Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

EKONOMI PEDESAAN DAN BUMDES

Mata Kuliah Perekonomian Indonesia

Dosen Pengampu:

Ciplis Gema Qori’ah, S.E., M.Sc

Disusun Oleh

Kelompok 6:

Gabrielle Happy Prasasti I. 200810301042


Maritza Tiara Dewi 200810301070
Aisyah Nurefa Afifah 200810301076
Fajar Anita Hayatun Nufus 200810301108
Tyas Rosydah 200810301114
Zainul Arifin 200810301128

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas Perekonomian Indonesia yang berjudul “Ekonomi
Pedesaan dan BUMDes” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Perekonomian Indonesia. Selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan tentang sejarah, pengertian, dan sistem pengelolaan ekonomi pedesaan dan
BUMDes.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ciplis Gema Qori’ah, S.E., M.Sc
selaku dosen pengampu Mata Kuliah Perekonomian Indonesia. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu diselesaikannya
makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun untuk penulis diharapkan demi kesempurnaan isi
makalah ini.

Jember, 30  Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3. Tujuan Penulisan.....................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................6
2.1. Pengertian Desa.......................................................................................................6
2.2. Otonomi Desa........................................................................................................10
2.3. Pengertian Potensi Ekonomi Pedesaan dan BUMDes..........................................15
2.4. Sejarah Awal Pembentukan BUMDes...................................................................19
2.5. Pentingnya BUMDes Bagi Kesejahteraan Desa...................................................22
2.6. Pembentukan dan Pengelolaan BUMDes.............................................................25
2.7. Contoh Pengelolaan BUMDes (BUMDes Raharjo)..............................................31
BAB III PENUTUP............................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................34

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada umumnya desa merupakan kata yang menggambarkan suatu wilayah


yang selalu dikaitkan dengan pulang kampung, kampung halaman, tempat tinggal
kakek nenek, tempat berlibur saat liburan sekolah, dan lain sebagainya. Pedesaan
sering digambarkan sebagai suatu tempat yang jauh dari wilayah perkotaan. Di
Indonesia pedesaan biasanya memiliki ciri umum yang khas yaitu tentang kearifan
lokal yang dimilikinya serta masih sangat kental dengan budayanya. Selain kearifan
lokal dan budaya yang dimiliki, pedesaan ini selalu mampu menyajikan suasana alam
dan kondisi udara yang masih sangat bersih dan segar. Akan tetapi, dilain sisi
pedesaan ini dipandang sebagai suatu tempat yang memiliki kondisi ketertinggalan
bila dibandingkan dengan wilayah perkotaan baik dari segi ekonomi dan aspek
lainnya, seperti teknologi yang digunakan, gaya hidup, kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kesehatan, dan lain
sebagainya.
Jika dipandang menurut garis kepemerintahan, desa ataupun kelurahan
merupakan satuan pemerintahan yang paling rendah yang di mana di atasnya terdiri
dari satuan pemerintahan kabupaten atau kota, dan di atasnya lagi terdapat satuan
pemerintah provinsi. Meskipun memiliki posisi yang paling rendah dalam satuan
pemerintah akan tetapi desa ini tetap memiliki aturan hukum yang berlaku dan juga
kewenangan sekalipun kewenangan yang dimiliki oleh satuan pemerintahan desa
tidak setinggi dan seluas kewenangan satuan pemerintahan di atasnya seperti
kabupaten atau kota dan provinsi.
Bagaimanapun pengertian yang dinyatakan oleh berbagai pihak yang
terpenting dalam hal ini adalah desa mempunyai kedudukan dan peran yang strategis
bagi Negara Indonesia. Satuan pemerintahan desa mampu menyumbangkan perannya
kepada Negara Indonesia. Dengan adanya satuan pemerintahan desa ini maka
struktur kepemerintahan yang ada dalam susunan kepemerintahan Negara Indonesia
akan semakin lebih kuat. Salah satu tujuan pemerintah adalah menyejahterakan
masyarakat dan agen terdepan dari tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah
tersebut adalah masyarakat desa. Untuk dapat mencapai kepada masyarakat desa

1
maka sangat dibutuhkan dengan adanya satuan pemerintah desa. Disinilah yang
menjadi titik terpenting peran satuan pemerintahan desa kepada Negara Indonesia.
Pada masa pemerintahan orde baru yang didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 menggambarkan sebuah sistem sentralisasi yang masih terlihat
tajam dalam proses pembuatan kebijakan untuk penyelenggaraan pedesaan. Menurut
B.N. Marbun, sentralisasi merupakan pola kenegaraan yang memusatkan seluruh
pengambilan keputusan ekonomi, politik, sosial di satu pusat. Dari pengertian yang
dinyatakan oleh B.N. Marbun dapat diketahui bersama bahwa pembuatan kebijakan
untuk desa guna pengembangan desa berada di tangan pemerintah pusat. Sistem ini
sering dikenal dengan sebutan kebijakan dari atas ke bawah “top-down planning and
development”. Meskipun dalam hal ini, pemerintah pusat ini tidak dapat mengetahui
secara langsung apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh satuan pemerintahan desa
terkait.
Kondisi desa di Indonesia berbeda-beda antara satu dengan lainnya,
hadirnya sistem sentralistik memaksakan kehendak bahwa kondisi desa di Indonesia
memiliki kondisi yang sama rata. Pemerintah pusat pada saat orde baru yang
menerapkan sistem sentralistik ini berkuasa penuh dan berhasil mendominasi. Yang
seharusnya terjadi adalah masyarakat yang berada di tingkat desa dapat menjadi
pelaku ataupun subjek dari sebuah program pemerintah yang akan dilaksanakan.
Akan tetapi, dengan sistem sentralistik ini fakta mengatakan bahwa masyarakat desa
menjadi suatu objek dari program pemerintah yang telah jauh dirancang sebelumnya.
Kondisi ini tidak selamanya terjadi, masa reformasi berhasil mengubah
segala keadaan yang terjadi. Pada masa reformasi pembangunan pemerintah
dilakukan dengan sistem dari bawah ke atas “bottom-up”. Berbanding terbalik
dengan sistem sebelumnya, sistem ini pemerintah pusat lebih menyerahkan
kekuasaan desa kepada pihak satuan pemerintah desa yang terkait. Sistem ini
menggambarkan peran masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat tidak hanya
menjadi objek dan penonton dari program yang tengah diluncurkan pemerintah akan
tetapi masyarakat juga mampu berperan dan berposisi sebagai subjek dari program
yang akan diluncurkan oleh pemerintah guna terlaksananya pembangunan desa.
Pembangunan desa adalah suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah
guna meningkatkan kualitas pedesaan baik dari segi Sumber Daya Manusia (SDM),
ekonomi, tingkat kesehatan, dan juga pendidikan. Yang menjadi tujuan dari
dilakukannya upaya ini adalah sebagai wujud peduli pemerintah pusat kepada

2
masyarakat pedesaan dan juga menggapai cita-cita pemerintahan yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat guna memberantas kemiskinan dan ketimpangan di
Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pasal 78 ayat 1 yang membahas
tentang desa berbunyi “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berdasarkan dari UU tersebut,
dapat disimpulkan bahwa desa memiliki kewenangan dan berhak untuk mengelola
secara mandiri daerah yang dimilikinya.
Desa sebagai daerah otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan, desa
memiliki wewenang tersendiri untuk mengatur dan mengarahkan apa yang
seharusnya dilakukan untuk memenuhi kepentingan masyarakat setempat.
Wewenang ini memberikan sebuah kebebasan dalam pembuatan suatu kebijakan
tetapi tetap pada konsep bahwa kebijakan apa yang akan dibuat didasarkan pada
aspirasi masyarakat setempat dengan melihat kondisi dan situasi yang sedang terjadi.
Salah satu bentuk kebebasan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada
desa adalah dengan diadakannya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
BUMDes bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru. Sebelumnya
BUMDes ini diatur melalui perundang-undangan dalam pasal 213 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kemudian perundang-
undangan ini diubah dan menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa kesempatan besar bagi desa untuk mendirikan sebuah badan
usaha yang disesuaikan dengan potensi serta kebutuhan dari masing-masing desa.
Dalam pasal 1 angka 6 UU Desa berbunyi “Badan Usaha Miliki Desa, yang
selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan,
dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa”. Pasal
ini memberikan amanat bahwa asas yang digunakan untuk mengelola BUMDes
adalah kekeluargaan dan gotong-royong. BUMDes ini miliki semua warga dan tidak
ada yang dapat mendominasi dalam sebuah organisasi ini.

3
Dalam program pendirian BUMDes ini tentunya memiliki maksud dan
tujuan tertentu. Besar harapan dengan adanya BUMDes, BUMDes dapat
berkontribusi kepada desa dan mampu membantu masyarakat desa tersebut dalam
memenuhi kebutuhannya. Sesuai dengan Undang-Undang yang telah tercantum
bahwa BUMDes ini akan dapat menampung dan memilih kegiatan ekonomi yang
cocok dengan kondisi desa tersebut dengan pengelolaannya dilakukan dengan
bekerja sama antar desa maupun gotong royong internal dari desa itu sendiri. Dengan
adanya BUMDes ini dimungkinkan akan dapat membantu masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Wadah usaha yang disebut BUMDes memiliki prinsip yang harus
dilaksanakan dalam pengelolaannya. Prinsip ini penting untuk diperhatikan demi
kesempurnaan terlaksananya BUMDes. Diharapkan dengan adanya prinsip-prinsip
dalam pengelolaan BUMDes, BUMDesa dapat tumbuh dengan sempurna serta hasil
perkembangan yang maksimal. Indikatornya adalah BUMDes mampu banyak
berkontribusi dalam kesejahteraan desa baik dari segi pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupun ekonominya.
Bentuk implementasi dari BUMDes ini banyak macamnya. Terdapat suatu
desa yang bergerak di bidang pariwisata dilain tempat juga terdapat desa yang
bergerak di bidang pertokoan dan lain sebagainya. Mereka memanfaatkan kondisi
yang dimilikinya. Contoh dari implementasi BUMDes salah satunya adalah
BUMDes Raharjo. BUMDes ini berada di Kecamatan Bumiaji Kota Batu Jawa
Timur. Kota Batu dikenal sebagai kota yang dingin karena letaknya di daerah
pegunungan. Memanfaatkan kondisi yang ada maka terbentuklah BUMDes Raharjo
yang bergerak dibidang pariwisata dengan nama Wisata Petik Stroberi.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka


dapat dirumuskan suatu rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan desa?


2. Bagaimana otonomi yang dimiliki oleh desa?
3. Apa pengertian ekonomi pedesaan dan BUMDes?
4. Bagaimana proses awal kemunculan BUMDes?
5. Apa pentingnya BUMDes bagi kesejahteraan desa?

4
6. Bagaimana pembentukan dan pengelolaan BUMDes?
7. Bagaimana implementasi BUMDes Raharjo Kota Batu?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan


dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian serta gambaran tentang desa.


2. Untuk mengetahui otonomi yang seperti apa yang terdapat di satuan
pemerintahan desa.
3. Untuk mengetahui pengertian ekonomi pedesaan dan mengenal BUMDes.
4. Untuk mengetahui proses awal adanya program BUMDes dari pemerintah.
5. Untuk mengetahui seberapa penting adanya BUMDes dalam suatu desa.
6. Untuk mengetahui dasar hukum serta proses pembentukan dan pengelolaan
BUMDes.
7. Untuk mengetahui bagaimana implementasi BUMDes Raharjo Kota Batu.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Desa
Banyak yang mengartikan tentang apa itu desa. Pada dasarnya secara
etimologi desa berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu deca yang mempunyai arti
tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Tidak heran jika pada waktu-waktu
tertentu masyarakat kota mengatakan bahwa “akan pulang ke desa” karena menurut
artian secara etimologi desa memanglah tempat kelahiran ataupun tempat asal. Di
lain sisi, menurut sudut pandang secara geografis desa adalah pemukiman yang
berbentuk aglomerasi yang berada di daerah pedesaan. Pengertian desa menurut para
ahli sebagai berikut:
1. Menurut R. Bintarto, berdasarkan tinjauan geografi yang dikemukakannya, desa
merupakan suatu hasil perwujudan geografis, sosial, politik, dan kultural yang
terdapat di suatu daerah serta memiliki hubungan timbal balik dengan daerah
lain.
2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, desa adalah suatu kesatuan wilayah
yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan
sendiri (dikepalai oleh seorang Kepala Desa) atau desa merupakan kelompok
rumah di luar kota yang merupakan kesatuan.
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1, Desa adalah Desa dan Desa adat
atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Istilah desa di Indonesia dapat diartikan sebagai pembagian wilayah


administratif yang berada di paling bawah setelah kecamatan, di atasnya lagi
kabupaten atau kota, dan di atasnya lagi terdapat satuan pemerintahan provinsi.
Sebuah desa dipimpin oleh satu orang yaitu kepala desa. Terdapat beberapa
penyebutan atau istilah lain dari kepala desa ini seperti Kepala Kampung, Klebun di
Madura, Kuwu di Cirebon, dan lain sebagainya. Cara pemilihan kepala desa pun

6
berbeda-beda di setiap daerah. Namun, yang paling umum digunakan adalah dengan
pemilihan umum.
Pembentukan satuan pemerintahan terkecil yang disebut dengan desa ini
memiliki tujuan yaitu untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dalam kegiatan
pelayanan terhadap masyarakat yang disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan dari desa tersebut. Sebenarnya desa merupakan bagian yang bersifat
vital. Dapat dikatakan demikian karena keberagaman bangsa Indonesia dapat dilihat
dari desa-desa yang ada di Indonesia. Indonesia memiliki beragam budaya, bahasa,
suku, dan ras dan keberagaman tersebut hanya dapat dilihat dari desa. Keberagaman
yang dimiliki oleh Indonesia merupakan suatu ciri khas dan menjadi salah satu
eksistensi bangsa Indonesia di kancah internasional. Dengan demikian, adanya desa
tersebut ikut mampu memberikan perannya untuk Indonesia baik dalam konteks
kepemerintahan maupun eksistensi di kancah internasional.
Melihat dari berartinya desa bagi negara Indonesia maka pembangunan dan
pengembangan desa pun deras dilakukan. Tujuan utama dari pembangunan ini adalah
untuk memberantas lebarnya tingkat kesenjangan antara masyarakat kota dan
masyarakat desa. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya sehingga akan dapat mengentaskan
kemiskinan dan mampu memperbaiki kondisi ekonomi yang ada.
Masyarakat pedesaan di Indonesia memiliki ciri-ciri yang khas yaitu
masyarakat yang tradisional atau yang sering disebut dengan gemeinschaft. Menurut
Roucek dan Warren (1962), menguraikan karakteristik desa (Indrizal,2013), sebagai
berikut:
1. Kelompok primer memegang peranan yang besar.
2. Faktor geografik yang menentukan sebagai dasar pembentukan kelompok atau
asosiasi.
3. Masyarakat bersifat homogen.
4. Hubungan lebih kekeluargaan bersifat awet.
5. Rendahnya mobilitas sosial.
6. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi.
7. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar.

Seiring dengan perkembangan zaman, desa tak hanya sekedar sebuah


tempat yang mayoritas wilayahnya adalah persawahan yang penduduknya adalah

7
petani. Seperti halnya perkotaan, desa juga mengalami perkembangan. Faktor yang
menyebabkan perkembangan ini banyak macamnya seperti adanya dana dari
pemerintah maupun sumber dana lainnya. Desa terus menerus mendapat perhatian
dari pemerintah. Desa yang telah banyak perkembangan berhak untuk mendapat
perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah.
Indeks Desa Membangun (IDM) adalah bentuk upaya yang dilakukan
pemerintah yang mengarahkan ketepatan intervensi dalam kebijakan dengan korelasi
intervensi pembangunan yang tepat dari Pemerintah sesuai dengan partisipasi
masyarakat yang berkorelasi dengan karakteristik wilayah desa yaitu tipologi dan
modal sosial (KDPDTT online, 2021). IDM dibentuk berdasarkan tiga indeks, yaitu:
1. Indeks Ketahanan Sosial, yang meliputi: pendidikan, kesehatan, modal sosial,
dan permukiman.
2. Indeks Ketahanan Ekonomi, yang meliputi: keragaman produksi masyarakat,
akses pusat perdagangan dan pasar, akses logistik, akses perbankan dan kredit,
dan keterbukaan wilayah.
3. Indeks Ketahanan Ekologi atau Lingkungan, yang meliputi: kualitas lingkungan,
bencana alam, dan tanggap bencana.

Terdapat lima kategori desa dalam IDM ini yaitu sebagai berikut:

1. Desa mandiri (sembada), desa yang mempunyai ketersediaan dan akses terhadap
pelayanan dasar yang mencukupi, infrastruktur yang memadai, aksesibilitas atau
transportasi yang mudah, pelayanan umum yang bagus, serta penyelenggaraan
pemerintahan yang sudah baik.
2. Desa maju (pra-sembada), desa yang sudah memiliki kemampuan mengelola
potensi sumber daya yang dimiliki baik secara ekonomi maupun ekologi dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, memperbaiki kualitas
sumber daya, dan mampu untuk menanggulangi kemiskinan.
3. Desa berkembang (madya), desa yang telah memiliki sumber daya baik sosial,
ekonomi, maupun ekologi tetapi dalam pengelolaannya belum bisa maksimal.
4. Desa tertinggal (pra-madya), desa yang masih banyak mengalami kemiskinan
yang disebabkan oleh kurangnya potensi yang dimiliki serta tidak optimalnya
tingkat pengelolaan potensi sumber daya yang dimilikinya tersebut.

8
5. Desa sangat tertinggal (pratama), desa yang masih sangat rentan terhadap
konflik sosial, goncangan ekonomi, dan ekologi menyebabkan tidak adanya
pengelolaan potensi sumber daya yang dimiliki sehingga kemiskinan yang sulit
untuk dientaskan.

Menurut data yang disajikan oleh Kemendesa secara online dalam tiga
tahun terakhir yaitu tahun 2019-2021 menunjukkan bahwa desa berkembang masih
mendominasi desa-desa di Indonesia. Secara grafiknya adalah sebagai berikut:

IDM 2019-2021
MANDIRI

MAJU

BERKEMBANG

TERTINGGAL

SANGAT TERTINGGAL

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000

2021 2020 2019

Sumber data: idm.kemendesa.go.id


2019 2020 2021
Kategori Jumla Persentas Jumla Persentas Jumla Persentas
Desa
h e h e h e
Mandiri 840 1,22% 1741 2,49% 3272 4,44%
Maju 8647 12,56% 11900 17,02% 15328 20,80%
Berkemban
38185 55,47% 39866 57,01% 38051 51,65%
g
Tertinggal 17626 25,61% 13961 19,96% 12161 16,51%
Sangat
3536 5,14% 2466 3,53% 4863 6,60%
Tertinggal
Diolah oleh: penulis

Menurut (Sutoro, 2014) pembangunan desa merupakan suatu upaya yang


dilakukan demi peningkatan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat di suatu
daerah di mana pembangunan desa dilakukan oleh seluruh lapisan baik pemerintah

9
maupun masyarakat. Berdasarkan pengertian yang telah diungkapkan oleh Sutoro,
pembangunan desa tak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah namun pihak
masyarakat pun juga ikut berperan di dalamnya. Upaya pembangunan desa salah
satunya adalah dengan membuat BUMDes. BUMDes merupakan bentuk dari sebuah
perkembangan suatu desa yang mengindikasi adanya pembangunan di desa terkait.

2.2. Otonomi Desa


Dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah disinggung pula
perihal pemerintahan desa, yang kemudian secara spesifik diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No.72 tahun 2005 tentang Desa sebagai salah satu aturan pelaksana
dari UU No.32 tahun 2004. Jadi, sebenarnya kini telah ada regulasi yang khusus
mengatur desa, namun regulasi itu ada di level PP dan bukan UU. Definisi desa
menurut PP No.72 tahun 2005 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Secara tersurat, PP ini mengakui adanya otonomi desa dalam bingkai NKRI.
PP itu juga memberikan kewenangan yang cukup besar bagi kepala desa dalam
melaksanakan tugas sebagai kepala pemerintahan desa. Kewenangan-kewenangan
bagi kepala desa tersebut adalah:
1. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
2. Mengajukan rancangan Peraturan Desa (Perdes)
3. Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD
4. Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) untuk dibahas dan ditetapkan bersama
BPD
5. Membina kehidupan masyarakat desa.
6. Membina perekonomian desa.
7. Mengoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.
8. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakili sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10
Pengakuan akan otonomi desa juga ada dalam UU No.32 tahun 2004.
Dalam UU itu dijelaskan tentang definisi desa, yakni suatu kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat
istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945. Basis pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah
keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan
masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan, baik UU No.32 tahun 2004 maupun PP
No. 72 tahun 2005 itu memang mengamanatkan adanya desentralisasi kekuasaan
bagi pemerintahan desa.
Sejarah pengaturan tentang Desa telah mengalami beberapa kali perubahan
sejak Indonesia merdeka sampai dengan sekarang, yaitu pada masa orde lama UU
No. 22/1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 1/1957 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah, dan UU No. 19/1965 tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan untuk
Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah RI. Selanjutnya,
pada masa orde baru dibentuk UU No. 5/1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
Pada masa reformasi dibentuklah UU No.22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.6/2014 tentang
Desa, serta terakhir UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, dalam
pelaksanaannya pengaturan tentang desa belumlah mewadahi apa yang menjadi
kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa. Barulah melalui UU No.6/2014
kepentingan desa mulai diakomodasi. Terbitnya UU No.6/2014 tentang desa
merupakan upaya untuk menghidupkan kembali peran penting desa dalam proses
pembangunan nasional. Sebagaimana yang diketahui bahwa pasca reformasi UU
No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinilai belum
memiliki semangat untuk menampilkan desa sebagai salah satu komponen penting
dalam proses pembangunan nasional.
Dalam perspektif UU No. 22/1999, kebijakan mengenai desa tidak cukup
memberikan ruang bagi desa untuk berkreasi dalam skema kewenangan yang lebih
luas. Sejak konstitusi sampai dengan UU No.22/1999, kesemuanya lebih
mengedepankan ruang desentralisasi bagi pemerintah daerah kabupaten atau kota.
Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 justru menyatakan bahwa yang memiliki

11
pemerintah desa adalah provinsi, kabupaten dan kota. Pasal 1 UU No. 22/1999
melihat kewenangan mengatur dan mengurus desa ditempatkan dalam format
kewenangan daerah otonom, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 22/1999
pasal 99. Secara normatif dapat dikatakan bahwa otonomi desa hanya merupakan
pelengkap dari otonomi daerah.
Explanatory factor terhadap otonomi desa justru dapat dielaborasi
berdasarkan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan. Pasal 7 ayat
(2) UU No.22/1999 mengatur bahwa peraturan desa atau peraturan yang setingkat
dibuat oleh BPD atau dengan nama lain kepala desa atau dengan nama lainnya. Ini
dikelompokkan ke dalam jenis perda yang diakui secara tegas sebagai skema hierarki
peraturan perundang-undangan RI. Hal ini merupakan kelanjutan dari keputusan
Mendagri No. 126/2003 tentang Bentuk-Bentuk Produk Hukum di Lingkungan
Pemerintah Desa meliputi peraturan desa, keputusan kepala desa, keputusan
bersama, dan instruksi kepala desa. Dengan demikian, ada kepastian hukum bagi
peraturan desa yang menegaskan pengakuan terhadap ‘otonomi desa’, meskipun
dalam batas-batas kewenangan pengaturan yang digariskan oleh perda kabupaten
atau kota.
Selanjutnya, dalam perspektif UU No.32/2004 pasal 200 ayat (1),
pemerintahan desa dibentuk dalam lingkup pemda kabupaten atau kota.
Pemerintahan desa terdiri dari pemerintah desa dan BPD (Badan Permusyawaratan
Desa). Pembentukan, penghapusan, dan penggabungan desa, dilakukan dengan
memperhatikan asal-usul atau prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten atau kota
secara bertahap dapat diubah statusnya menjadi kelurahan atas usul dan prakarsa
pemerintah desa dan BPD yang ditetapkan dengan perda (Peraturan Daerah).
Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa
terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi oleh PNS
yang memenuhi syarat. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, yakni
(1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (2) urusan
pemerintahan yang menjadi kewajiban kabupaten atau kota yang diserahkan
pengaturannya ke desa; (3) tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi,
dan atau kabupaten atau kota yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana, dan SDM;
dan (4) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan ke desa.

12
Apabila kita melihat urusan kewenangan (pada poin 2 dan 3), tampak bahwa
pemerintah desa mengalami proses penunggangan kepentingan pemerintahan di
atasnya. Demikian halnya dengan BPD yang menjadikan proses demokrasi di tingkat
desa menjadi terancam. Ini menunjukkan bahwa UU No.32/2004 sebagai bagian dari
proses penyeragaman bentuk pemerintahan di daerah. Kondisi pemerintahan
demikian menjadi bagian dari proses sejarah yang tidak dapat dielakkan. Dengan
demikian pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sampai dengan UU
No.32/2004 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama dalam
hal masyarakat hukum adat, keberagaman, demokratisasi, partisipasi masyarakat, dan
pemerataan pembangunan sehingga terjadi gap yang tinggi antar wilayah,
kemiskinan, sosial budaya, dan lingkungan yang dapat mengancam keutuhan NKRI.
Oleh karena itu, perlu ada suatu gerakan pembaharuan desa untuk meredam
semua itu, khususnya dalam memahami otonomi desa. UU No.6/2014 memberikan
ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan pembangunan atas dasar
kebutuhan prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh program-program kerja
dari berbagai instansi pemerintah yang selanjutnya disebut ‘otonomi desa’. Otonomi
desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian
dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli
yang dimiliki oleh desa tersebut.
Ada 4 (empat) hal penting untuk memahami tentang otonomi desa, yakni
pertama, cara pandang legal formal yang merujuk pada diktum-diktum yang tertuang
dalam UU bahwa “desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri”. Di sini desa sebagai subyek hukum yang
berhak dan berwenang membuat tindakan hukum, membuat peraturan yang
mengikat, menguasai tanah, membuat surat-surat resmi, berhubungan dengan
pengadilan, menyelenggarakan kerjasama, dan lain-lain. Namun, desa sebagai daerah
otonom tidak bisa hanya dilihat sebagai subyek hukum, tetapi juga menjadi bagian
dan implikasi dari desentralisasi sehingga tidak bisa hanya dilihat dari sisi hukum
tetapi juga dari sisi hubungan desa dengan negara. Oleh karena itu, desa juga berhak
memperoleh pembagian kewenangan tidak hanya dari sisi pengelolaan pemerintahan,
tetapi juga pengelolaan keuangannya.
Kedua, desa dapat dikatakan otonom apabila mendapat pengakuan dari
negara atas eksistensinya beserta hak asal-usul dan adat istiadatnya. Di sini negara

13
tidak hanya mengakui eksistensinya, tetapi juga melindungi sekaligus memberikan
pembagian kekuasaan, kewenangan dalam pengelolaan pemerintahan dan keuangan.
Ketiga, dengan menggabungkan fungsi self governing community (kesatuan
masyarakat hukum) dengan local self government diperlukan penataan kesatuan
masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari wilayah desa menjadi desa dan
desa adat. Adapun fungsi dan tugas keduanya hampir sama, namun berbeda dalam
pelaksanaan hak asal usul, utamanya yang berkaitan dengan pelestarian sosial,
pengaturan wilayah, ketentraman dan ketertiban masyarakat hukum adat, serta
pengaturan pelaksanaannya atas dasar susunan asli. Keberadaan desa dan desa adat
mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemda (Pemerintah Daerah).
Oleh karena itu, akan ada pengaturan tersendiri mengenai hal tersebut yang diatur
dalam UU No.6/2014.
Keempat, melalui UU No.6/2014 diberikan ruang gerak yang luas untuk
mengatur perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa
tanpa terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi pemerintah yang
selanjutnya disebut ‘otonomi desa’ sebagai otonomi yang asli, bulat dan utuh serta
bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Demi memperkuat otonomi desa,
pemerintah kabupaten atau kota perlu mengupayakan beberapa kebijakan antar lain:
1. Memberi akses dan kesempatan kepada desa untuk menggali potensi SDA
(Sumber Daya Alam) untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan desa
dengan tetap memperhatikan ekologi untuk pembangunan berkelanjutan.
2. Memberikan bantuan kepada desa berdasar peraturan perundangan yang berlaku.
3. Memfasilitasi upaya capacity building tidak hanya bagi aparatur desa, tetapi juga
bagi komponen-komponen masyarakat melalui korbinwas (koordinasi,
bimbingan dan pengawasan).

Ketiga hal di atas menjadi penting mengingat meskipun desa diberikan


otonomi dalam mengurus rumah tangganya sendiri, pelaksanaan otonomi tersebut
tidak akan berhasil tanpa adanya sumber pendapatan. Beberapa hal yang
menyebabkan desa membutuhkan sumber pendapatan yakni:
1. Desa memiliki APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) yang kecil di
mana sumber pendapatannya sangat bergantung pada bantuan yang juga kecil.

14
2. PADes (Pendapatan Asli Desa) juga masih rendah karena kemampuan SDM
desa yang masih rendah dalam mengelola SDA sehingga kesejahteraan
masyarakat desa juga rendah.
3. Dana operasional untuk pelayanan publik juga rendah.
4. Program-program yang dijalankan di desa bersifat top down sehingga, tidak
sesuai dengan apa yang menjadi prioritas kebutuhan masyarakat desa.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut pemerintah memberikan


dukungan dalam bentuk dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, di mana minimal 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan
yang diterima kabupaten atau kota dikurangi DAK diperuntukkan bagi desa. Ini
kemudian dikenal dengan ADD (Alokasi Dana Desa). Tujuan pemberian ADD
untuk menstimulasi pemerintah desa melaksanakan program-program kegiatannya
dengan melibatkan masyarakat.
Bahkan, sejak 2015, pemerintah telah memberikan bantuan dana kepada
desa yang dikenal dengan DD (Dana Desa) untuk semakin mendorong
pembangunan perdesaan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dana
desa merupakan dana realokasi anggaran pusat berbasis desa yang diberikan 10%
dari dan di luar dana transfer ke daerah secara bertahap. Dengan demikian desa
semakin diberikan ruang gerak yang luas untuk mengelola pembangunan desa
melalui sumber-sumber pendapatan yang diperolehnya.

2.3. Pengertian Potensi Ekonomi Pedesaan dan BUMDes


Potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk
dikembangkan, kekuatan, kesanggupan, daya. Potensi ekonomi adalah kemampuan
ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak dikembangkan sehingga akan
terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat
mendorong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan
sendirinya dan berkesinambungan. Potensi dalam kegiatan bidang ekonomi berarti
memiliki arti pengertian sesuatu yang dikembangkan atau dapat ditingkatkan
pemanfaatan nilainya. Menggali nilai manfaat sumber daya alam yang lebih
mengarah kepada kegiatan bentuk ekonomi ekonomi. Untuk menggali potensi ini
maka dibutuhkan aktivitas atau kegiatan dalam bentuk ekonomi yang bisa menggali
dan meningkatkannya.

15
Pemanfaatan sumber daya alam telah dilakukan dalam berbagai bentuk
kegiatan dan disesuaikan dengan sumber daya alam yang dimiliki. Kegiatan
pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk meningkatkan roda ekonomi.
Pemanfaatan potensi dari sumber daya pada alam di Indonesia bersifat dinamis
karena banyaknya kegiatan dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi sumber
daya dari alam seperti halnya kegiatan meningkatkan potensi pertanian, potensi
perkebunan, potensi perikanan, potensi peternakan, potensi pertambangan, dan
potensi kehutanan.
a. Bidang pertanian, kegiatan dalam bentuk ekonomi pada bidang pertanian
merupakan kegiatan yang hingga saat ini masih dilakukan sebagian besar
penduduk Indonesia terutama pada daerah pedesaan. Dengan di dukung keadaan
alam di mana memiliki kondisi tanah yang subur dan iklim yang mendukung
membuat penduduk Indonesia banyak yang menggantungkan hidupnya pada
potensi pertanian ini.
b. Bidang perkebunan, kegiatan dalam ekonomi perkebunan umumnya
merupakan kegiatan dari ekonomi budidaya yang menghasilkan manfaat atau
nilai guna. Lahan dengan ukuran cukup luas merupakan daerah yang digunakan
untuk dijadikan daerah perkebunan. Kegiatan bentuk ekonomi dalam bidang
perkebunan ditujukan untuk menghasilkan komoditas pertanian dalam jumlah
yang besar. Biasanya, kegiatan dalam ekonomi perkebunan disertai dengan
industri pengolahan hasil perkebunan yang sengaja dibangun di area
perkebunan. Komoditas yang dihasilkan diolah dan dikemas terlebih dahulu
sebelum dijual ke konsumen sehingga menambah nilai komoditas tersebut.
Potensi komoditas perkebunan yang dikembangkan di Indonesia di antaranya
adalah teh, karet, kelapa, kopi, cokelat, dan kelapa sawit.
c. Bidang perikanan, kegiatan dalam ekonomi perikanan budi daya di Indonesia
umumnya berupa udang dan bandeng. Namun demikian, banyak penduduk yang
juga mengembangkan jenis budi daya perikanan lain secara mandiri dan
skalanya sangat kecil berupa budidaya ikan air tawar, misalnya ikan lele, patin,
nila, mas, dan lain-lain. Di samping itu, potensi hasil perikanan juga dipasok dari
hasil tangkapan laut oleh nelayan.
d. Bidang peternakan, kegiatan dalam bidang peternakan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan akan bahan pangan protein hewani. Hasil kegiatan dalam
ekonomi peternakan di Indonesia dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri,

16
karena hasil ternak tersebut belum mencukupi bagi konsumsi seluruh penduduk
secara merata.
e. Bidang pertambangan, kegiatan dalam ekonomi industri pertambangan di
Indonesia saat ini masih menggunakan banyak perusahaan dan pekerja asing.
Keuntungannya tentu saja juga dinikmati oleh perusahaan asing tersebut.
Kondisi ini tentunya akan mengurangi pemasukan yang merupakan potensi
pendapatan bagi negara dan berdampak pada kegiatan dari ekonomi
pembangunan. Harapannya adalah kegiatan potensi pertambangan dikelola oleh
putra dan putri Indonesia agar dapat memberikan dampak optimal bagi
kesejahteraan masyarakat.
f. Bidang kehutanan, kegiatan dalam ekonomi atau aktivitas penebangan hutan
terus dilakukan untuk diambil kayunya dan atau dijadikan lahan pertanian dan
perkebunan. Akibatnya, luas hutan Indonesia makin berkurang dan banyak
kerusakannya akibat aktivitas ini. Tidak sedikit spesies yang terancam punah
bahkan telah punah oleh kegiatan ini.

Pengembangan Potensi Ekonomi adalah sebuah proses ataupun cara untuk


mengembangkan kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mungkin dan layak
dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi menjadi sumber
penghidupan rakyat setempat bahkan dapat mendorong perekonomian daerah secara
keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan berkesinambungan.
Dikutip dari laman Kontan, Abdul Halim Iskandar sebagai Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, mengatakan, sejak
diundangkannya UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa (UU Desa), pihak desa
berinisiatif membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Beliau menyatakan
bahwa BUMDes menjadi andalan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa
(PADes). Ia bilang, sebelum pengundangan Undang-Undang Desa, sampai 2014
telah didirikan 8.189 BUMDes. Kemudian pada 2015 terbentuk sebanyak 6.274
BUMDes, tahun 2016 terbentuk sebanyak 14.132 BUMDes. Kemudian, tahun 2017
terbentuk sebanyak 14.744 BUMDes, tahun 2018 terbentuk sebanyak 5.874
BUMDes, dan pada tahun 2019 didirikan sebanyak 1.878 BUMDes. Bahkan,
sepanjang pandemi Covid-19 pada 2020 dapat didirikan 43 BUMDes. Secara
keseluruhan, telah ada 51.134 BUMDes.

17
Mengenai pengertiannya, Badan Usaha Milik Desa yang didefinisikan Pasal
1 angka 6 UU No. 6/2014 tentang Desa, sebagai: “Badan usaha milik desa
selanjutnya disebut BUMDesa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha
lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan Masyarakat Desa”. Terdapat beberapa
pengertian mengenai BUMDes, yakni:
a. BUMDes adalah lembaga usaha desa yang dikelola oleh masyarakat dan
pemerintahan desa dalam upaya memperkuat perekonpmian desa dan dibentuk
berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.
b. BUM Des merupakan badan usaha yang dimandatkan oleh UU Desa sebagai
upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan atau pelayanan
umum yang dikelola oleh Desa dan atau Kerja sama antar-Desa.
c. BUMDes menjadi arena pembelajaran bagi warga desa dalam menempa
kapasitas manajerial, kewirausahaan, tata kelola Desa yang baik, kepemimpinan,
kepercayaan, dan aksi kolektif.
d. BUMDes merupakan salah satu strategi kebijakan membangun Indonesia dari
pinggiran melalui pengembangan usaha ekonomi Desa bersifat kolektif.
e. BUMDes merupakan salah saru strategi kebijakan untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia di Desa.

BUMDes pada dasarnya merupakan bentuk konsolidasi atau penguatan


terhadap lembaga-lembaga ekonomi desa. Beberapa agenda yang dapat dilakukan,
antara lain:
1) Pengembangan kemampuan SDM sehingga mampu memberikan nilai tambahan
dalam pengelolaan aset ekonomi desa,
2) Mengintegrasikan produk-produk ekonomi pedesaan sehingga memiliki posisi
nilai tawar dalam jaringan pasar,
3) Mewujudkan skala ekonomi kompetitif terhadap usaha ekonomi yang
dikembangkan,
4) Menguatkan kelembagaan ekonomi desa.

BUMDes merupakan instrumen pendayagunaan ekonomi lokal dengan


berbagai ragam jenis potensi. Pendayaan potensi ini terutama bertujuan untuk

18
peningkatan kesejahteraan ekonomi warga desa melalui pengembangan usaha
ekonomi mereka. Di samping itu, keberadaan BUMDes juga memberikan
sumbangan bagi peningkatan sumber pendapatan asli desa yang memungkinkan desa
mampu melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat secara
optimal. Terdapat beberapa ciri utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga
ekonomi komersial pada umumnya, yaitu:
a) Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama;
b) Dijalankan dengan berdasarkan asas kekeluargaan dan kegotong-royongan, serta
berakar dari tata nilai yang berkembang dan hidup di masyarakat;
c) Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada pengembangan potensi desa
secara umum dan hasil informasi pasar yang menopang kehidupan ekonomi
masyarakat;
d) Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa;
e) Pengambilan keputusan dan penyelesaian maslah dilakukan melalui musyawarah
desa.

BUM Desa didirikan dengan bertujuan untuk:


a. Meningkatkan perekonomian desa;
b. Mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa;
c. Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa;
d. Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan atau dengan pihak
ketiga;
e. Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan
umum warga;
f. Membuka lapangan kerja;
g. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum,
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa; dan
h. Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa.

2.4. Sejarah Awal Pembentukan BUMDes


BUMDes, menurut Pasal 1 angka 6 UU Desa, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa

19
pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Regulasi tersebut adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2021 (PP 11 Tahun 2021) tentang Badan Usaha Milik Desa yang ditandatangani
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Februari 2021. BUMDes didirikan
berdasarkan kebutuhan dan potensi desa yang merupakan prakarsa masyarakat desa.
Artinya usaha yang kelak akan diwujudkan adalah digali dari keinginan dan hasrat
untuk menciptakan sebuah kemajuan di dalam masyarakat desa.

Dilihat dari data survei yang dirilis oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka
kemiskinan di pedesaan pada September 2014 berbanding jauh dengan angka
kemiskinan yang ada di kota. Untuk itu diperlukan upaya untuk penyetaraan
ekonomi desa dan kota, salah satunya adalah dengan mendirikan kelembagaan
ekonomi yang dikelola sepenuhnya oleh masyarakat desa. Berikut grafik kemiskinan
masyarakat desa dan masyarakat kota.

Kemiskinan Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
September 2014

Kemiskinan Masyarakat Kota Kemiskinan Masyarakat Desa

Jumlah Masyarakat Miskin Pedesaan dan Perkotaan Tahun 2014


Perkotaan Pedesaan
10,36 juta 17,37 juta
Sumber data: bps.go.id
Diolah oleh: Penulis

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menjadi


landasan terbentuknya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Namun, sejak adanya
UU tersebut dalam pelaksanaan secara resmi belum terealisasi dengan sempurna.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengesahkan UU Nomor 6 Tahun 2014 yang
20
menjelaskan tentang tata kelola pedesaan. Sejak saat itu, pemerintah mulai gencar
dalam mengembangkan BUMDes di seluruh desa yang ada di Indonesia. Tujuan
utama pemerintah adalah membangun kekuatan besar dalam bidang perekonomian
desa dengan memanfaatkan potensi desa sehingga terbukanya lapangan pekerjaan
bagi masyarakat desa tanpa harus mencari pekerjaan diluar desa.
Peraturan mengenai tata kelola BUMDes diperkuat dalam Permendesa
Nomor 4 Tahun 2015, yang didalamnya dijelaskan secara rinci tentang proses pen-
dirian BUMDes, siapa saja yang berhak mengelola BUMDes, permodalan BUMDes,
jenis usaha yang diperbolehkan sampai dengan pelaporan dan pertanggung jawaban
pelaporan BUMDes. Dengan demikian, eksistensi BUMDes yang diakui sebagai
lembaga ekonomi pada tahun 2004, lebih sah secara hukum dan diakui secara
keseluruhan di Indonesia di sepanjang tahun 2014 hingga 2015. Dan
implementasinya dapat dirasakan hingga saat ini.
Lembaga ekonomi ini tidak lagi didirikan atas dasar instruksi pemerintah.
Hal ini agar berkurangnya intervensi Pemerintah yang terlalu besar sehingga dapat
menghambat daya kreativitas dan inovasi masyarakat desa dalam mengelola mesin
ekonomi di pedesaan. Oleh karena itu, pemerintah membentuk kelembagaan tersebut
dinamakan dengan BUMDesa.
Secara umum, pendirian BUMDes melalui empat tahapan:
1. Pemerintah desa dan masyarakat bersepakat mendirikan BUMDes.
2. Diadakan pengelolaan BUMDes dan penetapan persyaratan pemegang jabatan.
3. Diadakan pula monitoring dan evaluasi
4. Diadakan pelaporan pertanggungjawaban pengelola.

Dalam kegiatan harian maka pengelola harus mengacu pada tata aturan yang sudah
disepakati bersama sebagaimana yang telah tertuang dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) BUMDes, serta sesuai prinsip-prinsip tata
kelola BUMDes. Terdapat empat tujuan utama pendirian BUMDesa, yaitu:
1. Meningkatkan perekonomian desa,
2. Meningkatkan pendapatan asli desa,
3. Meningkatkan pengolahan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat
4. Menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerantaan ekonomi pedesaan.

21
Pendirian dan pengelolaan BUMDesa adalah perwujudan dari pengelolaan
ekonomi produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipatif, emansipatif,
transparansi, akuntabel, dan sustainable. Oleh karena itu diperlukan upaya yang
cukup serius agar dapat BUMDesa dapat berjalan secara efektif, efesien, professional
dan mandiri. Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi dipedesaan,
BUMDes harus memiliki perbedaaan dengan lembaga ekonomi pada umumnya. Hal
ini agar keberadaaan dan kinerja BUMdes Mampu Memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga desa.
Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa berkaitan dengan pendirian dan
pengelolaan selama pendirian. Pendirian Badan Usaha Milik Desa diadakan oleh
pemerintah desa. Sedangkan kepemilikan modal dan pengelolaan usahanya
diselenggarakan bersama oleh pemerintah desa dan masyarakat. Pendirian Badan
Usaha Milik Desa diprakarsai oleh pemerintah pusat. Pengelolaan Badan Usaha
Milik Desa haris sesuai dengan tujuan pendiriannya. Badan Usaha Milik Desa
dikelola hingga taraf hidup masyarakat meingkat secara ekonomi.
Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa juga harus mampu meningkatkan
kemampuan keuangan pemerintahan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, pengelolaan Badan Usaha Milik Desa harus meningkatkan kegiatan dan
perekonomian warga masyarakat di pedesaan. Pendirian dari Badan Usaha Milik
Desa dilakukan dengan musyawarah bersama antara penduduk desa dan pemerintah
desa. Dalam pengelolaannya, Badan Usaha Milik Desa menerapkan asas
kekeluargaan dan gotong royong. Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa juga harus
memenuhi dua fungsi yaitu sebagai lembaga komersial dan lembaga sosial bagi
masyarakat desa.
Fungsi pengelolaan sebagai lembaga sosial adalah untuk menyediakan
pelayanan sosial, sedangkan fungsi sebagai lembaga komersial adalah untuk
mengembangkan sumber daya lokal guna memperoleh keuntungan bagi masyarakat
desa. Jenis usaha dasar yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa meliputi bidang
jasa, penyaluran sembilan bahan pokok, hasil pertanian, atau industri kecil dan
rumah tangga. Usaha dasar ini dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
kemampuan desa. Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa juga harus sesuai dengan
peraturan undang-undang yang diterbitkan oleh menteri yang mengurusi urusan
pedesaan.

22
2.5. Pentingnya BUMDes bagi Kesejahteraan Desa
Jika dibuat perbandingan antara ketentuan BUMDes dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 dapat diketahui ketentuan dalam UU
Nomor 6 Tahun 2014 lebih elaboratif. UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur hanya
dalam satu pasal yaitu Pasal 213, bahwa:
1. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan
potensi desa.
2. Badan Usaha Milik Desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
3. Badan Usaha Milik Desa dapat melakukan pinjaman sesuai peraturan
perundang-undangan.

Penjelasan Pasal 213 ini bahwa Badan Usaha Milik Desa adalah badan
hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun UU
Nomor 6 Tahun 2014 mengatur lebih terperinci. UU Desa ini mengatur tentang
BUMDes pada Bab X ke dalam tiga pasal:
1. Pasal 87 ayat (1) Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut
BUM Desa; ayat (2) BUM Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan; (3) BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi
dan atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Pasal 88 ayat (1) Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa
ayat (2) Pendirian BUM Desa (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa. Pasal 89
hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk:
a. Pengembangan usaha
b. Pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pemberian bantuan
untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana
bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
3. Pasal 90, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan BUM Desa
dengan:
a. Memberikan hibah dan atau akses permodalan
b. Melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar
c. Memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di desa.

23
Beranjak dari ketentuan tersebut, sejatinya logika pendirian BUMDes
didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya,
BUMDes dibangun atas prakarsa (inisiasi) masyarakat, serta mendasarkan pada
prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, transparansi, emansipatif, akuntabel, dan
sustainable dengan mekanisme berbasis anggota dan pengusahaan mandiri. Dari
semua itu yang terpenting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan
secara profesional dan mandiri.
BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai
lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial institution). BUMDes
sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui
kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Tujuan pendirian BUMDes antara
lain dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADes). Sedangkan sebagai
lembaga komersial bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumber daya
lokal (barang dan jasa) ke pasar.
Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu
ditekankan. BUMDes sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata perundang-
undangan yang berlaku, ketentuan tersebut bersifat umum, sedangkan
pembangunannya disesuaikan dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat
desa. Dengan demikian, bentuk BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia.
Ragam bentuk ini sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumber daya yang
dimiliki masing-masing desa.
Tujuan akhirnya, BUMDes sebagai instrumen modal sosial yang diharapkan
menjadi jembatan yang menghubungkan desa dengan lingkup perekonomian di
luarnya sehingga menjadi penguat ekonomi di pedesaan. Untuk mencapai kondisi
tersebut diperlukan langkah strategis dan taktis guna mengintegrasikan potensi,
kebutuhan pasar, dan penyusunan desain lembaga tersebut ke dalam suatu
perencanaan. Di samping itu, perlu memperhatikan potensi lokalistik serta dukungan
kebijakan (good will) dari pemerintahan di atasnya untuk mengeliminir rendahnya
surplus kegiatan ekonomi desa disebabkan kemungkinan tidak berkembangnya
sektor ekonomi di wilayah pedesaan. Sehingga integrasi sistem dan struktur
pertanian dalam arti luas, usaha perdagangan, dan jasa yang terpadu akan dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam tata kelola lembaga.

24
Pendirian badan usaha harus disertai dengan upaya penguatan kapasitas dan
didukung oleh kebijakan daerah (kabupaten atau kota) yang memfasilitasi dan
melindungi usaha ini dari ancaman persaingan para pemodal besar. Mengingat badan
usaha ini merupakan lembaga ekonomi baru yang beroperasi di pedesaan dan masih
membutuhkan landasan yang kuat untuk tumbuh dan berkembang. Pembangun
landasan bagi pendirian BUMDes adalah Pemerintah. BUMDes dalam
operasionalisasinya idealnya juga ditopang oleh lembaga moneter desa (unit
pembiayaan) sebagai unit yang melakukan transaksi keuangan berupa kredit maupun
simpanan. Jika kelembagaan ekonomi kuat dan ditopang kebijakan yang memadai,
maka pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan distribusi aset kepada
rakyat secara luas akan mampu menanggulangi berbagai permasalahan ekonomi di
pedesaan.
Oleh karena itu, meski setiap Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), namun penting disadari bahwa BUMDes didirikan
atas prakarsa masyarakat dan didasarkan pada potensi yang dapat dikembangkan
dengan menggunakan sumber daya lokal dan terdapat permintaan pasar. Dengan kata
lain, pendirian BUMDes bukan merupakan paket instruksional yang datang dari
Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten. Jika yang berlaku
demikian dikhawatirkan BUMDes akan berjalan tidak sebagaimana yang
diamanatkan di dalam undang-undang. Tugas dan peran pemerintah adalah
melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat desa melalui pemerintah
provinsi dan atau pemerintah kabupaten tentang arti penting BUMDes bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui pemerintah desa masyarakat
dimotivasi, disadarkan dan dipersiapkan untuk membangun kehidupannya sendiri.
Pemerintah memfasilitasi dalam bentuk pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan
lainnya yang dapat memperlancar pendirian BUMDes.
Selanjutnya, mekanisme operasionalisasi diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat desa. Untuk itu, masyarakat desa perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar
dapat menerima gagasan baru tentang lembaga ekonomi yang memiliki dua fungsi
yakni bersifat sosial dan komersial. Dengan tetap berpegang teguh pada karakteristik
desa dan nilai-nilai yang hidup dan dihormati. Maka persiapan yang dipandang
paling tepat adalah berpusat pada sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap peningkatan standar hidup masyarakat

25
desa (pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat atau ketua suku, ketua-ketua
kelembagaan di pedesaan).
Melalui cara demikian diharapkan keberadaan BUMDes mampu mendorong
dinamisasi kehidupan ekonomi di pedesaan. Peran pemerintah desa adalah
membangun relasi dengan masyarakat untuk mewujudkan pemenuhan standar
pelayanan minimal (SPM), sebagai bagian dari upaya pengembangan komunitas
(Development based community) desa yang lebih berdaya.

2.6. Pembentukan dan Pengelolaan BUMDes


Dalam pembentukan dan pengelolaan BUMdes merupakan suatu petunjuk
bagaimana cara membentuk atau mengelola BUMDes dengan baik, yang nantinya
tujuan umum di dalam BUMDes tersebut terwujud yaitu berperan penting dalam
menyejahterakan masyarakat desa. Dengan adanya BUMDes ini, diharapkan dapat
membangun dan memaksimalkan potensi yang ada didalam desa dalam rangka upaya
untuk memperkuat perekonomian desa. Dalam mencapai tujuan BUMDes ini
dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan ekonomi terhadap masyarakat, dimana
BUMDes ini menyediakan fasilitas dan layanan distribusi barang dan jasa yang
dikelola masyarakat dan Pemdes. BUMDes diharapkan dapat menjadi pemain
penting dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi desa. Tidak hanya itu, BUMDes
diharapkan dapat memberikan layanannya kepada non-anggota (di luar desa) yang
sesuai dengan standar yang berlaku di pasar.
BUMDes merupakan badan ekonomi yang modal usahanya dibangun
berdasarkan asas madiri dan partisipasi masyarakat. Dengan hal tersebut
menunjukkan bahwa dana yang diperoleh dalam BUMDes harus berasal dari
masyarakat. Akan tatapi, Lembaga BUMDes juga bisa memproleh dana yang berasal
dari pihak luar, seperti pemerintah daerah atau pihak lain, bahkan dari pihak ketiga.
Untuk pembentukan BUMDes, yang harus diperhatikan adalah desa yang membuat
BMUD harus sesuai dengan hasil keputusan yang diambil dalam musyawarah desa.
Hal tersebut penting dilakukan mengingat musyawarah desa merupakan salah satu
media perutakaran gagasan dan pendapat yang ada di tengah masyarakat untuk
mewujudkan kebutuhan masyarakat agar BUMDes berjalan dengan baik. Di dalam
BUMDes terdapat unit usaha yang sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki
oleh desa tersebut. Berdasarkan di dalam Undang- Undang bahwa BUMDes dapat
didirikan untuk keperluan kebutuhan dan potensi desa, terutama pada keperluan

26
pokok, misalnya, tersedianya sumber daya yang ada di dalam desa yang belum
direalisasikan secara maksimal. BUMDes disini sebagai wadah untuk menjalankan
usaha di desa. Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP) Fakultas
Ekonomi Universitas Brwajiya (2007) memberikan ketentuan umum yang dapat
dijadikan pedoman dalam mengambil Langkah untuk mengelola BUMdes. Persiapan
Pendirian BUMDes, ntuk mendirikan sebuah BUMDes yang harus dilakukan
meliputi:
a. Mendesain struktur organisasi. Untuk mendirikan BUMDes penting dilakukan
mendesain struktur organisasi, karena hal tersebut dapat menggambarkan
pekerjaan apa yang harus dilakukan di dalam BUMDes dan struktur organisasi
juga memberikan petunujuk hubungan antar personil atau pengelola BUMDes.
b. Menyusun jobdescription (gambaran pekerjaan). Dalam hal ini memberikan
petunjuk tugas yang harus dilakukan oleh masing- masing pengelola BUMdes,
sehingga tidak terjadi duplikasi ketika membagi tugas, tanggung jawab, dan
wewenang. Dan kemungkinan setiap tugas yang diberikan kepada setiap
individu sudah diisi orang yang ahli di bidangnya.
c. Menetapkan sistem koordinasi. Hal ini penting guna mempermudah dalam
mengkoordinasi terbentuknya kerja sama antar unit usaha dan lintas desa agar
tetap berjalan dengan baik.
d. Menyusun bentuk aturan kerja sama dengan pihak ketiga. Dimana kerja sama ini
menyangkut tentang transaksi jual beli atau simpan pinjam perlu diatur ke dalam
suatu aturan yang jelas. Untuk penyusunan bentuk kerja sama tersbeut dibentuk
secara bersama-sama dengan Dewan KomisarisBUMDes.
e. Menyusun pedoman kerja organisasi BUMDes. Dalam hal ini deperlukan
AD/ART BUMDes yang nantinya dapat dijadikan pedoman dalam mengelola
dan menyesuaikan dengan prinsip-prinsip tata Kelola BUMDes.
f. Menyusun desain sistem informasi. Karena BUMDes merupakan organisasi
ekonomi yang terbuka. Untuk itu, penting dilakukan penyusunan desain sistem
informasi guna memberikan informasi kinerja BUMDes dan aktivitas lain yang
berhubungan dengan masyarakat. Dengan demikian, keberadaan BUMDes akan
memperoleh dukungan dari berbagai pihak.
g. Menyusun rencana usaha (business plan). Untuk menyusun rencana usaha dibuat
dalam periode 1 sampai dengan 3 tahu. Sehingga para pengelola BUMDes

27
memiliki panduan yang jelas mengenai usaha yang harus dilakukan untuk
mencapai rencana atau tujuan usaha tersebut.
h. Menyusun sistem administrasi dan pembukuan. Dalam pembentukan
administrasi dan pembukuan keuangan harus mudah dipahami dan mampu
mengilustrasikan aktivitas yang dijalankan oleh BUMDes. Hal paling penting
dalam sistem administrasi dan pembukuan adalah pendokumentasian informasi
yang berhubungan dengan aktivitas yang dilakukan oleh BUMdes yang dapat
dipertanggung jawabkan.
i. Melakukan proses recruitmen. Dalam kegiatan ini yaitu merekrut individu untuk
menjadi seseorang yang mengelola BUMDes . Proses recruitmen ini dapat
dilakukan dengan cara musyawarah. Akan tetapi, untuk penilaian pada masing-
masing individu harus berdasarkan pada kriteria tertentu, dimana kriteria disini
ada;ah individu yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Dengan
demikian, persyaratan bagi pemegang jabatan dalam BUMDes penting untuk
dilakukan. Selanjutnya, persyaratan tersebut dibawa ke forum rembuk desa
untuk disampaikan dan ditawarkan kepada masyarakat. Dan proses Langkah
selanjutnya adalah melakukan seleksi terhadap pelamar dan menetapkan
individu yang sesuai dengan kriteria yang telah dibuat.
j. Menetapkan sistem penggajian dan pengupahan. Hal ini dimaksudkan agar
pengelola BUMDes lebih termotivasi dan mendorong semangat dalam
menjalankan tuganya. Pemberian gaji atau imbalan kepada pengelola BUMDes
salah satunya dapat dilakukan dengan pemberian dana insentif tetap setiap
bulannya. Akan tetapi, jumlah imbalan yang diterima di setiap individu berbeda,
tergantung seberapa banyak tugas yang harus dilakukan.

Pada awal pendirian BUMDes terdapat sejumlah tantangan yang


menhadapi, misalnya kekurangan modal. Hal tersebut disebabkan oleh pendirian
BUMDes yang membuthkan modal yang cukup besar untuk kesuksesan kegiatannya.
Seperti yang kita ketahui bahwa modal awal dari BUMDes berasal dari pendapatan
dan belanja desa. Dengan demikian, kekayaan yang dihasilkan oleh BUMDes
nantinya merupakan kekayaaan yang dimiliki oleh desa dan tidak dibagi atas saham.
Akan tetapi, setelah bebearapa waktu BUMDes berdiri, sumber modal yang dimiliki
oleh BUMDes nantinya dibagi menjadi 2 sumber yakni penyertaan modal desa dan
penyertaan modal masyarakat desa. Selanjutnya, didalam mengelola BUMDes, harus

28
mempunyai semangat kegotong royongan dan melaksanakan usaha bidang ekonomi.
selain itu, pengelolaan BUMDes juga harus menyertakan public service bertimbal
balik dengan peraturan perundang -undangan. Untuk sistematika lebih rinci terdapat
di Permendagri No 39 Tahun 2010.
Pasal 4 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Desa dibentuk dengan
Peraturan Desa yang berpatokan pada Pemerintah Daerah sesuai dengan makna yang
terdapat di pasal 2. Kemudian, Pasal 5 menyebutkan:
3.1. Syarat pembentukan BUMDes
a. Atas inisiatif pemerintah desa dan atau masyarakat berdasarkan
musyawarah warga desa;
b. Adanya potensi usaha ekonomi masyarakat;
c. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama dalam pemenuhan
kebutuhan pokok;
d. Tersedianya sumber daya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal,
terutama kekayaan desa;
e. Tersedianya sumber daya manusia yang mampu mengelola badan usaha
sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat desa;
f. Adanya unit-unit usaha masyarakat yang merupakan kegiatan ekonomi
warga masyarakat yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi;
dan
g. Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli desa.

3.2. Mekanisme pembentukan BUMDes sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan dapat melalui tahap
a. Rembuk desa atau musyawarah untuk menghasilkan kesepakatan;
b. Kesepakatan dituangkan dalam AD/ART yang sekurang-kurangnya berisi :
organisasi dan tata kerja, penetapan personil, sistem pertanggung jawaban
dan pelaporan, bagi hasil dan kepaitlitan;
c. Pengusulan materi kesepakatan sebagai draft peraturan desa; dan
d. Penerbitan peraturan desa.

Dalam prinsip umum pengelolaan Badan Milik Desa (BUMDes) untuk


pembangunan BUMDes tentu membutuhkan informasi yang tepat tentang kondisi
kelokalan, termasuk di dalamnya kondisi sosial-budaya di tengah masyarakat dan

29
peluang pasar dari produk yang diproduksi oleh BUMDes. Prinsip -prinsip untuk
mengelola BUMDes sangat diperlukan untuk memahami dan diterapkan dengan cara
yang sama oleh pemerintah desa, anggota, BPD, Pemkab, dan masyarakat. Di dalam
6 prinsip tata kelola BUMDes yaitu sebagai berikut:
a. Kooperatif, arti dari kooperatif di sini adalah semua komponen yang terikat
dalam BUMD harus bisa melakukan kerja sama baik guna pengembangan dan
kelangsungan hidup usahanya;
b. Partisipatif, di mana semua komponen yang berada di dalam BUMDes harus
bersedia secara sukarela dan diminta untuk memberikan dukungan. Selain itu,
partisipatif di sini merupakan memberikan kontribusi guna mendorong kemajuan
usaha BUMDes;
c. Emansipatif, dalam usaha BUMDes tidak terdapat perbedaan dalam perlakuan,
semua komponen diperlakukan sama tanpa memandang unsur SARA (suku,
agama, ras dan antar golongan).
d. Transparan, artinya aktivitas yang dilakukan di dalam usaha BUMDes
berkepentingan masyarakat harus bersifat umum atau dapat diketahui oleh
seluruh masyarakat dengan mudah.
e. Akuntabel, seluruh kegiatan usaha yang harus dapat dipertanggungjawabkan
secara teknis maupun administratif.
f. Sustainable, BMUDes sebagai wadah untuk kegiatan usaha yang harus
dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat.

BUMDes dikelola oleh pemegang jabatan dengan secara mandiri dan harus
memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Tidak hanya itu, BUMDes harus
dikelola secara serius yang tentunya memiliki banyak pengalaman dan kerja
terampil. Latar belakang pendidikan pemegang jabatan juga memainkan peran
penting yang akan bertimbal balik dengan perilaku tanggung jawab. Lembaga
BUMDes akan lebih efektif apabila pemegang jabatan melaksanakan tanggung
jawabnya dengan biak. Dalam aktivitas BUMDes, harus menyertakan komunikasi
yang baik dan kerja sama dengan pemerintah desa untuk menggunakan asset
ekonomi yang dimiliki. Sebagai pandangan atau arah kedepannya, kegiatan dalam
BUMDes dilakukan setiap hari. Oleh karena itu, sistem kelola BUMDes harus
berpedoman pada aturan yang sudah disepakati yang tercantum dalam AD/ART.
Selanjutnya, apabila terdapat kerjasama pihak ketiga, maka Dewan Komisaris

30
BUMDes harus mengambil keputusan apakah menyetujui atau menolak. Tentu
keputusan tersebut harus disesuaikan dengan rencana yang akan di realisasikan.
Sistem pengecekan dan ketepatan harus dilakukan oleh pemerintah desa dan
masyarakat agar perkembangan usaha bersifat transparan dan terbuka. Kemudian,
perlu direncanakan tahap baru untuk langkah BUMDes kedepannya agar lebih
berkembang dan pengelolaan BUMDes harus dilakukan dengan taktik analisis
SWOT (kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman).
Setelah langkah pengelolaan dilakukan terhadap BUMDes, langkah
selanjutnya adalah Dewan Komisaris pengawasan bisa ditambah instrument dari
pemerintah kabupaten. Hal tersebut dilakukan karena pemerintah kabupaten juga
memainkan peran penting guna memfasilitasi lancarnya usaha BUMDes. Proses
monitoring juga penting dilakukan secara berkelanjutan, sehingga dapat membantu
pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh BUMDes dengan baik. Selain itu, evaluasi
dilakukan per-tugas bulan atau dilakukan sewaktu-waktu apabila dianggap penting
sesuai dengan AD/ART.
2.7. Contoh Pengelolaan BUMDes (BUMDes Raharjo)
BUMDes atau Badan Usaha Milik Desa merupakan salah
satu tonggak pendorong perekonomian bagi masyarakat
desa, seperti di wilayah Batu. Pada tahun 2019,
Pemerintah Kota Batu telah berupaya dalam
mendorong/meningkatkan usaha ekonomi desa dengan
menganggarkan kepada manajemen BUMDes untuk desa
wisata. Sebagai upaya, pemerintah telah
menggelontorkan
dana khusus yang berisi 19 paket anggaran senilai Rp 4,7 Milyar untuk
pengembangan BUMDes. (Hermanto dalam Ningrum, Widya Kusuma 2020).
Salah satu contoh pengembangan BUMDes di Kota Batu adalah BUMDes
Raharjo Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu yang mengelola usaha
petik stoberi. Direktur BUMDes Raharjo, Mukhlas Rofik mengatakan “Lumbung
Petik Stroberi’ Desa Pandanrejo kini menjadi magnet bagi wisatawan hingga
kalangan para ilmuwan. Tempat ini juga menjadi wisata edukasi sehingga banyak
dikunjungi (Kris dalam Ningrum, Widya Kusuma 2020). Selain itu, BUMDes
Raharjo telah menorehkan prestasi, yaitu mendapatkan predikat juara BUMDes
terbaik se-Kota Batu dalam acara HUT Kota Batu yang ke-18.

31
Usaha ini perlu dikembangkan lebih lanjut. Melalui analisis internal dan
eksternal lingkungan wisata petik ini, diharapkan menjadi bahan pengembangan
usaha BUMDes Raharjo ini. Menurut Adrianus Bria 2020, faktor internal yang
memengaruhi kelemahan BUMDes ini yaitu faktor permodalan, kualitas sumber
daya manusia, akses lokasi yang masih sempit, dan keterbatasan fasilitas. Sedangkan
faktor eksternalnya adalah cuaca yang tidak menentu, serta kekecewaan pengunjung
akibat faktor internal. Naumun, disisi lain pengembangan BUMDes ekonomi ini
mendapat apresiasi karena kualitas buah stroberi yang baik, tarif yang ditawarkan
juga relatif murah, serta suasana alam yang ditawarkan masih asri.
Dilansir dari satukanal.com pengembangan wisata ‘Lumbung Stoberi’
merupakan desa wisata yang tergolong maju yang memperoleh bantuan dari berbagai
pihak berupa fasilitas pengembangan. Contohnya adalah pembuatan wahana track
APV, play ground, serta beberapa spot foto yang instagramable. Selain itu
Pemerintah Desa Pandanrejo bekerjasama dengan BUMDes Raharjo akan
menyempurnakan lagi konsep wisata dengan mengintegrasikan paket wisata antar
tempat wisata di desa Pandanrejo. Dengan begitu diharapkan tidak hanya wisata
petik stroberi saja yang terangkat namanya, namun Desa Pandanrejo bisa lebih
mengolah perekonomian desa dengan pengintegrasian Taman Dolan, Coban Lanang,
serta wisata Kuliner Kali Lanang. Jika Desa Pandanrejo bisa mengolah hal tersebut
dengan baik, penerimaan akan meningkat dan tidak akan berpangku lagi pada
pemberian modal pemerintah sehingga masyarakat desa menjadi sejahtera
ekonominya.

32
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
BUMDes merupakan Badan Usaha Milik Desa yang telah diatur perundang-
undangan Pasal 13 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang kesempatan desa untuk mendirikan badan usaha sebagai pendorong
pengelolaan potensi lokal desa. Tujuan pendirian BUMDes adalah meningkatkan
peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADes), dan juga instrumen modal sosial yang
menghubungkan desa dengan lingkup perekonomian melalui integrasi potensi
potensi dan karakteristik lokal masyarakat.
BUMDes banyak macamnya, salah satu contohnya adalah BUMDes di
bidang pengelolaan pariwisata khususnya di Kota Batu, yaitu BUMDes Raharjo.
BUMDes ini mengelola usaha petik stroberi sebagai usaha utamanya. Khususnya lagi
BUMDes ini juga telah menerima penghargaan sebagai predikat juara BUMDes
terbaik se-Kota Batu dalam acara HUT Kota Batu yang ke-18. Melalui upaya ini,
diharapkan pengembangan BUMDes untuk menunjang perekonomian desa lebih
diperhatikan kedepannya sehingga masyarakat desa lebih sejahtera.

3.2. Saran
1. Dibutuhkan dukungan penuh bagi BUMDes dalam mendorong perekonomian
desa, khususnya pengelolaan dana.
2. Integrasi dan kerjasama antar masyarakat dan pemerintah desa diperkuat lagi
untuk mendorong potensi yang belum terlihat, atau belum berkembang.
3. Butuhnya perhatian pemerintah pusat maupun daerah setempat dalam
mendorong perekonomian desa.

33
DAFTAR PUSTAKA

Adrianus Bria, A. A. (2020). Strategi Pengembangan Usaha Strawberry di Agrowisata


Petik Strawberry. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 16, No. 3, 226-238.

Agta, W. (2021, Juni 3). Lumbung Stroberi Jadi Potensi Desa Wisata Madu di Kota Batu.
Retrieved from Satukanal.com: https://www.satukanal.com/lumbung-stroberi-jadi-
potensi-desa-wisata-maju-di-kota-batu/

Azi, N. L. (2016). Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa. Jurnal Penelitian Politik,
195-198.

Bintarto, R. (1983). Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Coristya Berlian Ramadhana, H. R. (2013). Keberadaan Badan Usaha Milik Desa


(BUMDes) sebagai Penguatan Ekonomi Desa (Studi di Desa Ladungsari,
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 1,
No. 6, 1070-1071.

Indrizal, E. (2013). Memahami Konsep Pedesaan dan Tipologi Desa di Indonesia.


Universitas Andalas: Media Online Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Luthfia, A. R. (2013, Agustus 2). E-Journal of Rural and Development, Volume IV.

Ningrum, W. K. (2020). Analisis Pengelolaan BUMDes Sebagai Upaya Pemberdayaan


Masyarakat dan Peningkatan Pendapatan Asli Desa. Studi Kasus BUMDes Raharjo
Desa Pandanrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.

Pamungkas, P. (1997). Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Peraturan Menteri Desa. Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik


Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan
Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.

Putra, A. S. (2015). Badan Usaha Milik Desa Spirit Usaha Kolektif Desa. Jakarta:
Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik
Indonesia.

34
Ridlwan, Z. (2015). Urgensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Fiat Justisia Jurnal
Ilmu Hukum, 427-430.

Suparmoko, M. (2002). Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah.


Yogyakarta: Andi.

Susanto, V. Y. (2021, Januari 15). Setelah 7 implementasi UU Desa telah terbentuk 51.000
BUMDes. Retrieved from Kontan.co.id: https://amp.kontan.co.id/news/setelah-7-
implementasi-uu-desa-telah-terbentuk-51000-bumdes

Sutoro E, d. (2014). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan


Pembaharuan Desa (FPPD).

Sumber data:
https://idm.kemendesa.go.id

https://www.kemendesa.go.id

https://www.dpr.go.id

https://www.bps.go.id

35

Anda mungkin juga menyukai