Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

BAHASA INDONESIA
“Penggunaan Bahasa Indonesia dalam
Perundang-Undangan”

Disusun Oleh:
Rachmat Abdi Nur Alam - 20071101151

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb. Dengan menyebutkan nama Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang serta memanjatkan puji syukur kehadirat Nya yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
pembuatan makalah yang berjudul tentang penggunaan Bahasa Indonesia dalam perundang-
undangan.

Terlepas dari segala hal tersebut, saya sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya saya dengan lapang dada
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.

Akhir kata saya sebagai penyusun sangat berharap semoga saja dengan adanya penulisan
makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya ini bisa memberikan manfaat maupun
inspirasi untuk pembaca.

Penulis

Rachmat Abdi Nur Alam


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ 2

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 4
1.1. Latar Belakang................................................................................................. 4
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................ 4
1.3. Maksud & Tujuan............................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 5
2.1. Kaidah Umum................................................................................................. 5
2.2. Pembentukan Kata.......................................................................................... 5
2.3. Penyusunan Kalimat....................................................................................... 6
2.4. Teknik Penulisan............................................................................................ 7
2.5. Ketepatan Penulisan....................................................................................... 8
2.6. Ciri Bahasa Perundang-undangan.................................................................. 9
2.7. Kelugasan dan Kejelasan............................................................................... 9
2.8. Keefektifan Kalimat...................................................................................... 10
2.9. Ketidakefektifan Kalimat.............................................................................. 10

BAB III PENUTUP....................................................................................................... 15


3.1. Kesimpulan.................................................................................................. 15
3.2. Saran............................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada tanggal 30 September 2019 Presiden Republik Indonesia telah menetapkan


Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia
(“Perpres 63/2019”). PERPRES-2019-63.

Pemerintah menganggap Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2010 Tentang Penggunaan


Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
Pejabat Negara lainnya dianggap belum mengatur penggunaan Bahasa Indonesia yang
lain yang diamanatkan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Ketentuan Pengunaan Bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria Bahasa Indonesia yang
baik dan benar, Bahasa Indoensia yang baik merupakan Bahasa Indonesia yang
digunakan sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai social masyarakat.
Bahasa Indonesia yang benar merupakan Bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan
kaidah Bahasa Indonesia yang meliputi kaidah tata Bahasa, kaidah ejaan dan kaidah
pembentukan istilah. Ketentuan Kaidah-kaidah Bahasa Indonesia terdapat di dalam
Peraturan Menteri terkait 9 Pasal 2 Perpres 63/2019).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembentukan kata, penyusunan kalimat, dan Teknik penulisan
dalam perundang-undangan?
2. Apa saja ciri bahasa dalam perundang-undangan?
3. Seberapa efektifkah penggunaan bahasa dalam perundang-undangan?

C. Maksud dan Tujuan


1. Untuk mengetahui penggunaan bahasa Indonesia dalam perundang-undangan
2. Untuk menjadi sarana dalam memperkaya wawasan tentang penggunaan Bahasa
Indonesia dalam perundang-undangan
3. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Christo Pua S.S., M.Hum.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kaidah Umum


Bahasa Indonesia dalam perundang-undangan pada dasarnya hanya merupakan salah
satu ragam bahasa yang tidak banyak berbeda dengan ragam Bahasa Indonesia yang lain.
Yang membedakan ragam ini dengan ragam yang lain hanyalah terletak pada format
penyajian yang khas dan pemakaian kata/istilah tertentu beserta terminologinya, sedangkan
kaidah yang lain, yaitu kegramatikalan kalimat dan penulisannya tetap harus tunduk pada
kaidah yang ada. Dengan kata lain, bahasa yang digunakan dalam perundang-undangan
haruslah menggunakan ragam bahasa baku atau standar. Bahasa baku atau standar ialah
bahasa yang dapat dijadikan acuan atau tolok ukur, baik dalam hal kegramatikalan kalimat—
mencakup struktur kalimat serta bentuk dan pilihan kata--maupun dalam hal penulisannya.

2.2. Pembentukan Kata


Pembentukan kata dalam bahasa perundang-undangan dilakukan dengan berpedoman
pada morfologi bahasa Indonesia dan pedoman umum pembentuka istilah. Pembentukan kata
ini termasuk dalam bentuk dan pilihan kata (diksi). Berikut disajikan beberapa contoh pilihan
kata dalam perundang-undangan.

Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 serta pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemilihan kata dilaksanakan pada ayat tersebut bermakna ‘dijalankan’ sehingga


sangat aneh jika jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak serta pendapatan
daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dapat
dilaksanakan adalah pekerjaan atau tugas, bukan jenis dan tarif serta pendapatan daerah
seperti pada ketentuan di atas. Agar menjadi norma yang baku, ketentuan tersebut harus
diubah menjadi sebagai berikut.

Jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 serta pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.3. Penyusunan Kalimat
Susunan kalimat dalam perundang-undangan juga harus mengikuti kaidah sintaksis
bahasa Indonesia. Dengan demikian, unsur wajib dalam kalimat seperti subjek dan predikat
harus selalu ada dalam setiap ketentuan yang dituangkan dalam pasal atau ayat. Tanpa
kehadiran salah satu unsur tersebut, pasal atau ayat dalam perundang-undangan tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai norma karena norma harus berupa proposisi. Berikut disajikan
beberapa kasus.

Dalam hal pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berada di dalam kawasan hutan konservasi, hanya dapat digunakan
untuk kegiatan wisata alam.

Contoh tersebut terdiri atas dua bagian utama, yaitu:


(i) Dalam hal pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berada di dalam kawasan hutan konservasi dan
(ii) hanya dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam.

Bagian (i) lazim disebut keterangan (adverbial) dan bagian (ii) lazim disebut predikat.
Dengan demikian kalimat tersebut belum dapat dikatakan sebagai norma karena subjek
kalimat belum ada. Untuk itu, agar menjadi norma, contoh tersebut harus diperbaiki dengan
memunculkan subjek kalimat pengusahaan panas bumi seperti berikut.

a. Dalam hal pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a yang berada di dalam kawasan hutan konservasi, pengusahaan panas
bumi hanya dapat digunakan untuk kegiatan wisata alam.

b. Pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a yang berada di dalam kawasan hutan konservasi hanya dapat digunakan untuk
kegiatan wisata alam.

Selain harus ada subjek, norma dalam ketentuan perundang-undangan juga harus
memiliki predikat. Tanpa kehadiran predikat, pasal atau ayat dalam perundang-undangan pun
tidak dapat dikatakan sebagai norma karena norma harus berupa proposisi dan syarat
proposisi harus ada subjek dan ada predikat. Predikat dalam perundang-undangan haruslah
berupa kata kerja (verba) yang berupa tindakan. Berikut disajikan beberapa kasus.

Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk mengukur dan memperkirakan
sampai seberapa jauh risiko berpotensi membahayakan, meluas, dan menyebar sehingga
melumpuhkan perekonomian.

Contoh tersebut terdiri atas tiga bagian, yaitu:


(i) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud ayat (2),
(ii) untuk mengukur dan memperkirakan sampai seberapa jauh risiko berpotensi
membahayakan, meluas, dan menyebar, dan
(iii) sehingga melumpuhkan perekonomian.

Bagian (i) lazim disebut subjek, bagian (ii) dan bagian (iii) lazim disebut keterangan. Dengan
demikian contoh tersebut belum dapat dikatakan sebagai norma karena predikat kalimat
belum ada. Untuk itu, agar menjadi norma, contoh tersebut harus diperbaiki dengan
memunculkan predikat kalimat, yaitu digunakan seperti berikut.

a. Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud ayat (2) digunakan untuk mengukur dan
memperkirakan sampai seberapa jauh risiko berpotensi membahayakan, meluas, dan
menyebar sehingga melumpuhkan perekonomian.

b. Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud ayat (2) digunakan untuk mengukur dan
memperkirakan sampai seberapa jauh risiko berpotensi membahayakan, meluas, dan
menyebar sehingga melumpuhkan perekonomian.

2.4. Teknik Penulisan


Teknik penulisan yang tepat mempermudah pemahaman terhadap suatu norma yang
akan diungkapkan. Norma yang terdapat dalam ketentuan berikut sulit dipahami karena tidak
disajikan secara baik.

Pasal 62
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dilarang memberikan obat selain obat bebas
dan obat bebas terbatas, kecuali dalam melaksanakan tugas dalam kondisi keterbatasan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan dalam keadaan darurat untuk
memberikan pertolongan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.

Kalimat dalam norma di atas secara bahasa tidak salah, tetapi untuk memahami
informasi apa yang akan diungkapkan diperlukan kecermatan tersendiri untuk memahami
informasi apa yang akan disampaikan. Kesulitan pemahaman terhadap pasal tersebut terletak
pada penggunaan kata depan (konjungsi) dalam secara berulang. Untuk memudahkan
pemahaman, konjungsi dalam bisa berganti dengan kata pada atau sebaliknya dan sebaiknya
dibuat tabulasi seperti prubahan berikut.

Pasal 62
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dilarang memberikan obat selain obat bebas
dan obat bebas terbatas, kecuali dalam melaksanakan tugas pada:
kondisi keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; dan/atau
keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36.

atau diubah menjadi berikut.

Pasal 62
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dilarang memberikan obat selain obat bebas
dan obat bebas terbatas, kecuali pada pelaksanaan tugas dalam:
kondisi keterbatasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; dan/atau
keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36.

2.5 Ketepatan Penulisan


Penulisan bahasa perundang-undangan seharusnya sesuai dengan pedoman yang
tertuang dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Beberapa hal yang sering
menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:

a) penulisan huruf kapital,


b) penggunaan tanda baca “…”,
c) penulisan huruf miring, dan
d) penggunaan tanda koma.
Kaidah penulisan dapat dilihat pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan, Bab II dan Bab V pedoman tersebut saya lampiran

2.6. Ciri Bahasa dalam perundang-undangan


Meskipun hanyalah merupakan salah satu ragam bahasa yang tidak banyak
berbeda dengan ragam bahasa Indonesia yang lain yang tetap tunduk pada kaidah
tata bahasa (gramatika) bahasa Indonesia baku, ragam bahasa perundang-undangan
lazimnya mempunyai beberapa ciri berikut, yaitu:
a) pasal atau ayat harus diwujudkan dalam bentuk proposisi (kalimat pernyataan);
b) satu pasal dapat terdiri atas beberapa ayat dan ayat-ayat dalam pasal itu harus
merupakan satu kesatuan yang padu, padan, dan utuh;
c) bahasa yang digunakan harus lugas, jelas, dan tidak taksa (ambigu atau bermakna
ganda);
d) kalimat yang digunakan harus merupakan kalimat yang efektif (unsur minimal
kalimat [S-P] harus ada), baik efektif dalam hal struktur maupun dalam hal informasi;
dan
e) penuangan rumusan dalam perundang-undangan harus mengikuti kaidah dalam Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Hal itu diperkuat dengan bunyi Bab III Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan,
UU No 10 Tahun 2005 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai
berikut.
“Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah
tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan
kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya….”

2.7. Kelugasan dan Kejelasan


Bahasa yang digunakan dalam perundang-undangan harus disusun secara lugas, jelas,
dan tidak taksa (ambigu atau bermakna ganda). Kelugasan berkenaan dengan informasi yang
disampaikan hanyalah yang pokok-pokok dan tidak berbelitbelit atau tidak perlu berbunga
bunga, sedangkan kejelasan berkenaan dengan Bahasa yang digunakan harus terang dan
tegas. Sementara itu, ketaktaksaan mensyaratkan bahasa perundang-undangan tidak boleh
bermakna ganda atau multitafsir. Contoh (a) berikut merupakan kalimat yang tidak lugas,
sedangkan contoh (b) merupakan kalimat yang lugas.
a) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi
pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan dan pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan.
b) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan tradisional dibedakan menjadi
pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan dan yang
menggunakan ramuan.

2.8. Keefektifan Kalimat


Keefektifan bahasa perundang-undangan dapat terpenuhi jika hakikat kalimat efektif
itu telah dipahami secara sama, yaitu bahwa kalimat efektif merupakan kalimat yang mampu
membuat isi atau maksud yang disampaikan oleh pembicara (penulis) tergambar lengkap
dalam pikiran si pendengar (pembaca) atau pesan yang diterima oleh pendengar sama dengan
yang dikehendaki oleh pembicara. Beberapa ciri kalimat efektif adalah fokus, hemat, utuh,
terpaut, dan sejajar.

Pemfokusan mengisyaratkan bahwa sesuatu atau hal yang dipentingkan diletakkan


pada bagian awal bukan pada bagian akhir. Penghematan berkenaan dengan pemilihan kata,
terutama kata yang bersinonim tidak perlu muncul secara bersama. Keutuhan mengharuskan
setiap kata di dalam kalimat benar-benar merupakan bagian yang padu (utuh, kompak, atau
bersatu) atau merupakan satu kesatuan, sedangkan keterpautan (kohesi) mengharuskan unsur
yang satu dan yang lain menjalin hubungan yang serasi, yaitu logis dan jelas bagi
pembaca/pendengar. Sementara itu, kesejajaran berkenaan dengan keparalelan bentuk
(terutama penggunaan imbuhan) dan keparalelan struktur (terutama kalimat majemuk setara).

2.9. Ketidakefektifan Kalimat


Ada beberapa aspek yang mempengaruhi keefektifan kaliat sehingga kalimat tersebut
menjadi tidak efektif, yakni:
1. Ketidakefektifan karena Bentuk dan Pilihan Kata
2. Ketidakefektifan karena Struktur Kalimat yang Tidak Tepat
3. Ketidakefektifan karena Keracunan Pikiran
4. Ketidakefektifan karena Penghubung Berlebihan

Berikut adalah penjelasannya:


1. Ketidakefektifan kaena Bentuk dan Pilihat Kata
Berikut contoh bahasa dalam perundang-undangan yang tidak menunjukkan keefektifan
kalimat karena bentuk dan pilihan kata.

Pemberian penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa,
uang, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.

Dari segi struktur, kalimat tersebut telah memenuhi tuntutan kegramatikalan kalimat karena
unsur-unsur kalimat telah terpenuhi, yaitu pemberian penghargaan berfungsi sebagai subjek
yang berupa frasa nominal (frasa kata benda), diberikan berfungsi sebagai predikat yang
berupa verba (kata kerja), dan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, uang,
piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain berfungsi sebagai keterangan yang berupa frasa
preposisional (frasa kata depan). Namun, dalam hal pilihan kata, kalimat tersebut belum
termasuk kalimat yang efektif karena penggunaan bentuk dasar yang sama pada subjek dan
predikat, yaitu penggunaan bentuk dasar beri meskipun telah mengalami penominalan
(menjadi pemberian) dan mengalami pemverbaan (menjadi diberikan) Agar menjadi bentuk
yang efektif seharusnya kalimat tersebut diubah menjadi sebagai berikut.

a. Pemberian penghargaan dapat berbentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, uang,
piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
b. Pemberian penghargaan dapat diwujudkan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat
istimewa, uang, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
c. Pemberian penghargaan dapat berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, uang,
piagam, dan/atau penghargaan lain.
d. Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa,
uang, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.

2. Ketidakefektifan karena Struktur Kalimat yang Tidak Tepat


Berikut beberapa contoh bahasa dalam perundang-undangan yang tidak menunjukkan
keefektifan kalimat karena struktur kalimat yang tidak tepat.

“Pemerintah secara eksplisit berniat mengatur agar setiap orang di negara ini mendapatkan
layanan kesehatan dasar secara cuma-cuma, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan santunan
akibat kecelakaan.”
Dari segi struktur, kalimat tersebut telah memenuhi tuntutan kegramatikalan kalimat karena
unsur-unsur kalimat telah terpenuhi, yaitu pemerintah berfungsi sebagai subjek yang berupa
nomina, secara eksplisit berfungsi sebagai keterangan yang berupa frasa preposisional,
berniat mengatur berfungsi sebagai predikat yang berupa frasa verbal, dan agar setiap orang
di negeri ini mendapatkan layanan kesehatan dasar secara cuma-cuma, jaminan hari tua,
jaminan pensiun, dan santunan akibat kecelakaan berfungsi sebagai keterangan anak
kalimat.Namun, dari sisi lain kalimat tersebut belum menunjukkan keapikan struktur. Hal itu
disebabkan verba transitif mengatur seharusnya langsung diikuti nomina atau frasa nominal
yang berfungsi sebagai objek (setiap orang di negeri ini) dan bukan diikuti oleh keterangan
anak kalimat. Selain itu, agar pada kalimat tersebut seharusnya mendahului verba
mendapatkan bukan mendahului orang di negeri ini sehingga perubahannya seharusnya
seperti berikut.

“Pemerintah secara eksplisit berniat mengatur setiap orang di negara ini agar mendapatkan
layanan kesehatan dasar secara cuma-cuma, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan santunan
akibat kecelakaan.”

Contoh lain tampak sebagai berikut.

1) Gaji guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat berdasarkan perjanjian kerja dan/atau kesepakatan kerja bersama.
2) Kewenangan merencanakan kebutuhan obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tetap memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar pelayanan sediaan farmasi
dan alat kesehatan yang berlaku secara nasional.

3. Ketidakefektifan karena Kerancuan Pikiran


Berikut beberapa contoh bahasa dalam perundang-undangan yang tidak menunjukkan
keefektifan kalimat karena kerancuan pikiran.

“Guru diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena terus menerus
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaan selama satu bulan atau lebih.”
Kalimat tersebut termasuk kalimat majemuk bertingkat yang terdiri atas induk kalimat (guru
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru) dan anak kalimat (karena terus
menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaan selama satu bulan atau lebih). Semua unsur induk kalimat dan anak kalimat telah
terpenuhi, tetapi kerancuan pikiran terletak pada keterangan anak kalimat, yaitu peletakan
posisi adverbia--yang seharusnya berupa frasa preposisional-- yang tidak tepat. Jika dicermati
tampak bahwa guru diberhentikan tidak dengan hormat karena terus menerus melalaikan
kewajiban, padahal guru diberhentikan karena melalaikan kewajiban secara terus menerus
dan bukan karena terus menerus. Agar tidak terjadi kerancuan pikiran, kalimat tersebut
seharusnya
adalah sebagai berikut.

1) Guru diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena melalaikan
kewajiban secara terus menerus dalam menjalankan tugas pekerjaan selama satu bulan
atau lebih.
2) Guru diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaan selama satu bulan atau lebih secara
terus menerus.

Kerancuan pikiran itu juga terdapat pada penulisan pasal atau ayat dalam perundang-
undangan yang berbunyi sebagai berikut. Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dalam
Pasal … Bukankah pasal atau ayat tersebut seharusnya berbunyi Ketentuan mengenai …
diatur lebih lanjut dalam Pasal …. Ketentuan mengenai … lebih lanjut diatur dalam Pasal…
atau

Contoh lain tampak sebagai berikut.

“Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu yang langka diberikan anggaran
dan fasilitas khusus oleh pemerintah atau pemerintah daerah.”

Jika dicermati, kalimat tersebut aneh sebab dosen yang mendalami dan mengembangkan ilmu
yang langka malah akan diberikan anggaran, bukankah seharusnya dosen tersebut diberi atau
memperoleh anggaran? Perhatikan perbaikan kalimat berikut.
1) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka diberi (Pemerintah
atau pemerintah daerah) anggaran dan fasilitas khusus.
2) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka memperoleh
anggaran dan fasilitas khusus dari pemerintah atau pemerintah daerah.
3) Anggaran dan fasilitas khusus dari pemerintah atau pemerintah daerah diberikan
kepada dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka.

4. Ketidakefektifan karena Penghubung Berlebihan


Penggunaan penghubung yang berlebihan dapat menyebabkan struktur kalimat menjadi tidak
lengkap.

“Jika keadaan semacam itu dibiarkan berlarut-larut maka masyarakat di daerah itu bisa
kehilangan kesabaran dan bisa bertindak anarkhis.”

Kalimat tersebut sebenarnya termasuk kalimat majemuk bertingkat yang mensyaratkan


adanya induk kalimat dan anak kalimat atau sebaliknya induk kalimat dan anak kalimat.
Induk kalimat dapat berdiri sendiri sebagai kalimat yang lepas tanpa bergantung pada kalimat
yang lain, sedangkan anak kalimat tidak. Anak kalimat hanya bisa bermakna jika ada induk
kalimat yang menyertainya atau yang mendahuluinya. Tuturan jika keadaan semacam itu
dibiarkan berlarut-larut merupakan anak kalimat dan maka masyarakat di daerah itu bisa
kehilangan kesabaran dan bisa bertindak anarkhis juga merupakan anak kalimat. Padahal,
kalimat majemuk bertingkat mensyaratkan adanya induk kalimat dan anak kalimat. Oleh
karena itu, salah satu dari kedua anak kalimat pada contoh tersebut harus dijadikan induk
kalimat, caranya menanggalkan salah satu penghubung subordinatif yang menjadi penanda
anak kalimat, yaitu sebagai berikut.

a) Jika keadaan semacam itu dibiarkan berlarut-larut, masyarakat di daerah itu bisa
kehilangan kesabaran dan bisa bertindak anarkhis.
b) Keadaan semacam itu dibiarkan berlarut-larut maka masyarakat di daerah itu bisa
kehilangan kesabaran dan bisa bertindak anarkhis.

Kalimat (a) merupakan kalimat majemuk bertingkat, sedangkan kalimat (b) merupakan
kalimat majemuk setara. Namun, dalam hal kebakuan, kalimat (a) lebih baku daripada (b).
Kalimat (b) hanya digunakan dalam ragam lisan. Kata jika, sebab, karena, maka, sehingga,
apabila, bila, meskipun, kendatipun, sekalipun, walaupun, dan dalam hal merupakan kata
penghubung subordinative yang menjadi penanda anak kalimat. Induk kalimat dapat berubah
menjadi anak
kalimat jika dilekati salah satu kata penghubung tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan Bahasa Indonesia


dalam Perundang-undangan sangatlah penting bagi undang-undang tersebut, maka dari itu
bukanlah hal yang sepele saat membentuk, menulis maupun menyusun undang-undang
dengan menggunakan Penggugnaan Bahasa Indonesia sesuai dengan apa yang telah dipelajari
tadi.

B. Saran

Mengetahui bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis akan
lebih fokus dan lebih mendetail dalam menyusun makalah Bahasa Indonesia tentang
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perundang-undangan, dengan sumber-sumber dan opini
yang dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2012. Gapura Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Elmatera
Publising.
-----. “Bahasa Indonesia dalam Perundang-undangan” dalam Jurnal Kajian. Vol. VII hal 1—
22, Jakarta 2011.
Vilies, I.C. van der. 2005. Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan
(Dialihbahasakan oleh Linus Doludjawa). Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.

Anda mungkin juga menyukai