Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ega Bintang Prayoga

NIM ; 200210303066

Kelas : Geografi B

Kebudayaan Petik Laut.

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kehidupan yang terdiri dari aspekaspek
yang mendukung kehidupannya. Aspek-aspek tersebut merupakan hasil dari ide, gagasan dan
prilaku yang membentuk suatu kebudayaan bagi masyarakat tersebut. Dalam kehidupan
sehari-hari, manusia tidak dapat dipisahkan dari tujuh unsur kebudayaan yang ada. Bahasa,
sistem kepercayaan, sistem sosial, mata pencaharian, teknologi, ilmu pengetahuan, dan
kesenian merupakan aspek-aspek yang berasal dari sistem ide dan gagasan suatu masyarakat
yang diturunkan secara turun menurun antar generasi. Penurunan kebudayaan dilakukan baik
secara tulisan, sebagian lisan maupun secara lisan seperti mitos (Koentjaraningrat, 2002). .

Contoh kajian budaya terhadap lingkungan yaitu Kebudayaan petik laut telah ada
sejak jaman nenek moyang yang merupakan suatu tradisi yang berkembang di masyrakat
pesisir pantai. Mereka memanfatkan laut sebagai tempat mencari ikan, pariwisata, industri
seperti garam, hiasan kerang, dan lain sebagainya. Kehidupan mereka sangat bergantung
terhadap keadaan laut nya seperti banyaknya ikan dan cuaca nya. Cuaca berhubungan dengan
berangkatnya para nelayan untuk berlayar mencari ikan dilaut karena apabila cuaca buruk
disertai badai akan berpengaruh terhadap besarnya gelombang air laut yang membahayakan.

Dalam tiap bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa, bukan hanya petani,
nelayan pun menggelar ritual untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan. Waktu
pelaksanaan petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan penanggalan Qamariah dan
kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama, karena nelayan tidak
melaut, mengingat pada saat itu terjadi air laut pasang. Tujuan utama diadakannya ritual petik
laut adalah untuk untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan sekaligus ungkapan terima
kasih kepada Tuhan. Petik Laut di Puger dilakukan sebagai bentuk syukur atas karunia Tuhan
atas laut yang telah menyejahterakan masyarakat pesisir. Selain sebagai rasa syukur, Petik
Laut juga merupakan bentuk doa pada Tuhan agar para nelayan yang hidupnya sangat dekat
dengan maut selalu diberi keselamatan dan dijauhkan dari marabahaya.Selain aspek spiritua,
Tradisi Petik Laut juga menggambarkan hubungan sosial antarmasyarakat yang sangat erat.
Hubungan saling membutuhkan dalam Tradisi Petik Laut merupakan gambaran sehari-hari
dari kehidupan nelayan. Hubungan yang saling membutuhkan itu membuat hubungan
antarmasyarakat pesisir menjadi egaliter, tidak ada yang merasa memiliki status paling tinggi.
Dalam Ritual Petik Laut ini terdapat beberapa pakem acara yang tidak bisa diubah. Namun,
ada beberrapa teknis acara yang bisa diubah. Tradisi Petik Laut pada jaman dahulu hanya
dilakukan secara sederhana. Pada jaman dahulu Petik Laut di Puger hanyalah berupa ritual
sederhana yang terdiri dari selamatan yang diiringi adanya sesaji. Dalam acara selamatan
dibacakan doa Agama Islam, yaitu Yasin dan Tahlil. Setelah dibacakan doa Yasin dan Tahlil
selanjutnya sesaji dibuang ke laut sebagai bentuk persembahan pada Ratu Laut Selatan.
Acara selamatan ini pun hanya dilaksanakan di tempat pendaratan ikan.

Tradisi Petik Laut di Puger tidak lagi sederhana seperti dulu lagi. Sekarang ini Tradisi
Petik Laut mengalami perubahan menjadi lebih meriah. Petik Laut tidak hanya diikuti oleh
nelayan setempat tetapi juga diikuti oleh wisatawan di luar Puger. Bahkan yang cukup
memprihatinkan justeru masyarakat setempat lebih banyak memanfaatkan momen Tradisi
Petik Laut untuk menjajakan dagangannya daripada sekedar mengikuti Acara Petik Laut.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, A. SINKRETISME JAWA DAN ISLAM DALAM TRADISI PETIK LAUT DALAM
RANGKA MENUJU DESA WISATA KECAMATAN PUGER KABUPATEN
JEMBER.

Dewi,, Putu, Wawan. PEMERINTAHAN TRADISI BUDAYA PETIK LAUT OLEH


NELAYAN HINDU DAN ISLAM DI DESA PEKUTATAN, JEMBARANA-BALI.

Pratiwi. Dinamika Tradisi Perik Laut di Kelurahan Blimbing, Kecamatan Paciran, Kabupaten
Lamongan.

Roger M, Keesing 1989. Antropologi budaya : suatu Perspektif Kontenporer,


Jakarta:Erlangga.Clyde, Kluckhon 1984.“Cermin bagi manusia”, dalam Parsuadi
Suparlan (Ed.) Manusia,Kebudayaan dan lingkungannya Jakarta: Rajawali Pers, Hal.
69-109.

Artanto, Y. K. (2017). Bapongka, Sistem Budaya Suku Bajo Dalam MenjagaKelestarian


Sumber Daya Pesisir. Sabda E-ISSN 2549-1628, 12.Tjahjono, 2013. Di Lao’
Denakangku, Laut adalah Saudaraku. Ekskuusi Wakatobi.Tahara, T. (2013).
Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepualuan Wakatobi. Antropologi Indonesia,
34(1)

Anda mungkin juga menyukai