Anda di halaman 1dari 16

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW 1

p-ISSN 2541-4984 | e-ISSN 2541-5417


REFLEKSI HUKUM Volume 2 Nomor 1, Oktober 2017, Halaman 1 - 16
Jurnal Ilmu Hukum DOI: https://doi.org/10.24246/jrh.2017.v2.i1.p1-16
Open access at: http://ejournal.uksw.edu/refleksihukum
Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM


MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP UNDANG-
UNDANG RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

Galuh Candra Purnamasari


Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Korespondensi: galuhcandra278@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini membahas permasalahan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
melakukan pengujian undang-undang ratifikasi terhadap UUD 1945. Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam kasus pengujian ASEAN Charter menyatakan berwenang untuk mengadili
undang-undang yang bersubstansi hukum internasional, namun belum terdapat aturan hukum
yang jelas dalam konstitusi yang mengatur mengenai bentuk dan kedudukan hukum undang-
undang ratifikasi serta perjanjian internasional. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan
mengenai kejelasan kewenangan pengujian undang-undang ratifikasi oleh Mahkamah
Konstitusi untuk ke depannya. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan
kesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang ratifikasi yang
bertentangan dengan UUD 1945, namun tidak memiliki kewenangan untuk menguji lampiran
undang-undang ratifikasi yang memuat materi perjanjian internasional. Pengujian undang-
undang ratifikasi sebatas dalam menentukan konstitusionalitas pengesahan suatu perjanjian
internasional melalui undang-undang ratifikasi.
Kata kunci: Judicial Review; Undang-Undang ratifikasi; Perjanjian Internasional;
Mahkamah Konstitusi.

Abstract
This paper examines Constitutional Court’s authority to review ratification acts according to
UUD 1945. The problems of Constitutional Court’s authority to review ratification acts could
be analyzed in Constitutional Court’s decisions on Ratification of ASEAN Charter. Although
Constitutional Court has authority to review the ratification acts as seen in Constitutional
Court’s decisions, there is no clear rules in Constitution which regulates any legal position
and legal form of ratification acts and international treaties. The lack of clarity in the rules
may cause problems concerning on the clarity of the Constitutional Court’s authority to
review ratification acts in future. This paper is a literature research and it aims to find that
the Constitutional Court has the authority to review ratification acts according to UUD 1945,
but it does not have authority to review the substance and content of international treaties
which are contained in the annex of ratification acts. The authority to review ratification acts
is limited in determining the constitutionality of ratification of an international agreement
through the ratification acts.

Keywords: Judicial review; ratification acts; international treaties; Constitutional Court.

1
2 REFLEKSI HUKUM [Vol. 2, No. 1, 2017]

PENDAHULUAN paten/kota). Dalam undang-undang


tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
apa yang dimaksud dengan “undang-
(MK) dalam menguji Undang-Undang
undang” dan juga tidak memberikan
telah diatur dalam Pasal 24 C ayat (1)
penjelasan apakah ada perbedaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
antara undang-undang dalam konteks
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
“biasa” dan undang-undang dalam
yang menyatakan bahwa “Mahkamah
konteks undang-undang ratifikasi.
Konstitusi berwenang mengadili pada
Hal ini kemudian akan membuat
tingkat pertama dan terakhir yang
keraguan, undang-undang seperti apa
putusannya bersifat final untuk menguji
yang masuk dalam lingkup pengujian
undang-undang terhadap Undang-
MK. Padahal, ada beberapa format
Undang Dasar.” Dalam hal ini secara
undang-undang yang materinya tidak
tegas UUD 1945 sebagai hukum
terdapat dalam batang tubuh undang-
tertinggi di Indonesia telah memberikan
undang itu sendiri, melainkan dalam
mandat secara langsung kepada MK
lampirannya, seperti undang-undang
untuk menguji undang-undang yang
ratifikasi. Permasalahan muncul
dianggap bertentangan dengan UUD
ketika lampiran dalam undang-undang
1945. Pengujian merupakan proses
ratifikasi adalah salinan terjemahan
memeriksa, mengadili, dan memutus
dari naskah asli perjanjian internasional.
apakah suatu undang-undang yang
Dalam lingkup hukum tata negara,
diujikan bertentangan dengan UUD
perjanjian internasional (traktat)
1945 atau tidak.
dikenal sebagai sumber hukum formil,
Dalam Pasal 7 Undang-Undang
sepanjang traktat atau perjanjian
Nomor 12 Tahun 2011 tentang
internasional tersebut menentukan
Pembentukan Peraturan Perundang-
segi hukum ketatanegaraan yang
undangan (UU No. 12 Tahun 2011),
hidup bagi negara masing-masing
telah diatur susunan hierarki peraturan
yang terikat di dalamnya. Pengaturan
perundang-undangan di Indonesia
mengenai perjanjian internasional dan
yaitu: UUD 1945, TAP MPR, Undang-
ratifikasinya telah terdapat dalam
undang/Peraturan Pemerintah Peng-
Undang-Undang Nomor 24 Tahun
ganti Undang-undang, Peraturan
2000 tentang Perjanjian Internasional
Pemerintah, Peraturan Presiden,
(UU No. 24 Tahun 2000). Namun,
Peraturan Daerah (provinsi dan kabu-
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW 3

secara keseluruhan pengaturan yang hubungan antara hukum internasional


ada belum mampu menerangkan dan hukum nasional menjadi perde-
kedudukan dan status hukum per- batan yang sangat penting. Hal ini
janjian internasional dalam hukum berkaitan dengan pertanyaan apakah
nasional serta undang-undang ratifikasi hukum internasional dan hukum
yang berfungsi sebagai pengesahan nasional merupakan satu kesatuan
dari perjanjian internasional tersebut. hukum ataukah tidak ada hubungan
Hal tersebut kemudian menimbulkan sama sekali di antara keduanya. Untuk
pertanyaan atas kedudukan hukum menjawab persoalan tersebut, dikenal
undang-undang ratifikasi perjanjian adanya dua aliran yakni aliran monis-
internasional dalam sistem hukum me dan dualisme. Secara singkat
nasional dan kewenangan MK untuk dalam teori monisme mengatakan
melakukan pengujian terhadap undang- bahwa hukum internasional dan hukum
undang ratifikasi tersebut. nasional merupakan dua aspek yang
Berdasarkan tulisan-tulisan mengenai sama dari sistem hukum pada umum-
kewenangan MK dalam melakukan nya. Sebaliknya teori dualisme menga-
judicial review terhadap undang- takan bahwa hukum internasional dan
undang ratifikasi yang telah ada dan hukum nasional merupakan dua sistem
pendapat-pendapat ahli, penulis me- hukum yang sama sekali berbeda.
nyetujui bahwa MK memiliki kewe- Hukum internasional mempunyai suatu
nangan judicial review terhadap karakter yang berbeda secara intrinsik
undang-undang ratifikasi. Namun dengan hukum nasional.1
dalam hal ini MK tidak memiliki Menurut ilmuwan besar hukum
kewenangan untuk menguji lampiran internasional Anzilotti, yang membeda-
undang-undang ratifikasi yang memuat kan antara hukum internasional dan
materi perjanjian internasional yang hukum nasional menurut prinsip-
bersangkutan. Dalam penulisan ini prinsip fundamental, di mana hukum
juga akan dibahas mengenai keduduk- nasional ditentukan oleh prinsip atau
an hukum internasional dalam hukum norma fundamental bahwa peraturan
nasional dan kedudukan undang- perundang-undangan negara harus
undang ratifikasi sebagai undang- ditaati, sedangkan sistem hukum
undang dalam ketatanegaraan Indonesia. internasional ditentukan oleh asas
pacta sunt servanda, yakni perjanjian
PEMBAHASAN
antara negara harus dijunjung tinggi.
Kedudukan Hukum Internasional Oleh karena itu, kedua sistem ini sama
dalam Hukum Nasional sekali terpisah, sehingga tidak mungkin
terjadi pertentangan antara keduanya,
Dalam perkembangan hukum
yang mungkin ada hanyalah penun-
internasional, permasalahan mengenai

1
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi. X (Sinar Grafika 2006) 96.
4 REFLEKSI HUKUM [Vol. 2, No. 1, 2017]

jukan-penunjukan dari sistem yang Undang-Undang Ratifikasi sebagai


satu ke sistem yang lain, selain itu Undang-Undang dalam Ketatanegaraan
tidak ada hubungan antara keduanya.2 Indonesia
Dari kedua teori tersebut Indonesia
Fungsi legislasi berkenaan dengan
tidak secara spesifik memilih salah
kewenangan untuk menentukan
satu antara monisme, dualisme, atau
peraturan yang mengikat warga negara
kombinasi keduanya.
dengan norma-norma hukum yang
Dalam praktik di antara kedua
mengikat dan membatasi. 4 Jimly
aliran tersebut, muncul teori bagai-
Assidiqie mengemukakan bahwa
mana penerapan hukum internasional
pelaksanaan fungsi dalam pembentuk-
dalam ranah hukum nasional, yaitu
an undang-undang menyangkut empat
teori transformasi, delegasi, dan
bentuk kegiatan, yaitu:5
inkorporasi. Teori transformasi menya-
1. prakarsa pembuat an undang-
takan bahwa hukum internasional undang
untuk dapat berlaku dalam hukum 2. pembahasan rancangan undang-
undang
nasional harus dijelmakan (transfor- 3. persetujuan atas pengesahan ran-
masikan) ke dalam hukum nasional cangan undang-undang
4. pemberian persetujuan pengikatan
secara formal (bentuknya) dan subs-
atau ratifikasi atas perjanjian atau
tantif (materinya). Teori delegasi me- per setujuan int ernasional dan
nyatakan bahwa pemberlakuan hukum dokumen-dokumen hukum yang
internasional ke dalam hukum nasio- mengikat lainnya

nal adalah melalui delegasi aturan- Di Indonesia, saat ini, dalam me-
aturan konstitusional hukum inte- masukkan ketentuan perjanjian inter-
nasional mendelegasikan kepada nasional secara tidak langsung telah
masing-masing konstitusi negara menganut sistem adopsi khusus, yakni
untuk menentukan kapan ketentuan dimana harus ada persetujuan dahulu
perjanjian internasional berlaku dalam oleh parlemen untuk menyatakan
hukum nasional berikut prosedur atau keterikatan terhadap perjanjian terse-
metode yang digunakan. Teori inkor- but. Apabila kita pahami, teori ini sebe-
porasi merupakan suatu ajaran narnya merupakan sebuah kompromi
(doktrin) yang mengatakan bahwa agar masuknya hukum internasional
hukum internasional adalah hukum ke dalam hukum nasional ini dilaku-
negara (international law is the law of kan dengan menghormati kedaulatan
the land).3 negara masing-masing, sehingga

2
John O ’Brein, International Law (Cavendih Publishing Limited 2011) 87.
3
Mohd. Burhan Tsani, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum
Nasional Republik Indonesia Dalam Perspektif Hukum Tata Negara, (Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009).
4
Jimly Assidiqie, Pengantar Imu Hukum Tatanegara Jilid II (Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI 2006 ) 24.
5
Ibid.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW 5

terikat (binding) atau tidaknya per- Bila dilihat dari sisi isi atau subs-
janjian internasional tersebut bukan tansinya, dalam UU No. 12 Tahun 2011
karena perjanjian itu sendiri, melain- mengatur bahwa materi muatan yang
kan karena adopsi khusus yang dila- harus diatur dengan undang-undang
kukan oleh parlemen terhadap perjan- adalah:
jian internasional tersebut. Sehingga a. pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan Undang-Undang Dasar
pemerintah Indonesia bukan tunduk Negara Republik Indonesia Tahun
pada perjanjian internasionalnya akan 1945;
tetapi tunduk pada perundang-undang- b. perintah suatu undang-undang untuk
diatur dengan undang-undang;
an nasionalnya yang memuat perjan- c. pengesahan perjanjian internasional
jian internasional. 6 Hal ini sesuai tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahka-
dengan peraturan yang terdapat dalam
mah Konstitusi; dan/atau
UU No. 24 Tahun 2000 bahwa “Peme- e. pemenuhan kebutuhan hukum
rintah Republik Indonesia mengikatkan dalam masyarakat.
diri pada perjanjian internasional Penjelasan Pasal 10 huruf (c) UU No. 12
melalui cara-cara sebagai berikut: a) Tahun 2011 menyatakan bahwa yang
Penandatangan; b) Pengesahan; c) dimaksud dengan “perjanjian inter-
Pertukaran dokumen perjanjian/nota nasional tertentu” adalah perjanjian
diplomatik; d) Cara-cara lain sebagai- internasional yang menimbulkan aki-
mana disepakati para pihak dalam bat yang luas dan mendasar bagi kehi-
perjanjian internasional.7 Sedangkan dupan rakyat yang terkait dengan beban
pengesahan dalam hal ini bisa ber- keuangan negara dan/atau perjanjian
bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan tersebut mengharuskan perubahan
dan penyetujuan.8 atau pembentukan Undang-Undang
Suatu peraturan dikatakan sebagai dengan persetujuan DPR. Hal ini
undang-undang apabila memenuhi menunjukkan bahwa secara materi
wet in formele zin dan wet in materiele muatan undang-undang ratifikasi
zin. Wet in formele zin adalah penger- termasuk dalam pengertian wet in
tian undang-undang yang didasarkan materiele zin karena pengesahan
pada bentuk dan cara terbentuknya, perjanjian internasional termasuk
sementara wet in materiele zin adalah salah satu materi muatan yang harus
pengertian undang-undang yang diatur dengan undang-undang.
didasarkan pada isi atau substansinya Apabila ditinjau dari dari format
yang mengikat masyarakat.9 perundang-undangan pada undang-
undang, peraturan perundang-undang-

6
Nurhidayatuloh, ‘Dilema Pengujian Undang-Undang Ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Konteks Ketetanegaraan RI’ (2012) 9 Jurnal Konstitusi 113, 125.
7
Pasal 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
8
Pasal 1 angka 2 Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000.
9
Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan (Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya) (Rhineka Cipta
1997) 4 - 6.
6 REFLEKSI HUKUM [Vol. 2, No. 1, 2017]

an dapat dilengkapi dengan lampiran. memiliki relasi dengan fungsi DPR


Lampiran-lampiran ini merupakan dalam membuat undang-undang
bagian yang tidak terpisahkan dari sebagaimana yang diatur dalam Pasal
naskah peraturan perundang-undangan 20A UUD 1945, yaitu “Dewan Per-
yang bersangkutan.10 Contoh undang- wakilan Rakyat memiliki fungsi legis-
undang yang memiliki lampiran adalah lasi, fungsi anggaran, dan fungsi pe-
Undang-Undang tentang Anggaran ngawasan. Tidak ada bentuk peraturan
Pendapatan dan Belanja Negara (UU perundang-undangan yang bersifat
APBN) dan undang-undang tentang umum yang dapat dibuat DPR, kecuali
pengesahan konvensi ataupun perjan- undang-undang. 11 Oleh karena itu,
jian-perjanjian internasional. Batang setiap perjanjian internasional yang
tubuh undang-undang tentang penge- memerlukan persetujuan DPR yang
sahan perjanjian internasional pada kemudian diberi wadah undang-
dasarnya juga terdiri atas dua pasal. undang.
Pasal 1 memuat ketentuan pengesahan Pendapat ini senada dengan kete-
perjanjian internasional dimaksud, rangan pemerintah atas Rancangan
yaitu dengan memuat pernyataan me- Undang-Undang tentang Pembuatan
lampirkan salinan naskah aslinya atau dan Pengesahan Perjanjian Internasio-
naskah asli bersama dengan ter- nal,12 di mana dalam penjelasannya
jemahannya dalam bahasa Indonesia, pemerintah memberikan penjelasan
sedangkan Pasal 2 memuat ketentuan mengapa bentuk persetujuan dari DPR
mengenai saat mulai berlakunya. Dari adalah dalam bentuk undang-undang.
segi format perundang-undangan, Dalam penjelasannya pemerintah
undang-undang yang meratifikasi menyatakan bahwa “persetujuan”
suatu perjanjian internasional beserta dalam Pasal 11 UUD 1945 dapat diarti-
perjanjian internasioal yang menjadi kan sebagai pengesahan sesuai de-
lampirannya merupakan satu kesa- ngan fungsi dan wewenang dari DPR
tuan yang tidak terpisahkan. sebagai lembaga legislatif dan bahwa
Bagir Manan mengemukakan ter- wewenang membuat perjanjian inter-
dapat alasan mengapa persetujuan nasional atau treaty making power
DPR dimaknai sebagai undang-undang, berada di tangan pemerintah sebagai
yaitu karena perjanjian internasional

10
Lampiran I UU No, 12 Tahun 2011 memuat sistematika rancangan dalam kerangka peraturan
perundang-undangan terdiri dari Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, Penutup, Penjelasan (jika
diperlukan), dan lampiran (jika diperlukan).
11
Bagir Manan, ‘Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan
Hukum Tatanegara)’ (Focus Group Discussion Departemen Luar Negeri dan Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran 29 November 2008).
12
Jawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Umum Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia atas Rancangan Undang-Undang tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian
Internasional, Jakarta 5 Juni 2000.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW 7

lembaga eksekutif. Kondisi ini mengi- akan berlaku dan memiliki kekuatan
hukum mengikat semenjak disah-
ngat konstitusi Indonesia menganut kannya Undang-Undang tersebut,
pembagian kewenangan antara ekse- sedangkan Undang-Undang hasil
kutif dan legislatif.13 Hal ini dimaksud- ratifikasi perjanjian Internasional
membutuhkan metode internal bagi
kan juga agar DPR dapat menerapkan negara peserta Perjanjian Inter-
mekanisme pengawasan ( control nasional agar dapat mengikat. (Pasal
5 ayat 2 Konvensi Wina tentang
mechanism) melalui pengesahan dengan
Perjanjian Internasional).14
undang-undang terhadap perjanjian
internasional yang dibuat oleh peme- Ketentuan mengenai Perjanjian
rintah. Apabila DPR menolak rancang- Internasional diatur dalam Pasal 11
an undang-undang pengesahannya, UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2000.
maka perjanjian internasional yang Pasal 9 sampai dengan Pasal 11 UU
dimaksud tidak dapat diberlakukan No. 24 Tahun 2000 menentukan
karena tidak memenuhi persyaratan bahwa dalam pengaturan dan pelak-
prosedur sebagaimana yang diatur sanaannya, pengesahan perjanjian
dalam konstitusi. internasional oleh pemerintah Indo-
Dalam dissenting opinion oleh hakim nesia dilakukan sepanjang diper-
Hamdan Zoelfa dalam Putusan Mahka- syaratkan oleh perjanjian internasio-
mah Konstitusi mengenai pengujian nal tersebut. Pengesahan perjanjian
undang-undang hasil ratifikasi, menya- internasional dilakukan melalui
takan perbedaan yang mendasar antara Undang-Undang atau Keputusan
Undang-Undang materil dengan Undang- Presiden. Namun, bagi Indonesia
Undang hasil ratifikasi perjanjian kedudukan perjanjian internasional
Internasional adalah: dalam hukum nasional masih belum
a) Dalam Undang-Undang dalam arti
jelas. Ketidakjelasan ini merupakan
formil, pembahasan norma dapat
dibahas dan direvisi, sedangkan bagian dari ketiadaan hukum maupun
Undang-Undang ratifikasi merupakan doktrin pada sistem hukum Indonesia
kesepakatan berbagai negara dan tidak
dapat direvisi kecuali perjanjian
tentang hubungan hukum internasio-
tersebut memberi peluang untuk itu; nal dan hukum nasional sehingga ter-
b) Pember lakuan Undang-Undang jadi kebingungan dalam dunia praktisi
ratifikasi berbeda dengan Undang-
dalam menjawab status perjanjian
Undang f ormil pada umumnya.
Undang-Undang dalam arti formil internasional dalam hukum nasional.15

13
Boer Mauna menjelaskan bahwa pada prinsipnya sistem pembagian kewenangan antara
eksekutif dan legislatif adalah umum dilakukan pada beberapa negara yang menganut sistem
presidential seperti di Indonesia, di mana teknisnya kewenangan dalam pembuatan perjanjian
internasional akan berada di tangan lembaga eksekutif, namun dalam melaksanakan
kewenangan tersebut lembaga eksekutif harus mendapat persetujuan dari lembaga legislatif.
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global
(Penerbit Alumni 2000) 97.
14
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2008 tentang hasil ratifikasi Piagam ASEAN.
15
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktek (Refika Aditama
2010) 95.
8 REFLEKSI HUKUM [Vol. 2, No. 1, 2017]

UU No. 24 Tahun 2000 juga tidak secara undang pada umumnya, tetapi harus
tegas menjelaskan kedudukan perjan- diimplementasikan lebih lanjut dalam
jian internasional dalam sistem per- undang-undang atau bentuk kebijakan
undang-undangan, namun hanya me- lainnya. 17 Peraturan implementasi
nyatakan bahwa perjanjian internasio- diperlukan untuk mengabsorbsi atau
nal disahkan dengan undang-undang menyerap materi muatan perjanjian
atau keputusan presiden tanpa lebih internasional ke dalam hukum nasio-
lanjut menjelaskan apa arti dan konse- nal Indonesia. Apabila materi muatan
kuensinya bagi perundang-undangan perjanjian internasional dapat dituang-
Indonesia. Dalam tataran praktis, di kan dalam bentuk undang-undang
kalangan pemerintah dan opini publik nasional, maka materi muatan per-
berkembang berbagai alur pikiran yang janjian internasional yang dimuat
dapat dipetakan sebagai berikut :1) dalam bentuk undang-undang nasio-
Alur pikiran yang menempatkan nal (bukan lagi hanya dalam bentuk
perjanjian internasional yang telah undang-undang ratifikasi) tersebut
disahkan (diratifikasi) sebagai bagian akan menjadi hukum nasional.
dari hukum nasional; 2) Alur pikiran
yang mengharuskan adanya legislasi Kewenangan MK dalam Melakukan
nasional tersendiri untuk mengimple- Judicial Review terhadap Undang-
mentasikan suatu perjanjian inter- Undang Ratifikasi
nasional yang telah disahkan.16 Kasus uji materiil undang-undang
Berdasarkan hal tersebut, penulis ratifikasi ASEAN Charter dimulai
menyetujui bahwa perjanjian inter- dengan adanya pemohonan uji materiil
nasional yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 38 Tahun 2008
undang-undang atau keputusan pre- tentang Pengesahan Charter of The
siden tidak dapat serta merta diber- Association of Southeast Asian Nations
lakukan untuk warga negara seperti (UU No. 38 Tahun 2008) khususnya
undang-undang pada umumnya. Seja- Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 2 ayat (2)
lan dengan hal ini, penulis menyetujui huruf n Charter of The Association of
pendapat Hamdan Zoelva yang menya- Southeast Asian Nations. Adapun Pasal
takan bahwa pelaksanaan dari hak dan 1 angka 5 UU No. 38 Tahun 2008 me-
kewajiban yang ditentukan dalam nyatakan: “menciptakan pasar tunggal
perjanjian internasional tidak serta dan basis produksi yang stabil, mak-
merta berlaku bagi setiap warga negara mur, sangat kompetitif, dan terinte-
sebagaimana halnya ketentuan undang- grasi secara ekonomis melalui fasilitas
yang efektif untuk perdagangan dan
16
Ibid.
17
Dissenting Opinion Hakim Hamdan Zoelva, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUUIX/
2011, mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter
of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan bangsa-Bangsa Asia
Tenggara).
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW 9

investasi, yang di dalamnya terdapat perjanjian (subjek) dalam hal ini


arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan adalah negara-negara yang mem-
investasi yang bebas; terfasilitasinya buatnya;
pergerakan pelaku usaha, pekerja pro- 2. Undang-undang berlaku sebagai
fesional, pekerja berbakat dan buruh; norma hukum, maka negara Indonesia
dan arus modal yang lebih bebas.” dan negara lain, dalam hal ini negara
Pasal 2 ayat (2) huruf (n) menyatakan ASEAN wajib terikat secara hukum
“berpegang teguh pada aturan-aturan oleh UU No. 38 Tahun 2008;
perdagangan multilateral dan rezim- 3. Mahkamah Internasional atau Inter-
rezim yang didasarkan pada aturan national Court of Justice adalah lem-
ASEAN untuk melaksanakan komit- baga yang memiliki kewenangan
men-komitmen ekonomi secara efektif untuk sengketa-sengketa yang timbul
dan mengurangi secara progresif ke dari perjanjian antar negara.
arah penghapusan semua jenis ham- Dalam putusannya MK juga me-
batan menuju integrasi ekonomi ka- nyatakan bahwa MK berwenang
wasan, dalam ekonomi yang digerak- mengadili permohonan pemohon, yang
kan oleh pasar.” Pasal-Pasal ini dinilai artinya berwenang mengadili undang-
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) undang yang bersubstansi inter-
UUD 1945 yang menyatakan “Tiap-tiap nasional, dalam hal ini ASEAN Charter.
warga negara berhak atas pekerjaan Putusan MK ini menyiratkan tiga hal:
dan penghidupan yang layak bagi Pertama, undang-undang ratifikasi dan
kemanusiaan” dan Pasal 33 ayat (4) perjanjian internasional sebagai lam-
UUD 1945 yang menyatakan “Pereko- pirannya adalah satu kesatuan; Kedua,
nomian nasional diselenggarakan ber- karena undang-undang ratifikasi
dasar atas demokrasi ekonomi dengan merupakan undang-undang sehingga
prinsip kebersamaan, efisiensi ber- MK dapat mengujinya; Ketiga, bahwa
keadilan, berkelanjutan, berwawasan bentuk undang-undang ini memiliki
lingkungan, kemandirian, serta de- logical fallacies dan harus ditinjau
ngan menjaga keseimbangan kemaju- kembali.18
an dan kesatuan ekonomi nasional.” Berbeda dengan pendapat Hakim
Dalam putusannya, MK menyatakan Maria Farida, yang dalam dissenting
menolak permohonan para pemohon opinion menyatakan bahwa sesuai
dengan alasan: Pasal 24C UUD 1945, MK berwenang
1. Undang-Undang mempunyai kekuat- mengadili pada tingkat pertama dan
an hukum mengikat atas substansi terakhir yang putusannya bersifat final
yang diatur dalam Undang-Undang untuk menguji undang-undang terhadap
tersebut (objek) dan mengikat ter- Undang-Undang Dasar. Secara normatif
hadap pihak-pihak yang membuat pasal tersebut dapat dimaknai bahwa

18
Risalah Sidang Putusan Nomor 33/PPU-IX/2011 tanggal 26 Februari 2013.
10 REFLEKSI HUKUM [Vol. 2, No. 1, 2017]

MK juga berwenang menguji undang- nya diberikan oleh Undang-Undang


undang tentang pengesahan perjanjian Dasar;
internasional yang bertentangan 3) memutus pembubaran partai politik;
dengan UUD 1945. Akan tetapi jika 4) memutus perselisihan tentang hasil
permohonan pengujian tersebut terha- pemilihan umum;
dap substansi dalam undang-undang 5) memberikan putusan atas pendapat
tentang pengesahan perjanjian inter- DPR bahwa Presiden dan/atau
nasional, hal tersebut tidak dapat Wakil Presiden diduga telah melaku-
dilakukan, oleh karena tidak terdapat kan pelanggaran hukum berupa
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/ pengkhianatan terhadap negara,
atau bagian undang-undang tersebut korupsi, penyuapan, tindak pidana
yang dapat dipertentangan dengan berat lain, atau perbuatan tercela,
UUD 1945. Undang-undang tentang dan/atau tidak lagi memenuhi
pengesahan perjanjian internasional syarat sebagai Presiden dan/atau
bukanlah suatu peraturan perundang- Wakil Presiden sebagaimana dimak-
undangan yang substansinya bersifat sud dalam Undang-Undang Dasar
normatif, yang adressat normanya Negara Republik Indonesia Tahun
dapat secara langsung ditujukan 1945.
kapada setiap orang, tetapi merupakan Kewenangan MK adalah pengujian
persetujuan dari DPR terhadap per- undang-undang terhadap UUD, hanya
janjian internasional yang telah dibuat undang-undang yang lahir setelah
oleh Pemerintah untuk memenuhi perubahan pertama UUD 1945 (tanggal
Pasal 11 UUD 1945, dan diberi “baju” 19 Oktober 1999) saja yang dapat
dengan undang-undang.19 diujikan kepada MK, karena tidak ber-
MK sebagai salah satu pelaku laku surut.20 Hal ini didasarkan pada
kekuasaan kehakiman telah diberikan Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 ten-
kewenangan sesuai dengan yang dia- tang Mahkamah Konstitusi, namun
manatkan oleh konstitusi. Dalam UUD pasal ini telah dibatalkan sendiri oleh
1945 terdapat beberapa kewenangan MK. Artinya, saat ini tidak ada batasan
yang diberikan kepada MK yaitu: lagi tentang pengujian undang-undang
1) menguji undang-undang terhadap yang menjadi kewenangan MK baik
Undang-Undang Dasar; undang-undang setelah amandemen
2) memutus sengketa kewenangan UUD 1945 maupun undang-undang
lembaga negara yang kewenangan- sebelum amandemen. 21 Sedangkan

19
Afidatussolihat, ‘Pengujian Undang-Undang Ratifikasi Perjanjian ASEAN Charter oleh
Mahkamah Konstitusi’ (2014) 1 Jurnal Cita Hukum 148, 154-155.
20
Nur’ainy, Pengantar Ilmu Hukum (Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 2004) 99
21
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar ……”, tanpa memuat batasan tentang
pengundangan undang-undang yang diuji. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/
PUU-II/2004 jo Putusan MK No. 004/PUU-I/2003.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW 11

pemohon yang dapat mengajukan derajatnya, serta apakah suatu kekua-


permohonannya kepada MK adalah saan tertentu (verordenende macht)
pihak yang menganggap hak dan/atau berhak mengeluarkan suatu peraturan
kewenangan konstitusionalnya dirugi- tertentu. Pengujian material berkaitan
kan oleh berlakunya undang-undang, dengan kemungkinan pertentangan
yaitu; perorangan warga negara Indo- materi suatu peraturan dengan per-
nesia; kesatuan masyarakat hukum aturan lain yang lebih tinggi ataupun
adat sepanjang masih hidup dan menyangkut kekhususan-kekhususan
sesuai dengan perkembangan masya- yang dimiliki suatu aturan dibanding-
rakat dan prinsip Negara Kesatuan kan dengan norma-norma yang ber-
Republik Indonesia yang diatur dalam laku umum.23
undang-undang; badan hukum publik Dalam UUD 1945, MK memang
atau privat; atau lembaga negara.22 dibenarkan untuk menguji undang-
Berkenaan dengan persoalan undang terhadap UUD. Hal tersebut
pengujian, dikenal ada dua macam hak diatur dalam Pasal 24C UUD 1945
pengujian, yaitu hak pengujian formal yang menyatakan Mahkamah Konstitusi
dan hak pengujian material. Hak berwenang mengadili pada tingkat
pengujian formal adalah wewenang pertama dan terakhir yang putusannya
untuk menilai suatu produk legislatif bersifat final untuk menguji undang-
seperti undang-undang, dalam proses undang terhadap Undang-Undang
pembuatannya melalui cara-cara se- Dasar. Berdasarkan ketentuan dalam
bagaimana telah diatur dalam peratur- pasal tersebut, produk hukum yang
an perundang-undangan yang berlaku diuji konstitusionalitasnya oleh MK
atau tidak. Pengujian formal terkait de- adalah undang-undang terhadap UUD.
ngan masalah prosedural dan berkena- Namun UUD 1945 tidak memberikan
an dengan legalitas kompetensi insti- lingkup batasan pengertian undang-
tusi yang membuatnya. Di sisi lain, undang secara tegas.24
hak pengujian material (materiele Seperti yang telah dijelaskan sebe-
toetsingsrecht) adalah suatu wewenang lumnya bahwa peraturan perundang-
untuk menyelidiki dan menilai isi undangan dapat dilengkapi dengan
apakah suatu peraturan perundang- lampiran. Lampiran-lampiran ini meru-
undangan itu sesuai atau bertentangan pakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan peraturan yang lebih tinggi dari naskah peraturan perundang-

22
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
23
Suripto, ‘Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review)’ (2010)
<http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=116&id=518> diakses 18 Juni 2017. Lihat juga
Jimly Asshiddiqie, Menelaah Putusan Mahkamah Agung Tentang ‘Judicial Review’ atas PP No.
19/2000 yang bertentangan dengan UU No 31 Tahun 1999 dalam Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi (Tim Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010) 96-97
24
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (PT Raja Grafindo Persada 2010) 21.
25
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2006) 54.
12 REFLEKSI HUKUM [Vol. 2, No. 1, 2017]

undangan yang bersangkutan. Kebe- dalam lampiran undang-undang rati-


radaan undang-undang tidak mungkin fikasi sebagai bagian yang tidak ter-
lepas maupun dipisahkan dari naskah pisahkan dari undang-undang rati-
lampirannya.25. Dalam konteks lampiran fikasi. Undang-undang ratifikasi tidak
undang-undang-ratifikasi perjanjian serta merta membuat perjanjian
internasional, lampiran tersebut internasional menjadi hukum nasional
adalah salinan terjemahan perjanjian Indonesia. Undang-undang ratifikasi
internasional yang sejatinya adalah hanya membuat Indonesia terikat
materi muatan perjanjian internasional terhadap perjanjian internasional
itu sendiri. Hal tersebut berarti materi sebagai perwujudan dari persetujuan
muatan dalam lampiran undang- DPR sebagaimana amanat konstitusi.
undang ratifikasi merupakan hukum Sebagaimana yang telah dijelaskan
internasional secara utuh. sebelumnya bahwa dalam mentrans-
Pada dasarnya tata cara atau pro- formasikan materi muatan perjanjian
sedur pembentukan undang-undang internasional diperlukan suatu undang-
ratifikasi tidak berbeda dengan undang- undang nasional yang memuat materi
undang lainnya sepanjang mengikuti perjanjian internasional tersebut
tata cara yang diatur dalam UU No. 24 dalam tatanan hukum nasional. Selain
Tahun 2000 dan UU No. 12 Tahun 2011. itu, lampiran undang-undang ratifikasi
Dengan begitu, hal ini menjadi justi- memuat materi perjanjian internasional,
fikasi bahwa undang-undang ratifikasi yang berarti materi muatan dalam
dapat diuji di MK. Argumen penguat lampiran undang-undang ratifikasi
lainnya bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD merupakan hukum internasional.
Negara RI Tahun 1945 secara expressis MK tidak memiliki kewenangan
verbis menyatakan bahwa MK ber- untuk menguji lampiran undang-
wenang menguji undang-undang ter- undang ratifikasi yang merupakan
hadap UUD. Dalam ketentuan tersebut materi atau substansi perjanjian
tidak dikecualikan bahwa undang- internasional dan tidak memiliki
undang ratifikasi bukanlah objek pe- kewenangan untuk menguji hukum
ngujian MK, maka tidak ada alasan internasional. Dalam hal ini lampiran
bagi MK untuk menolak menguji un- berupa salinan terjemahan perjanjian
dang-undang ratifikasi.26 internasional bukanlah bagian dari
Akan tetapi, undang-undang rati- hukum Indonesia. 27 Tujuan dari
fikasi ialah undang-undang yang undang-undang ratifikasi adalah
bertujuan untuk mengesahkan perjan- semata untuk mengesahkan perjanjian
jian internasional, sedangkan materi internasional, sehingga supaya materi
atau substansi perjanjian internasional muatan perjanjian internasional dapat
yang bersangkutan hanya terdapat diuji oleh MK seharusnya materi
26
Andi Sandi dan Agustina Merdekawati, Op.cit., 468
27
Ibid.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW 13

muatan perjanjian internasional ter- perbuatan hukum dalam wilayah


sebut haruslah ditransformasikan hubungan eksternal. Jika Indonesia
terlebih dahulu dalam sebuah undang- memiliki keinginan untuk menarik diri
undang implementasi yang secara dari perjanjian internasional maka
harmonis memasukkan materi per- Indonesia akan terikat dengan keten-
janjian internasional dalam tatanan tuan formal dalam perjanjian inter-
hukum nasional.28 nasional yang berhubungan dengan
MK tidak memiliki kewenangan persoalan penarikan dari perjanjian
untuk menguji materi yang ada dalam internasional yang telah diatur dalam
suatu perjanjian internasional. Berda- perjanjian di mana Indonesia menjadi
sarkan hal tersebut berarti MK seha- negara pihak.30
rusnya juga tidak memiliki kewenang- MK memang tidak memiliki kewe-
an untuk menguji materi perjanjian nangan menguji substansi atau materi
internasional yang terdapat dalam perjanjian internasional yang terdapat
lampiran undang-undang ratifikasi. dalam lampiran undang-undang rati-
Apabila MK menyatakan memiliki fikasi. Namun dalam hal ini penulis
kewenangan untuk menguji materi berpendapat bahwa jika materi perjan-
perjanjian internasional yang terdapat jian internasional tidak sesuai dengan
dalam lampiran undang-undang UUD 1945, maka hal tersebut dapat
ratifikasi, maka hal tersebut tidak menjadi dasar putusan bagi MK untuk
sesuai dengan teori dan asas yang menguji konstitusionalitas (menyetujui
berlaku dalam baik hukum internasional atau tidak menyetujui) pengesahan
maupun hukum nasional. perjanjian internasional tersebut mela-
Dalam putusannya MK menolak lui undang-undang ratifikasi. Putusan
permohonan para pemohon untuk MK untuk menguji konstitusionalitas
seluruhnya, namun MK menyatakan pengesahan perjanjian internasional
berwenang menguji ASEAN Charter. tidak membuat Indonesia dapat secara
Apabila MK berwenang mengadili langsung menarik diri (withdrawal)
perjanjian internasional, tentu hal dari perjanjian internasional tersebut
tersebut menyebabkan Indonesia karena harus disesuaikan dengan
melanggar international obligation yang mekanisme yang terdapat dalam
melekat padanya. 29 Lebih jauh, perjanjian internasional atau hukum
pembatalan undang-undang ratifikasi internasional yang berlaku.
dapat dikatakan sebagai penarikan
atas prosedur internal yang dilakukan PENUTUP
namun keterikatan Indonesia atas
MK tidak mempunyai kewenangan
perjanjian internasional merupakan
untuk menguji lampiran undang-
28
Ibid.
29
Kama Sukarno, ‘Penerapan Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional Indonesia: Studi
Terhadap Putusan-Putusan Konstitusi’ (2016) 3 Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum 587,591.
30
Andi Sandi dan Agustina Merdekawati, Op.cit., 472.
14 REFLEKSI HUKUM [Vol. 2, No. 1, 2017]

undang ratifikasi yang memuat materi Starke, J.G., Pengantar Hukum Inter-
perjanjian internasional yang bersang- nasional I, Edisi. X (Sinar Grafika 2006).
kutan. Kewenangan MK dalam menguji
Syarif, Amiroeddin, Perundang-undangan
undang-undang ratifikasi hanya ter-
(Dasar, Jenis, dan Teknik Membuat-
batas pada substansi perjanjian
nya) (Rhineka Cipta 1997).
internasional tidak sesuai dengan UUD
1945 maka hal ini menjadi dasar Jurnal
putusan bagi MK dalam menentukan
Afidatussolihat, ‘Pengujian Undang-
konstitusionalitas (menyetujui atau
Undang Ratifikasi Perjanjian Asean
tidak menyetujui) pengesahan suatu
Charter Oleh Mahkamah Konstitusi’
perjanjian internasional melalui
(2014) 1 Jurnal Cita Hukum 148.
undang-undang ratifikasi.
Nurhidayatuloh, ‘Dilema Pengujian
DAFTAR BACAAN Undang-Undang Ratifikasi oleh
Mahkamah Konstitusi dalam Konteks
Buku Ketetanegaraan RI’ (2012) 9 Jurnal
Konstitusi 113.
Assidiqie, Jimly, Pengantar Imu Hukum
Tatanegara Jilid II (Sekretariat Sandi, Andi dan Agustina Merdekawati,
Jendral dan Kepaniteraan Mahka- ‘Konsekuensi Pembatalan Undang-
mah Konstitusi RI 2006). Undang Ratifikasi Terhadap Kete-
rikatan Pemerintah Indonesia Pada
_____, Hukum Acara Pengujian Undang-
Perjanjian Internasional’ (2012) 24
Undang (Sekretariat Jenderal dan
Mimbar Hukum 460.
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia 2006). Sukarno, Kama, ‘Penerapan Perjanjian
Internasional di Pengadilan Nasional
____, Perihal Undang-Undang (PT Raja
Indonesia: Studi Terhadap Putusan-
Grafindo Persada 2010).
Putusan Konstitusi’ (2016) 3
Mauna, Boer, Hukum Internasional, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum 587.
Pengertian, Peranan dan Fungsi
Makalah
dalam Era Dinamika Global (Penerbit
Alumni 2000). Manan, Bagir, Akibat Hukum di Dalam
Negeri Pengesahan Perjanjian
Nur’ainy, Pengantar Ilmu Hukum
Internasional (Tinjauan Hukum
(Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Tatanegara) (Focus Group Discussion
Kalijaga 2004).
Departemen Luar Negeri dan Fakul-
O’ Brein, John, International Law tas Hukum Universitas Padjadjaran
(Cavendih Publishing Limited 2011). 29 November 2008).
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN JUDICIAL REVIEW 15

Tsani, Mohd. Burhan, Status Hukum


Internasional dan Perjanjian Interna-
sional dalam Hukum Nasional
Republik Indonesia Dalam Perspektif
Hukum Tata Negara, (Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2009).

Internet

Suripto, Suripto, Wewenang Mahkamah


Konstitusi Menguji Undang-Undang
(Judicial Review) (2010) <http://
w w w . s e t n e g . g o . i d /
index.php?Itemid=116&id=518>,
diakses 18 Juni.
16 REFLEKSI HUKUM [Vol. 2, No. 1, 2017]

Anda mungkin juga menyukai