebagai pendekatannya. Marcus Mietzner dalam bukunya tentang
pemilihan presiden mengungkapkan bahwa baik Joko Widodo dan Prabowo menggunakan
populisme untuk memenangkan pemilihan Presiden 2014. Senada, Aspinall menulis tentang
bagaimana Prabowo bangkit sebagai calon presiden yang kuat dengan menggunakan
populisme. Kemudian Vedi Hadiz menulis buku tentang fondasi sosial dan sejarah
kebangkitan populisme Islam dan bagaimana populisme ini mengisi ketiadaan kritik kiri
terhadap kapitalisme di Indonesia. Senada dengan Hadiz, Jati mengemukakan bahwa
populisme Islam tumbuh di beberapa negara Islam untuk membebaskan umat Islam dari
ketimpangan ekonomi dan marginalisasi. Selain itu, Luky Djani dkk. al menulis tentang
munculnya gerakan kerakyatan di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang
merupakan koalisi kaum miskin, tokoh kerakyatan, aktivis masyarakat sipil dan aliansi
kelompok jaminan sosial. Jokowi memulai himbauan populisme ini dari tempat asalnya di
wilayah Solo kemudian pindah ke Jakarta dan kemudian ke tingkat nasional. Beberapa
analisis di media massa juga membahas misalnya munculnya populisme sayap kanan di
Indonesia. Populisme merupakan bagian dari dinamika demokrasi karena menjadi salah satu
alasan buruknya demokrasi dan diperparah oleh sistem oligarki. Dari tiga varian populisme
yang akan diuraikan dalam tulisan ini yaitu Joko Widodo, Prabowo dan populisme Islam,
ketiganya berpotensi mengganggu demokrasi.
POPULISME
Ada berbagai pengertian tentang populisme. Intinya, populisme lahir sebagai ekspresi
kesusahan dan protes rakyat terhadap sistem demokrasi yang semakin elitis dan oligarki.
Proses demokrasi yang ada dinilai seringkali tidak mewakili kepentingan rakyat dan
cenderung mewakili kepentingan elit oligarki dan birokrasi. Partai politik juga cenderung
oligarki dan tidak memenuhi janji kepada konstituennya. Oleh karena itu, gerakan populis
menganggap elit sebagai 'elit korup' dan populisme mewakili suara rakyat yang sebenarnya.
Populisme dianggap sebagai jalan keluar yang merepresentasikan suara rakyat yang kerap
muncul dan menguat seiring dengan lahirnya pemimpin yang kharismatik. Pemimpin mampu
memobilisasi dukungan rakyat dengan menggunakan gaya komunikasi efektif yang
mendekati kebutuhan rakyat. Ada tiga jenis populisme yang biasa dibahas. Yang pertama
adalah populisme sayap kiri radikal yang sebagian besar berkembang di Amerika Latin. Yang
kedua adalah populisme sayap kanan radikal di Eropa dan Amerika. Ketiga, populisme
partai-partai Islam yang dimulai dari Timur Tengah lalu berkembang ke Turki dan Indonesia.
POPULISME DI INDONESIA
Berkaca dari uraian di atas, setidaknya saat ini ada tiga macam gerakan populis yang
berkembang di Indonesia, yang secara ringkas bisa disebut populisme Jokowi, Prabowo dan
Front Pembela Islam (Front Pembela Islam-FPI). Alih-alih melihat mereka sebagai gerakan
ideologis, populisme mereka lebih tepat dilihat sebagai bagian dari strategi politik untuk
memperkuat posisi dan dukungan dalam pemilu. Ketiga populisme ini memiliki karakteristik
yang sama dalam hal daya tariknya kepada masyarakat dan dalam menggalang dukungan.
Namun dalam hal mendefinisikan siapa orang yang tertindas dan isu yang diangkat, mereka
berbeda satu sama lain.
Berbeda dengan populisme Jokowi, masyarakat dalam definisi Prabowo adalah kelompok
masyarakat tertindas seperti petani dan nelayan yang harus diselamatkan dengan program
afirmatif. Mereka adalah 'orang-orang nyata' sedangkan 'elit korup' dianggap bekerja sama
dengan cukong dan perusahaan internasional untuk mencari keuntungan di Indonesia. Meski
mengusung wacana anti asing, Prabowo kalah sukses dibanding Jokowi dalam
mengidentifikasikan dirinya dengan rakyat biasa terutama karena latar belakang politiknya
dan karena jarak yang sebenarnya ia buat dengan rakyat. Prabowo menampilkan dirinya
sebagai Sukarno yang mengusung suara rakyat namun pada saat yang sama ia juga tampil
sebagai tuan dengan segala fasilitas mewah yang dimilikinya. Dalam konteks tokoh populis,
Prabowo gagal menyebut dirinya sebagai wakil rakyat biasa. Ini sangat kontras dengan
Jokowi atau Duterte di Filipina, yang berasal dan merupakan bagian dari rakyat biasa.
Populisme yang dibawa oleh FPI sedikit banyak juga menggunakan jargon elit korup
yang berkolusi dengan pengusaha Tionghoa untuk menguasai Indonesia. Namun daya tarik
utama PFI adalah jargon agama untuk mempersatukan umat dari kafir. Dalam kasus
mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama, seorang minoritas Kristen dan Tionghoa serta
Gubernur Jakarta saat ini, dalam pemilihan Gubernur Jakarta, jargon agama digunakan secara
masif. Perpaduan antara populisme dengan otoritarianisme dan nativisme memiliki daya tarik
yang kuat dalam demonstrasi besar-besaran melawan Basuki. Selain dimobilisasi karena
alasan agama, masyarakat juga dibekali dengan dugaan penindasan oleh elit korup yang
berkolusi dengan orang asing asal China. Dalam definisi FPI, ummah adalah rakyat dan
suaranya dianggap suara rakyat untuk didengarkan secara langsung seperti pada zaman
Soeharto bahkan pengadilan pun harus tunduk pada suara rakyat. Dalam konteks ini,
keberhasilan Basuki, Gubernur Kristen dan Tionghoa membangun Jakarta, bagi pendukung
PFI dianggap anomali karena berbeda dengan anggapan bahwa Tionghoa Indonesia adalah
bagian dari kelompok elit yang selalu melakukan koalisi untuk menguasai ekonomi dan
sumber daya ekonomi.
Dalam beberapa kasus populisme di Indonesia dekat dengan populisme kanan di Eropa
tetapi tidak se-ekstrim itu. Jokowi, pada tingkat tertentu, mengklaim perlunya negara yang
kuat melawan ancaman asing tetapi definisi nasionalismenya tidak eksklusif. Sebaliknya,
populisme Prabowo dan populisme FPI pada tingkat tertentu berupaya menggabungkan
otoritarianisme dan nativisme seperti di Eropa. Dalam hal otoriterisme, Prabowo misalnya
ingin mengatur masyarakat agar lebih tertib. Para pengikutnya mengidolakan pemimpin yang
tegas dan berwibawa, dan mereka menilai Indonesia belum siap berdemokrasi. Mereka juga
mengharapkan sistem yang lebih tertib seperti Orde Baru. Dari segi nativisme, Prabowo
dinilai mewakili dan membela kelompok masyarakat adat terhadap kelompok non adat yang
menguasai perekonomian. Pandangan ini berawal dari perjalanan politik Prabowo yang
dianggap membela kelompok masyarakat adat meski dalam kenyataannya anggapan tersebut
masih bisa diperdebatkan.
Singkatnya, populisme di Indonesia mirip dengan populisme di tempat lain dalam hal
upaya untuk menunjukkan bahwa ada ‘golongan rakyat’ melawan 'elit korup'. Tetapi dalam
beberapa hal definisi tentang siapa orang-orang murni dan siapa elit korup, berbeda dari satu
gerakan populis ke gerakan populis lainnya. Populisme di Indonesia juga sulit untuk
dikelompokkan menjadi dua kerangka populis umum yaitu populisme kiri dan kanan. Selain
itu, populisme Islam tidak banyak dibicarakan dalam banyak tulisan di luar negeri. Populisme
Islam juga memiliki definisi sendiri tentang orang, yang bertolak dari definisi umat khusus
sebagai orang yang suci melawan penguasa kafir. Pertanyaan selanjutnya yang akan dibahas
pada bagian selanjutnya adalah apakah populisme semacam ini akan berdampak negatif
terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
Dari tiga gerakan kerakyatan yang dibahas di sini, semuanya berpotensi mengancam
demokrasi di Indonesia. Populisme Prabowo, misalnya, mengandung otoritarianisme yang
kuat. Bagi sebagian besar pendukung Prabowo, gagasan yang dikemukakan adalah bahwa
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tegas untuk melindungi negara dan mengatur
masyarakat Indonesia yang multikultural. Dalam pemilihan presiden sebelumnya, Prabowo
dipandang sebagai sosok yang tegas dalam menghadapi ancaman eksternal terhadap wilayah
kedaulatan Indonesia terutama karena latar belakang militernya. Kekhawatiran akan
kembalinya otoriterisme, seandainya Prabowo memenangkan pemilu tercermin dalam
beberapa tulisan akademis.Selain Prabowo, populisme ala Jokowi juga perlu dicermati. Saat
menjadi Presiden, Jokowi tidak meninggalkan gaya populisnya. Bahasanya yang sederhana
dan kedekatannya dengan orang kecil terus dilakukan. Beberapa program yang dijanjikan
seperti membangun infrastruktur baik di darat maupun di laut sedang dilaksanakan. Dia tetap
populer di mata orang-orang. Di kalangan elit dan anggota parlemen, Jokowi juga mendapat
dukungan dari beberapa pihak yang sebelumnya menentangnya. Di DPR, Jokowi bisa
memperkuat koalisinya. Posisi yang semakin kuat ini secara logis memudahkan Jokowi
dalam menjalankan kebijakannya termasuk yang kurang populer. Meski tidak seotoriter
mantan Perdana Menteri Thailand yang populis, Thaksin Sinawatra, ketika berkuasa, Jokowi
menunjukkan sikap yang semakin besar terhadap lawan politiknya. Begitu pula bagi beberapa
kelompok oposisi, RUU Ormas yang diusulkan pemerintah memuat beberapa klausul yang
dapat digunakan untuk membungkam tidak hanya kelompok yang ditetapkan negara sebagai
anti-Pancasila tetapi juga kelompok-kelompok oposisi di masyarakat. Kekhawatiran akan
penyalahgunaan UU tersebut, seperti halnya UU anti subversif pada masa Orde Baru yang
digunakan untuk menekan kebebasan dan membungkam para pembangkang, muncul di
kalangan oposisi dan tokoh akademisi. Populisme Islam juga berpotensi membahayakan
demokrasi. Penggunaan sentimen etnis dan agama dalam politik tentunya bukan ciri khas
Indonesia. Di India, partai Barathia Janata, misalnya, menggunakan sentimen Ultra-nasionalis
Hindu yang meninggalkan platform demokrasi pluralis India yang ditetapkan oleh para
pendiri bangsa. Penggunaan sentimen keagamaan di Indonesia, meski tidak sebesar partai
politik di India, ternyata cukup masif untuk menggusur lawan politik. Untuk mengalahkan
Basuki, Gubernur DKI Jakarta yang beragama Kristen-Tionghoa dalam pemilihan gubernur
Jakarta, sentimen agama berhasil diintensifkan dan dimanipulasi oleh FPI untuk
mendiskreditkan dan mengalahkan Basuki.
Penggunaan sentimen etnis dan agama berbahaya bagi demokrasi dan negara
multikultural Indonesia. Mereka mengandung rasisme dan melanggar prinsip-prinsip
demokrasi tentang kesetaraan di mana orang memiliki hak yang sama untuk menduduki
jabatan publik. Apalagi mobilisasi kekuatan rakyat telah melampaui batasnya ketika menjadi
semacam 'pengadilan jalanan' terhadap Basuki. Populisme sering dikatakan membawa suara
rakyat secara langsung, dan umumnya lebih terkait dengan tuntutan pada program-program
pro-rakyat. Namun ketika suara rakyat dikerahkan untuk mengintimidasi pengadilan atas
nama suara rakyat, hal itu telah melampaui batas konstitusi yang menguraikan peran
peradilan yang independen untuk memutuskan bersalah tidaknya seseorang.
KESIMPULAN
Selain beberapa pendekatan lain seperti demokratisasi dan modernisasi politik, populisme
merupakan salah satu pendekatan yang dapat menjelaskan perkembangan politik dan
demokrasi di Indonesia. Populisme dapat mengungkap permasalahan yang muncul dari
proses demokrasi yang semakin elitis di Indonesia. Dalam perspektif modernisasi politik,
demokrasi Indonesia dipandang secara linier menuju kematangan yang ditandai dengan
kecenderungan pemilih yang semakin rasional. Pandangan umum di tingkat nasional ini
seringkali melupakan dinamika di mana sentimen populis dapat dimanipulasi. Populisme
tidak hanya dapat mengganggu proses menuju kedewasaan demokrasi, tetapi juga dapat
mengakhiri demokrasi karena orang-orang dimobilisasi menggunakan sentimen etnis dan
agama. Makalah singkat ini berusaha mengungkap kemunculan populisme dan bagaimana hal
tersebut dapat mengancam proses demokrasi di Indonesia. Populisme belum berkembang
menjadi gerakan yang kuat di Indonesia karena terpecah-pecah dan dimanfaatkan oleh
berbagai kalangan, parpol, dan calon presiden untuk saling bersaing. Meski demikian, hal
tersebut berpotensi mengancam proses pembangunan demokrasi di Indonesia. Dari tiga
kelompok yang menggunakan populisme dalam tulisan ini, ketiganya memiliki potensi yang
dapat menghambat proses demokratisasi. Jokowi, Prabowo, dan populisme Islamis,
semuanya memiliki potensi otoritarianisme yang dapat menghentikan kebebasan.
REFERENSI
Edward Aspinall. (2015). Oligarchic Populism: Prabowo Subianto's Challenge to Indonesian
Democracy. Indonesia, (99), 1-28. doi:10.5728/indonesia.99.0001
The Jakarta Post. (n.d.). Commentary: Can Jokowi stem the tide of Islamic populism? from
https://www.thejakartapost.com/academia/2017/10/25/commentary-can-jokowi-stem-
the-tide-of-islamic-populism.html
M. Mietzner, Indonesia’s 2014 Elections: How Jokowi Won and Democracy Survived.
Journal of Democracy. Volume 25, Issue 4, pp. 111-125.
Vedi R. Hadiz, Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah, LP3ES, Jakarta, 2019
Saiful Mujani, “Populisme; Madu atau Racun bagi Demokrasi?” dalam Majalah Tempo edisi
29 Juli 2015
Hadiz, Vedi R. 2018. “Imagine All the People? Mobilising Islamic Populism for Right-Wing
Politics in Indonesia.” Journal of Contemporary.
Narasi, 2021. Empat Menit Memahami Populisme Islam yang Ditentang Menteri Yaqut
(Online) Tersedia dalam : https://www.narasi.tv/narasi-newsroom/empat-menit-
memahami-populisme-islam-yang-ditentang-menteri-yaqut (Diakses 12 Januari 2021)