Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

GAGAL NAFAS

OLEH
TARIA
NIM 113063J120067

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN


GAGAL NAFAS

Telah disetujui
Buntok, Agustus 2020

Menyetujui
Preceptor Akademik Preceptor Klinik

(Dwi Martha A, M. Kep) (Devi Pauline, S.Kep.,Ners)


A. Konsep Dasar
1) Anatomi fisologi
Sistem respirasi adalah sistem yang memiliki fungsi utama untuk
melakukan respirasi dimana respirasi merupakan proses mengumpulkan
oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Fungsi utama sistem respirasi
adalah untuk memastikan bahwa tubuh mengekstrak oksigen dalam jumlah
yang cukup untuk metabolisme sel dan melepaskan karbondioksida (Peate and
Nair, 2011).

Gambar 1. Organ respirasi tampak depan (Tortora dan Derrickson, 2014)


Sistem respirasi terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem
pernafasan bawah. Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan
laring. Sedangkan sistem pernafasan bawah terdiri dari trakea, bronkus
dan paru-paru (Peate and Nair, 2011).
a. NaresAnterior

Adalah saluran-saluran di dalam lubang hidung. Saluran-saluran itu

bermuara di dalam lubang hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam

bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga) hidung.

Vestibulum ini dilapisi epitelium bergaris yang bersambung dengan

kulit. Lapisan nares anterior memuat sejumlah kelenjar sebaseus yang

ditutupi bulu kasar. Kelenjar-kelenjar itu bermuara ke dalam rongga

hidung (Syaifuddin, 2014).

b. RonggaHidung

Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan

pembuluh darah, bersambung dengan lapisan faring dan selaput lendir

semua sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung.

Daerah pernafasan dilapisi epitelium silinder dan sel spitel berambut yang

mengandung sel cangkir atau sel lendir. Sekresi sel itu membuat

permukaan nares basah dan berlendir. Di atas septum nasalis dan konka,

selaput lendir ini paling tebal, yang diuraikan di bawah. Tiga tulang kerang

(konka) yang diselaputi epitelium pernafasan, yang menjorok dari dinding

lateral hidung ke dalam rongga, sangat memperbesar permukaan selaput

lendir tersebut.

Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu yang

terdapat di dalam vestibulum. Karena kontak dengan permukaan

lendir yang dilaluinya, udara menjadi hangat, dan karena penguapan air
dari permukaan selaput lendir, udara menjadi lembap (Syaifuddin, 2014).

c. Faring(tekak)

Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai

persambungannya dengan dengan esofagus pada ketinggian tulang rawan

krikoid. Maka letaknya di belakang hidung (nasofaring), di belakang

mulut (orofaring) dan di belakang laring (faring-laringeal) (Syaifuddin,

2014).

d. Laring(tenggorok)

Terletak di depan bagian terendah faring yang memisahkannya dari

kolumna vertebra, berjalan dari faring sampai ketinggian vertebra

servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya.

Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh

ligamen dan membran. Yang terbesar di antaranya ialah tulang rawan

tiroid, dan disebelah depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal

sebagai jakun, yaitu sebelah depan leher. Laring terdiri atas dua lempeng

ataunlamina yang bersambung di garis tengah. Di tepi atas terdapat

lekukan berupa V. Tulang rawan krikoid terletak dibawah tiroid,

bentuknya seperti cincin mohor di sebelah belakang (ini adalah tulang

rawan satu-satunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Tulang rawan

lainnya adalah kedua tulang rawan aritenoid yang menjulang di sebelah

belakang krikoid, kanan dan kiri tulang rawan kuneiform kornikulata yang

sangat kecil (Syaifuddin, 2014).


e. Trakea ( batangtenggorok)

Trakea atau batang tenggorok kira-kira sembilan sentimeter

panjangnya. Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian

vertebratorakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus

(bronki). Trakea tersusun atas enam belas sampai dua puluh lingkaran tak

lengkap berupa cincin tulang rawan yang di ikat bersama oleh jaringan

fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trakea, selain

itu juga memuat beberapa jaringan otot. Trakea dilapisi selaput lendir yang

terdiri atas epitelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini bergeak menuju ke

atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus

lainnya yang larut masuk bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan.

f. Bronkus (cabangtenggorokan)

Bronkus merupakan lanjutan dari trakhea ada dua buah yang

terdapat pada ketinggian vertebratorakalis IV dan V mempunyai struktur

serupa dengan trakhea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-

bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampak paru-paru.

Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri, terdiri

dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih

ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin dan mempunyai 2

cabang. Bronkus bercabang- cabang, cabang yang paling kecil disebut

bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli terdapat gelembung

paru/gelembung hawa atau alveoli (Syaifuddin, 2014).


g. Alveoli

Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam

kluster anatara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini

sehingga jika mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan

menutupi area 70 meter persegi (seukuran lapangan tennis). Terdapat tiga

jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang

membentuk dinding alaveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif

secara metabolic, mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang melapisi

permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli

tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang

memakan benda asing (mis., lender, bakteri) dan bekerja sebagai

mekanisme pertahanan yang penting, (Syaifudin. 2016).

Gambar 2. Alveoli
(Sumber: syaifudin. 2016)
h. Paru-paru

Paru adalah struktur elastic yang dibungkus dalam rongga toraks,

yang merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat

menahan tekanan. Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks

dan dasarnya, yaitu diafragma. Efek dari gerakan ini adalah secara

bergantian meningkatkan dan menurunkan kapasitas dada. Ketika

kapasitas dalam dada meningkat, udara masuk melalui trakea (inspirasi),

karena penurunanan tekanan di dalam, dan mengembangkan paru. Ketika

dinding dada dan diafragma kembali ke ukurannya semula (ekspirasi),

paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong udara keluar

melalui bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari pernapasan normalnya

membutuhkan energi; fase ekspirasi normalnya pasif. Inspirasi menempati

sepertiga dari siklus pernapasan, ekspirasi menempati dua pertiganya,

(syaifudin. 2016).
Gambar 3. Paru
(Sumber: syaifudin. 2016)

Selama inspirasi, udara mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam


trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveoli. Selama ekspirasi, gas alveolar
menjalani rute yang sama dengan arah yang berlawanan. Faktor fisik yang
mengatur aliran udara masuk dan keluar paru-paru secara bersamaan disebut
sebagai mekanisme ventilasi dan mencakup varians tekanan udara, resistensi
terhadap aliran udara, dan kompliens paru. Udara mengalir dari region yang
tekanannya tinggi ke region dengan tekanan lebih rendah. Selama inspirasi,
gerakan diafragma dan otot-otot pernapasan lain memperbesar rongga toraks
dan dengan demikian menurunkan tekanan dalam toraks sampai tingkat di
bawah atmosfir. Karenanya, udara tertarik melalui trakea dan bronkus ke
dalam alveoli. Selama ekspirasi normal, diafragma rileks, dan paru
mengempis, mengakibatkan penurunan ukuran rongga toraks. Tekanan
alveolar kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan udara mengalir dari paru-
paru ke dalam atmosfir, (Syaifudin.2016).
Pernapasan adalah proses biologis menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen ke dalam tubuh serta mengehmbuskan udara yang
mengandung karbondioksida sebagai sisa oksidasi keluar dari tubuh. Jadi
terjadi pertukaran oksisgen dan karbondioksida diantara udara luar dan sel-sel
tubuh. Perjalanan oksigen dari udara luar sampai pemanfaatan di dalam sel
untuk metabolism di dalam tubuh harus melalui tiga tahap yaitu ventilasi,
difusi dan perfusi.
Difusi yaitu perpindahan oksigen melewati membrane alveoli-kapiler ini
terjadi karena adanya perbedaan tekanan oksigen di alveoli dan di daerah
arteri. Pernapasan terjadi akibat adanya perubahan tekanan udara di dalam
rongga toraks dengan tekanan udara diluar tubuh sehingga udara dapat keluar
dari dan masuk ke dalam paru.
Proses bernapas pada manusia melalui 2 tahap yaitu inspirasi dan
ekspirasi. Pada saat insipirasi, diagframa dan otot intercotal berkontraksi
sehingga diafragma bergerak kebawah, dada mengembang dan terangkat.
Gerakan ini meningkatkan volume rongga toraks. Sebaliknya tekanan
intratoraks akan menurun (volume dan rekanan berbanding terbalik ) hingga
mencapai tekanan yang lebih rendah dari pada tekanan udara luar tubuh. Hal
ini menyebabkan udara mengalir masuk ke dalam tubuh melalui jalan napas.
Pada saat ekspirasi, diagfarama dan otot intercostals relaksasi shingga
diafragma bergerak ke atas dan dada kembali keposisi istirahat. Volume
intratoraks turun dan tekanannya naik sampai ketingkat yang lebih tinggi dari
pada tekanan diluar. Hal ini menyebabkan udara di dorong keluar tubuh
melalui jalan napas.
Ventilasi paru merupakan proses mekanis yaitu menggerakan gas ke
dalam dan keluar paru. Ventlasi membutuhkan koordinasi otot paru dan toraks
yang elastic dan pernapasan yang utuh. Udara luar masuk ke dalam tubuh
melalui mulut ddan hidung, faring, trakea, bronkus, paru dan alveoli untuk
kemudian keluar lagi (EMT, 2020).
2) Pengertian
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup
masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung dan otak,
membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik. Kegagalan
pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat membuang karbon
dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida dalam darah dapat
membahayakan organ tubuh (National Heart, lung, 2011).
Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang tidak
adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan PH, PO2, dan PCO2, darah
arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai
hiperkapnia (Arifputera,2014).

3) Etiologi
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan
merupakan kombinasi dari beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya
adalah :
1. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun
ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran
napas bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar.
Kelainan ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut maupun obstruksi
kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar,
spasme larink, aCOPD tau oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada
trakhea. Obstruksi kronik, misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik,
asma, , cystic fibrosis, bronkhiektasis terutama yang disertai dengan sepsis.
2. Gangguan neuromuscular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera
spinal, fraktur servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan
gangguan metabolik seperti alkalosis metabolik kronik yang ditandai
dengan depresi saraf pernapasan.
3. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma,
infark otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
4. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan
minute volume (mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering terjadi
pada guillain bare syndrome, distropi muskular, miastenia gravis,
kiposkoliosis, dan obesitas.
5. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas
hipoksemia, seperti pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS,
fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia, tumor paru, aspirasi,
perdarahan masif pulmonal.
6. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace, seperti pada tromboemboli, emfisema, dan
bronkhiektasis.

4) Tanda dan gejala


1. Tanda
a. Gagal nafas total
1) Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat
didengar/dirasakan.
2) Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi
supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada
inspirasi
3) Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha
memberikan ventilasi buatan
b. Gagal nafas parsial
1) Terdengar suara nafas tambahan gurgling, snoring, dan wheezing.
2) Adanya retraksi dada
2. Gejala
a. Hiperkapnia, terjadi penurunan kesadaran (peningkatan PCO2)
b. Hipoksemia, terjadi takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun)

5) Komplikasi
Komplikasi kegagalan pernapasan akut dapat berupa penyakit paru,
kardiovaskular, gastrointestinal (GI), penyakit menular, ginjal, atau
gizi.Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah
perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan pneumoperitoneum. Infeksi
nosokomial, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan sepsis terkait
kateter, sering terjadi komplikasi gagal napas akut.Ini biasanya terjadi dengan
penggunaan alat mekanis. Komplikasi gizi meliputi malnutrisi dan pengaruhnya
terhadap kinerja pernapasan dan komplikasi yang berkaitan dengan pemberian
nutrisi enteral atau parenteral (Kaynar, 2016).
Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru,
barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan
mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga banyak
menimbulkan komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri, hipotensi, barotrauma,
komplikasi yang ditimbulkan oleh dipasangnya intubasi trakhea adalah
hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang, hipoventilasi, pneumotoraks,
atelektasis.Gagal napas akut juga mempunyai komplikasi di bidang
gastrointestinal yaitu stress ulserasi, ileus dan diare (Putri, 2013).
Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan curah
jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal.Komplikasi pada ginjal dapat
menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan. Resiko terkena infeksi
pada pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu infeksi nosokomial,
bakteremia, sepsis dan sinusitis paranasal (Putri,2013).
6) Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan
gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam. Pasien mengalami
toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap.
Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali seperti semula. Pada gagal
nafas kronik struktur paru mengalami kerusakan yang ireversibel.
Penyebab gagal nafas yang utama adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus
pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis,
meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat
pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode
postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena
terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang dikeluarkan atau dengan
meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau dengan penyakit paru-
paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
7) Pathway

Trauma Kelainan neurologis Penyakit paru

Gangguan saraf pernafasan & otot pernafasan

Peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler

Gangguan epithelium alveolar Gangguan Adanya usaha peningkatan


endhotelium pernafasan
kapiler
Penumpukan cairan alveoli
Tampak adanya retraksi
Cairan masuk ke
dada, penggunaan otot
Oedema pulmo interstitial
bantu pernafsan dan
adanya pernafasan cuping
Penurunan complain paru Peningkatan KETIDAKEFEKTIFAN POLA
tekanan jalan nafas NAFAS

Cairan surfaktan menurun


Kehilangan fungsi silia Peningkatan
saluran pernafasan produksi mukus
Gangguan pengembangan paru
(atelectasis)

KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS


Kolaps alveoli

Ventilasi dan perfusi tidak seimbang

Hipoksemia, Hiperkapnea O2 ↓, CO2 ↑

Tindakan primer
GANGGUAN PERTUKARAN GAS
A,B,C,D,E

Pemasangan Ventilasi mekanik

RESIKO INFEKSI RESIKO CEDERA

(Sumber: Maghfiroh, 2015)


8) Penatalaksanaan
1. Jalan nafas
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigen, dan pemberian obat-
obatan pernapasan dan harus diperiksa adanya sumbatan jalan nafas.
Pertimbangan untuk insersi jalan nafas artificial seperti ETT.
2. Oksigen
Besarnya aliran oksigen tambahan yang diperlukan tergantung dari
mekanisme hipoksemia dan tipe alat pemberi oksigen. CPAP (Continous
Positive Airway Pressure ) sering menjadi pilihan oksigenasi pada gagal
napas akut.
CPAP bekerja dengan memberikan tekanan positif pada saluran
pernapasan sehingga terjadi peningkatan tekanan transpulmoner dan inflasi
alveoli optimal. Tekanan yang diberikan ditingkatkan secara bertahap
sampai toleransi pasien dan penurunan skor sesak serta frekuensi napas
tercapai.
3. Bronkhodilator
Bronkhodilator mempengaruhi kontraksi otot polos, tetapi beberapa
jenis bronkhodilator mempunyai efek tidak langsung terhadap oedema dan
inflamasi. Bronkhodilator merupakan terapi utama untuk penyakit paru
obstruksi, tetapi peningkatan resistensi jalan nafas juga banyak ditemukan
pada penyakit paru lainnya.
4. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas
tidak diketahui secara pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel
inflamasi.
5. Fisioterapi dada dan nutrisi
Merupakan aspek penting yang perlu diintegrasikan dalam tatalaksana
menyeluruh gagal nafas.
6. Pemantauan hemodinamik
Meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme jantung
tekanan darah sistemik, tekanan vena central, dan penentuan hemodinamik
yang lebih invasif.

7. Pemeriksaan penunjang
a. Analisa Gas Darah Arteri
Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk mengetahui apakah klien
mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada
klien yang sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini
juga sangat penting untuk mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan
terapi atau pengobatan yang diberikan terhadap klien.
b. Hipoksemia :
Ringan : PaO2 < 80 mmHg

Sedang : PaO2 < 60 mmHg

Berat : PaO2 < 40 mmHg

c. Hiperkapnia
Ringan : PaCO2 45 – 60 mmHg

Sedang : PaCO2 60 – 70 mmHg

Berat : PaCO2 70 – 80 mmHg

d. Pemeriksaan Rongent Dada


Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang
tidak diketahui. Terdapat gambaran akumulasi udara/cairan, dapat terlihat
perpindahan letak mediastinum. Berdasarkan pada foto thoraks dan
fluoroskopi akan banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi,
pneumothoraks, efusi pleura, hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor
paru.
e. Pengukuran Fungsi Paru
Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada tidaknya
gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV 1> 83%
prediksi. Ada obstruksi bila FEV1< 70% dan FEV1/FVC lebih rendah dari
nilai normal. Jika FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau lebih besar
dari nilai normal, keadaan ini menunjukkan ada restriksi.
f. Elektrokardiogram (EKG)
Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang ditandai
dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF, serta
jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia
jantung sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
g. Pemeriksaan Sputum
Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan. Jika perlu
lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai
ada garis-garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan
disebabkan oleh bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan
keganasan. Sputum yang berwarna merah jambu dan berbuih (pink frothy),
kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang mengandung
banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan tanda dari TB
paru atau adanya keganasan paru.

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas terdengar bunyi crackles, ronkhi dan wheezing
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, adanya retraksi.
b. Menggunakan otot bantu pernapasan
c. Kesulitan bernafas : diaforesis dan sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
d. Papil edema
e. Penurunan haluaran urine
4. Disability
Perhatikan bagaimana tingkat kesadaran klien, dengan penilain
GCS, dengan memperhatikan refleks pupil, diameter pupil.
5. Eksposure
Penampilan umum klien seperti apa, apakah adanya udem, pucat,
tampak lemah, adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat
secara objektif.
b. Pengkajian sekunder ( Doengoes, 2000)
1. Sistem kardiovaskuler
Tanda : Takikardia, irama ireguler, terdapat bunyi jantung S3,S4/
Irama gallop dan murmur, Hamman’s sign (bunyi udara beriringan
dengan denyut jantung menandakan udara di mediastinum),
hipertensi atau hipotensi
2. Sistem pernafasan
Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi
paru , keganasan, batuk
Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot
asesori, penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi
: hiperesonan di atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di
area berisi cairan (hemotorak); perkusi : pergerakan dada tidak
seimbang, reduksi ekskursi thorak.
3. Sistem integumen
Sianosis, pucat, krepitasi sub kutan, gangguan mental, cemas,
gelisah, bingung, stupor
4. Sistem musculoskeletal
Edema pada ektremitas atas dan bawah, kekuatan otot dari 2- 4.
5. Sistem endokrin
Terdapat pembesaran kelenjar tiroid
6. Sistem gastrointestinal
Adanya mual atau muntah, kadang disertai konstipasi.
7. Sistem neurologi
Sakit kepala
8. Sistem urologi
Penurunan haluaran urine
9. Sistem reproduksi
Tidak ada masalah pada reproduksi. Tidak ada gangguan pada
rahim/serviks.
10. Sistem indera
a. Penglihatan : penglihatan buram, diplopia, dengan atau tanpa
kebutaan tiba-tiba.
b. Pendengaran : telinga berdengung
c. Penciuman : tidak ada masalah dalam penciuman
d. Pengecap : tidak ada masalah dalam pengecap
e. Peraba : tidak ada masalah dalam peraba, sensasi terhadap
panas/dingin tajam/tumpul baik.
11. Sistem abdomen
Biasanya kondisi disertai atau tanpa demam.
12. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat
menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat
batuk
Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi
meringis
13. Keamanan
Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat
radiasi/kemoterapi
14. Penyuluhan/pembelajaran - Gejala : riwayat factor resiko keluarga
dengan tuberculosis

2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya
fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi
jalan nafas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi (00030)
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan volume
penurunan ekspansi paru (00032)
4. Risiko infeksi saluran pernafasan atas b.d pemasangan selang ETT
5. Resiko cedera b.d penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas
stress
3. Intervensi keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi
jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Setelah dilakukan Airway suction


tindakan keperawatan diharapkan 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal
jalan nafas efektif. suctioning
Kriteria Hasil 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan
1. Mendemonstrasikan batuk sesudah suctioning.
efektif dan suara nafas yang 3. Informasikan pada klien dan
bersih keluarga tentang suctioning
2. Tidak ada sianosis dan 4. Minta klien nafas dalam sebelum
dyspnea suction dilakukan.
3. Mampu mengeluarkan sputum 5. Berikan O2 dengan menggunakan
4. Mampu bernafas dengan nasal untuk memfasilitasi suksion
mudah, Menunjukkan jalan nasotrakeal
nafas yang paten 6. Gunakan alat yang steril sitiap
5. Irama nafas regular melakukan tindakan
6. Frekuensi pernafasan 16- 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan
20x/menit, SPO2 > 98% napas dalam setelah kateter
7. Tidak ada suara nafas dikeluarkan dari nasotrakeal
abnormal) 8. Monitor status oksigen pasien
8. Mampu mengidentifikasikan 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara
dan mencegah factor yang melakukan suksion
dapat menghambat jalan nafas 10. Hentikan suksion dan berikan
oksigen apabila pasien menunjukkan
bradikardi, peningkatan saturasi O2,
dll.
Airway Management
1. Buka jalan nafas, guanakan teknik
chin lift atau jaw thrust bila perlu
2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3. Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
suction
7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa
basah NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-


perfusi sekunder terhadap hipoventilasi (00030)
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Gangguan pertukaran gas Airway Management (3140)


efektif 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik
chin lift atau jaw thrust bila perlu
Kriteria Hasil : 2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
1. Menunjukkan peningkatan 3. Identifikasi pasien perlunya
ventilasi dan oksigenasi yang pemasangan alat jalan nafas buatan
adekuat 4. Pasang mayo bila perlu
2. Memelihara kebersihan paru 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
paru dan bebas dari tanda 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
tanda distress pernafasan suction
3. Mendemonstrasikan batuk 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
efektif suara tambahan
4. Suara nafas yang bersih 8. Lakukan suction pada mayo
5. Tidak ada sianosis 9. Berika bronkodilator bial perlu
6. Mampu bernafas dengan 10. Barikan pelembab udara
mudah 11. Atur intake untuk cairan
7. Tidak ada retraksi dada, mengoptimalkan keseimbangan.
pernafasan cuping hidung dan 12. Monitor respirasi dan status O2
pursed lips
8. Hasil pemeriksaan BGA
menunjukkan nilai normal Respiratory Monitoring (3350)
1. Monitor rata – rata, kedalaman,
irama dan usaha respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
4. Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot diagfragma
( gerakan paradoksis )
7. Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan
8. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasi crakles dan ronkhi
pada jalan napas utama
9. Uskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui hasilnya

AcidBase Managemen (1910)


1. Monitro IV line
2. Pertahankanjalan nafas paten
3. Monitor AGD, tingkat elektrolit
4. Monitor status hemodinamik(CVP,
MAP, PAP)
5. Monitor adanya tanda tanda gagal
nafas
6. Monitor pola respirasi
7. Lakukan terapi oksigen
8. Monitor status neurologi
9. Tingkatkan oral hygiene

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan volume


penurunan ekspansi paru (00032)
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Setelah dilakukan Airway Managementi (3140)


tindakan keperawatan diharapkan 1. Buka jalan nafas, guanakan
pola nafas efektif teknik chin lift atau jaw thrust bila
perlu
Kriteria Hasil : 2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
1. Mendemonstrasikan batuk 3. Identifikasi pasien perlunya
efektif dan suara nafas yang pemasangan alat jalan nafas buatan
bersih 4. Pasang mayo bila perlu
2. Tidak ada sianosis dan 5. Lakukan fisioterapi dada jika
dyspnea perlu
3. Mampu bernafas dengan 6. Keluarkan sekret dengan batuk
mudah atau suction
4. Menunjukkan jalan nafas yang 7. Auskultasi suara nafas, catat
paten (klien tidak merasa adanya suara tambahan
tercekik, irama nafas, frekuensi 8. Lakukan suction pada mayo
pernafasan dalam rentang 9. Berikan bronkodilator bila perlu
normal, tidak ada suara nafas 10. Berikan pelembab udara Kassa
abnormal) basah NaCl Lembab
5. Tanda Tanda vital dalam 11. Atur intake untuk cairan
rentang normal (tekanan darah, mengoptimalkan keseimbangan.
nadi, pernafasan) 12. Monitor respirasi dan status O2
6. mudah
7. Tidak ada retraksi dada,
pernafasan cuping hidung dan Oxygen therapy (3320)
pursed lips
1. Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas
yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Onservasi adanya tanda
tanda hipoventilasi
7. Monitor adanya
kecemasan pasien terhadap
oksigenasi

Vital sign Monitoring(6680)

1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR


2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan
dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan
vital sign

4. Risiko infeksi saluran pernafasan atas b.d pemasangan selang ETT


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Setelah dilakukan Infection Control (Kontrol infeksi)


tindakan keperawatan tidak
terjadi infeksi. 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
pasien lain
Kriteria hasil : 2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila perlu
1. Klien bebas dari tanda dan 4. Instruksikan pada pengunjung untuk
gejala infeksi mencuci tangan saat berkunjung dan
2. Menunjukkan kemampuan setelah berkunjung meninggalkan pasien
untuk mencegah timbulnya 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci
infeksi tangan
3. Jumlah leukosit dalam 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
batas normal tindakan kperawtan
4. Menunjukkan perilaku 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai
hidup sehat alat pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central
dan dressing sesuai dengan petunjuk
umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung kencing
11. Tingkatkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (proteksi terhadap


infeksi)

1. Monitor tanda dan gejala infeksi


sistemik dan lokal
2. Monitor hitung granulosit, WBC
3. Monitor kerentanan terhadap infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
6. Partahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko
7. Pertahankan teknik isolasi k/p
8. Berikan perawatan kuliat pada area
epidema
9. Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
10. Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
11. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
12. Dorong masukan cairan
13. Dorong istirahat
14. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotik sesuai resep
15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
16. Ajarkan cara menghindari infeksi
17. Laporkan kecurigaan infeksi
18. Laporkan kultur positif

5. Resiko cedera b.d penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas


stress
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Tujuan : Setelah dilakukan Environment Management (Manajemen


tindakan keperawatan cidera lingkungan)
tidak terjadi pada klien.
1. Sediakan lingkungan yang aman untuk
Kriteria hasil : pasien
2. Identifikasi kebutuhan keamanan
1. Klien terbebas dari cedera pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan
2. Klien mampu menjelaskan fungsi kognitif pasien dan riwayat
cara untuk mencegah penyakit terdahulu pasien
cedera 3. Menghindarkan lingkungan yang
3. Klien mampu menjelaskan berbahaya (misalnya memindahkan
factor resiko dari perabotan)
lingkungan/perilaku 4. Memasang side rail tempat tidur
personal 5. Menyediakan tempat tidur yang
4. Mampu memodifikasi gaya nyaman dan bersih
hidup untukmencegah 6. Menempatkan saklar lampu ditempat
injury yang mudah dijangkau pasien.
5. Menggunakan fasilitas 7. Membatasi pengunjung
kesehatan yang ada 8. Memberikan penerangan yang cukup
6. Mampu mengenali 9. Menganjurkan keluarga untuk
perubahan status kesehatan menemani pasien.
10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang
dapat membahayakan
12. Berikan penjelasan pada pasien dan
keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.
4. Evaluasi keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Kegiatan
evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah
implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.
Dalam dokumentasi dikenal 2 cara yaitu secara sumatif dan formatif. Biasanya
evaluasi menggunakan acuan SOAP atau SOAPIER sebagai tolak ukur
pencapaian implementasi. Perawat mempunyai tiga alternatif dalam
menentukan sejauh mana tujuan tercapai :
a. Berhasil : perilaku klien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal
yang ditetapkan pada tujuan.
b. Tercapai sebagian : pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
c. Belum tercapai : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan perilaku
yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan.
C. Daftar Pustaka
Brunner & Suddart.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8
vol.1.Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;
2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M, Jakarta:
EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993

Hudak, Carolyn M, Gallo, Barbara M., Critical Care Nursing: A Holistik Approach
(Keperawatan kritis: pendekatan holistik). Alih bahasa: Allenidekania, Betty
Susanto, Teresa, Yasmin Asih. Edisi VI, Vol: 2. Jakarta: EGC;1997

Mansjoer, Arif. 2004. Kapita Selekta Kedokteraan . Edisi 3. Jilid 2. Jakarta :


Mediaesculapius.

Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Penafasan. Jakarta : Salemba Medika.

Price, Sylvia. A. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. Jakarta :
EGC

Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes.
4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli
diterbitkan tahun 1992)

Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa :
Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun 1999)

Sarwono.1996. Buku Ajar Penyakit Dalam.Jilid pertama, EdisiKetiga. Jakarta: FKUI

Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong, Buku-ajar Ilmu Bedah. Ed: revisi. Jakarta: EGC,
1998

Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2001
Wong, Donna. L. 2004. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai