Anda di halaman 1dari 6

A.

Latar Belakang
Hati memiliki berat sekitar 1200-1500 gram dan merupakan organ kelenjar
terbesar dalam tubuh. Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen, menyatu dengan
kandung empedu dan saluran bilier. Darah yang mengalir ke hati berasal dari sirkulasi
sistemik yang masuk melalui arteri hepatica. Darah tersebut ditampung dalam sistem
porta yang mengandung zat makanan yang telah diabsorpsi usus. Secara mikroskopis,
hati tersusun dari lobulus dengan struktur serupa yang terdiri dari hepatosit, saluran
sinusoid yang dikelilingi oleh endotel vaskuler dan sel kupffer yang merupakan
bagian dari sistem retikuloendotelial (Tortora, 2018). Hati berperan dalam
metabolisme glukosa dan lipid, membantu proses pencernaan, absorbsi lemak, dan
vitamin yang larut dalam lemak, serta detoksifikasi tubuh terhadap zat toksik (Hall &
Hall, 2020).
Pemeriksaan fungsi hati dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan atau
penyakit hati, membantu menegakkan diagnosis, memperkirakan keparahan penyakit,
membantu mencari penyebab penyakit, menilai hasil pengobatan, membantu
mengarahkan upaya diagnostik selanjutnya serta menilai prognosis penyakit dan
disfungsi hati. Jenis uji fungsi hati dapat dibagi menjadi 3 besar yaitu penilaian fungsi
hati, pengukuran aktivitas enzim, dan pencarian etiologi penyakit. Pada penilaian
fungsi hati diperiksa fungsi sintesis hati, eksresi, dan detoksifikasi. Interpretasi hasil
pemeriksaan fungsi hati tidak hanya menggunakan satu parameter saja tetapi juga
menggunakan gabungan beberapa hasil pemeriksaan, karena keutuhan sel hati
dipengaruhi juga faktor ekstrahepatik. Penilaian tersebut mencakup pemeriksaan
enzim hepar (seperti SGPT dan SGOT) dan pemeriksaan bilirubin (Rosida, 2016).
SGPT atau Alanin Aminotransferase (AST) merupakan enzim aminotransferase
yang berfungsi dalam memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa-
ketoglutamat. SGPT adalah enzim yang spesifik dan memiliki konsentrasi tinggi
dalam hepatosit. Kerusakan pada hati akan menyebabkan enzim hati tersebut lepas ke
dalam aliran darah sehingga kadar dalam darah meningkat dan menandakan gangguan
fungsi hati. Pemeriksaan enzim menjadi satu-satunya petunjuk adanya kelainan dini
adanya fungsi hati. Sampel yang digunakan dalam pemeriksaan SGPT adalah sampel
serum. Serum adalah bagian darah yang tidak mengandung sel-sel darah dan faktor-
faktor pembekuan darah. Serum diperoleh dari spesimen darah yang tidak
ditambahkan antikoagulan dengan cara memisahkan darah menjadi dua bagian dengan
melakukan sentrifugasi, setelah darah didiamkan hingga membeku kurang lebih 15
menit (Rustini & Astika, 2020).
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau juga dinamakan AST
(Aspartat Aminotransferase) merupakan enzim yang dijumpai dalam otot jantung dan
hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan
pankreas. Konsentrasi rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera
seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Kadar
SGOT/AST biasanya dibandingkan dengan kadar enzim jantung lainnya, seperti CK
(creatin kinase), LDH (lactat dehydrogenase). Pada penyakit hati, kadarnya akan
meningkat 10 kali lebih dan akan tetap demikian dalam waktu yang lama. SGOT/AST
serum umumnya diperiksa secara fotometri atau spektrofotometri, semi otomatis
menggunakan fotometer atau spektrofotometer, atau secara otomatis menggunakan
chemistry analyzer. Nilai rujukan untuk SGOT/AST adalah laki-laki 0 – 50 U/L dan
perempuan 0 – 35 U/L (Lestari & Santhi, 2017).
Bilirubin merupakan pigmen utama empedu berasal dari hemoglobin yang
dilepas oleh sel darah merah yang rusak kemudian dibawa ke hati dan berikatan serta
dikeluarkan melalui empedu. Bilirubin, konstituen utama empedu sama sekali tidak
berperan dalam pencernaan, tetapi merupakan salah satu dari beberapa produk sisa
yang dieksresikan dalam empedu. Bilirubin dibagi menjadi 2 jenis yaitu bilirubin
indirek dan bilirubin direk. Pemeriksaan bilirubin dibagi menjadi 3 yaitu bilirubin
total, bilirubin direk dan bilirubin indirek yang dapat diketahui dari selisih antara
bilirubin total dan bilirubin direk (Seswoyo, 2016).
B. Aplikasi Klinis
1. Hepatitis
Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati.
Hampir semua kasus hepatitis virus akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis
virus yaitu: virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C
(HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Jenis virus lain yang
ditularkan pascatransfusi seperti virus hepatitis G dan virus TT telah dapat
diidentifikasi akan tetapi tidak menyebabkan hepatitis. Semua jenis hepatitis virus
yang menyerang manusia merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B, yang
merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda dalam sifat
molecular dan antigen, akan tetapi semua jenis virus tersebut memperlihatkan
kesamaan dalam gejala klinis dan perjalanan penyakitnya. Gambaran klinis
hepatitis virus sangat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai yang sangat berat
yaitu hepatitis fulminan yang dapat menimbulkan kematian. Selain itu, gejala juga
bisa bervariasi dari infeksi persisten subklinis sampai penyakit hati kronik
progresif cepat dengan sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler yang umum
ditemukan pada tipe virus yang ditransmisi melalui darah (HBV, HCV, dan HDV)
(Wahyudi, 2017).
Indonesia yang merupakan negara daerah tropis dengan jumlah penduduk
terbanyak keempat di dunia, dengan pengidap Hepatitis B nomor 2 terbesar setelah
Myanmar, dan diantara negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region).
Berdasarkan hasil dari riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), studi dan uji darah donor
di Palang Merah Indonesia (PMI) maka diperkirakan di antara 100 orang penduduk
Indonesia, 10 di antaranya telah terinfeksi Hepatitis B atau C. Sehingga saat ini
diperkirakan terdapat 28 juta penduduk indonesia yang terinfeksi hapatitis B dan C,
14 juta di antaranya berpotensi untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis 1,4 juta
orang berpotensi untuk menderita Kanker hati. Masalah tersebut tentunya akan
berdampak pada kesehatan masyarakat secara umum, yang berdampak pada
produktifitas, umur harapan hidup dan dampak sosial ekonomi lainnya.
Berdasarkan Resolusi WHA 63 dalam Sidang World Health Assembly (WHA) ke
63 di Geneva menyepakati bahwa ada 18 hal tentang Hepatitis Virus dan
menyatakan bahwa Hepatitis merupakan penyakit prioritas duni serta menyerukan
semua negara anggota WHO untuk melaksanakan pencegahan dan penanggulangan
penyakit Hepatitis secara komprehensif (Siswanto & Octavianur, 2020).
2. Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang menyebabkan proses difus
pembentukan nodul dan fibrosis. Prevalensi sirosis hepatis di dunia diperkirakan
100 (kisaran 25-100)/100.000 penduduk, tetapi hal tersebut bervariasi menurut
negara dan wilayah. Sirosis hepatis menempati urutan ke-14 penyebab tersering
kematian pada orang dewasa di dunia. Menurut laporan rumah sakit umum
pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% dari
seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam. Penyebab utama sirosis
hepatis di negara barat adalah alkohol dan Hepatitis C, sedangkan di Indonesia
penyebab utama sirosis hepatis adalah Hepatitis B (40%-50%) dan Hepatitis C
(30%-40%) (Lovena et al., 2017).
Sirosis hepatis secara klinis terbagi menjadi sirosis hepatis kompensata dan
sirosis hepatis dekompensata, perubahan dari kompensata menjadi dekompensata
disebabkan oleh insufisiensi sel hati dan hipertensi portal. Hal tersebut akan
memengaruhi tes fungsi hati dan pemeriksaan hematologi, beberapa diantaranya
yaitu kadar albumin, jumlah trombosit, dan kadar kreatinin. Albumin merupakan
protein yang hanya disintesis di hati sehingga kadarnya akan memburuk sesuai
perburukan hati. Jumlah trombosit pada sirosis hepatis biasanya akan mengalami
penurunan dan akan meningkatkan risiko perdarahan pada pasien sirosis hepatis.
Pengukuran serum kreatinin dapat digunakan untuk menilai fungsi ginjal pada
pasien sirosis hepatis (Lovena et al., 2017).
3. Karsinoma Sel Hati
Karsinoma sel hati (KSH) merupakan kanker primer hati yang paling sering
ditemukan dan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian tertinggi
akibat kanker di seluruh dunia. Penyakit ini merupakan komplikasi akhir yang
serius dari hepatitis kronis, terutama sirosis yang terjadi karena virus hepatitis B, C
dan hemochromatosis. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi terjadinya
kanker hati adalah AFP dan PIVKA II Penderita KSH umumnya memiliki
prognosis yang buruk karena pada umumnya penyakit ini baru terdiagnosis pada
stadium lanjut sehingga terapi yang sifatnya kuratif, seperti reseksi atau
transplantasi hati, tidak lagi dapat dilakukan. Perjalanan alamiah KSH juga lebih
kompleks dibandingkan kanker padat lain karena terdapat interaksi antara tumor
dengan kondisi jaringan hati di sekitarnya yang seringkali sudah dalam kondisi
sirosis. Sebagai contoh, apabila ditemukan tumor berukuran kecil pada pasien
sirosis hati dengan fungsi hati yang buruk, maka reseksi yang sifatnya kuratif tidak
dapat dilakukan (Hasan et al., 2020).
4. Kolestasis dan Jaundice
Kolestasis adalah hambatan aliran empedu yang menyebabkan terganggunya
sekresi berbagai substansi yang seharusnya dieksresikan ke duodenum, sehingga
bahan-bahan tersebut tertahan di dalam hati dan menimbulkan kerusakan hepatosit.
Secara klinis bayi terlihat kuning dan parameter yang paling banyak serta praktis
untuk digunakan adalah kadar bilirubin direk yaitu kadar bilirubin direk serum : >
1,5 mg/dl atau 15% dari bilirubin total yang meningkat. Bila terjadi gangguan
aliran bilirubin baik pada saluran intra maupun ekstra hepatal berakibat
meningkatnya bilirubin yang terkonjugasi dalam darah yang menimbulkan
perubahan urin yang menjadi lebih tua dan tidak ada/sedikit bilirubin yang masuk
dalam usus sehingga warna feses menjadi pucat seperti dempul. Hambatan saluran
empedu juga menyebabkan rembesan cairan empedu dalam jaringan hati yang
dapat merusak sel-sel hepatosit yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
sirosis bilier (Reny Widayanti, 2018).
Kolestasis secara klinis dibedakan atas kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik. Menghadapi bayi dengan kolestasis, yang pertama kali perlu
disingkirkan adalah kemungkinan atresia bilier. Insidens atresia bilier adalah 1:
10.000-15.000 kelahiran hidup. Salah satu faktor yang menentukan prognosis
atresia bilier adalah usia saat operasi portoenterostomi dilakukan. Bila operasi
dilakukan sebelum usia 8 minggu angka bebas ikterus dapat mencapai 80%. Bila
dioperasi setelah usia 12 minggu angka bebas ikterus menurun menjadi sekitar
20% karena umumnya sudah terjadi sirosis bilier yang irreversible. Ikterus yang
melanjut lebih dari 14 hari atau ikterus yang disertai perubahan urin yang menjadi
lebih tua atau feses yang berwarna pucat atau dempul perlu pemeriksaan lebih
lanjut dan perlu disingkirkan kemungkinan kolestasis (hiperbilirubinemia
terkonjugasi). Bila kolestasis, perlu evaluasi lebih lanjut untuk mendeteksi atresia
bilier sedini mungkin serta untuk mengetahui etiologi lainnya (Reny Widayanti,
2018).
5. Abses Hati
Abses hati adalah penumpukan jaringan nekrotik dalam suatu rongga
patologis yang dapat bersifat soliter atau multipel pada jaringan hati. Penyakit ini
telah ditemukan sejak zaman Hipokrates, merupakan penyakit serius yang
membutuhkan diagnosis dan tata laksana yang cepat. Abses hati umumnya
dikelompokkan berdasarkan etiologi, yaitu abses hati piogenik dan abses hati
amuba, yang memberikan gambaran klinis hampir sama sehingga diagnosis
etiologi sulit ditegakkan. Selama 40 tahun terakhir, telah banyak perubahan dan
perkembangan dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan abses hati. Meskipun
demikian, mortalitas abses hati masih tinggi yaitu berkisar antara 10-40% (Bisanto
& Firman, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Bisanto, J., & Firman, K. 2016. Abses Hati pada Anak. Sari Pediatri, 7(1), 50-6.
Hall, J. E., & Hall, M. E. 2020. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology e-Book.
Elsevier Health Sciences.
Hasan, I., Loho, I. M., Lesmana, C. R. A., & Gani, R. A. 2020. Fungsi hati dan jenis terapi
merupakan prediktor kesintasan pasien karsinoma sel hati. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, 7(3), 149-153.
Lestari, AA.W., dan Santhi, DGD. D. 2017. Diktat Praktikum Kimia Klinik III. Labratorium
Patologi Klinik: Universitas Udayana.
Lovena, A., Miro, S., & Efrida, E. 2017. Karakteristik Pasien Sirosis Hepatis di RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(1), 5-12.
Reny Widayanti, N. (2018). Kesesuaian Pemeriksaan Serologi Cmv Dan Pcr Cmv Jaringan
Hati Pada Kolestasis Bayi (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
Rustini, N. K., & Astika Dewi, N. N. 2020. Gambaran Kadar Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase (Sgpt) Pada Petugas Spbu 54.801. 45 Kota Denpasar (Doctoral
dissertation, POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR).
Seswoyo. 2016. Pengaruh Cahaya Terhadap Kadar Bilirubin Total Serum Segera & Serum
Simpan Pada Suhu 20-25ºC Selama 24 Jam. Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah, Semarang.
Siswanto, S., & Octavianur, E. 2020. Epidemiologi Penyakit Hepatitis. Mulawarman
University Press: Samarinda
Tortora, G. J., & Derrickson, B. H. 2018. Principles of Anatomy and Physiology. John Wiley
& Sons.
Wahyudi, H. 2017. Hepatitis. Tinjauan Pustaka: SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP
Sanglah

Anda mungkin juga menyukai