Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM PERDATA

PERKAWINAN DAN KELUARGA

Dosen Suparwi, SH, MH

Oleh:

Nama : Pambudi Suryo Utomo

NPM : 2020010053

Mata Kuliah : Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM BATIK SURAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
prempuan untuk waktu yang lama sedangkan keluarga adalah pertalian beberapa
orang yang memiliki keluhuran yang sama atau pertalian kekeluargaan karena
terjadi perkawinan.

Sumber-sumber hukum perdata di Indonesia mengenai hukum keluarga dan


hukum perkawinan dimulai dari jaman Hindia Belanda dimana hukum perdata
Indonesia di atur dalam Burgelijk Wetboek (atau kitab undang-undang hukum
perdata belanda). Kemudian terus berkembang hingga disahkan beberapa
Undang-undang baru yang secara khusus mengatur tentang perkawinan dan
hukum keluarga.

Dalam hukum keluarga sendiri terdiri dari beberapa definisi dan menurut
beberapa ahli salah satu definisi keluarga adalah perkawinan.Hukum perkawinan
di Indonesia bersifat pluralism atau menggunakan beberapa dasar hukum.

Pada hakekatnya hukum keluarga dan hukum perkawinan dalam beberapa


hal saling berterikatan.

1.2 Perumusan Masalah


Dari pembahasan di atas dapat di uraikan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah pengertian dari hukum perkawinan dan hukum keluarga ?
2. Sumber dan asas hukum apa saja yang menjadi dasar hukum perkawinan
dan hukum keluarga di Indonesia ?
3. Apakah ruang lingkup hukum perdata keluarga dan hukum perdata
perkawinan ?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Pengantar Hukum Perdata serta untuk memberikan informasi dan
menambah pengetahuan serta wawasan tentang hukum perdata perkawinan dan
hukum perdata keluarga.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :


1. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian hukum perdata tentang
keluarga dan perkawinan.
2. Untuk menjelaskan sumber dan asas hukum yang menjadi dasar hukum
perdata di Indonesia tentang perkawinan dan keluarga.
3. Untuk menjelaskan ruang lingkup dari hukum perdata tentang hukum
keluarga dan hukum perkawinan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

2.1.1 Pengertian Hukum Perkawinan


Hukum perkawinan sebagai bagian dari hukum perdata adalah
peraturan peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum
serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang
wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut
peraturan-peraturan tang ditetapkan dalam undang-undang.

Sedangkan perkawinan sendiri meiliki pengertian pertalian yang


sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama.

Menurut para ahli tentang pengertian perkawinan :


a. Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan
wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang
(yuridis) dan kebanyakan religious. (Soetopo Prawirohamidjojo).
b. Perkawinan adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi
hajat jenisnya menurut yang di atur oleh syariah (Kaelany H.D)

2.1.2 Pengertian Hukum Keluarga


Hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang mengenai
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,
perwalian pengampuan, keadaan tak hadir).
Sedangkan pengertian hukum keluarga menurut para ahli adalah :
a. Hukum keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan(Ali
Afandi).
b. Hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterapkan
berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara
umum diyakini memiliki aspek religious menyangkut peraturan
keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban
dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian dan
lain-lain(Tahrir Mahmud).
c. Hukum keluarga merupakan keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik
hukum tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan hukum
mengenai perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan
perwalian(Salim H.S).

2.2 Sumber dan Asas Hukum


2.2.1 Hukum Perkawinan
Di Indonesia pelaksanaan hukum perkawinan masih pluarisme,
artinya di Indonesia berlaku tiga macam sistem hukum perkawinan, yaitu :

1. Hukum Perkawinan menurut Hukum Perdata Barat (BW), diperuntukan


bagi WNI keturunan asing atau yang beragama Kristen.
2. Hukum Perkawinan menurut Hukum Islam, diperuntukan bagi WNI
keturunan atau pribumi yang beragama Islam.
3. Hukum Perkawinan menurut Hukum Adat, diperuntukan bagi masyarakat
pribumi yang masih memegang teguh hukum adat.
Keadaan tersebut terus berlanjut hingga awal kemerdekaan dan terus
berlanjut hingga dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun1946
Tentang Pencatatan Nikah.

Dalam Hukum Perdata Barat tidak ditemukan definisi dari perkawinan


(huwelijk) sendiri dalam Hukum Perdata Barat digunakan dalam dua arti,
yakni :

1. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan “melasungkan perkawinan”


(pasal 104 BW). Selain itu juga dalam arti “setelah perkawinan” (pasal
209 sub 3 BW). Dengan demikian maka perkawinanadalah suatu
perbuatan hukum yang dilakukan pada saat tertentu.
2. Sebagai “suatu keadaan hukum” yaitu keadaan bahwa seorang pria dan
seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.

Perkawinan dalam hukum Islam disebut “Nikah” ialah melakukan suatu


aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara dua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih
sayang dan ketentraman dengan cara yang di ridhoi Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 24 :

“Dan dihalalkan kepada kamu mengawini perempuan-perempuan selain dari


yang tersebut itu, jika kamu menghendaki mereka dengan mas kawin untuk
perkawinan dan bukan untuk perbuatan jahat”.(Q.S An Nisa :24)
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Perkawinan dalam masyarakat adat pada umumnya didahului dengan


lamaran, tetapi ada juga perkawinan tanpa lamaran.

Perkawinan adat di Indonesia terbagi atas tiga kelompok : pertama ,


perkawinan adat berdasarkan masyarakat kebapakan (Patrilial), kedua, perkawinan
adat berdasarkan masyarakat keibuan (matrilial), ketiga, perkawinan adat berdasarkan
masyarakat keibu bapakan (panrental).

2.2.2 Hukum Keluarga


Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu : sumber hukum perdata keluarga tertulis dan sumber
hukum perdata keluarga tidak tertulis.

Sumber hukum keluarga tidak tertulis umumnya berasal dari norma-


norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta di taati oleh sebagian
besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia

Sedangkan hukum perdata keluarga tertulis berasal dari berbagai


peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).

Sumber hukum tertulis yang menjadi rujukan di Indoneia meliputi :


1. Kitab Undang-Undang Hukum perdata (Burgerlijk Wetboek).
2. Peraturan Perkawinan Campuran(Regelijk op de Gemengdebuwelijk),
Stb 1898 – 158.
3. OrdonansiPerkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon
(Huwelijke Ordonnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 – 74.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,
dan Rujuk (beragam Islam)
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Thun 1990 tentang izin perkawinan dan Perceraian bagi PNS.
8. Intruksi Presiden Tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam di
Indonesia yang Berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.

2.3 Ruang Lingkup


2.3.1 Hukum Perkawinan
a. Syarat-syarat untuk dapat syahnya perkawinan :
1. Kedua pihak harus mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-
undang, yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang
prempuan 15 tahun.
2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak.
3. Untuk seorang prempuan yang pernah kawin harus lewat 300 hari
dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama.
4. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak.
5. Untuk pihak yang masih dibawah umur, harus ada izin dari orang
tua atau walinya.

Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan bahwa seorang


tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meski dengan saudara tiri,
seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman
dilarang kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus
memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing
pihak,. Jika ada wali, wali inipun harus memberikan izin.

b. Hak dan Kewajiban suami istri


Suami istri harus setia satu sama lain, bantu membantu, berdiam
bersama- sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik
anak.

Dalam undang-undang suami ditetapkan menjadi kepala atau


pengurusnya. Suami pengurus kekayaan mereka bersama juga mengurus
kekayaan si istri, menentukan tempat kediaman bersama, melakukan
kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan hukum kepada
siistri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum.

c. Percampuran kekayaan

Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh active dan pasiva


baik yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun
yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan. Kekayaan
bersama itu oleh undang-undang di sebut “gemeenschap”.

Sejak perkawinan terjadi, percampuran kekayaan suami dan kekayaan


istri telah terjadi selama tidak ada perjanjian apa-apa keadaaan ini terus
terjadi selama perkawinan.

Pasal 140 ayat 3, mengizinkan untuk memperjanjikan didalam


perjanjian perkawinan, bahwa suami tidak diperbolehkan menjual atau
menggadaikan benda-benda yang jatuh dalam gameenschap dari pihak si
istri dengan tiada izin si istri.

d. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian ini menurut undang-undang harus diadaka sebelum
pernikahan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris.
Mengenai bentuk da nisi perjanjian tersebut sebagaimana halnya
dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, kepada kedua belah
pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua larangan
yang termuat dalam undang-undang dan tidak melanggar ketertiban umum
atau kesusilaan.

Pertama-tama ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang


menghapuskan suami sebagai kepala didalam perkawinan atau kekuasaanya
sebagai ayah atau akan menghilangkan hak-hak seorang suami atau istri
yang ditinggal mati. Selanjutnya ada larangan untuk membuat suatu
perjanjian bahwa sisuami akan memikul suatu bagian yang lebih besar
dalam active daripada bagiannya dalam passive. Maksudnya larangan ini,
agar jangan sampai suami istri itu menguntungkan diri untuk kerugian
pihak-pihak ketiga.

e. Perceraian
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim,
atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

Perkawinan dikatakan bercerai apabila salah satu pihak meninggal,


jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat ijin hakim, bilamana salah
satu pihak pergi tanpa kabar selama sepuluh tahun tanpa ada kabar.

Undang-undang tidak memperbolehkan perceraian dengan


permufakatan saja antara suami dan istri, tetapi harus ada alas an yang sah.
Alasan-alasan ini yaitu :

1. Zina
2. Ditinggalkan dengan sengaja
3. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan
melakukan suatu kejahatan
4. Penganiyayaan berat atau membahayakan jiwa.

Undang undang perkawinan menambahkan dua alasan


1. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan/penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
2. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan/ pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

f. Pemisahan Kekayaan

Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas


itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, undang-undang
memberikan pada si istri suatu hak untuk meminta pada si hakimsupaya di
adakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan.

Pemisahan itu dapat diminta oleh sang istri :


1. Apabila sisuami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik,
mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan
keluarga.
2. Apabila sisuami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan
siistri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis.
3. Apabila si suami mengobralkan kekayaannya sendiri, hingga si istri
akan kehilangan tanggungan yang oleh undang-undang diberikan
padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan
oleh suami terhadap kekayaan istrinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus
diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim,
sedangkan putusan hakim ini pun harus diumumkan. Ini untuk menjaga
kepentingan-kepentingan orang ketiga.

2.3.2 Hukum Keluarga


a. Keturunan
Seorang anak sah(wettig kind) ialah anak yang di anggap lahir
dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.

Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran


yang diberikan oleh pegawai pencatatan sipil. Jika tidak mungkin
didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain asal
saja keadaan yang Nampak keluar, menunjukan adanya hubungan seperti
antara anak dengan orang tuanya.
Anak yang lahir diluar perkawinan, dinamakan “natuurlijk kind” ia
dapat di akui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.

b. Kekuasaan orang tua


Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa
atau kawin, berada dibawah kekuasaan orang tuanya (ouderlijke macht)
selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Dengan
demikian, kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau
sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa
atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuannya dihapuskan.

Kekuasaan orang tua terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan


memelihara anaknya. Pemeliharaan meliputi pemberian nafkah, pakaian,
dan perumahan.

Kekuasaan orang tua tidak saja meliputi diri si anak tetapi juga
meliputi benda atau kekayaaan si anak itu.

c. Hubungan Anak dengan Orang Tua


Pada umumnya seorang anak lahir dari sepasang suami istri dalam
suatu ikatan perkawinan sehingga merupakan anak sah dan sekaligus
sebagai anak kandung namun ada juga kasus yang menyimpang yaitu ada
anak yang lahir namun tidak anak sah tetapi sebagai anak yang tidak sah,
anak tiri atau anak angkat,. Pada asasnya sejak lahir maka anak-anak
tersebut mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya.

d. Perwalian
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur,
yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda
atau kekayaan anak tersebut diatur dalam undang-undang.

Dalam hukum adat perwalian dapat terjadi jika suatu keluarga,


orang tuanya tinggal seorang atau dua-duannya meninggal dunia. Perwalian
akan ada dengan sendirinya(otomatis). Artinya tidak melalui proses dengan
mengajukan permohonan melalui pengadilan.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perwalian terjadi
karena seorang anak ditinggal mati orang tuannya atau adanya pencabutan
kekuasaan oleh orang tua kepada anak oleh pengadilan. Perwalian harus
melalui permohonan kepada pengadilan.

Perbandingan perwalian menurut ketentuan Hukum Adat dengan


UU No. 1 Tahun 1974

Sistem
Timbulnya Syarat Perwalian Kewajiban Wali
Hukum
Adat Karena Tanpa permohonan Mengelola dan mengatur harta
kematian ke pengadilan; anak tanpa keharusan
otomatis berada menginventarisir; adanya sifat
dalam perwalian saling percaya
kerabat

UU No. 1 Kematian Harus dengan Harus menginventarisir harta


Tahun dan peermohonan ke anak dan mencatat keluar
1974 pencabutan pengadilan masuknya harta
kekuasaan
orang tua
Lampiran.1
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum perkawinan sebagai bagian dari hukum perdata adalah peraturan
peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya
antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup
bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan-peraturan tang ditetapkan dalam
undang-undang.

Hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan


hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena
perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian pengampuan, keadaan tak
hadir).

Di Indonesia pelaksanaan hukum perkawinan masih pluarisme, artinya di


Indonesia berlaku tiga macam sistem hukum perkawinan, yaitu menurut Hukum
Perdata Barat (BW), menurut Hukum Islam, menurut Hukum Adat.

Ruang lingkup dari hukum perkawinan meliputi syarat-syarat perkawinan, hak dan
kewajiban suami istri, percampuran kekayaan, perjanjian perkawinan, perceraian dan
terakhir tentang pemisahan harta kekayaan.

Ruang Lingkup dari Hukum keluarga meliputi keturunan, kekuasaan orang


tua,hubungan anak dengan orang tua, perwalian, pengampuan, hubungan anak dengan
kerabat.

3.2 Saran
Sebagaimana pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Dalam penyusunan
makalah ini jika masih banyak terdapat kekeliruan dalam penyampaian materi dan
dalam segi penulisannya saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Daftar Pustaka

Subekti. 1989. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : Internusa.

Tutik, Titik T. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Surabaya : Kencana.

Kolkman, W.D. Rosa Agustina. Leon C.A. Verstapen. Sri Natin. Suharnoko.
Sulastriyono.Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di
Belanda dan Indonesia. Jakarta : Pustaka Larasan

Anda mungkin juga menyukai