Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN


RUPTUR LIEN

OLEH:
NI MADE LINDA ADIMAHARANI (P07120215005) NI PUTU
SUDIANI (P07120215006) NI MADE DIAH KARTIKA
SARI (P07120215007) TRIANA SAVITRI
(P07120215008)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR JURUSAN
KEPERAWATAN TAHUN 2018

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN


KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN TRAUMA
ABDOMEN RUPTUR LIEN
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi trauma abdomen
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang terletak
diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang menusuk
(Ignativicus & Workman, 2006).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen
adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan
fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal
berbagai organ.
Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu dampak penting kepada lien
dari beberapa sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu
operasi. (R.sjamsuhidajat&Wim de jong, 2005)
Ruptur lien merupakan kondisi rusaknya lien akibat suatu dampak penting kepada lien
dari beberapa sumber. Dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, ataupun trauma sewaktu
operasi. Ruptur lien pada trauma tumpul abdomen adalah terjadinya robekan atau pecahnya
lien yang merupakan organ lunak yang dapat bergerak, yang terjadi karena trauma tumpul,
secara langsung atau tidak langsung. Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak
langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pada olahraga luncur,
dan olahraga kontak seperti yudo, karate dan silat.

2. Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan
oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak
terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir
mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.Trauma pada abdomen disebabkan
oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul (penyebab trauma non penetrasi)
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul
pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan
kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau
sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus (penyebab trauma penetrasi)
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Disebabkan
oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka
tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk
sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.

3. Pathway
Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus → Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Kekurangan volume Nutrisi kurang dari cairan kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik
(Sumber : Mansjoer, 2001)
4. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu
lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya
trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktorfaktor fisik dari kekuatan tersebut
dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek
statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini
juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga
tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah
kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah
kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh
menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi
tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan.
Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh
relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal
yang disebabkan beberapa mekanisme :
a) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
b) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
c) Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek
pada organ dan pedikel vaskuler

5. Manifestasi Klinis
a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga
abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-
organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga
bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya
ke dalam rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi

b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium)
ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen
menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
1) Laserasi, memar,ekimosis
2) Hipotensi
3) Tidak adanya bising usus
4) Hemoperitoneum
5) Mual dan muntah
6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd
arteri karotis),
7) Nyeri
8) Pendarahan
9) Penurunan kesadaran
10) Sesak
11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.Tanda
ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada perdarahan
retroperitoneal.
14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis
15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika
dilakukan perkusi pada hematoma limfe
6. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang
melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush
injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga,
dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu
hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing
injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat
pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak
digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami
trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang
terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang
bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir). Pemakaian air-bag tidak mencegah
orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena
trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan
usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan
adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus
(30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang
lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy
kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan
tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar
(30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).

Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen dan
trauma pada isi abdomen.

a. Trauma pada dinding abdomen


Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.
1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi. Kontusio dinding
abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau
penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen
harus di eksplorasi (Sjamsuhidayat, 1997). Atau terjadi karena trauma penetrasi.
b. Trauma pada isi abdomen
Sedangkan trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri
dari:
1) Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding
abdomen.
2) Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3) Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan
dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998).

7. Komplikasi
a) Trombosis Vena
b) Emboli Pulmonar
c) Stress ulserasi dan perdarahan
d) Pneumonia
e) Tekanan ulserasi
f) Atelektasis
g) Sepsis

8. Pemeriksaan diagnostik
a. Trauma Tumpul
Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah
rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan
intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama,
pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya
Angiografi
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal
seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu
kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi.
Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity,
shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka
atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan
fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita
mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya
aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,
melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan
indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan
feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg).
Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan
ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat
maupun empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-
150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada
aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm 3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+)
untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml
atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm 3 atau
lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi
adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di tangan mereka yang
berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi
adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound
memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat
diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa
prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan
indikasi DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
a) Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan
tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis
yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American College
of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
b. Trauma Tajam
1. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen
bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi,
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.
2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka
tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat
tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik
serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple contrast
pada cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT
dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial
untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh
ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka
dibelakang linea axillaries anterior. (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 151)

c. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP dilakukan
pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi
(telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas
dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada
keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-
Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal
dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk
menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya
udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip
pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya
peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.

3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus


a) Urethrografi
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan urethrografi sebelum
pemasangan kateter urine bila kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi
digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F dengan balon dipompa 1,5-2cc di fossa
naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto
dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada pelvis.
b) Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan pemeriksaan
sistografi ataupun CT-Scan sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300
cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan dibiarkan kontras
mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan
mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto
postvoiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama
bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang
pelvisnya. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 148)
c) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik
stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan
kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan,
alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp.Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal.
Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30%
3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah
injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana satu sisi non-
visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis maupun tertarik putusnya
a.renalis, ataupun parenchyma yang mengalami kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya
memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal
atau eksplorasi ginjal; yang mana yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.
d) Gastrointestinal
Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon
ascendens, colon descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi
dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras
ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan
kontras harus dilakukan.(American College of Surgeon Committee of Trauma,2004:149).

d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
4) Koagulasi : PT,PTT
5) MRI
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
7) CT Scan
8) Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
9) Scan limfa
10) Ultrasonogram
11) Peningkatan serum atau amylase urine
12) Peningkatan glucose serum
13) Peningkatan lipase serum
14) DPL (+) untuk amylase
15) Penigkatan WBC
16) Peningkatan amylase serum
17) Elektrolit serum
18) AGD
(ENA,2000:49-55)

9. Penatalaksanaan gawat darurat


a. Pre Hospital
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa, harus
mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus
melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus
segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban
tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
1. Airway
Dengan kontrol tulang belakang. Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘head tilt chin
lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang
dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing
lainnya.
2. Breathing
Dengan ventilasi yang adekuat. Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-
dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak.
Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat
tidaknya pernapasan). 3. Circulation
Dengan kontrol perdarahan hebat. Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat,
maka bantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi
jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 30 : 2 (30
kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul)
1. Stop makanan dan minuman
2. Imobilisasi
3. Kirim kerumah sakit.
Penetrasi (trauma tajam)
1. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya) tidak boleh
dicabut kecuali dengan adanya tim medis.

2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa
pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan
dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut
dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
4. Imobilisasi pasien.
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
7. Kirim ke rumah sakit.
b. Hospital
1. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang
berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya luka.
Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan. a.
Skrinning pemeriksaan rontgen
b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau
pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intraperitonium. Serta rontgen
abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara
retroperitoneum.
c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
e. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya
pada :
- fraktur pelvis
- trauma non-penetrasi
2. Penanganan pada trauma benda tumpul:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan
juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium,
glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan
yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk
mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma,
yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau decendens dan
dubur (Hudak & Gallo, 2001).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1.PENGKAJIAN

1. Primary survey
a) Airway:
Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau obstruksi. b) Breathing:
Memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada
napas cuping hidung, dan suara napas vesikuler,
c) Circulation:
Nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah dibawah normal bila terjadi
syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi, capillary
refill >2 detik apabila ada perdarahan.
Penurunan kesadaran.
d) Disability:
Kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila adanya diskontinuitas
saraf yang berdampak pada medulla spinalis. Salah satu cara sederhana untuk menilai
tingkat kesadaran adalah dengan metode AVPU:
A : alert (sadar)
V : respon terhadap rangsang vokal(suara)
P : respon terhadap rangsang nyeri(pain)
U : unresponsive ( tidak ada respon)
e) Exposure/Environment:
Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar pada
abdomen, perut semakin menegang.

2. Secondary survey
a. Fokus Asesment
Kepala : Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan
mulut. Temuan yang dianggap kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
Leher : lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher
bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena
jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit

Dada : Lihat tampilan fisik, tulang rusuk, penggunaan otot-otot


asesoris, pergerakan dada, suara paru. Temuan yang dianggap
kritis: Luka terbuka, sucking chest wound, Flail chest dengan
gerakan dada paradoksikal, suara paru hilang atau melemah,
gerakan dada sangat lemah dengan pola napas yang tidak
adekuat (disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris).

Abdomen : Memar pada abdomen dan tampak semakin tegang, lakukan


auskultasi dan palpasi dan perkusi pada abdomen. Temuan
yang dianggap kritis ditemukannya penurunan bising usus,
nyeri tekan pada abdomen bunyi dullness, kekauan dan spasme
pada perut karena akumulasi darah atau cairan.

Pelvis : Daerah pubik, Stabilitas pelvis, Krepitasi dan nyeri tekan.


Temuan yang dianggap kritis: Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil serta
pembengkakan di daerah pubik
Extremitas : ditemukan fraktur terbuka di femur dextra da luka laserasi pada tangan.
Anggota gerak atas dan bawah, denyut nadi, fungsi motorik, fungsi sensorik. Temuan yang
dianggap kritis: Nyeri, melemah atau menghilangnya denyut nadi, menurun atau
menghilangnya fungsi sensorik dan motorik.
Pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale):
terjadi penurunan kesadaran pada pasien.

b. AMPLE
Allergy
: ada alergi/tidak
Medication : ada medikasi sebelumnya/tidak
Past Medical History : ada riwayat penyakit/tidak
Last Meal : ada makan terakhir/tidak
Event : lingkungan yang berhubungan dengan kejadian

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
b. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya pertahanan
tubuh
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
e. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang

3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN
KRITERIA
HASIL( NOC)
1. Kekurangan volume Setelah dilakukan Fluid Management
cairan b/d tindakan □ Timbang berat badan setiap hari
perdarahan keperawatan dan monitor status pasien Jaga
....x24 jam, □ intake/asupan yang akurat dan
volume cairan catat output
tidak mengalami □ Kaji lokasi dan luasnya edema,
kekurangan. jika ada

□ Monitor hasil laboratorium yang


KH: sesuai dengan retensi cairan
□ Intake dan output (peningkatan BUN, penurunan
seimbang hematokrit, peningkatan
□ Turgor kulit baik osmolaritas urin)
□ Tekanan darah Monitor tanda-tanda vital

normal (tekanan darah dan nadi)
□ Perdarahan(-) Berikan deuretik, furosemide
□ yang diresepkan

□ Kaji tetesan infus.


□ Kolaborasi : Berikan cairan
parenteral sesuai indikasi.

□ Cairan parenteral ( IV line )


sesuai dengan umur.

□ Pemberian tranfusi darah.

Fluid Monitoring

□ Monitor tanda dan gejala asites


□ Monitor tekanan darah, denyut
jantung, dan status pernapasan.
2. Nyeri b/d adanya Setelah dilakukan Pain Management
trauma abdomen tindakan  Lakukan pengkajian nyeri
atau luka penetrasi keperawatan komprehensif yang meliputi
abdomen. ...x...... jam diharapkan lokasi, karakteristik,
nyeri akut onset/durasi, frekuensi, kualitas,
dapat berkurang intensitas atau beratnya nyeri
dengan criteria : dan factor pencetus
NOC :  Pastikan perwatan analgesic
1. Pain Level bagi pasien dilakukan dengan
Kriteria Hasil : pemantauan yang ketat Gunakan

 Beristirahat strategi komunikasi terapeutik



dengan untuk mengetahui pengalaman

nyaman/tidak nyeri dan sampaikan

gelisah penerimaan pasien terhadap


nyeri
 Tidak tampak
Gali bersama pasien dan
ekspresi 
keluarga mengenai factor-faktor
wajah
yang dapat menurunkan atau
kesakitan
memperberat nyeri
 Frekuensi dalam
Berikan informasi mengenai
batas normal 
nyeri, seperti penyebab nyeri,
(dewasa : 16-24
berapa lama nyeri akan
x/menit)
dirasakan, dan antisipasi dari
 Tekanan darah
ketidaknyamanan akibat
normal (dewasa
prosedur
: 120/80mmHg)
Kendalikan factor lingkungan
NOC : 
yang dapat mempengaruhi
2. Pain control
respon pasien terhadap
Kriteria Hasil :
ketidaknyamanan (mis., suhu
 Melaporkan ruangan,pencahayaan dan suara
perubahan
terhadap bising)
gejala nyeri Kurangi atau
pada  eliminasifaktorfaktor yang dapat
professional mencetus atau
kesehatan
 Mengenali  meningkatkan nyeri (mis.,
apa yang ketakutan, kelelahan, keadaan
terkait dengan monoton, dan kurang
gejala nyeri pengetahuan)

 Menggunakan Pilih dan implementasikan


tindakan yang beragam (mis.,
tindakan
farmakologi, nonfarmakologi,
pengurangan interpersonal) untuk
memfasilitasi penurunan nyeri
(nyeri) tanpa
sesuai kebutuhan
analgesic

 Dorong pasien untuk


memonitor nyeri dan
menangani nyerinya dengan
tepat

 Ajarkan penggunaan teknik non


farmaklogi
(seperti,biofeedback,TENS,
hypnosiss,relaksasi,bimbingan
antisipasi, terapi musik, terapi
bermain, terapi aktivitas,
akupressur, aplikasi
panas/dingin dan pijatan,
sebelum, sesudah dan jika
memungkinkan ketika
melakukan aktivitas yang
menimbulkan nyeri sebelum
nyeri terjadi atau meningkat,
dan bersamaan dengan tindakan
penurun rasa nyeri lainnya)
 Kolaborasi dengan pasien
keluarga dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan
mengimplementasikan tindakan

penurun nyeri nonfarmakologi


sesuai kebutuhan

 Berikan individu penurun nyeri


yang optimal dengan peresepan
analgesic

 Dukung istirahat/tidur yang


adekuat untuk membantu
penurunan nyeri

Analgesic Administration

 Tentukan lokasi, karakteristik,


kualitas dan keparahan nyeri
sebelum mengobati pasien

 Cek perintah pengobatan


meliputi obat, dosis dan
frekuensi obat analgesic yang
diresepkan

 Cek adanya riwayat alergi obat


 Pilih rute IV dibandingkan IM
untuk pemberian analgesic
secara teratur melalui injeksi
jika diperlukan
 Monitor tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian
analgesic pada pemberian dosis
pertama kali atau jika
ditemukan tanda-tanda yang
tidak biasanya

3. Resiko infeksi b/d Setelah diberikan NIC Label:


tindakan asuhan keperawatan Infection Protection
pembedahan, tidak selama …x24 jam
adekuatnya diharapkan tidak ada Monitor hasil pemeriksaan
pertahanan tubuh. tanda-tanda infeksi darah lengkap (WBC,
dengan kriteria granulosit)
hasil: Pertahankan kondisi aseptic
NOC Label: pada luka
Infection Process
Lakukan perawatan luka secara
Tidak ada
berkala dengan teknik steril
kemerahan
Monitor adanya tanda-tanda
Tidak terjadi
infeksi (kemerahan, adanya pus,
hipertermia
bau, pembengkakan,
Tidak ada nyeri peningkatan suhu)
Tidak ada Kolaborasi pemberian antibiotic
pembengkakan (topical, oral)
Suhu dalam batas Berikan intake nutrisi yang
o
normal (36,5 – adekuat (tinggi kalori tinggi
o
37 C) protein)
Tekanan darah Ajarkan klien dan keluarga
dalam batas mengenai tanda-tanda infeksi
normal (120/80 Ajarkan klien dan keluarga
mmHg) bagaimana menghindari
Nadi dalam batas terjadinya infeksi
normal (60-100 Ajarkan klien untuk tetap
x/mnt) mempertahankan hygiene tubuh
RR dalam batas Anjurkan klien untuk bedrest
normal (12-20 Hentikan prosedur invasive
x/mnt) lakukan pemeriksaan dalam bila
perlu untuk mencegah
WBC dalam batas terjadinya infeksi.
normal (4,6 – 10,2
k/ul)
Klien mampu
menyebutkan
factor-faktor resiko
penyebab infeksi
Klien mampu
memonitor
lingkungan
penyebab infeksi
Klien mampu
memonitor tingkah
laku penyebab
infeksi
Tidak terjadi
paparan saat
tindakan
keperawatan

Knowledge : Infection
Management
Klien mengetahui
cara penyebaran
Klien mengetahui
faktor yang dapat
menambah
penyebaran
Klien dapat
melakukan
pencegahan
penyebaran
Klien mengetahui
pengobatan dan
perawatan infeksi
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan 1x24
jam, infeksi tidak
terjadi.
4. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Perawatan Tirah Baring
fisik berhubungan tindakan keperawatan  Jelaskan alasan diperlukannya
dengan kelemahan selama ….. x …. jam tirah baring
fisik diharapkan hambatan  Tempatkan matras atau kasur
mobilitas fisik pada terapeutik dengan cara yang
pasein dapat berkurang tepat
dengan kriteria hasil :
 Posisikan sesuai body alignment
yang tepat
mbulasi
 Hindari menggunakan kain
Tidak terganggu linen kasur yang teksturnya
NOCuntuk
: menopang kasar Jaga kain linen kasur

A berat badan tetap bersih, kering, dan bebas
Tidak terganggu
 kerutan Aplikasikan papan

untuk berjalan untuk kaki di tempat tidur
dengan langkah (pasien)

yang efektif
 Gunakan alat di tempat tidur
Tidak terganggu yang melindungi pasien
untuk berjalan 
Aplikasikan alat untuk mencegah
dengan pelan
footdrop
Tidak terganggu 
 Tinggikan teralis tempat tidur,
untuk berjalan
dengan cara yang tepat
dengan 
Letakkan alat untuk
kecepatan
 memposisikan tempat tidur
sedang
dalam jangkauan yang mudah
Tidak terganggu 
Letakkan lampu panggilan
untuk berjalan
dengan cepat berada dalam jangkauan
Tidak terganggu 
 (pasien) Letakkan meja di
untuk berjalan
menaiki tangga samping tempat tidur berada
Tidak terganggu
dalam jangkauan pasien
untuk berjalan
menuruni tangga 
 Tempelkan trapeze (segi tiga) di
tempat tidur, dengan cara yang
tepat
 Balikkan (pasien), sesuai dengan

kondisi kulit
 Tidak terganggu  Balikkan pasien yang tidak dapat
untuk berjalan mobilisasi paling tidak setiap 2
menanjak Tidak jam, sesuai dengan jadwal yang

 terganggu untuk spesifik


berjalan menurun  Monitor kondisi kulit (pasien)
Tidak terganggu  Ajarkan latihan di tempat tidur,
 untuk berjalan dengan cara yang tepat
dalam jarak yang  Fasilitasi penggiliran kecil dari
dekat (< 1 berat badan
blok/20 meter)
 Bantu menjaga kebersihan
Tidak terganggu (misalnya dengan menggunakan

 untuk berjalan deodorant atau parfum)


dalam jarak yang Aplikasikan aktivitas sehari –

sedang (> 1 blok < hari
5 blok) Berikan stoking antiemboli

Tidak terganggu Monitor komplikasi dari tirah

untuk berjalan baring (misalnya kehilangan

dalam jarak yang tonus otot, nyeri punggung,
jauh (5 blok atau konstipasi, peningkatan stress,
lebih) depresi, kebingungan, perubahan
Tidak terganggu siklus tidur, infeksi saluran
untuk berjalan
kemih, kesulitan dalam
 mengelilingi kamar
Tidak terganggu berkemih, pneumonia)
untuk berjalan
mengelilingi rumah
Tidak terganggu Peningkatan Mekanika Tubuh
 untuk
menyesuaikan Kaji komitmen pasien untuk

dengan perbedaan belajar dan menggunakan postur
tekstur
(tubuh) yang benar
 permukaan/lantai Kolaborasikan dengan
fisioterapis dalam

mengembangkan peningkatan
mekanika tubuh, sesuai indikasi
 Tidak terganggu  Kaji pemahaman pasien
untuk berjalan mengenai mekanika tubuh dan
mengelilingi latihan (misalnya
rintangan mendemonstrasikan kembali
teknik melakukan
Ambulasi kursi roda aktivitas/latihan yang benar)

 Tidak terganggu  Informasikan pada pasien


untuk perpindahan tentang struktur dan fungsi
ke dan dari kursi tulang belakang dan postur yang
roda optimal untuk bergerak dan

 Tidak terganggu menggunakan tubuh


untuk menjalankan  Edukasi pasien tentang
kursi roda dengan pentingnya postur (tubuh) yang
aman benar untuk mencegah

 Tidak terganggu kelelahan, ketegangan atau injuri


untuk menjalankan
Edukasi pasien mengenai
kursi roda dalam 
jarak dekat Tidak bagaimana menggunakan postur
terganggu untuk
(tubuh) dan mekanika tubuh
menjalankan kursi
roda dalam jarak untuk mencegah injuri saat

sedang Tidak
melakukan berbagai aktivitas
terganggu untuk
menjalankan kursi Kaji kesadaran pasien tentang
roda dalam jarak 
abnormalitas muskuloskeletalnya
jauh Tidak
terganggu untuk dan efek yang mungkin timbul
 menjalankan kursi
pada jaringan otot dan postur
roda melewati
pembatas lantai Edukasi penggunaan
Tidak terganggu 
matras/tempat duduk atau bantal
untuk menjalankan
yang lembut, jika diindikasikan

Instruksikan untuk menghindari

tidur dengan posisi tengkurap
Bantu untuk mendemonstrasikan

posisi tidur yang tepat

kursi roda melewati  Bantu untuk menghindari duduk
pintu keluar masuk dalam posisi yang sama dalam
 Tidak terganggu jangka waktu yang lama
untuk menjalankan  Instruksikan pasien untuk
kursi roda melewati menggerakkan kaki terlebih
jalan yang dahulu kemudian badan ketika
landai/menurun memulai berjalan dari posisi
berdiri
Pergerakan
 Gunakan prinsip mekainak
 Keseimbangan tubuh ketika menangani pasien
tidak terganggu dan memindahkan peralatan
 Koordinasi tidak  Bantu pasien/keluarga untuk
terganggu mengidentifikasikan latihan
 Cara berjalan tidak postur (tubuh) yang sesuai Bantu
terganggu pasien untuk memilih aktivitas

 Gerakan otot tidak pemanasan sebelum memulai
terganggu latihan atau memulai pekerjaan

 Gerakan sendi tidak yang tidak dilakukan secara rutin


terganggu sebelumnya
Kinerja Bantu pasien melakukan latihan
 
pengaturan tubuh
fleksi untuk memfasilitasi
tidak terganggu
Kinerja transfer mobilisasi punggung sesuai
tidak terganggu
indikasi
 Berlari tidak
terganggu Edukasi pasein/keluarga tentang
Melompat tidak 
frekuensi dan jumlah
 terganggu
Merangkak tidak pengulangan dari setiap latihan
terganggu
Monitor perbaikan postur
 Berjalan tidak 
terganggu (tubuh)/mekanika tubuh pasein
Berikan informasi tentang
 
kemungkinan posisi penyebab
nyeri otot atau sendi

 Bergerak dengan Terapi Latihan : Ambulasi
mudah tidak Beri pasein pakaian yang
 tidak mengekang
terganggu

 Bantu pasein untuk


menggunakan alas kaki yang
memfasilitasi pasein untuk
berjalan dan mencegah cedera

 Sediakan tempat tidur


berketinggian rendah,
yang sesuai

 Tempatkan saklar posisi tempat


tidur di tempat yang mudah
dijangkau

 Dorong untuk duduk di temppat


tidur, di samping tempat tidur
(“menjuntai”), atau di
kursi, sebagaimana yang
dapat ditoleransi (pasein)

 Bantu pasein untuk duduk di sisi


tempat tidur untuk memfasilitasi
penyesuain sikap tubuh

 Konsultasikan pada ahli terapi


fisik mengenai rencana ambulasi,
sesuai kebutuhan

 Instruksikan ketersediaan
perangkat pendukung, jika sesuai

 Instruksikan pasien untuk


memposisikan diri sepanjang
proses pemindahan

 Gunakan sabuk [untuk] berjalan


(gait belt) untuk membantu
perpindahan dan ambulasi,
sesuai kebutuhan
 Bantu pasien untuk perpindahan,
sesuai kebutuhan

 Berikan kartu penanda di kepala


tempat tidur untuk memfasilitasi
belajar berpindah

 Terapkan/sediakan alat bantu


(tongkat, walker/kursi roda)
untuk ambulasi, jika pasein tidak
stabil

 Bantu pasein dengan ambulasi


awal dan jika diperlukan

 Instruksikan pasein/care giver


mengenai pemindahan dan
teknik ambulasi yang aman

 Monitor penggunaan kruk pasein


atau alat bantu berjalan lainnya

 Bantu pasein untuk berdiri dan


ambulasi dengan jarak tertentu
dan dengan jumlah staf tertentu

 Bantu pasein untuk membangun


pecapaian yang realistis unuk
ambulasi jarak

 Dorong ambulasi independen


dalam batas aman

 Dorong pasein untuk “bangkit


sebanyak dan sesering yang
diinginkan” (up ad lib), jika
sesuai

5. Gangguan nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi:


kurang dari asuhan keperawatan
kebutuhan tubuh b/d selama ..... x 24 jam,  Tentukan status gizi pasien
intake yang kurang. diharapkan kebutuhan dan kemampuan pasien
untuk memenuhi kebutuhan
gizi.
:
nutrisi dapat terpenuhi  Identifikasi adanya
dengan kriteria hasil
 alergi atau
yaitu sebagai berikut: intoleransi
Status Asupan Nutrisi
  makanan yang dimiliki
pasien.

 Asupan kalori Ciptakan lingkungan yang


adekuat optimal pada saat
Asupan protein mengkonsumsi makan

adekuat (misalnya, bersih,
Asupan lemak
  berventilasi, santai, dan bebas
adekuat dari bau yang menyengat).
Asupan karbohidrat Anjurkan pasien untuk

adekuat
 duduk pada posisi tegak di
Asupan serat kursi, jika memungkinkan.
 adekuat
Awasi pemasukan
Asupan vitamin
diet/jumlah kalori,
 adekuat
tawarkan makan sedikit tapi
Asupan mineral
 sering dan tawarkan pagi
 adekuat
paling sering.
Asupan zat
Monitor
 besi adekuat
Manajkecenderungan terjadinya
Asupan
 penurunan dan kenaikan
kalsium
berat badan. emen Saluran
adekuat
 Cerna:
Asupan natrium
adekuatSetelah Catat tanggal buang air besar
dilakukan tindakan terakhir.
keperawatan 1x24
jam, nutrisi klien Monitor buang air besar
terpenuhi. termasuk konsistensi,

bentuk, volume, dan warna,

dengan cara yang tepat.
Monitor bising usus.
Instruksikan pasien
mengenai makanan tinggi
serat, dengan cara yang tepat.
D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan.

E. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhur dalam proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Ed. 8. EGC:
Jakarta.

Docthwrman, Joanne McCloskey. (2004). Nursing Interventions Classification. St Louis,


Mossouri, Elsevier inc.

Herdman, T Heather, dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi 10.
Jakarta: EGC

Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NIC
NOC Jilid 3. Jogjakarta: MediAction

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4,
Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai