Abstract
This thesis discusses the understanding of Japanese culture through a Chado or tea
ceremony. Tea ceremony, which is one of Japanese culture represents the values of
Japanese culture; which is so complex. Qualitatively researched through descriptive
design, the results suggest that Indonesian people need to understand Japanese culture
before interacting with the Japanese; frame is very important to the Japanese people in
positioning themselves in every size of daily life. Also it is found that there is a vertical
and horizontal relation that affect how the interaction patterns of the Japanese.
Keywords:
Chado, attribute, frame, vertical relation, horizontal relation
Upacara minum teh dalam bahasa Jepang disebut Chanoyu secara harfiah adalah air
panas untuk teh, sesuai dengan kamus bahasa Jepang. Masyarakat Jepang lebih
mengenal dengan Chado yang memiliki arti secara harfiah yaitu the way of tea, sebuah
jalan mendapatkan kedamaian dalam semangkuk teh. Upacara minum teh ini
merupakan perwujudan dari nilai-nilai pemahaman yang diperoleh seseorang dari
pendalaman serta disiplin menghidangkan teh dengan menikmatinya sebagai kepuasan
batin dan merupakan dasar gaya hidup. Upacara minum teh memiliki prinsip-prinsip
Pada era globalisasi ini terjadi mobilitas yang tinggi. Hal tersebut memicu
terjadinya perpindahan individu atau sekelompok individu ke negara lain untuk
berbagai kepentingan, seperti kepentingan bisnis, official mission, convetion, berlibur,
sekolah, dan lain-lain. Jepang merupakan salah satu negara yang penduduknya
terbanyak datang ke Indonesia setelah Malaysia dan Singapura (BPS tahun 2005-2010).
Walaupun Jepang bukan yang terbanyak jumlah pengunjung yang datang ke Indonesia,
tetapi di antara ketiga negara tersebut, Jepang memiliki budaya yang berbeda dengan
Indonesia. Hal ini bukan berarti Singapura dan Malaysia tidak memiliki perbedaan
budaya dengan Indonesia, tetapi Jepang memiliki banyak perbedaan dalam hal budaya
dengan Indonesia. Hal inilah yang menarik untuk dibahas dalam skripsi ini. Budaya
Jepang banyak mendapat pengaruh dari ajaran agama Budha-aliran Zen, seperti yang
terdapat dalam Chado (upacara minum teh), seni beladiri, dan Ikebana (seni merangkai
bunga). Pengaruh aliran Zen dalam budaya Jepang menjadi menarik apabila melihat
bahwa orang Jepang yang tetap menerapkan budaya Jepang, seperti tata krama dalam
kehidupan sehari-hari walaupun mereka berada di Indonesia. Tata krama yang ada
dalam budaya Jepang dapat dilihat secara aspek hubungan horizontal dan vertikal.
Secara hubungan horizontal, tata krama yang masih dipegang teguh oleh orang Jepang
dapat terlihat, seperti saat pertama kali berkenalan dengan orang lain langsung
memberikan kartu nama yang hanya terdiri dari nama tanpa gelar dan tempat bekerja.
Aspek hubungan vertikal terlihat dalam penggunaan tambahan sebutan –San, -Kun, dan
hanya nama. Penggunaan sebutan tersebut berdasarkan senioritas dan usia. Orang
Jepang sangat memperhatikan tata krama dan bahasa yang digunakan saat pertama kali
bertemu. Apabila tata krama dan bahasa yang digunakan dianggap kurang baik, maka
orang tersebut akan dinilai tidak baik sejak saat itu dan seterusnya (Nakane, 1991).
Sesuai dengan data BPS tahun 2005-2010 banyak orang Jepang datang ke
Indonesia dengan bermacam tujuan. Banyaknya orang Jepang berkunjung ke Indonesia
menghasilkan interaksi antara orang Indonesia dengan orang Jepang. Seperti yang
dijelaskan oleh Chie Nakane mengenai karakter orang Jepang yang akan menilai baik
tidaknya orang lain dari pertama kali bertemu, seperti tata krama dan bahasa. Orang
Permasalahan
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa meskipun orang Jepang berada di luar
Jepang tetap mempertahankan budaya mereka, seperti tata krama dimana pun mereka
berada. Oleh karena itu orang yang berada di sekitar orang Jepang atau orang yang
memiliki keperluan dengan orang Jepang diharapkan dapat mengenal budaya Jepang.
Kita tidak ada salahnya jika mengetahui budaya Jepang, sehingga saat berinteraksi
dengan orang Jepang dapat mengurangi gap yang muncul. Bukan berarti kita dipaksa
untuk mempelajari kebudayaan Jepang, hanya saja mengetahui agar lebih nyaman saat
berinteraksi dengan orang Jepang. Banyak cara untuk mengenal budaya Jepang.
Upacara minum teh dapat menjadi salah satu sarana kita memahami budaya Jepang,
seperti tata krama. Upacara minum teh merupakan sebuah ritual yang memiliki simbol
dan makna. Setiap elemen-elemen yang terdapat dalam upacara minum teh merupakan
simbol. Melalui simbol tersebut kita dapat memahami budaya Jepang. Saat kita
melaksanakan upacara teh akan terlihat frame dalam upacara minum teh akan terlihat
Untuk mendapatkan penjelasan atas gejala sosial tersebut, penulis secara khusus
membuat beberapa pertanyaan, sebagai berikut.
Dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji budaya Jepang melalui Chado
(upacara minum teh) yang dilakukan oleh para anggota Asosiasi Urasenke Tankokai
Indonesia. Upacara minum teh merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang
mendapat pengaruh dari aliran Zen. Dalam upacara ini memiliki nilai-nilai yang
terkandung dalam filosofi budaya Jepang. Oleh karena itu saya menggunakan
kebudayaan sebagai pengantar dalam menjelaskan hal tersebut. Kebudayaan
didefinisikan oleh Suparlan (1997:102-103) sebagai pedoman menyeluruh bagi
kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Ia menyatakan
bahwa,
Makna muncul karena adanya pertemuan antara pengalaman masa lalu dengan
pengalaman masa kini (Bruner, 1986: 36). Pengalaman masa lalu merupakan karakter
tetap yang menjadi sumber realita masa sekarang. Keberadaannya terus ditafsir kembali
berdasarkan apa yang ingin dicapai di masa depan (Turner, 1985: 212). Makna itu
sendiri tidak berada di luar pengalaman manusia, tetapi berada di dalam pengetahuan
manusia yang membentuk hubungan antara masa lalu, saat ini dan masa depan.
Pengalaman dan pemaknaan terjadi pada saat ini, dengan bertumpu pada masa lalu yang
merupakan memori, dan masa depan dihubungkan oleh potensi dan harapan
menciptakan tujuan yang ingin dicapai. Karena itu, pengalaman saat ini dan masa lalu
Karakter orang Jepang yang dekat dengan alam ini sesuai dengan pernyataan
Nakamura Hajime, orang Jepang sangat mencintai dan menganggumi alam. Mereka
menghiasi baju mereka dengan hiasan bergambar bunga, burung dan rerumputan dan
dalam masakan sedapat mungkin menghargai bentuk alami yang apa adanya. Di tempat
tinggal pun mereka menempatkan ikebana dan bonsai di dalam tokonoma (suatu
ruangan kecil di dalam kamar) dan melukis gambar bunga dan burung yang sederhana
di pintu pagar yang disebut dengan fusuma. Orang Jepang memberikan dekorasi, baik
pada kimono maupun pada fusuma dengan motif alam, seperti sakura, bambu dan daun
momiji. Makanan yang disajikan pun dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai
benda-benda alam dan diwarnai sealami mungkin. Hubungan orang Jepang terhadap
alam ini erat kaitannya dengan adanya suatu paham yaitu naturaliseme. Naturalisme
yaitu suatu pandangan bahwa semuanya terpulang pada alam dan semuanya diserahkan
kepada alam. 1. Pemikiran yang berporos kepada proses dan fenomena prinsip dasar. 2.
Pandangan naturalisme dalam kesustraan, berujuan untuk mngemukakan sesuatu
apaadanya, tidak menuntut sesuatu yang ideal dan tidak meremhkan atau menyepelekan
sesuatu. Orang Jepang menghargai sesuatu yang bersifat alami. Nakamura berpendapat
bahwa kecintaan orang Jepang terhadap alam juga digambarkan melalui karya-karya
sastra mereka. Selain itu juga seperti upacara minum teh yang di dalamnya mewakili
alam sekitar mereka.
1
Sensei (先生) memiliki arti Guru.
Pembahasan
Pada awalnya teh di Jepang diperkenalkan oleh seorang biksu Budha yang
dikirim ke Cina. Teh sangat diterima oleh para biksu dan para bangsawan. Pada
mulanya cara penyajian teh yang dilakukan oleh para bangsawan menggunakan
peralatan teh yang terbuat dari porselin mewah. Suatu hari seorang biksu pengikut aliran
Zen, Murata Shuko melakukan perubahan dalam menyajikan teh. Ia menyajikan teh
dengan menggunakan peralatan produksi lokal dan ruangan kecil. Hal tersebut
merefleksikan kesederhanaan. Perubahan tersebut dikembangkan lagi oleh Sen Rikyu.
Sen Rikyu membuat prinsip-prinsip dasar dalam melakukan pembuatan teh, yaitu Wa,
Kei, Sei, Jaku (keserasian, rasa hormat, kemurnian, dan ketenangan). Sen Rikyu ini
dikenal pandai menyajikan teh oleh kalangan shogun.
Suatu hari Sen Rikyu diperintahkan untuk bunuh diri oleh Hideyoshi, seorang
shogun terkenal pada saat itu. Sen Rikyu pun melakukan bunuh diri. Anak dari istri
kedua Sen Rikyu, Shoan Sojun mendirikan rumah teh. Setelah itu dilanjutkan oleh
Gempaku Sotan yang memiliki empat anak dari kedua istrinya. Anak pertama dari istri
keduanya melanjutkan warisan kepala rumah tangga rumah teh, Urasenke. Anak-anak
yang lain mewarisi Mushakojisenke dan Omotesenke.
Upacara Minum teh
2
Daisensei (大先生) memiliki arti secara harfiah guru besar.
Chanoyu dikenal sebagai “Upacara minum teh” tetapi arti harfiahnya adalah “air
panas untuk teh”. Secara sederhana chanoyu dapat diartikan sebagai perpaduan dari
berbagai seni Jepang yang berfokus pada „persiapan‟ dan „penyajian‟ semangkuk teh
dengan sepenuh hati. Sebelum upacara minum teh dilakukan tuan rumah membersihkan
ruangan tersebut, menggantung tulisan kias/ungkapan (kakejiku), menyiapkan perapian
guna merebus air (furo gama) untuk membuat teh, serta telah disiapkan pula kue kering
manis kecil (chagashi), semua itu dilakukannya dengan harapan agar prosesi upacara
minum teh tersebut dapat memberikan ketenangan jiwa terhadap orang di dalam
ruangan teh.
Pada akhir abad ke-15 kebiasaan untuk menghidangkan teh dipelajari dengan
seksama oleh biksu Murata Shuko, seorang pengikut biksu Zen, yang telah mengetahui
banyak tentang tata-krama minum teh sebagaimana dilakukan dalam istana para shogun.
Berlainan dengan kebiasaan pada masa itu yang selalu menggunakan ruangan besar dan
peralatan porselen Cina yang mewah, ia lebih senang menghidangkan teh dalam
ruangan kecil dengan produksi lokal dan dalam jumlah yang terbatas. Kemudian Takeno
Joo, seorang pedagang, mengembangkan konsep wabicha (tata cara menikmati teh)
yang merefleksikan kesederhanaan atau kerendahan hati. Para guru teh pengikut “chado”
telah mengembangkan suatu nilai estetika yang telah meresapi kebudayaan Jepang. Sen
Rikyu (1522-1591) mempelajari tata cara upacara teh dengan Takeno Joo, tetapi Sen
Rikyu banyak mendapat pengaruh dari ajaran Zen, sehingga dia banyak memodifikasi
tata cara upacara teh yang diajarkan oleh Takeno Joo, salah satunya yang paling
terkenal adalah „merangkak‟ diatas tatami (sejenis tikar yang digunakan sebagai lantai
di ruangan gaya tradisional Jepang) saat memasuki ruangan minum teh yang
Peralatan Teh
Upacara minum teh dilengkapi dengan peralatan khusus yang digunakan untuk
menyiapkan dan menyajikan tehnya. Tipe peralatan yang digunakan berbeda-beda
sesuai dengan tipe upacara yang dilakukan. Pada upacara minum teh formal yang
diselanggarakan di hiroma, perlengkapan yang digunakan adalah perlengkapan yang
sempurna. Contohnya, menggunakan mangkuk teh yang bentuknya sempurna lengkap
dengan dudukannya, mangkuk teh seperti ini disebut tenmoku, yang mengungkapkan
betapa pentingnya sang tamu atau tujuan acaranya. Upacara minum teh semiformal
menggunakan mangkuk teh yang simetris seperti Hagi, atau mangkuk jenis gaya Korea
sedangkan pada upacara minum teh informal, yang biasanya diadakan dalam pondok
atau rumah teh yang bernuansa pedesaan, menggunakan mangkuk yang lebih sederhana,
bentuknya alami apa adanya, namun tetap memberikan keindahan. Dalam upacara yang
seperti ini benar-benar mencerminkan keindahan wabicha yang sangat mementingkan
arti kesederhanaan.
Wabi asal kata dari wabishii yang artinya sunyi, sepi (kesepian). Sabi asal kata
dari sabishii yang artinya kesepian. Sabi secara harfiahnya berarti karat. Sebagai nilai
estetika, wabi merupakan keindahan dalam ruang, sedangkan sabi merupakan
keindahan dalam waktu (Kojien, 1993). Keindahan yang terkandung dalam wabi dan
sabi tidak menuntut kesempurnaan, melainkan indah itu ada. Oleh karena itu dalam
upacara minum teh menggunakan peralatan yang sederhana menyerupai alam. Sen
Rikyu menggunakan chawan atau mangkuk sederhana tak berwarna, tanpa kilau emas,
atau hiasan lainnya. Walaupun pada masa itu banyak kalangan bangsawan lebih
Penyaji teh pun harus latihan upacara minum teh agar tidak terjadi kesalahan
dalam melaksanakannya. Dikarenakan setiap tahap prosesi, seperti halnya melakukan
meditasi, membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk menyelami suasana yang damai
di dalam jiwa dan pikiran. Sesuai dengan prinsip dasar dalam upacara minum teh,
semua detailnya dilakukan dengan keharmonisan baik antar manusianya, ataupun
keadaan lingkungan sekitarnya, dan juga dengan penuh sikap yang saling menghargai
dan hormat antar sesama. Prosesi penuh kesucian di dalamnya, baik kesucian rohani
ataupun jasmani, hingga akhirnya mencapai inti dari upacara minum teh yaitu
ketenangan. Dengan suasana yang seperti ini, semua hiruk-pikuk keramaian kota dan
masalah-masalah duniawi akan terlupakan dan mencapai rasa damai dan tenang di
dalam jiwa dan raga. Kesalahan yang dilakukan oleh penyaji teh dalam prosesi upacara
minum teh akan merusak suasana yang tenang.
Saya telah menjelaskan tata cara dalam upacara minum teh dari posisi penyaji
teh dan sekarang saya akan menjelaskan dalam konteks yang sama dari perspektif tamu.
Tamu yang diundang hanya beberapa orang, sekitar 4-5 orang. Biasanya orang yang
diundang merupakan satu kelompok dengan penyaji teh yang memiliki hubungan dekat
atau amai yang membiarkan mereka berlaku manja terhadap penyaji teh. Selain itu,
tamu yang diundang merupakan orang yang sudah mengetahui tata cara upacara minum
teh. Tamu yang tidak mengetahui tata cara upacara minum teh akan mengganggu
prosesi upacara minum teh dan tamu lain yang berada dalam ruangan. Tamu diharapkan
mengenakan pakaian yang sopan dan tidak menunjukkan kekayaannya. Semua tamu
diwajibkan membersihkan diri sebelum memasuki ruangan upacara minum teh
membilas tangan dan kaki dengan air yang telah disediakan. Hal ini dikarenakan
sucinya upacara minum teh, sehingga semua orang yang akan memasuki ruangan teh
harus bersih. Bagi tamu yang memakai perhiasan, seperti cincin, kalung, anting, jam
Bahasa
Dalam upacara minum teh diajarkan disiplin kepada tiap penyaji teh, tetapi
dalam lapangan yang saya temukan terdapat pelanggaran yang dilakukan penyaji teh
setiap melakukan upacara minum teh. Pelanggaran tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan pada peralatan upacara minum teh, selain itu mengganggu kekhidmatan
dalam prosesi upacara minum teh. Peralatan teh di dalam ruangan teh tersebut
merupakan perwakilan dari alam yang diberikan Kamisama. Penyaji teh yang
melakukan pelanggaran menunjukkan bahwa ia tidak melakukan persiapan upacara
minum teh dengan sebaik mungkin. Hal ini dikarenakan dalam melakukan upacara
minum teh bagaikan esok hari akan mati, sehingga harus melakukan dengan sebaik
mungkin.
Kesimpulan
Upacara minum teh ini merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang mendapat
pengaruh dari Zen dalam pemaknaan setiap hal di dalamnya. Dengan adanya pengaruh
Zen tersebut, upacara minum teh memiliki prinsip-prinsip yang diciptakan oleh Sen
Upacara minum teh yang dihubungkan dengan konsep attribute Chie Nakane
dapat melihat bagaimana kebudayaan Jepang, seperti kedisplinan, kesederhanaan,
ketelitian, sangat rinci, teratur, totalitas dalam melaksanakan sesuatu, hirarkis,
individual tapi berkelompok, harmonis dengan alam, asimetris, dan kedamaian. Semua
hal tersebut dapat dilihat dalam prosesi upacara minum teh. Penyaji teh harus
melakukan semuanya dengan benar tanpa melakukan kesalahan dan tidak melakukan
pelanggaran. Selain itu, seseorang yang belajar upacara minum teh tidak diperkenankan
merekam atau mencatat tahapan upacara minum teh saat latihan berlangsung. Hal
tersebut menunjukkan bahwa seorang murid diajarkan kedisplinan yang membuat ia
menjadi seseorang yang memiliki konsentrasi tinggi. Semua hal dalam upacara minum
teh benar-benar menunjukkan kesederhanaan dari atribut yang dipakai penyaji teh
maupun tamu, peralatan teh, dan ruangan teh. Kesederhanaan tersebut merupakan salah
satu nilai penting bagi orang Jepang yang ditanam sejak kecil.
Makna yang terdapat dalam upacara minum teh mewakili nilai-nilai budaya
Jepang. Orang Indonesia yang ingin dapat memahami atau mengetahui budaya Jepang
Upacara minum teh ini dapat mewakili kebudayaan Jepang yang begitu
kompleks. Dengan mempelajari atau mengetahui upacara minum teh dapat memahami
budaya Jepang. Saya pernah berbincang dengan beberapa mahasiswa dan pekerja muda
Jepang di Jakarta mengenai minat mereka terhadap upacara minum teh dan nilai budaya
mereka. Sebagian besar menyatakan bahwa sudah jarang sekali generasi muda
mempelajari upacara minum teh dengan alasan kuno. Selain itu, beberapa dari mereka
juga menyatakan sekarang tidaklah sama dengan masa lalu yang terlalu ketat dalam
mematuhi peraturan dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masuknya budaya
asing ke Jepang, sehingga banyak generasi muda meningalkan nilai budaya lokal
mereka. Akibatnya dapat terlihat pada generasi muda tidak lagi sebegitu menaati
peraturan dalam kehidupan sehari-hari atau nilai-nilai budaya yang selama ini dipegang
teguh oleh generasi tua. Saya melihat bahwa adanya pergeseran nilai budaya pada anak
muda Jepang, menyebabkan mereka sebagai generasi muda mempertahankan budaya
mereka sendiri dalam derasnya budaya asing masuk ke Jepang, seperti halnya mereka
yang mencoba mempertahankan dan memperkenalkan Chado ke sebagian negara di luar
Jepang.
DAFTAR REFERENSI
Ackermann, Peter
1997 The Four Seasons: One of Japanese Culture’s Most Concept. Japanese
Images of Nature: Cultural Perspective. England: Curzon
Aoki, Haruo & Okamoto, Shigeto.
1998 Rules for conversational rituals in Japanese. Japan: Taishukan
Publishing Company.
Ashkenazi, Michael.
1993 Matsuri, Festivals of A Japanese Town. United State of America.
University of Hawaii Press.
Austin, J.L.
Bruner, Edward M
1986 Experience and Its Expressions, dalam V. W. Turner and E. M. Bruner
(eds). The Anthropology of Experience. Urbana: University of Illinois
Press. Hal 3-36
Bunkacho.
1998 Aisatsu kotoba siriizu 14: Aisatsu to kotoba. Jepang: Okurashou Insatsu
Kyoku.
Daisetsu, Suzuki
1977 Zen and Japanese Culture. Guides to Japanese Culture. Tokyo: The
Japan Culture Institute.
Danandjaja, James.
1997 Foklor Jepang. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
Doi, Takeo.
1992 Anatomi Dependensi: Telaah Psikologi Jepang. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.
Encyclopedia Japan.
1979 Jilid A-Z. Tokyo, h. 362-370.
1989 Jilid M-Z. Tokyo, h. 1131-1142
Gen, Itasaka
1971 Nihonbi no Shinzuito (Semete). Nihonjin no Ronrikouzou. Tokyo:
Kodansha.
Haga, Hideo.
1968 Japanese Fetivals. Osaka. Hoikusha Publishing Co., Ltd.
Hajime, Nakamura
1971 Nihonjin no Shii Hoohoo. Nihon Bunka Kenkyusho. Tokyo: Nihon
Bunka Kenkyusho Jenshukyoku.
Inoue, Yasushi.
1973 The Tea Ceremony. Japan. Kondansha International and Dai Nihon
Chadou Gakkai.
Isao, Kumakura
Jurnal
Schleicher, Antonia Folarin. 1997. Using greetings to teach cultural understanding. Teh
modern language journal. 334-343.
Internet
Diakses pada pukul 20.30 WIB tanggal 25 Oktober 2012:
http://sekedarwawasan.blogspot.com/2012/03/upacara-minum-teh-Jepang.html
Diakses pada pukul 20.30 WIB tanggal 05 November 2012:
http://keiontehdreamland.blogspot.com/2010_05_01_archive.html
http://www.healthyteastore.com/pages/Korean-Tea-Ceremony.html
http://sekedarwawasan.blogspot.com/2012/03/upacara-minum-teh-Jepang.html
Diakses, 10 November 2012, pukul 10.15 WIB:
http://www.urasenke.or.jp/texte/Chado/Chado2.html
http://japanese-tea-ceremony.net/schools.html
http://www.omotesenke.jp/english/chanoyu/3_3_2.html
http://www.omotesenke.com/english/
http://www.mushakouji-senke.or.jp/temae.html