Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pada tahun 1995 di dunia diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta
penderita baru Tuberkulosis (TBC) dengan kematian 3 juta orang (WHO,
Treatment of Tuberculosis, Guidelines of National Programme 1997). Di negara-
negara berkembang kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang
sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TBC berada di negara
berkembang dengan 75% penderita TBC adalah kelompok usia produktif (15- 50
tahun) (Departemen Kesehatan,2002). Pada skala dunia, tuberkulosis adalah salah
satu penyebab kematian utama pada wanita usia subur, dan kebanyakan mereka
adalah pencari nafkah keluarga. Permasalahan utamanya adalah bahwa hanya
19% dari seluruh kasus TBC paru yang terdeteksi. Dari semua kasus yang
terdeteksi, hanya 50% yang berhasil ditangani (Departemen Kesehatan,2003).
Indonesia berada di urutan ke tiga terbanyak di dunia dalam jumlah
penderita tuberkulosis setelah India dan Cina, dengan hampir rata-rata 600.000
kasus TBC baru setiap tahunnya, dengan perbandingan 280 kasus baru per
100.000 orang. (Departemen Kesehatan,2003). Penyakit TBC dapat mengenai
berbagai usia, kasus tuberkulosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan
450.000 di antaranya meninggal dunia. Penemuan penderita tuberkulosis pada
anak merupakan hal yang sulit karena kita sukar mengambil sampel untuk
pemeriksaan bakteriologis kuman TBC dari anak seperti dahak, bilasan lambung
dan lain-lain. Padahal diagnosis pasti dari TBC ditegakkan dengan menemukan
kuman TBC tersebut, sehingga sebagian besar diagnosis tuberkulosis anak
didasarkan atas gambar klinis, gambar radiologis dan uji tuberkulin (Departemen
Kesehatan,2002).
Karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak
belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat
diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap
orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang

1
di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk
mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap
anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan
(Kartasasmita CB,2002). Pada wilayah kerja Puskesmas Umbulharjo I tercatat 5
pasien yang didiagnosis TBC pada tahun 2004 sedangkan pada tahun 2005
tercatat 11 pasien . Sedangkan jumlah pasien TBC anak yang tercatat pada tahun
2005 dan amsih menjalankan pengobatan ada 18 anak.
Beberapa faktor berperan pada kenaikan angka kejadian TBC secara
umum seperti diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang,
migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS (Directly
Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil (Kartasasmita CB,2002).

I.2. Perumusan Masalah


 Bagaimanakah tingkat pengetahuan orang tua tentang TB?
 Bagaimanakah persepsi keluarga penderita TB anak terhadap petugas
kesehatan?
 Apakah terjadi efek samping obat pada penderita TB anak?
 Bagaimanakah tingkat akses ke pelayanan kesehatan penderita TB anak?
 Bagaimanakah tingkat kepatuhan minum obat penderita TB anak?
 Apakah faktor-faktor di atas mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat
penderita TB?
 Bagaimanakah tingkat respon terhadap pengobatan pada penderita TB
anak?
 Bagaimanakah lingkungan tempat tinggal penderita TB anak?

I.3. Hipotesis
 Tingkat pengetahuan orang tua tentang TB secara umum baik.
 Persepsi keluarga terhadap penderita TB anak terhadap petugas kesehatan
baik.
 Tidak ada penderita TB anak yang mengalami efek samping selama
menjalani pengobatan.

2
 Sebagian besar penderita mempunyai akses yang mudah ke pelayanan
kesehatan.
 Sebagian besar panderita TB anak mempunyai tingkat kepatuhan yang
baik untuk minum obat.
 Faktor-faktor di atas berpengaruh terhadap tingkat kepatuahn minum obat.
 Sebagian besar penderita TB anak mempunyai respon pengobatan yang
baik.
 Lingkungan sebagian besar anak penderita TB termasuk lingkungan yang
baik.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi pada paru-paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium bovis yang ditularkan melalui
droplet penderita ( Crofton, et al, 1999).

II.2. Etiologi
Etiologi tuberculosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberkulosis atau
Mycobacterium bovis, yang mempunyai sifat-sifat: tahan asam, pertumbuhan
lambat, tahan lama dalam keadaan kering berminggu-minggu, dan tidak tahan
terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, dan suhu 60 C atau lebih.

II.3. Epidemiologi
Saat ini, sekitar 20-43% populasi dunia terinfeksi Tuberculosis. Pada
setiap tahunnya, sekitar 3 juta orang meninggal karena penyakit ini
(Chesnut,2004). Jumlah kasus baru TB mencapai 8,6 juta atau 138 per 100.000
populasi. Prevalensi TB terbanyak di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut WHO, Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah kasus baru TB
(0,4 juta kasus) setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,3 juta kasus), 10 persen
diantaranya adalah anak usia di bawah 15 tahun (Ida S, 2004).
Selama periode 1999-2000, program penanggulangan TB di Indonesia
telah menjaring 45.248 kasus BTA (+) baru yang relatif meningkat 10% dari
tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan WHO-SEARO tahun 2003, diperkirakan
insiden TB atau kasus baru TB sebesar 581.847 atau 271 per 100 ribu populasi.
Pada umumnya, TB menyerang kelompok usia produktif, antara usia 20-45 tahun.
Berbeda dengan TB pada orang dewasa, angka pasti prevalensi TB pada
anak-anak tidak diketahui dengan pasti. Penelitian yang dilakukan oleh Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UI/RSCM dan FKUP/RSHS tahun 2000 terhadap 355
anak SD berusia 5-13 tahun di kabupaten Bandung mendapatkan prevalensi 11,35.

4
Penelitian lain yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1999-2001 dengan
metode skrining IDAI mendapatkan data bahwa 4,3% balita berusia 6-59 bulan
menederita TB (Ida S, 2004).

II.4. Diagnosis TB Anak


Anamnesis
Diagnosis TB pada anak sering sulit dilakukan. Berdasarkan anamnesis,
didapoatkan keluhan yang bersifat umum dan spesifik. Keluhan umum adalah
demam yang lama tanpa diketahui sebabnya, berat badan yang tidak naik dalam
jangka waktu tertentu, nafsu makan menurun, lesu, dan sebagainya. Gejala khusus
dapat berupa gibus, atau plikten pada konjunktiva bergantung pada organ yang
terlibat. Petunjuk lain untuk diagnosis TB adalah kontak dengan penderita TB
dewasa.
Adanya demam pada TB merupakan gejala sistemik atau umum yang
sering dijumpai yaitu sekitar 60-90% kasus. Demam biasanya tidak terlalu tinggi,
naik turun, dan berlangsung cukup lama. Untuk mencurigai anak yang demam
lama dan tidak tinggi sebagai gejala TB, maka harus sudah menyingkirkan
penyebab demam yang lain. Selain demam, gejala lain yang sering adalah
penurunan berat badan. Penurunan berat badan ini perlu dicurigai sebagai gejala
TB apabila telah diberikan tatalaksana gizi tetap belum ada perbaikan. Perlu
diketahui, gejala sistemik atau gejala umum tersebut tidak khas karena dapat
terjadi pada infeksi yang lain.
Keluhan batuk yang yang merupakan gejala utama pada TB dewasa tidak
merupakan gejala yang menonjol pada TB anak. Hal ini disebabkan karena pada
TB anak prosesnya adalah pada parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk.
Meskipun demikian, pada TB anak dapat terjadi batuk apabila pembesaran
kelenjar yang terjadi sudah menekan bronkus. Penekanan ini merupakan
rangsangan pada reseptor batuk di bronkus. Karena gejalanya kurang khas, maka
seringkali gejala tersebut tidak atau kurang mendapat perhatian dari orang tua
sehingga pasien datang kepada petugas kesehatan sudah dalam fase lanjut.

5
Gejala khusus yang mungkin timbul pada TB anak adalah gibus,
konjunktivitis pliktenularis, dan skrofuloderma. Pada keadaan tersebut, harus
dibuktikan TB sebagai penyebabnya.

Uji tuberkulin
Sebenarnya deteksi dini TB pada anak dapat dilakukan, yaitu dengan uji
tuberkulin secara rutin pada anak balita yang berobat, tetapi program ini sulit
dilaksanakan karena memerlukan biaya yang cukup besar. Tidak jarang diagnosis
TB pada anak diketahui setelah dilakukan uji tuberkulin tanpa ada gejala umum
atau khusus yang dikeluhkan orang tua pasien.
Pada anak di bawah umur lima tahun dengan uji tuberkulin positif, proses
TB biasanya masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan
radiologist. Uji tuberkulin dilakukan berdasarkan timbulnya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein karena adanya infeksi.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu cara Moro dengan salep,
dengan goresan disebut patch test cara von Pirquet, cara Mantoux dengan
penyuntikan intrakutan dan multiple puncture method dengan 4-6 jarum
berdasarkan cara Heaf dan Tine.
Sampai sekarang, cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling
dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukkan dapat
diketahui banyaknya. Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas:
1. eritema karena vasodilatasi primer
2. edema karena reaksi antara antigen yang disuntikkan dengan antibodi
3. indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberkulin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Tuberkulin yang biasa
dipakai adalah Old Tuberculin (OT) dan Purified Protein Derivatives (PPD).
Dosis baku tuberkulin uji Mantoux ialah 0,1 ml PPD-RT 23 2 TU, PPD-S
5 TU atau OT 1/2000 yang disuntikkan intrakutan. Indurasi dengan diameter 5
mm ke atas dianggap positif, dengan catatan 0-4 mm negatif, 5-9 mm masih
meragukan, dan 10 mm ke atas jelas positif.

6
Penyuntikan BCG menyebabkan konversi uji tuberkulin sehingga dapat
mengacaukan penilaian uji tuberkulin untuk diagnosis TB. Dinyatakan bahwa bila
anak telah mendapat BCG kemudian hasil uji tuberkulin dengan PPD-RT 23 2
TU, PPD-S 5 TU atau OT 1/2000 menimbulkan indurasi lebih dari 15 mm, maka
harus dicurigai akan adanya superinfeksi TB. Kalau BCG diberikan pada masa
neonatus, maka setelah 1 tahun, hanya 10% yang mempunyai reaksi dengan
indurasi 5 mm atau lebih terhadap PPD-RT 23 2 TU atau PPD-S 5 TU dan tidak
ada yang beraksi dengan diameter indurasi 10 mm ke atas.
Uji tuberkulin akan menjadi negatif sementara pada penderita TB (anergi)
dengan:
1. Malnutrisi Energi Protein
2. TB berat
3. Morbili, Varicella
4. Pertusis, Difteri, Tifus abdominalis
5. Pemberian kortikosteroid yang lama
6. Vaksin virus, misalnya poliomielitis
7. Penyakit ganas, misalnya penyakit Hodgkin.

Pemeriksaan radiologis
Pada anak dengan uji tuberkulin positif, dilakukan pemeriksaan radiologis.
Secara rutin dilakukan foto Rontgen paru dan atas indikasi juga dibuat foto
Rontgen alat tubuh lain, misal foto tulang punggung pada spondilitis.
Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada TB paru adalah:
1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran
2. Pembesaran kelenjar paratrakeal
3. Penyebaran milier
4. Penyebaran bronkogen
5. Atelektasis
6. Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis paru saja tidak dapat digunakan untuk membuat
diagnosis TB, tetapi harus disertai data klinis lainnya.

7
Pemeriksaan bakteriologis
Penemuan basil TB memastikan diagnosis TB, tetapi tidak ditemukannya
basil TB bukan berarti tidak menderita TB. Bahan-bahan yang digunakan untuk
pemeriksaan bakteriologis ialah:
1. Bilasan lambung
2. Sekret bronkus
3. Sputum pada anak besar
4. Cairan pleura
5. Likuor serebrospinalis
6. Cairan asites
7. Bahan-bahan lainnya.

Pemeriksaan patologi anatomi


Pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan secara rutin. Biasanya
diperiksa kelenjar getah bening, hepar, pleura, peritoneum, kulit, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan biasanya ditemukantuberkel dan basil tahan asam.

Uji BCG
Di Indonesia BCG diberikan secara langsung tanpa didahului uji
tuberkulin. Bila pada anak yang mendapat BCG langsung terdapat reaksi lokal
yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan, maka harus
dicurigai adanya TB, dan diperiksa lebih lanjut ke arah TB. Pada anak dengan TB,
BCG akan menimbulkan reaksi lokal yang lebih cepat dan besar. Karena itu,
reaksi BCG ini dapat dipakai sebagai alat diagnosis.

II.5. Terapi
Medikamentosa
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu fase intensif dengan paduan 3-5 OAT
selama 2 bulan awal, dan fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-Rifampisin)
hingga 6-12 bulan. Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada
fase intensif maupun fase lanjutan. Terapi OAT untuk TB paru adalah INH,
rifampisin dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan INH dan

8
rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-4HR). Untuk TB paru berat
(milier, destroyed lung) danTB ekstra paru digunakan 4-5 OAT selama 2 bulan
fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin hingga genap 9-12 bulan
terapi. Untuk TB kelenjar superfisial, terapinya sama dengan TB paru. Untuk TB
milier dan efusi pleura TB diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap (tappering off) selama 2 minggu,
sehingga total waktu pemberian 1 bulan.
Daftar obat, dosis, efek samping dan lain-lain dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Obat Sediaan Dosis Dosis Efek samping
(mg/kg maksimal
BB)
Isoniazid Tablet 100 5-15 300 mg Peningkatan
(INH/H) dan 300 mg; transaminase, hepatitis,
sirup 10 neuritis perifer,
mg/ml hipersensitivitas
Rifampisin Kapsul/tablet 10-15 600 mg Urin/sekresi warna
(RIF/R) 150, 300, 450, kuning, mual-muntah,
600 mg; sirup hepatitis, flu like
20 mg/ml reaction
Pirazinamid Tablet 500 25-35 2g Hepatotoksisitas,
(PZA/Z) mg hipersensitivitas
Etambutol Tablet 500 15-20 2,5 g Neuritis optikal
(EMB/E) mg (reversibel), gangguan
visus, gangguan warna,
gangguan sal.cerna
Streptomisin Vial 1g 15-30 1g Ototoksisitas,
(SM/S) nefrotoksisitas

Obat yang dipakai dan dosisnya :


 INH : 5-15 mg/kgBB/hari (maksimal 300 mg/hari)
 Rifampisin : 10-15 mg/kgBB/hari (maksimal 600 mg/hari)

9
 Pirazinamid : 25-35 mg/kgBB/hari (maks 2 gram/hari) diberikan 1x-2x
 Streptomisin : 15-30 mg/kgBB/hari (maksimal 1 gram/hari)
 Etambutol : 15-20 mg/kgBB/hari (maksimal 2,5 gram/hari)

Nama Obat Berat <10 kg Berat 10-20 kg Berat 20-33 kg


INH (H) 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin (R) 75 mg 150 mg 300 mg
PZA (Z) 150 mg 300 mg 600 mg

 Bila BB>33 kg dimasukkan golongan dewasa


 Bila BB <5 kg sebaiknya dirujuk ke RS
 Bila dikombinasi H dan R, H tidak boleh lebih dari 10 mg/kgBB, R tidak
boleh lebih dari 15 mg/kgBB
 INH dan Rifampisin tidak boleh diracik dalam 1 puyer, boleh dicampur
saat meminumnya
Catatan lain :
1. Dipakai 3 macam obat (INH, Rifampisin dan PZA atau EMB) pada 2
bulan pertama dan 2 macam obat (INH dan Rifampisin) pada 4 bulan
berikutnya (2 RHZ 4 RH)
2. Pada TB berat (meningitis TB, TB milier) diberikan kombinasi 4-5 OAT,
sedangkan INH dan Rifampisin diberikan sampai 12 bulan. Steroid
diberikan dengan lama pemberian sesuai dengan jenis TB beratnya dan
dihentikan secara bertahap (tappering off).
3. Pemberian Streptomisin 30 mg/kgBB/hari tidak menyebabkan efek
samping. Waktu dahulu diberikan 50 mg/kgBB/hari memang terjadi
banyak efek samping ketulian. Streptomisin sebaiknya hanya diberikan di
Rumah Sakit.
II.6. Pencegahan
Profilaksis primer untuk mencegah tertular/infeksi pada kelompok yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa BTA positif. Profilaksis
sekunder untuk mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok yang telah
terinfeksi TB tapi belum sakit TB.

10
Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat dan
dosis yang digunakan sama yaitu INH 5-10 mg mg/kgBB/hari. Profilaksis primer
diberikan selama kontak masih ada, minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan
dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif dan kontak tidak ada maka
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif maka
dievaluasi apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB. Jika hanya infeksi,
profilaksis primer dilanjutkan sebagai profilaksis sekunder. Profilaksis sekunder
diberikan selama 6-12 bulan yang merupakan waktu risiko tertinggi terjadinya
sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB.

II.7. Pemantauan
Respon klinis yang baik terhadap terapi mempunyai nilai diagnostik.
Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal. Nafsu makan
yang membaik, berat badan yang meningkat dengan cepat, hilangnya keluhan
demam, batuk lama, tidak mudah sakit lagi. Respon yang nyata biasanya terjadi
dalam 2 bulan fase awal (fase intensif). Setelah itu perbaikan klinis tidak lagi
sedramatis fase intensif.
Evaluasi radiologis dilakukan pada akhir pengobatan, kecuali jika ada
perburukan klinis. Jika gambaran radiologis juga memburuk, evaluasi kepatuhan
minum obat, dan kemungkinan kuman TB resisten obat. Terapi TB dimulai lagi
dari awal dengan paduan 4 OAT.
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang kadang muncul adalah hepatotoksisitas,
dengan gejala ikterik yang bisa disertai keluhan gastrointestinal lainnya. Keluhan
ini biasanya muncul dalam fase intensif. Pada kasus yang dicurigai adanya
kelainan fungsi hepar, maka pemeriksaan transaminase serum dilakukan sebelum
pemberian OAT dan dipantau minimal tiap 2 minggu dalam fase intensif. Jika
timbul ikterus OAT dihentikan, dilakukan uji fungsi hepar (bilirubin dan
transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan kadar transaminase <3x batas
atas normal, paduan OAT dapat dimulai lagi dengan dosis terendah.

11
Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap bulan.
Bila pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB, profilaksis diubah
menjadi terapi TB.
Berikut ini disajikan tabel populasi manusia berdasarkan status TB :
Kelas Kontak Infeksi Sakit Tatalaksana
0 - - - _
I + - - Profilaksis I
II + + - Profilaksis II
III + + + Terapi OAT

 Pada kelompok risiko tinggi

II.8. Prognosis
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama telah
mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga,
diagnosis dini, pengobatan adekuat dan adanya infeksi lain seperti morbili,
pertusis, diare yang berulang, dan lain-lain.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Design Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan
belah lintang (cross-sectional). Data diperoleh dengan melakukan wawancara

12
terstruktur menggunakan kuesioner berisi pertanyaan terbuka dan tertutup
terhadap subjek penelitian untuk menggali faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan minum obat penderita

III.2. Subjek Penelitian


Subjek penelitian adalah penderita TB paru anak dan orang tuanya (bapak
atau ibu) yang bertempat tinggal di kelurahan Warung Boto dan Pandeyan yang
datang untuk menjalani pengobatan di Puskesmas Umbulharjo I pada bulan
September, Oktober, dan November 2005.
Dari Hasil rekam medis terdapat 18 responden yang memenuhi kriteria
namun yang dapat mengikuti penelitian sebanyak 10 responden.

III.3. Waktu Dan Tempat Penelitian


Pengambilan data dilakukan di dua kelurahan di kecamatan umbulharjo
Kodya Yogya DIY, yaitu Warung Boto dan Pandeyan. Pengambilan data
dilakukan selama 6 hari, yaitu tanggal 16-21 November 2005

III.4. Variabel Penelitian


1. Respon terapi TB paru anak
2. pengetahuan tentang TB paru
3. persepsi mengenai petugas kesehatan
4. kepatuhan minum obat
5. akses ke pelayanan kesehatan
6. faktor lingkungan
7. efek samping obat
Hubungan beberapa variabel tersebut digambarkan dalam bagan berikut :

13
Akses ke pelayanan
kesehatan

Respon terapi

Kepatuhan minum obat Pengetahuan mengenai TB paru

Efek samping obat Persepsi terhadap petugas


kesehatan

III.5. Definisi Operasional


1. Respon terapi TB paru anak
Respon terapi adalah perbaikan gejala klinis pada anak yang menderita TB
paru. Respon terapi :
 Baik, jika gejala yang mengalami perbaikan lebih banyak daripada
yang tidak mengalami perbaikan
 tidak berespon, jika gejala yang tidak mengalami perbaikan lebih
banyak daripada yang mengalami perbaikan
2. pengetahuan tentang TB paru
adalah tingkat pengetahuan orang tua penderita tentang TB paru mengenai
penularan, pengobatan, dan gejala TB, baik pada anak maupun dewasa
 tingkat pengetahuan baik, jika skor  mean (rata-rata) total skor
seluruh responden
 tingkat pengetahuan kurang, jika skor < mean total skor seluruh
responden

3. persepsi mengenai petugas kesehatan


adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan menurut keluarga penderita

14
 persepsi mengenai petugas kesehatan baik, jika skor  mean (rata-
rata) skor seluruh responden
 persepsi mengenai petugas kesehatan kurang, jika skor < mean
skor seluruh responden
4. kepatuhan minum obat
adalah perilaku penderita minum obat sesuai dengan aturan yang diberikan
 kepatuhan baik, jika skor  mean (rata-rata) skor seluruh responden
 kepatuhan kurang, jika skor < mean skor seluruh responden
5. akses ke pelayanan kesehatan
adalah jarak, waktu, dan kemampuan untuk mencapai tempat pelayanan
kesehatan
 akses ke pelayanan kesehatan mudah, jika skor  mean (rata-rata)
skor seluruh responden
 sulit, jika skor < mean skor seluruh responden
6. faktor lingkungan
adalah kondisi lingkungan yang dapat memudahkan penularan kuman TB
kepada anak
 kondisi lingkungan baik, jika skor  mean (rata-rata) skor seluruh
responden
 kondisi lingkungan buruk, jika skor < mean skor seluruh responden
7. efek samping obat
adalah efek obat yang tidak diharapkan sehingga mengganggu penderita
 efek samping ada, jika skor > 0
 tidak ada efek samping, jika skor 0

III.6. ANALISIS DATA


Data disajikan secara deskriptif non analitik karena jumlah sampel tidak
memenuhi syarat dilakukannya analisis statistik.
BAB IV

15
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL
Penyebaran kuesioner I dan II dilakukan mulai tanggal 16 sampai dengan
20 November 2005 di masing-masing kelurahan Warung Boto dan Pandeyan,
kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta. Kuesioner I dan II berhasil mengumpulkan
10 responden, (responden sekunder) yang terdiri dari para orang tua penderita TB
anak (flek). Dari kelurahan Warung Boto didapatkan 5 orang responden dan dari
kelurahan Pandeyan didapatkan 5 orang responden juga.
Responden, yang terdiri dari para orang tua penderita TB anak,
mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda. 3 orang responden
berpendidikan sampai tingkat SMP, 5 orang responden berpendidikan sampai
tingkat SMA dan 2 orang responden berpendidikan sampai tingkat perguruan
tinggi.
Berdasarkan pekerjaan para responden, 5 orang responden bekerja di
sektor swasta, 1 orang responden bekerja sebagai buruh sedangkan 4 orang
responden yang lain tidak bekerja.
Penderita TB anak terdiri dari 10 orang, 6 diantaranya perempuan dan 4
laki-laki. Usia mereka dari yang paling kecil adalah 18 bulan sampai dengan 6
tahun 6 bulan. Dari para penderita tersebut, mulainya pengobatan berkisar dari
bulan Februari 2005 sampai dengan Oktober 2005.
Tabel hasil frekuensi kuesioner I (kuesioner tertutup) sebagai berikut :

f %
Pengetahuan tentang TB paru
-baik 8 80
-cukup 2 20
-kurang 0 0
Persepsi mengenai petugas kesehatan
-baik 6 60
-kurang 4 40
Kepatuhan minum obat
-patuh 6 60
-kurang patuh 4 40

16
Faktor lingkungan
-baik 7 70
-kurang 3 30
Akses ke pelayanan kesehatan
-mudah 6 60
-sulit 4 40
Efek samping obat
-ada 0 0
-tidak 10 100
Respon terapi TB paru anak
-ada respon 7 70
-tidak berespon 3 30

Tabel hasil kuesioner II (kuesioner terbuka) sebagai berikut :


f %
1. Bagaimana pendapat Anda mengenai pelayanan
pengobatan dan pemeriksaan anak Anda?
-baik/memuaskan 2 20
-cukup baik 4 40
-kurang perhatian 4 40
2. Bagaimana pendapat Anda mengenai sikap petugas
kesehatan yang melayani pemeriksaan dan
pengobatan anak Anda?
-kurang/tidak memuaskan 4 40
-baik dan ramah 2 20
-baik tapi kurang informasi 4 40
3. Dari manakah Anda mendapat pengetahuan
mengenai TB anak?
-media cetak/elektronik 3 30
-pelayanan kesehatan 5 50
-lingkungan 2 20
4. Menurut Anda, apakah pemerintah dan puskesmas
memberikan informasi yang cukup mengenai TB
anak (flek)?
-kurang 5 50
-cukup 5 50
5. Menurut Anda, apakah lingkungan terlibat dalam
memberikan informasi tentang TB anak (flek)?
-ya 6 60
-tidak 4 40
6. Berapa kali pemerintah atau puskesmas memberikan
pengetahuan tentang TB anak ini?
-hanya sewaktu kontrol 3 30
-tidak sama sekali 7 70

17
7. Bagaimana peran keluarga Anda dalam pengobatan
anak Anda?
-pengawas minum obat 5 50
-mengingatkan kontrol sesuai jadwal 5 50
8. Dalam keluarga, siapakah yang bertugas mengawasi
minum obat?
-orang tua (bapak/ibu) 10 100
9. Bagaimana persepsi Anda tentang pengobatan TB
secara keseluruhan yang telah dijalani?
-cukup puas dengan pengobatan 6 60
-kurang puas 1 10
-merasa lama dan rumit 3 30

IV.2. PEMBAHASAN

IV.2.1. Pengetahuan tentang TB


Dalam penelitian ini kami membuat kuesioner tertutup tentang
pengetahuan yang terdiri dari 12 pertanyaan “Benar-Salah”. Kami mengajukan
pertanyaan tersebut lewat wawancara mendalam terhadap 10 responden dengan
memberikan skor 1 untuk jawaban yang tepat dan 0 jika jawaban responden tidak
tepat. Dari 12 pertanyaan tersebut kami membuat perincian jawaban sebagai
berikut :
No Pertanyaan Benar Salah
1 TB adalah penyakit menular 7 3
2 TB pada anak ditandai dengan batuk lama lebih dari 1 10 0
bulan, berat badan menurun, nafsu makan menurun
3 Anak dapat terinfeksi TB apabila kuman TB masuk ke 9 1
dalam tubuh melalui pernafasan
4 Penyakit TB dapat menyenbabkan kematian 7 3
5 Penyakit TB tidak dapat diobati 0 10
6 Dahak penderita TB kadang-kadang berdarah 6 4
7 Penyakit TB dapat sembuh dengan obat batuk biasa 0 10
8 Penderita TB harus dibawa ke dokter 10 0
9 Penderita TB harus minum obat secara teratur 10 0
10 Pengobatan TB minimal 2 bulan 3 7
11 Penderita TB anak dapat menularkan pada orang lain 6 4
12 TB merupakan penyakit keturunan 3 7

18
Keterangan : yang dicetak tebal menunjukkan jumlah responden yang menjawab
dengan tepat pertanyaan yang diajukan
Berdasarkan jumlah jawaban yang tepat, nampak bahwa pertanyaan nomor
11 merupakan pertanyaan yang paling sedikit dijawab dengan tepat oleh
responden. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang penularan
TB anak masih kurang. Ada kerancuan pengertian antara penularan TB anak
dengan TB dewasa. Masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa TB anak
sama dengan TB dewasa, dimana keduanya sama-sama dapat ditularkan ke orang
lain. Disinilah perlunya peran serta tenaga kesehatan untuk memberikan
penjelasan kepada masyarakat supaya benar-benar memahami masalah TB anak.

Skor yang diperoleh masing-masing responden adalah sebagai berikut :


No Umur Jenis Pendidikan Pekerjaan Hub dgn Skor
kelamin pasien
1 24 thn Perempuan SMP IRT Ibu kandung 7
2 32 thn Laki-laki SMU Wiraswasta Ayah 10
kandung
3 45 thn Perempuan SMP Wiraswasta Ibu kandung 11
4 31 thn Perempuan S1 IRT Ibu kandung 12
5 38 thn Laki-laki SMP Wiraswasta Ayah 10
kandung
6 36 thn Perempuan SMU Wiraswasta Ibu kandung 10
7 35 thn Perempuan S1 IRT Ibu kandung 10
8 29 thn Perempuan SMU Wiraswasta Ibu kandung 7
9 41 thn Perempuan SMU Buruh Ibu kandung 11
10 27 thn Perempuan SMU IRT Ibu kandung 8

Kami menjumlah semua skor yang diperoleh kemudian didapatkan rata-


rata skor dari 10 responden adalah 10, sehingga kami menetapkan definisi
operasional bahwa responden yang memiliki skor diatas atau sama dengan 10
berarti memiliki pengetahuan yang baik sedangkan yang hanya memiliki skor
kurang dari 10 berarti memiliki pengetahuan kurang. Dapat disimpulkan bahwa
dari 10 responden hanya 3 (30%) orang yang memiliki pengetahuan kurang,
sedangkan 7 (70%) responden lainnya memiliki pengetahuan yang baik. Dari

19
ketiga responden yang memiliki skor pengetahuan kurang dari rata-rata, 2
diantaranya memiliki tingkat pendidikan SMU sedangkan 1 responden
berpendidikan SMP. Ketiga responden tersebut semuanya perempuan dan 2
diantaranya adalah ibu rumah tangga sedangkan 1 responden berwiraswasta.
Ketiga responden semuanya masih berusia dibawah usia rata-rata responden.
Umur responden rata-rata 34 tahun sedangkan tiga responden yang memiliki skor
pengetahuan kurang berusia masing-masing 24, 29, dan 27 tahun.
Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan
terendah responen adalah SMP, akan tetapi belum bisa disimpulkan bahwa
responden yang hanya setingkat SMP kemudian memiliki pengetahuan yang
kurang tentang TB, hal ini dapat terlihat pada 2 responden lain yang juga hanya
mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP ternyata memiliki pengetahuan yang
baik tentang TB. Hal tersebut mungkin karena pengetahuan tentang TB anak tidak
hanya didapatkan dari sekolah formal tapi justru lebih banyak dari luar seperti
majalah-majalah kesehatan atau majalah tentang pendidikan anak.
Dalam penelitian ini juga dihubungkan masalah pengetahuan dengan
kepatuhan minum obat. Dapat ditampilkan dalam tabel sebagai berikut :

Tingkat pengetahuan Tingkat kepatuhan


Patuh Kurang patuh
Baik 7 0
Kurang 2 1

Dari tabel yang menghubungkan tentang tingkat pengetahuan dengan


kepatuhan di atas menunjukkan bahwa satu-satunya responden yang kurang patuh
adalah responden yang memiliki pengetahuan kurang. Pengetahuan yang kurang
mengenai TB mempengaruhi kepatuhan meminum obat, hal ini bisa saja karena
seseorang yang tidak mengetahui tentang pentingnya minum obat secara teratur
sesuai jadwal akan meningkatkan kemungkinan terjadinya putus obat.
Berdasarkan pertanyaan terbuka yang diajukan kepada responden
berkaitan dengan pengetahuan tentang TB didapatkan bahwa 3 dari 10 responden
memperoleh pengetahuan tetang TB dari media cetak dan elektronik (2 responden

20
memperoleh informasi dari majalah dan 1 responden memperoleh informasi dari
TV). 5 dari 10 responden memperoleh pengetahuan tentang TB dari petugas
pelayanan kesehatan pada saat berobat (4 responden memperoleh informasi dari
dokter puskesmas, 1 responden memperoleh informasi dari perawat). 2 dari 10
responden memperoleh informasi tentang TB dari lingkungan (tetangga). tetangga
yang memberi informasi disini bukan merupakan kader kesehatan tetapi
masyarakat awam yang kebetulan mengetahui tentang penyakit TB.
Informasi tentang TB anak
5 dari 10 responden merasa cukup memperoleh informasi tentang TB anak
baik dari pemerintah dan puskesmas. 5 dari 10 responden merasa pemerintah dan
puskesmas kurang optimal dalam memberikan informasi mengenai TB anak.
Pengetahuan tentang TB meliputi :
1. Penyakit TB adalah penyakit yang menular. tuberkulosis adalah suatu
penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman
menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah,
system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik
di paru maupun di luar paru.
2. Gejala utama dari tuberculosis adalah berat badan turun selama 3 bulan
berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan
meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik. Nafsu makan tidak
ada dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat.
Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas, dapat disertai keringat
malam. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan
biasanya multipel paling sering di leher, ketiak dan lipat paha. Batuk lama
lebih dari 30 hari tanda cairan di dada dan nyeri dada. Diare berulang yang
tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan di abdomen, dan tanda-
tanda cairan dalam abdomen.

21
3. Cara pemberian obat Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selam 6-8 bulan,
supaya semua kuman (termasuk kuman yang persisten) dapat dibunuh.
Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan
jangka waktu pengobatan) kuman TBC akan berkembang menjadi kuman
kebal obat (resisten).
4. Efek samping obat
Sebagian besar penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan.
Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara: Menjelaskan
kepada penderita tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala
efek sampang pada waktu penderita mengambil OAT
Efek Samping OAT antara lain :
a. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit
serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan
penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik
b. Efek Samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan
yang tidak enak gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan
obat-obat simptomatik atau obat sederhana , tetapi kadang-kadang
menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan dalam hal ini
pemberian OAT dapat diteruskan.
Responden memperoleh informasi mengenai TB anak melalui spanduk
dan poster-poster. Responden memperoleh penjelasan mengenai cara penularan
penyakit TB, pengobatan, cara pemberian obat, efek samping obat serta gejala
dan tanda dari penyakit TB.

IV.2.2. Persepsi terhadap Petugas Kesehatan

Persepsi diartikan sebagai pandangan individu terhadap lingkungannya


atau gambaran subjektif internal seseorang terhadap dunia luarnya. Persepsi

22
terbentuk dari proses pengamatan seseorang berasal dari komponen kognitif yang
dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar dan pengetahuan, pendidikan
serta keadaan sosial budaya setempat.
Persepsi masyarakat terhadap petugas kesehatan dipengaruhi dari
pengalaman kontak dengan petugas kesehatan, tingkat pendidikan dan
pengetahuan mengenai peran petugas kesehatan. Dari 10 orang yang
diwawancarai, 6 orang memiliki persepsi yang baik terhadap petugas kesehatan,
dan menilai bahwa petugas kesehatan bersikap baik dan ramah dalam pengobatan
anak. Sebagian besar juga menilai petugas kesehatan telah memperhatikan
keluhan yang disampaikan.
Penjelasan tentang lama pengobatan, cara minum obat, dan alasan minum
obat secara teratur telah diberikan. Namun masih ada petugas yang memberikan
obat secara langsung tanpa memberikan penjelasan, sehingga beberapa responden
menilai petugas kesehatan masih kurang memberikan informasi. Hal yang kurang
dijelaskan oleh petugas kesehatan adalah tujuan pengobatan dan efek samping
dari obat yang diberikan. Kurangnya informasi yang diberikan menurut persepsi
orang tua pasien karena petugas terburu-buru dalam melayani pemeriksaan dan
pengobatan.
Hasil dari wawancara dengan pertanyaan tertutup dari kuisioner yang
diperoleh dari 10 responden adalah sebagai berikut :
1. Menilai petugas kesehatan baik dan ramah dalam pelayanan pengobatan
anak : 60 %
2. Petugas kesehatan sangat memperhatikan keluhan yang disampaikan : 70
%
3. Petugas kesehatan langsung memberikan obat tanpa memberi penjelasan :
30 %
4. Petugas telah menjelaskan tujuan pengobatan TB anak dengan rinci : 50 %
5. Petugas kesehatan telah menjelaskan lamanya pengobatan : 80 %
6. Petugas kesehatan telah menjelaskan cara minum obat dan mengapa harus
minum obat secara teratur : 90 %
7. Petugas kesehatan telah menjelaskan efek samping pengobatan : 40 %

23
Empat dari sepuluh orang tua memiliki persepsi kurang baik mengenai
petugas kesehatan. Mereka menilai pemeriksaan dan pengobatan anak kurang
memuaskan karena petugas kurang perhatian dan kurang teliti.
Secara detail, pendapat setiap responden mengenai petugas kesehatan dan
pelayanan puskesmas dari pertanyaan terbuka yang diajukan dalam wawancara
sebagai berikut :
1. Responden 1 : petugas kesehatan kurang menjelaskan mengenai lama dan
jadwal minum obat. Petugas kesehatan juga kurang perhatian terhadap
pasien, dalam hal ini selalu menanyakan kapan mulai pengobatan walau
pun ada dalam rekam medis. Selain itu, anak jarang diperiksa secara
menyeluruh, hanya ditimbang.
2. Responden 2 : pelayanan untuk pengobatan TB paru masih kurang karena
50 % dari waktu kunjungan anak hanya diberi obat, tidak ditimbang
maupun diperiksa. Terkadang pasien hanya bertemu mantra, tidak dengan
dokter.
3. Responden 3 : petugas kurang memperhatikan keluhan pasien. Pelayanan
kurang memuaskan, tidak menjelaskan cara minum obat.
4. Responden 4 : Petugas kesehatan sangat memperhatikan keluhan pasien
dan ramah.
5. Responden 5 : petugas kesehatan kurang perhatian, tidak memeriksa
pasien, tidak menimbang pasien, dan tidak menjelaskan cara meminum
obat. Pelayanan kurang memuaskan karena terlalu lama dan kurang ramah.
6. Responden 6 : Petugas kesehatan kurang memperhatikan keluhan pasien,
misalnya ketika responden mengeluhkan berat badan anak yang tidak naik,
petugas hanya memberitahu agar pengobatan dilanjutkan tanpa penjelasan.
Selain itu, responden juga menyesalkan obat anak bisa diambil tanpa
membawa anak ke puskesmas.
7. Responden 7 : walau pun menunggu lama, responden cukup puas atas
pelayanan petugas. Responden dapat memaklumi karena pasien di
puskesmas banyak. Petugas cukup ramah walaupun terkesan terburu-buru,

24
sehingga banyak pertanyaan yang hanya dijawab secukupnya, seperti
pertanyaan ada tidaknya pantangan makan.
8. Responden 8 : pelayanan di puskesmas cukup cepat. Walupun mendengar
keluhan, namun petugas kurang memberikan informasi.
9. Responden 9 : petugas bersikap baik, ramah, dan memberikan informasi
yang jelas. Pelayanan murah dan cepat.
10. Responden 10 : pelayanan petugas cukup baik, mendengarkan keluhan,
pemberian obat cepat, namun informasi yang diberikan kurang misalnya
lama pengobatan.
Dari pendapat-pendapat di atas tampak bahwa yang banyak dikeluhkan
responden adalah kurangnya informasi yang diberikan petugas kesehatan. Selain
itu, kadang pasien hanya diberi obat langsung tanpa diperiksa. Namun demikian
beberapa responden menilai petugas kesehatan telah memberikan informasi yang
jelas.
Pengaruh persepsi orang tua terhadap petugas kesehatan dalam melayani
pengobatan TB paru anak tidak dapat dinilai dalam penelitian ini karena sampel
yang ada sangat kecil, sehingga korelasi antara keduanya tidak valid bila
dianalisis secara statistik, yang berarti tidak dapat dianggap mewakili populasi
secara keseluruhan. Namun demikian, dapat dilihat hubungan persepsi dengan
tingkat kepatuhan pada masing-masing responden sebagai berikut :
1. Responden 1 : persepsi kepada petugas kurang baik, namun tingkat
kepatuhan minum obat tinggi.
2. Responden 2 : persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
3. Responden 3 : persepsi kepada petugas kurang baik, namun tingkat
kepatuhan minum obat tinggi.
4. Responden 4 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
5. Responden 5 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.

25
6. Responden 6 : persepsi kepada petugas kurang baik, namun tingkat
kepatuhan minum obat tinggi.
7. Responden 7 : persepsi kepada petugas kurang baik, namun tingkat
kepatuhan minum obat tinggi.
8. Responden 8 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
9. Responden 9 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
10. Responden 10 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat kurang.
Dari deskripsi di atas tampak bahwa walaupun persepsi terhadap petugas
kurang, tingkat kepatuhan minum obat tetap tinggi. Sebaliknya, persepsi yang
baik kepada petugas tidak selalu menimbulkan kepatuhan yang tinggi untuk
minum obat. Hal ini berarti ada hal-hal lain yang lebih berpengaruh terhadap
tingkat kepatuhan minum obat pasien.

IV.2.3. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis


Tidak ada satupun responden yang mengeluhkan efek samping dari
pengobatan TBC pada anak mereka. jadi kita tidak bisa menghubungkan antara
adanya efek samping dengan ketaatan berobat.

IV.2.4 Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis


Kepatuhan minum obat merupakan perilaku penderita yang berhubungan
dengan proses pengobatan Tuberkulosis pada anak. Dalam penelitian ini,
kepatuhan minum obat penderita diketahui melalui wawancara dengan 10
responden, dimana untuk menilai apakah pasien patuh terhadap pengobatan
ditanyakan 7 pertanyaan dengan 2 pilihan jawaban yaitu “Ya - Tidak” dengan
skor 1 untuk jawaban “Ya” dan untuk jawaban “Tidak” diberi skor 0. Anak
dikatakan patuh jika skornya adalah ≥6 dan dikatakan kurang patuh jika skor <6
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat tabel dibawah ini :
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah obat diminum setiap hari ? 10 0

26
2 Apakah obat dapat terminum seluruhnya tanpa 9 1
dimuntahkan kemudian ?
3 Apakah obat diminum sesuai jadwal ? 10 0
4 Apakah obat diminum minimal 15 menit sebelum makan ? 6 4
5 Apakah pernah putus obat ? 2 8
6 Apakah selalu kontrol sesuai jadwal ? 10 0
7 Apakah bila timbul efek samping obat, anda menghentikan 1 9
pemberian obat ?

Kami menjumlah semua skor yang diperoleh kemudian didapatkan rata-


rata skor dari 10 responden adalah 6 sehingga kami menetapkan definisi
operasional bahwa responden yang memiliki skor diatas atau sama dengan 6
berarti memiliki kepatuhan sedangkan yang hanya memiliki skor kurang dari 6
berarti memiliki kepatuhan kurang. Dapat disimpulkan bahwa dari 10 responden
hanya 1 yang dikatakan kurang patuh, sedangkan 9 responden lainnya memiliki
kepatuhan meminum obat

IV.2.5. Faktor Lingkungan Penderita TB


Faktor lingkungan adalah kondisi lingkungan yang dapat memudahkan
penyebaran kuman TB pada anak. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi angka
kejadian penyakit TB pada suatu daerah. Sebagai contoh, bila angka kejadian TB
dewasa tinggi, dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini
terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan
menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat
penting untuk mendeteksi TB pada dewasa baik dilingkungan sekitar anak
maupun yang tinggal serumah, sehingga setiap anak yang mempunyai resiko
tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan. (Kartasasmita, 2002).
Penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke
dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa
dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus
seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersih
dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan

27
terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat
adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.
(Rosmayudi, 2002)
Dari penelitian ini, untuk mengetahui apakah faktor lingkungan baik atau
kurang, dilakukan wawancara dengan 10 responden untuk menilai apakah
lingkungan tempat pasien tinggal adalah baik, ditanyakan 6 pertanyaan dengan 2
pilihan jawaban yaitu “Ya - Tidak” dengan skor 1 untuk jawaban “Ya” dan untuk
jawaban “Tidak” diberi skor 0. lingkungan dikatakan baik jika skor rata-rata
adalah ≥5 dan dikatakan kurang baik jika skor kurang <5
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat tabel dibawah ini :
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah penderita tinggal serumah dengan penderita TB 0 10
yang tidak diobati ?
2 Apakah ada tetangga penderita yang menderita TB yang 1 9
tidak diobati
3 Bila Ya, Apakah kasur dan tikar di jemur secara teratur ? 5 5
4 Apakah ventilasi di rumah penderita cukup ? 8 2
5 Apakah rumah anda cukup terang sehingga tidak perlu 7 3
menyalakan lampu pada siang hari ?
6 Apakah lantai rumah diplester ? 8 2

Kami menjumlah semua skor yang diperoleh kemudian didapatkan rata-


rata skor dari 10 responden adalah 5, sehingga kami menetapkan definisi
operasional bahwa responden yang memiliki skor diatas atau sama dengan 5
berarti memiliki lingkungan baik, sedangkan yang hanya memiliki skor kurang
dari 5 berarti lingkungannya kurang baik. Dapat disimpulkan bahwa dari 10
responden hanya 3 yang dikatakan lingkungannya kurang baik, sedangkan 7
responden lainnya memiliki lingkungan yang baik.
Berdasarkan kuesioner terbuka didapatkan bahwa keterlibatan lingkungan
dalam memberikan informasi tentang TB anak, diperoleh data dari 10 responden
yaitu hanya 6 responden yang menjawab adanya peran lingkungan dan 4
responden menjawab tidak ada peran lingkungan. Hasil yang dapat disimpulkan
bahwa hanya sebagian responden yang mendapatkan infromasi tetang TB anak,

28
masih kurang terlibatnya lingkungan/kurang optimal dalam hal ini, diharapkan
peran lingkungan, khususnya peran Posyandu dalam kegiatan keterpaduan
dimasyarakat dalam bidang Pelayanan Kesehatan, khususnya masalah
memberikan informasi tentang TB anak ini. Dalam penyelenggaraan Posyandu
ini, Rencana dan Pengembangannya dilakukan oleh kader kesehatan, Kapala
Desa, LKMD dengan bimbingan Tim Pembina LKMD Kecamatan dan
penyelenggaraan oleh kader kesehatan dari PKK, tokoh masyarakat dan
pemuda/pemudi.
Contoh pendekatan yang bisa dilakukan yaitu : pada setiap penderita baru
yang ditemukan harus selalu didampingi oleh oarang yang telah terlatih tentang
cara pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari (PMO).
Maksudnya untuk menjamin pengobatan lengkap, mencegah Resistensi. Yang
termasuk PMO adalah Petugas Kesehatan, keluarga penderita, kader penderita
yang sudah sembuh, tokoh masyarakat yang sudah dilatih strategi dan
penanggulangan TB.
Peran Pemerintah/Puskesmas dalam memberikan pengetahuan TB anak
diperoleh data dari 10 responden yaitu 8 responden yang menjawab tidak ada,
sedangkan 2 responden menjawab pada saat kontrol ke Puskesmas. Hasil yang
dapat disimpulkan bahwa peran Puskesmas dalam masalah ini kurang optimal dan
perlu ditingkatkan lagi. Diharapkan pihak Puskesmas yaitu suatu kesatuan yang
melayani kesehatan perorangan/individu atau keluarga. Pada suatu daerah dengan
luas tertentu. Sudah menjadi tugas Puskesmas untuk memberikan pengetahuan
tentang TB anak ini melalui usaha-usaha pengawasan kesehatan anak antara lain:
 Higine
 Pengobatan TB
 Gizi anak
 Cara Pengelolaan Penyakit TB
 Pendidikan Kesehatan.
Pihak puskesmas harus mamapu mendiagnosis dan dibuat berdasarkan 2
gejala dari 6 kriteria dengan yang telah ditetapkan. Jika meragukan perlu dikirim
kepada unit kesehatan yang lebih mampu dengan peralatan yang lebih lengkap.

29
Jika tetap meragukan supaya dirujuk kie rumah sakit yang ada dokter ahli anak
dan paru.

IV.2.6. Akses terhadap Pelayanan Kesehatan


Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat
penderita TB. Faktor yang paling berpengaruh adalah peran pengawas minum
obat (PMO) yang kurang efektif, sedangkan salah satu faktor lainnya adalah
kerterjangkauan (akses) terhadap pelayanan kesehatan yang sulit (Fahrudda,dkk, ).
Berdasarkan data penelitian kami, dari total 10 responden terdapat 6 responden
dengan skor akses pelayanan kesehatan lebih atau sama dengan 6. Skor lebih dari
6 berarti akses terhadap pelayanan kesehatan dianggap mudah, sedangkan sklor
kurang dari 6 berarti akses terhadap pelayanan kesehatan dianggap sulit.
Pertanyaan mengenai akses adalah: jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan, ada
tidaknya fasilitas kendaraan pribadi untuk menjangkau pelayanan kesehatan,
ongkos yang diperlukan setiap berkunjung ke pelayanan kesehatan, dan waktu
yang dibutuhkan untuk pergi ke pelayanan kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak antara rumah dan puskesmas
pada 6 responden adalah 1-5 km, sedangkan 3 sisanya kurang dari 1 km. Seluruh
responden memiliki fasilitas kendaraan pribadi untuk menjangkau tempat
pelayanan kesehatan, dalam hal ini Puskesmas Umbulharjo I, dan mengeluarkan
ongkos kurang dari 4000 rupiah untuk sekali kedatangan ke Puskesmas. Waktu
yang dibutuhkan untuk sampai ke Puskesmas adalah kurang dari 10 menit pada 6
responden, dan antara 10-30 menit pada 3 responden. Dari 4 responden dengan
akses pelayanan kesehatan sulit, tidak ada responden dengan kriteria tidak patuh,
dan dari 6 responden dengan kriteria akses kesehatan mudah, terdapat 1 responden
dengan kriteria tidak patuh.
Tabel Kriteria Akses dan Kepatuhan Responden
No Responden Kriteria Akses Kriteria Kepatuhan
1 Sulit Patuh
2 Sulit Patuh
3 Mudah Patuh

30
4 Sulit Patuh
5 Sulit Patuh
6 Mudah Patuh
7 Mudah Patuh
8 Mudah Patuh
9 Mudah Patuh
10 Mudah Tidak Patuh

Berdasarkan data di atas, pada penelitian ini didapatkan bahwa akses


terhadap pelayanan kesehatan tidak menyebabkan ketidakpatuhan minum obat
pada responden. Hal yang paling berpengaruh terhadap keterjangkauan akses
dalam kuesioner ini tampaknya adalah adanya fasilitas kendaraan pribadi. Semua
responden pada penelitian ini memiliki kendaraan pribadi untuk menjangkau
Puskesmas, sehingga perbedaan jarak dan waktu yang diperlukan untuk ke
Puskesmas tidak menjadi masalah. Selain itu, jarak antara rumah dan Puskesmas
tidak jauh dan waktu yang diperlukan untuk ke Puskesmas tidak lama, karena
semua responden tinggal dalam satu kecamatan dengan sarana fisik memadai.
Ketidakpatuhan responden nomor 10 kemungkinan dipengaruhi oleh pengetahuan
yang kurang, terutama mengenai aturan minum obat, dan lama pengobatan yang
lebih dari 6 bulan.
Salah satu faktor penting dalam keterjangkauan sarana pengobatan dalam
kasus TB anak adalah adanya pengantar anak untuk berobat. Seluruh responden
mempunyai keluarga yang bertugas mengantar anak untuk berobat atau
mengambilkan obat anak. Keluarga yang bertugas adalah ibu ( 9 responden) dan
kakak (1 responden).
Kuesioner akses pelayanan kesehatan pada penelitian ini lebih
menggambarkan ketaatan untuk rutin kontrol dan datang mengambil obat ke
Puskesmas, tetapi tidak dapat menggambarkan ketaatan minum obat.
Keterjangkauan terhadap sarana pelayanan kesehatan diharapkan dapat menjamin
kontinyuitas menjalani pengobatan, sehingga pasien TB tidak putus obat. Hal lain
yang berhubungan dengan akses dan kepatuhan menjalani pengobatan adalah

31
ketersediaan obat di unit pelayanan kesehatan dasar dan harga obat yang
terjangkau oleh pasien.
Di Puskesmas Umbulharjo I, pasien TB anak memperoleh obat secara
gratis, hal ini sangat berpengaruh terhadap ketaatan pasien untuk selalu kontrol
sebelum obat habis. Berdasarkan wawancara, seluruh responden menyatakan
bahwa selalu datang ke Puskesmas untuk mengambil obat sebelum obat habis.
Ketersediaan obat yang terjangkau seluruh penderita TB merupakan
program WHO yaitu “Stop TB”. Program ini menyediakan dana sebesar 50 juta
dolar amerika per tahun untuk peningkatan akses terhadap obat TB bagi 10 juta
pasien selama 5 tahun (Anonim, 2001). Program ini berdasarkan data bahwa TB
masih menyebabkan kematian bagi lebih dari 2 juta orang setiap tahun dan
hambatan utama eradikasi TB adalah penyediaan obat yang kurang baik
( Anonim, 2005). Program ini berpengaruh positif terhadap motivasi pasien untuk
patuh minum obat sehingga program Stop TB harus mendapatkan perhatian dari
seluruh pihak yang berwenang dalam pemberantasan TB.

IV.2.7. Respon terhadap Pengobatan TB


Respon terhadap pengobatan dinilai minimal 2 bulan setelah pengobatan
diberikan (Departemen kesehatan,2002). Dari 10 responden sekunder ada 9
responden yang anaknya telah menjalani pengobatan minimal 2 bulan. Dari 9
responden hanya 1 responden yang masuk kategori tidak berespon terhadap
pengobatan. Responden tersebut telah menjalani pengobatan selama 4 bulan.
Berdasarkan alur pendeteksian dini dan rujukan TB anak yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan tahun 2003, jika setelah 2 bulan gejala klinis belum ada
perbaikan atau memburuk maka mungkin anak tersebut bukan TBC atau
menderita TBC yang kebal terhadap pengobatan. Responden termasuk patuh
terhadap pengobatan, hanya saja orang tua responden memberikan obat kepada
anaknya setelah anak makan. Padahal seharusnya obat diberikan sebelum saat
perut kosong atau sebelum mengkonsumsi makanan. Obat-obat yang seharusnya
dikonsumsi saat perut kosong akan terganggu bioavailibilitasnya jika dikonsumsi
bersama-sama makanan, karena mengganggu absorpsi obat dalam saluran cerna.

32
Mungkin hal ini juga menjadi penyebab belum nampaknya perbaikan klinis pada
responden.
Jika kita buat tabulasi silang antara respon terhadap pengobatan dan
tingkat kepatuhan maka:
Tingkat kepatuhan Respon Pengobatan
Tidak Berespon Berespon
Patuh 1 7
Kurang Patuh 0 1
Nampak bahwa pasien dengan kategori kurang patuh ternyata memberikan respon
terhadap pengobatan. Pada responden ini, poin-poin ynag menyebabkan ia
dikelompokkan pada kurang patuh adalah karena pernah putus obat tiga kali serta
minum obat TBC setelah makan.

IV.2.8. Peran Keluarga terhadap Pengobatan TB


Dari kuesioner terbuka didapatkan bahwa seluruh responden menyatakan
bahwa keluarga berperan baik dalam pengobatan. Termasuk di dalamnya yaitu
mendukung pengobatan dengan cara mengingatkan untuk minum obat dan kontrol
teratur (8 responden), memastikan obat masuk ke tubuh anak (3 responden),
mencari keterangan mengenai penyakit TB (1 responden), menerangkan penyakit
tersebut pada anak (2 responden), menghindari hal-hal yang memperparah
penyakit (1 responden), memperhatikan pantangan (1 responden), menanyakan
perkembangan anak (1 responden).
Dari hasil di atas, terlihat bahwa keluarga terutama berperan dalam
mengawasi anak minum obat dan kontrol teratur. Dengan demikian, akan
menjamin kepatuhan penderita untuk minum obat sehingga obat dapat diminum
setiap hari. Kontrol teratur sangat penting agar tidak terjadi kekosongan
pemberian obat yang merupakan salah satu prinsip dasar pengobatan TB agar
dapat berhasil baik.
Dari kuesioner terbuka mengenai pengawas minum obat didapatkan bahwa
lima responden menjawab ibu, satu responden menjawab ayah, dan empat
responden menjawab kedua-duanya (ayah dan ibu). Dari hasil tersebut, terlihat
bahwa ibu banyak berperan sebagai pengawas minum obat bagi anak. Hal ini

33
dapat diterima, mengingat ibu seringkali merupakan orang yang paling dekat
dengan anak dan sehari-hari bertugas mengurusi kebutuhan anak, sedangkan ayah
sibuk bekerja.

IV.2.9. Persepsi terhadap Pengobatan TB yang Telah Dijalani


Berdasarkan pertanyaan pada kuesioner terbuka mengenai persepsi
terhadap pengobatan TB yang telah dijalani diperoleh data bahwa dari 10
responden, 5 responden menyatakan puas dan 5 responden menyatakan kurang
puas dengan pengobatan yang telah dijalani. Kepuasan ditunjukkan dengan
pengobatan yang dilakukan bertahap (1 responden) dan adanya perubahan pada
anak yaitu berat badan naik, nafsu makan meningkat, dan daya tahan tubuh
meningkat (5 responden). Sedangkan ketidakpuasan diungkapkan dengan
pengobatan yang lama (2 responden) dan harus teratur (1 responden), belum
tampak adanya perubahan pada anak (1 responden), orang tua tidak diberitahu
mengenai lamanya pengobatan (1 responden), merasa kurang diperhatikan (1
responden), pelayanan kurang ramah (1 responden), dan pelacakan TB dewasa
kurang (1 responden). Satu responden mengaku senang mendapat pengobatan
gratis sedangkan satu responden lainnya mengeluhkan tidak memiliki biaya untuk
pemeriksaan darah dan roentgen.

34
35

Anda mungkin juga menyukai