Anda di halaman 1dari 20

MEMAHAMI KEBUDAYAAN JEPANG MELALUI CHADO

(UPACARA MINUM TEH)

Penulis: Ria Shaumi Widyanisa

Pembimbing: Dr. Endang P. Gularso

Abstract

This thesis discusses the understanding of Japanese culture through a Chado or tea
ceremony. Tea ceremony, which is one of Japanese culture represents the values of
Japanese culture; which is so complex. Qualitatively researched through descriptive
design, the results suggest that Indonesian people need to understand Japanese culture
before interacting with the Japanese; frame is very important to the Japanese people in
positioning themselves in every size of daily life. Also it is found that there is a vertical
and horizontal relation that affect how the interaction patterns of the Japanese.
Keywords:
Chado, attribute, frame, vertical relation, horizontal relation

Kebudayaan merupakan sebuah pedoman bagi masyarakat dalam menjalankan


kehidupan sehari-harinya, sehingga apa yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari pada
masyarakat tertentu mencerminkan kebudayaan yang mereka miliki. Jepang merupakan
salah satu Negara maju yang masih mempertahankan kebudayaannya, walaupun adanya
budaya asing masuk pada masyarakat Jepang di era globalisasi. Hal tersebut dapat
terlihat pada nilai-nilai yang diterapkan oleh masyarakat Jepang dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu cara untuk memahami masyarakat Jepang dapat dilakukan
dengan mempelajari upacara minum teh (Chado).

Upacara minum teh dalam bahasa Jepang disebut Chanoyu secara harfiah adalah air
panas untuk teh, sesuai dengan kamus bahasa Jepang. Masyarakat Jepang lebih
mengenal dengan Chado yang memiliki arti secara harfiah yaitu the way of tea, sebuah
jalan mendapatkan kedamaian dalam semangkuk teh. Upacara minum teh ini
merupakan perwujudan dari nilai-nilai pemahaman yang diperoleh seseorang dari
pendalaman serta disiplin menghidangkan teh dengan menikmatinya sebagai kepuasan
batin dan merupakan dasar gaya hidup. Upacara minum teh memiliki prinsip-prinsip

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


dasar yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu Wa Kei Sei Jaku (keserasian,
rasa hormat, kemurnian, dan ketenangan).

Pada era globalisasi ini terjadi mobilitas yang tinggi. Hal tersebut memicu
terjadinya perpindahan individu atau sekelompok individu ke negara lain untuk
berbagai kepentingan, seperti kepentingan bisnis, official mission, convetion, berlibur,
sekolah, dan lain-lain. Jepang merupakan salah satu negara yang penduduknya
terbanyak datang ke Indonesia setelah Malaysia dan Singapura (BPS tahun 2005-2010).
Walaupun Jepang bukan yang terbanyak jumlah pengunjung yang datang ke Indonesia,
tetapi di antara ketiga negara tersebut, Jepang memiliki budaya yang berbeda dengan
Indonesia. Hal ini bukan berarti Singapura dan Malaysia tidak memiliki perbedaan
budaya dengan Indonesia, tetapi Jepang memiliki banyak perbedaan dalam hal budaya
dengan Indonesia. Hal inilah yang menarik untuk dibahas dalam skripsi ini. Budaya
Jepang banyak mendapat pengaruh dari ajaran agama Budha-aliran Zen, seperti yang
terdapat dalam Chado (upacara minum teh), seni beladiri, dan Ikebana (seni merangkai
bunga). Pengaruh aliran Zen dalam budaya Jepang menjadi menarik apabila melihat
bahwa orang Jepang yang tetap menerapkan budaya Jepang, seperti tata krama dalam
kehidupan sehari-hari walaupun mereka berada di Indonesia. Tata krama yang ada
dalam budaya Jepang dapat dilihat secara aspek hubungan horizontal dan vertikal.
Secara hubungan horizontal, tata krama yang masih dipegang teguh oleh orang Jepang
dapat terlihat, seperti saat pertama kali berkenalan dengan orang lain langsung
memberikan kartu nama yang hanya terdiri dari nama tanpa gelar dan tempat bekerja.
Aspek hubungan vertikal terlihat dalam penggunaan tambahan sebutan –San, -Kun, dan
hanya nama. Penggunaan sebutan tersebut berdasarkan senioritas dan usia. Orang
Jepang sangat memperhatikan tata krama dan bahasa yang digunakan saat pertama kali
bertemu. Apabila tata krama dan bahasa yang digunakan dianggap kurang baik, maka
orang tersebut akan dinilai tidak baik sejak saat itu dan seterusnya (Nakane, 1991).

Sesuai dengan data BPS tahun 2005-2010 banyak orang Jepang datang ke
Indonesia dengan bermacam tujuan. Banyaknya orang Jepang berkunjung ke Indonesia
menghasilkan interaksi antara orang Indonesia dengan orang Jepang. Seperti yang
dijelaskan oleh Chie Nakane mengenai karakter orang Jepang yang akan menilai baik
tidaknya orang lain dari pertama kali bertemu, seperti tata krama dan bahasa. Orang

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


Jepang akan tetap berinteraksi sesuai dengan apa yang mereka lakukan di Jepang
walaupun mereka berada di Indonesia. Orang Jepang juga akan menerapkan penilaian
mereka terhadap orang Indonesia seperti yang biasa mereka lakukan di Jepang. Orang
Jepang juga suka menceritakan pengalamannya di suatu tempat kepada teman-temannya.
Jika ia berada di Indonesia dan menurut dia perlakuan yang didapat dari orang
Indonesia kurang bagus, maka dia akan menceritakan kepada orang Jepang lainnya.
Sehingga orang Jepang yang akan berkunjung ke Indonesia akan mengurungkan niat
karena tidak ingin mengalami hal yang sama dengan temannya itu. Apabila hal tersebut
terjadi pada kita, masyarakat Indonesia bersikap kurang baik bagi orang Jepang, maka
kita akan dinilai kurang baik oleh orang Jepang. Hal tersebut akan mempengaruhi
jumlah wisatawan Jepang yang datang ke Indonesia. Data BPS tahun 2005-2010
menunjukkan bahwa orang Jepang yang melakukan liburan paling besar dibandingkan
dengan keperluan lainnya. Oleh karena itu, kita diharapkan mengetahui kebudayaan
Jepang agar dapat memahami karakteristik orang Jepang dan bersikap terhadap orang
Jepang. Salah satunya dengan mempelajari upacara minum teh yang dapat mewakili
memahami nilai-nilai yang ada di masyarakat Jepang. Upacara minum teh ini pun di
Jepang sebagai salah satu budaya Jepang yang penting dalam menanamkan nilai-nilai
yang masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Permasalahan

Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa meskipun orang Jepang berada di luar
Jepang tetap mempertahankan budaya mereka, seperti tata krama dimana pun mereka
berada. Oleh karena itu orang yang berada di sekitar orang Jepang atau orang yang
memiliki keperluan dengan orang Jepang diharapkan dapat mengenal budaya Jepang.
Kita tidak ada salahnya jika mengetahui budaya Jepang, sehingga saat berinteraksi
dengan orang Jepang dapat mengurangi gap yang muncul. Bukan berarti kita dipaksa
untuk mempelajari kebudayaan Jepang, hanya saja mengetahui agar lebih nyaman saat
berinteraksi dengan orang Jepang. Banyak cara untuk mengenal budaya Jepang.
Upacara minum teh dapat menjadi salah satu sarana kita memahami budaya Jepang,
seperti tata krama. Upacara minum teh merupakan sebuah ritual yang memiliki simbol
dan makna. Setiap elemen-elemen yang terdapat dalam upacara minum teh merupakan
simbol. Melalui simbol tersebut kita dapat memahami budaya Jepang. Saat kita
melaksanakan upacara teh akan terlihat frame dalam upacara minum teh akan terlihat

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


antara sebuah ruangan upacara minum teh dan anggota didalamnya yang melakukan
kegiatan upacara. Hubungan yang terjalin dalam upacara minum teh merupakan
hubungan horizontal, tidak adanya perbedaan status. Simbol yang terdapat dalam
upacara minum teh, frame, dan horizontal relation merupakan sebuah status yang
terbentuk dalam kegiatan upacara minum teh. Dengan demikian kita dapat memahami
budaya Jepang, seperti tata krama yang dipertahankan oleh orang Jepang dimana pun
mereka berada, antara lain di Indonesia.

Untuk mendapatkan penjelasan atas gejala sosial tersebut, penulis secara khusus
membuat beberapa pertanyaan, sebagai berikut.

 Apakah dengan mempelajari upacara minum teh dapat membantu


masyarakat Indonesia dalam mengenal budaya Jepang di Indonesia?
 Apa sajakah simbol dan makna yang terkandung dalam upacara minum
teh yang mewakili budaya Jepang pada umumnya?
 Apa manfaat memahami budaya Jepang melalui upacara minum teh?
Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji budaya Jepang melalui Chado
(upacara minum teh) yang dilakukan oleh para anggota Asosiasi Urasenke Tankokai
Indonesia. Upacara minum teh merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang
mendapat pengaruh dari aliran Zen. Dalam upacara ini memiliki nilai-nilai yang
terkandung dalam filosofi budaya Jepang. Oleh karena itu saya menggunakan
kebudayaan sebagai pengantar dalam menjelaskan hal tersebut. Kebudayaan
didefinisikan oleh Suparlan (1997:102-103) sebagai pedoman menyeluruh bagi
kehidupan sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Ia menyatakan
bahwa,

“Kebudayaan adalah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah masyarakat


yang memiliki kebudayaan tersebut. Setiap orang sebagai anggota masyarakat adalah
pendukung kebudayaan yang menggunakan model-model tatanan sosial masyarakatnya
secara selektif yang mereka rasakan paling cocok atau terbaik untuk dijadikan acuan
bagi interpretasi yang penuh makna untuk mewujudkan tindakan-tindakan dalam
menghadapi lingkungannya dan memanfaatkan berbagai sumber daya yang terkandung

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


di dalamnya. Tindakan-tindakan dilakukan sesuai dengan dan berada dalam batas-
batas pranata sosial yang cocok”.

Beranjak dari teori kebudayaan di atas menunjukkan bahwa setiap masyarakat


memiliki pedoman hidup yang dipegang teguh oleh tiap anggotanya. Sama halnya
dengan masyarakat Jepang yang berpegang teguh pada kebudayaannya, walaupun saat
tidak berada di lingkungan mereka.

Menurut Turner, manusia berupaya mewujudkan dan mempertahankan kohesi


sosial, karena kohesi sosial bukan sifat alami dari masyarakat, maka konflik antar
individu/kelompok bisa diatasi melalui penggunaan simbol-simbol dan ritual untuk
menciptakan kohesi sosial tersebut, karena simbol sebagai pemersatu hubungan sosial.
Simbol yang dihadirkan dalam berbagai peristiwa ritual bersifat multivokal (banyak
makna) mencerminkan kepetingan-kepentingan yang berbeda-beda atau bahkan
bertentangan disebut simbol dominan. Mereka membagi pengetahuan mengenai budaya
mereka pada masyarakat sekitar agar dapat diterima budaya yang mereka bawa. Orang
Jepang yang mempertahankan budayanya, walaupun tinggal di Indonesia. Akhirnya
melalui salah satu budaya yang mereka miliki, upacara minum teh masyarakat Indonesia
memahami budaya Jepang. Upacara minum teh merupakan sebuah ritual yang
dilakukan oleh orang Jepang, dengan banyaknya simbol-simbol yang bermakna.
Hubungan orang-orang yang masuk ke dalam ruangan upacara minum teh merupakan
sebuah simbol yang memiliki makna, yang menggambarkan bahwa tidak adanya
pembeda status antara sesama manusia, sehingga tidak akan adanya rasa angkuh dalam
diri manusia itu sendiri.

Makna muncul karena adanya pertemuan antara pengalaman masa lalu dengan
pengalaman masa kini (Bruner, 1986: 36). Pengalaman masa lalu merupakan karakter
tetap yang menjadi sumber realita masa sekarang. Keberadaannya terus ditafsir kembali
berdasarkan apa yang ingin dicapai di masa depan (Turner, 1985: 212). Makna itu
sendiri tidak berada di luar pengalaman manusia, tetapi berada di dalam pengetahuan
manusia yang membentuk hubungan antara masa lalu, saat ini dan masa depan.
Pengalaman dan pemaknaan terjadi pada saat ini, dengan bertumpu pada masa lalu yang
merupakan memori, dan masa depan dihubungkan oleh potensi dan harapan
menciptakan tujuan yang ingin dicapai. Karena itu, pengalaman saat ini dan masa lalu

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


secara bersama-sama dihubungkan dalam kesatuan makna. Makna yang muncul inilah
yang kemudian mendasari terwujudnya sebuah ekspresi (Bruner, 1986:11). Orang
Jepang yang sering merasakan bencana alam, seperti gempa bumi membuat orang
Jepang memikirkan hal apa yang bisa mengurangi bencana tersebut. Pada akhirnya
orang Jepang sepakat menghormati Kamisama atau dewa yang dianggap memiliki
semua kekayaan di dunia ini dan selalu bersyukur. Banyak cara untuk menghormati dan
mengucapkan terima kasih kepada Kamisama, bisa melalui kata-kata indah, benda yang
mewakili alam, tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, dll. Seperti dalam upacara
minum teh yang memiliki peralatan teh yang penuh dengan makna. Antara lain, chawan,
chasen, chashaku, kensui, natsume, dll yang merupakan sarana yang menunjukkan rasa
hormat dan syukur orang Jepang terhadap Kamisama, dengan melakukan itu semua
diharapkan berkurangnya bencana alam.

Karakter orang Jepang yang dekat dengan alam ini sesuai dengan pernyataan
Nakamura Hajime, orang Jepang sangat mencintai dan menganggumi alam. Mereka
menghiasi baju mereka dengan hiasan bergambar bunga, burung dan rerumputan dan
dalam masakan sedapat mungkin menghargai bentuk alami yang apa adanya. Di tempat
tinggal pun mereka menempatkan ikebana dan bonsai di dalam tokonoma (suatu
ruangan kecil di dalam kamar) dan melukis gambar bunga dan burung yang sederhana
di pintu pagar yang disebut dengan fusuma. Orang Jepang memberikan dekorasi, baik
pada kimono maupun pada fusuma dengan motif alam, seperti sakura, bambu dan daun
momiji. Makanan yang disajikan pun dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai
benda-benda alam dan diwarnai sealami mungkin. Hubungan orang Jepang terhadap
alam ini erat kaitannya dengan adanya suatu paham yaitu naturaliseme. Naturalisme
yaitu suatu pandangan bahwa semuanya terpulang pada alam dan semuanya diserahkan
kepada alam. 1. Pemikiran yang berporos kepada proses dan fenomena prinsip dasar. 2.
Pandangan naturalisme dalam kesustraan, berujuan untuk mngemukakan sesuatu
apaadanya, tidak menuntut sesuatu yang ideal dan tidak meremhkan atau menyepelekan
sesuatu. Orang Jepang menghargai sesuatu yang bersifat alami. Nakamura berpendapat
bahwa kecintaan orang Jepang terhadap alam juga digambarkan melalui karya-karya
sastra mereka. Selain itu juga seperti upacara minum teh yang di dalamnya mewakili
alam sekitar mereka.

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


Hubungan yang ada dalam masyarakat Jepang adalah interpersonal relation,
seperti yang dijelaskan Nakane (1991) bahwa pada dasarnya masyarakat Jepang hidup
dalam kelompok-kelompok. Di dalam kelompok tersebut muncul konsep frame. Frame
diberikan oleh orang lain, status seseorang yang diberikan atas penilaian orang lain
terhadap individu tersebut. Frame ini sangat penting dalam kehidupan sehari-hari orang
Jepang. Semuanya berdasarkan hal tersebut, sebagai contoh A adalah anggota sebuah
perusahaan X hal ini disebut dengan frame. Selain itu, terdapat pula horizontal dan
vertical relation yang terbentuk dalam struktur internal kelompok. Horizontal relation
merupakan hubungan yang menghilangkan perbedaan status, sehingga tidak ada
ketimpangan dalam hubungan. Contohnya, kartu nama. Orang Jepang tidak
menggunakan gelar sarjana atau pun gelar yang lainnya dan tidak mencantumkan
jabatan. Hanya tertera nama dan nama perusahaan. Vertical relation merupakan
hubungan yang masih berdasarkan senioritas atau pun usia lebih tua. Hal ini dibuktikan
adanya senpai (senior), kohai (junior), dan douryou (teman). Adanya senioritas dalam
hubungan ini, maka ada penambahan sebutan berdasarkan senioritas mau pun usia.
Sebutan tersebut, antara lain, -San, -Kun, dan hanya nama saja. Kohai terhadap senpai
akan menambahkan –San saat berbicara. Senpai terhadap kohai saat memanggil akan
ditambahkan –Kun, sedangkan untuk teman tidak perlu menambahkan apa-apa.
Hubungan-hubungan tersebut pun hilang dalam upacara minum teh.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini saya menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini


mencoba mendeskripsikan suatu keadaan tertentu, antara lain dengan cara melakukan
pengamatan terhadap suatu fenomena tertentu (Creswell, 1944). Tipe penelitian yang
saya pilih adalah tipe penelitian deskriptif. Tipe penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan secara detail dan spesifik suatu situasi, setting sosial atau sebuah
hubungan. Untuk memperoleh data sesuai dengan masalah penelitian saya
menggunakan strategi penelitian yaitu studi kasus. Dapat disimpulkan bahwa studi
kasus : (1) menyajikan deskripsi yang mendalam dan lengkap, sehingga dalam
informasi-informasi yang disampaikannya nampak hidup sebagaimana adanya pelaku-
pelaku mendapat tempat memainkan peranannyan; (2) bersifat grounded atau berpijak
di bumi yaitu betul-betul empirik sesuai dengan konteksnya; (3) bercorak Holistik; (4)
menyajikan informasi yang berfokus dan berisikan pernyataan-pernyataan yang perlu-

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


perlu saja; (5) mempunyai kemampuan untuk berbicara dengan para pembacanya karena
disajikan dengan bahasa bisa dan bukannya tehnis angka-angka (Suparlan, 1994:5).

Teknik pengumpulan data yang saya pergunakan ialah partisipasi observasi,


wawancara, dan studi literatur. Metode partisipasi observasi atau pengamatan terlibat
berarti saya harus berpartisipasi dalam kegiatan dan proses penelitian, dan mencoba
memahami dan mengerti makna yang diberikan atau yang dipahami oleh masyarakat
yang diteliti. Pengamatan terlibat terhadap kegiatan yang diadakan oleh Asosiasi
Urasenke Tankokai Indonesia sangat penting untuk dilakukan. Hal tersebut merupakan
salah satu cara efektif dalam memperoleh informasi, antara lain dengan mengikuti kelas
yang diadakan oleh Asosiasi Urasenke Tankokai Indonesia dan ikut serta setiap
diadakan demo guna memperkenalkan Asosiasi Urasenke Tankokai Indonesia dan
chado (upacara minum teh).

Selain metode partisipasi observasi, saya juga menggunakan metode wawancara.


Wawancara dilakukan dengan cara terbuka agar informan tidak terbatas dalam
menjawab dari pertanyaan yang diajukan. Wawancara secara mendalam dilakukan
dengan terlebih dahulu menyusun pedoman wawancara. Wawancara dengan pedoman
adalah suatu tehnik untuk mengumpulkan informasi dari para anggota masyarakat
mengenai suatu masalah khususnya dengan tehnik bertanya yang bebas dengan tujuan
untuk memperoleh pendapat (Suparlan, 1994: 26). Dalam wawancara ini, informan
dimungkinkan menggunakan istilah-istilah mereka sendiri berkaitan dengan fenomena
yang diteliti, sehingga para informan tersebut tidak hanya sekadar menjawab pertanyaan.

Saya juga melakukan studi pustaka untuk memperkuat dan memperkaya


informasi dan analisa atas temuan lapangan. Studi kepustakaan juga penting dalam
membuat perumusan masalah dan membangun kerangka konsep yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Selain itu, saya juga mengambil data
yang diperoleh dari para sensei Asosiasi Urasenke Tankokai Indonesia.

Dalam pemilihan informan, saya menggunakan dua kriteria informan yaitu


informan kunci (key informan) dan informan pendukung. Informan kunci ialah beberapa
sensei1 yang mengajarkan tata cara upacara minum teh dari Asosiasi Urasenke Tankokai

1
Sensei (先生) memiliki arti Guru.

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


Indonesia. Saya hanya memilih dua sensei dari lima sensei. Saya memilih dua sensei
tersebut karena beliau memiliki pengetahuan mengenai upacara minum teh. Beliau
dapat memberikan informasi kepada saya mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam
upacara minum teh. Saya merupakan didikan kedua sensei tersebut saat mengikuti kelas
upacara minum teh yang diadakan oleh Japan Foundation. Kedua sensei tersebut adalah
Pohan sensei dan Suwarni sensei. Pohan sensei adalah orang Jepang yang menetap di
Indonesia mengikuti suaminya yang merupakan seorang WNI (Warga Negara
Indonesia). Beliau pernah menjabat sebagai ketua Asosiasi Urasenke Tankokai
Indonesia. Sedangkan Suwarni sensei merupakan sensei upacara minum teh yang
termuda diantara kelima sensei tersebut. Suwarni sensei merupakan orang Indonesia
keturunan Cina yang mempelajari dan memperdalam mengenai teh sejak beliau masih
muda. Beliau mempelajari tata cara minum teh Jepang maupun Cina. Beliau merupakan
murid Pohan sensei saat beliau pertama kali mempelajari upacara minum teh. Sejak
kecil beliau mempelajari teh. Pada tahun 1986, beliau bertemu dengan Pohan sensei
secara tidak sengaja dan ternyata beliau diajak bergabung ke kelompok chanoyu. Pada
tahun 1987, secara resmi beliau menjadi anggota chado, Urasenke Dokokai Indonesia,
dimana Pohan sensei menjadi sensei beliau. Beliau juga pernah dikirim ke Urasenke di
Kyoto sebagai perwakilan Indonesia. Pada tahun 2008 hingga sekarang beliau menjadi
asisten Pohan sensei.

Informan pendukung meliputi orang-orang yang memiliki hubungan dengan


sosialisasi upacara minum teh tersebut diantaranya satu anggota Asosiasi Urasenke
Tankokai Indonesia yang berwarganegaraan Jepang dan dua orang Indonesia yang
sebagai anggota Urasenke Tankokai Indonesia. Saya memilih satu orang Jepang yang
menjadi salah satu anggota Asosiasi Urasenke Tankokai Indonesia sebagai informan.
Saya memilih beliau, karena beliau sering terpilih menjadi otamae (penyaji teh) saat
perwakilan dari Asosiasi Urasenke Tankokai Indonesia memperkenalkan upacara
minum teh merupakan salah satu budaya Jepang kepada masyarakat Indonesia. Saya
memilih Ratih dan Yola sebagai informan saya dengan latar belakang anggota Asosiasi
Urasenke Tankokai Indonesia yang berwarga negara Indonesia. Saudara Ratih dan
saudara Yola ini akan dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian saya dengan
memberikan informasi mengenai upacara minum teh dari sudut pandang orang
Indonesia.

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


Penelitian dilakukan di tiga tempat, yaitu Japan Foundation, Rumah Suwarni
sensei, dan Rumah Pohan sensei. Japan Foundation merupakan tempat dimana saya
mengenal salah satu budaya Jepang, chado. Saya ikut serta dalam kelas chado yang
diadakan oleh Japan Foundation. Rumah Suwarni sensei merupakan tempat
mempelajari chado pada tingkat dasar. Semua anggota Asosiasi Urasenke Tankokai
Indonesia yang belum memiliki dasar tata cara upacara minum teh harus mempelajari
upacara minum teh dengan Suwarni sensei. Setelah mendapatkan sertifikat tingkat dasar
oleh Daisensei2 diperbolehkan berpindah ke rumah Pohan sensei. Rumah Pohan sensei
juga dijadikan sebagai tempat belajar chado untuk tingkat atas. Sebagian besar anggota
yang latihan di rumah Pohan sensei adalah orang Jepang yang tinggal di sini.

Pembahasan
Pada awalnya teh di Jepang diperkenalkan oleh seorang biksu Budha yang
dikirim ke Cina. Teh sangat diterima oleh para biksu dan para bangsawan. Pada
mulanya cara penyajian teh yang dilakukan oleh para bangsawan menggunakan
peralatan teh yang terbuat dari porselin mewah. Suatu hari seorang biksu pengikut aliran
Zen, Murata Shuko melakukan perubahan dalam menyajikan teh. Ia menyajikan teh
dengan menggunakan peralatan produksi lokal dan ruangan kecil. Hal tersebut
merefleksikan kesederhanaan. Perubahan tersebut dikembangkan lagi oleh Sen Rikyu.
Sen Rikyu membuat prinsip-prinsip dasar dalam melakukan pembuatan teh, yaitu Wa,
Kei, Sei, Jaku (keserasian, rasa hormat, kemurnian, dan ketenangan). Sen Rikyu ini
dikenal pandai menyajikan teh oleh kalangan shogun.

Suatu hari Sen Rikyu diperintahkan untuk bunuh diri oleh Hideyoshi, seorang
shogun terkenal pada saat itu. Sen Rikyu pun melakukan bunuh diri. Anak dari istri
kedua Sen Rikyu, Shoan Sojun mendirikan rumah teh. Setelah itu dilanjutkan oleh
Gempaku Sotan yang memiliki empat anak dari kedua istrinya. Anak pertama dari istri
keduanya melanjutkan warisan kepala rumah tangga rumah teh, Urasenke. Anak-anak
yang lain mewarisi Mushakojisenke dan Omotesenke.
Upacara Minum teh

2
Daisensei (大先生) memiliki arti secara harfiah guru besar.

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


Pada masa itu teh dikenal sebagai suatu sarana stimulasi ringan guna menolong
mereka dalam belajar dan bermeditasi serta dikenal sebagai ramuan obat. Selain sebagai
meditasi dan ramuan obat, juga sebagai alat untuk menyebarkan ajaran Zen dan
meletakkan dasar spiritual bagi “chado”. Berdasarkan pada pencarian naluri menuju inti
kenyataan, ajaran dari agama Budha Zen memberikan keleluasaan kepada guru teh
untuk mengembangkan nilai estetika teh. Hal itu telah mencakup bukan hanya prosedur
mempersiapkan serta menyajikan teh, namun juga termasuk pembuatan peralatan
minum teh, bentuk ruangan minum teh, arsitektur taman, kesusasteraan dan lain-lain.

Chanoyu dikenal sebagai “Upacara minum teh” tetapi arti harfiahnya adalah “air
panas untuk teh”. Secara sederhana chanoyu dapat diartikan sebagai perpaduan dari
berbagai seni Jepang yang berfokus pada „persiapan‟ dan „penyajian‟ semangkuk teh
dengan sepenuh hati. Sebelum upacara minum teh dilakukan tuan rumah membersihkan
ruangan tersebut, menggantung tulisan kias/ungkapan (kakejiku), menyiapkan perapian
guna merebus air (furo gama) untuk membuat teh, serta telah disiapkan pula kue kering
manis kecil (chagashi), semua itu dilakukannya dengan harapan agar prosesi upacara
minum teh tersebut dapat memberikan ketenangan jiwa terhadap orang di dalam
ruangan teh.

Pada akhir abad ke-15 kebiasaan untuk menghidangkan teh dipelajari dengan
seksama oleh biksu Murata Shuko, seorang pengikut biksu Zen, yang telah mengetahui
banyak tentang tata-krama minum teh sebagaimana dilakukan dalam istana para shogun.
Berlainan dengan kebiasaan pada masa itu yang selalu menggunakan ruangan besar dan
peralatan porselen Cina yang mewah, ia lebih senang menghidangkan teh dalam
ruangan kecil dengan produksi lokal dan dalam jumlah yang terbatas. Kemudian Takeno
Joo, seorang pedagang, mengembangkan konsep wabicha (tata cara menikmati teh)
yang merefleksikan kesederhanaan atau kerendahan hati. Para guru teh pengikut “chado”
telah mengembangkan suatu nilai estetika yang telah meresapi kebudayaan Jepang. Sen
Rikyu (1522-1591) mempelajari tata cara upacara teh dengan Takeno Joo, tetapi Sen
Rikyu banyak mendapat pengaruh dari ajaran Zen, sehingga dia banyak memodifikasi
tata cara upacara teh yang diajarkan oleh Takeno Joo, salah satunya yang paling
terkenal adalah „merangkak‟ diatas tatami (sejenis tikar yang digunakan sebagai lantai
di ruangan gaya tradisional Jepang) saat memasuki ruangan minum teh yang

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


mencerminkan tidak ada perbedaan tingkatan atau kelas. Selain itu, Sen Rikyu
menyimpulkan prinsip-prinsip dasar “chado” dengan empat aksara “Wa Kei Sei Jaku”
(keserasian, rasa hormat, kemurnian dan ketenangan) adalah prinsip yang dipegang
teguh para praktisi chanoyu yang juga dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Tata
cara minum teh inilah yang menjadi paling banyak diikuti oleh pecinta teh, sehingga
didirikannya Sekolah Teh Urasenke. Empat puluh tahun belakangan ini Sen Genshitsu,
ayah sekaligus gurunya telah mulai berkeliling dunia untuk memperkenalkan chanoyu
ke berbagai belahan dunia. Dia percaya ketika orang berkumpul untuk berbagi
semangkuk teh, kedamaian akan tercipta.

Peralatan Teh

Upacara minum teh dilengkapi dengan peralatan khusus yang digunakan untuk
menyiapkan dan menyajikan tehnya. Tipe peralatan yang digunakan berbeda-beda
sesuai dengan tipe upacara yang dilakukan. Pada upacara minum teh formal yang
diselanggarakan di hiroma, perlengkapan yang digunakan adalah perlengkapan yang
sempurna. Contohnya, menggunakan mangkuk teh yang bentuknya sempurna lengkap
dengan dudukannya, mangkuk teh seperti ini disebut tenmoku, yang mengungkapkan
betapa pentingnya sang tamu atau tujuan acaranya. Upacara minum teh semiformal
menggunakan mangkuk teh yang simetris seperti Hagi, atau mangkuk jenis gaya Korea
sedangkan pada upacara minum teh informal, yang biasanya diadakan dalam pondok
atau rumah teh yang bernuansa pedesaan, menggunakan mangkuk yang lebih sederhana,
bentuknya alami apa adanya, namun tetap memberikan keindahan. Dalam upacara yang
seperti ini benar-benar mencerminkan keindahan wabicha yang sangat mementingkan
arti kesederhanaan.

Wabi asal kata dari wabishii yang artinya sunyi, sepi (kesepian). Sabi asal kata
dari sabishii yang artinya kesepian. Sabi secara harfiahnya berarti karat. Sebagai nilai
estetika, wabi merupakan keindahan dalam ruang, sedangkan sabi merupakan
keindahan dalam waktu (Kojien, 1993). Keindahan yang terkandung dalam wabi dan
sabi tidak menuntut kesempurnaan, melainkan indah itu ada. Oleh karena itu dalam
upacara minum teh menggunakan peralatan yang sederhana menyerupai alam. Sen
Rikyu menggunakan chawan atau mangkuk sederhana tak berwarna, tanpa kilau emas,
atau hiasan lainnya. Walaupun pada masa itu banyak kalangan bangsawan lebih

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


memilih peralatan teh klasik dari Cina. Sen Rikyu juga memotong bambu sendiri yang
membuatnya menjadi chasaku, yaitu sendok teh bubuk dari bambu. Sen Rikyu lebih
menyukai dan menghargai barang yang terbentuk dari bahan apa adanya, bagi Sen
Rikyu itulah yang membuatnya puas. Dalam pandangan Zen sesuatu yang sederhana
dan atau tidak sempurna yang terbentuk secara alami dan apa adanya dinilai sebagai
sesuatu yang indah. Keindahan yang alami mencerminkan nilai-nilai spiritual di
dalamnya.

Urutan Prosesi Chanoyu


Sebelum melakukan upacara minum teh banyak hal yang harus diperhatikan,
seperti pakaian, peralatan, perhiasan, kaos kaki, dan sendal. Saat mengadakan upacara
minum teh, para penyaji teh harus menggunakan kaos kaki. Seperti yang diberitahukan
oleh Suwarni sensei, hal ini karena pada waktu para penyaji teh melangkahkan kakinya
ke dalam ruang upacara minum teh, semua para tamu pasti akan melihat bagian bawah,
seperti kaki, apabila tidak menggunakan kaos kaki akan terlihat tidak sopan, apabila
kaki kita tidak sengaja menginjak kotoran, padahal kita harus dalam keadaan bersih saat
memasuki ruang upacara minum teh. Hal ini disebabkan adanya pengaruh Zen dalam
budaya Jepang yang mengajarkan kesucian.

Penyaji teh pun harus latihan upacara minum teh agar tidak terjadi kesalahan
dalam melaksanakannya. Dikarenakan setiap tahap prosesi, seperti halnya melakukan
meditasi, membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk menyelami suasana yang damai
di dalam jiwa dan pikiran. Sesuai dengan prinsip dasar dalam upacara minum teh,
semua detailnya dilakukan dengan keharmonisan baik antar manusianya, ataupun
keadaan lingkungan sekitarnya, dan juga dengan penuh sikap yang saling menghargai
dan hormat antar sesama. Prosesi penuh kesucian di dalamnya, baik kesucian rohani
ataupun jasmani, hingga akhirnya mencapai inti dari upacara minum teh yaitu
ketenangan. Dengan suasana yang seperti ini, semua hiruk-pikuk keramaian kota dan
masalah-masalah duniawi akan terlupakan dan mencapai rasa damai dan tenang di
dalam jiwa dan raga. Kesalahan yang dilakukan oleh penyaji teh dalam prosesi upacara
minum teh akan merusak suasana yang tenang.

Proses pembersihan peralatan-peralatan teh dalam prosesi upacara minum teh


merupakan simbol dari penyucian ritual. Proses selanjutnya adalah proses persiapan dan

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


penyuguhan teh. Dalam upacara minum teh penyaji teh pun harus menyucikan gunung
Fuji yang disimbolkan dengan bentuk bubuk teh hijau. Bubuk teh hijau yang masih
tertempel pada chashaku harus dibenturkan ke chawan agar bubuk teh hijau tidak
terbuang. Manusia yang mengambil kekayaan alam pun harus memanfaatkan semuanya
dengan baik, tidak diperkenankan menyia-siakan kekayaan alam yang sudah diambil
dari alam. Hal tersebut mencerminkan ketidaksyukuran manusia atas apa yang diberikan
Kamisama. Penyaji teh menuangkan air panas ke dalam chawan kira-kira 50 ml untuk
membuat semangkuk teh hijau. Penyaji teh akan menganduk teh dengan menggunakan
chasen, hingga tehnya larut dan ditambah lagi dengan air panas, diaduk lagi sampai
permukaannya berbusa halus. Semangkuk teh akan jadi dengan baik atau tidak baiknya
tergantung dari hati penyaji teh saat membuat teh tersebut. Hati yang tenang, percaya
akan kemampuannya, dan tidak memikirkan dunia luar dari ruangan teh akan
menghasilkan teh yang baik dengan dipenuhi busa halus dan tidak meninggalkan bubuk
teh setelah diminum, melainkan akan meninggalkan busa. Teh yang tidak baik, seperti
teh yang tidak dipenuhi busa dan akan meninggalkan bubuk teh setelah diminum. Hal
tersebut dikarenakan hati penyaji teh yang tidak tenang, masih banyak hal yang
membebani pikirannya saat membuat teh. Pikiran yang tenang akan mempengaruhi
gerakan kocokan. Penyaji teh akan cepat lelah saat mengocok apabila hatinya tidak
tenang. Teh yang dipenuhi dengan busa akan menghasilkan rasa yang tidak pahit.

Saya telah menjelaskan tata cara dalam upacara minum teh dari posisi penyaji
teh dan sekarang saya akan menjelaskan dalam konteks yang sama dari perspektif tamu.
Tamu yang diundang hanya beberapa orang, sekitar 4-5 orang. Biasanya orang yang
diundang merupakan satu kelompok dengan penyaji teh yang memiliki hubungan dekat
atau amai yang membiarkan mereka berlaku manja terhadap penyaji teh. Selain itu,
tamu yang diundang merupakan orang yang sudah mengetahui tata cara upacara minum
teh. Tamu yang tidak mengetahui tata cara upacara minum teh akan mengganggu
prosesi upacara minum teh dan tamu lain yang berada dalam ruangan. Tamu diharapkan
mengenakan pakaian yang sopan dan tidak menunjukkan kekayaannya. Semua tamu
diwajibkan membersihkan diri sebelum memasuki ruangan upacara minum teh
membilas tangan dan kaki dengan air yang telah disediakan. Hal ini dikarenakan
sucinya upacara minum teh, sehingga semua orang yang akan memasuki ruangan teh
harus bersih. Bagi tamu yang memakai perhiasan, seperti cincin, kalung, anting, jam

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


tangan, gelang, dan lain-lain harus dilepas sebelum memasuki ruangan upacara minum
teh. Semua orang dalam ruangan teh berposisi sejajar, tidak ada perbedaan secara
jabatan, identitas seperti gelar, atau harta.

Bahasa

Bahasa dapat menunjukkan adanya perbedaan hubungan interpersonal dan


hubungan horizontal dan vertikal sesuai dengan apa yang ada dalam buku Chie Nakane.
Bahasa formal biasanya digunakan pada saat acara pemerintahan, saat berpidato,
upacara minum teh, dll. Bahasa formal ini sangat menunjukkan adanya hubungan
vertikal antara si pembicara dengan lawan bicara. Dalam upacara minum teh bahasa
yang digunakan merupakan bahasa formal. Bahasa formal ini digunakan untuk
menghormati para tamu bahwa mereka sangatlah penting dalam upacara minum teh ini
dan penyaji teh akan memberikan yang terbaik terhadap para tamu, begitu juga dengan
para tamu yang menggunakan bahasa formal untuk menghormati para penyaji teh yang
telah mempersiapkan upacara minum teh beberapa bulan sebelumnya.

Pelanggaran Dalam Upacara Minum Teh

Dalam upacara minum teh diajarkan disiplin kepada tiap penyaji teh, tetapi
dalam lapangan yang saya temukan terdapat pelanggaran yang dilakukan penyaji teh
setiap melakukan upacara minum teh. Pelanggaran tersebut dapat mengakibatkan
kerusakan pada peralatan upacara minum teh, selain itu mengganggu kekhidmatan
dalam prosesi upacara minum teh. Peralatan teh di dalam ruangan teh tersebut
merupakan perwakilan dari alam yang diberikan Kamisama. Penyaji teh yang
melakukan pelanggaran menunjukkan bahwa ia tidak melakukan persiapan upacara
minum teh dengan sebaik mungkin. Hal ini dikarenakan dalam melakukan upacara
minum teh bagaikan esok hari akan mati, sehingga harus melakukan dengan sebaik
mungkin.

Kesimpulan

Upacara minum teh ini merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang mendapat
pengaruh dari Zen dalam pemaknaan setiap hal di dalamnya. Dengan adanya pengaruh
Zen tersebut, upacara minum teh memiliki prinsip-prinsip yang diciptakan oleh Sen

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


Rikyu, yaitu “Wa Kei Sei Jaku” (keserasian, rasa kehormatan, kemurnian dan
ketenangan). Keempat prinsip tersebut adalah prinsip yang dipegang teguh para penyaji
teh upacara minum teh yang juga dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Upacara minum teh yang dihubungkan dengan konsep attribute Chie Nakane
dapat melihat bagaimana kebudayaan Jepang, seperti kedisplinan, kesederhanaan,
ketelitian, sangat rinci, teratur, totalitas dalam melaksanakan sesuatu, hirarkis,
individual tapi berkelompok, harmonis dengan alam, asimetris, dan kedamaian. Semua
hal tersebut dapat dilihat dalam prosesi upacara minum teh. Penyaji teh harus
melakukan semuanya dengan benar tanpa melakukan kesalahan dan tidak melakukan
pelanggaran. Selain itu, seseorang yang belajar upacara minum teh tidak diperkenankan
merekam atau mencatat tahapan upacara minum teh saat latihan berlangsung. Hal
tersebut menunjukkan bahwa seorang murid diajarkan kedisplinan yang membuat ia
menjadi seseorang yang memiliki konsentrasi tinggi. Semua hal dalam upacara minum
teh benar-benar menunjukkan kesederhanaan dari atribut yang dipakai penyaji teh
maupun tamu, peralatan teh, dan ruangan teh. Kesederhanaan tersebut merupakan salah
satu nilai penting bagi orang Jepang yang ditanam sejak kecil.

Dalam melaksanakan upacara minum teh diajarkan ketelitian. Seseorang yang


ingin melaksanakan upacara minum teh harus mempersiapkan segala sesuatu dengan
rinci dari hal terkecil hingga yang terbesar. Karena ketelitian tersebut menunjukkan
bahwa orang Jepang memiliki nilai totalitas setiap melakukan sesuatu hal. Bagaikan
hari ini adalah ia hidup yang terakhir di dunia, sehingga melakukan suatu hal dengan
totalitas. Posisi duduk tamu dalam prosesi upacara minum teh menunjukkan bahwa
adanya hirarkis dalam budaya Jepang. Pria yang lebih tua atau yang dituakan menjadi
tamu pertama. Apabila kita melihat orang Jepang sekilas akan tampak bahwa orang
Jepang itu individual, melakukan apa pun sendiri bila masih memungkinkan untuk
dilakukan sendiri. Ternyata dalam melakukan upacara minum teh terlihat bahwa orang
Jepang merupakan individual tapi berkelompok. Selain itu, upacara minum teh juga
mewakili nilai budaya Jepang yang harmonis dengan alam, asimetris, dan penuh
kedamaian.

Makna yang terdapat dalam upacara minum teh mewakili nilai-nilai budaya
Jepang. Orang Indonesia yang ingin dapat memahami atau mengetahui budaya Jepang

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


bisa dengan mempelajari upacara minum teh. Selain orang Indonesia yang mempelajari
upacara minum teh dapat mengetahui kebudayaan Jepang itu sediri, upacara minum teh
juga dapat mengajarkan masyarakat Indonesia lebih menghargai teh, kekayaan alam,
sesama manusia, dan Tuhan.

Upacara minum teh ini dapat mewakili kebudayaan Jepang yang begitu
kompleks. Dengan mempelajari atau mengetahui upacara minum teh dapat memahami
budaya Jepang. Saya pernah berbincang dengan beberapa mahasiswa dan pekerja muda
Jepang di Jakarta mengenai minat mereka terhadap upacara minum teh dan nilai budaya
mereka. Sebagian besar menyatakan bahwa sudah jarang sekali generasi muda
mempelajari upacara minum teh dengan alasan kuno. Selain itu, beberapa dari mereka
juga menyatakan sekarang tidaklah sama dengan masa lalu yang terlalu ketat dalam
mematuhi peraturan dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masuknya budaya
asing ke Jepang, sehingga banyak generasi muda meningalkan nilai budaya lokal
mereka. Akibatnya dapat terlihat pada generasi muda tidak lagi sebegitu menaati
peraturan dalam kehidupan sehari-hari atau nilai-nilai budaya yang selama ini dipegang
teguh oleh generasi tua. Saya melihat bahwa adanya pergeseran nilai budaya pada anak
muda Jepang, menyebabkan mereka sebagai generasi muda mempertahankan budaya
mereka sendiri dalam derasnya budaya asing masuk ke Jepang, seperti halnya mereka
yang mencoba mempertahankan dan memperkenalkan Chado ke sebagian negara di luar
Jepang.

DAFTAR REFERENSI

Ackermann, Peter
1997 The Four Seasons: One of Japanese Culture’s Most Concept. Japanese
Images of Nature: Cultural Perspective. England: Curzon
Aoki, Haruo & Okamoto, Shigeto.
1998 Rules for conversational rituals in Japanese. Japan: Taishukan
Publishing Company.
Ashkenazi, Michael.
1993 Matsuri, Festivals of A Japanese Town. United State of America.
University of Hawaii Press.
Austin, J.L.

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


1962 How to do things with word. New York: Oxford University press.

Bruner, Edward M
1986 Experience and Its Expressions, dalam V. W. Turner and E. M. Bruner
(eds). The Anthropology of Experience. Urbana: University of Illinois
Press. Hal 3-36
Bunkacho.
1998 Aisatsu kotoba siriizu 14: Aisatsu to kotoba. Jepang: Okurashou Insatsu
Kyoku.
Daisetsu, Suzuki
1977 Zen and Japanese Culture. Guides to Japanese Culture. Tokyo: The
Japan Culture Institute.
Danandjaja, James.
1997 Foklor Jepang. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
Doi, Takeo.
1992 Anatomi Dependensi: Telaah Psikologi Jepang. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.
Encyclopedia Japan.
1979 Jilid A-Z. Tokyo, h. 362-370.
1989 Jilid M-Z. Tokyo, h. 1131-1142
Gen, Itasaka
1971 Nihonbi no Shinzuito (Semete). Nihonjin no Ronrikouzou. Tokyo:
Kodansha.
Haga, Hideo.
1968 Japanese Fetivals. Osaka. Hoikusha Publishing Co., Ltd.
Hajime, Nakamura
1971 Nihonjin no Shii Hoohoo. Nihon Bunka Kenkyusho. Tokyo: Nihon
Bunka Kenkyusho Jenshukyoku.
Inoue, Yasushi.
1973 The Tea Ceremony. Japan. Kondansha International and Dai Nihon
Chadou Gakkai.
Isao, Kumakura

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


1989 Sen no Rikyuu: Inquiries into his Life and Tea. Tea in Japan: Essay on
the History of Chanoyu. Honolulu: University of Hawaii.
Ishikawam Takashi
1986 Kokoro: The Soul of Japan. Tokyo: The East Publication.
Kabushikigaisha Shskishoshisha
1989 Bonsai, Nihon no Shiru Jiten. Tokyo
Kooshiro, Haga
1989 The Wabi Aesthetic Through The Ages. The in Japan: Essay on The
History of Chanoyu. Honolulu: University of Hawaii.
Lawanda, Ike Iswary.
2009 Matsuri & Kebudayaan Korporasi Jepang. Jakarta. ILUNI Kajian
Wilayah Jepang Press.
Mizutani, Osamu & Mizutani, Nobuko.
1987 How to be polite in Japanese. Jepang: The Japan Times.
Nakane, Chie
1991 Japanese Society. Tokyo: Charles E. Tuttle Company, Inc.
Okakura, Kakuzo
1989 The Book of Tea. The classic work on the Japanese tea ceremony and the
value of beauty. United States: Kondansha American, Inc.
Sadler, A. L.
1962 “Cha-No-Yu” The Japanese Tea Ceremony. Tokyo: Charles E. Tittle Co,.
Inc
Sakamoto, Tarou
1992 Jepang Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Shoushitsu XVI
2011 Urasenke Chado Textbook. Kyoto: Tankosha Publishing Co, Ltd.
Shoushitsu Sen XV
1988 Chanoyu. The Urasenkee Tradition of Tea. Japan: Tankosha.
Shoshitsu Sen XV
1979 Tea Life, Tea Mind. Tokyo: John Weatehrhill, Inc.
Shinichi, Hisamatsu

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012


1974 Zen and Fine Arts. Tokyo: Kodansha Internatuonal.
Smith, Robert J.
1983 Japanese Society. Tradition, self, and the social order. New York:
Cambridge University Press.
Soshitsu Sen
1979 Chado. The Japanese Way of Tea. New York and Tokyo: John
Weatherhill, Inc.
Varley, Paul dan Kumakura Isao.
1989 Tea in Japan: Essays on the history of Chanoyu. Honolulu. University of
Hawaii press.
Yukio, Yashiro
1965 Characteristics of Japanese Art. Tokyo: Iwanami Shoten.

Jurnal
Schleicher, Antonia Folarin. 1997. Using greetings to teach cultural understanding. Teh
modern language journal. 334-343.

Internet
Diakses pada pukul 20.30 WIB tanggal 25 Oktober 2012:
http://sekedarwawasan.blogspot.com/2012/03/upacara-minum-teh-Jepang.html
Diakses pada pukul 20.30 WIB tanggal 05 November 2012:
http://keiontehdreamland.blogspot.com/2010_05_01_archive.html
http://www.healthyteastore.com/pages/Korean-Tea-Ceremony.html
http://sekedarwawasan.blogspot.com/2012/03/upacara-minum-teh-Jepang.html
Diakses, 10 November 2012, pukul 10.15 WIB:
http://www.urasenke.or.jp/texte/Chado/Chado2.html
http://japanese-tea-ceremony.net/schools.html
http://www.omotesenke.jp/english/chanoyu/3_3_2.html
http://www.omotesenke.com/english/
http://www.mushakouji-senke.or.jp/temae.html

Memahami Kebudayaan..., Ria Shaumi Widyanisa, FISIP UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai