Anda di halaman 1dari 49

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PELARUT, SUHU DAN WAKTU EKTRAKSI PEKTIN DARI


KULIT PISANG KEPOK TERHADAP JUMLAH YANG DIHASILKAN

OLEH:
DESY ANYA CLARISSA (03031381722081)

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, penulis ucapkan karena atas berkat
rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
penelitian yang berjudul “Pengaruh Pelarut, Suhu dan Waktu Ektraksi Pektin dari
Kulit Pisang Kepok Terhadap Jumlah yang Dihasilkan”.
Proposal Penelitian ini diajukan guna memenuhi kewajiban menyelesaikan
salah satu mata kuliah yang terdapat pada semester VI, yaitu riset dan penelitian.
tujuan dari penelitian ini adalah membahas tentang bagaimana pengaruh pelarut,
suhu, dan waktu ekstraksi terhadap jumlah dan mutu pektin yang akan dihasilkan.
Akhir kata penulis berharap agar proposal penelitian ini dapat bermanfaat
bagi pembaca untuk menambah ilmu pengetahuan dan informasi untuk penelitian
selanjutnya. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan untuk kelanjutan dan
pengembangan tentang topik penelitian dan riset yang serupa.
Palembang, 21 Februari 2020

Penulis
Abstrak:

Pada tahun 2010, produk pisang di Indonesia mencapai 5,8 juta ton atau
sekitar 30% dari produksi buah nasional. Disamping buah pisang yang sangat
digemari terdapat kulitnya yang kadang hanya menjadi limbah. Saat ini kulit pisang
hanya digunakan untuk pakan ternak atau hanya dibuang sebagai limbah rumahan
atau industri. Senyawa pektin cukup besar terkandung di dalam kulit pisang. Pektin
bisa dimanfaatkan didalam beberapa bidang industri, misalnya saja pada industri
pangan dan industri farmasi. Kebutuhan pektin di Indonesia saat ini semakin
berkembang dengan bertambahnya industri-industri makanan yang ada. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan pektin dari kulit buah pisang
kepok dengan menggunakan metode ekstraksi. Pada proses pembuatan pektin
diperlukan jumlah pelarut, suhu, dan waktu yang optimum agar menghasilkan
produk pektin yang berkualitas baik yang sesuai dengan standar. Sebagai bentuk
upaya pemanfaatan limbah kulit pisang kepok, dilakukan penelitian pembuatan
pektin dengan menggunakan variasi pelarut yaitu HCl dan CH3COOH, serta
ditambah dengan variasi suhu sebesar 70°C, 80°C, dan 90°C dan waktu ekstraksi
selama 60 menit, 90 menit, dan 120 menit.

Kata Kunci : Pektin, Kulit Pisang Kepok, Ektraksi,

Abstract

In November 2017, Indonesia was recorded as number two of the most


plastic waste producing country in the world, as much as 187.2 million ton plastic
waste. Several type of plastic which is often used and turns into waste after usage
are High Density Polyethylene (HDPE) dan Low Density Polyethylene (LDPE). As
a way to reuse the plastic waste, it can be converted to fuel through a cracking
process by pyrolysis method using activated zeolite as the catalyst. This research
has the variation of the raw material ratio (%HDPE:%LDPE) such as 0:100, 30:70,
50:50, 70:30, and 100:0, also the variation of cracking temperature such as 300 oC,
350oC, 400oC, and 450oC. The optimum result in this research is cracking product
with raw material ratio 70:30 and cracking temperature 400 oC, the characteristics
of the product are viscosity with value of 1.15735 mm2/s, gross heat with value of
10,280.872 cal/gr, density with the value of 0.77017 gr/ml, and flash point with
value of 31.5oC. The pyrolysis product analysed by using GC-MS method and the
result shows the dominant composition in the fuel is in the range of C 8-C20.

Key Words : Plastic Pyrolysis, HDPE, LDPE, Catalytic Cracking


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Buah pisang sangat disukai untuk dikonsumsi baik secara langsung yaitu
sebagai buah segar ataupun tidak langsung yakni sebagai dijadikan produk olahan.
Komoditas pisang di Indonesia menduduki tempat pertama di antara dengan jenis
buah-buahan lainnya. Pada tahun 2010, produk pisang di Indonesia mencapai 5,8
juta ton atau sekitar 30% dari produksi buah nasional (Susanti, 2010).
Saat ini kulit pisang hanya digunakan untuk pakan ternak atau hanya
dibuang sebagai limbah rumahan atau industri. Pemanfaatan dari kulit pisang itu
sendiri kurang optimal. Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan
Pengembangan Industri, tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa
seperti air, gula pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, lemak kasar, serat
kasar, dan abu. Senyawa pektin cukup besar terkandung di dalam kulit pisang
(Muhidin, 1999). Pektin bisa dimanfaatkan didalam beberapa bidang industri,
misalnya saja pada industri pangan dan industri farmasi. Banyak industri yang
menggunakan pektin, mulai dari makanan, sampai industri tekstil. Kebutuhan
pektin di Indonesia semakin berkembang dengan bertambahnya industri yang ada.
Dalam industri pangan, pektin berperan sebagai bahan pokok pembuatan
jeli, selai, dan marmalade (Hariyati, M. N. 2006). Data dari BPS (2012) pada tahun
2011 menyatakan bahwa harga eceran tepung pektin berkisar antara Rp. 200.000/kg
sampai R. 300.000/kg. Indonesia mengimpor pektin sebanyak 379.050 kg, pada
tahun 2011 mengimpor sebanyak 221.990 kg yang digunakan oleh industri-industri
pangan di Indonesia yang merupakan hasil impor dan ini dengan harga yang
sangat mahal dan jumlah yang besar pula. Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk
menghasilkan pektin. Sehingga peneliti sangat tertarik untuk mengetahui seberapa
besar kadar kulit pisang kepok untuk menghasilkan pektin, setidaknya dengan
memanfaatkan kulit pisang kepok sebagai bahan baku pembuatan pektin dapat
mengurangi impor pektin sekaligus memanfaatkan limbah dari pisang kepok yang
menjadikannya bahan yang berguna dan bernilai ekonomis lebih tinggi.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana pengaruh perbedaan pelarut terhadap jumlah pektin yang
dihasilkan?
2) Bagaimana pengaruh perbedaan suhu terhadap jumlah pektin yang
dihasilkan?
3) Bagaimana pengaruh perbedaan waktu ekstraksi terhadap jumlah pektin
yang dihasilkan?
1.3. Tujuan Penelitian
1) Mengetahui pengaruh perbedaan pelarut terhadap jumlah pektin yang
dihasilkan.
2) Mengetahui pengaruh perbedaan suhu terhadap jumlah pektin yang
dihasilkan.
3) Mengetahui pengaruh perbedaan waktu ekstraksi terhadap jumlah pektin
yang dihasilkan.
1.4. Manfaat Penelitian
1) Dapat mengetahui pelarut yang optimum terhadap jumlah pektin yang
dihasilkan.
2) Dapat mengetahui suhu yang optimum terhadap jumlah pektin yang
dihasilkan.
3) Dapat mengetahui waktu ekstraksi yang optimum terhadap jumlah pektin
yang dihasilkan
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1) Bahan baku yang digunakan adalah limbah kulit pisang kepok.
2) Variabel bebas pada penelitian ini ialah jenis pelarut, suhu dan waktu
ekstraksi.
3) Variabel tetap pada penelitian ini adalah kulit pisang kepok.
4) Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kadar air, kadar abu, berat
ekivalen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pisang Kepok


Pisang merupakan nama umum yang diberikan pada tumbuhan ternak
raksasa yang berdaun besar memanjang dari suku Musaceae. Jenisnya yaitu (Musa
acuminata, M. balbisiana, dan M. ×paradisiaca). Buah ini tersusun didalam tandan
dengan kelompok-kelompok tersusun berbentuk menjari, yang disebut sisir. Buah
pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika telah matang, meskipun ada
beberapa yang berwarna jingga, merah, ungu, atau bahkan ada yang hitam.
Buah pisang merupakan salah satu bahan pangan dan dijadikan sebagai
sumber energi (karbohidrat) dan mineral, terutama kalium. Pisang merupakan buah
yang sangat bergizi yang merupakan sumber vitamin yang baik, mineral dan juga
karbohidrat (Susanti, 2006). Pisang biasanya dijadikan buah meja, sale pisang, pure
pisang dan tepung pisang. Bagian dari pisang yakni kulit pisang dapat dimanfaatkan
untuk membuat cuka melalui proses fermentasi alkohol dan juga asam cuka. Daun
pisang dapat digunakan sebagi pembungkus berbagai macam makanan trandisional
di Indonesia. Batang pisang abaca biasanya diolah menjadi serat untuk dibuat
menjadi pakaian dan kertas. Batang pisang yang telah dipotong kecil dan daun
pisang dapat dikonsumsi sebagai makanan ternak ruminansia (domba,kambing)
saat musim kemarau karena rumput kurang tersedia.
Secara tradisional, air umbi yang berasal dari batang pisang kepok dapat
dimanfaatkan sebagai obat disentri dan pendarahan usus besar sedangkan air yang
diperoleh dari batang pisang digunakan sebagai obat sakit kencing dan dapat
menjadi penawar racun. Perkebunan pisang yang permanen dengan mudah dapat
kita ditemukan di Meksiko, Jamaika, Amerika Tengah, Panama, Kolombia,
Ekuador dan Filipina. Di negara-negara tersebut, budidaya pisang sudah menjadi
suatu industri yang telah mendapat dukungan dari kultur teknis yang prima dan
stasiun pengepakan yang modern dan pengepakan yang memenuhi standard
internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa pisang merupakan komoditas
perdagangan yang sangat tidak mungkin untuk diabaikan. Permintaan pisang di
dunia sangat besar terutama jenis pisang Cavendish yang meliputi 80% dari
permintaan total keseluruhan didunia (Cruess, W. 1958). Selain di ekspor dalam
bentuk pisang utuh, saat ini ekspor pure pisang juga memberikan peluang yang baik
di kalangan industri. Pure pisang biasanya dengan penambahan kadar gula
sebanyak 21-26 % atau dari pisang lainnya dengan kadar gula 30 ha, produksi yang
ekonomis harus mencapai sedikitnya 46 ton/ha/tahunnya.
2.1.1. Kandungan Buah Pisang
Buah pisang selain lezat rasanya, ternyata menyimpan banyak sekali
manfaat untuk kesehatan tubuh. Secara umum, kandungan gizi yang terdapat pada
setiap buah pisang yang telah matang adalah 99 kalori, protein 1,2 gram, lemak 0,2
gram, karbohidrat 25,8 mg, serat 0,7 gram, kalsium 8 mg, fosfor 28 mg, besi 0,5
mg, vitamin A 44 RE, vitamin B 0,08 mg, vitamin C 3 mg dan air 72 gram (Hui, Y.
H. 1992). Jadi konsumsi pisang tiap hari dapat menyehatkan tubuh dan untuk
mencukupui gizi harian manusia. Bayangkan betapa besar manfaat yang bisa
Didapatkan dengan mengonsumsi pisang setiap harinya.
Kandungan buah pisang sangatlah banyak, dimana terdiri dari mineral,
vitamin, karbohidrat, serat, protein, lemak, dan komponen lain-lainnya, sehingga
apabila orang hanya mengonsumsi buah pisang saja, orang tersebut sudah tercukupi
secara minimal gizinya. Pisang yang sudah matang, kulitnya akan berwarna hijau
kekuning-kuningan dengan bercak coklat atau kuning, sebab ini akan mudah
dicerna, dan gula buah akan diubah menjadi glukosa alami secara cepat lalu
diabsorbsi ke dalam peredaran darah, pisang yang mentah akan lebih sulit dicerna
oleh usus. Lebih rincinya pisang adalah buah yang sarat akan gizi, hampir tidak
mengandung lemak yang merusak tubuh dan mudah dicerna.
Karbohidrat yang terkandung didalam pisang sekitar 23-35%, lemak 0.2%
dan seperti bahan nabati lainnya, pisang bebas dari kolesterol (Fellows, P, 2002).
Sebanyak 100 gram pisang terdapat kalori sebesar 120 kalori. Buah ini kaya akan
kalium dan mengandung magnesium, selenium, besi dan vitamin-vitamin serta
bebas natrium. Jika seseorang kekurangan vitamin B-6 dapat menyebabkan
seseorang mudah lelah dan marah serta susah tidur. Mengonsumsi satu setengah
buah dari pisang tiap harinya akan mencukupi kebutuhan tubuh terhadap vitamin
B-6 ini. Didalam The Food Pharmacy oleh Jean Carper, pisang juga disebut
sebagai makanan yang amat mujarab bagi penderita penyakit mag. Karena pisang
yang bersifat spasmolitik, dimana fungsinya dapat menurunkan kerja lambung dan
mengurangi sekresi enzim serta asam lambung, maka dari itu sifatnya yang
spasfamatik turut berperan dalam menghasilkan khasiat ini. Kandungan pektin yang
tinggi pada bagian pisang juga dapat melindungi selaput lendir lambung terhadap
pengaruh asam lambung dan enzim (pepsin).

2.2. Kulit Pisang Kepok


Kulit pisang biasanya dijadikan limbah hasil industri pengolahan pisang
untuk berbagai jenis makanan yang tidak bernilai ekonomi dan ramah lingkungan,
sehingga penting untuk mencari solusi pemanfaatan kulit pisang. Selain itu, pisang
merupakan buah-buahan tropis yang paling banyak dihasilkan dan dimanfaatkan
oleh masyarakat Indonesia (Nainggolan, 1999). Produksinya menduduki peringkat
pertama hasil pertanian terbanyak di Indonesia.
Bobot kulit pisang dapat mencapai 40% daripada buahnya. Dengan
demikian kulit pisang menghasilkan limbah dengan volume yang cukup besar.
Salah satunya adalah jenis pisang kepok (Tarigan dkk., 2012). Kulit pisang dapat
menjadi alternatif yang menjanjikan untuk diambil zat pektinnya dan kemudia
diolah menjadi serbuk pektin dan edible film. Pengambilan pektin dalam kulit
pisang dapat dilakukan menggunakan beberapa cara yaitu ekstraksi, yang sering
dibedakan menggunakan cara konvensional atau modern. Ekstraksi pektin
dilakukan menggunakan pelarut dengan pemanasan langsung.

2.3. Pektin
Pektin merupakan substansi alami yang ada disebagian besar tanaman
pangan. Selain menjadi sebuah elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan
komponen menjadi utama dari suatu lamella tengah pada tanaman, pektin juga
berfungsi sebagai zat perekat dan dapat menjaga suatu stabilitas dari jaringan dan
sel. Pektin adalah senyawa polisakarida yang memiliki bobot molekul tinggi
dimana banyak terdapat pada tumbuhan. Pektin fungsinya sebagai pembentuk
struktur gel dan agen pengental dalam proses pembuatan jelly, marmalade,
makanan rendah kalori dan di bidang farmasi digunakan untuk bahan pengental.
Pektin dapat ditemukan pada dinding sel tanaman tingkat tinggi dan banyak
berkontribusi pada fungsi sel dinding. Dinding sel lah yang menentukan ukuran dan
bentuk sel dan dapat menyebabkan integritas dan kekakuan dari jaringan tanaman.
Pektin juga berperan dalam retensi transportasi dan air ion, menentukan ukuran pori
dari dinding sel dan terlibat didalam proses mekanisme pertahanan terhadap
serangan infeksi patogen, luka, dan stress atau tekanan. Fungsi yang lebih spesifik
dari pektin di bagian yang berbeda dari dinding sel atau jaringan tanaman sangat
dipengaruhi oleh jumlah dan sifat molekul pektin.

Gambar 2.1. Pektin pada jaringan tanaman


(Sumber : Ditjen POM. 1995)
. Pektin merupakan asam poligalakturonat yang mengandung metil ester.
Pektin adalah suatu pangan yang sangat fungsional dan bernilai tinggi yang berguna
dalam proses pembentukan gel dan bahan penstabil pada sari buah, bahan
pembentuk struktur pada pembuatan jelly, jam dan marmalade. Konsentrasi dari
pektin amat berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan
kekuatan tertentu Sahari. (Fitria, V. 2013). Senyawa pektin yaitu asam protopektin,
pektat dan asam pektinat:
2.3.1. Protopektin
Protopektin merupakan substansi pektat yang sifatnya tak larut didalam air,
terdapat pada tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan asam
pektinat (Meyer, 1960). Protopektin adalah suatu senyawa-senyawa pektin yang
terkandung didalam tanaman yang muda dan dapat juga berada pada buah–buahan
yang belum matang atau mentah. Protopektin ini tak dapat larut didalam air, namun
jika ia dipanaskan didalam air yang didalamnya terdapat suatu zat asam, maka
protopektin itu dapat diubah menjadi pektin dan akan terdispersi didalam air.
Protopektin akan menjadi pektin yang larut karena terdapat reaksi hidrolisis asam,
secara enzimatis dan secara fisis oleh proses pemanasan.
2.3.2. Asam Pektinat
Asam pektinat merupakan suatu asam poligalakturonat yang sifatnya koloid
dan terdapat sejumlah metil ester. Pektin adalah asam pektinat dengan kandungan
metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda (Winarno, 1986). Asam
pektinat adalah asam poligalakturonat yang mengandung gugus metil ester
didalamnya. Pektinat juga mengandung metil ester yang dapat dibilang cukup jika
kandungannya lebih dari 50% dari seluruh karboksil, maka senyawa tersebut adalah
pektin. Pektin ini juga dapat terdispersi didalam air dan dapat membentuk suatu
garam yang disebut garam pektinat.
2.3.3. Asam Pektat
Asam pektat merupakan suatu senyawa asam galakturonat yang sifatnya
koloid dan pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester. Asam pektat
merupakan senyawa-senyawa dari pektin yang terdapat pada gugus karboksil yang
tidak teresterifikasi pada suatu asam galakturonat. Sifat dari asam pektat yakni tidak
larut didalam air dan tak dapat membentuk suatu gel.
Jika asam pektat membentuk zat garam, maka akan disebut pektat serta akan
dapat larut dalam air. Kandungan pektin ada didalam semua tanaman tetapi
komposisinya yang bervariasi tergantung dengan spesiesnya masing-masing,
varietas, tingkat kematangan dari tanaman, jaringan, bagian tanaman dan kondisi
dari pertumbuhannya. Pektin juga terdapat pada buah jeruk dimana banyak terdapat
pada bagian albedo yang membentuk spons putih pada kulitnya,. Kulit jeruk
memiliki pektin yang tinggi yaitu 60-70% dari serat makanan yang ada didalam
buah jeruk merupakan suatu pektin (Perina, I., dkk. 2007). Sumber-sumber lainnya
yang mengandung pektin diantaranya adalah pada kulit pisang, buah bit, durian,
kubis dan wortel. Tingkat viskositas dari pektin bergantung pada berat molekul dari
suatu pektin, derajat esterifikasi dan pH normalnya adalah 70% (Pardede., dkk
2013). Penambahan gula adalah faktor yang dapat mempengaruhi proses
kesetimbangan dari suatu pektin dan air serta kemantapan dari molekul-molekul
pektin yang kemudian pektin tersebut akan membentuk sebuah gumpalan dan
membentuk serabut yang amat halus. Pektin yang telah membentuk serabut-serabut
halus tersebut akan berfungsi untuk menahan cairan. Jadi makin tinggi kadar
pektin, maka akan semakin padat juga struktur dari suatu pektin. Tingkat kepadatan
dari serabut-serabut pada struktur jelly dikendalikan dari kondisi dari keasaman.
Kondisi yang asam akan menghasilkan struktur pada jelly dalam bentuk yang padat
bahkan akan dapat merusak struktur dari jelly karena terjadinya reaksi hidrolisis
pada pektin.
Pektin yang baik yaitu ketika pektin itu mampu membentuk suatu gel yang
kuat, semakin tinggi kadar metoksil dan semakin panjangnya rantai galakturonat.
Pektin yang telah melalui proses ekstraksi dan telah dimurnikan akan berbentuk
serbuk berwarna terang dan sifatnya larut dalam air. Ketika serbuk pektin dicampur
dengan air ia akan menggumpal dan membentuk suatu partikel yang keras,
teksturnya agak basah diluar dan keras di bagian dalamnya Sifat fisika dari pektin
yaitu mampu membentuk suatu gel ketika adanya larutan asam dan gula. Karena
sifat fisika pektin inilah yang membuat pektin sering digunakan dalam industri
secara komersial. Pada Tabel 2.1 kita dapat melihat karakteristik dari kandungan
pektin.
Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin Berdasarkan Standar Mutu International Pectin
Producers Association
Faktor Mutu Kandungan
Kekuatan gel Min 150 grade
Kandungan metoksil:
Pektin metoksil tinggi > 7,12%
Pektin bermetoksil rendah 2,5 - 7,12%
Susut pengeringan (kadar air) Maks 12%
Kadar abu Maks 10%
Kadar air Maks 12%
Berat Ekivalen 600 – 800 mg
(Sumber:http://www. google.com/IPPA.info.html)
2.4. Sifat Fisik dan Sifat Kimia Pektin
Zat yang berbentuk serbuk dan bewarna putih kekuningan merupakan
pektin, memiliki ciri tak berbau dan mempunyai rasa seperti berlendir. Pektin yang
telah kering sudah dimurnikan berupa kristal yang bewarna putih dengan nilai
kelarutan yang berbeda-beda sesuai dengan kandungan metoksilnya sendiri, daya
sebarnya dalam pelarut dan berat molekunya. Pektin dengan kadar metoksil tinggi
akan larut didalam air dingin, sedangkan pektin yang memiliki kadar metoksil
rendah akan larut didalam alkali dan juga asam oksalat.
Pada umunya kelarutan dari pektin dapat meningkat dengan menigkatnya
kandungan metil ester atau dengan menurunnya berat molekul. pH, temperatur,
konsentrasi garam dan kandungan gula juga dapat mempengaruhi kelarutan pektin
(Tang, P. dkk.. 2011). Jika dilihat sifat-sifat fisik dari pektin seperti kelarutan,
viskositas dan kemampuannya dalam membentuk struktur gel itu tergantung pada
karakterisitik kimia dari pektin seperti berat molekul, dan kandungan senyawa-
senyawa kimia lainnya yang termasuk didalam bagian molekul pektin.
Sifat pada larutan juga dapat dipengaruhi oleh kondisi larutan itu sendiri
contohnhya pH dan bahan-bahan terlarutnya seperti kation-kation. Pektin yang
tidak larut didalam pelarut organik, tetapi akan larut didalam air dan pelarut organik
polar seperti formamida dan metil sulfoksida. Kelarutan pada pektin dalam air dapat
ditentukan dengan jumlah gugus metoksil, penyebarannya dalam pelarut serta
bobot molekunya. Pektin sifatnya asam dan koloidnya memiliki muatan yang
negatif karena adanya gugus karboksil bebas. Larutan pektin 1% yang tidak
ternetralisasi akan memebrikan pH 2,7-3,0. Larutan pektin stabil pada pH 2-4. Pada
pH 2-4, viskositas dan kekuatan gelnya menurun disebabkan oleh depolimerisasi
pada pektin. Pada kondisi basa, pektin dapat mengalami sponifikasi dan degradasi
melalui reaksi β-eliminasi (Nainggolan, R. J. 1994).
Pada kondisi yang asam, ikatan glikosidik pada gugus metil ester dari pektin
akan cendrung terhidrolisa dan menjadi asam galakturonat. Selama perlakuan
dengan asam pada suhu yang rendah, kecepatan hidrolisanya akan lebih lambat jika
dibandingkan dengan kecepatan dari proses deesterifikasi sehingga dimungkinkan
pembuatan pektin yang berester rendah dengan sedikit perusakan pada rantainya.
Pektin ini sendiri juga dapat terhidrolisa oleh asam, basa dan enzim. Pemanasan
dapat menyebabkan terjadi degradasi pada senyawa pektin. Degradasi dari senyawa
pektin juga dapat disebabkan oleh bahan-bahan berikut yaitu oksida seperti khlorin
dioksida, bromin, permanganat dan asam askorbat. Kecepatan degradasinya
bergantung pada suhu, pH dan konsentrasi oksidan.
Larutan pektin akan lebih cepat mengalami degradasi dibandingkan dengan
tepung pektin. Berdasarkan nilai kadar metoksilnya pektin dapat dibedakan atas dua
macam yaitu pektin bermetoksil tinggi yang mengandung 7-12% metil ester dan
pektin bermetoksil rendah yang mengandung 3-7% metil ester (Suyitno. 1989).
Pektin yang bermetoksil rendah contohnya asam pektinant yang sebagian besar
gugus-gugus karboksilnya bebas atau tidak teresterkan. Pektin bermetoksil rendah
ini dapat juga membentuk gel dengan adanya peranan dari kation polivalen serta
tidak memerlukan gula dan asam lagi.
Penggunaan asam dalam proses ekstraksi pektin berfungsi untuk
menghidrolisis protopektin untuk diubah menjadi pektin yang larut dalam air
ataupun membebaskan pektin dari ikatan-ikatan dengan senyawa lain, misalnya
selulosa (Triandini, M., dkk. 2014). Protopektin merupakan makromolekul dengan
berat molekul tinggi, terbentuk dari rantai molekul pektin satu sama lain atau
dengan polimer lain. Protopektin sifatnya tak larut karena dalam bentuk garam
kalsium-magnesium pektinat. Proses pelarutan dari protopektin menjadi pektin
dapat terjadi karena adanya proses penggantian ion kalsium dan magnesium oleh
ion hidrogen atau bisa juga dikarenakan putusnya ikatan antara pektin dengan
selulosa Semakin tinggi konsentrasi ion hidrogen (pH) maka akan semakin rendah
pula kemampuan untuk mengganti ion kalisum dan magnesium ataupun memutus
ikatan dengan selulosa akan semakin tinggi pula.
2.5. Sumber Pektin
Kandungan pektin yang ada didalam tanaman sangatlah bervariasi, baik
berdasarkan jenis tanamannya maupun dari bagian-bagian jaringannya. Didalam
buah pisang terjadi perubahan pada senyawa-senyawa pektin selama proses
pematangan. Dalam proses pematangan, jumlah senyawa-senyawa pektin menurun.
Pada kulit pisang terdapat pektin yang jumlahnya empat kali lebih banyak daripada
buahnya. Pektin dalam tumbuhan sendiri berfungsi sebagai pengatur aliran air antar
sel dan memberikan kekakuan pada sel. Ketika buah sudah mulai matang, maka
pektin akan terurai dan membuat buah menjadi lunak. Pada tabel 2.2. kita dapat
melihan perbandingan kandungan pektin yang ada di dalam beberapa buah yang
mengandung pektin.

Tabel 2.2. Perbandingan Kandungan Pektin pada Beberapa Bahan


Bahan Kandungan Pektin (%)
Anggur 0,07 – 0,08
Apel 0,14 – 0,96
Apriokat 0,42 – 1,32
Jeruk 0,25 – 0,76
Kulit Jeruk 10 – 30
Kulit Kakao 6 – 30
Kulit Pisang 0,58 – 0,89
Wortel 0,72 – 1,01
(Sumber : Guichard, dkk. 1991)

2.6. Ekstraksi Pektin


Ekstraksi Pektin dari Buah Ekstraksi adalah proses perpindahan suatu zat
atau solut dari larutan asal atau padatan ke dalam pelarut tertentu. Ekstraksi
merupakan proses pemisahan berdasarkan perbedaan kemampuan melarutnya
komponenkomponen yang ada dalam campuran (Fellows, 2002). Secara garis besar
ekstraksi dibedakan menjadi dua macam, yaitu ekstraksi padat-cair (leaching) dan
ekstraksi cair-cair. Ekstraksi padat-cair atau leaching adalah proses pemisahan solut
dari padatan yang tidak dapat larut yang disebut inert. Dua langkah utama dalam
proses ekstraksi padat-cair yaitu kontak antara padatan dan pelarut serta pemisahan
larutan dari padatan inert (Kirk, 1967). Pelarut yang dipakai saat proses ekstraksi
juga memiliki syarat utama yaitu dapat melarutkan solut yang terkandung dalam
padatan inert. Mekanisme yang berlangsung selama proses ekstraksi padat-cair
adalah sebagai berikut:
1) Pelarut harus bercampur dengan padatan inert sehingga permukaan padatan
dilapisi oleh pelarut;
2) Terjadi proses difusi massa pelarut pada permukaan padatan inert ke dalam
pori padatan inert tersebut. Laju difusi ini lambat karena pelarut harus
menembus dinding sel padatan;
3) Solut yang terdapat dalam padatan akan melarut dalam pelarut;
4) Campuran solut dalam pelarut yang berdifusi keluar dari permukaan
padatan inert dan bercampur dengan pelarut sisa. Seperti ekstraksi lainnya,
ekstraksi pektin dari buah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi ekstraksi. Faktor- faktor tersebut adalah sebagai berikut:
2.6.1. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel berarti semakin besar luas permukaan kontak
antara padatan dan pelarut dan semakin pendek jarak difusi solut sehingga
kecepatan ekstraksi lebih besar (Fellows, P, 2002). Pengecilan ukuran bertujuan
untuk memperluas permukaan bahan agar mempercepat penetrasi pelarut kedalam
bahan yang akan diekstrak dan pemotongan dan pembelahan bahan-bahan yang
akan diekstraksi membantu pengontakan antara padatan dengan pelarut karena
pecahnya sel-sel yang mengandung solut tersebut.
2.6.2. Pelarut
Pelarut merupakan suatu zat yang dapat melarutkan zat terlarut yang berupa
cairan, padatan atau gas yang berbeda secara kimiawi. Pelarut yang digunakan
dalam proses ekstraksi sebaiknya memiliki sifat- sifat sebagai berikut yaitu mampu
memberikan kemurnian solut yang tinggi (selektivitas tinggi), dapat didaur ulang,
stabil tetapi inert, mempunyai viskositas, tekanan uap, dan titik beku yang rendah
untuk memudahkan operasi dan keamanan penyimpanan, tidak beracun dan tidak
mudah terbakar, tidak merugikan dari segi ekonomis dan tetap memberikan hasil
yang cukup baik. Larutan pengekstrak yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi
pektin dari buah adalah air, alkohol, larutan asam, dan polifosfat. Alkohol yang
biasa digunakan adalah etanol 96%, sedangkan larutan asam yang umum digunakan
adalah HCl, H2SO4, dan CH3COOH. Larutan asam lain yang dapat digunakan
adalah asam sitrat, asam laktat, dan asam tartrat. Selain itu, dapat juga digunakan
gliserol dan larutan sukrosa. Akan tetapi penggunaan larutan tersebut sangat jarang
dan tidak digunakan dalam pembuatan pektin secara komersial. Penggunaan pelarut
air dalam ekstraksi pektin merupakan metode yang paling sederhana. Penggunaan
pelarut ini memiliki beberapa kerugian, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas
ion hidrogen.
Hal ini dapat terjadi karena air dapat melarutkan komponen-komponen lain
dari jaringan tumbuhan yang kemungkinan bersifat asam. Dengan adanya
komponen-komponen ini, terjadi kesulitan dalam pengontrolan pH selama
ekstraksi. Kesulitan ini dapat diatasi dengan preliminary treatment menggunakan
etanol. Penggunaan pelarut air tidak efisien dari segi waktu, karena ekstraksi yang
terjadi membutuhkan waktu yang lama (Kertesz, 1951). Pelarut air pada suhu ruang
juga biasa digunakan pada ekstraksi awal sebelum ekstraksi lainnya.
Tujuan dari tahap ini untuk melarutkan senyawa pektin yang tidak larut
menjadi senyawa pektin yang larut (asam pektinat). Akan tetapi bila ekstraksi
dilakukan dengan menggunakan pelarut asam, tahap ekstraksi dengan air ini tak
perlu dilakukan karena pelarut asam dapat sekaligus mengubah senyawa pektin
yang tidak larut dalam bahan menjadi senyawa yang larut dan mengekstraksinya.
2.6.3. pH Pengontrolan
pH pengontrolan dalam proses ekstraksi pektin memiliki peranan yang
sangat penting karena dapat mempengaruhi yield pektin. Rentang pH untuk
ekstraksi pektin sangat bervariasi tergantung kepada masing-masing bahan yang
akan diekstraksi. Misalnya, ekstraksi pektin dari kulit lemon dilakukan pada pH
1,5–3,0 (Winarno, 1997) dan ekstraksi pektin dari ampas apel berkisar antara 1,2 –
3,0 (Winarno, 1997). Dari kondisi-kondisi tersebut dapat dilihat bahwa ekstraksi
pektin umumnya dilakukan pada pH=1 sampai 3.
2.6.4. Suhu Kelarutan
Suhu Kelarutan akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu untuk
menghasilkan laju ekstraksi yang tinggi. Koefisien difusi akan bertambah tinggi
seiring dengan kenaikan dari suhu sehingga dapat meningkatkan laju ekstraksi.
Batas suhu ditentukan untuk mencegah kerusakan pada bahan. Secara umum, suhu
ekstraksi untuk pektin adalah 60–90°C. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga
dapat mengakibatkan degradasi pektin.
2.6.5. Pengaruh pengadukan
Pengadukan dalam ekstraksi penting karena meningkatkan perpindahan
solut dari permukaan partikel (padatan) ke cairan pelarut. Mekanisme yang terjadi
pada proses leaching adalah sebagai berikut solven berdifusi ke dalam padatan
sehingga solut akan larut ke dalam solven. Kemudian solut yang terlarut dalam
solven tersebut akan berdifusi ke luar menuju ke permukaan partikel, akhirnya solut
akan berpindah ke larutan (Kertesz, 1951). Selain itu, pengadukan suspensi partikel
halus mencegah pengendapan padatan dan kegunaan yang lebih efektif adalah
membuat luas kontaknya semakin besar.
2.4.6. Waktu ekstraksi
Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi dalam pelarut,
perolehan (yield) yang diperoleh semakin tinggi. Tetapi, terkadang penambahan
waktu ekstraksi tidak sebanding dengan yield yang diperoleh. Oleh karena itu,
ekstraksi dilakukan pada waktu optimum. Apabila waktu ekstaksi terlalu lama atay
melibihi waktu optimum, bisa saja terdapat suatu jaringan yang telah terputus
kembali. Maka dari itu waktu dalam proses ekstraksi harus diperhatikan sesuai
dengan kondisi optimum dari suatu bahan. Ekstraksi dilakukan selama pelarut yang
digunakan belum jenuh. Pelarut yang telah jenuh tidak dapat mengekstraksi lagi
atau kurang baik kemampuan untuk mengekstraksinya karena gaya pendorong
(driving force) semakin lama semakin kecil (Treyball, 1981). Sehingga waktu
ekstraksi semakin lama dan yield yang dihasilkan tak bertambah lagi.
2.7. Aplikasi Pektin pada Bahan Pangan
Pektin memiliki fungsi yang banyak, sehingga secara luas sering digunakan
sebagai komponen fungsional pada industri makanan karena kemampuannya untuk
membentuk struktur gel dan dapat menstabilkan protein. Penambahan serbuk pektin
pada makanan dapat mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya
pada adsorpsi glukosa dan kolesterol (Ranganna, S. 2000). Pada industri makanan
dan minuman, pektin digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik pada roti
dan keju, bahan pengental dan stabilizer pada minuman sari buah. Selain di industri
makanan, pektin juga berperan penting sebagai bahan pokok pembuatan jeli, jam,
dan marmalade.
Pektin memiliki potensi yang amat baik didalam bidang farmasi. Towle
(1973) menyatakan bahwa sejak dahulu pektin dapat dikonsumsi untuk
penyembuhan diare dan menurunkan kandungan kolesterol darah. Pektin yang
masuk melalui pembuluh darah dapat memperpendek waktu koagulasi darah yang
berguna untuk mengendalikan adanya pendarahan. Salah satu penggunaan pektin
yang paling sering yaitu dalam pembuatan selai atau sering disebut juga jam yang
merupakan makanan semi padat yang berbahan dasar bubur buah dicampur dengan
35–45% gula lalu dipanaskan sampai kandungan gulanya berkisar antara 50 – 65%.
Pada dasarnya semua jenis aneka buah-buahan yang matang dapat diolah menjadi
selai. Namun secara komersial, perlu memperhatikan selera dari konsumen sebelum
mengolah buah menjadi selai untuk tujuan komersial, karena tidak semua buah,
setelah diolah, mempunyai rasa yang disukai oleh semua orang.
Beberapa tahun belakangan banyak kreasi yang dilakukan sebagai daya
tarik suatu produk sehingga ada berbagai jenis produk selai di pasaran. Berbagai
tingkat konsistensi produk yang dapat dibuat, dari yang kekentalan rendah (sangat
halus dioleskan di atas roti) sampai yang sangat kental. Demikian pula, ada pabrik
yang menambahkan potongan buah ke dalam selai. Warna selai juga bisa berbeda
sesuai dengan warna buah yang diolah. Pabrik makanan juga terkadang mengolah
buah-buahan yang paling banyak digemari oleh masyarakat. Pektin sangatlah
dibutuhkan pada saat pembuatan selai atau jam.
2.8. Penelitian Terkait
Berikut ini beberapa penelitian yang dilakukan mengenai proses ekstraksi
pektin dari kulit pisang kepok yaitu:
1) Penelitian yang dilakukan oleh Berry Satria H dan Yusuf Ahda (2010)
mengenai Pengolahan Limbah Kulit Pisang Menjadi Pektin Dengan
Metode Ekstraksi, Pisang (Musaceaea sp) merupakan tanaman buah-
buahan yang tumbuh dan tersebar di seluruh Indonesia. Negara Indonesia
merupakan salah satu negara penghasil pisang terbesar di Asia. Konsumsi
pisang dengan diolah lebih dahulu menghasilkan limbah padat berupa
kulit pisang. Kulit pisang selain digunakan sebagai pakan ternak, dapat
juga diekstrak untuk mengambil kandungan pektin didalamnya.
Kurangnya pemanfaatan pada peningkatan nilai jual limbah kulit pisang
selain sebagai pakan ternak sangatlah disayangkan. Berkembangnya
sumber pektin baru dengan memanfaatkan kulit pisang sebagai bahan
bakunya yang selama ini kurang memiliki nilai jual diharapkan dapat
menambah nilai jual dari limbah kulit pisang dan meningkatkan taraf
perekonomian masyarakat. Pelaksanaan penelitian menggunakan metode
ekstraksi dengan memvariasikan suhu (70, 75, 80 o C) dan waktu operasi
(0,5 ; 1 ; 1,5 ; 2 jam) dengan pelarut asam asetat dan asam klorida. Kulit
pisang yang telah kering dan dihaluskan di ekstraksi sesuai variabel yang
ditentukan lalu bahan disaring dengan kertas saring dalam keadaan panas.
Filtrat dari hasil penyaringan ditambah dengan etanol 96% dengan
perbandingan volume 1: 1 sambil diaduk-aduk sehingga terbentuk
endapan. Pemurnian presipitat dilakukan dengan menggunakan etanol
secara berulang-ulang setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 37-
45 0 C sampai diperoleh berat yang konstan. Pektin kering ditimbang
sebagai hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pelarut asam
klorida lebih optimal dibandingkan pelarut asam asetat. Rata-rata persen
hasil pektin dengan pelarut asam klorida yaitu 11,93 %, sedangkan asam
asetat 10,10 %.
2) Penelitian yang dilakukan oleh A.Fuadi Ramdja, dkk (2011), mengenai
Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang Kepok dengan Pelarut Asam Klorida
dan Asam Asetat, mengatakan bahwa Pelaksanaan penelitian
menggunakan metode ekstraksi dengan memvariasikan suhu (60 ; 70 ;
80oC), waktu operasi (0,5 ; 1 ; 1,5 jam), dan konsentrasi pelarut asam
klorida dan asam asetat. Kulit pisang yang telah kering dan dihaluskan di
ekstraksi sesuai variabel yang ditentukan lalu bahan disaring dengan
kertas saring dalam keadaan suhu kamar. Filtrat dari hasil penyaringan
ditambah dengan etanol 96% dengan perbandingan volume 1: 1 sehingga
terbentuk endapan. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 60 0C
selama 24 jam. Pektin kering ditimbang sebagai hasil. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kadar metoksil pektin yaitu 6,448 %, dengan
rendemen pektin 1,9565% -8,4563% untuk ekstraksi dengan asam klorida
dan 1,2481% - 6,3578% untuk ekstraksi dengan asam asetat, kadar air
sebesar 26,2 %, kadar abu sebesar 4,52 %, berat ekivalen 1250, kadar asam
galakturonat 50,688 %, dan derajat esterifikasi 72,222 %. Kadar pektin
terbaik yang dihasilkan sebesar 8,4563% diperoleh dari ekstraksi dengan
asam klorida 0,15 N, suhu = 80 °C, dan waktu = 1,5 jam.
3) Penelitian yang dilakukan Megawati., dkk (2016), Pisang merupakan jenis
buah yang relatif banyak dikonsumsi oleh manusia, baik secara langsung
ataupun diolah menjadi makanan lain. Sementara itu, kulit pisang biasanya
hanya dibuang menjadi limbah, padahal di dalam kulit pisang terdapat
pektin sebanyak 22,4%. Oleh karen itu, ekstraksi pektin dari kulit pisang
penting untuk dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi pektin
dari kulit pisang kepok (Musa paradisiaca) menggunakan pelarut HCl dan
metode pemanasan Microwave Asisted Extraction (MAE) yang bertujuan
untuk mengetahui yield pektin pada berat bahan 10 dan 15 g, daya 600 W,
waktu 20 menit, dan konsentrasi HCl 0,25% sebanyak 300 mL. Ekstraksi
menggunakan cara pemanasan secara konvensional juga dikerjakan
supaya hasil dari metode MAE dapat dibandingkan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa metode MAE menghasilkan pektin 8,9 dan 16,53%
w/w kering, masing-masing untuk berat bahan 10 dan 15 g. Hal ini
menunjukkan pada berat bahan 15 g, yield pektin menggunakan MAE
lebih besar daripada pemanasan konvensional (12,8%).Hasil uji FTIR
menandakan adanya pektin, yang terdiri atas gugus karbonil pada 1623,17
dan 1632,81 cm-1 , gugus C-O pada 1230,64 dan 1231,60 cm-1 , dan
gugus C-C siklik pada 1143,84 dan 1146,73 cm-1 . Pektin kulit pisang
kepok yang didapatkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan edible
film dengan menambahkan plasticizer.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada rentang waktu 10 Desember 2018 – 10
Januari 2019. Penelitian Pengaruh Pelarut, Suhu dan Waktu Ektraksi Pektin dari
Kulit Pisang Kepok Terhadap Jumlah yang Dihasilkan dilakukan di Laboratorium
Teknik Kimia Politeknik Sriwijaya. Analisa hasil pektin dilakukan di Laboratorium
Teknik Kimia Politeknik Sriwijaya.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
1) Pengaduk
2) Termometer
3) Heater
4) Oven
5) Kertas saring
6) Blender
7) Pisau
8) Beaker glass
9) Furnace
10) Mortar
3.1.1. Bahan
1) Kulit pisang kepok
2) Asam klorida 0,1 N
3) Asam asetat 0,1 N
4) Etanol 96%
3.2. Variabel Penelitian
1) Massa kulit pisang kering 50 gram
2) Asam klorida 0,1 N sebanyak 500 ml
3) Asam asetat 0,1 N sebanyak 500 ml
4) Temperatur pemanasan adalah 37-45ºC
5) Variasi suhu (70ºC, 80ºC, 90ºC)
6) Variasi waktu (60 menit, 90 menit, 120 menit)
7) Variasi pelarut (Asam klorida dan Asam Asetat)

3.3. Prosedur Percobaan


1) Kulit pisang dicuci dan dikeringkan dengan sinar matahari.
2) Setelah kering, kulit pisang tersebut dihancurkan menggunakan blender.
3) Masukkan 50 gram kulit pisang kering tersebut ke dalam gelas kimia
500ml.
4) Sebagai pelarut digunakan asam klorida dengan Normalitas 0,1 N
sebanyak 500 ml.
5) Pemanas listrik dihidupkan setelah suhu yang diinginkan tercapai sesuai
variabel yang diinginkan yaitu 70ºC, 80ºC, 90ºC.
6) Waktu ekstraksi dihitung saat tercapai kondisi operasi sesuai variabel
percobaan yaitu 60 menit, 90 menit, 120 menit.
7) Setelah diekstraksi, bahan disaring dengan kertas saring dalam keadaan
panas.
8) Filtrat dari hasil penyaringan ditambah dengan etanol 96% dengan
perbandingan volume 1:1 sambil diaduk-aduk sehingga terbentuk
endapan.
9) Filtrat diendapkan selama 15 jam.
10) Presipitat dipisahkan dari larutannya dengan cara disaring menggunakan
kertas saring. Pemurnian presipitat dilakukan dengan etanol secara
berulang-ulang sampai pH netral.
11) Setelah itu keringkan dalam oven pada suhu 37-45ºC sampai diperoleh
berat yang konstan.
12) Melakukan langkah yang sama untuk pelarut asam asetat 0,1 N sebanyak
500 ml
13) Menimbang berat pektin kering sebagai hasil.

3.3. Variabel Penelitian


3.3.1. Variabel Bebas
1) Jenis pelarut : Asam asetat 0,1 N dan HCL 0,1 N.
2) Temperatur : 70oC, 80oC dan 90oC.
3) Waktu ekstraksi : 60 menit, 90 menit dan 120 menit.

3.3.2. Variabel Tetap


1) Larutan pencuci etanol 96%
2) Jumlah bubuk kulit pisang kepok 50 gram.
3.3.3. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini antara lain jumlah pektin yang dihasilkan.
Analisa pektin yang dilakukan berupa analisa kadar air, kadar abu, berat ekivalen,
% yield dan % metoksil.
3.3. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian untuk pelarut asam asetat:
1) Persiapan Bahan baku
Kulit pisang kepok dicuci terlebih dahulu, kemudian dipotong kecil-kecil
lalu dikeringkan dibawah sinar matahari selama 2-3 hari. Kulit pisang
kepok lalu dihaluskan dengan cara diblender dan diayak sampai didapatkan
serbuk kulit pisang kepok yang homogen ukurannya.
2) Pengenceran pelarut
Pengenceran pelarut dilakukan untuk mengencerkan asam asetat dan Hcl
dengan konsentrasi 0,1 N. Pengenceran dilakukan dengan penambahan
aquadest sebanyak 500 ml.
3) Ekstraksi Sampel
Pelarut yang telah melalui proses pengenceran dipanaskan terlebih dahulu
sesuai dengan variable masing-masing (suhu, waktu dan pelarut). Kemudian
50 gram sampel bubuk kulit pisang ditambahkan kedalam pelarrut yang
telah dipanaskan sesuai dengan variable masing-masing. Sampel
dipanaskan pada temperatur dengan variasi 70oC, 80oC dan 90oC dengan
waktu variasi 60 menit, 90 menit dan 120 menit. Lalu dilakukanlah proses
penyaringan dengan menggunakan kertas saring dan kain blacu untuk
memisahkan antara ampas dan filtrat. Filtrat ini disebut filtrat pektin.
4) Pengendapan Pektin
Filtrat pektin hasil penyaringan dimassukkan kedalam gelas beker. Filtrat
pektin lalu didinginkan dan ditambahkan etanol dengan konsentrasi 96%
dengan perbandingan volume 1:1 untuk diendapkan selama 15 jam. Setelah
mengalami proses pengendapan, endapan pektin dipisahkan dari larutan
pengendap dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring dan
dicuci kembali dengan larutan etanol 96% untuk menghilangkan sisa-sisa
asam. Menurut Akhmalludin dan Kurniawan (2009) , pektin yang sudah
tidak lagi meninggalkan residu asam adalah pektin yang tidak berwarna
merah bila ditambahkan dengan indikator phenolphtalein (PP).
5) Pengeringan Pektin
Pektin basah yang telah bersih dari larutan asam kemudian dikeringkan
didalam oven pada pada temperatur 37-45oC selama 7 jam kemudian
ditimbang dan dicatat beratnya.
3.5. Analisa Karakterisasi Pektin
1) Yield pektin
Pektin kering yang diperoleh ditimbang beratnya untuk diketahui seberapa
banyaknya pektin yang dapat dari hasil ekstraksi.
berat pektin kering
% yield pektin = x 100 %
berat bahan baku kering
2) Berat Ekivalen (Ranganna, 1977)
Pektin sebanyak 0,5 gram pektin lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250
ml dan dilembabkan dengan 5 ml etanol 96 % dan ditetesi sebanyak 1 gram
NaCl sampai mencapai titik titrasi. lalu tetesi dengan larutan indikator
fenolftalein sebanyak 5 tetes lalu ditritasi dengan NaOH 0,1 N sampai
berubah warna, lalu volume titrasi dicatat. Untuk menentukan berat ekivalen
digunakan rumus :
mg sampel x 1000
Berat Ekivalen =
ml NaOH x N NaOH

3) Kadar Metoksil (Ranganna, 1977)


Larutan netral dari penentuan berat ekivalen (BE) ditambah 25 ml larutan
NaOH 0,5 N diaduk dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar pada
keadaan tertutup. Kemudian ditambahkan 25 ml larutan HCl 0,25 N dan
ditetesi dengan fenolftalein sebanyak 5 tetes kemudian dititrasi dengan
larutan NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan volume titran dan berwarna
merah muda.
ml NaOH x N NaOH x 31
% Metoksil = x 100 %
mg sampel
4) Kadar Air (Pardede, 2013)
0,25 gram sampel dalam cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu
100oC selama 3 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang. Sampel
dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit lalu didinginkan dan
ditimbang.
berat sampel awal-berat sampel akhir
% Air = x 100 %
berat sampel awal
5) Kadar Abu (Ranganna, 1977)
0,25 gram pektin diletakkan dalam crucible + tutup. Lalu dimasukkan dalam
furnace pada suhu 600oC selama 90 menit, lalu abu didinginkan sampai
temperatur kamar dan ditimbang beratnya.
gram abu
% abu = x 100 %
gram sampel
3.6. Skema Penelitian
3.6.1. Persiapan Bahan Baku
Limbah kulit pisang kepok dilakukan proses pretreatment terlebih dahulu
dengan cara sebagai berikut:

Kulit buah Pisang kepok

Pengeringan dibawah sinar matahari selama 2-3 hari

Pencucian dan pengecilan ukuran dengan blender

Bubuk kulit pisang kepok diayak agar ukurannya homogen


Gambar 3.4. Diagram Alir Proses pretreatment

3.6.2. Ekstraksi Pelarut :


Bubuk kulit pisang kepok kemudian diekstraksi dengan menggunakan
pelarut dengan proses sebagai berikut:

Ekstraksi menggunakan asam asetat dan Hcl dengan


variasi temperatur dan waktu ekstraksi

Penyaringan Ampas

Penambahan etanol 96% Filtrat


dengan perbandingan 1:1
Campuran filtrat
Endapan pektin
dan etanol

Penyaringan pektin

Pencucian pektin basah dilakukan dengan menggunakan


etanol 96% secara berulang-ulang
Pektin basah dicatat beratnya
Gambar 3.4. Diagram Alir Proses ekstraksi pektin

3.6.4. Pengeringan pektin


Pengeringan pektin basah dilakukan selama 7 jam untuk memperoleh
pektin kering sebagai berikut:
Pektin basah

Pengeringan pektin basah dalam oven suhu 37- 45℃


selama 7 jam.

Pektin kering dihaluskan dengan


mortar

Bubuk pektin siap dianalisa

Karakterisasi pektin:
1. Yield pektin
2. Kadar air
3. Kadar abu
4. Berat ekivalen
5. Kadar metoksil

Gambar 3.4. Diagram Alir Proses pengeringan pektin

3.7. Matriks Penelitian


1) Jenis pelarut : Asam asetat 0,1 N dan HCL 0,1 N.
2) Temperatur : 70oC, 80oC dan 90oC.
3) Waktu ekstraksi : 60 menit, 90 menit dan 120 menit.
Varibel bebas yang digunakan pada penelitian ini adalah variasi dari jenis
pelarut yang digunakan, temperature ekstraksi dan lama waktu ekstraksi pektin.
Terdapat 18 sampel yang masing-masing dihitung dengan variasi pelarut : suhu :
waktu ekstraksi dan diperoleh sebagai berikut:

Tabel 3.1. Matriks Penelitian

No 1 2

XA XA1 XA1

XA2 XA2

XA3 XC3

XB XB1 XB1
XB3
XB2 XB3
XB2
XC XC1 XC2

XC2 XC2

Keterangan: XC3 XC3


Pelarut Perbandingan Pelarut Perbandingan
suhu : suhu :
waktu waktu
ekstraksi ekstraksi
1. HCL XA1. 70:60 2. Asam asetat XA1. 70:60
XA2. 80:90 XA2. 80:90
XA3. 90:120 XA3. 90:120
XB1. 70:60 XB1. 70:60
XB2. 80:90 XB2. 80:90
XB3. 90:120 XB3. 90:120
XC1.70:60 XC1. 70:60
XC2.80:90 XC2. 80:90
XC3. 90:120 XC3. 90:120

3.8. Jadwal Penelitian


Penelitian dijadwalkan pada bulan Desember 2018 s.d Januari 2019.
Tabel 3.2. Jadwal Penelitian
N Uraian Minggu Ke-
O Kegiat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1
an 0 1 2
1 Penent
. uan
top
ik,
jud
ul,
dan x
var
iab
le
pen
elit
ian
2 Peninja
. uan
Pus x x
tak
a
3 Peranc
. ang
an
Me
tod x x
olo
gi
Pe
nel
itia
n
4 Penyed
. ian
Ba
x
han
Ba
ku
5 Pelaksa
. naa
n
Pe x X X x X x X
nen
elit
ian
6 Analisa
. Ha
sil
Pe x
nel
itia
n
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Data Hasil Pengamatan


Pektin didapatkan dengan cara di ekstraksi menggunakan pelarut asam
klorida 0,1 N dan asam asetat 0,1 dengan variasi temperatur 70oC, 80oC dan 90oC
dengan waktu ekstraksi 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Pelarut yang digunakan
untuk ekstraksi pektin yaitu larutan asam klorida 0,1 N dan asam asetat 0,1 N.
Larutan asam klorida dan asam asetat digunakan untuk merombak protopektin yang
tidak larut menjadi pektin yang dapat larut. Berdasarkan Hanum (2012) ekstraksi
pektin dilakukan dengan hidrolisis asam atau enzimatis. Ekstraksi pektin dari kulit
buah naga dilakukan dengan hidrolisis asam, asam yang berperan adalah asam
asetat.
Bahan baku berupa serbuk kering kulit buah pisang, berdasarkan Perina,
(2007) menjelaskan bahwa semakin kecil ukuran partikel berarti semakin luas
permukaan yang kontak antara padatan dan pelarut serta semakin pendek jarak
difusi solut sehingga kecepatan ekstraksi lebih besar. Kulit buah pisang di ekstraksi
lalu dilakukan penyaringan antara larutan dengan bahan baku. Penyaringan hasil
ekstraksi dilakukan dengan menggunakan kertas saring dan bantuan corong
Buchner sehingga penyaringan dapat berjalan lebih cepat. Larutan yang telah
terpisah ditambahkan dengan etanol 96% agar terjadi penggumpalan yang
membedakan pelarut dengan pektin. Hal ini dilakukan beberapa kali untuk
menetralkan pH dari pektin.
Pektin kemudian dapat dihitung hasil yield terhadap bahan baku dan
pengkarakterisasian diantaranya pengukuran kadar air, kadar abu, berat ekivalen,
dan kadar metoksil. Yield menunjukkan banyaknya hasil pektin yang terbentuk dari
bahan baku yang digunakan sedangkan kadar air, kadar abu, berat ekivalen, dan
kadar metoksil merupakan standar kualitas dari pektin yang dihasilkan.
Tabel 1. Data Analisa Sampel Penelitian pelarut HCL

T t Yield WM AM BE Met
No
(°C) (Menit) (%) (%) (%) (Gram) (%)

1 70 60 3,3 0.12 0.08 3334.00 8.43

2 70 90 4.14 0.06 0.07 2007.20 8.46

3 70 120 2,84 0.02 0.07 1929.62 8.40

4 80 60 4,24 0.04 0.08 296.55 10.39

5 80 90 5,24 0.03 0.07 2088.33 6.31

6 80 120 1,88 0.01 0.04 566.59 9.01

7 90 60 2,92 0.03 0.12 2970.00 7.92

8 90 90 3,84 0.08 0.06 2640.00 8.10

9 90 120 1,78 0.09 0.06 1500.71 9.00

Tabel 2. Data Analisa Sampel Penelitian pelarut Asam Asetat

T t Yield WM AM BE Met
No
(°C) (Menit) (%) (%) (%) (Gram) (%)

1 70 60 2,62 0.13 0.42 2390.48 6.30

2 70 90 4,94 0.04 0.34 1489.71 7.22

3 70 120 1,18 0.03 0.39 713.68 19.43

4 80 60 2,42 0.03 0.35 1724.14 6.26

5 80 90 4,66 0.05 0.32 1430.57 7.12


6 80 120 1,68 0.03 0.35 1431.38 7.62

7 90 60 3,38 0.06 0.31 2180.00 6.68

8 90 90 3,5 0.08 0.37 1872.22 6.44

9 90 120 1,22 0.06 0.36 735.33 12.37

Keterangan :
1) T : Temperatur
2) t : Waktu
3) WM : Water moisture (kadar air)
4) AM : Ash moisture (kadar abu)
5) BE : Berat Ekivalen
6) Met : Kadar Metoksil

4.2. Pembahasan
4.2.1. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Yield Pektin Pelarut
Asam Klorida dan Asam Asetat

4
Yield (%)

3 T 70
T 80
2
T 90
1

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.1. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Yield Pektin Pelarut
Asam Klorida
6

4
Yield (%)

3 T 70
T 80
2
T 90
1

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.2. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Yield Pektin Pelarut
Asam Asetat
Pektin didapatkan dari jaringan tanaman dengan proses ekstraksi
menggunakan pelarut asam klorida variasi temperatur dan waktu ekstraksi. Jumlah
pektin yang didapatkan tergantung pada jenis dan bagian tanaman yang diekstrak.
Pada Gambar 4.1 Yield pektin yang dihasilkan dari kulit buah pisang kepok berkisar
antara 1,78% - 5,24%. Yield tertinggi didapat pada ekstraksi dengan temperatur
80oC selama 90 menit sebesar 2,62 gram pektin dari 50 gram serbuk kulit buah
pisang kepok. Yield terendah didapatkan pada ekstraksi dengan temperatur 900C
selama 120 menit sebesar 0,89 gram pektin. Sedangkan pada Gambar 4.2 Yield
pektin yang dihasilkan dari kulit buah pisang kepok berkisar antara 1,18% - 4,94%.
Yield tertinggi didapat pada ekstraksi dengan temperatur 70oC selama 90 menit
sebesar 2,47 gram pektin dari 50 gram serbuk kulit buah pisang kepok. Yield
terendah didapatkan pada ekstraksi dengan temperatur 700C selama 120 menit
sebesar 0,59 gram pektin.
Gambar 4.1 menunjukkan semakin tinggi temperatur ekstraksi, yield pektin
yang dihasilkan semakin rendah. Suhu ekstraksi yang tinggi menyebabkan pektin
yang telah terbentuk terdegradasi menjadi pektianat. Berdasarkan Perina, (2007)
kenaikan suhu akan meningkatkan kelarutan sehingga menghasilkan laju ekstraksi
yang tinggi, secara umum suhu ekstraksi untuk ekstraksi pektin adalah antara 60
-90 .. sesuai dengan Pardede (2013), suhu yang semakin tinggi menyebabkan ion
hidrogen yang dihasilkan akan mensubtitusi kalsium dan magnesium dari
protopektin semakin banyak, sehingga protopektin yang terhidrolis menghasilkan
pektin juga semakin banyak. Dengan suhu ekstraksi yang tinggi, Yield pektin akan
terus meningkat sampai dicapai keadaan maksimum dimana protopektin telah habis
terhidrolis (Fitria, 2013). Pada penelitian ini didapatkan suhu dan waktu optimum
pembentukan pektin dari kuliah buah pisang kepok yaitu pada suhu 80 oC selama 90
menit.
Pada temperatur 70oC dan 90°C dengan waktu yang semakin lama terjadi
penurunan yield pektin yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh pektin telah
mengalami kejenuhan, sehingga pektin yang dihasilkan semakin lama semakin
menurun. Menurut Ranganna (1977) Yield pektin yang didapat akan mencapai
maksimum pada temperatur tertentu dan mengalami kejenuhan atau Yield pektin
yang didapat akan tetap. Namun untuk temperatur 80oC, Yield yang didapatkan
semakin tinggi.

4.2.2. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air Pektin
Pelarut Asam Klorida

0.14

0.12

0.1
WM (%)

0.08
T 70
0.06
T 80
0.04 T 90

0.02

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.3. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air Pektin
Pelarut Asam Klorida
0.14

0.12

0.1
WM (%)

0.08
T 70
0.06
T 80
0.04 T 90

0.02

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.4. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air Pektin
Pelarut Asam Asetat

Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan bahan. Produk
dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam penyimpanan jangka panjang
daripada produk yang berkadar air tinggi (Pardede, 2013). Pengeringan pektin
dilakukan dalam oven pengering suhu 100 selama 3 jam. Pengeringan pada suhu
ini bertujuan untuk meminimalkan terjadinya degradasi pektin. Molekul air tunggal
atau kelompok air dapat terikat pada permukaan pektin melalui ikatan hydrogen
atau gugus –OH molekul pektin dengan atom H dari molekul air, oleh karena itu
penyerapan air oleh pektin selama proses ekstraksi adalah proses penghilangan air
atau pengeringan.
Pada Gambar 4.3 kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara
0,01-0,12%. Sedangkan pada Gambar 4.4 kadar air yang dihasilkan dari penelitian
ini berkisar antara 0,03-0,13%. Batas maksimum kadar air yang diperbolehkan
yaitu 12% berdasarkan IPPA (2003), dimana kadar air dari pektin yang dihasilkan
tidak melebihi standar. Tingginya kadar air pada pektin yang dihasilkan dapat
dipengaruhi oleh pengeringan yang tidak maksimal dan juga kondisi penyimpanan
pektin sebelum dilakukan uji kadar air. Penyimpanan pada tempat yang lembab dan
wadah yang tidak kedap udara akan menyebabkan kerentanan pektin terpapar oleh
udara luar, sehingga pektin menjadi lembab.
Pada Gambar 4.3, terlihat bahwa kadar air tertinggi yang dihasilkan adalah
pada temperatur 70oC dan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 0,12% sedangkan kadar
air terendah adalah temperatur 80oC dan waktu ekstraksi 120 menit yaitu 0,01%.
Sedangkan pada Gambar 4.4, terlihat bahwa kadar air tertinggi yang dihasilkan
adalah pada temperatur 70oC dan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 0,13% sedangkan
kadar air terendah adalah temperatur 70oC dan waktu ekstraksi 120 menit, 80oC dan
waktu 60 menit, serta 80oC dan waktu 120 menit yaitu 0,03%. Air yang masih
terdapat pada pektin merupakan air yang berada diantara permukaan pektin dan
sulit untuk dihilangkan. Semakin kecil kadar air maka kualitas pektin semakin baik.

Kadar air pektin yang dihasilkan semakin rendah dengan meningkatnya


suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi. Tingginya temperatur dan lamanya
waktu ekstraksi mampu menghidrolisis polimer pektin sehingga rantai molekulnya
menjadi lebih pendek.

4.2.3. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu Pektin
Pelarut Asam Klorida
0.14

0.12

0.1

0.08
AM (%)

T 70
0.06
T 80
0.04 T 90

0.02

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.5. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu Pektin
Pelarut Asam Klorida
0.45
0.4
0.35
0.3
AM (%)

0.25
T 70
0.2
T 80
0.15
T 90
0.1
0.05
0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.6. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu Pektin
Pelarut Asam Asetat

Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa
bahan anorganik. Kandungan mineral suatu bahan dapat diketahui dari kadar abu
IPPA (2003) adalah tidak lebih dari 1,0%. Pada Gambar 4.5 kadar abu pektin
tertinggi dihasilkan pada temperatur 90oC dengan waktu ektraksi 60 menit yaitu
0,12% sedangkan kadar abu pektin terendah pada temperatur 80oC dengan waktu
ektraksi 120 menit yaitu 0,04%. Sedangkan pada Gambar 4.6 kadar abu pektin
tertinggi dihasilkan pada temperatur 70oC dengan waktu ektraksi 60 menit yaitu
0,42% sedangkan kadar abu pektin terendah pada temperatur 90oC dengan waktu
ektraksi 60 menit yaitu 0,31%.
Pada dasarnya semakin tinggi temperatur dan lamanya waktu ekstraksi
maka kecepatan hidrolisis protopektin semakin meningkat sehingga kadar abu juga
akan semakin tinggi. Namun pada temperatur 70oC dan 80°C kadar abu terjadi
penurunan. Perlakuan dengan asam mengakibatkan terhidrolisisnya pektin dari
ikatan kalsium dan magnesiumnya. Peningkatan reaksi hidrolisis protopektin akan
mengakibatkan bertambahnya komponen Ca dan Mg dalam larutan ekstrak.
Dengan demikian, semakin banyaknya mineral berupa kalsium dan magnesium
akan semakin banyak kadar abu pektin tersebut (Hanum, 2012).
Kadar abu adalah salah satu parameter mutu pektin yang dihasilkan.
Semakin rendah kadar abu, maka mutu pektin semakin meningkat. Pada penelitian
ini, untuk kadar abu yang dihasilkan sudah mencapai standar pektin yang diijinkan
untuk dikonsumsi. Kadar abu pektin dipengaruhi oleh residu bahan anorganik yang
terdapat pada bahan baku, metode ekstraksi dan isolasi pektin (Fitria, 2013). Hal ini
disebabkan juga oleh kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan
yang diekstrak yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam,
suhu, dan waktu reaksi. Mineral yang terlarut akan ikut mengendap bercampur
dengan pektin pada saat pengendapan dengan alkohol (Fitria, 2013).
4.2.4. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen Pektin
Pelarut Asam Asetat

4000
3500
3000
2500
BE (gram)

2000 T 70

1500 T 80

1000 T 90

500

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.7. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen Pektin
Pelarut Asam Klorida
3000

2500

2000
BE (gram)

1500 T 70
T 80
1000
T 90
500

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.8. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen Pektin
Pelarut Asam Asetat

Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam


galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin. Asam pektat
murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun atas asam poligalakturonat
yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Asam pektat
murni memiliki berat ekivalen 176. Tingginya derajat esterifikasi antara asam
galakturonat dengan metanol mengakibatkan semakin rendahnya jumlah asam
galakturonat bebas yang berarti semakin tingginya berat ekivalen (Fitria, 2013).
Pada Gambar 4.7 berat ekivalen yang dihasilkan berkisar antara 296,55-
3334 gram. Sedangkan pada Gambar 4.8 berat ekivalen yang dihasilkan berkisar
antara 713,68-2390,48 gram. Berat ekivalen pektin berdasarkan standar IPPA
(2003) yakni berkisar antara 600-800 mg. Pektin hasil ekstraksi dari kulit buah
pisang kepok ini memiliki berat ekivalen yang tidak memenuhi standar karena lebih
tinggi.
Berat ekivalen pektin yang dihasilkan cenderung menurun seiring
meningkatnya temperatur dan lamanya waktu ekstraksi. Pada Gambar 4.7 berat
ekivalen tertinggi dihasilkan pada temperatur 70oC dengan waktu ektraksi 60 menit
yaitu 3334 gram sedangkan berat ekivalen terendah pada temperatur 80oC dengan
waktu ektraksi 60 menit yaitu 296,55 gram. Sedangkan pada Gambar 4.8 berat
ekivalen tertinggi dihasilkan pada temperatur 70oC dengan waktu ektraksi 60 menit
yaitu 2930,48 gram sedangkan berat ekivalen terendah pada temperatur 70oC
dengan waktu ektraksi 120 menit yaitu 713,68 gram.
Harga berat ekivalen ditentukan berdasarkan reaksi penyabunan gugus
karboksil oleh NaOH. Banyaknya volume NaOH yang digunakan untuk bereaksi
dengan gugus karboksil berbanding terbalik dengan nilai berat ekivalen. Semakin
besar volume NaOH maka akan semakin kecil nilai berat ekivalen. Semakin kecil
berat ekivalen artinya kandungan metoksil pektin semakin tinggi.
Menurut Siregar (2014), semakin rendah suhu yang digunakan akan
memperkecil terjadinya depolimerisasi dan demetilasi. Ranganna (1977)
menjelaskannya karakteristik gel dan bobot molekul akan menurun dengan
meningkatnya suhu ekstraksi. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu
ekstraksi akan memperbesar kemungkinan terjadinya depolimerisasi pektin
sehingga memiliki nilai berat ekivalen yang semakin rendah. Pada umumnya,
pektin berbobot molekul tinggi lebih disukai untuk pembentukan gel. Pektin yang
terbaik adalah pektin yang memiliki nilai bobot ekivalen yang tinggi. Semakin
tinggi suhu dan lama ekstraksi, mutu pektin akan semakin rendah jika dilihat dari
nilai bobot ekivalennya. Hal ini menunjukkan semakin lama waktu ekstraksi maka
gugus karboksil bebas yang tidak teresterkan semakin kecil yang menunjukkan
berat ekivalen akan semakin menurun (Hanum, 2012).
Pada gambar 4.7. terlihat pada temperatur 70oC kadar berat ekivalen semua
sampel tiap waktu masih tinggi hal ini karena komposisi senyawa yang terkandung
didalamnya belum menguap. Seiring dengan meningkatnya temperatur dan
lamanya waktu ekstraksi, kadar berat ekivalen semakin menurun karena banyak
senyawa yang telah teresterifikasikan. Sesuai dengan Hanum (2012) , semakin lama
waktu ekstraksi maka gugus karboksil bebas yang tidak teresterkan semakin kecil
yang menunjukkan berat ekivalen akan semakin menurun.

4.2.5. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil


Pektin Pelarut Asam Klorida
12

10

8
Metoksil (%)

6 T 70
T 80
4
T 90
2

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.9. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil
Pektin Pelarut Asam Klorida

25

20
Metoksil (%)

15
T 70
10 T 80
T 90
5

0
60 90 120
Waktu Ekstraksi (Menit)

Gambar 4.10. Pengaruh Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil
Pektin Pelarut Asam Asetat

Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah alkohol yang terdapat di dalam


pektin. Kadar metoksil pektin dapat menentukan sifat fungsional larutan pektin dan
dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk. Pektin
dapat disebut bermetoksi tinggi bila memiliki nilai kadar metoksil sama dengan atau
lebih dari 7,12%. Kurang dari 7,12% disebut pektin bermetoksil rendah. Tingginya
kadar metoksil menunjukkan gugus metoksil yang teresterkan semakin meningkat.
Pada Gambar 4.9 kadar metoksil yang dihasilkan berkisar antara 6,31%-
10,39%. Kadar metoksil tertinggi didapatkan pada kondisi temperatur 80°C dengan
waktu ekstraksi 60 menit yaitu 10,39% sedangkan kadar metoksil terendah
didapatkan pada kondisi temperatur 80°C dengan waktu ekstraksi 90 menit yaitu
6,31%. Pada Gambar 4.10 kadar metoksil yang dihasilkan berkisar antara 6,26%-
19,23%. Kadar metoksil tertinggi didapatkan pada kondisi temperatur 70°C dengan
waktu ekstraksi 120 menit yaitu 19,23% sedangkan kadar metoksil terendah
didapatkan pada kondisi temperatur 70°C dengan waktu ekstraksi 60 menit yaitu
6,26%. Pektin yang dihasilkan merupakan pektin yang cenderung bermetoksil
tinggi karena kadarnya cenderung meningkat.
Menurut Constenla dan Lozano (2003), kadar metoksil pektin akan
meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Hasil penelitian yang dilakukan
Hanum, (2012) yang menunjukkan bahwa kadar metoksil meningkat seiring
kenaikan suhu dan waktu ekstraksi, hal ini disebabkan oleh gugus karboksil bebas
yang teresterifikasi semakin meningkat. Kandungan metoksil pektin merupakan
faktor penting dalam penggunaan pektin terutama dalam bidang industri pangan.
Pektin yang dihasilkan merupakan pektin bermetoksil tinggi sehingga untuk tujuan
konsumsi harus di proses lebih lanjut yaitu dimetilasi agar menjadi pektin
bermetoksil rendah. Kandungan metoksil berpengaruh pada setting time pektin
yaitu waktu yang diperlukan untuk terbentuknya gel sejak ditambahkan bahan-
bahan pembentuk gel.
Menurut Hariyati (2006) pektin bermetoksil tinggi membentuk gel dengan
adanya gula dan asam. Kondisi yang diperlukan untuk pembentukan gel adalah
kadar gula 58-75% dengan pH 2.8-3.5. Pektin yang dihasilkan pabrik biasanya
merupakan pektin bermetoksil tinggi karena bahan baku yang digunakan lebih
banyak menghasilkan pektin metoksil tinggi. Ekstraksi pektin bermetoksil tinggi
lebih mudah dilakukan dengan biaya yang lebih murah. Pektin bermetoksil tinggi
lebih dianggap dapat memenuhi kebutuhan pasar . Jika pasar menginginkan
pektin bermetoksil rendah, maka dengan mudah pektin bermetoksil tinggi
ni dapat dirubah menjadi pektin bermetoksil rendah.

Pada gambar 4.9 terlihat kadar metoksil dari pektin kulit buah pisang stabil
dengan metoksil mengarah ke kadar metoksil tinggi. Tingginya suhu dan lamanya
waktu ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin
menjadi asam karboksilat oleh adanya asam. Ikatan gugus metil ester dari pektin
cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat. Apabila ekstraksi
dilakukan terlalu lama maka pektin akan berubah menjadi asam pektat yang asam
galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah metil ester menunjukkan
jumlah karboksil yang tidak teresterifikasi sehingga kualitas pektin yang dihasilkan
akan tinggi.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1) Semakin asam jenis pelarut yang digunakan maka persen yield dan
karakterisasi yang dihasilkan semakin tinggi
2) Semakin tinggi temperatur maka persen yield dan karakterisasi yang
dihasilkan semakin tinggi, tetapi persen yield akan menurun pada saat
melewati suhu optimum.
3) Semakin lama waktu ekstraksi maka persen yield dan karakterisasi yang
dihasilkan semakin tinggi, tetapi persen yield akan menurun pada saat
melewati waktu optimum.
4) Didapatkan suhu dan lama waktu ekstraksi optimum yaitu pada 80ºC dan 90
menit

5.2. Saran
1) Perlu dilakukan analisa kandungan pektin pada bahan baku sebelum
ekstraksi pektin.
2) Perlu dilakukan analisa kadar air bahan baku sebelum ekstraksi pektin.
3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menghasilkan pektin metoksil
rendah dari pektin metoksil tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Cruess, W. 1958. Commercial Fruit and Vegetable Products. USA: McGraw Hill
Book Company, Inc.
Fellows, P. 2002. Food Processing Technology Second Edition. London :
Woodhead Publishing Limited.
Fitria, V. 2013. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi Dari Limbah Kulit Pisang
Kepok (Musa Balbisiana Abb). Skripsi S1: UIN Syarif Hidayatullah
Guichard, E. S., A, Torty dan Loo, S. V.,. 1991. Pektin concentrat ion, molekular
weight and degree of esterification. Influence on volatile composition and
sensory caracteristic of strawberry jam. Journal Food Science. Vol 2(5) : 56
: 62
Hariyati, M. N. 2006. Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Proses
Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus Nobilis Var Microcarpa). Skripsi. S1 :
Institut Pertanian Bogor
Hui, Y. H. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. USA: John Willy
and Sons, Inc.
International Pectin Producers Association. 2003. Pectin Commercial Production.
(Online). http://www.ippa.info/commercial_production_of_pectin.html.
(Diakses pada tanggal 21 januari 2019)
Kertesz, Z. I., 1951 The Pectic Substances. New York : Interscience.
Kirk, R.E., dan Othmer, D.F., 1967. Encyclopedia of Chemical Technology. New
York : John Wiley and Sons, Inc.,
Meyer, L, H. 1960. Food Chemistry. Japan : Reinhold Publishing Corporation.
Nainggolan, R. J. 1994, Pengaruh pH dan Lama Ekstraksi terhadap Rendemen dan
Mutu Pektin dari Kulit Pisang. Lab. Teknologi Hasil Pertanian USU :
Medan.
Pardede., Atmajaya, L., dan Juwono, H. 2013. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin
dari Kulit Kemiri (Alleurites mollucana Willd). Jurnal Media Sains. Vol. 5
(1) : 2085-3548.
Perina, I., Nego, A., Mukhtar, G., dan Endang, 2007. Ekstraksi Pektin dari Berbagai
Macam Kulit Jeruk. Jurnal Widya Teknik. Vol. 6 (1) : 1-10.
Ranganna, S. 2000. Hanbook of Analysis and Quality Control for Fruit and
Vegetable Products. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing.
Susanti. 2006. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia.
Suyitno. 1989. Rekayasa Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Yogyakarta: UGM Press.
Tang, P. Sam,. S., dan Richard, 2011. Optimization of Pectin Extraction from Peel
of Dragon Fruit (Hylocereus polyrhizus). Asian Journal of Biological
Sciences. Vol. 4 (2) : 189-195.
Tarigan, M. Kaban, I. M. dan Hanum, F. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang
Kepok (Musa Paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia USU. Medan : Universitas
Sumatra Utara.
Towle, G.A. dan Christensen, O.. 1973. Pectin in Industrial Gums, Polysaccharides
& Their Derivatives edited by R.L. Whistler. New York. : Academic Press.
Triandini, M., Riza., P., dan Kania., S, 2014. Pengambilan Pektin Dari Albedo
Semangka Dengan Proses Ekstraksi Asam. Konversi. Jurnal Teknik Kimia.
Vol 3 (1) : 24-32.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta,: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Anda mungkin juga menyukai