QAWA<ID{ AL-TAH{DI<S|
(Kaedah Jarh Wa al-Ta’dil Serta Aplikasinya Dalam Penelitian Sanad)
Oleh;
ZAHARUDDIN
NIM: 80100213124
Dosen Pemandu;
Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag.
Zulfahmi Alwi, MA. Ph.D
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
Olehnya itu, pentingnya memperkuat Kaedah hadis, Ulum al-Hadis, Mustalah
al-Hadis dalam menunjukkan dan membuktikan bahwa inilah hadis yang layak
dijadikan sumber Tasyri’ Islam sehingga tak diragukan lagi kehujjahannya.
Dalam kesempatan ini, penulis akan fokus dalam membahas Qawa>id{ al-
Tahdi>s\ dalam lingkup gambaran Qawa>id{ al-Tahdi>s\kaedah jarh wa al-Ta’dil
meliputi pengertian, ruang lingkup dan pentingnya Qawa>id{ al-
Tahdi>pengaplikasiannya yang semoga dapat membantu para pengkaji hadis dalam
memilah dan memahami hadis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah pokoknya adalah bagaimana
gambaran kaedah jarh wa al-Ta’dil dan pengaplikasiannya dalam penelitian sanad
Qawa>id{ al-Tahdi>s, yang dirumuskan dalam beberapa sub masalah yang
menyangkut pembahasan. Di antaranya:
1. Bagaimana defenisi kaedah jarh wa al-Ta’dil ?
2. Bagaimana ruang lingkup jarh wa al-Ta’dilkaedah jarh wa al-Ta’dil ?
3. Bagaimana pengaplikasian jarh wa al-Ta’dil dalam penelitian sanad ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia,
2009), h. 157.
2
Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Pokok kata J-R-H. Juz III. 1302, h. 246.
3
Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Cet. IV;
Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2009), h. 82.
4
Abdul Aziz ibn Ibrahim Abdul Latif, Dhawabit al-Jarh wa Ta’dil, h. 10.
5
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, (Cet. II; Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta, 2009),
h. 176.
6
Lihat kitab Rijal al-Hadis, h. 92.
4
e. Al-tajrih, menyifati ulama rawi dengan sifat-sifat yang membawa
konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima.7
Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih,
dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-
jarh berkonotasi tidak mencari-cari cela ulama, yang biasanya telah tampak
pada diri ulama. Sedang al-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari
dan mengungkap sifat-sifat tercela ulama.
2. Al-Adl
Al-adl secara etimologi yaitu sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa
sesuatu itu lurus atau lawan dari kata durhaka atau lacur. Jadi, ulama adil
adalah ulama yang diterima kesaksiannya dan ta’dil pada diri ulama berarti
menilainya positif8 dan at-ta’dil juga berarti mensucikan dan
membersihkannya.9
Adapun secara terminologi, al-adl adalah:
a. Al-adl, ulama yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agama
dan perangainya.10 Oleh sebab itu, diterima berita dan kesaksiannya apabila
memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadis.11
b. Al-adl, ulama yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan
keperwiraannya.12
c. Al-adl, mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat,
sehingga tampak jelas keadilan rawi itu dan karenanya riwayat yang
disampaikannya dapat diterima.13
7
Ajj al-Khatib,Ushul al-Hadis, Terj. Qodirun dan Ahmad Musyafiq, (Gaya Media Pratama:
Jakarta, 2003), h. 233.
8
Ibn Mandzur, op.cit., h. 456
9
Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu HadisManna al-Qatthan, h. 82loc. cit.
10
Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, h. 82Ibid.,
11
Islam, baligh, berakal, dan kuat hapalannya.
12
Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, op.cit., h. 158.
13
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis h. 176. Noor Sulaiman, loc. cit.
5
d. At-ta’dil, pensifatan rawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya sehingga
nampak keadilannya dan riwayatnya diterima.14
Dengan demikian, ilmu al-jarh wa ta’dil adalah:
العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول روايتهم اوردها
“Ilmu yang membahas hal ikhwal para rawi dari segi diterima atau ditolak riwayat
mereka.”15
Abdurrahman aAl-Mu’allimi aAl-Yamani mengatakan bahwa ilmu al-
jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam
menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi
rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap ulama rawi melalui
lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-
lafadz tersebut.16
14
Manna al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, h. 82Manna al-Qaththan, loc. cCit.
15
Ajj al-Khatib,Ushul al-Hadis, H. 233Al-Khatib, loc. cit.
16
Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
1403 H/ 1983 M), hlm. 20-23
6
Ada fenomena menarik bahwa para periwayat hadis mulai dari generasi sahabat
sampai generasi mukharrij al-hadis sudah tidak dapat dijumpai lagi secara fisik
karena mereka telah wafat. Sementara para sahabat adalah para saksi sejarah
yang bisa menyaksikan serta mewartakan apa yang telah mereka rekam selama
bergaul dan bersahabat dengan Nabi. Kondisi tersebut menyebabkan rasa ingin
tahu untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun
kekurangan mereka di bidang periwayatan hadis. Kita juga memerlukan informasi
dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik rijal (para periwayat) hadis.
Kritik tersebut dilakukan mengingat kedudukan hadis Nabi sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Cukup banyak ayat al-Quran yang memerintahkan ulama-
ulama yang beriman untuk patuh dan mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi
Muhammad, di antaranya:
Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai ulama-ulama kafir”.
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi ulama yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah.
Secara umum ayat-ayat di atas menganjurkan patuh pada perintah Nabi dan
berpegang teguh pada teladan yang ditunjukkan melalui praktik dan perilaku-
perilaku Nabi.17 Anjuran dan larangan serta teladan hidup dari Nabi yang termuat
dalam sunnah atau hadis beliau adalah sumber ajaran Islam. Dengan meyakini
bahwa hadis Nabi merupakan bagian dari sumber ajaran Islam, maka penelitian
hadis khususnya hadis ahad sangat penting. Penelitian itu dilakukan untuk upaya
menghindarkan diri dari pemakaian dalil-dalil hadis yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi.
Sekiranya hadis Nabi hanya berstatus sebagai data sejarah an sich, niscaya
penelitian-penelitian hadis tidaklah begitu urgen. Hal itu tampak berbeda pada
sikap ulama ketika menghadapi berbagai kitab sejarah (sirah para Nabi). Kritik
yang diajukan ulama hadis terhadap berita atau informasi yang termuat dalam
berbagai kitab-kitab sejarah tidaklah seketat kritik mereka terhadap berbagai hadis
yang termuat dalam kitab-kitab hadis, khususnya yang berkaitan dengan pokok-
pokok ajaran agama.
Fenomena lain yang dapat ditemukan terkait dengan kepentingan meneliti hadis
adalah tidak seluruh hadis tertulis pada masa Nabi. Pada suatu saat, Nabi pernah
melarang sahabat untuk menulis hadis. Dalam pada itu, pun Nabi juga pernah
17
Al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam Al-Quran, Juz XVII (Kairo; Dar al-Kutub al-Arabi, 1387 H/
1967 M),h. 17.
7
menyuruh atau mengizinkan sahabat menulis hadis.18 Kebijaksanaan Nabi
tersebut menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahkan
di kalangan sahabat tentang boleh tidaknya menulis hadis. Dalam sejarah, pada
masa Nabi telah terjadi penulisan hadis, misalnya berupa surat-surat Nabi tantang
ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum
memeluk Islam.
Sejumlah sahabat yang telah menulis hadis pada saat itu adalah Abdullah Ibn
Amr bin Ash (W. 65 H/685 M), Abdullah bin Abbas (W. 68 H/687 M), Ali bin Abi
Talib (W. 40 H/661 M), Samurah bin Jundab (W. 60 H), Jabir bin Abdillah (W. 78
H/ 697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa (W. 86 H). Walaupun demikian, tidaklah
berarti bahwa seluruh hadis telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
Hal ini sangatlah beralasan karena para sahabat yang membuat catatan-catatan
itu didorong oleh keinginan pribadi, sedang mereka itu sangat sulit untuk mampu
mengikuti dan mencatat apa saja yang berasal dari Nabi, khususnya hadis Nabi
yang terjadi di hadapan satu atau dua ulama sahabat saja.
Dengan demikian, hadis yang berkembang pada masa Nabi lebih banyak
berlangsung secara hafalan daripada tulisan. Itu berakibat dokumentasi hadis
Nabi secara tertulis belum mencakup keseluruhan hadis yang ada. Dalam pada
itu, tidaklah semua hadis yang telah dicatat oleh para sahabat telah dilakukan
pemeriksaan di hadapan Nabi. Itu berarti bahwa hadis yang didokumentasikan
secara tertulis dan secara hafalan tidak terhindar dari keharusan untuk diteliti.
Sekiranya hadis telah rampung dihimpun dan telah diperiksa oleh Nabi, maka
dengan sendirinya penelitian terhadap hadis Nabi tidak diperlukan lagi.
Perumpamaan tersebut memang sangat sulit terjadinya. Alasannya bukan hanya
karena jumlah para sahabat Nabi yang pandai menulis tidak sebanyak jumlah
sahabat yang tidak pandai menulis saja, yang mana itupun lebih terfokus pada
penulisan al-Qur’an, tetapi juga karena kegiatan mencatat berbagai hal yang
terjadi pada ulama yang masih hidup tidaklah mudah. Di samping itu, apa yang
disebut sebagai hadis sebagaimana dinyatakan oleh ulama hadis, yakni segala
sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad saw19 tidak selalu terjadi
dan disaksikan di hadapan banyak ulama. Misalnya, beberapa hal yang
berhubungan dengan pergaulan Nabi dengan para istri-istri beliau, maka apa
yang telah dilakukan ole Nabi itu hanya mungkin diketahui oleh istri-istri beliau
saja. Padahal, apa yang telah berlangsung antara nabi dan istri beliau itu adalah
juga termasuk hadis.20
Dengan kenyataan tersebut maka memang sangat logis bila dinyatakan bahwa
tidaklah seluruh hadis telah tertulis pada masa Nabi. Hal itu membawa akibat
bahwa hadis tidak terhindar dari kemungkinan salah dalam periwayatan. Itu
berarti, saksi-saksi sejarah yang terlibat dalam periwayatan harus dilakukan
18
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis,
19
Ibid.,
20
Ibid.,
8
penelitian. Dengan demikian, kedudukan penelitian yang mampu menerangkan
tingkat kebenaran suatu riwayat menjadi sangat penting.
Selain itu, setelah wafatnya Rasulullah SAW tepatnya pada masa kepemimpinan
Ali ibn Abi Thalib, di mana khalifah Ali bersiteru dengan Mu’awiyah. Masing-
masing dari pendukung keduanya sengaja membuat hadis palsu untuk
memenangkan dukungannya. Berbagai pemalsuan hadis tersebut telah
menyulitkan umat Islam yang ingin mengetahui berbagai riwayat hadis yang
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi Muhammad.
Sungguh merupakan karunia yang luar biasa dari Allah bahwa ternyata para
ulama hadis telah bekerja keras menyelamatkan hadis dari penghancuran massal
yang telah dilakukan oleh para pemalsu hadis. Upaya ulama ahli hadis untuk
menyelamatkan hadis Nabi tersebut berupaya menyusun berbagai kaidah dan ilmu
hadis yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian hadis.21
Dalam hubungan itu, sanad hadis menjadi sangat penting, dan penelitian pribadi
para periwayat yang menyatakan telah memperoleh satu riwayat hadis menjadi
salah satu bagian terpokok dalam penelitian hadis. Karenanya tidaklah
mengherankan bila pengkajian sejarah berkenaan dengan para periwayat hadis
menjadi salah satu kegiatan penting yang telah dilakukan oleh ulama hadis.
Kegiatan para ulama hadis tersebut telah menimbulkan rasa kagum Herbert
Spencer, salah ulama orientalis yang menyatakan bahwa hanya terdapat dalam
Islam, yakni dalam ilmu hadis telah dipelajari sejarah hidup sekitar setengah juta
ulama Yang dimaksudkan oleh Herbert Spencer itu adalah biografi para periwayat
hadis.
Berbagai kaidah dan ilmu hadis yang telah diciptakan oleh ulama hadis telah
dituangkan dalam berbagai kaitan untuk penelitian hadis. Jasa keilmuan para
ulama itu telah mampu secara akurat terhadap riwayat hadis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah berasal dari Nabi dan riwayat yang ternyata
diragukan ataupun dipastikan tidak berasal dari Nabi.
Dengan telah terjadinya pemalsuan-pemalsuan hadis tersebut, maka kegiatan
penelitian hadis menjadi sangat penting. Tanpa dilakukan penelitian, maka hadis
Nabi akan bercampur aduk dengan yang bukan hadis dan ajaran Islam akan
dipenuhi oleh berbagai hal yang menyesatkan umatnya.
2. Proses penghimpunan Hadis
Dalam sejarah, penghimpunan hadis secara resmi dan massal terjadi atas perintah
khalifah Umar bin Abdul Aziz (W. 101 H/720 M). dikatakan resmi karena kegiatan
penghimpunan itu merupakan kebijaksanaan dari kepala negara dan dikatakan
massal karena perintah kepala negara itu ditujukan kepada para gubernur dan
ulama ahli hadis pada zaman itu.
Abdul Aziz bin Marwan (W. 85 H/704 M), Ayahanda Umar bin ‘Abdul Aziz, ketika
menjadi gubernur di Mesir, melalui surat, meminta kepada Kasir bin Murrah,
21
Al-Siba’i, Al-Sunnah wa Manakanatuha fi Tasyri’ al-Islam, (ttp,: Dar al-Qaumiyyah, 1966),
h. 101-117.
9
ulama tabi’in di Hims, untuk mencatatkan berbagai hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat selain Abu Hurairah. ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan menyatakan bahwa hadis-
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah memiliki catatannya. Dengan adanya
surat gubernur ‘Abdul Aziz bin Marwan itu, menurut Muhammad ‘Ajjaj Khatib,
bahwa penghimpunan hadis secara resmi terjadi atas daras perintah gubernur
tersebut.
Sebelum Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz wafat, ulama hadis yang telah berhasil
melaksanakan perintah khalifah adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-
Zuhri (W. 124 H/742 M), ulama ulama terkenal di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-
bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh Khalifah ke berbagai daerah untuk
bahan penghimpunan hadis selanjutnya.22
Pada pertengahan abad ke-2 Hijriyah, telah muncul karya-karya himpunan hadis
di berbagai kota besar, misalnya Mekkah, Madinah, dan Basrah. Puncak
penghimpunan hadis Nabi terjadi sekitar abad ke-3 H.
Dengan demikian, jarak waktu antara masa penghimpunan hadis dan wafatnya
Nabi cukup lama. Hal itu menyebabkan pentingnya penelitian hadis untuk
menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung-
jawabkan validitasnya.
3. Periwayatan hadis secara makna
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara
makna. Mereka itu, misalnya Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Mas’ud (W. 32 H/652 M), Anas bin Malik (W. 93 H/ 711 M), Abu Darda’ (W. 32
H/652 M). Abu Hurairah (W. 58 H /678 M). dan ‘Aisyah istri Nabi. Sedangkan
para sahabat yang melarang periwayatan hadis secara makna, misalnya, ‘Umar
bin Khattab, ‘Abdullah bin Umar bin Khattab, dan Zaid bin Arqam.
Perbedaan tentang boleh tidaknya meriwayatkan dengan makna juga terjadi di
kalangan ulama. ulama yang membolehkan periwayatan secara makna
menekankan pentingnya pemenuhan syarat-syarat yang ketat, misalnya periwayat
yang bersangkutan harus mendalam pengetahuannya tentang bahasa Arab, hadis
yang diriwayatkan bukanlah bacaan yang bersifat ta’abbudi, umpamanya bacaan
salat, dan periwayatan secara makna dilakukan karena sangat terpaksa. Dengan
demikian, periwayatan hadis secara makna tidaklah berlangsung secara longgar,
tetapi sangat ketat.
Walaupun sangat ketat syarat periwayatan hadis secara makna, namun kebolehan
itu memberi petunjuk bahwa matan hadis yang diriwayatkan secara makna telah
ada dan bahkan lumayan banyak. Padahal, untuk mengetahui kandungan
petunjuk hadis tertentu, diperlukan terlebih dahulu mengetahui susunan redaksi
(tekstual) dari hadis yang bersangkutan, khususnya yang berkenaan dengan hadis
qauli (hadis yang berupa sabda Nabi). Karenanya, kegiatan penelitian baik sanad
maupun matan menjadi sangat penting.
22
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz I, (ttp. Dar al-Fikr al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.)
h. 194-195.
10
Demikianlah faktor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya ilmu tentang jarh
wa al-ta’dil, dengan semata-mata untuk menjaga otentisitas serta kualitas hadis,
sehingga bisa menambah keimanan serta menghilangkan keraguan-keraguan
yang sering dilontarkan oleh para inkar al-Sunnah.
4. Landasan kebolehan melakukan jarh wa ta’dil
Sebagian ulama sufi, Abdullah ibn Mubarak dan Abu Thurab al-Nahsyabi al-
Dzahid berpendapat bahwa tidak boleh melakukan jarh terhadap rawi karena hal
itu sama saja dengan ghibah. Akan tetapi, pendapat ini dibantah oleh ulama lain
yaitu Ahmad ibn Hanbal dengan alasan bahwa menjarh rawi bukan ghibah tapi
nasihat. Kemudian Ahmad mengatakan, jika tidak dijelaskan maka bagaimana
cara mengetahui dan membedakan antara yang hak dan bathil?23
Adapun landasan kebolehan melakukan jarh terhadap rawi yaitu sebagaimana
dalam al-Quran:
Hai ulama-ulama yang beriman, jika datang kepadamu ulama Fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. ?)
س ِمعْتُ َع ْب َد ال َّر ْح َم ِن بْنَ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِنَ ب قَال ٍ س َما ِك ْب ِن َح ْر ِ ْش ْعبَةُ عَن ُ َح َّدثَنَا َم ْح ُمو ُد بْنُ َغ ْياَل نَ َح َّدثَنَا أَبُو دَا ُو َد أَ ْنبَأَنَا
س ِم َع َّ َ
َ ش ْيئًا فبَل َغهُ َك َما َ س ِم َع ِمنَّا ً هَّللا
َ ض َر ُ ا ْم َرأ َّ
َّ َسل َم يَقُو ُل ن َ صلَّى ُ َعل ْي ِه َو
َ هَّللا َ س ِمعْتُ النَّبِ َّي َ ِّث عَنْ أَبِي ِه قَال ُ س ُعو ٍد يُ َحد ْ َم
يح َوقَ ْد َر َواهُ َع ْب ُد ا ْل َملِ ِك بْنُ ُع َم ْي ٍر عَنْ َع ْب ِد
ٌ ص ِحَ ٌن س ح
َ َ ٌ
يث د ح
ِ َ ا َ
ذ ه
َ ى سَ ِ ي ع وُ بَ أ لاَ ق ع
َ ٍ ِ َ ِ م ا س ْن م َى
ع و َ
ْ ٍ َ ُ فَ ُر
أ غِّ لبم ب
َّ
هَّللا
ِ ال َّر ْح َم ِن ْب ِن َع ْب ِد
“Semoga Allah mencerahkan wajah ulama yang mendengar sesuatu dari kami,
kemudian dia menyampaikan (kepada ulama lain) sebagaimana yang dia dengar.
Bisa jadi ulama yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar
langsung). ” (HR. An-Nasa’i)24
Dengan mengacu pada ayat dan hadis di atas, secara tegas menganjurkan tentang
wajibnya tabayyun dan tasabbut (meneliti kebenaran berita) dari ulama yang fasik.
Anjurannya adalah kecermatan dan ketelitian menerima suatu berita. Apalagi dari
ulama yang belum dikenal sosio-historisnya atau belum dikenal terpercaya
(tsiqah). Pada kasus periwayatan hadis, di samping tabayyun dan tasabut atas ke-
tsiqah-an, diperlukan juga penilaian terhadap kapabilitas dalam kuatnya hafalan
(dhabith).
Mengomentari dua dalil di atas, Al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
mengatakan bahwa al-jarh (kritik) terhadap para rawi yang menukilkan suatu
berita atau riwayat adalah boleh.25 Bahkan wajib, berdasarkan kesepakatan para
Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi,
24
Sunan at-Tirmidzi, no. Hadis 2581. Hadis yang semakna, juga diriwayatkan oleh Abu Abdillah
Muhammad ibn Yazid ar-Raba’i al-Qazwini Ibn Majah, sunan Ibn Majah, no. Hadis 228, dan ad-
Dharimi, Sunan adh-Dharimi, no. Hadis 232.
25
Al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarah al-Nawawi, Juz I, (Mesir: al-Matba’ah al-Misriyyah,
1924), h. 88.
11
ulama karena adanya kebutuhan mendesak dan memang mengharuskan untuk
dikritik demi membangun dan melindungi syariat.
Selanjutnya, al-Nawawi memberikan kriteria khusus terhadap ulama kritikus
yaitu, dalam melakukan jarh, ulama kritikus harus didasari dengan ketakwaan
kepada Allah. Perlu adanya tatsabbut (meneliti kebenaran berita), berhati-hati,
tidak sembarangan dalam men-jarh ulama yang sebenarnya bersih dari cacat, atau
merendahkan ulama-ulama yang tidak tampak kekurangannya, karena kerusakan
akibat jarh ini sangat besar.
26
Hadis maudhu yaitu hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara mengada-ada
dan dusta baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrir.
12
menggunakan selain kedua lambang tersebut, maka sanadnya terdapat tadlis
(menyembunyikan cacat). Periwayat yang tsiqah yang bersyarat itu misalnya, Abdul
Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, yang dikenal dengan ibn Juraij (W. 149/150 H).27
Dengan uraian tersebut dapatlah dinyatakan bahwa untuk mengetahui bersambung
atau tidaknya suatu sanad, maka hubungan antara periwayat dan metode periwayatan
yang digunakan perlu juga diteliti. Karena tadlis masih mungkin terjadi pada sanad
yang dikemukakan oleh periwayat yang tsiqah, maka ke-tsiqah-an periwayatan perlu
dilakukan penelitian secara cermat.
Sekiranya suatu sanad hadis yang telah diteliti telah memberikan petunjuk yang
meyakinkan bahwa seluruh sanad yang terdapat dalam sanad itu tsiqah dan sanadnya
benar-benar bersambung, maka tidak ada alasan untuk menolak bahwa kualitas sanad
hadis tersebut sahih. Namun pada kenyataannya, ada sanad hadis yang tampak
berkualitas sahih dan setelah diteliti kembali dengan lebih cermat lagi, misalnya
dengan membanding-bandingkan semua sanad untuk matan yang semakna, hasil
penelitian akhir menunjukkan bahwa hadis yang bersangkutan mengandung
kejanggalan (syaz) ataupun cacat (‘illat).
Hal itu terjadi sesungguhnya bukan karena terdapat kelemahan pada kaidah kesahihan
sanad yang dijadikan sebagai acuan, melainkan telah terjadi kesalahan langkah
metodologis dalam penelitian. Mungkin saja sanad yang menggunakan lambang ’an
atau anna, atau qala tidak diteliti secara cermat dan setelah diteliti kembali, ternyata
di balik lambang-lambang itu terdapat tadlis (menyembunyikan sanad). Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa kegiatan penelitian sanad masih belum dinyatakan
selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syaz dan ‘illat belum
dilaksanakan dengan cermat. Penelitian terhadap kedua hal tersebut memang
termasuk lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian terhadap keadaan para
periwayat dan persambungan sanad hadis secara umum.
1. Syarat-Syarat Bagi Ulama Yang Menta’dilkan Dan Menjarhkan
Tidak semua penilaian ulama harus diterima mentah-mentah tapi
harus jelas dulu sebab-sebab penilaian tersebut. Terkadang, ulama menilai
cacat ulama lain malah dia sendiri juga cacat. Oleh sebab itu, kita tidak
boleh menerima langsung suatu perkataan ulama ulama sebelum ada ulama
lain yang menyetujuinya. Sebagian ulama menilai jarh atau negatif ulama
lain karena adanya ketidakcocokan atau adanya rasa tidak suka pada rawi
tersebut. Hal ini, karena ada ulama yang mudah memberi penilaian positif
dan negatif terhadap ulama lain maka perkataan ulama tersebut harus
disaring dan tidak boleh langsung diterima begitu saja kalau tidak ada
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib at-Tahzib, (India: Majlis Dairat al-Ma’arif al-Nizamiyyah,
27
13
ulama lain yang ketat dalam memberi penilaian yang sama. Sebagian ulama
ada juga yang sangat ketat (mutasyaddid) dalam memberi penilaian jarh
dan ta’dil maka jika ulama ini menilai bahwa seorang rawi adil maka
penilaiannya bisa langsung diterima jika dia telah memenuhi syarat-syarat
menta’dilkan dan menjarhkan ulama.
Adapun syarat-syarat bagi ulama yang menta’dilkan dan
menjarhkan28 yaitu:
1. Berilmu pengetahuan
Adapun yang dimaksudkan dengan berilmu pengetahuan yaitu
menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama terutama yang
berkonotasi ke dalam materi hadis. Mustahil bagi ulama yang menjarh
dan atau menta’dil ulama mampu memberikan argumen-argumen atas
tuduhan-tuduhannya atau mampu mempertanggungjawabkan
penilaiannya itu jika ia tidak memiliki ilmu.
2. Bertakwa
Ulama yang menjarh dan atau menta’dil ulama haruslah ulama
yang senantiasa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Jika ulama penjarh dan atau penta’dil tidak takut kepada
Allah maka ia akan memberikan penilaian sesuai keinginannya sendiri,
mungkin disebabkan oleh faktor fanatik golongan atau karena mereka
tidak saling suka (bermusuhan). Olehnya itu, penjarh dan atau penta’dil
harus bertakwa sehingga ia takut memberikan penilaian yang keliru.
3. Wara’
Adapun yang dimaksud dengan wara’ yaitu ulama yang menjauhi
perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat. Akhirnya,
ulama-ulama yang suka mengerjakan perbuatan maksiat tidak termasuk
dalam golongan wara’.
28
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, op. cit., h. 158.
14
4. Jujur dan bersih dalam memberikan penilaian
Dalam hal ini ulama menyebutkan sifat-sifat yang melekat pada
diri periwayat, baik positif maupun negatif. Dalam hal ini Ibnu Sirin
berkata: “Sungguh engkau telah berbuat zalim atas saudaramu, jika
engkau hanya menyebutkan kekurangan-kekurangannya saja tanpa
menyertakan kelebihannya.
Menerapkan sifat amanah tanpa melibatkan idiologi tertentu
sangat dianjurkan dalam menjelaskan kebenaran, meskipun untuk
menilai diri sendiri. Hal ini bisa menambah keimanan dan keistiqamahan
ulama. Terkait dengan keadaan ini. Syu’bah bin Hajjaj telah
meriwayatkan sebuah hadis: faqila lahu: innaka tukhalifu fi haza al-hadis
qala man yukhalifuni ? qalu Sufyan al-Sauri. Qala da’uhu, Sufyan ahfazu
mini. Dikatakan bahwa Syu’bah bin Hajjaj meriwayatkan hadis yang
berbeda dengan periwayatan Sufyan al-Sauri, kemudian Syu’bah
mengakui kelebihan Sufyan al-Sauri, dan mengakui kekurangan yang
ada pada pribadinya. Syu’bah memuji Sufyan dengan mengatakan lebih
hafiz dari dirinya.
Sifat jujur adalah sifat yang paling urgen. Ulama yang hendak
menjarh dan atau menta’dil ulama harus memberikan penilaian yang
jujur, apa adanya tanpa mengurangi atau menambahkan sesuatu
sehingga ulama tersebut dinilai jarh ataupun ta’dil karena tidak
menutup kemungkinan ada ulama yang menjarh hanya sekedar ingin
menjatuhkan ulama yang tidak disukai dan ada juga yang menta’dil
ulama karena mereka berteman atau satu golongan, sekutu ataupun
kerena keluarga, dan terutama harus berhati-hati terhadap ulama yang
mutasahil dalam menta’dilkan rawi seperti Imam Muhammad bin Ishaq
bin Al Huzaimah dan muridnya, Abu Hatim bin Ibnu Hibban juga Ibnu
15
Hibban Al Hakim Ibnu Abdullah, terutama dalam kitab Al Mustadark-nya,
Al-Daruquthni, namun beliau lebih baik dari Ibnu Hibban dan Al Baihaqi.
29
Ajja al-Khatib, Ushul al-Hadis “Ulumuhu wa Mustalahu”, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.
266-268.
16
adalah Abu Hatim Ar Razi, Al-Jurjani dan An Nasa’i. Ibnu Ma’in juga
dikatakan sebagai mutasyadid.
Sedangkan bagi ulama pertengahan (mu’tadil) antara mutasahil
dan mutasyaddid maka perkataannya diterima tapi tidak ditolak kecuali
bila menyelisihi jumhur. Ulama yang termasuk mu’tadil adalah Imam
Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah Ar Razi, Ibnu Ma’in, Asy Syaikhani dan
At Tirmidzi.
17
Dalam kitab Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil, Qawa’iduhu wa Aimmatuhu,
Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, menetapkan beberapa
ketentuan dalam melakukan jarh dan ta’dil,30 yaitu:
1. Jarh ditujukan untuk rawi atau yang lainnya, maka jangan menjarh
mereka kecuali bila ada manfaatnya.
2. Menjarh untuk kemaslahatan dan nasehat, bukan karena senang
menampakkan cacat dan kekurangan ulama lain atau karena hawa
nafsu.
3. Ulama harus berpegang teguh dengan apa yang ia katakan.
4. Menjarh sesuai dengan kebutuhan.
5. Bila dalam biografi ulama rawi terkumpul pada dirinya antara jarh
dan ta’dil hendaknya ia menyebutkan keduanya secara bersamaan.
30
Lihat selengkapnya, Amru Abdul Mu’in Salim, Tafsir Ulumul li al-Mudtadi’in, h. 160-161.
31
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, op. cit., h. 163.
32
Ajj al-Khatib,Ushul al-Hadis h. 241.Al-Khatib, op. cit., h. 241.
18
b. Ta’dil didahulukan daripada jarh bila yang menta’dilkan lebih
banyak karena banyaknya ulama yang menta’dilkannya maka itu
bisa mengukuhkan keadaan rawi yang bersangkutan. Selain itu,
alasannya juga karena sifat asal rawi adalah terpuji.
c. Jika jarh dan ta’dil bertentangan maka yang harus didahulukan
adalah yang menta’dilkan kecuali yang menjarh menyebutkan
sebab-sebabnya. Hal ini cukup menyebutkan salah satu
kecacatannya yang dapat menggugurkan keadilan rawi tersebut.
d. Jika jarh dan ta’dil bertentangan maka yang harus didahulukan
adalah yang menjarh jika yang ulama yang menjarh lebih banyak
daripada yang menta’dilkannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa
jika keduanya bertentangan maka salah satunya tidak bisa
didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan
salah satunya yakni keadaan dihentikan untuk sementara waktu
sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya33 dan
tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan pengukuhan tersebut.34
33
Ajj al-Khatib,Ushul al-Hadis h. 241.Ibid.,
34
Endang Soetari, Ilmu Hadis “Kajian Riwayah dan Dirayah”, (Bandung: Mimbar Pustaka,
2005), h. 208.
19
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Di antaranya yaitu:
Sebagian para imam berpendapat, harus menyebutkan sebab-
sebab keadilannya. Adapun alasannya ada dua:
Karena kadang ulama memberikan rekomendasi keadilan tidak
sesuai dengan sebab yang menjadikan ulama adil. Sebagaimana
yang dikatakan kepada Ahmad bin Yunus: “Abdullah bin Al
‘Amari dha’if, maka dia berkata: “Sesungguhnya yang
mendha’ifkannya hanyalah ulama-ulama Rafidhah yang marah
kepada bapaknya. Seandainya kalian melihat jenggot dan
keadaannya maka Anda akan mengetahui bahwa ia ulama yang
tsiqah. “
Sesungguhnya sebab-sebab tersebut mempunyai peran sangat
besar terhadap keadilan ulama, maka manusia cepat memujinya
dengan melihatnya secara dzahir.
Sebagian yang lain tidak mengharuskan penyebutan sebab
keadilan. Adapun alasannya ada dua:
o Ijma’ umat, bahwa ta’dil tidak diambil kecuali dari perkataan
ulama yang adil pula, yang mengetahui segala sesuatu yang
menjadikan ulama adil atau jarh.
o Sesungguhnya sebab-sebab keadilan sangat banyak sekali. Bila
diharuskan menyebutkannya, maka penta’dil harus menyebutkan
setiap perbuatan baik yang dilakukan ulama yang dita’dilnya yang
sesuai dengan syar’i maupun yang bertentangan dengan syar’i,
sehingga ini sangat sulit untuk menyebutkannya. Ulama yang
berpendapat ini diantaranya Imam An Nawawi, Mahmud Al-
Thahhan, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi. Pendapat
yang kedua inilah yang paling banyak dipakai.
20
Dalam hal ini ulama berpendapat, sebagian ulama tidak
mengharuskan menjelaskan jarh selama syarat-syarat sebagai Jarh
telah terpenuhi. Sedangkan sebagian yang lain mengharuskan
menjelaskan sebab-sebab jarh. Di antara alasannya:
Menjelaskan sebab-sebab jarh tidak sulit, karena dengan satu
sebab sudah cukup.
Kebanyakan manusia menyelisihi perbuatan yang menjadikan
ulama dijarh. Yang sependapat dengan pendapat ini diantaranya
Imam An Nawawi, Mahmud Ath Thahhan, Ibnu Ash Shalah dan
yang lainnya.
21
o Lafaz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun celaan Contoh;
Fulanun Syaikhun, rawiya ‘anhu An Nas (manusia meriwayatkan
darinya).
o Lafaz yang mendekati adanya jarh contoh: fulan shalih hadis
(lumayan) atau yuktabu hadisuhu (hadisnya dicatat).
Karena terjadi perbedaan peringkat, maka ada lafaz yang sama
untuk peringkat al-jarh dan ta’dil, tetapi memiliki peringkat yang berbeda.
Lafaz saduq, misalnya, ada ulama yang menempatkannya pada peringkat
kedua dalam urutan al-ta’dil dan ada ulama yang menempatkannya pada
urutan keempat. Adanya perbedaan dalam menempatkan peringkat lafaz,
untuk jarh wa ta’dil itu memberi petunjuk bahwa memahami tingkat
kualitas yang dimaksudkan oleh lafaz jarh wa ta’dil diperlukan penelitian
misalnya dengan menghubungkan penggunaan lafaz itu kepada ulama yang
memakainya.
Untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang macam-macam
lafaz untuk jarh wa ta’dil beserta peringkatnya masing-masing, perlu
dipelajari lebih mendalam kitab-kitab yang membahas al-jarh wa ta’dil dan
perbedaan lafadz yang digunakan dalam kitab tersebut.
22
- Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah.
Tetapi hadis mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan
saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
23
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah
terhadap hadis mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk
diperhatikan saja. Dan tentunya ulama untuk tingkatan kedua
lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai
hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
24
ahli ilmu dengan jarh- (cacat) nya. Barang siapa yang terkenal di kalangan
ahli ilmu jarh (cacat) nya, maka ia majruh (ulama yang dijarh). Bahkan ini
jarhnya lebih kuat dari pada jarh dari kesaksian satu atau ulama yang adil.
35
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, op. cit., h. 168.
36
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi,., h. 168.Ibid.,
37
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi,., h. 168.Ibid.,
25
Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah, susunan ‘Izz al-Din Ibnu al-Asir
(W. 630 H/1232 M).
Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, susunan Ibnu Hajar al-Asqalani (W. 652
H/1449 M).
2. Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadis yang
disusun berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqah al-ruwwah), yaitu:
al-Tabaqah al-Kubra, karya Ibnu Saad (W. 230 H).dll
26
al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan perintis kitab rijal yang
membahas para periwayat dalam Kutub al-Sittah.
5. Kitab-kitab yang memuat penyempurnaan ataupun ringkasan rijal yang
membahas para periwayat dalam Kutub al-Sittah.
Tahzib al-Kamal, susunan Abu al-Hajjaj Yusuf bin Zakki al-Mizzi,
(W. 742 H).
Akmal Tahzib al-Kamal, karya ‘Ala’ al-Din Muglataya (W. 762 H),
Tazhib al-Tazhib, karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi (W. 746
H/1348 M). dll
Al-Kasyif fi Ma’rifati man lahu Ruwatun fi al-Kutub al-Sittah karya
Muhammad bin Ahmad al-Zahabi.
Tahzib al-Tahzib karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (W. 852 H/1449M).
Taqrib al-Tahzib susunan Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
Khulasah Tazhib Tahzib al-Kamal karya Safi al-Din Ahmad ‘Abdillah
alKhazraji (W. 924 H).
6. Kitab-kitab yang membahas kualitas para periwayat hadis, yaitu, kitab-
kitab yang khusus membahas para periwayat yang dinilai berkualitas tsiqah
oleh penyusunnya.
Al-Siqat karya Abu al-Hasan Ahmad bi ‘ Abdillah al-‘Ijli (W. 261
H).dll
Al-Siqat karya Abi Hatim Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti
(W. 354 H/).
Tarikh Asma’ al-Siqat min man Naqala ‘anhum al-‘ilma karya Umar bin
Ahmad bin Syahin (W. 383 H).
7. Sedangkan kitab-kitab yang khusus membahas periwayat yang dinilai
lemah (dha’if) oleh penyusunnya.
Al-Dhu’afa’ al-Kabir dan al-Dhu’afa’ al-Saghir susunan al-Bukhari.
Al-Dhu’afa’ wa al-Matrukun karya al-Nasa’i.dll
27
G. Contoh Penerapan Sederhana Kaedah Jarh dan Ta’dil dalam kritik Sanad
Penulis mencantumkan sebuah penelitian hadis dengan metode tematik di
mana salah satu sub temanya tentang Tawassul melalui do’a Orang Shaleh
Ada 1 riwayat hadis yang tergolong dalam masalah ini dan hanya 1
mukharrij saja, yaitu ; Bukhariy. Dan sudah jelas bahwa tak terdapat sya>hid
atau muta>bi’\, ini dapat dilihat pada skema berikut :
GAMBAR SKEMA
Hadis tentang Bertawassul Kepada Allah Melalui Do’a dari Orang Shaleh
D : 59 Hعمر ابنخطاب
ان
عن
عن
حدثني
حدثنا
حدثنا
البخاري
194 – 256 H
28
Pada gambar tersebut di atas, tercantum seluruh jalur sanad mengenai
masalah ini. Dan tampak jelas dilihat bahwa hanya ada 1 orang sahabat saja yang
merupakan periwayat pertama hadis-hadis tersebut, dia adalah Umar Ib Khattab,
dan pada tingkat kedua dan seterusnya tidak terlihat ada dari jalur lain yang
menerimanya, ini berarti hadis-hadis mengenai masalah ini tak terdapat sya>hid,
muta>bi’ untuk mendukung hadis ini.
Masing-masing perawi mempunyai cara penerimaan hadis yang ditandai
dengan lambang Sigat al-Tahammul. Adapun Sigat al-Tahammul yang
digunakan pada masing-masing perawi adalah ; H{addas\ana>, H{addas\ani>y,
‘An, anna>, dan Ka>na.
Maka yang diteliti langsung dalam kritik sanad ini ialah sanad Bukhariy
melalui jalur al-H{asan Ibn Muhammad. Kritik dilakukan secara berurutan mulai
dari mukharrij hadis. 38
a. Bukhariy
a) Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibra>hi>m Ibn al-
Mughirat Ibn Bardizbat Ibn al-Ahnaf al-Jufiy, Abu> Abdullah Al-
Bukhariy (194-256 M). 39
b) Gurunya cukup banyak antar lain, Ubayd Allah Ibn Mu>sa>, Muhammad
Ibn Abdullah al-Anshariy, Qutaybah Ibn sa'id. Muridnya antara lain, al-
Turmuziy, Muslim, dan Al-Nasa'iy. 40
c) Al-Bukhariy adalah seorang ahli hadis yang jarang tandingannya.
Perhatiannya terhadap hadis nabi dimulai sejak umur di bawah sepuluh
tahun. Pada usia enam belas tahun, al-Bukhariy telah berhasil menghafal
kitab hadis karya ulama terkemuka pada saat itu seperti Ibn al-Mubarak
dan Wakii, ia adalah periwayat hadis yang cerdas, wara dan tekun
38
Untuk lebih lengkapnya, silahkan buka lampiran-lampiran tentang kririk sanad H{adi>s\
tentang tawassul melalui doa dari orang shaleh.
39
Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit., juz 9, h. 39-40; juga Al-Zahabiy, “Tazkirat al-
Huffa>z{”, op.cit., juz 2, h.555, Syams al-Din Muhammad ibn Ali ibn Ahmad al-Dawudiy (selanjutnya
ditulis Ahmad al-Dawudiy), Tabaqa>t al-Mufassirin, juz II (Beirut : dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1430 H/
1938 M), h. 104-105; Muhammad Ajjaj al-Khatib, “Usul”, op.cit., h. 309-310 , ustafa al-Siba’I, al-
sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy (Beirut : al-Maktab al-Islamiy, 1405 H/1985 M), h.
405, al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma, op.cit., juz 1, h. 83-93
40
Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid., juga Al-Zahabiy, “Tazkirat al-Huffa>z{”, ibid,
Ahmad al-Dawudiy, Tabaqa>t al-Mufassirin, ibid. Muhammad Ajjaj al-Khatib, “Usul”, ibid, Mustafa
al-Siba’I, al-sunnah wa Makanatuha…, ibid.
29
beribadah.41 Pengembaraan beliau sempat bertemu sejumlah besar guru di
bidang hadis dan menghafal sebanyak 100.000 hadis s{ah{i>h dan
200.000 yang tidak s{ah{i>h.
Selain itu, al-Bukhariy juga dikenal sebagai penulis produktif di
bidang hadis. Salah satu karyanya yang termasyhur adalah al-jami' al-
s{ah{i>h.42 Kitab ini di susun dalam jangka waktu enam belas tahun.
Setiap hadis yang ada di dalamnya benar-benar diseleksi dan diteliti
sehingga di dalam kitab tersebut hanya memuat hadis-hadis s{ah{i>h.
Untuk setiap hadis yang diseleksi, al-Bukhariy selalu melaksanakan salat
istikharah sebelum dimasukkan ke dalam kitabnya.43
Di samping itu, al-Bukhariy adalah periwayat sekaligus mukharrij
al-hadis yang memiliki kualitas pribadi (sifat adil) dan kafasitas
inteleqtualnya (sifat d{a>bitnya), terbukti dari pernyataan kritikus hadis
tentang dirinya :
Muhammad Ibn Abi Hatim (w. 327 H) berkata bahwa saya pernah
mendengar Hisyam Ibn Ismail dan seorang lainnya membicarakan al-
Bukhariy. Keduanya berkata bahwa kami berbeda dengan dia dalam
pendengaran, dia adalah seorang yang tidak menulis hingga waktu
yang telah ditentukan. Kami berkata kepadanya, kenapa engkau tidak
menulis ?, al-Bukhariy menjawab : engkau berdua lebih banyak
hadismu daripada saya, lalu kami keluarkan hadis kami, tetapi ia
menambah 125 hadis yang dihafalnya, kemudian ia berkata : apakah
engkau melihat saya menyia-nyiakan waktu?, kamim menjawab kami
tahu bahwa tidak ada yang melebihi dia diantara kami.
Ibn Hibban menyebut al-Bukhariy pada peringkat keempat dalam kitab
al-s\iqat.44
41
Al-Zahabiy, “Tazkirat al-Huffa>z{”, op.cit., juz 2, h. 556, al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma,
ibid.
42
Al-Bukha>riy, karya-karyanya selain al-Jami’ al-sahih antara lain: al-Adab al-Mufradat, al-
Tarikh al-Sighar, al-Musnad al-Kabir, al-Kitab al-‘Ilal fi yadan al-shalah, dan Biir al-Walidayn
43
Lihat Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit, juz 9, h. 39-45; Ibn Hibban, Kitab al-
Siqat, juz IX (Heyderabad: Dar al-Ma’arif al-Usmaniyah, 1980 M), h. 113-114, juga Abu al-‘Ula al-
Mubarak Kafuriy, Tuhfat al-Ahwaziy Syarh jami’ al-Turmuziy (t.tp,: Dar al-Fikr, t.th), h. 115-120;
Muhammad Ajjaj al-Khatib, op.cit., h. 309-314, al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma, ibid.
44
Al-Zahabiy, “Tazkirat al-Huffa>z{”, op.cit., juz 2, h. 556. al-Nawawiy, Tahdz}i>b al-Asma,
ibid.
30
Qutaibah Ibn Sa'id (148-240 H), saya telah berjumpa dengan ahli
hadis, ahli ra'yi, Ahli Fiqih, Ahli Ibadah dan orang zuhud, namun saya
belum pernah bertemu dengan orang seperti Muhammad Ibn Isma'il.
Al-Turmuziy (209-279 H): Allah telah menjadikan al-Bukhariy
perhiasan bagi umat dan saya menyebut riwayat yang berasal dari al-
Bukhariy dalam kitab al-jami'. Saya tidak melihat orang yang
mengetahui 'ilal dan rijal al-hadis yang melebihi al-Bukhariy.45
Al-Asqalaniy (773-852 H) menyatakan seandainya pujian dan
sanjungan masih terbuka bagi generasi setelah al-Bukhariy, niscaya
kertas akan habis, karena dia bagaikan laut yang tidak berpantai.46
Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi al-
Bukhariy. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat
tertinggi. Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari al-H{asan Ibn
Muhammad dengan metode al-sama' diyakini kebenarannya. Itu berarti,
antara keduanya terjadi persambungan sanad.
31
menerima hadis darinya dan ia itu s\iqah dan ayah Ibn Ha>tim mengataka
s}aduq, begitu juga dengan al-Sya>fi’iy bahwa dia itu s\iqah ma’mun. 49
Tidak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi al-
H{asan Ibn Muhammad. Pujian-pujian yang diberikan kepadanya adalah
berperingkat tertinggi. Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari
Muhammad Ibn Abdullah al-Ansa}>riy dengan metode al-sama' diyakini
kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya terjadi persambungan sanad.
49
Lihat Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid. al-Muziy, Tahz\i>b al-Kama>l fi…, ibid,
juga al-Muziy, Tahz\i>b al-Kama>l fi…, ibid, al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, ibid. juga
juga Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, ibid
50
al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, op.cit, juz 7, h. 305, juga Al-khatib Al-
Bagdadiy, Tarikh Bagdad, op.cit., juz 4, h. 114. Dan juga Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b,
op.cit,, juz 9, h. 244, Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy, Tahz\i>b- al-Kama>l, op.cit., juz 25, h. 539
51
Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, ibid, dan juga Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy,
Tahz\i>b- al-Kama>l, ibid.
52
al-Ra>ziy al-Taimiy, al-Jarh{ wa al-Ta’di>l, loc.cit
53
Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, loc.cit
32
dengan metode al-sama' diyakini kebenarannya. Itu berarti, antara keduanya
terjadi persambungan sanad.
33
dalam mentajrih, dalam hal ini celaan itu menjadi bahan pertimbangan bagi
penulis, Jadi pengakuan bahwa ia telah menerima hadis dari S\ama>mah
diragukan oleh penulis.
Dengan demikian, penulis menganggap bahwa Abdullah Ibn al-
Mus\anna> termasuk perawi yang tidak d{abit dan membuat hadisnya turun
dari kes{ah{i>han.
58
Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, op.cit., juz 4, h. 408, , Ibn Hajar al-
Asyqala>niy, Taqri>b Al-Tahz\i>b, op.cit, juz 1, h. 134
59
Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, ibid
60
Abu Abdullah al-z}ahabiy, al-Ka>syif fi …, ibid
61
Silahkan buka kembali pembahasan tentang Anas Ibn Malik pada halaman 268..
62
al-Muziy, Tahz\i>b al-Kama>l fi…, op.cit., juz 3, h. 353-355
34
g. Umar Ibn al-Khattab
a) Nama lengkapnya adalah Umar Ibn Khattab Ibn Nufail Abdul ‘Uzza Ibn
Riya Ibn Abdullah Ibn Qart} Ibn Razzah Ibn ‘Adiy Ibn Ka’ab al-Qurasiy
al-‘Aduwiy, masyhur, Amir al-Mukminin. Wafat pada tahun 58 H atau 59
H 63
b) Gurunya adalah Nabi Saw sekaligus adalah sahabat Nabi, dan Muridnya
seperti Anas Ibn Matik64
Beliau termasuk salah seorang sahabat nabi dan terkenal dengan nama
Amir al-Mukminin, yang tidak lagi dipertanyakan akan kepribadian beliau.
Setelah meneliti sanad dari Bukhariy melalui jalur al-H{asan Ibn
Muhammad ternyata telah ditemukan seorang perawi yang bernama Abdullah
Ibn al-Mus\anna> memiliki lemah seperti yang dikatakan oleh al-Nasa>iy, Abu
Da>ud, Ibn Hibban, , al-Sajiy, al-Da>ruqut|\niy, kesemua dari mereka adalah
perawi yang ulama yang diakui kepribadiannya,
Dengan demikian, penulis menganggap bahwa salah satu dari perawi
hadis ini kurang d{a>bit, dia ialah Abdullah Ibn al-Mus\anna> dan sampai
sekarang penulis masih belum yakin akan hasil temuan ini dan butuh kajian lebih
lanjut.
Akan tetapi, jika hendak menempuh perbandingan riwayat dengan jalur
lain maka hadis tersebut tidak ditemukan jalur lain yang meriwayatkannya
kecuali hanya dari al-Hasan Ibn Muhammad melalui jalur Umar ibn Khattab,
dalam artian hadis ini hanya sendirian.
63
Lihat, Al-'Asqala>niy, Tahz\i>b al-Tahz\i>b, op.cit., juz 6, h. 45, juga Al-'Asqala>niy,
Tahz\i>b al-Tahz\i>b, juz 7, h. 385-386
64
Yu>suf Ibn al-Zakkiy al-Mu>ziy, Tahz\i>b- al-Kama>l, op.cit., juz 21, h. 317
35
BAB III
PENUTUP
Ilmu al-jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan
dalam menilai cacat (kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi
rekomendasi positif atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap ulama rawi melalui lafadz-
lafadz penilaian yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz
tersebut.
Mengenai kaedah jarh dan ta’dil, maka banyak hal yang mesti diperhatikan
oleh seorang kritikus hadis dalam menilai seorang atau beberapa rawi hadis,
diantaranya :
1. Syarat-Syarat Bagi Ulama Yang Menta’dilkan Dan Menjarhkan
2. Beberapa Ketentuan dalam Jarh wa Ta’dil
3. Kontroversi Antara Al-Jarh Wa Ta’dil
4. Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil
5. Dll
Serta pengaplikasian jarh ta’dil dalam penelitian sanad tidak membuat seorang
ahli hadis ceroboh dan cepat memberikan kesimpulan terhadap sebuah hadis sebelum
ada penelitian yang secara mendalam dan bahkan pengakuan dari orang lain yang
bergelut di dunia ilmu hadis.
36
DAFTAR PUSTAKA
al-Adlabi, Salahuddin Ibn Ahmad Manhaj Naqd al-Matan, Beirut: Dar al-Afaq al-
Jadidah, 1403 H/ 1983 M.
al-Asqalani, Al-Naw Ibn Hajar Tahzib at-Tahzib, (India: Majlis Dairat al-Ma’arif al-
Nizamiyyah, 1325 H), Juz II, h. 402-406 dan Juz XII, h. 288.awi, Shahih
Muslim bi Syarah al-Nawawi, Mesir: al-Matba’ah al-Misriyyah, 1924.
al-Asqalani,Ibn Hajar, Fath al-Bari. ttp. Dar al-Fikr al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.
al-Khatib, Ajja Ushul al-Hadis “Ulumuhu wa Mustalahu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
al-Khatib,Ajj, Ushul al-Hadis, Terj. Qodirun dan Ahmad Musyafiq, Gaya Media
Pratama: Jakarta. 2003.
Latif, Abdul Aziz ibn Ibrahim Abdul ,Dhawabit al-Jarh wa Ta’dil, t.th.
M.Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2009), h. 157.
Mandzur,Ibnu , Lisan al-Arab, Pokok kata J-R-H. 1302.
al-Qatthan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Terj. Mifdhol Abdurrahman. Cet.
IV; Jakarta Timur: Pustaka al Kautsar.2009.
al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam Al-Quran, Kairo; Dar al-Kutub al-Arabi, 1387 H/ 1967
M.
Abdul Ba>qiy, Muhammad Fua>d. Miftah Kunu>n al-Sunnah, (Lahore, Aebak
Ru>d, 1398 H/1978 M
Abu al-Husayn Muslim bin Hajjaj al-Qusyairiy (Muslim), al-Jami’ al-shahih, juz 8
(Beyrut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, t.th
Abu Da>ud al-asy’as\ al-sijista>niy, Sulai>man al-azadiy, Sunan Abi Da>ud, jilid 1.
t.t : Da>r Ibn Hazm, t,th
37
Abu Da>ud al-Sijista>niy, Sulaiman bin al-Asy’as\ al-Azadiy, Sunan Abi Da>ud, vol
2 (t.tp; Da>r al-Fikr, t.th/Maktabah al-sya>milah
Abu Ha>tim al-Taimiy al-Bastiy, Muhammad bin Hibban bin Ahmad. Al-S|iqa>t Ibn
H{ibban, ed. I (t.tp : Da>r al-Fikr : 1395 H/1975 M
Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Abd Allah. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3. T.tp: Da>r
al-Fikr, T.th
Ahmad bin Husain, Abu Muhammad Mahmu>d bin Ahmad bin Mu>sa bin.
Magha>ni al-Akhya>r Fi> Syarh Rija<l Ma’a>n al-As\a>r. vol 1. t.tp : t.p,
t.th
Ali Ibn Ahmad al-Dawudiy, Syams al-Din Muhammad ibn. Tabaqat al-Mufassirin,
vol II (Beyrut : Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1430 H/ 1938 M.
38
Ma’rifatu al-Majruhina min al-Muhaddisin susunan Abu Hatim al-Busti.
Al-Kamil fi Dhu’afa’ al-Rijal karya Abu Ahmad ‘Abdullah bin ‘Adi al-
jurjani
Mizaz al-I’tidal fi Naqdi al-Rijal, karya Muhammad bin Ahmad al-Zahabi
Lisan al-Mizan karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis berdasarkan negara asal mereka,
misalnya, Tarikh Wasit
39