I. PENDAHULUAN
Pertanyaan itu menjadi tanda tanya besar yang sulit untuk dijawab sampai
saat ini (1998) sebab disadari atau tidak ekses koperasi terhadap pembangunan
nasional sampai pada saat yang sangat rendah. Pada tahun 1992 Thoby Mutis
mensinyalir bahwa kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto antara 3
sampai 5 persen dan hal ini diperkirakan masih tetap berlangsung untuk beberapa
tahun yang akan datang. Bahkan menurut Ropke (1992) kontribusi tersebut masih
rendah dari pada itu, yaitu kurang dari 3 persen pertahun. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa daya tarik masyarakat jauh lebih rendah dibanding dengan
perusahaan-perusahaan non koperasi. Banyak orang yang beranggapan bahwa
usaha sendiri atau dengan nonkoperasi adalah lebih baik jika di bandingkan
dengan koperasi.
Secara ekonomis ini berarti koperasi masih memiliki tingkat efisiensi yang
lebih rendah dibandingkan dengan usaha lain yang bukan koperasi. Sehingga
koperasi kurang menarik bagi anggota potensial.
Namun terlepas dari kritik tersebut, kiranya sangat wajar bagi gerakan
koperasi untuk selalu meningkatkan efisiensi sehingga mampu meraih kembali
simpati masyarakat. Hal ini tentu sangat berat untuk koperasi sebab perusahaan
lain yang nonkoperasi telah melakukan gerakkan efisiensi yang sama, sehingga
jika koperasi ingin mendapatakan simpati masyarakat koperasi harus mampu
meningkatkan efisiensi yang lebih baik dari pada peningkatan perusahaan-
perusahaan nonkoperasi yang menjadi pesainganya. Paling tidak koperasi mampu
meningkatkan efisiensi yang sebanding dengan kemampuan pesaingnya.
Sampai saat ini banyak yang menganggap koperasi adalah organisasi yang
tidak efisien sehingga kalah berrsaing dengan organisasi nonkoperasi. Tetapi tidak
sedikit juga yang memganggap bahwa koperasi dapat di usahakan secara efesien
seperti halnya organisasi usaha lain. Perbedaann anggapan ini disebabkan
konsepsi dasar teoritis yang berbeda dalam mendudukkan koperasi sebagai badan
usaha.
One man one vote diartikan sebagi hak suara yang di berikan tidak memandang
besarnya modal yang diinvestasikan pada koperasi, sedangkan patronage refunds
diartikan sebagai pembagian sisa hasil usaha didasarkan atas jasa-jasa yang di
berikan anggota kepada koperasi. Perbedaan ini menyebabkan setiap keputusan
yang di ambil dalam rangka meningkatkan efisiensi pada koperasi akan berbeda
dengan perusahaan nonkoperasi, walaupun faktor-faktor penentu efisiensi sama
misalnya biaya, harga, output, kekayaan dan lain-lain.
Mengingat koperasi adalah badan usaha yang berbeda dengan badan usaha
milik kapitalis, maka pengukuran efisiensi koperasi harus dibedakan dengan
perusahaan kapitalis. Perusahaan kapitalis yang berorintasi pada perolehan
keuntungan yang besar. Sangat tepat apabila mengukur efisiensi berdasarkan
keuntungan yang di bandingkan dengan besarnya uang yang dikeluarkan untuk
menghasilkan keuntungan tersebut.
Hal yang sering kurang diperhatikan adalah dalam bidang apa saja
efisiensi usaha dapat dilihat. Secara umum efisiensi merupakan perbandingan
antara output dengan input. Atau dalam rumus :
Q = 𝑏𝑜𝐾 𝑏1 𝐿𝑏2
Di mana ;
Q = Kuantitas produksi
K = Kuantitas modal
𝑄
B0 = 𝐾𝑏1 𝐿𝑏2
Maka b0 dapat berperan sebagai indeks efisiensi. (Sudarsono dan Yudo Swasono,
1986)
Dalam hal ini secara operasional bisa saja terjadi output tidak sama dengan
tujuan sehingga sesuatu yang efisien belum tentu efektif, atau sebaliknya sesuatu
yang efektif belum tentu efisien.
Efisiensi koperasi juga bisa dilihat dari konsep peranan koperasi dalam
pemerataan. Proses pemerataan yang dilaksanakan lewat koperasi adalah proses
pemerataan yang mengandung unsure pertumbuhan, dalam arti bahwa melalui
koperasi para anggota mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk tumbuh dan
meningkatkan kemampuan ekonominya. Efisiensi harus diartikan secara luas,
yaitu sebagai keadaan dimana kita bisa mencapai sasaran tertentu dengan biaya
minimal atau bisa mencapai sasaran setinggi-tingginya dengan biaya tertentu.
Sasaran tersebut bisa berupa trilogy pembangunan khususnya pemerataan,
sedangkan biayanya berupa semua sumber daya, dana waktu, pikiran dan apa saja
yang berharga untuk mencaai sasaran tersebut efisiensi koperasi dapat diukur
dengan jumlah anggota yang bisa diangkat dari bawah garis kemiskinan, atau
distribusi peningkatan penghasilan para anggotanya, atau besarnya cooperative
effects yang bisa disebarkan kepada anggotanya (Boediono, 1986).
Untuk mengukur efisiensi organisasi dan usaha ada beberapa rasio yang
dapat dipergunakan yang didasarkan pada keragaan koperasi yang bersangkutan.
Sarana yang dapat digunakan adalah neraca dan catatan lain yang dimiliki
koperasi.
a) Efisiensi dalam operasional usaha yang terlihat dari validitas keuangan dan
keragaan kewirakoperasian.
b) Efisiensi yang dihubungkan dengan pengembangan.
c) Efisiensi yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan anggota.
Pembahasan mengenai efisiensi, Thoby Mutis (1992) menunjukkan 5
lingkup efisiensi koperasi yaitu :
Dilihat dari sudut koperasi sebgai badan usaha, efisiensi koperasi sebagai
perusahaan tidak berbeda ukurannya dengan efisiensi badan usaha lain. Efisiensi
usaha tersebut dapat diukur dengan rasio-rasio keuangan sesuai dengan keragaan
koperasi yang bersangkutan, seperti profit margin, tingkat perputaran modal
usaha, rentabilitas modal sendiri, tingkat perputaran modal kerja dan rentabilitas
modal kerja (Ima Suwandi, 1986). Pengukuran efisiensi dengan cara yang
dikemukakan Ima Suwandi tersebut nampaknya tidak cocok untuk sebuah
koperasi, sebab koperasi bukanlah organisasi yang profit oriented, sehingga tidak
benar jika rentabilitas ekonomi, rentabilitaas modal sendiri dan rentabilitas modal
kerja bernilai tinggi menunjukkan koperasi telah bekerja secara efisien. Koperasi
adalah organisasi bisnis yang service oriented, artinya kemajuan anggota yang
lebih diperhatikan.
Bila dikaji secara seksama, kiranya ada korelasi positif antara tingkat efisiensi
usaha koperasi dengan manfaat anggota (members bebefit). Semakin tinggi tingkat
efisiensi usaha koperasi akan semakin mampu koperasi tersebut dalam
meningkatkan pelayanan kepada anggotanya sehingga manfaat yang diperoleh
anggota akan semakin meningkat. Manfaat ini dapat diperoleh secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung diperoleh melalui harga pelayanan,
yakni selisih harga pasar dengan harga koperasi dikalikan dengan kuantitas barang
yang dibeli dari koperasi atau dijual kepada koperasi. Dalam pengertian yang
sama adalah selisih tingkat bunga koperasi dengan tingkat bunga umum dikalikan
pinjaman atau tabungan masing-masing anggota.
Selanjutnya menurut Suad Husnan (1996) salah satu faktor yang perlu
diperhitungkan dalam pengukuran perusahaan adalah efisiensi modal kerja, sebab
modal kerja adalah modal yang sełalu berputar dalam perusahaan dan setiap
perputaran akan menghasilkan aliran pendapatan (current income) yang berguna
bagi perusahaan. Efsiensi modal kerja dukur dengan tingkat perputaran modal
kerija dari sudut berapa kali dalam satu periode modal kerja tersebut berputar.
Tingat perputaran modal kerja mengukur efisiensi penggunaan modal kerja dicari
dengan cara membagi hasil penjualan dengan jumlah modal kerja rata-rata dalam
satu tahun. Sedangkan rentabilitas modal kerja mengukur efsiensi modal kerja
dengan melihat besarnya kemampuan modal kerja dalam menghasilkan laba.
Rentabitas modal kerja dicari dengan membagi laba usaha dengan jumlah modal
kerja yang digunakan.
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
TPMU = 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑈𝑠𝑎ℎ𝑎
b. Profit Margin
Profit margin adalah perbandingan antara net operating income (NOI)
dengan net sales (NS) dałam persen. Profit margin dimaksudkan untuk
mengetahui efisiensi perusahaan dengan melihat kepada besar kecilnya laba
usaha yang melekat pada penjualan. Semakin tinggi profit margin, semakin
efisien perusahaan tersebut dalam kegiatan penjualan. Pada koperasi profit
margin bisa diperoleh dengan membandingkan SHU sebelum pajak ditambah
manfaat langsung yang dinikmati anggota dengan penjualan bersih.
Profit margin (PM) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Selanjutnya menurut Suad Husnan (1995), salah satu faktor yang perlu
diperhitungkan dalam pengukuran efisiensi perusahaan adalah pengukuran.
Efisiensi modal kerja, sebab modal kerja adalah modal yang selalu berputar
dalam perusahaan dan setiap perputaran akan menghasilkan aliran pendapatan
(current income) yang berguna bagi perusahaan. Efisiensi modal kerja ini
diukur dengan tingkat perputaran modal kerja dan rentabilitas modal kerja
(return on working capital). Dengan demikian efisiensi modal kerja pada
koperasi diukur dengan:
a. Tingkat Perputaran Modal Kerja
Modal kerja selalu dalam keadaan berputar selama perusahaan dalam
keadaan usaha. Periode perputaran dimulai dari saat di mana kas
dinvestasikan dalam komponen-komponen modal kerja sampai saat di
mana kembali lagi menjadi kas. Setiap perputaran modal kerja pada
akhirnya akan menghasilkan current income yang sesuai dengan maksud
didirikannya perusahaan. Semakin tinggi tingkat perputaran modal kerja
akan semakin banyak pendapatan yang diperoleh dari aliran pendapatan
(current income) tersebut. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat
perputaran modal kerja akan semakin efisien dalam penggunaan modal
kerja tersebut.
Tingkat Perputaran Modal Kerja (TPMK) dicari dengan rumus:
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛
TPMK = 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎