Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Sejak beberapa dasawarsa terakhir masyarakat semakin menyadari

pentingnya upaya mengatasi masalah-masalah lingkungan hidup. Di antara

masalah-masalah lingkungan yang banyak mendapat perhatian publik adalah

menipisnya sumber daya alam dan tingginya pencemaran. Hal tersebut

menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Jika masalah–masalah tersebut tidak

segera diatasi dapat mengancam kelangsungan pembangunan nasional di bidang

lingkungan hidup. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap

bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.Bahwa

kegiatan rumah sakit mempunyai potensi menghasilkan limbah yang dapat

menimbulkan pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu perlu dilakukan

pengendalian terhadap pembuangan limbah medis yang dibuang ke lingkungan.

Sehingga sangat perlu mengurangi pencemaran tersebut dengan pengeloaan

limbah yang baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.

Pelestarian lingkungan hidup mempunyai arti bahwa lingkungan hidup harus

dipertahankan sebagaimana keadaannya. Sedangkan lingkungan hidup itu justru

dimanfaatkan dalam kerangka pembangunan nasional. Hal ini berarti bahwa

lingkungan hidup mengalami proses perubahan. Proses perubahan ini yang perlu

dijaga agar lingkungan hidup itu tetap mampu menunjang kehidupan yang normal. 2

(Widia Edorita, Peranan Amdal Dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara Asia Tenggara, Universitas

Andalas, 2007)

Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang memuat akidah-akidah

tentang pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk mencegah penyusutan


dan kemrosotan mutu lingkungan. Dikatakan oleh Danusaputro bahwa hukum

lingkungan adalah konsep studi lingkungan hidup yang mengkhususkan pada ilmu

hukum, dengan objek hukumnya adalah tingkat perlindungan sebagai kebutuhan

hidup. Hukum lingkungan pada dasarnya mencakup penataan dan penegakan atau

compliance and enforcement , yang meliputi bidang hukum administrasi, bidang

hukum perdata dan bidang hukum pidana. (St. Munadjat Danusaputro, Hukum

Lingkungan Buku II: Nasional, (Binacipta: Bandung, 1985), hlm 198-201).

Terlalu banyaknya sampah yang dihasilkan dan kurang bijaknya pengelolaan

sampah dapat menimbulkan musibah bagi manusia dan lingkungan.6Setiap hari

produksi sampah semakin meningkat dan kulitas sampahpun beraneka ragam

dengan segala resikonya yang tentunya akan mengganggu baku mutu air, udara,

dan tanah yang pada akhirnya dampak itu kembali lagi kepada manusia. Produksi

sampah yang begitu meningkat tidak dibarengi dengan strategi penanganan dan

pengelolaan sampah itu sendiri secara optimal sehingga yang terjadi masalah

sampah hanya sekedar bau tak sedap saja. (Pengelolaan sampah, tersedia di

http ://www.wikipedia.org.id dikunjungi 5 november 2021)

Rumah sakit merupakan sarana utama untuk menunjang dan meningkatkan

kesehatan masyarakat. Hal ini sesuai denganisi pasal 34 ayat (3) UUD 1945 bahwa

“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan

fasilitas pelayanan umum yang layak”.Sebagai sarana peningkatan kesehatan

Rumah sakit terdiri dari beberapa bagian yang saling berinteraksi dan berintegrasi.

Bagian tersebut adalah balai pengobatan, tempat praktik dokter, ruang operasi,

laboratorium, farmasi, administrasi, dapur, laundry, pengolahan sampah dan limbah,

serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.


Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang potensial

menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Seperti halnya sektor industri,

kegiatan rumah sakit berlangsung dua puluh empat jam sehari dan melibatkan

berbagai aktifitas orang banyak sehingga potensial dalam menghasilkan sejumlah

besar limbah (Depkes RI, 2006

Pengelolaan limbah padat medis rumah sakit sangat dibutuhkan bagi

kenyamanan dan kebersihan lingkungan rumah sakit, karena dapat mencegah

timbulnya masalah kesehatan. Keberhasilan sistem pengelolaan

sampah padat berkaitan erat dengan prosedur tetap yang dimiliki oleh

rumah sakit yang bersangkutan sebagai acuan dari pengelolaan sampah

yang berpedoman pada peraturan pemerintah.Limbah medis sangat penting untuk

dikelola secara benar, hal ini mengingat limbah medis termasuk ke dalam kategori

limbah berbahaya dan beracun. Sebagian limbah medis termasuk

kedalam kategori limbah berbahaya dan sebagian lagi termasuk kategori

infeksius.Limbah medis berbahaya yang berupa limbah kimiawi, limbah farmasi,

logam berat, limbah genotoxic dan wadah bertekanan masih banyak yang belum

dikelola dengan baik. Sedangkan limbah infeksius merupakan limbah yang bisa

menjadi sumber penyebaran penyakit baik kepada petugas, pasien, pengunjung

ataupun masyarakat di sekitar lingkungan rumah sakit. Limbah infeksius

biasanya berupa jaringan tubuh pasien, jarum suntik, darah, perban, biakan

kultur, bahan atau perlengkapan yang bersentuhan dengan penyakit menular

atau media lainnya yang diperkirakan tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan

lingkungan yang tidak tepat akan beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa

resiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit


antara lain: penyakit menular (hepatitis,diare, campak, AIDS, influenza),

bahayaradiasi(kanker,kelainanorgangenetik) danresiko bahaya kimia.

Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa setiap orang yang

menghasilkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) wajib melakukan

pengelolaan limbah yang dihasilkannya dan dalam hal setiap orang tidak mampu

melakukan sendiri pengelolaan limbah, pengelolaannya diserahkan kepada pihak

lain yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan, masih

terdapat beberapa kendala antara lain terbatasnya perusahaan pengolah limbah B3

yang sudah mempunyai izin, yaitu baru terdapat 12 perusahaan yang berada di

Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Jumlah perusahaan tersebut sangat kurang

jika dibandingkan dengan jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan volume limbah medis

yang berasal dari 2787 rumah sakit di Indonesia mencapai 133.91 kg/RS/hari. Dari

jumlah tersebut rata – rata tumpukan limbah mencapai 373.20 kg/ hari.

Rumah sakit dan instalasi kesehatan lainnya memiliki “kewajiban untuk

memelihara” lingkungan dan kesehatan masyarakat, serta memiliki tanggung jawab

khusus yang berkaitan dengan limbah yang dihasilkan instalasi tersebut. Kewajiban

yang dipikul instalasi tersebut diantaranya adalah kewajiban untuk memastikan

bahwa penanganan, pengolahan serta pembuangan limbah yang mereka lakukan

tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan kesehatan dan lingkungan.

Dengan menerapkan kebijakan mengenai pengelolaan limbah layanan kesehatan,

fasilitas medis dan lembaga penelitian semakin dekat dalam memenuhi tujuan
mewujudkan lingkungan yang sehat dan aman bagi karyawan mereka maupun

masyarakat sekitar (A.Pruss, 2005).

Secara umum, limbah rumah sakit terdiri dari tiga kelompok yaitu: limbah

padat, limbah cair, dan limbah gas. Limbah tersebut bisa dianggap sebagai limbah

yang infeksius sehingga diperlukan pemisahan limbah secara ketat berdasarkan

jenis limbahnya, akan tetapi hal ini sangat bergantung pada macam dan jenis kuman

yang terkandung di dalam limbah dan jenis limbahnya. Pada beberapa jenis limbah,

kuman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik karena memang sesuai dengan

kondisi ideal yang dibutuhkan oleh jenis kuman tersebut, sehingga perlu dilakukan

upaya untuk mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan kuman dengan

menggunakan berbagai cara pengolahan limbah, bahkan memusnahkan kuman

yang ada agar tidak menyebar ke lingkungannya.Secara alamiah sinar matahari

yang mengandung sinar ultra ungu juga mengendalikan pertumbuhan kuman,

namun pada beberapa kondisi hal tersebut tidak cukup memadai dalam

mengendalikan kuman yang ada di Rumah Sakit, sehingga perlu dilakukan berbagai

cara dan metoda agar pengendalian kuman tersebut dapat dilakukan dengan cara

yang seefektif mungkin dengan maksud agar dampak yang diakibatkan dapat

ditekan seminimal mungkin.

Upaya pengendalian penyebaran kuman penyebab penyakit biasanya dilakukan

oleh suatu tim yang dinamakan Tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI), yaitu

sebuah Tim Pengendali intern Rumah Sakit untuk menangani dan menanggulangi

infeksi di rumah sakit. Tim Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI) bertugas

melakukan upaya agar tidak terjadi cross contamination, waterborne disease, dan

airborne disease di lingkungan rumah sakit. Dengan demikian tidak terjadi penularan
penyakit di antara sesama pasien, sesama petugas maupun antara petugas dan

pasien dan bahkan masyarakat sekitar rumah sakit.

Perlu diupayakan adanya pengelolaan limbah rumah sakit yang memenuhi

standar agar limbah tidak membahayakan masyarakat. Pengelolaan yang benar

juga akan membantu melestarikan dan mengembangkan kemampuan dari

lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang

terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Rumah

sakit harus memiliki standar baku mutu lingkungan sesuai dengan UndangUndang

Nomor 32 Tahun 2009.

Undang – Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 54

ayat5 dijelaskan bahwa “dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Pemerintah

Daerah dapat mengambil tindakan administrative yaitu berupa teguran lisan,

teguran tertulis, dan/atau denda dan pencabutan izin”

Upaya pencegahan infeksi dengan memisahkan limbah infeksius dan non

infeksius atau limbah medis dan domestic di lingkungan perawatan.Hal ini di lakukan

oleh pihak RS untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial dan pencemaran

limbah medis di luar rumah sakit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Repunlik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pencegahan

Pengendalian Infeksi Rumah Sakit. Kendala yang ada yaitu kurangnya kesadaran

petugas dalam membuang limbah sesuai kategorinya.

Untuk mencegah terjadinya penularan penyakit atau Nosokomial perlu

dilakukan beberapa tahapan pengelolaan sampah medis padat mulai dari upaya

minimisasi sampah, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pemusnahan,

pemanfaatan kembali, dan daur ulang. Pengelolaan sampah medis yang tidak baik
dapat menimbulkan masalah terhadap kesehatan dan lingkungan seperti infeksi,

luka atau tertusuk benda tajam, kecelakaan kerja, maupun pencemaran tanah

apabila sampah medis padat dibuang ke tanah tanpa dilakukan pembakaran dengan

incinerator.

Fasilitas pelayanan kesehatan harus mampu melakukan minimalisasi limbah yaitu

upaya yang dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dengan cara

mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur ulang

limbah (recycle) dan proses Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan

pembuangan akhir kemudian untuk dimusnahkan.Pewadahan harus menggunakan

tempat khusus yang kuat,anti bocor,nti tusuk dan tidak mudah dibuka. Pemusnahan

limbah medis padat menggunakan incinerator dengan suhu tinggi sekitar 1200 oC

setelah itu residu yang sudah aman dibuang ke lanfiil (Ditjen P2MPL,2004:18)

Pemanfaatan Limbah B3 yang mencakup kegiatan penggunaan kembali

(reuse), daur ulang (recycle), dan perolehan kembali (recovery) merupakan satu

mata rantai penting dalam Pengelolaan Limbah B3. Penggunaan kembali (reuse)

Limbah B3 untuk fungsi yang sama ataupun berbeda dilakukan tanpa melalui proses

tambahan secara kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal. Daur ulang (recycle)

Limbah B3 merupakan kegiatan mendaur ulang yang bermanfaat melalui proses

tambahan secara kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal yang menghasilkan

produk yang sama, produk yang berbeda, dan/atau material yang bermanfaat.

Sedangkan perolehan kembali (recovery) merupakan kegiatan untuk mendapatkan

kembali komponen bermanfaat dengan proses kimia, fisika, biologi, dan/atau secara

termal.(Peraturan Pemerintah. (Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014)

Namun dalam kenyataannya, berdasarkan hasil pemantauan dari badan

pengendalian dampak lingkungan (Bapedal) memberitahukan bahwa keadaan


manajemen limbah medis yang berasal dari Fasilitas pelayanan kesehatan

(FASYANKES) pada akhir tahun 2019 cukup memprihatinkankan. Persoalan umum

yang terjadi di antaranya meliputi pembuangan limbah secara terbuka atau angsung

(open dumping), pengolahan tanpa izin, proses pembakaran limbah yang tidak

mematuhi standart mutu, kekurangan jasa pengolahan, penyimpanan limbah

berbahaya yang disimpan tidak pada areanya, penimbunan limbah, tempat

penyimpanan yang tidak mematuhi standart, dan penghentian pemanfaatan

incinerator karena belum mempunyai izin dari Kementrian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan. Berbagai keterbatasan tersebut telah menimbulkan penumpukkan

limbah B3 dari seluruh rumah sakit.

Pemanfaatan Limbah B3 yang mencakup kegiatan penggunaan kembali

(reuse), daur ulang (recycle), dan perolehan kembali (recovery) merupakan satu

mata rantai penting dalam Pengelolaan Limbah B3. Penggunaan kembali (reuse)

Limbah B3 untuk fungsi yang sama ataupun berbeda dilakukan tanpa melalui proses

tambahan secara kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal. Daur ulang (recycle)

Limbah B3 merupakan kegiatan mendaur ulang yang bermanfaat melalui proses

tambahan secara kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal yang menghasilkan

produk yang sama, produk yang berbeda, dan/atau material yang bermanfaat.

Sedangkan perolehan kembali (recovery) merupakan kegiatan untuk mendapatkan

kembali komponen bermanfaat dengan proses kimia, fisika, biologi, dan/atau secara
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masih banyak penanganan

limbah medis padat yang belum memenuhi syarat, maka peneliti tertarik untuk

melakukan Study Literatur terkait penanganan limbah medis padat dan faktor yang

mempengaruhi di Puskesmas.

Anda mungkin juga menyukai