Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS INDONESIA

PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH HASIL HIBAH


DARI WARGA NEGARA INDONESIA KEPADA WARGA NEGARA
ASING DALAM PERKAWINAN CAMPURAN BERDASARKAN
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR
393/Pdt.G/2017/PN DPS

PROPOSAL TESIS

CECILIA ANDRIANA SUWARNO


1806158184

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
NOVEMBER 2019
1

A. Latar Belakang Permasalahan


Warga Negara Asing yang memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia
seharusnya melepaskan kepemilikannya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diperolehnya hak tersebut. Hal ini disebabkan hanya Warga Negara Indonesia
yang berhak memiliki hak milik atas tanah di Indonesia.
Tanah dalam pengertian hukum agraria Indonesia diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA), adapun hak-hak penguasaan atas tanah di
Indonesia yaitu:1
1. Hak Bangsa Indonesia
Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam
hukum tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1, 2, dan 3 UUPA.
Hak Bangsa Indonesia merupakan hubungan hukum yang bersifat abadi
karena selama rakyat Indonesia bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan
masih adanya bumi, air, dan ruang angkasa di Indonesia maka tidak ada
sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan
hubungan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum II
UUPA.
2. Hak Menguasai Negara
Hak yang bersumber dari hak Bangsa Indonesia dan diatur dalam
Pasal 2 UUPA. Kewenangan dari hak menguasai negara ini merupakan
kewenangan yang bersifat publik. Wewenang yang bersumber pada hak
menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk tujuan mencapai sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat
teritorial. Konsepsi hak ulayat menurut hukum adat ialah adanya
perkembangan nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi
peluang penguasaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat
pribadi, meski demikian hak ulayat bukan hak orang-perseorangan. Hak
ulayat memiliki sifat fundamental yakni bersifat komunalistik karena hak
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 18.
2

itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah
yang bersangkutan.
4. Hak-Hak Perorangan
Hak atas tanah yang memberi wewenang kepada pemegang haknya
(perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum)
untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil
manfaat dari tanah tertentu.
Hak-hak perorangan meliputi:
- Hak-Hak Atas Tanah
Diatur dalam Pasal 4 UUPA, macam-macamnya diatur dalam Pasal
16 ayat 1 UUPA antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil
hutan, dan hak-hak yang lain tidak disebut diatas namun ditetapkan
Undang-Undang serta yang sifat haknya adalah sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 UUPA.
- Hak Atas Tanah Wakaf
Hak atas tanah hak milik yang telah diwakafkan. Perwakafan tanah
hak milik merupakan perbuatan hukum yang suci, mulia, dan terpuji yang
dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial.
Perwakafan tanah dapat ditemukan ketentuannya pada Pasal 49 ayat 3
UUPA serta diatur secara lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 Tetang Perwakafan Tanah Milik.2
- Hak Jaminan Atas Tanah
Hak jaminan yang dibebankan terhadap suatu hak atas tanah tanah.
Hak jaminan atas tanah salah satu contohnya adalah hak tanggungan.
Objek hak tanggungan antara lain adalah hak milik, hak guna bangunan,
hak pakai, dan hak milik atas satuan rumah susun.

2
Urip Santoso, “Kepastian Hukum Wakaf Tahah Hak Milik,” Perspektif 2, vol. 29 (Mei
2014), hlm.74.
3

- Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun


Hak milik atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan
yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama
dan tanah bersama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
Hak atas tanah tersebut dalam Hukum Tanah Nasional Mengalami
penyempurnaan dan tetap dipertahankan, yaitu:3
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai.
Perihal hak-hak atas tanah yang peruntukannya dibeda-bedakan pada jenis
pemanfaatannya, serta pada subyek hukum yang akan menjadi pemiliknya, dapat
dijelaskan sebagai berikut:4
1. Hak Milik
Hak yang hanya diberikan kepada Warga Negara Indonesia
tunggal, dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu, yang
pemanfaatannya dapat disesuaikan dengan peruntukan tanahnya di
wilayah di mana tanah terletak.
2. Hak Guna Usaha
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara, untuk jangka waktu tertentu, yang dapat diberikan baik kepada
Warga Negara Indonesia Tunggal maupun Badan Hukum Indonesia.
3. Hak Guna Bangunan
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, untuk selama jangka waktu tertentu, yang dapat
dimiliki baik oleh Warga Negara Indonesia tunggal maupun badan hukum
Indonesia (yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia).
3
Michael Wisnoe Barata, “Kepemilikan Hak atas Tanah Bagi Warga Negara Asing dan
Kewarganegaraan Ganda,” (Tesis Magister Universitas Indonesaia, Depok, 2012), hlm. 4.

4
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan Hak-Hak Atas Tanah,
ed. 1, cet. 5 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 25-26.
4

4. Hak Pakai
Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah milik
orang lain atau yang dikuasai langsung oleh negara, yang bukan sewa-
menyewa atau pengolahan tanah, yang dapat diberikan untuk suatu jangka
waktu tertentu kepada Warga Negara Indonesia tunggal, Badan Hukum
Indonesia (yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia), Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia, serta
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak milik atas tanah menurut ketentuan Pasal 20 ayat 1 UUPA adalah hak
yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai seseorang atas
tanah. Pengertian hak terkuat dan terpenuh sebagaimana dimaksud sebelumnya
adalah diantara hak-hak atas tanah, hak milik merupakan hak yang paling kuat dan
penuh. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan
dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas
tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan
hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan
penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang
lain.5
Subyek hukum yang dapat memperoleh hak milik atas tanah diatur dalam
ketentuan Pasal 21 ayat 1 UUPA yakni hanya Warga Negara Indonesia dan
beberapa badan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat 1 huruf b
Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun
1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan
Hak Pengelolaan.
Tanah hak milik di Indonesia dapat berpindah/ dialihkan kepada pihak lain
dengan cara jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,
pemberian menurut adat, dan perbuatan-perbuatan lain yang memiliki esensi
pengalihan hak milik atas tanah, diatur dalam Pasal 26 ayat 1 UUPA. Sahnya

5
Melianawaty, “Hak Milik atas Tanah”
https://www.kompasiana.com/melianawaty/5500006ea333117b6f50f8f1/hak-milik-atas-tanah-
oleh-melianawaty, diakses 26 November 2019.
5

peralihan hak milik atas tanah adalah harus dipenuhinya syarat materiil dan syarat
fomil.6
Pejabat Pembuat Akta Tanah berkewajiban untuk menyelidiki
kewenangan para pihak dan juga memeriksa kebenaran sertifikat asli atau surat-
surat tanah yang merupakan bukti kepemilikan atas tanah.
Sertifikat merupakan pegangan utama dari para pemegang mengenai
kepastian hukum hak atas tanah yang dipegangnya. Apabila timbul suatu
keraguan atau kesangsian akan kebenaran dari suatu sertifikat maka dapat
dilakukan permohonan pembatalan, dan pengadilan negerilah yang mempunyai
wewenang untuk menguji kebenaran sertifikat.
Perbuatan hukum peralihan hak milik atas tanah tidak lepas dengan
kaitannya juga dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta terkait
peralihan haknya. Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta otentik
harus memperhatikan pemenuhan syarat-syarat sahnya perjanjian, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUHPer) yakni:7
1. Kesepakatan mereka yang saling mengikatkan dirinya
Titik temu antara kehendak dan kemauan pihak yang satu dengan
kemauan atau kehendak pihak yang lain. Kehendak tentu harus diucapkan
atau diungkapkan dan dapat terjadi adanya peluang timbulnya suatu
masalah apabila pernyataan/ ungkapan tidak sesuai dengan kehendak.
Berikut 3 (tiga) teori yang dapat digunakan untuk penyelesaiannya, yakni:8
- Teori Kehendak (wilstheorie)
Teori ini menentukan apakah telah terjadi suatu perjanjian
adalah kehendak para pihak. Menurut teori ini perjanjian mengikat
kalau kedua kehendak telah saling bertemu dan perjanjian

6
Fredrik Mayore Saranaung, “Peralihan Hak atas Tanah Melalui Jual Beli Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,” Lex Crimen 1, vol.6, (Januari-Februari 2017), hlm. 13.

7
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
ed.1, cet. 3 (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.156.

8
Wibowo T. Tunardy, “Teori-Teori yang Digunakan untuk Menentukan Terjadinya
Kesepakatan” https://www.jurnalhukum.com/teori-teori-yang-digunakan-untuk-menentukan-
terjadinya-kesepakatan/, diakses 25 November 2019.
6

mengikat atas dasar bahwa kehendak mereka (para pihak) patut


dihormati. Prinsipnya menurut teori ini, suatu persetujuan yang
didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah. Untuk
adanya sepakat tetap harus ada pernyataan yang saling bertemu dan
pernyataan dan kehendak memang harus ada hubungan.
- Teori Pernyataan (Verklarinhgstheorie)
Menurut teori ini kebutuhan masyarakat menghendaki
bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang telah dinyatakan.
- Teori Kepercayaan (Vetrouwentstheorie)
Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan
secara obyektif dapat dipercaya. Unsur kepercayaan atau
pengharapan yang ditimbulkan oleh pernyataan seseorang turut
berperan menjadi unsur yang menentukan ada atau tidaknya
kesepakatan.
2. Kecakapan
Para pihak yang membuat suatu perjanjian adalah harus orang-
orang yang cakap menurut hukum, setiap orang yang telah dewasa atau
akil baliq dan sehat pikirannya.
Kecakapan ialah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, dalam hal ini perbuatan hukumnya adalah pembuatan
perjanjian. Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya usia 21 tahun atau
telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. Namun
terdapat pengecualian tidak semua orang diatas 21 tahun/ telah menikah
dapat dikatakan cakap hukum, pengecualian tersebut berlaku misalnya
pada orang yang dibawah pengampuan seperti orang gila, atau bahkan
karena boros. 9 Perihal kecakapan diatur secara lebih lanjut pada Pasal
1330 KUHPer.
3. Suatu pokok permasalahan tertentu
Obyek perjanjian umumnya adalah benda atau barang. Pokok

permasalahan tertentu yakni memiliki pengertian bahwa obyek suatu

9
Abdullah, Salim HS, dan Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum Of
Understanding (MOU) (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 86.
7

perjanjian yang dibuat harus jelas. Tidak ada perjanjian yang timbul tanpa

ada obyek tertentu yang mendasarinya. Perihal pokok permasalahan

tertentu diatur secara lebih lanjut dalam Pasal 1601 KUHPer.

4. Suatu sebab yang halal


Pada Pasal 1337 KUHPer mengatur mengenai sebab yang terlarang
(sebab yang dilarang oleh Undang-Undang atau bila bertentangan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum). Perjanjian sudah seharusnya tidak
dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena mengenai
orang-orang atau subyeknya yang akan mengadakan perjanjian, dan apabila kedua
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan
perjanjian. Dua syarat selanjutnya dinamakan syarat obyektif, karena mengenai
perjanjiannya itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu,
demikian juga dengan kedua syarat ini, apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian
itu dapat di batalkan demi hukum.
Selain syarat-syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer,
terdapat unsur-unsur perjanjian yang harus dipenuhi yakni:
1) Unsur Esensialia

Unsur Esensialia adalah unsur yang mutlak harus ada dalam

perjanjian. Unsur esensialia tersebut harus ada agar perjanjian dapat

dikatakan sah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur esensialia

perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta

(constructieve oordeel). Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

adalah unsur esensialia, apabila salah satu unsur tidak ada maka perjanjian

menjadi timpang dan dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai

akibat hukum.
8

2) Unsur Naturalia

Unsur Naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak

tidak mengaturnya. Unsur naturalia ini pasti ada dalam suatu perjanjian,

setelah unsur esensalia telah diketahui. Misalnya dalam hal perjanjian

yang memiliki unsur esensialia jual beli pasti akan terdapat unsur naturalia

berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual

dari cacat-cacat tersembunyi.

3) Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia adalah peristiwa yang dituangkan dalam suatu

perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa akan mengikat para pihak.

Unsur aksidentalia ini adalah juga sebagai unsur penting dalam suatu

perjanjian, sebab terjadi atau tidaknya suatu peristiwa dikemudian hari yang

dianggap sebagai suatu unsur aksidentalia dapat menyebabkan perjanjian

tersebut menjadi dapat dilaksanakan sesuai perjanjian atau dengan cara lain.10

Misalnya, dalam perjanjian jual beli barang, dengan pemberian uang panjar,

apabila pembeli batal membeli barang tersebut maka uang panjarnya hangus.

Apabila unsur esensialia dalam perjanjian tidak ada maka dianggap

perjanjian tersebut tidak ada, sedangkan unsur naturalia dan aksidentalia

adalah sebagai pelengkap perjanjian.

Terpenuhinya segala syarat-syarat sahnya perjanjian dan unsur-unsur


perjanjian menyebabkan segala perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku

10
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Anatomi Kontrak Berdasarkan
Hukum Perjanjian (Denpasar: Udayana Press, 2017), hlm. 36.
9

sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, sesuai dengan ketentuan


Pasal 1338 KUHPer.
Perjanjian peralihan hak milik atas tanah dibuat dihadapan pejabat yang
berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah maka bentuknya adalah
akta otentik.
Akibat hukum dari peralihan hak tersebut, maka seseorang akan
kehilangan hak terhadap sesuatu benda, dan orang lain mendapatkan hak tersebut.
Status kepemilikan hak milik atas tanah tentu akan berubah, maka sertipikat hak
milik yang sebelumnya telah ada harus segera dibalik nama atas nama pemilik
yang baru.
Warga Negara Asing yang sesudah berlakunya UUPA, memperoleh hak
milik atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat maupun karena percampuran harta
dalam perkawinan dalam jangka waktu yang ditentukan pada ketentuan Pasal 21
ayat 3 UUPA harus melepaskan hak tersebut. Hak milik yang tidak dilepaskan
dalam jangka waktu yang telah ditentukan mengakibatkan tanah tersebut jatuh
kepada Negara. Ketentuan tersebut diterapkan agar Warga Negara Indonesia dapat
memanfaatkan tanah hak miliknya untuk menunjang kehidupan, mengingat
pentingnya implementasi Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan dasar hukum utama dari hukum tanah atau agraria.
UUPA tidak menutup kemungkinan bagi Warga Negara Asing untuk
memperoleh hak atas tanah di Indonesia, namun dibatasi hanya dengan hak-hak
tertentu yakni hak pakai (bagi Warga Negara Asing yang memiliki izin tinggal di
Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan) diatur dalam Pasal 42
UUPA dan Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian,
Pelepasan, atau Pengalihan Hak atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Hak Sewa juga dapat
diperoleh Warga Negara Asing terhadap tanah di Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 45 UUPA.
Hingga saat ini tidak jarang ditemukan, Warga Negara Asing memperoleh
hak milik atas tanah baik karena pewarisan tanpa wasiat maupun karena
percampuran harta dalam perkawinan (perkawinan campuran).
10

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan


seorang wanita, sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan salah satu bentuk “perikatan” antara seorang pria dengan
seorang wanita.11Perikatan tersebut diatur dalam suatu hukum yang berlaku dalam
masyarakat, yang dikenal dengan istilah “hukum perkawinan” yakni sebuah
himpunan dari peraturan-peraturan yang mengatur dan memberi sanksi terhadap
tingkah laku manusia dalam perkawinan.
Tingkah laku manusia, dewasa ini banyak dipengaruhi berbagai faktor,
termasuk arus globalisasi. Arus globalisasi tidak hanya berdampak pada ruang
publik kehidupan masyarakat internasional, tetapi juga berdampak pada ruang
privat kehidupan masyarakat tersebut. Ruang privat tersebut merupakan akibat
dari tingkah laku manusia berkaitan dalam hal “perkawinan”. Globalisasi telah
membuat “makna perkawinan” menjadi semakin luas, karena melintasi batas
kedaulatan Negara, sehingga memerlukan hukum perdata internasional untuk
“penegakan hukumnya”. Perkawinan tersebut dikenal dalam masyarakat dengan
istilah “perkawinan campuran”.12
Perkawinan campuran dari segi yuridis dapat dibagi menjadi 4 (empat)
yakni: 13
1) Perkawinan campur antar golongan;
2) Perkawinan campur antar tempat;
3) Perkawinan campur antar negara; dan
4) Perkawinan campur antar agama.
Klasifikasi perkawinan campuran ini menunjukkan perkembangan
perkawinan campuran di Indonesia. Perkawinan campuran tidak lagi mengacu
pada pandangan klasik yang cenderung memahami perkawinan campuran
disebabkan oleh semata-mata karena perbedaan agama.
11
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, cet.3 (Jakarta: Mandar Maju, 2017), hlm.6.

12
Mariam Yasmin, “Akibat Perkawinan Campuran Terhadap Anak dan Harta Benda yang
Diperoleh Sebelum dan Sesudah Perkawinan (Studi Banding Indonesia-Malaysia),” (Tesis
Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hlm.1.

13
Ibid, hlm.2.
11

Perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP). Secara garis besar
unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:14
1. Perkawinan yang dilakukan oleh kedua belah pihak diwilayah hukum
Negara Republik Indonesia;
2. Kedua belah pihak masing-masing tunduk dalam hukum yang berlainan
karena adanya perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihaknya
berkewarganegaraan Indonesia.
Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perkawinan campuran
diperbolehkan di Indonesia. Namun, terjadinya perkawinan campuran dapat
membawa akibat hukum bagi kewarganegaraan suami/ istri (baik itu dapat
memperoleh kewarganegaraan Indonesia ataupun kehilangan
kewarganegaraannya) sebagaimana ditentukan pada Pasal 58 UUP.
Terjadinya perkawinan campuran menimbulkan salah satu masalah krusial
yang sering kali ditemui yakni perihal kepemilikan tanah bagi Warga Negara
Indonesia dalam harta bersama dengan Warga Negara Asing akibat terjadinya
perkawinan campuran (tanpa adanya perjanjian kawin).
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak
untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka,
perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 UUP yakni dibuat sebelum atau pada saat
perkawinan (pre-nupital agreement). Kini selain dikenalnya pre-nupital
agreement, Indonesia juga memperbolehkan adanya pembuatan perjanjian kawin
setelah perkawinan (post-nupital agreement) yakni sebagai dampak Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XII/2015 terhadap hukum perkawinan dan
hak kebendaan di Indonesia.15
Perkawinan campuran yang terjadi antara Warga Negara Asing dan Warga
Negara Indonesia tanpa membuat perjanjian kawin menyebabkan adanya harta

14
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, ed.1, cet. 3 (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015),
hlm. 181.

15
Nirmala, “Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XII/2015 Terhadap
Hukum Perkawinan dan Hak Kebendaan di Indonesia” https://business-
law.binus.ac.id/2017/05/31/dampak-putusan-mahkamah-konstitusi-no-no-69puuxii2015-terhadap-
hukum-perkawinan-dan-hak-kebendaan-di-indonesia/, diakses 26 November 2019.
12

bersama, harta yang diperoleh suami dan istri selama perkawinan tidak dikuasai
oleh masing-masing suami dan istri, melainkan berada di dalam kepemilikan
bersama. Tanah yang awalnya dimiliki Warga Negara Indonesia menjadi bagian
dari harta bersama yang juga dimiliki oleh Warga Negara Asing sehingga hal
tersebut dapat melampaui batas-batas prinsip kewarganegaraan/ nasionalitas 16 .
Hal tersebut menyebabkan Warga Negara Indonesia yang telah menikah dengan
Warga Negara Asing tidak dapat memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia
apabila tidak membuat perjanjian kawin.
Salah satu kasus konkret yang terjadi dan ditemukan oleh peneliti adalah
hak milik atas tanah yang diperoleh oleh Sven Hollinger karena hibah semasa
hidup dari almarhum istrinya, Nyonya Gusti Ayu Ita Dewi dalam Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 393/Pdt.G/2017/PN DPS.
Sven Hollinger merupakan Warga Negara Asing yang menikah dengan
Gusti Ayu Ita Dewi, Warga Negara Indonesia. Keduanya menikah tertanggal 1
Februari 1997, tanpa adanya perjanjian kawin dan dalam jangka waktu kurang
lebih 10 (sepuluh) tahun Gusti Ayu Ita Dewi menghibahkan 3 (tiga) buah Tanah
dengan Sertipikat Hak Milik atas namanya (sebelumnya diperoleh atas nama
Gusti Ayu Ita Dewi karena adanya jual beli hibah dengan adiknya, Drs. I Gusti
Rai Tantra) kepada Sven Hollinger, yang saat itu masih berkewarganegaraan
asing.
Perjanjian hibah dan kuasa untuk menghibahkan hak tanah Sertifikat Hak
Milik atas nama Gusti Ayu Ita Dewi kepada Sven Hollinger dibuat dihadapan
notaris yang sama yakni Notaris Dewa Putu Oka Diatmika, S.H. selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Badung, berikut berturut-turut:
1. Hibah tanah dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 6729/Kuta luas 1360 m2,
tertanggal 26 Oktober 1998;
2. Hibah tanah dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 1074/Kerobokan Kelod
luas 600 m2, tertanggal 5 Desember 2003; dan
3. Hibah tanah dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 1943/Kerobokan Kelod
luas 200 m2, tertanggal 11 Juli 2016.

16
Ira Rasjid, “Tinjauan Perjanjian Perkawinan Terhadap Perkawinan Campuran Warga
Negara Indonesia – Warga Negara Australia yang Dilangsungkan di New South Wales-Australia,”
(Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2009), hlm. 29.
13

Ketika Gusti Ayu Ita Dewi meninggal dan adiknya, Drs. I Gusti Rai Tantra
menggugat Sven Hollinger. Penggugat mengugat Sven Hollinger telah membujuk
kakaknya untuk menghibahkan tanah selama perkawinan, tanah tersebut mana
telah diperjanjikan dengan Penggugat agar tidak dipindah tangankan dengan cara
apapun kepada Sven Hollinger (tergugat). Namun, Gusti Ayu Ita Dewi nyatanya
telah memindahtangankan beberapa tanahnya kepada Sven Hollinger selama
perkawinan mereka berlangsung. Penggugat sebelumnya telah berulang kali
meminta 3 (tiga) bidang tanah hak milik yang dihibahkan kakaknya kepada Sven
Hollinger secara baik-baik agar diserahkan kembali dalam keadaan kosong dan
sukarela, namun Sven Hollinger menolak permintaan tersebut.
Pada kasus diatas dalam tingkat Pengadilan Negeri tertanggal 22
November 2017, majelis hakim mengabulkan gugatan dari Drs. I Gusti Rai Tantra
dan mengabulkan permohonan sita jaminan atas obyek sengketa.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penelitian tesis ini akan membahas dan
menganalisis mengenai perolehan tanah hak milik oleh Warga Negara Asing dari
Warga Negara Indonesia melalui hibah dalam perkawinan tanpa adanya perjanjian
kawin, oleh sebab itu tesis ini disampaikan dengan judul “Penyelesaian Sengketa
Kepemilikan Tanah Hasil Hibah dari Warga Negara Indonesia kepada
Warga Negara Asing dalam Perkawinan Campuran Berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 393/Pdt.G/2017/PN DPS”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan
rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana status kepemilikan Tanah oleh Warga Negara Asing yang
berasal dari hibah dalam perkawinannya dengan Warga Negara Indonesia
berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
393/Pdt.G/2017/PN DPS?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta-akta hibah yang telah diatas
namakan Warga Negara Asing tersebut berdasarkan Putusan Pengadilan
Negeri Denpasar Nomor 393/Pdt.G/2017/PN DPS?
14

3. Bagaimana bentuk pertanggung jawaban Pejabat Pembuat Akta Tanah atas


kelalaiannya memeriksa identitas pihak-pihak dalam pembuatan akta
hibah berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
393/Pdt.G/2017/PN DPS?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
1.1 Tujuan Umum
Membahas lebih detail mengenai hak atas tanah yang dapat
diperoleh Warga Negara Asing. Warga Negara Asing di Indonesia tidak
boleh memiliki tanah dengan status hak milik, Warga Negara Asing hanya
boleh memperoleh tanah dengan status hak pakai dan hak sewa.
1.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan menganalisis perihal status kepemilikan Tanah
oleh Warga Negara Asing yang berasal dari hibah dalam
perkawinannya dengan Warga Negara Indonesia berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 393/Pdt.G/2017/PN
DPS.
2. Mengetahui dan menganalisis perihal akibat hukum terhadap akta-
akta hibah yang telah diatas namakan Warga Negara Asing tersebut
berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor
393/Pdt.G/2017/PN DPS.
3. Mengetahui dan menganalisis perihal bentuk pertanggung jawaban
Pejabat Pembuat Akta Tanah atas kelalaiannya memeriksa identitas
pihak-pihak dalam pembuatan akta hibah berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 393/Pdt.G/2017/PN DPS.
2. Manfaat Penelitian
2.1 Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan serta memperluas wawasan pada bidang
hukum agraria. Menitik beratkan khususnya pada perihal status hak atas
tanah yang dapat dimiliki oleh subyek-subyek hukum di Indonesia.
15

2.2 Manfaat Praktis


Menghimbau para notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah agar
dalam menjalankan jabatannya senantiasa bertindak amanah, jujur,
saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumber pengetahuan dan pedoman serta berguna bagi masyarakat umum
dalam menyelesaikan masalah terkait kepemilikan tanah di Indonesia.

D. Definisi Operasional
Menghindari adanya kesalahpahaman atas berbagai istilah yang digunakan
dalam tesis ini, maka penulis akan memberikan definisi istilah-istilah yang
dipakai, antara lain:
1. Sengketa
Suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling
mempertahankan persepsinya masing-masing, di mana perselisihan tersebut
dapat terjadi karena adanya suatu tindakan wanprestasi dari pihak-pihak atau
salah satu pihak dalam perjanjian.17
2. Tanah
Tanah adalah permukaan bumi.18
3. Hak Milik atas Tanah
Hak yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai
seseorang atas tanah.19
4. Hibah
Suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu

17
Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1982),
hlm. 103.

18
Indonesia, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun
1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 4 ayat (1).

19
Ibid, Ps. 20 ayat (1).
16

barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.20


5. Perkawinan Campuran
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan,karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.21

E. Metode Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Penelitian ini berbentuk yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang
menitik beratkan kepada penggunaan bahan pustaka sebagai sumber
penelitiannya, penelitian ini tidak memakai pengamatan maupun wawancara
terhadap responden.
2. Tipologi Penelitian
Tipologi penelitian dapat dilihat dari berbagai sudut, apabila ditinjau
dari sudut bentuknya maka penelitian ini merupakan penelitian preskriptif.
Penelitian preskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk memberikan
jalan keluar atau saran dalam mengatasi suatu permasalahan. 22
Penelitian preskriptif tesis ini bertujuan untuk memberikan jalan keluar
(penyelesaian) atas sengketa kepemilikan tanah oleh Warga Negara Asing dari
hasil hibah selama perkawinannya dengan Warga Negara Indonesia.
3. Jenis Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dari studi kepustakaan sehingga
dapat diidentifikasi bahwa data yang digunakan adalah data sekunder.
Penelitian menggunakan data sekunder memiliki keuntungan antara lain:23

20
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh
R.Subekti dan R. Tjitrosudibio. (Jakarta: Balai Pustaka, 2009), Ps. 1666.

21
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974,
TLN No. 3019, Ps. 57.

22
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.

23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ed.1, cet. 19 (Depok:
Rajawali Pers, 2019), hlm. 35-36.
17

a. Menghemat tenaga serta biaya


Analisa terhadap data sekunder dapat menghemat biaya
penelitian, serta memungkinkan penelitian yang mendetail terhadap
ruang lingkup bidang yang seluas-luasnya tanpa membutuhkan tenaga
yang besar.
b. Memperkokoh dan memperluas dasar-dasar untuk menarik generalisasi
hasil penelitian
Misalnya dalam hal perbandingan data sekunder, dapat ditarik
generalisasi yang lebih luas dari hasil penelitian tersebut.
c. Dipergunakan sebagai bahan untuk menganalisis hasil penelitian
terdahulu
Penelitian yang sesungguhnya akan dapat dilakukan dengan
dasar ilmiah yang lebih kuat lagi.
d. Menimbulkan gagasan baru dalam mengembangkan data yang telah
ada sebelumnya
Bermula dari rasa tidak puas terhadap data sekunder yang
tersedia, timbul gagasan baru yang melengkapi data sekunder yang
telah ada sebelumnya.
e. Pencarian data sekunder tidak ada terikat waktu dan tempat
Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-
buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan.
4. Jenis Bahan Hukum
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari bahan hukum
(dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) sebagai berikut:
1) Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
peraturan perundang-undangan dan putusan yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Bahan hukum primer tersebut adalah bahan
hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat
dan digunakan sebagai landasan hukum.
2) Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bertujuan untuk
mencari landasan teori atau konsep. Bahan hukum sekunder yang
18

paling utama adalah buku teks karena memuat prinsip dasar ilmu
hukum dan pandangan klasik dari para ahli hukum. Bahan hukum
sekunder yang dipakai dalam pembuatan tesis ini adalah buku-buku,
tesis-tesis, artikel-artikel ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
3) Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder. Bahan hukum tersier yang dipakai dalam tesis ini adalah
buku-buku pedoman yang berkaitan dengan masalah yang diteliti,
buku-buku pedoman tersebut berguna sebagai panduan penulisan tesis
ini.
5. Alat Pengumpulan Data
Secara umum, terdapat 3 (tiga) alat pengumpulan data dalam penelitian
yakni studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan
wawancara atau interview.24
Pada bentuk penelitian yuridis normatif, alat pengumpulan data yang
digunakan adalah studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara terhadap
informan atau narasumber bersifat opsional sebagai pendukung dari studi
dokumen atau bahan pustaka.
Penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data studi dokumen,
tanpa melakukan interview atau wawancara baik dengan informan maupun
narasumber.
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang
dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan content analysis.25
Peneliti melakukan studi dokumen untuk penulisan tesis ini di
Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (Crystal Of Knowledge),
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Trisakti, dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Tarumanegara. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor

24
Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, hlm. 29.

25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3 (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2015), hlm. 21.
19

393/Pdt.G/2017/PN DPS yang merupakan kajian dari penelitian ini diperoleh


dari arsip Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui
website.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan analisis kualitatif. Penelitian dengan teknik analisis kualitatif ini
mengelola keseluruhan data yang terkumpul baik dan dianalisis dengan cara
menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema,
dikategorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara yang satu dengan
yang lain, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data, serta dilakukan
penafsiran dari perspektif dan pengetahuan peneliti setelah memahami
keseluruhan kualitas data.26
7. Bentuk Hasil Penelitian
Penelitian ini memiliki bentuk hasil penelitian preskriptif-analitis,
yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.27

F. Sistematika Penulisan
Judul tesis ini adalah “Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Hasil
Hibah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing dalam
Perkawinan Campuran Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar
Nomor 393/Pdt.G/2017/PN DPS”.
Sistematika penulisan dalam tesis ini terdiri dari 3 (tiga) bab dan setiap
bab dibagi menjadi beberapa sub bab. Berikut merupakan sistematika setiap bab:

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat antara lain mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan maksud penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

26
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm. 134.

27
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), hlm.43.
20

BAB II STATUS KEPEMILIKAN TANAH HASIL HIBAH DALAM


PERKAWINAN CAMPURAN
Bab ini memuat antara lain mengenai teori-teori, obyek penelitian, dan analisis.
Teori-teori yang akan dibahas adalah teori-teori hukum agraria berkaitan dengan
hak milik atas tanah di Indonesia, obyek penelitian berupa tanah hak milik yang
diperoleh Warga Negara Asing melalui hibah dalam perkawinan campuran, serta
analisis terhadap penyelesaian sengketa Putusan Pengadilan Negeri Denpasar
Nomor 393/Pdt.G/2017/PN DPS.

BAB III PENUTUP


Pada bab terakhir ini peneliti akan menyajikan simpulan dan saran dari segala
yang telah diuraikan dan dibahas dari seluruh isi judul tesis tersebut.
21

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku:

Abdullah, Salim HS, dan Wiwiek Wahyuningsih. Perancangan Kontrak &


Memorandum Of Understanding (MOU). Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra. Anatomi Kontrak
Berdasarkan Hukum Perjanjian. Denpasar: Udayana Press, 2017.

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga
di Indonesia. Ed.1. Cet. 3. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2015.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan,


Hukum Adat, Hukum Agama. Cet.3. Jakarta: Mandar Maju, 2017.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-


Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1. Jakarta: Djambatan,
2008.

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak


Komersial. Ed.1. Cet. 3. Jakarta: Kencana, 2013.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia,


1982.

Mamudji, Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 2004.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Harta Kekayaan Hak-Hak
Atas Tanah. Ed. 1, Cet. 5. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3. Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia, 2015.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Ed.1. Cet. 19.
Depok: Rajawali Pers, 2019.

Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2001.
22

II. Jurnal:

Santoso, Urip. “Kepastian Hukum Wakaf Tahah Hak Milik.” Perspektif 2, vol. 29
(Mei 2014). Hlm.74.

Saranaung, Fredrik Mayore. “Peralihan Hak atas Tanah Melalui Jual Beli Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.” Lex Crimen 1. Vol.6 (Januari-
Februari 2017), hlm. 13.

III.Tesis:

Barata, Michael Wisnoe. “Kepemilikan Hak atas Tanah Bagi Warga Negara
Asing dan Kewarganegaraan Ganda.” Tesis Magister Universitas Indonesaia,
Depok, 2012.

Rasjid, Ira. “Tinjauan Perjanjian Perkawinan Terhadap Perkawinan Campuran


Warga Negara Indonesia – Warga Negara Australia yang Dilangsungkan di
New South Wales-Australia.” Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta,
2009.

Yasmin, Mariam. “Akibat Perkawinan Campuran Terhadap Anak dan Harta


Benda yang Diperoleh Sebelum dan Sesudah Perkawinan (Studi Banding
Indonesia-Malaysia).” Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

IV. Peraturan Perundang-undangan:

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh


R.Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.

Indonesia. Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5


Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043.

Indonesia. Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun


1974, TLN No. 3019.

Indonesia, Undang-Undang Rumah Susun, UU No. 20 Tahun 2011, LN No. 108


Tahun 2011, LN No. 5252.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tetang Perwakafan Tanah Milik. PP No. 28


Tahun 1977.

Indonesia. Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
23

Nasional Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan. PMNA No. 9 Tahun 1999.

Indonesia. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.


Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak
atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia. PMNA No. 29 Tahun 2016.

V. Putusan:

Mahkamah Konstitusi Rupblik Indonesia. “Putusan No. 69/PUU/XII/2015.”

Pengadilan Negeri Denpasar. “Putusan No. 393/Pdt.G/2017/PN DPS.”

VI. Internet:

Melianawaty. “Hak Milik atas Tanah”


https://www.kompasiana.com/melianawaty/5500006ea333117b6f50f8f1/hak-
milik-atas-tanah-oleh-melianawaty. Diakses 26 November 2019.

Nirmala. “Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XII/2015


Terhadap Hukum Perkawinan dan Hak Kebendaan di Indonesia”
https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/dampak-putusan-mahkamah-
konstitusi-no-no-69puuxii2015-terhadap-hukum-perkawinan-dan-hak-
kebendaan-di-indonesia/. Diakses 26 November 2019.

Tunardy, Wibowo T. “Teori-Teori yang Digunakan untuk Menentukan Terjadinya


Kesepakatan” https://www.jurnalhukum.com/teori-teori-yang-digunakan-
untuk-menentukan-terjadinya-kesepakatan/. Diakses 25 November 2019.

Anda mungkin juga menyukai