PENDAHULUAN
1
di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk
mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap
anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan
(Kartasasmita CB,2002). Pada wilayah kerja Puskesmas Umbulharjo I tercatat 5
pasien yang didiagnosis TBC pada tahun 2004 sedangkan pada tahun 2005
tercatat 11 pasien . Sedangkan jumlah pasien TBC anak yang tercatat pada tahun
2005 dan amsih menjalankan pengobatan ada 18 anak.
Beberapa faktor berperan pada kenaikan angka kejadian TBC secara
umum seperti diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang,
migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS (Directly
Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil (Kartasasmita CB,2002).
I.3. Hipotesis
Tingkat pengetahuan orang tua tentang TB secara umum baik.
Persepsi keluarga terhadap penderita TB anak terhadap petugas kesehatan
baik.
Tidak ada penderita TB anak yang mengalami efek samping selama
menjalani pengobatan.
2
Sebagian besar penderita mempunyai akses yang mudah ke pelayanan
kesehatan.
Sebagian besar panderita TB anak mempunyai tingkat kepatuhan yang
baik untuk minum obat.
Faktor-faktor di atas berpengaruh terhadap tingkat kepatuahn minum obat.
Sebagian besar penderita TB anak mempunyai respon pengobatan yang
baik.
Lingkungan sebagian besar anak penderita TB termasuk lingkungan yang
baik.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi pada paru-paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium bovis yang ditularkan melalui
droplet penderita ( Crofton, et al, 1999).
II.2. Etiologi
Etiologi tuberculosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberkulosis atau
Mycobacterium bovis, yang mempunyai sifat-sifat: tahan asam, pertumbuhan
lambat, tahan lama dalam keadaan kering berminggu-minggu, dan tidak tahan
terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, dan suhu 60 C atau lebih.
II.3. Epidemiologi
Saat ini, sekitar 20-43% populasi dunia terinfeksi Tuberculosis. Pada
setiap tahunnya, sekitar 3 juta orang meninggal karena penyakit ini
(Chesnut,2004). Jumlah kasus baru TB mencapai 8,6 juta atau 138 per 100.000
populasi. Prevalensi TB terbanyak di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurut WHO, Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah kasus baru TB
(0,4 juta kasus) setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,3 juta kasus), 10 persen
diantaranya adalah anak usia di bawah 15 tahun (Ida S, 2004).
Selama periode 1999-2000, program penanggulangan TB di Indonesia
telah menjaring 45.248 kasus BTA (+) baru yang relatif meningkat 10% dari
tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan WHO-SEARO tahun 2003, diperkirakan
insiden TB atau kasus baru TB sebesar 581.847 atau 271 per 100 ribu populasi.
Pada umumnya, TB menyerang kelompok usia produktif, antara usia 20-45 tahun.
Berbeda dengan TB pada orang dewasa, angka pasti prevalensi TB pada
anak-anak tidak diketahui dengan pasti. Penelitian yang dilakukan oleh Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UI/RSCM dan FKUP/RSHS tahun 2000 terhadap 355
anak SD berusia 5-13 tahun di kabupaten Bandung mendapatkan prevalensi 11,35.
4
Penelitian lain yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1999-2001 dengan
metode skrining IDAI mendapatkan data bahwa 4,3% balita berusia 6-59 bulan
menederita TB (Ida S, 2004).
5
Gejala khusus yang mungkin timbul pada TB anak adalah gibus,
konjunktivitis pliktenularis, dan skrofuloderma. Pada keadaan tersebut, harus
dibuktikan TB sebagai penyebabnya.
Uji tuberkulin
Sebenarnya deteksi dini TB pada anak dapat dilakukan, yaitu dengan uji
tuberkulin secara rutin pada anak balita yang berobat, tetapi program ini sulit
dilaksanakan karena memerlukan biaya yang cukup besar. Tidak jarang diagnosis
TB pada anak diketahui setelah dilakukan uji tuberkulin tanpa ada gejala umum
atau khusus yang dikeluhkan orang tua pasien.
Pada anak di bawah umur lima tahun dengan uji tuberkulin positif, proses
TB biasanya masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan
radiologist. Uji tuberkulin dilakukan berdasarkan timbulnya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein karena adanya infeksi.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu cara Moro dengan salep,
dengan goresan disebut patch test cara von Pirquet, cara Mantoux dengan
penyuntikan intrakutan dan multiple puncture method dengan 4-6 jarum
berdasarkan cara Heaf dan Tine.
Sampai sekarang, cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling
dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukkan dapat
diketahui banyaknya. Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas:
1. eritema karena vasodilatasi primer
2. edema karena reaksi antara antigen yang disuntikkan dengan antibodi
3. indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberkulin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Tuberkulin yang biasa
dipakai adalah Old Tuberculin (OT) dan Purified Protein Derivatives (PPD).
Dosis baku tuberkulin uji Mantoux ialah 0,1 ml PPD-RT 23 2 TU, PPD-S
5 TU atau OT 1/2000 yang disuntikkan intrakutan. Indurasi dengan diameter 5
mm ke atas dianggap positif, dengan catatan 0-4 mm negatif, 5-9 mm masih
meragukan, dan 10 mm ke atas jelas positif.
6
Penyuntikan BCG menyebabkan konversi uji tuberkulin sehingga dapat
mengacaukan penilaian uji tuberkulin untuk diagnosis TB. Dinyatakan bahwa bila
anak telah mendapat BCG kemudian hasil uji tuberkulin dengan PPD-RT 23 2
TU, PPD-S 5 TU atau OT 1/2000 menimbulkan indurasi lebih dari 15 mm, maka
harus dicurigai akan adanya superinfeksi TB. Kalau BCG diberikan pada masa
neonatus, maka setelah 1 tahun, hanya 10% yang mempunyai reaksi dengan
indurasi 5 mm atau lebih terhadap PPD-RT 23 2 TU atau PPD-S 5 TU dan tidak
ada yang beraksi dengan diameter indurasi 10 mm ke atas.
Uji tuberkulin akan menjadi negatif sementara pada penderita TB (anergi)
dengan:
1. Malnutrisi Energi Protein
2. TB berat
3. Morbili, Varicella
4. Pertusis, Difteri, Tifus abdominalis
5. Pemberian kortikosteroid yang lama
6. Vaksin virus, misalnya poliomielitis
7. Penyakit ganas, misalnya penyakit Hodgkin.
Pemeriksaan radiologis
Pada anak dengan uji tuberkulin positif, dilakukan pemeriksaan radiologis.
Secara rutin dilakukan foto Rontgen paru dan atas indikasi juga dibuat foto
Rontgen alat tubuh lain, misal foto tulang punggung pada spondilitis.
Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada TB paru adalah:
1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran
2. Pembesaran kelenjar paratrakeal
3. Penyebaran milier
4. Penyebaran bronkogen
5. Atelektasis
6. Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis paru saja tidak dapat digunakan untuk membuat
diagnosis TB, tetapi harus disertai data klinis lainnya.
7
Pemeriksaan bakteriologis
Penemuan basil TB memastikan diagnosis TB, tetapi tidak ditemukannya
basil TB bukan berarti tidak menderita TB. Bahan-bahan yang digunakan untuk
pemeriksaan bakteriologis ialah:
1. Bilasan lambung
2. Sekret bronkus
3. Sputum pada anak besar
4. Cairan pleura
5. Likuor serebrospinalis
6. Cairan asites
7. Bahan-bahan lainnya.
Uji BCG
Di Indonesia BCG diberikan secara langsung tanpa didahului uji
tuberkulin. Bila pada anak yang mendapat BCG langsung terdapat reaksi lokal
yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan, maka harus
dicurigai adanya TB, dan diperiksa lebih lanjut ke arah TB. Pada anak dengan TB,
BCG akan menimbulkan reaksi lokal yang lebih cepat dan besar. Karena itu,
reaksi BCG ini dapat dipakai sebagai alat diagnosis.
II.5. Terapi
Medikamentosa
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu fase intensif dengan paduan 3-5 OAT
selama 2 bulan awal, dan fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-Rifampisin)
hingga 6-12 bulan. Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada
fase intensif maupun fase lanjutan. Terapi OAT untuk TB paru adalah INH,
rifampisin dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan INH dan
8
rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-4HR). Untuk TB paru berat
(milier, destroyed lung) danTB ekstra paru digunakan 4-5 OAT selama 2 bulan
fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin hingga genap 9-12 bulan
terapi. Untuk TB kelenjar superfisial, terapinya sama dengan TB paru. Untuk TB
milier dan efusi pleura TB diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap (tappering off) selama 2 minggu,
sehingga total waktu pemberian 1 bulan.
Daftar obat, dosis, efek samping dan lain-lain dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Obat Sediaan Dosis Dosis Efek samping
(mg/kg maksimal
BB)
Isoniazid Tablet 100 5-15 300 mg Peningkatan
(INH/H) dan 300 mg; transaminase, hepatitis,
sirup 10 neuritis perifer,
mg/ml hipersensitivitas
Rifampisin Kapsul/tablet 10-15 600 mg Urin/sekresi warna
(RIF/R) 150, 300, 450, kuning, mual-muntah,
600 mg; sirup hepatitis, flu like
20 mg/ml reaction
Pirazinamid Tablet 500 25-35 2g Hepatotoksisitas,
(PZA/Z) mg hipersensitivitas
Etambutol Tablet 500 15-20 2,5 g Neuritis optikal
(EMB/E) mg (reversibel), gangguan
visus, gangguan warna,
gangguan sal.cerna
Streptomisin Vial 1g 15-30 1g Ototoksisitas,
(SM/S) nefrotoksisitas
9
Pirazinamid : 25-35 mg/kgBB/hari (maks 2 gram/hari) diberikan 1x-2x
Streptomisin : 15-30 mg/kgBB/hari (maksimal 1 gram/hari)
Etambutol : 15-20 mg/kgBB/hari (maksimal 2,5 gram/hari)
10
Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat dan
dosis yang digunakan sama yaitu INH 5-10 mg mg/kgBB/hari. Profilaksis primer
diberikan selama kontak masih ada, minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan
dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif dan kontak tidak ada maka
profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif maka
dievaluasi apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB. Jika hanya infeksi,
profilaksis primer dilanjutkan sebagai profilaksis sekunder. Profilaksis sekunder
diberikan selama 6-12 bulan yang merupakan waktu risiko tertinggi terjadinya
sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB.
II.7. Pemantauan
Respon klinis yang baik terhadap terapi mempunyai nilai diagnostik.
Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal. Nafsu makan
yang membaik, berat badan yang meningkat dengan cepat, hilangnya keluhan
demam, batuk lama, tidak mudah sakit lagi. Respon yang nyata biasanya terjadi
dalam 2 bulan fase awal (fase intensif). Setelah itu perbaikan klinis tidak lagi
sedramatis fase intensif.
Evaluasi radiologis dilakukan pada akhir pengobatan, kecuali jika ada
perburukan klinis. Jika gambaran radiologis juga memburuk, evaluasi kepatuhan
minum obat, dan kemungkinan kuman TB resisten obat. Terapi TB dimulai lagi
dari awal dengan paduan 4 OAT.
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Efek samping yang kadang muncul adalah hepatotoksisitas,
dengan gejala ikterik yang bisa disertai keluhan gastrointestinal lainnya. Keluhan
ini biasanya muncul dalam fase intensif. Pada kasus yang dicurigai adanya
kelainan fungsi hepar, maka pemeriksaan transaminase serum dilakukan sebelum
pemberian OAT dan dipantau minimal tiap 2 minggu dalam fase intensif. Jika
timbul ikterus OAT dihentikan, dilakukan uji fungsi hepar (bilirubin dan
transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan kadar transaminase <3x batas
atas normal, paduan OAT dapat dimulai lagi dengan dosis terendah.
11
Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap bulan.
Bila pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB, profilaksis diubah
menjadi terapi TB.
Berikut ini disajikan tabel populasi manusia berdasarkan status TB :
Kelas Kontak Infeksi Sakit Tatalaksana
0 - - - _
I + - - Profilaksis I
II + + - Profilaksis II
III + + + Terapi OAT
II.8. Prognosis
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama telah
mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga,
diagnosis dini, pengobatan adekuat dan adanya infeksi lain seperti morbili,
pertusis, diare yang berulang, dan lain-lain.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
12
terstruktur menggunakan kuesioner berisi pertanyaan terbuka dan tertutup
terhadap subjek penelitian untuk menggali faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan minum obat penderita
13
Akses ke pelayanan
kesehatan
Respon terapi
14
persepsi mengenai petugas kesehatan baik, jika skor mean (rata-
rata) skor seluruh responden
persepsi mengenai petugas kesehatan kurang, jika skor < mean
skor seluruh responden
4. kepatuhan minum obat
adalah perilaku penderita minum obat sesuai dengan aturan yang diberikan
kepatuhan baik, jika skor mean (rata-rata) skor seluruh responden
kepatuhan kurang, jika skor < mean skor seluruh responden
5. akses ke pelayanan kesehatan
adalah jarak, waktu, dan kemampuan untuk mencapai tempat pelayanan
kesehatan
akses ke pelayanan kesehatan mudah, jika skor mean (rata-rata)
skor seluruh responden
sulit, jika skor < mean skor seluruh responden
6. faktor lingkungan
adalah kondisi lingkungan yang dapat memudahkan penularan kuman TB
kepada anak
kondisi lingkungan baik, jika skor mean (rata-rata) skor seluruh
responden
kondisi lingkungan buruk, jika skor < mean skor seluruh responden
7. efek samping obat
adalah efek obat yang tidak diharapkan sehingga mengganggu penderita
efek samping ada, jika skor > 0
tidak ada efek samping, jika skor 0
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. HASIL
Penyebaran kuesioner I dan II dilakukan mulai tanggal 16 sampai dengan
20 November 2005 di masing-masing kelurahan Warung Boto dan Pandeyan,
kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta. Kuesioner I dan II berhasil mengumpulkan
10 responden, (responden sekunder) yang terdiri dari para orang tua penderita TB
anak (flek). Dari kelurahan Warung Boto didapatkan 5 orang responden dan dari
kelurahan Pandeyan didapatkan 5 orang responden juga.
Responden, yang terdiri dari para orang tua penderita TB anak,
mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda. 3 orang responden
berpendidikan sampai tingkat SMP, 5 orang responden berpendidikan sampai
tingkat SMA dan 2 orang responden berpendidikan sampai tingkat perguruan
tinggi.
Berdasarkan pekerjaan para responden, 5 orang responden bekerja di
sektor swasta, 1 orang responden bekerja sebagai buruh sedangkan 4 orang
responden yang lain tidak bekerja.
Penderita TB anak terdiri dari 10 orang, 6 diantaranya perempuan dan 4
laki-laki. Usia mereka dari yang paling kecil adalah 18 bulan sampai dengan 6
tahun 6 bulan. Dari para penderita tersebut, mulainya pengobatan berkisar dari
bulan Februari 2005 sampai dengan Oktober 2005.
Tabel hasil frekuensi kuesioner I (kuesioner tertutup) sebagai berikut :
f %
Pengetahuan tentang TB paru
-baik 8 80
-cukup 2 20
-kurang 0 0
Persepsi mengenai petugas kesehatan
-baik 6 60
-kurang 4 40
Kepatuhan minum obat
-patuh 6 60
-kurang patuh 4 40
16
Faktor lingkungan
-baik 7 70
-kurang 3 30
Akses ke pelayanan kesehatan
-mudah 6 60
-sulit 4 40
Efek samping obat
-ada 0 0
-tidak 10 100
Respon terapi TB paru anak
-ada respon 7 70
-tidak berespon 3 30
17
7. Bagaimana peran keluarga Anda dalam pengobatan
anak Anda?
-pengawas minum obat 5 50
-mengingatkan kontrol sesuai jadwal 5 50
8. Dalam keluarga, siapakah yang bertugas mengawasi
minum obat?
-orang tua (bapak/ibu) 10 100
9. Bagaimana persepsi Anda tentang pengobatan TB
secara keseluruhan yang telah dijalani?
-cukup puas dengan pengobatan 6 60
-kurang puas 1 10
-merasa lama dan rumit 3 30
IV.2. PEMBAHASAN
18
Keterangan : yang dicetak tebal menunjukkan jumlah responden yang menjawab
dengan tepat pertanyaan yang diajukan
Berdasarkan jumlah jawaban yang tepat, nampak bahwa pertanyaan nomor
11 merupakan pertanyaan yang paling sedikit dijawab dengan tepat oleh
responden. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang penularan
TB anak masih kurang. Ada kerancuan pengertian antara penularan TB anak
dengan TB dewasa. Masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa TB anak
sama dengan TB dewasa, dimana keduanya sama-sama dapat ditularkan ke orang
lain. Disinilah perlunya peran serta tenaga kesehatan untuk memberikan
penjelasan kepada masyarakat supaya benar-benar memahami masalah TB anak.
19
ketiga responden yang memiliki skor pengetahuan kurang dari rata-rata, 2
diantaranya memiliki tingkat pendidikan SMU sedangkan 1 responden
berpendidikan SMP. Ketiga responden tersebut semuanya perempuan dan 2
diantaranya adalah ibu rumah tangga sedangkan 1 responden berwiraswasta.
Ketiga responden semuanya masih berusia dibawah usia rata-rata responden.
Umur responden rata-rata 34 tahun sedangkan tiga responden yang memiliki skor
pengetahuan kurang berusia masing-masing 24, 29, dan 27 tahun.
Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan
terendah responen adalah SMP, akan tetapi belum bisa disimpulkan bahwa
responden yang hanya setingkat SMP kemudian memiliki pengetahuan yang
kurang tentang TB, hal ini dapat terlihat pada 2 responden lain yang juga hanya
mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP ternyata memiliki pengetahuan yang
baik tentang TB. Hal tersebut mungkin karena pengetahuan tentang TB anak tidak
hanya didapatkan dari sekolah formal tapi justru lebih banyak dari luar seperti
majalah-majalah kesehatan atau majalah tentang pendidikan anak.
Dalam penelitian ini juga dihubungkan masalah pengetahuan dengan
kepatuhan minum obat. Dapat ditampilkan dalam tabel sebagai berikut :
20
memperoleh informasi dari majalah dan 1 responden memperoleh informasi dari
TV). 5 dari 10 responden memperoleh pengetahuan tentang TB dari petugas
pelayanan kesehatan pada saat berobat (4 responden memperoleh informasi dari
dokter puskesmas, 1 responden memperoleh informasi dari perawat). 2 dari 10
responden memperoleh informasi tentang TB dari lingkungan (tetangga). tetangga
yang memberi informasi disini bukan merupakan kader kesehatan tetapi
masyarakat awam yang kebetulan mengetahui tentang penyakit TB.
Informasi tentang TB anak
5 dari 10 responden merasa cukup memperoleh informasi tentang TB anak
baik dari pemerintah dan puskesmas. 5 dari 10 responden merasa pemerintah dan
puskesmas kurang optimal dalam memberikan informasi mengenai TB anak.
Pengetahuan tentang TB meliputi :
1. Penyakit TB adalah penyakit yang menular. tuberkulosis adalah suatu
penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman
menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah,
system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik
di paru maupun di luar paru.
2. Gejala utama dari tuberculosis adalah berat badan turun selama 3 bulan
berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan
meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik. Nafsu makan tidak
ada dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat.
Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas, dapat disertai keringat
malam. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan
biasanya multipel paling sering di leher, ketiak dan lipat paha. Batuk lama
lebih dari 30 hari tanda cairan di dada dan nyeri dada. Diare berulang yang
tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan di abdomen, dan tanda-
tanda cairan dalam abdomen.
21
3. Cara pemberian obat Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selam 6-8 bulan,
supaya semua kuman (termasuk kuman yang persisten) dapat dibunuh.
Apabila panduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan
jangka waktu pengobatan) kuman TBC akan berkembang menjadi kuman
kebal obat (resisten).
4. Efek samping obat
Sebagian besar penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan.
Pemantauan efek samping obat dilakukan dengan cara: Menjelaskan
kepada penderita tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala
efek sampang pada waktu penderita mengambil OAT
Efek Samping OAT antara lain :
a. Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit
serius. Dalam kasus ini maka pemberian OAT harus dihentikan dan
penderita harus segera dirujuk ke UPK spesialistik
b. Efek Samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan
yang tidak enak gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan
obat-obat simptomatik atau obat sederhana , tetapi kadang-kadang
menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan dalam hal ini
pemberian OAT dapat diteruskan.
Responden memperoleh informasi mengenai TB anak melalui spanduk
dan poster-poster. Responden memperoleh penjelasan mengenai cara penularan
penyakit TB, pengobatan, cara pemberian obat, efek samping obat serta gejala
dan tanda dari penyakit TB.
22
terbentuk dari proses pengamatan seseorang berasal dari komponen kognitif yang
dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar dan pengetahuan, pendidikan
serta keadaan sosial budaya setempat.
Persepsi masyarakat terhadap petugas kesehatan dipengaruhi dari
pengalaman kontak dengan petugas kesehatan, tingkat pendidikan dan
pengetahuan mengenai peran petugas kesehatan. Dari 10 orang yang
diwawancarai, 6 orang memiliki persepsi yang baik terhadap petugas kesehatan,
dan menilai bahwa petugas kesehatan bersikap baik dan ramah dalam pengobatan
anak. Sebagian besar juga menilai petugas kesehatan telah memperhatikan
keluhan yang disampaikan.
Penjelasan tentang lama pengobatan, cara minum obat, dan alasan minum
obat secara teratur telah diberikan. Namun masih ada petugas yang memberikan
obat secara langsung tanpa memberikan penjelasan, sehingga beberapa responden
menilai petugas kesehatan masih kurang memberikan informasi. Hal yang kurang
dijelaskan oleh petugas kesehatan adalah tujuan pengobatan dan efek samping
dari obat yang diberikan. Kurangnya informasi yang diberikan menurut persepsi
orang tua pasien karena petugas terburu-buru dalam melayani pemeriksaan dan
pengobatan.
Hasil dari wawancara dengan pertanyaan tertutup dari kuisioner yang
diperoleh dari 10 responden adalah sebagai berikut :
1. Menilai petugas kesehatan baik dan ramah dalam pelayanan pengobatan
anak : 60 %
2. Petugas kesehatan sangat memperhatikan keluhan yang disampaikan : 70
%
3. Petugas kesehatan langsung memberikan obat tanpa memberi penjelasan :
30 %
4. Petugas telah menjelaskan tujuan pengobatan TB anak dengan rinci : 50 %
5. Petugas kesehatan telah menjelaskan lamanya pengobatan : 80 %
6. Petugas kesehatan telah menjelaskan cara minum obat dan mengapa harus
minum obat secara teratur : 90 %
7. Petugas kesehatan telah menjelaskan efek samping pengobatan : 40 %
23
Empat dari sepuluh orang tua memiliki persepsi kurang baik mengenai
petugas kesehatan. Mereka menilai pemeriksaan dan pengobatan anak kurang
memuaskan karena petugas kurang perhatian dan kurang teliti.
Secara detail, pendapat setiap responden mengenai petugas kesehatan dan
pelayanan puskesmas dari pertanyaan terbuka yang diajukan dalam wawancara
sebagai berikut :
1. Responden 1 : petugas kesehatan kurang menjelaskan mengenai lama dan
jadwal minum obat. Petugas kesehatan juga kurang perhatian terhadap
pasien, dalam hal ini selalu menanyakan kapan mulai pengobatan walau
pun ada dalam rekam medis. Selain itu, anak jarang diperiksa secara
menyeluruh, hanya ditimbang.
2. Responden 2 : pelayanan untuk pengobatan TB paru masih kurang karena
50 % dari waktu kunjungan anak hanya diberi obat, tidak ditimbang
maupun diperiksa. Terkadang pasien hanya bertemu mantra, tidak dengan
dokter.
3. Responden 3 : petugas kurang memperhatikan keluhan pasien. Pelayanan
kurang memuaskan, tidak menjelaskan cara minum obat.
4. Responden 4 : Petugas kesehatan sangat memperhatikan keluhan pasien
dan ramah.
5. Responden 5 : petugas kesehatan kurang perhatian, tidak memeriksa
pasien, tidak menimbang pasien, dan tidak menjelaskan cara meminum
obat. Pelayanan kurang memuaskan karena terlalu lama dan kurang ramah.
6. Responden 6 : Petugas kesehatan kurang memperhatikan keluhan pasien,
misalnya ketika responden mengeluhkan berat badan anak yang tidak naik,
petugas hanya memberitahu agar pengobatan dilanjutkan tanpa penjelasan.
Selain itu, responden juga menyesalkan obat anak bisa diambil tanpa
membawa anak ke puskesmas.
7. Responden 7 : walau pun menunggu lama, responden cukup puas atas
pelayanan petugas. Responden dapat memaklumi karena pasien di
puskesmas banyak. Petugas cukup ramah walaupun terkesan terburu-buru,
24
sehingga banyak pertanyaan yang hanya dijawab secukupnya, seperti
pertanyaan ada tidaknya pantangan makan.
8. Responden 8 : pelayanan di puskesmas cukup cepat. Walupun mendengar
keluhan, namun petugas kurang memberikan informasi.
9. Responden 9 : petugas bersikap baik, ramah, dan memberikan informasi
yang jelas. Pelayanan murah dan cepat.
10. Responden 10 : pelayanan petugas cukup baik, mendengarkan keluhan,
pemberian obat cepat, namun informasi yang diberikan kurang misalnya
lama pengobatan.
Dari pendapat-pendapat di atas tampak bahwa yang banyak dikeluhkan
responden adalah kurangnya informasi yang diberikan petugas kesehatan. Selain
itu, kadang pasien hanya diberi obat langsung tanpa diperiksa. Namun demikian
beberapa responden menilai petugas kesehatan telah memberikan informasi yang
jelas.
Pengaruh persepsi orang tua terhadap petugas kesehatan dalam melayani
pengobatan TB paru anak tidak dapat dinilai dalam penelitian ini karena sampel
yang ada sangat kecil, sehingga korelasi antara keduanya tidak valid bila
dianalisis secara statistik, yang berarti tidak dapat dianggap mewakili populasi
secara keseluruhan. Namun demikian, dapat dilihat hubungan persepsi dengan
tingkat kepatuhan pada masing-masing responden sebagai berikut :
1. Responden 1 : persepsi kepada petugas kurang baik, namun tingkat
kepatuhan minum obat tinggi.
2. Responden 2 : persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
3. Responden 3 : persepsi kepada petugas kurang baik, namun tingkat
kepatuhan minum obat tinggi.
4. Responden 4 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
5. Responden 5 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
25
6. Responden 6 : persepsi kepada petugas kurang baik, namun tingkat
kepatuhan minum obat tinggi.
7. Responden 7 : persepsi kepada petugas kurang baik, namun tingkat
kepatuhan minum obat tinggi.
8. Responden 8 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
9. Responden 9 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat tinggi.
10. Responden 10 : Persepsi kepada petugas baik, tingkat kepatuhan minum
obat kurang.
Dari deskripsi di atas tampak bahwa walaupun persepsi terhadap petugas
kurang, tingkat kepatuhan minum obat tetap tinggi. Sebaliknya, persepsi yang
baik kepada petugas tidak selalu menimbulkan kepatuhan yang tinggi untuk
minum obat. Hal ini berarti ada hal-hal lain yang lebih berpengaruh terhadap
tingkat kepatuhan minum obat pasien.
26
2 Apakah obat dapat terminum seluruhnya tanpa 9 1
dimuntahkan kemudian ?
3 Apakah obat diminum sesuai jadwal ? 10 0
4 Apakah obat diminum minimal 15 menit sebelum makan ? 6 4
5 Apakah pernah putus obat ? 2 8
6 Apakah selalu kontrol sesuai jadwal ? 10 0
7 Apakah bila timbul efek samping obat, anda menghentikan 1 9
pemberian obat ?
27
terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat
adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.
(Rosmayudi, 2002)
Dari penelitian ini, untuk mengetahui apakah faktor lingkungan baik atau
kurang, dilakukan wawancara dengan 10 responden untuk menilai apakah
lingkungan tempat pasien tinggal adalah baik, ditanyakan 6 pertanyaan dengan 2
pilihan jawaban yaitu “Ya - Tidak” dengan skor 1 untuk jawaban “Ya” dan untuk
jawaban “Tidak” diberi skor 0. lingkungan dikatakan baik jika skor rata-rata
adalah ≥5 dan dikatakan kurang baik jika skor kurang <5
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat tabel dibawah ini :
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah penderita tinggal serumah dengan penderita TB 0 10
yang tidak diobati ?
2 Apakah ada tetangga penderita yang menderita TB yang 1 9
tidak diobati
3 Bila Ya, Apakah kasur dan tikar di jemur secara teratur ? 5 5
4 Apakah ventilasi di rumah penderita cukup ? 8 2
5 Apakah rumah anda cukup terang sehingga tidak perlu 7 3
menyalakan lampu pada siang hari ?
6 Apakah lantai rumah diplester ? 8 2
28
masih kurang terlibatnya lingkungan/kurang optimal dalam hal ini, diharapkan
peran lingkungan, khususnya peran Posyandu dalam kegiatan keterpaduan
dimasyarakat dalam bidang Pelayanan Kesehatan, khususnya masalah
memberikan informasi tentang TB anak ini. Dalam penyelenggaraan Posyandu
ini, Rencana dan Pengembangannya dilakukan oleh kader kesehatan, Kapala
Desa, LKMD dengan bimbingan Tim Pembina LKMD Kecamatan dan
penyelenggaraan oleh kader kesehatan dari PKK, tokoh masyarakat dan
pemuda/pemudi.
Contoh pendekatan yang bisa dilakukan yaitu : pada setiap penderita baru
yang ditemukan harus selalu didampingi oleh oarang yang telah terlatih tentang
cara pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari (PMO).
Maksudnya untuk menjamin pengobatan lengkap, mencegah Resistensi. Yang
termasuk PMO adalah Petugas Kesehatan, keluarga penderita, kader penderita
yang sudah sembuh, tokoh masyarakat yang sudah dilatih strategi dan
penanggulangan TB.
Peran Pemerintah/Puskesmas dalam memberikan pengetahuan TB anak
diperoleh data dari 10 responden yaitu 8 responden yang menjawab tidak ada,
sedangkan 2 responden menjawab pada saat kontrol ke Puskesmas. Hasil yang
dapat disimpulkan bahwa peran Puskesmas dalam masalah ini kurang optimal dan
perlu ditingkatkan lagi. Diharapkan pihak Puskesmas yaitu suatu kesatuan yang
melayani kesehatan perorangan/individu atau keluarga. Pada suatu daerah dengan
luas tertentu. Sudah menjadi tugas Puskesmas untuk memberikan pengetahuan
tentang TB anak ini melalui usaha-usaha pengawasan kesehatan anak antara lain:
Higine
Pengobatan TB
Gizi anak
Cara Pengelolaan Penyakit TB
Pendidikan Kesehatan.
Pihak puskesmas harus mamapu mendiagnosis dan dibuat berdasarkan 2
gejala dari 6 kriteria dengan yang telah ditetapkan. Jika meragukan perlu dikirim
kepada unit kesehatan yang lebih mampu dengan peralatan yang lebih lengkap.
29
Jika tetap meragukan supaya dirujuk kie rumah sakit yang ada dokter ahli anak
dan paru.
30
4 Sulit Patuh
5 Sulit Patuh
6 Mudah Patuh
7 Mudah Patuh
8 Mudah Patuh
9 Mudah Patuh
10 Mudah Tidak Patuh
31
ketersediaan obat di unit pelayanan kesehatan dasar dan harga obat yang
terjangkau oleh pasien.
Di Puskesmas Umbulharjo I, pasien TB anak memperoleh obat secara
gratis, hal ini sangat berpengaruh terhadap ketaatan pasien untuk selalu kontrol
sebelum obat habis. Berdasarkan wawancara, seluruh responden menyatakan
bahwa selalu datang ke Puskesmas untuk mengambil obat sebelum obat habis.
Ketersediaan obat yang terjangkau seluruh penderita TB merupakan
program WHO yaitu “Stop TB”. Program ini menyediakan dana sebesar 50 juta
dolar amerika per tahun untuk peningkatan akses terhadap obat TB bagi 10 juta
pasien selama 5 tahun (Anonim, 2001). Program ini berdasarkan data bahwa TB
masih menyebabkan kematian bagi lebih dari 2 juta orang setiap tahun dan
hambatan utama eradikasi TB adalah penyediaan obat yang kurang baik
( Anonim, 2005). Program ini berpengaruh positif terhadap motivasi pasien untuk
patuh minum obat sehingga program Stop TB harus mendapatkan perhatian dari
seluruh pihak yang berwenang dalam pemberantasan TB.
32
Mungkin hal ini juga menjadi penyebab belum nampaknya perbaikan klinis pada
responden.
Jika kita buat tabulasi silang antara respon terhadap pengobatan dan
tingkat kepatuhan maka:
Tingkat kepatuhan Respon Pengobatan
Tidak Berespon Berespon
Patuh 1 7
Kurang Patuh 0 1
Nampak bahwa pasien dengan kategori kurang patuh ternyata memberikan respon
terhadap pengobatan. Pada responden ini, poin-poin ynag menyebabkan ia
dikelompokkan pada kurang patuh adalah karena pernah putus obat tiga kali serta
minum obat TBC setelah makan.
33
dapat diterima, mengingat ibu seringkali merupakan orang yang paling dekat
dengan anak dan sehari-hari bertugas mengurusi kebutuhan anak, sedangkan ayah
sibuk bekerja.
34
35