Tugas SP Kritis Ruptur Organ
Tugas SP Kritis Ruptur Organ
OLEH:
NI MADE LINDA ADIMAHARANI (P07120215005) NI PUTU
SUDIANI (P07120215006) NI MADE DIAH KARTIKA
SARI (P07120215007) TRIANA SAVITRI
(P07120215008)
2. Etiologi
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan
oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak
terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh klien terpukul setir
mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.Trauma pada abdomen disebabkan
oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :
a. Paksaan /benda tumpul (penyebab trauma non penetrasi)
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tumpul
pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan
kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi atau
sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tembus (penyebab trauma penetrasi)
Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Disebabkan
oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar di dalam abdomen. Selain luka
tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk
sedikit menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.
3. Pathway
Trauma
(kecelakaan)
↓
Penetrasi & Non-Penetrasi
↓
Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)
↓
Menekan saraf peritonitis
↓
Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri
↓
Motilitas usus
↓
Disfungsi usus → Resiko infeksi
↓
Refluks usus output cairan berlebih
↓
Kekurangan volume Nutrisi kurang dari cairan kebutuhan tubuh
↓
Kelemahan fisik
↓
Gangguan mobilitas fisik
(Sumber : Mansjoer, 2001)
4. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu
lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya
trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktorfaktor fisik dari kekuatan tersebut
dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek
statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini
juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga
tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah
kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah
kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh
menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang terjadi
tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan.
Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh
relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal
yang disebabkan beberapa mekanisme :
a) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
b) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
c) Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek
pada organ dan pedikel vaskuler
5. Manifestasi Klinis
a. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium):
1) Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
2) Respon stres simpatis
3) Perdarahan dan pembekuan darah
4) Kontaminasi bakteri
5) Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar rongga
abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara umum organ-
organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Sedangkan organ berongga
bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus pecah akan mengeluarkan isinya
ke dalam rongga peritoneal sehingga akan mengakibatkan peradangan atau infeksi
b. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium)
ditandai dengan:
1) Kehilangan darah.
2) Memar/jejas pada dinding perut.
3) Kerusakan organ-organ.
4) Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
5) Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
Menurut Scheets (2002), secara umum seseorang dengan trauma abdomen
menunjukkan manifestasi sebagai berikut :
1) Laserasi, memar,ekimosis
2) Hipotensi
3) Tidak adanya bising usus
4) Hemoperitoneum
5) Mual dan muntah
6) Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah, biasanya pd
arteri karotis),
7) Nyeri
8) Pendarahan
9) Penurunan kesadaran
10) Sesak
11) Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.Tanda
ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
12) Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
13) Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada perdarahan
retroperitoneal.
14) Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis
15) Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika
dilakukan perkusi pada hematoma limfe
6. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tumpul (blunt injury)
Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang
melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush
injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga,
dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu
hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing
injury) terhadap organ viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat
pengaman (misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak
digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa mengalami
trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara suatu bagian yang
terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun ruptur hepar (organ yang
bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir). Pemakaian air-bag tidak mencegah
orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena
trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan
usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.
b. Trauma tajam (penetration injury)
Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan
adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus
(30%), diafragma (20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang
lebih besar, yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy
kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan
tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar
(30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen dan
trauma pada isi abdomen.
7. Komplikasi
a) Trombosis Vena
b) Emboli Pulmonar
c) Stress ulserasi dan perdarahan
d) Pneumonia
e) Tekanan ulserasi
f) Atelektasis
g) Sepsis
8. Pemeriksaan diagnostik
a. Trauma Tumpul
Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah
rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan
intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien dengan trauma
tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :
a) Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatan.
b) Perubahan sensasi trauma spinal
c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas
e) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama,
pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-Ray yang lama misalnya
Angiografi
f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal
seperti di atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu
kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi.
Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity,
shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya. Bisa dipakai tekhnik terbuka
atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pada pasien dengan
fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan supraumbilikal untuk mencegah kita
mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan uterus yang membesar. Adanya
aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar,
melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal menunjukkan
indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun cairan
feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pada anak-anak 10cc/kg).
Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll, cairan
ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat
maupun empedu. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-
150)Test (+) pada trauma tumpul bila 10 ml atau lebih darah makroskopis (gross) pada
aspirasi awal, eritrosit > 100.000 mm 3, leukosit > 500/mm3 atau pengecatan gram (+)
untuk bakteri, bakteri atau serat. Sedangkan bila DPL (+) pada trauma tajam bila 10 ml
atau lebih darah makroskopis (gross) pada aspirasi awal,sel darah merah 5000/mm 3 atau
lebih. (Scheets, 2002 : 279-280)
FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi
adanya hemoperitoneum. Dengan adanya peralatan khusus di tangan mereka yang
berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi
adanya cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL dan CT abdomen Ultrasound
memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk mendeteksi
hemoperitorium, dan dapat diulang kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat
diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa
prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan
indikasi DPL. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 150)
a) Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan
tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis
yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American College
of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151)
b. Trauma Tajam
1. Cedera thorax bagian bawah
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen
bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi,
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.
2. Eksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka
tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat
tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik
serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik.
3. Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple contrast
pada cedera flank maupun punggung
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT
dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial
untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh
ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka
dibelakang linea axillaries anterior. (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 151)
c. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP dilakukan
pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga posisi
(telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas
dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada
keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-
Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal
dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk
menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya
udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip
pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya
peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
4) Koagulasi : PT,PTT
5) MRI
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
7) CT Scan
8) Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X.
9) Scan limfa
10) Ultrasonogram
11) Peningkatan serum atau amylase urine
12) Peningkatan glucose serum
13) Peningkatan lipase serum
14) DPL (+) untuk amylase
15) Penigkatan WBC
16) Peningkatan amylase serum
17) Elektrolit serum
18) AGD
(ENA,2000:49-55)
2. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan kain kassa
pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga tidak memperparah luka.
3. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak dianjurkan
dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang keluar dari dalam tersebut
dibalut kain bersih atau bila ada verban steril.
4. Imobilisasi pasien.
5. Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
6. Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
7. Kirim ke rumah sakit.
b. Hospital
1. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli bedah yang
berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan dalamnya luka.
Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan. a.
Skrinning pemeriksaan rontgen
b. Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau
pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intraperitonium. Serta rontgen
abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara
retroperitoneum.
c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning
Ini di lakukan untuk mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
e. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung kencing, contohnya
pada :
- fraktur pelvis
- trauma non-penetrasi
2. Penanganan pada trauma benda tumpul:
a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan laboratorium rutin, dan
juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium,
glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan pelvis adalah pemeriksaan
yang harus di lakukan pada penderita dengan multi trauma, mungkin berguna untuk
mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau udara bebas di bawah diafragma,
yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens atau decendens dan
dubur (Hudak & Gallo, 2001).
1.PENGKAJIAN
1. Primary survey
a) Airway:
Memastikan kepatenan jalan napas tanpa adanya sumbatan atau obstruksi. b) Breathing:
Memastikan irama napas normal atau cepat, pola napas teratur, tidak ada dyspnea, tidak ada
napas cuping hidung, dan suara napas vesikuler,
c) Circulation:
Nadi lemah/ tidak teraba, cepat >100x/mt, tekanan darah dibawah normal bila terjadi
syok, pucat oleh karena perdarahan, sianosis, kaji jumlah perdarahan dan lokasi, capillary
refill >2 detik apabila ada perdarahan.
Penurunan kesadaran.
d) Disability:
Kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor apabila adanya diskontinuitas
saraf yang berdampak pada medulla spinalis. Salah satu cara sederhana untuk menilai
tingkat kesadaran adalah dengan metode AVPU:
A : alert (sadar)
V : respon terhadap rangsang vokal(suara)
P : respon terhadap rangsang nyeri(pain)
U : unresponsive ( tidak ada respon)
e) Exposure/Environment:
Fraktur terbuka di femur dekstra, luka laserasi pada wajah dan tangan, memar pada
abdomen, perut semakin menegang.
2. Secondary survey
a. Fokus Asesment
Kepala : Wajah, kulit kepala dan tulang tengkorak, mata, telinga, dan
mulut. Temuan yang dianggap kritis:
Pupil tidak simetris, midriasis tidak ada respon terhadap cahaya ?
Patah tulang tengkorak (depresi/non depresi, terbuka/tertutup)?
Robekan/laserasi pada kulit kepala?
Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut?
Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung?
Battle sign dan racoon eyes?
Leher : lihat bagian depan, trachea, vena jugularis, otot-otot leher
bagian belakang. Temuan yang dianggap kritis: Distensi vena
jugularis, deviasi trakea atau tugging, emfisema kulit
b. AMPLE
Allergy
: ada alergi/tidak
Medication : ada medikasi sebelumnya/tidak
Past Medical History : ada riwayat penyakit/tidak
Last Meal : ada makan terakhir/tidak
Event : lingkungan yang berhubungan dengan kejadian
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
b. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya pertahanan
tubuh
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
e. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang
Fluid Monitoring
Analgesic Administration
Knowledge : Infection
Management
Klien mengetahui
cara penyebaran
Klien mengetahui
faktor yang dapat
menambah
penyebaran
Klien dapat
melakukan
pencegahan
penyebaran
Klien mengetahui
pengobatan dan
perawatan infeksi
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan 1x24
jam, infeksi tidak
terjadi.
4. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan Perawatan Tirah Baring
fisik berhubungan tindakan keperawatan Jelaskan alasan diperlukannya
dengan kelemahan selama ….. x …. jam tirah baring
fisik diharapkan hambatan Tempatkan matras atau kasur
mobilitas fisik pada terapeutik dengan cara yang
pasein dapat berkurang tepat
dengan kriteria hasil :
Posisikan sesuai body alignment
yang tepat
mbulasi
Hindari menggunakan kain
Tidak terganggu linen kasur yang teksturnya
NOCuntuk
: menopang kasar Jaga kain linen kasur
A berat badan tetap bersih, kering, dan bebas
Tidak terganggu
kerutan Aplikasikan papan
untuk berjalan untuk kaki di tempat tidur
dengan langkah (pasien)
yang efektif
Gunakan alat di tempat tidur
Tidak terganggu yang melindungi pasien
untuk berjalan
Aplikasikan alat untuk mencegah
dengan pelan
footdrop
Tidak terganggu
Tinggikan teralis tempat tidur,
untuk berjalan
dengan cara yang tepat
dengan
Letakkan alat untuk
kecepatan
memposisikan tempat tidur
sedang
dalam jangkauan yang mudah
Tidak terganggu
Letakkan lampu panggilan
untuk berjalan
dengan cepat berada dalam jangkauan
Tidak terganggu
(pasien) Letakkan meja di
untuk berjalan
menaiki tangga samping tempat tidur berada
Tidak terganggu
dalam jangkauan pasien
untuk berjalan
menuruni tangga
Tempelkan trapeze (segi tiga) di
tempat tidur, dengan cara yang
tepat
Balikkan (pasien), sesuai dengan
kondisi kulit
Tidak terganggu Balikkan pasien yang tidak dapat
untuk berjalan mobilisasi paling tidak setiap 2
menanjak Tidak jam, sesuai dengan jadwal yang
Instruksikan ketersediaan
perangkat pendukung, jika sesuai
E. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhur dalam proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 2. Ed. 8. EGC:
Jakarta.
Herdman, T Heather, dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi 10.
Jakarta: EGC
Nurarif, A. (2015). Aplikasi Asuhan keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NIC
NOC Jilid 3. Jogjakarta: MediAction
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta., E. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4,
Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius