Anda di halaman 1dari 6

Nama : Firman Danial N.

NIM : 200621100145

Kelas : 1D

1. Pendirian, pandangan hidup, sikap hidup Angkatan ’45 tertuang di “Surat Kepercayaan
Gelanggang”. Jelaskan pendirian, pandangan hidup, sikap hidup apa saja yang tertuang
dalam di “Surat Kepercayaan Gelanggang”!
 Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta
manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan
dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Oleh karena itu, ia harus melepaskan
diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk. Ia juga
harus berani menentang pandangan, sifat dan anasir lama itu untuk menyalakan
semangat dan bara kekuatan baru. Secara padat, semangat, elan, dan sikap
Generasi Gelanggang ini lalu dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang diberi
nama Surat Kepercayaan Gelanggang, bertarikh 18 Februari 1950, hampir setahun
setelah Chairil Anwar meninggal. Sebelum pemuatan Surat Kepercayaan
Gelanggang dalam Siasat, 22 Oktober 1950, Chairil Anwar, Rivai Apin, dan
Asrul Sani menerbitkan sebuah antologi bersama yang berjudul Tiga Menguak
Takdir (1949). Seperti pisau bermata dua, buku ini secara idealis, menolak
konsepsi kesusastraan baru Pujangga Baru dan sekaligus menentang gagasan
Alisjahbana tentang kemutlakan menatap Barat. Yang hendak ditekankan
angkatan ini adalah harga diri untuk tidak menerima secara membuta-tuli semua
yang datang dari Barat. Tetapi, di lain pihak ketiga penyair ini pun sesungguhnya
melanjutkan gagasan Alisjahbana itu. Periksa saja mukadimah Anggaran Dasar
Generasi Gelanggang serta semangat yang melandasi Surat Kepercayaan
Gelanggang. Secara jelas kita masih merasakan adanya jejak pemikiran
Alisjahbana. Dengan demikian, Generasi Gelanggang bukan tanpa sadar hendak
melanjutkan perjuangan Alisjahbana. Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45,
Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili pendirian, semangat, dan
sikap estetik mereka. Jadi, dalam hal ini, meskipun dalam soal penerimaan
pengaruh Barat kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga
pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan “tidak ingat kepada
melaplap hasil kebudayaan sampai berkilat… tetapi memikirkan kebudayaan baru
yang sehat,” angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali
kemampuan sendiri.
Sementara itu, publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dimuat dalam
Siasat, 22 Oktober 1950, terlambat hampir sembilan bulan lamanya jika melihat
tarikh yang tercantum di sana. Penyiaran itu sangat mungkin dimaksudkan
sebagai reaksi atas publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
yang dicetuskan 17 Agustus 1950.

2. Jelaskan kegiatan kesusastraan di masa penjajahan Jepang!


 Pada kurun waktu tiga tahun 1942—1945, majalah Panji Pustaka memuat kritik
atau esai sastra Indonesia, Melayu, dan Nippon (Jepang) dan artikel tentang
kebudayaan. Secara kuantitas jumlah kritik atau esai sastra dan kebudayaan tidak
banyak, kira-kira 40-an buah selama tiga tahun.
Penulis kritik atau esai sastra cukup beragam, seperti H.B. Jasin, M.R. Dayoh,
Armijn Pane, Achdiat K. Mihardja, Darmawidjaja, A.R. (Ajip Rosidi?), I.D.,
S.M.A., Karim Halim, M.R. Dayoh, M. Koesrin, T.D. Situmorang, Airani
Molito, R.M. Setjipto, Dr. Prijohoetomo, M. Koesrin, Aidid, Rinto Alwi,
Soewandi, Poliama, St. Hasjimah, Miyamori Asataro, Prof. K. Uyehara.
Kritik atau esai sastra yang tidak banyak itu dapat dimaklumi dengan alasan
bahwa majalah Panji Pustaka adalah majalah umum bukan majalah khusus sastra.
Meskipun demikian, bisa saja diinterpretasikan bahwa kehidupan kritik atau esai
sastra Indonesia pada masa itu memang tidak subur.
Penulis kritik atau esai sastra umumnya sastrawan atau pakar sastra seperti H.B.
Jassin, Darmawidjaja, Achdiat Karta Mihardja, Armijn Pane, dan A.R. (Ajip
Rosidi?). Secara umum para penulis kritik atau esai sastra mengedepankan tema
yang mendukung perjuangan atau menimbulkan semangat. Jenis kritik yang
banyak muncul adalah kritik pragmatik. Secara kuantitas, dari jumlah kritik yang
muncul dapat dikelompokkan ke dalam kritik pragmatis berjumlah tujuh buah,
kritik objektif berjumlah enam buah, kritik ekspresif berjumlah empat buah, dan
kritik mimesis berjumlah tiga buah. Dengan catatan, pengelompokkan ini pun
dilakukan tidak secara ketat.
Penulis kritik atau esai sastra pada saat itu tidak hanya membicarakan hal yang
bersifat lokal, tetapi sudah membicarakan masalah internasional, misalnya dalam
artikel “Semangat Jerman Baru di Dalam Hasil Kesusastraannya” dan
“Kesusasteraan Arab di Antara Seni dan Budi”. Selain itu, penulis kritik atau esai
sastra dalam artikelnya sudah mengadakan kajian bandingan, misalnya dalam
artikel “Dongeng-dongeng Nippon dan Dongeng-dongeng Indonesia”.
Konsep seni yang bermanfaat untuk masyarakat banyak dimunculkan, seperti
dalam artikel “ “Membangun Kebudayaan Baru”, “Kesenian Sandiwara Radio”,
dan “Keadaan Sandiwara Sekarang”.
Penulis kritik atau esai sastra memberi anjuran bagi pengarang supaya menambah
wawasannya, yakni dengan cara meningkatkan ilmu pengetahuan dan terjun ke
lapangan untuk mengakrabi lingkungan. Hal itu dimaksudkan agar karya sastra
yang dihasilkan para sastrawan itu bermutu sehingga sastra Indonesia bisa lebih
maju, seperti yang dapat dicermati dari “Untuk Kemajuan Kesusasteraan
Indonesia” yang ditulis oleh H.b. Jassin.

3. Angakatan ’66 membuat sastrawan berbelah menjadi dua kubu, yaitu sastrawan yang
bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan sastrawan yang bergabung
dalam Manifes Kebudayaan. Jelaskan keberadaan Manifes Kebudayaan dalam Angkatan
’66!
 Sebelum munculnya nama sastra angkatan 66, WS Rendra dan kawan-kawannya
dari Yogya pernah mengumumkan nama sastra angkatan 50 pada akhir 1953.
Nama ini tidak popular dan kemudian dilupakan orang. Secara politis lahirnya
angkatan ini dilatarbelakangi oleh pergolakan politik dalam masyarakat dan
penyelewengan-penyelewengan pemimpin-pemimpin Negara yang tidak memiliki
moral, agama, dan rasa keadilan demi kepentingan pribadi dan golongan.
Penyelewengan tersebut antara lain pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar
Negara dan UUD 45 dengan memasukkan komunis sebagai sebuah nilai
keindonesiaan yang tentu saja melanggar sila pertama. Selain itu, pengangkatan
Soekarno sebagai presiden seumur hidup tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.
Hal-hal tersebut membuat Negara menjadi semakin terpuruk dan rakyat
menderita. Akhirnya, dengan semangat kebangkitan angkatan 66 masyarakat
menolak kebudayaan didominasi oleh politik. Perlawanan ini dilakukan oleh
semua kalangan yang diawali oleh gerakan mahasiswa, selain selain
pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Peristiwa politik tersebut berimplikasi pada paham sastra yang berkembang pada
masa tersebut. Terdapat dua kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul
dalam lekra dan para seniman penandatangan manifest kebudayaan. Selain itu,
terdapat sastrawan yang tidak terkumpul pada keduanya yang tetap pada posisi
netral. Lekra, mulanya bukan lembaga budaya PKI. Menjadi salah satu media
dalam metode penyerangan terhadap berbagai bidang PKI yang agresif. Serangan
dilakukan pada orang-orang yang tidak bersedia mendukung PKI. Salah satu
tokoh yang diserang adalah Hamka.
Maka pada awal Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan-
pertemuan antara tokoh budaya, pengarang dan seniman lainnya untuk membahas
manifest kebudayaan. Manifest kebudayaan adalah perlawanan-perlawanan yang
dilakukan para budayawan dan sastrawan akibat tekanan yang bertambah besar
dari pihak komunis dan pemimpin bangsa yang mau menyelewengkan negara.
Hasil rumusan itu dibawa kedalam siding lengkap pada tanggan 24 Agustus 1963.
Selaku pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya Bokor Hutasuhut
siding memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai berikut.
1. Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini
mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan
pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan Nasional kami.
2. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan
kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector
kebudayaan di atas sector kebudayaan yang lain. stiap sector berjuang
bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
3. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha
menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai
perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat dari
kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-
bangsa.
4. Pancasila dalah falsafah kebudayaan kami.
Manifest kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan dalam surat kabar Berita
Republik (Jakarta). Manifest tersebut ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh
beberapa pengarang antar lain H.B.Jassin, Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan
Mohamad, Bokor Hutasuhut, Wiratmo Soekito, dan Soe hok djin. Pasca
diumumkan, manifest tersebut didukung oleh seniman-seniman di daerah.
Namun, Lekra tidak tinggal diam. Dengan menggunakan pengaruh dalam
pemerintahan dan semua media yang telah dikuasai oleh mereka, mereka
menyerang manifest kebudayaan dan orang-orang yang menandatanganinya.
Soekarno menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang. Penandatanganan
manifest tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan untuk
mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah
dipecat dari pekerjaannya.

4. Perubahan sosial di Indonesia, yaitu peralihan dari Orde Baru ke Era Reformasi,
membuat perubahan bentuk karya sastra di era reformasi. Perubahan tersebut munculnya
kebebasan berekspresi sastrawan dalam berkarya. Jelaskan kebebasan berekspresi
sastrawan di masa Era Refromasi!
 Kebebasan berekspresi bukan hanya monopoli bagi para seniman (termasuk di
dalamnya sastrawan) tetapi juga bagi seluruh anggota masyarakat dalam suatu
negara apa pun bentuk pemerintahannya. Hal ini disebabkan kebebasan
berekspresi merupakan salah satu butir dalam nilai-nilai kemanusiaan universal.
Deklarasi hak-hak manusia menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat (pasal 19), dan khusus bidang
kebudayaan dinyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk diperlindungi
kepentingan-kepentingannya, moral dan materiil, yang didapatnya sebagai hasil
dari suatu produksi dalam lapangan ilmu pengetahuan, kesusasteraan, atau
kesenian yang diciptakan sendiri (pasal 27 ayat2). Hak-hak untuk mendapatkan
imbalan atau mendapatkan perlindungan keamanan karena tindakan berekspresi,
tidak hanya terbatas pada produk karya seni tetapi juga pada setiap bentuk
pernyataan, baik menggunakan media verbal maupun non verbal. Kebebasan juga
berlaku dalam penyampaian gagasan, pendapat, aspirasi, tuntutan , keinginan,
menyangkut berbagai macam urusan, baik urusan individu, masyarakat, bangsa,
lingkungan hidup, alam sekitar, maupun urusan agama.

Dewasa ini, pada zaman uang berkuasa, seniman berkreasi sesuai


dengan selera dan pesanan pasar. Sementara itu, kini pada zaman
reformasi, amanat karya sastra dapat saja dimaksudkan untuk menunjang
terlaksananya agenda reformasi. Pertanyaan yang segera muncul adalah
sampai di mana kita dapat berbicara tentang kebebasan berekspresi, jika sastra
atau seni masih diintervensi oleh kekuatan di luar sastra/seni? Pada
zaman kekuasaan raja, mungkin tidak pernah terjadi reaksi dari pembaca
terhadap sastra keraton. Sastra demikian, karena dianggap bernilai
adiluhung dan memberikan ajaran etika yang halus dan luhur, justru
dipopulerkan rakyat dalam pagelaran-pagelaran seni. Reaksi malah timbul
dari sastrawan sendiri yang harus menulis sesuatu yang bertentangan
dengan nuraninya.
Dari hal-hal yang diutarakan di atas, tampaknya perlu suatu pemaha- man baru
tentang kebebasan berekspresi dalam sastra . Pemahaman selama ini kebebasan
berekspresi selalu dikaitkan dengan penguasa. Jika penguasa melarang atau
memberikan batasan-batasan, kita berbicara tentang pemasungan kreativitas. Di
sini seolah-olah musuh kebebasan berekspresi adalah penguasa. Kita tidak pernah
merasa gerah apabila kebebasan berekspresi dipasung oleh selera pasar. Padahal,
selera pasar yang rendah tidak kondusif bagi kebebasan untuk menciptakan
sastra/seni yang berkualitas. Secara hakiki, sastra demikian tidak berbeda dari
sastra pesanan, siapa pun pemesannya, penguasa atau pemilik modal.

5. Korrie Layun Rampan melemparkan wacana baru mengenai lahirnya Angkatan 2000.
Jelaskan perkembangan sastra Angkatan 2000!
 Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun
tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki ‘Juru bicara’. Korrie Layun
Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan
2000.
Sebuah buku tebal yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta tahun 2002, seratus
lebih penyair, cerpennis, novelis, esais dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke
dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun
1980-an, seperti Afrisal Malna, Abmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira
Ajidarma. Serta yang muncul pada akhir tahun 1990-an seperti Ayu Utami dan
Dorothea Rosa Herliany. Menurut Korrie, Afrisal Malna melansir estetik baru
yang digali dari sifat missal benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan
peristiwa tertentu dari interaksi missal.
Setelah terjadi reformasi, ruang gerak masyarakat pada awalnya merasa selalu
dibekap dan terganjal oleh gaya pemerintahan Orde Baru yang represif tiba-tiba
memperoleh saluran kebebasan yang leluasa. Kesusastraan seperti dalam sebuah
pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja
namun ada suasana tertentu yang mematangkannya.
Angkatan 2000 adalah nama yang diberikan oleh Korrie Layun Rampan. Ada
sejumlah pengarang yang melahirkan wawasan estetik baru pada tahun 1990-an
dan tokoh-tokoh Angkatan ini adalah:
 Afrisal Malna
 Seno Gumira Ajidarma
 Ayu Utami
Banyaknya nama sastrawan wanita di Indonesia tahun 2000 cukup menghebohkan
dibandingkan tahun sebelumnya. Munculnya sastrawan wanita tidak lepas dari
transformasi sosio-kultural Indonesia, yang merupakan hasil perjuangan para
feminis yang menuntut eksistensi perempuan dalam kesetaraan gender. Pada
tahun 1970-an, Indonesia mulai memasuki masa perkembangan industri. Sehingga
banyak laki-laki yang tertarik untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Karena
lebih menantang dari pada sector sastra. Sedangkan para wanita yang
berintenskan di rumah, mempunyai waktu luang untuk menulis. Alhasil, para
sastrawan wanita menyebutkan bahwa menulis merupakan profesi utama.
Sebenarnya, tidak ada yang salah mengenai tema yang dibuat oleh sastrawan
wanita angkatan tahun 2000 ini. Mungkin karena pengambilan tema yang terlalu
“Antimainstream” yang membuat masyarakat belum dapat menerimanya secara
penuh dan menuai banyak perbedaan pendapat. Sebagai wanita dengan berbagai
kemampuannya, sah – sah saja jika para sastrawan wanita mengangkat tema
tersebut asalkan masih berada pada jalur sastra. Karena hasil karya mereka
merupakan sebuah gagasan yang disertai analisa yang kuat terhadap lingkungan
mereka. Gagasan inilah yang merupakan ciri khas dari sastrawan wanita angkatan
2000-an, yaitu perspektif feminisme yang disebut – sebut sebagai upaya
dekontruksi terhadap dominasi patriarki.

Anda mungkin juga menyukai