Anda di halaman 1dari 13

DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN

“Ledakan Penyakit Infeksius akibat Tikus Sawah”

Dosen Pembimbing :

Dr. Ir. Penta Suryaminarsih, MP

Disusun oleh :

Cici Nuraini Wahyuni (20024010008)

Anisa Sulistya Ningrum (20024010017)

Siti Winarsih (20024010034)


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
Annisa Riki Nabila (20024010041)

Gisca Sabrina Dwi Aryani PERTANIAN


FAKULTAS (20024010044)

Kelompok 5

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


ABSTRAK

Vertebrata Hama adalah hewan bertulang belakang yang telah mencapai populasi yang
dapat mengakibatkan kerugian secara ekonomis. Tikus sawah (Rattus argentiventer) diketahui
sebagai hama utama penyebab tanaman padi menjadi gagal panen. Tikus sawah digolongkan
dalam kelas Vertebrata (bertulang belakang), ordo Rodentia (hewan pengerat), famili Muridae,
dan genus Rattus. Dalam periode 2011-2015, serangan hama tikus pada tanaman padi di
Indonesia rata-rata 161.000 ha per tahun. Angka ini setara dengan kehilangan 620 juta kg beras,
cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan lebih dari 6 juta penduduk selama satu tahun. Oleh
karena itu, tikus sawah perlu dikendalikan dengan seksama agar tidak menimbulkan kerugian,
baik pada pertanaman padi maupun kesehatan manusia dan ternak. Aspek biologi dan ekologi,
berperan penting untuk dijadikan dasar dalam menetapkan strategi pengendalian hama tikus
secara terpadu.

Kata kunci : Vertebrata, Tikus sawah, Padi.


I. PENDAHULUAN

Hingga saat ini tikus sawah Rattus argentiventer masih menjadi hama utama tanaman
padi yang merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Kenyataan di lapang menunjukkan
tingkat kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah bervariasi dari ringan sampai berat
dan bahkan dapat menyebabkan puso atau gagal panen, bergantung pada populasinya di suatu
wilayah
Padi merupakan bahan pangan pokok bagi lebih dari 254 juta penduduk Indonesia. Pada
tahun 2016, produksi padi nasional mencapai 79,2 juta ton yang melibatkan lebih dari 14,1 juta
petani padi dengan kepemilikan lahan sawah rata-rata 0,3 ha per petani (Badan Pusat Statistik
2016). Oleh karena itu, padi menjadi komoditas strategis dan sumber pendapatan utama bagi
sebagian besar rumah tangga petani di perdesaan. Namun petani padi selalu dibayang-bayangi
oleh kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit tanaman. Di antara hama yang sering
menyerang tanaman padi, tikus sawah Rattus argentiventer Robinson & Kloss (1916)
merupakan hama utama yang tidak jarang merusak tanaman padi. Kerusakan tanaman yang
ditimbulkan oleh tikus sawah bervariasi dari ringan sampai berat dan bahkan gagal panen
(puso), bergantung pada populasinya di suatu wilayah.
Hingga saat ini, keberhasilan pengendalian hama tikus pada tanaman padi belum
konsisten, karena masih banyak petani yang belum memahami cara pengendaliannya dengan
benar. Pengendalian hama tikus sawah direkomendasikan menggunakan pendekatan
pengendalian hama tikus terpadu (PHTT), yang didasarkan pada pemahaman ekologi tikus,
dan pengendalian dilakukan secara dini, intensif, dan berkelanjutan dengan memanfaatkan
komponen teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian
dilakukan oleh petani secara bersamasama (berkelompok) dan terkoordinasi dengan cakupan
daerah sasaran dalam skala luas (hamparan). Strategi pengendalian tikus terpadu merupakan
rekayasa sosial yang ditujukan untuk anggota kelompok tani agar dapat memahami dan
mengimplementasikan konsep PHTT.
II. PEMBAHASAN

2.1 Gejala, Serangan dan Proses Terjadinya

 Vertebrata Hama

Vertebrata Hama adalah hewan bertulang belakang yang telah mencapai populasi yang dapat
mengakibatkan kerugian secara ekonomis. Hewan Vertebrata yang biasa merugikan petani
adalah tikus, tupai, landak, babi hutan, burung, dan primata. Dari hewan vertebrata tersebut,
yang selalu merugikan petani akibat serangannya adalah tikus sawah.

 Tikus Sawah

Tikus sawah digolongkan dalam kelas Vertebrata (bertulang belakang), ordo Rodentia (hewan
pengerat), famili Muridae, dan genus Rattus. Tubuh bagian dorsal/ punggung berwarna coklat
kekuningan dengan bercak-bercak hitam di rambut-rambutnya, sehingga secara keseluruhan
tampak berwarna abu-abu. Bagian ventral/perut berwarna putih keperakan atau putih keabu-
abuan. Permukaan atas kaki seperti warna badan, sedangkan permukaan bawah dan ekornya
berwarna coklat tua. Tikus betina memiliki 12 puting susu (6 pasang), dengan susunan 1 pasang
pada pektoral, 2 pasang pada postaxial, 1 pasang pada abdomen, dan 2 pasang pada inguinal.
Pada tikus muda/predewasa terdapat rumbai rambut berwarna jingga di bagian depan telinga.
Ekor tikus sawah biasanya lebih pendek daripada panjang kepala-badan dan moncongnya
berbentuk tumpul.

Tikus sawah (Rattus argentiventer) umumnya tinggal di persawahan dan sekitarnya, sedangkan
tikus ladang (Rattus exulans) umumnya hidup di semak-semak dan terutama merusak padi
ladang. Baik tikus sawah maupun tikus ladang kadang ditemukan bersama-sama di daerah
pasang surut. Dalam satu tahun, seekor tikus betina dapat melahirkan 4 kali dengan rata-rata 8
ekor anak tiap kali melahirkan. Tikus gudang (Rattus rattus diardi & Mus musculus), dalam
satu tahun dapat melahirkan 4-5 kali, jumlah anak tiap kali melahirkan 3-8 ekor. Tikus aktif
pada malam hari terutama setelah matahari terbenam. Pada siang hari, tikus biasanya
bersembunyi dalam lubang atau di semak.

Tikus sawah bersarang pada lubang di tanah yang digalinya (terutama untuk reproduksi dan
membesarkan anaknya) dan di semak-semak (refuge area/habitat pelarian). Sebagai hewan
omnivora (pemakan segala), tikus mengkonsumsi apa saja yang dapat dimakan oleh manusia.
Apabila makanan berlimpah, tikus sawah cenderung memilih pakan yang paling disukainya
yaitu padi. Tikus menyerang padi pada malam hari. Pada siang harinya, tikus bersembunyi di
dalam lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah perkampungan
dekat sawah. Pada saat lahan bera, tikus sawah menginfestasi pemukiman penduduk dan
gudang-gudang penyimpanan padi dan akan kembali lagi ke sawah setelah pertanaman padi
menjelang generatif. Kehadiran tikus pada daerah persawahan dapat dideteksi dengan
memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif,
dan gejala serangan.

 Perilaku Tikus

Perilaku tikus sebagai hama tanaman pertanian dan hama gudang, diantaranya adalah:

a. Tikus merusak bibit di pesemaian, seekor tikus sawah dapat merusak sebanyak 283 bibit
padi per hari b. Tikus memotong atau menggigit batang tanaman padi, membentuk sudut
potong kurang dari 45 derajat dan masih menyisahkan bagian batang yang tidak terpotong.
Seekor tikus sawah dapat merusak sebanyak 283 bibit padi per hari atau 103 batang padi
bunting per hari. Pada fase vegetatif, tikus dapat merusak 11-176 batang per malam, 11 batang
padi bermalai per malam.

c. Tikus memakan bahan simpanan dalam gudang dan merusak wadah penyimpan atau karung,
serta akibat kotoran dan urine akan menurunkan kualitas bahan simpanan.

 Gejala Serangan Tikus Secara Umum

Gejala kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah dapat dikenali dengan mudah,
yaitu adanya pola kerusakkan tanaman yang dimulai dari tengah petakan sawah dan terus
meluas ke pinggir petakan. Pada tingkat kerusakan tanaman yang berat, tikus sawah hanya
menyisakan 3-5 baris rumpun padi mengelilingi pinggiran pematang sawah (Gambar 3). Gejala
seperti ini terkait dengan sifat tikus sawah yang tidak menyukai tempat yang terang dan terbuka
(pematang), karena pada kondisi tersebut berisiko tinggi terhadap serangan predator utama
tikus sawah. Tipe kerusakan tanaman padi seperti ini diketahui akibat serangan tikus sawah
yang berasal dari sekitar lokasi areal pertanaman yang dirusak. Kondisi ini berbeda dengan tipe
kerusakan tanaman padi yang disebabkan oleh tikus migran yang mampu
memporakporandakan semua tanaman padi yang ada di petakan sawah yang
ditemuinya.(Sudarmaji, 2018)

 Pembagian Gejala Serangan Tikus


Kehadiran tikus pertanaman dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot
print), jalur jalan (run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangannya.

1. Gejala Serangan Tikus di Pesemaian

Benih padi yang baru ditabur dimakannya sehingga permukaan bedengan rusak, jumlah benih
berkurang, dan sisa benih tampak berserakan. Benih yang telah berkecambah atau berakar
dicabut dan dimakan sehingga bila pesemaian digenangi, akan tampak potongan akar meng-
ambang di permukaan air. Bibit padi bagian tengah bedengan dipotong dan dimakan sebagian
batangnya sehingga bibit tampak seperti baru disabit.

2. Gejala Serangan Tikus di Pertanaman

Pada tanaman muda, bagian tengah petakan tampak gundul karena batang-batang padi
dipotong dan dimakan tikus. Pada fase bunting, malai muda di bagian tengah petakan dimakan
melalui kelopak daun. Kadang-kadang bagian tanaman tidak diputuskan semuanya sehingga
tampak dari jarak jauh daun-daun berwarna kuning kecokelatan seperti terserang sundep,
wereng batang, atau terserang penyakit.

Saat bulir padi mendekati masak, tikus akan memotong dan meleng-kungkan tanaman,
kemudian memakan bulirnya. Bekas potongan biasa-nya bersudut ± 45° dengan sebagian kecil
tanaman masih terlihat berdiri tegak dan dari jarak jauh tampak tanaman di bagian tengah
petakan seperti terbakar, berwarna kecokelat-cokelatan. Gejala serangan pada tanaman umbi-
umbian dan ubi-ubian, terutama ubi jalar ialah tampak adanya lubang-lubang pada guludan,
dan di permukaan lubang tersebut biasanya berserakan serpihan ubi sisa makan. Pada buah
kelapa, serangan tikus menyebabkan buah berlubang tidak rata, terutama bagian pangkal buah.

3. Gejala Serangan di Gudang


Gejala serangan tikus di tempat penyimpanan diketahui dengan ditemu-kannya lubang atau
bolong-bolong pada tempat atau sarana penyimpanan (karung, peti, dan lain-lain), dan di
sekitar lubang tersebut biasanya berserakan kulit gabah atau serpihan hasil tanaman sisa makan.

 Pengendalian

Pengendalian tikus dilakukan dengan pendekatan PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu)
yaitu pendekatan pengendalian yang didasarkan pada pemahaman biologi dan ekologi tikus,
dilakukan secara dini, intensif dan terus menerus dengan memanfaatkan semua teknologi
pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Kegiatan pengendalian tikus ditekankan pada awal
musim tanam untuk menekan populasi awal tikus sejak awal pertanaman sebelum tikus
memasuki masa reproduksi. Kegiatan pengendalian yang sesuai dengan stadia pertumbuhan
padi antara lain, sebagai berikut:

a. TBS (Trap Barrier System) merupakan petak tanaman padi dengan ukuran minimal
(20 x 20) m yang ditanam 3 minggu lebih awal dari tanaman di sekitarnya, dipagar
dengan plastik setinggi 60 cm yang ditegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1
m, bubu perangkap dipasang pada setiap sisi dalam pagar plastik dengan lubang
menghadap keluar dan jalan masuk tikus. Petak TBS dikelilingi parit dengan lebar 50
cm yang selalu terisi air untuk mencegah tikus menggali atau melubangi pagar plastik.
Prinsip kerja TBS adalah menarik tikus dari lingkungan sawah di sekitarnya (hingga
radius 200 m) karena tikus tertarik padi yang ditanam lebih awal dan bunting lebih
dahulu, sehingga dapat mengurangi populasi tikus sepanjang pertanaman
b. LTBS (Linear Trap Barrier System) merupakan bentangan pagar plastik sepanjang
minimal 100 m, dilengkapi bubu perangkap pada kedua sisinya secara berselang-seling
sehingga mampu menangkap tikus dari dua arah (habitat dan sawah). Pemasangan
LTBS dilakukan di dekat habitat tikus seperti tepi kampung, sepanjang tanggul irigasi,
dan tanggul jalan/pematang besar. LTBS juga efektif menangkap tikus migran, yaitu
dengan memasang LTBS pada jalur migrasi yang dilalui tikus sehingga tikus dapat
diarahkan masuk bubu perangkap.
c. Fumigasi paling efektif dilakukan pada saat tanaman padi stadia generatif. Pada
periode tersebut, sebagian besar tikus sawah sedang berada dalam lubang untuk
reproduksi. Metode tersebut terbukti efektif membunuh tikus beserta anak-anaknya di
dalam lubangnya. Rodentisida hanya digunakan apabila populasi tikus sangat tinggi,
dan hanya akan efektif digunkan pada periode bera dan stadium padi awal vegetative.
2.2 Penyebab Terjadinya Serangan Tikus Sawah

Penyebab serangan tikus sawah yaitu karena habitat asli tikus sawah adalah di lahan
berumput (grass lands) atau lahan dengan semak belukar yang digunakan sebagai sarang dan
berkembangbiak. Tikus sawah aktif pada malam hari dan pada siang hari berlindung dalam
sarang (dalam tanah) atau di semak-semak yang rimbun. Tikus dapat secara langsung mencari
makan saat tanaman sudah mulai siap digunakan secara tidak langsung yaitu tikus merusak
batang tanaman padi hanya untuk mengasah gigi pada pengembangan. Penelitian
menggunakan alat pelacak gelombang radio (radio tracking) di kawasan pertanaman padi pada
lahan sawah menunjukkan tikus pada malam hari lebih banyak mengunjungi areal pertanaman
(60%) dan sisanya berada di berbagai habitat lainnya. Pada siang hari, tikus lebih banyak
berada di luar areal pertanaman padi. (Dewi, 2010)

Aktivitas harian tikus sawah berkaitan dengan usahanya mencari pakan, minum, kawin,
dan orientasi kawasan. Orientasi kawasan bertujuan untuk lebih mengenal lingkungan,
terutama jenis pakan yang disukai, sumber air dan tempat berlindung untuk menyelamatkan
diri (Priyambodo 1992). Tikus sawah juga biasa melakukan migrasi. Migrasi secara umum
adalah peristiwa perpindahan suatu organisme dari suatu bioma ke bioma lainnya. Dalam
banyak kasus, organisme bermigrasi untuk mencari sumber cadangan makanan yang baru atau
menghindari kelangkaan makanan yang mungkin terjadi karena musim dingin atau karena over
populasi. Migrasi tikus sawah merupakan pergerakan yang tidak lazim atau di luar kebiasaan
tikus untuk orientasi kawasan. Pergerakan tikus terjadi karena kondisi lingkungan tidak
menguntungkan seperti kekeringan, banjir, kebakaran atau kekurangan pakan.

Terdapat beberapa hal yang membuat tikus menyenangi sawah dan merusak varietas,
yang pertama yaitu tikus lebih menyenangi daerah tengah petakan karena lebih aman dari
pengganggu, contohnya adalah predator, misalnya kucing. Pernah terjadi hal yang menarik
pada musim tanam gadu 2002, serangan tikus tidak menyisakan tanaman (rumpun) sama sekali,
jadi serangan sampai di daerah pinggir pematang. Penyebab mengapa tikus memperlihatkan
perilaku makan yang demikian perlu diteliti lebih lanjut. Bisa saja hal ini disebabkan oleh
kondisi pengairan yang kurang mencukupi untuk pertanaman padi.

Kedua, Serangan tikus yang terjadi di rumpun padi yang berada di bagian tengah petakan
sawah mungkin disebabkan oleh pengaruh (kadar) CO2 yang lebih tinggi di bagian tersebut.
Tanaman menghasilkan gas CO2 pada malam hari dan gas ini akan terperangkap oleh
rimbunnya pertanaman padi karena terjadinya turbulensi udara, berbeda keadaannya dengan
daerah sekitar pematang yang sangat mudah bagi CO2 untuk bergerak. Berdasarkan hasil
penelitian, tikus sangat sensitif terhadap kandungan dan laju aliran CO2 di suatu tempat (Niel
et al., 2008), bahkan terhadap tipe atau kualitas air sehingga tempat tersebut menjadi disenangi
oleh tikus.(Solikhin &Purnomo, 2008)

2.3 Akibat Adanya Hama Tikus Sawah

Tikus sawah dikenal sebagai hama utama tanaman padi yang merupakan makanan pokok
penduduk Indonesia dan beberapa negara di Asia. Tanpa pengendalian, hama ini mampu
merusak pertanaman padi dalam waktu singkat dan dalam areal yang luas.

Akibat dari serangan tikus sawah diantaranya yaitu:

1. Tikus sawah merusak pertanaman padi dalam waktu yang dingkat dan dalam areal yang
luas
2. Selain merusak tanaman padi yang tumbuh di lapangan, tikus sawah juga tidak jarang
merusak gabah di gudang penyimpanan
3. Tikus sawah juga merusak dan memakan komoditas holtikultura dan perkebunan, baik
di lapangan maupun di gudang penyimpanan hasil panen.
4. Tikus sawah dapat berperan sebagai penular atau vektor berbagai penyakit yang
berbahaya bagi manusia dan hewan ternak, di antaranya Leptospirosis.

Pada beberapa kasus di beberapa daerah, penyakit ini bersifat endemik dan ada kalanya
dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Hasil penelitian menunjukkan penyebab
Leptospirosis adalah urin tikus yang terinfeksi bakteri Leptospira yang mencemari lingkungan.
Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari ringan hingga berat, bahkan dapat
menyebabkan kematian para penderita

2.4 Kerugian Akibat Adanya Hama Tikus Sawah

Tikus sawah Rattus argentiventer masih menjadi hama utama tanaman padi yang merupakan
makanan pokok penduduk Indonesia. Kenyataan di lapang menunjukkan tingkat kerusakan
tanaman padi akibat serangan tikus sawah bervariasi dari ringan sampai berat dan bahkan dapat
menyebabkan puso atau gagal panen, bergantung pada populasinya di suatu wilayah.
Dalam periode 2011-2015, serangan hama tikus pada tanaman padi di Indonesia rata-rata
161.000 ha per tahun. Angka ini setara dengan kehilangan 620 juta kg beras, cukup untuk
memenuhi kebutuhan pangan lebih dari 6 juta penduduk selama satu tahun. Di Asia Tenggara,
kehilangan produksi padi akibat serangan tikus sawah diperkirakan mencapai 5-10% per tahun
dan diperkirakan meningkat dalam beberapa dekade terakhir jika dikaitkan dengan upaya
peningkatan indeks pertanaman dari satu kali menjadi dua atau tiga kali tanam padi dalam satu
tahun.

Tikus sawah juga menularkan berbagai penyakit yang berbahaya bagi manusia dan ternak, di
antaranya leptospirosis. Di Indonesia, kasus leptospirosis sering terjadi dan di beberapa daerah
merupakan kejadian luar biasa (KLB). Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia, terutama di
daerah tropis, termasuk Indonesia. Penyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi
Leptospira yang mencemari lingkungan. Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi perlu
dikendalikan dengan seksama agar tidak menimbulkan kerugian, baik pada pertanaman padi
maupun kesehatan manusia dan ternak.

Upaya pengendalian hama tikus pada lahan sawah belum menunjukkan hasil yang optimal
dan tidak konsisten karena masih banyak petani yang belum memahami cara pengendalian
yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Penelitian tikus sawah dari berbagai aspek,
terutama aspek biologi dan ekologi, berperan penting untuk dijadikan dasar dalam menetapkan
strategi pengendalian hama tikus secara terpadu.

Oleh karena itu, tikus sawah perlu dikendalikan dengan seksama agar tidak menimbulkan
kerugian, baik pada pertanaman padi maupun kesehatan manusia dan ternak. Upaya
pengendalian hama tikus pada lahan sawah belum menunjukkan hasil yang optimal dan tidak
konsisten karena masih banyak petani yang belum memahami cara pengendalian yang efektif,
efisien, dan ramah lingkungan. Penelitian tikus sawah dari berbagai aspek, terutama aspek
biologi dan ekologi, berperan penting untuk dijadikan dasar dalam menetapkan strategi
pengendalian hama tikus secara terpadu.

Tikus merupakan hama nomor satu pada tanaman padi di Indonesia. Rata-rata kehilangan
hasil akibat serangan tikus mencapai 25 juta ton/tahun senilai kurang lebih US$7,5 miliar.
Untuk memperoleh keberhasilan dalam pengendalian tikus melalui pendekatan ekologi,
pengetahuan bioekologi tikus mutlak diperlukan. Berbagai bioekologi hama tikus telah
diketahui, antara lain perilaku makan, migrasi, pertumbuhan populasi, dan musuh alami.
Pengendalian tikus melalui pendekatan ekologi bertujuan untuk meminimumkan pengaruh
buruk pestisida terhadap spesies bukan sasaran dan lingkungan serta mengembangkan
pendekatan yang ekonomis, berkelanjutan, dan mempunyai efek positif dalam jangka panjang.

Berdasarkan kemajuan penelitian dan pemahaman tentang dinamika populasi tikus, metode
pengendalian yang efektif adalah pengendalian berdasarkan ekologi, antara lain sistem
rintangan perangkap/ SRP (trap barrier system/TBS), pemanfaatan musuh alami, pengaturan
tingkat kelahiran, pengaturan waktu tanam, dan pengendalian lebih awal. Lebih dari lima tahun
terakhir teknologi SRP yang dikombinasikan dengan tanaman perangkap (TP) telah teruji
keefektifannya di Asia Tenggara pada tanaman padi sawah.

Di Sulawesi Selatan, petani lebih menyukai SRP linier daripada SRP-TP karena tidak
memerlukan tanaman perangkap. Pemanfaatan predator merupakan salah satu cara tertua
dalam pengendalian tikus, namun juga telah mengalami stagnasi dan untuk beberapa spesies
memerlukan campur tangan manusia. Pemanfaatan vaksin imunokontraseptif adalah suatu cara
baru pengaturan kesuburan tikus, namun masih memerlukan penelitian terpadu baik dari aspek
teknis, ekonomi maupun sosial. Tanam serentak dan tepat waktu yang banyak dikembangkan
di Sulawesi Selatan selama beberapa dasawarsa dapat menjadi pelajaran berharga dalam
pengendalian tikus khususnya dan hama/penyakti padi pada umumnya. Selain itu, perlu
disadari bahwa tidak ada satupun cara yang baik untuk semua kondisi sehingga diperlukan
keterpaduan komponen teknologi, program, dan pihak yang terkait. Pengendalian hama
terpadu atau integrated pest management (IPM) akan berhasil apabila huruf P tidak diartikan
hanya sebagai keterpaduan teknologi dalam pengendalian hama (pest) melainkan juga
keterpaduan program dan people atau mereka yang terkait dalam masalah tersebut
III. KESIMPULAN

1. Tikus sawah termasuk kedalam golongan hewan bertulang belakang atau vertebrata
yang merugikan secara ekonomis bagi para petani. Gejala kerusakan tanaman akibat
serangan tikus sawah dapat dikenali dengan mudah, yaitu adanya pola kerusakkan
tanaman yang dimulai dari tengah petakan sawah dan terus meluas ke pinggir petakan
2. Akibat dari serangan tikus sawah diantaranya yaitu: dapat merusak tanaman dalam
waktu yang singkat, merusak gabah di saat penyimpanan, memakan tanaman
perkebunan dan holtikultural, menularkan berbagai macam penyakit bagi manusia dan
hewan ternak
3. Metode pengendalian yang efektif adalah pengendalian berdasarkan ekologi, antara lain
sistem rintangan perangkap/ SRP (trap barrier system/TBS), pemanfaatan musuh alami,
pengaturan tingkat kelahiran, pengaturan waktu tanam, dan pengendalian lebih awal.
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, D. (2010). Tikus Sawah. In Balaba (Vol. 6, Issue 01).

Solikhin &Purnomo. (2008). Dan Pengaruhnya Terhadap Pola Kerusakan Padi. 8(1), 23–30.

Sudarmaji. (2018). TIKUS SAWAH: BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN. In Hermanto


(Ed.), IAARD PRESS. IAARD PRESS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai