GAGAL NAFAS
OLEH
TARIA
NIM 113063J120067
Telah disetujui
Buntok, Agustus 2020
Menyetujui
Preceptor Akademik Preceptor Klinik
b. RonggaHidung
Daerah pernafasan dilapisi epitelium silinder dan sel spitel berambut yang
mengandung sel cangkir atau sel lendir. Sekresi sel itu membuat
permukaan nares basah dan berlendir. Di atas septum nasalis dan konka,
selaput lendir ini paling tebal, yang diuraikan di bawah. Tiga tulang kerang
lendir tersebut.
lendir yang dilaluinya, udara menjadi hangat, dan karena penguapan air
dari permukaan selaput lendir, udara menjadi lembap (Syaifuddin, 2014).
c. Faring(tekak)
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
2014).
d. Laring(tenggorok)
Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh
sebagai jakun, yaitu sebelah depan leher. Laring terdiri atas dua lempeng
belakang krikoid, kanan dan kiri tulang rawan kuneiform kornikulata yang
(bronki). Trakea tersusun atas enam belas sampai dua puluh lingkaran tak
lengkap berupa cincin tulang rawan yang di ikat bersama oleh jaringan
itu juga memuat beberapa jaringan otot. Trakea dilapisi selaput lendir yang
terdiri atas epitelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini bergeak menuju ke
atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus
f. Bronkus (cabangtenggorokan)
serupa dengan trakhea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-
Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri, terdiri
dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih
ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin dan mempunyai 2
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam
jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang
membentuk dinding alaveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif
permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli
tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang
Gambar 2. Alveoli
(Sumber: syaifudin. 2016)
h. Paru-paru
yang merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat
dan dasarnya, yaitu diafragma. Efek dari gerakan ini adalah secara
(syaifudin. 2016).
Gambar 3. Paru
(Sumber: syaifudin. 2016)
3) Etiologi
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan
merupakan kombinasi dari beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya
adalah :
1. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun
ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran
napas bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar.
Kelainan ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut maupun obstruksi
kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar,
spasme larink, aCOPD tau oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada
trakhea. Obstruksi kronik, misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik,
asma, , cystic fibrosis, bronkhiektasis terutama yang disertai dengan sepsis.
2. Gangguan neuromuscular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera
spinal, fraktur servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan
gangguan metabolik seperti alkalosis metabolik kronik yang ditandai
dengan depresi saraf pernapasan.
3. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma,
infark otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
4. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan
minute volume (mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering terjadi
pada guillain bare syndrome, distropi muskular, miastenia gravis,
kiposkoliosis, dan obesitas.
5. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas
hipoksemia, seperti pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS,
fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia, tumor paru, aspirasi,
perdarahan masif pulmonal.
6. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace, seperti pada tromboemboli, emfisema, dan
bronkhiektasis.
5) Komplikasi
Komplikasi kegagalan pernapasan akut dapat berupa penyakit paru,
kardiovaskular, gastrointestinal (GI), penyakit menular, ginjal, atau
gizi.Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah
perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan pneumoperitoneum. Infeksi
nosokomial, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan sepsis terkait
kateter, sering terjadi komplikasi gagal napas akut.Ini biasanya terjadi dengan
penggunaan alat mekanis. Komplikasi gizi meliputi malnutrisi dan pengaruhnya
terhadap kinerja pernapasan dan komplikasi yang berkaitan dengan pemberian
nutrisi enteral atau parenteral (Kaynar, 2016).
Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru,
barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan
mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga banyak
menimbulkan komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri, hipotensi, barotrauma,
komplikasi yang ditimbulkan oleh dipasangnya intubasi trakhea adalah
hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang, hipoventilasi, pneumotoraks,
atelektasis.Gagal napas akut juga mempunyai komplikasi di bidang
gastrointestinal yaitu stress ulserasi, ileus dan diare (Putri, 2013).
Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan curah
jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal.Komplikasi pada ginjal dapat
menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan. Resiko terkena infeksi
pada pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu infeksi nosokomial,
bakteremia, sepsis dan sinusitis paranasal (Putri,2013).
6) Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara
struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan
gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik
seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam. Pasien mengalami
toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap.
Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali seperti semula. Pada gagal
nafas kronik struktur paru mengalami kerusakan yang ireversibel.
Penyebab gagal nafas yang utama adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus
pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis,
meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat
pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode
postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena
terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang dikeluarkan atau dengan
meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau dengan penyakit paru-
paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
7) Pathway
Tindakan primer
GANGGUAN PERTUKARAN GAS
A,B,C,D,E
7. Pemeriksaan penunjang
a. Analisa Gas Darah Arteri
Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk mengetahui apakah klien
mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada
klien yang sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini
juga sangat penting untuk mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan
terapi atau pengobatan yang diberikan terhadap klien.
b. Hipoksemia :
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
c. Hiperkapnia
Ringan : PaCO2 45 – 60 mmHg
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas terdengar bunyi crackles, ronkhi dan wheezing
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, adanya retraksi.
b. Menggunakan otot bantu pernapasan
c. Kesulitan bernafas : diaforesis dan sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
d. Papil edema
e. Penurunan haluaran urine
4. Disability
Perhatikan bagaimana tingkat kesadaran klien, dengan penilain
GCS, dengan memperhatikan refleks pupil, diameter pupil.
5. Eksposure
Penampilan umum klien seperti apa, apakah adanya udem, pucat,
tampak lemah, adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat
secara objektif.
b. Pengkajian sekunder ( Doengoes, 2000)
1. Sistem kardiovaskuler
Tanda : Takikardia, irama ireguler, terdapat bunyi jantung S3,S4/
Irama gallop dan murmur, Hamman’s sign (bunyi udara beriringan
dengan denyut jantung menandakan udara di mediastinum),
hipertensi atau hipotensi
2. Sistem pernafasan
Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi
paru , keganasan, batuk
Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot
asesori, penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi
: hiperesonan di atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di
area berisi cairan (hemotorak); perkusi : pergerakan dada tidak
seimbang, reduksi ekskursi thorak.
3. Sistem integumen
Sianosis, pucat, krepitasi sub kutan, gangguan mental, cemas,
gelisah, bingung, stupor
4. Sistem musculoskeletal
Edema pada ektremitas atas dan bawah, kekuatan otot dari 2- 4.
5. Sistem endokrin
Terdapat pembesaran kelenjar tiroid
6. Sistem gastrointestinal
Adanya mual atau muntah, kadang disertai konstipasi.
7. Sistem neurologi
Sakit kepala
8. Sistem urologi
Penurunan haluaran urine
9. Sistem reproduksi
Tidak ada masalah pada reproduksi. Tidak ada gangguan pada
rahim/serviks.
10. Sistem indera
a. Penglihatan : penglihatan buram, diplopia, dengan atau tanpa
kebutaan tiba-tiba.
b. Pendengaran : telinga berdengung
c. Penciuman : tidak ada masalah dalam penciuman
d. Pengecap : tidak ada masalah dalam pengecap
e. Peraba : tidak ada masalah dalam peraba, sensasi terhadap
panas/dingin tajam/tumpul baik.
11. Sistem abdomen
Biasanya kondisi disertai atau tanpa demam.
12. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat
menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat
batuk
Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi
meringis
13. Keamanan
Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat
radiasi/kemoterapi
14. Penyuluhan/pembelajaran - Gejala : riwayat factor resiko keluarga
dengan tuberculosis
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya
fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi
jalan nafas.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi (00030)
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan volume
penurunan ekspansi paru (00032)
4. Risiko infeksi saluran pernafasan atas b.d pemasangan selang ETT
5. Resiko cedera b.d penggunaan ventilasi mekanik, selang ETT, ansietas
stress
3. Intervensi keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi
jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;
2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M, Jakarta:
EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993
Hudak, Carolyn M, Gallo, Barbara M., Critical Care Nursing: A Holistik Approach
(Keperawatan kritis: pendekatan holistik). Alih bahasa: Allenidekania, Betty
Susanto, Teresa, Yasmin Asih. Edisi VI, Vol: 2. Jakarta: EGC;1997
Price, Sylvia. A. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses Penyakit. Jakarta :
EGC
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes.
4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli
diterbitkan tahun 1992)
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa :
Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun 1999)
Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong, Buku-ajar Ilmu Bedah. Ed: revisi. Jakarta: EGC,
1998
Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2001
Wong, Donna. L. 2004. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.