Anda di halaman 1dari 95

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jumlah penduduk yang besar adalah akibat dari tingkat fertilitas yang

tinggi, karena tingkat usia subur atau jumlah wanita usia suburnya tinggi,

sehingga pertumbuhan penduduk menjadi tinggi. Konsekuensi dari besarnya

jumlah penduduk, maka praktis kebutuhan akan berbagai fasilitas seperti

tempat tinggal, lapangan pekerjaan, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan

rekreasi juga meninggi, dan harus disediakan oleh pemerintah. Hal tersebut

membutuhkan perhatian yang serius untuk dicari bagaimana solusinya agar

pertumbuhan penduduk mampu dikendalikan.

Berdasarkan laporan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN) tahun 2016, tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia

saat ini mencapai 1,43 persen. Padahal, pemerintah menargetkan

pertumbuhan populasi dapat ditekan menj,adi 1,1 persen sedangkan tingkat

kelahiran setiap perempuan di Indonesia pada 2010-2015 rata-rata 2-3 anak.

Dengan laju seperti itu diprediksi pada 2020-2030 nanti, penduduk berusia

produktif akan sangat besar jumlahnya.

Berdasarkan data BPS (2015) total jumlah penduduk di sulawesi selatan

adalah 8.342.047 jiwa dengan luas daerah 46.083,94 Km 2. Laju pertumbuhan

penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, namun

pertumbuhannya tidak terlalu pesat jika dibandingkan beberapa tahun-tahun

sebelumnya. BPS memproyeksi bahwa kelahiran provinsi sulawesi selatan


pada tahun 2020 berkisar 2,43% dan pada tahun 2030 berkisar 2,09%. Hal itu

membuat pemerintah harus lebih bekerja ekstra.

Program KB sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam bidang

kependudukan, memiliki implikasi yang tinggi terhadap pembangunan

kesehatan, oleh karena itu program KB memiliki posisi strategis dalam upaya

pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Namun, pada kenyataannya masih

banyak pasangan usia subur (PUS) yang belum menjadi peserta KB (Suratun,

2008).

Melihat keadaan tersebut, Perlu adanya tindakan membangkitkan dan

menguatkan kembaliprogram Kependudukan Keluarga Berencana dan

Pembangunan Keluarga (KKBPK) Oleh karena itu, Badan Kependudukan

Keluarga Berencana (BKKBN) menggagas Program Kampung Keluarga

Berencana. Kampung keluarga berencana merupakan gagasan presiden

Jokowi yang merupakan salah satu bentuk/model miniatur pelaksanaan total

program KKBPK (Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan

Keluarga) secara utuh yang melibatkan seluruh bidang di lingkungan

BKKBN dan bersinergi dengan kementerian/lembaga, mitra kerja,

stakeholders instansi terkait sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah,

serta dilaksanakan ditingkatan pemerintahan terendah (sesuai prasyarat

penentuan lokasi kampung keluarga berencana) diseluruh kabupaten dan

kota.

Sejak dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada januari 2016, di

Cirebon, Jawa Barat, jumlah Kampung KB yang telah di bentuk telus

berkembang. Kampung KB telah terbentuk di semua Kabupaten atau kota di


seluruh Indonesia (514 kabupaten atau kota). Target kampung KB pada 2017

adalah disetiap kecamatan diseluruh Indonesia terbentuk satu kampung KB.

Sampai dengan triwulan ketiga pada 2017, total yang sudah terbentuk adalah

5.505 Kampung KB, yang berada di 4.754 (66 persen) kecamatan yang ada di

Indonesia, atau masih ada 2.406 (34 persen) Kecamatan yang belum

membentuk Kmapung KB. (Nasional Tempo, 2018)

Pembentukan Kampung KB ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas

hidup masyarakat ditingkat kampung atau setara, melalui program

Kependudukan, Keluarga Berencana (khususnya metode Jangka Panjang)

dan Pembangunan Keluarga serta membangun sektor terkait dalam rangka

mewujudkan keluarga kecil berkualitas. Di Sulawesi Selatan, Kampung KB

telah terbentuk di 24 Kabupaten / Kota dan 305 kecamatan didalamnya,

masing-masing kecamatan terdiri dari 1 atau 2 Kampung KB Di Sulawesi

Selatan, Kampung KB telah terbentuk di 24 Kabupaten / Kota dan 305

kecamatan didalamnya, masing-masing kecamatan terdiri dari 1 atau 2

Kampung KB. Kampung KB pertama kali di bentuk di kabupaten Maros

pada awal tahun 2016 yang kemudian di susul oleh daerah lainnya. Kota

makassar adalah kota urbanisasi yang padat penduduk dan terdiri dari

masyarakat yang majemuk. Kampung Kb di kota Makassar pertama kali

terbentuk pada mei 2017 pada kecamatan panakukkang. (BKKBN Provinsi

Sulawesi Selatan, 2018).

Indikator keberhasilan dari kampung KB adalah berdasarkan dari rata-rata

capaian yang d tetapkan dari masing-masing daerah. Dalam bidang keluarga

berencana dan kesehatan reproduksi yang menjadi indikator nya dalah


capaian peserta KB Aktif, capaian metode kontrasepsi jangka panjang

(MKJP), capaian pria berKB dari total peserta KB, dan unmeet need.

Untuk wilayah sulawesi selatan, capaian KB di tentukan oleh jumlah

permintaan peminatan masyarakat (PPM). Presentase PPM peserta KB aktif

yang di tetapkan oleh pemerintah untuk tahun 2016 adalah sebanyak 755.710

peserta KB dengan proyeksi jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak

1.471.133. pada realisasinya berdasarkan laporan, jumlah peserta KB aktif

adalah sebesar 991.830 jiwa (131,24%) dan jumlah PUS 1.384,278

(71,65%), dengan jumlah peserta MJKP 209.337 jiwa, yang di dalamnya

terdapat jumlah metode operasi pria (MOP) sebesar 2.115 peserta.

Berdasarkan data dari BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2017

terlihat bahwa jumlah peserta KB aktif sebanyak 992,180 jiwa dari PPM

yang di tentukan adalah sebesar 888.437 peserta. Jumlah PUS 1.391,975

peserta dari proyeksi sebanyak 1.495.547. jumlah peserta MJKP 218.731

jiwa, yang di dalamnya terdapat jumlah metode operasi pria (MOP) sebesar

2.442 peserta, unmeet need 196.772 (13,14) dari capaian minimal sebesar

13,87.

Data dari BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan per juli 2018, PPM yang di

tentukan untuk peserta KB aktif adalah 744.030. pada realisasi nya jumlah

peserta KB aktif adalah sebanyak 970.432 jiwa dan jumlah PUS sebanyak

1.389.033 jiwa. Terdapat peningkatan yang tidak signifikan terhadap jumlah

peserta KB Aktif dari tahun 2016 sampai per juli 2018. Jumlah peserta KB

baru adalah 97.248 jiwa dengan PPM untuk tahun 2018 adalah 215.672

peserta. Jumlah tersebut adalah jumlah keseluruhan dari masing-masing


kabupaten se Sulawesi Selatan, baik yang memiliki kampung KB Ataupun

yang tidak memiliki.

BKKBN Provinsi Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa Jumlah peserta

KB baru per juli 2017 adalah 102.340 jiwa dengan PPM 213.105/ peserta,

dan jumlah peserta KB baru per juli 2018 adalah 97.248 jiwa dengan PPM

215.672 peserta. terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara jumlah realitas

dengan jumlah PPM yang di harapkan

Jumlah PUS di Kota Makassar pada desember 2017 adalah sebanyak

190.343 pasang Dengan Jumlah peserta KB aktif sebanyak 132.222 jiwa,

dengan uraian peserta KB IUD 17.123 jiwa, MOW 5.031 jiwa , MOP 592

jiwa, Kondom 6.888 jiwa, Implan 21.508 jiwa, Suntik 51.813 jiwa, dan pil

29.267 jiwa. Dari data tersebut terlihat bahwa PUS lebih Cenderung

menggunakan KB Non MJP daripada MJP (BKKBN Kota Makassar 2017).

Panakukkang adalah salah satu kecamatan di Kota Makassar yang

memiliki wilayah Kampung KB, yaitu di kelurahan karuwisi yang di bentuk

pada mei 2017. Jumlah PUS di kecamatan Panakukkang adalah sebanyak

17.921 pasang pada tahun 2017. Yang menjadi akseptor sebanyak 12.435

jiwa, dengan jumlah akpsetor Metode jangka Panjang (MJP) sebanyak 3.625

jiwa, dan metode jangka Pendek (NON MJP) sebanyak 8.810 jiwa. jumlah

peserta KB baru 2.979 jiwa Dengan PPM 3.517 jiwa. Hingga april 2018

jumlah PUS yang terlapor di kecamatan panakukkang adalah 17.822 jiwa.

jumlah peserta KB aktif 12.323 dengan dengan jumlah akpsetor Metode

jangka Panjang (MJP) sebanyak 3.686 jiwa, dan metode jangka Pendek

(NON MJP) sebanyak 8.637 jiwa (pusat data BKKBN kota Makassar 2018).
Data dari kantor camat panakukkang menyebutkan bahwa jumlah jumlah

PUS di kelurahan Karuwisi pada tahun 2016 adalah 1630 jiwa jumlah

akseptor aktif sebanyak 1148 jiwa, dengan jumlah MJP sebanyak 440 jiwa,

dan NON MJP sebanyak 708 jiwa. Pada tahun 2017 jumlah PUS adalah

1763 jiwa, jumlah peserta KB aktif sebanyak 1.217 dengan jumlah MJP

sebanyak 470 jiwa, dan NON MJP sebanyak 747 jiwa. data per april 2018

menunjukan bahwa jumlah PUS sebanyak 17.822 jiwa, dengan jumlah

akseptor aktif 1.224 dimana peserta MJP 470 jiwa dan peserta NON MJP

sebanyak 752 jiwa.

Melihat data tersebut, di kelurahan karuwisi terjadi penurunan pada tahun

2016 ke tahun 2017, dan hingga saat ini belum ada peningkatan yang

signifikan, dan pengguna non MJKP masih lebih unggul di bandingkan .

dengan pengguna MJKP.. Peserta KB baru dari tahun 2016 ke tahun 2017

terdapat 69 jiwa. untuk tahun 2018 per april peserta KB baru hanya

bertambah 7 peserta saja. mengingat indikator keberhasilan dari program ini

adalah pengguna KB baru/aktif sesuai dengan rata-rata masing-masing

desa/kelurahan yaitu pada tahun 2018 PPM yang di harapkan sebesar 346

peserta KB baru.

Ada bebrapa faktor yang mempengaruhi BKKBN dalam menjalankan

program Kampung KB, /faktor utama menjadi penghambat program KB

adalah sosialisasi yang kurang baik kepada masyarakat dan kurangnya

fasilitas yang mendukung program KB tersebut. Hambatan yang ditemui

dalam mensosialisasikan program Keluarga Berencana banyak terjadi

diberbagai bidang mulai dari tingkat ekonomi, pengetahuan, pendidikan, usia,


tidak sama sehingga sulit memberikan pemahaman kepada masyarakat akan

pentingnya program KB tersebut. Pola pikir yang sudah tertanam pada target

sasaran masyarakat yaitu “banyak anakbanyak rejeki” juga merupakan faktor

penghambat masuknya program KB tersebut. Fasilitas yang kurang memadai,

Seperti tempat atau ruangan untuk melaksanakan penyuluhan atau sosialisasi

program Keluarga Berencana (KB). Kurangnya tenaga penyuluh atau PLKB

pada saat akan turun ke lokasi menjadi salah satu faktor penghambat dalam

mensosialisasikan program Keluarga.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Darmawati tahun 2017

bahwa perilaku yang dipengaruhi oleh sosial yang ada di masyarakat. Hal ini

secara tidak langsung akan mempengaruhi pasangan usia subur dalam

pengambilan keputusan. Informasi mengenai penggunaan dan metode

kontersepsi akan membuat pasangan usia subur menjaga kesehatan

reproduksinya dengan menjadikan dirinya sebagai akseptor keluarga

berencana.

Mengingat program Kampung KB ini adalah program baru dan Banyak

hambatan yang dihadapi oleh PLKB dalam pelaksanaan program khususnya

dalam hal penggunaan KB, serta jumlah akseptor baru maupun aktif sangat

tidak signifikan dari jumlah PPM yang ditetapkan.

B. Rumusan Masalah

Program Keluarga Berencana (KB) adalah suatu program yang

multitujuan, diciptakan dalam rangka mengurangi angka pertumbuhan

penduduk dan ingin membentuk suatu Norma Keluarga Kecil Bahagia dan

Sejahtera.Pelaksanaan Gerakan Keluarga Berencana Nasional selama ini


telah memperoleh kemajuan yang cukup menggembirakan.Keberhasilan itu

mutlak harus dipertahankan bahkan terus ditingkatkan karena pencapaian

tersebut ternyata belum merata.Salah satu Upaya pemerintah dalam

mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan membentuk Kampung

KB.Pemerintah menyusun suatu program yang bertanggung jawab untuk

menyebarluaskan program KB yang berkualitas guna meningkatkan Metode

Kontrasepsi Efektif Terpilih (MKET) (IUD, Implant, Kontap).

Mengingat program Kampung KB ini adalah program baru dan Banyak

hambatan yang dihadapi oleh PLKB dalam pelaksanaan program khususnya

dalam hal penggunaan KB, serta jumlah akseptor baru maupun aktif sangat

tidak signifikan dari jumlah PPM yang ditetapkan. Peneliti ingin melakukan

penelitian mengenai faktor-faktor dalam penggunaan alat kontrasepsi,

dengan harapan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi dan

referensi program dalam keberhasilan pencapaian program.

.C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisis Determinan penggunaan alat kontrasepsi Di

Wilayah Kampung Kb Kota Makassar

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui adanya Hubungan Pengetahuan Ibu dengan

Penggunaan alat Kontrasepsi di Wilayah Kampung Kb Kecamatan

Panakukkang Kota Makassar tahun 2018


b. Untuk mengetahui adanya Hubungan Sikap Ibu dengan Penggunaan

alat Kontrasepsi di Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang

Kota Makassar tahun 2018

c. Untuk mengetahui adanya Hubungan dukungan Suami dengan

Penggunaan alat Kontrasepsi di Wilayah Kampung Kb Kecamatan

Panakukkang Kota Makassar tahun 2018

d. Untuk mengetahui adanya Hubungan peran PLKB dengan Penggunaan

alat Kontrasepsi di Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang

Kota Makassar tahun 2018

e. Untuk mengetahui faktor apa yang paling berhubungan dengan

Penggunaan alat Kontrasepsi di Wilayah Kampung Kb Kecamatan

Panakukkang Kota Makassar tahun 2018

D. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini meliputi manfaat bagi keilmuan, metodologis, dan

aplikatif.

1. Bagi keilmuan

Hasil penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan, terutama bidang KB.

2. Metodologis

Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar mengenai pengaruh

Kampung KB terhadap perilaku Ibu dalam berKB secara berkualitas, dan

sebagai acuan bagipenelitian selanjutnya.

3. Aplikatif

Hasil penelitian ini dapat membantu mengevaluasi dampak program

kampung KB terhadap keberhasilan tujuan dari Program KB itu sendiri


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Program Keluarga Berencana ( KB )

1. Definisi Keluarga Berencana (KB)

Keluarga Berencana menurut WHO (World Health Organisation) adalah

tindakan yang membantu individu atau pasangan suami isteri untuk:

a. Mendapatkan objektif - objektif tertentu.

b. Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan.

c. Mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan.

d. Mengatur interval di antara kelahiran.

e. Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan

umur suami isteri.

f. Menentukan jumlah anak dalam keluarga.

Sasaran utama dari pelayanan KB adalah Pasangan Usia Subur (PUS).

Pelayanan KB diberikan di berbagai unit pelayanan baik oleh pemerintah

maupun swasta dari tingkat desa hingga tingkat kota dengan kompetensi

yang sangat bervariasi. Pemberi layanan KB antara lain adalah Rumah


Sakit, Puskesmas, dokter praktek swasta, bidan praktek swasta dan bidan

desa.

Jenis alat / obat kontrasepsi antara lain kondom, pil KB, suntik KB,

IUD, implant, vasektomi, dan tubektomi. Untuk jenis pelayanan KB jenis

kondom dapat diperoleh langsung dari apotek atau toko obat, pos layanan

KB dan kader desa. Kontrasepsi suntik KB sering dilakukan oleh bidan

dan dokter sedangkan kontrasepsi jenis, IUD, implant dan vasektomi

tubektomi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih dan

berkompeten.

2. Tujuan KB

Kebijakan Keluarga Berencana (KB) bertujuan untuk mengendalikan

pertumbuhan penduduk melalui usaha penurunan tingkat kelahiran.

Kebijakan KB ini bersama-sama dengan usaha-usaha pembangunan yang

lain selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Upaya

menurunkan tingkat kelahiran dilakukan dengan mengajak pasangan usia

subur (PUS) untuk berkeluarga berencana. Sementara itu penduduk yang

belum memasuki usia subur (Pra-PUS) diberikan pemahaman dan

pengerti-an mengenai keluarga berencana.

Untuk menunjang dan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan

KB telah ditetapkan beberapa kebijakan, yaitu perluasan jangkauan,

pembinaan terhadap peserta KB agar secara terus menerus memakai alat

kontrasepsi, pelembagaan dan pembudayaan NKKBS serta peningkatan

keterpaduan pelaksanaan keluarga berencana. Selanjutnya untuk

mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut terus dimantapkan usaha-


usaha operasional dalam bentuk upaya pemerataan pelayanan KB,

peningkatan kualitas baik tenaga, maupun sarana pelayanan KB,

penggalangan kemandirian, peningkatan peran serta generasi muda, dan

pemantapan pelaksanaan program di lapangan.

3. Ruang Lingkup Program KB

Ruang lingkup program KB secara umum adalah sebagai berikut :

a. Keluarga berencana

b. Kesehatan reproduksi remaja

c. Ketahanan dan pemberdayaan keluarga

d. Penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas

e. Keserasian kebijakan kependudukan

f. Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM)

g. Penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan.

4. Sasaran Program KB

Sasaran program KB dibagi menjadi 2 yaitu sasaran langsung dan sasaran

tidak langsung, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai.sasaran

langsung adalah PUS yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kelahiran

dengan cara penggunaan kontrasepasi secara berkelanjutan. Sedangkan

sasaran tidak langsung adalah pelaksana dan pengolah KB, dengan tujuan

menurunkan tingkat kelahiran melalui pendekatan kebijaksanaan

kependudukan terpadu dalam rangka mencapai keluarga yang berkualitas

dan sejahtera.

B. Tinjauan Tentang Kontrasepsi

1. Definisi Kontrasepsi
Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah terjadinya

kehamilan.Usaha-usaha itu dapat bersifat sementara dan

permanen.Kontrasepsi yaitu pencegahan terbuahinya sel telur oleh sel

sperma (konsepsi) atau pencegahan menempelnya sel telur yang telah

dibuahi ke dinding rahim (Nugroho dan Utama, 2014).

2. Efektivitas (Daya Guna) Kontrasepsi

efektivitas atau daya guna suatu cara kontrasepsi dapat dinilai pada 2

tingkat, yakni:

a. Daya guna teoritis (theoretical effectiveness), yaitu kemampuan suatu

cara kontrasepsi untuk mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak

diinginkan, apabila kontrasepsi tersebut digunakan dengan mengikuti

aturan yang benar.

b. Daya guna pemakaian (use effectiveness), yaitu kemampuan

kontrasepsi dalam keadaan sehari-hari dimana pemakaiannya

dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti pemakaian yang tidak hati-hati,

kurang disiplin dengan aturan pemakaian dan sebagainya.

3. Memilih Metode Kontrasepsi

ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih kontrasepsi.

Metode kontrasepsi yang baik ialah kontrasepsi yang memiliki syarat-

syarat sebagai berikut:

a. Aman atau tidak berbahaya

b. Dapat diandalkan

c. Sederhana
d. Murah

e. Dapat diterima oleh orang banyak

f. Pemakaian jangka lama (continution rate tinggi).

Adapun faktor-faktor dalam memilih metode kontrasepsi yaitu:

a. Faktor pasangan

Umur, Gaya hidup, Frekuensi senggama, Jumlah keluarga yang

diinginkan, Pengalaman dengan kontraseptivum yang lalu, Sikap

kewanitaan, Sikap kepriaan.

b. Faktor kesehatan

Status kesehatan, Riwayat haid, Riwayat keluarga, Pemeriksaan fisik,

Pemeriksaan panggul.

Berdasarkan lama efektivitasnya, kontrasepsi dapat dibagi menjadi :

a. MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang), yang termasuk dalam

kategori ini adalah jenis susukatau implant, IUD, MOP, dan MOW.

b. Non MKJP (Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang), yangtermasuk

dalam kategori ini adalah kondom, pil, suntik, dan metode-metode

lain selain metode yang termasuk dalam MKJP.

4. Jenis jenis alat kontrasepsi

a. Metode jangka pendek

1) Metode amenorhea laktasi (MAL)

Adalah alat kontrasepsi yang mengandalkan pemberian Air Susu

Ibu (ASI) secara eksklusif.

2) Kondom
Adalah suatu selubung atau sarung karet yang terbuat dari

berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil), atau

bahan alami yang di pasang pada penis atau vagina pada saat

melakukan hubungan seksual.

3) Metode kalender

Adalah metode kontrasepsi yang digunakan berdasarkan masa

subur dimana harus menghindari hubungan seksual tanpa

perlindungan kontrasepsi pada hari ke 8-19 siklus menstruasi

4) Kontrasepsi pil

Adalah kontrasepsi yang diminum yang mengandung hormonal

baik hormon estrogen, progesteron dan prolaktin yang dapat

mencegah kehamilan.

5) Kontrasepsi suntik

Adalah alat kontrasepsi suntik yang berisi hormon (estrogen dan

progesteron) untuk mencegah kehamilan.

b. Metode jangka panjang

1) Implan

Adalah salah satu jenis alat kontrasepsi yang berupa susuk yang

terbuat dari sejenis karet silastik yang berisi hormon dan dipasang

di bawah kulit lengan atas.

2) AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)

Adalah suatu alat yang terbuat dari plastik yang lentur yang

dipasang dalam rahim melalui vagina dan mempunyai benang.

3) Metode kontrasepsi kontap (permanen)


Kontrasepsi mantap (kontap) merupakan terjemahan dari bahasa

Inggris, secure cotraseption. Nama lain dari kontrasepsi mantap

adalah sterilisasi (sterilization)/kontrasepsi operatif (surgical

contraseption). Dari sini dikenal istilah medis operatif pria (MOP)

medis operatif wanita (MOW) untuk sterilisasi wanita.

MOP (medis operatif pria) adalah suatu metode kontrasepsi

operatif minor pada pria yang sangat aman, sederhana, dan sangan

efektif, memakan waktu operasi yang singkat dan tidak

memerlukan anastesi umum

MOW (medis operatif wanita) adalah setiap tindakan pada kedua

saluran telur yang mengakibatkan orang wanita atau pasangan yang

bersangkutan tidak akan mendapat keturunan lagi.Tubektomi

adalah metode kontrasepsi permanen dimana saluran tuba diblokir

sehingga sel telur tidak bisa masuk ke dalam rahim.

5. Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam penggunaan alat kontrasepsi

Bertrand menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

pemakaian kontrasepsi, antara lain : faktor sosial dan individu, nilai anak

dan keinginan memilikinya, permintaan KB, faktor intermediate lain

(Umur Menarchea, Umur kawin, Mati Haid, Postpartum infecundability,

Fecundabilitas, Anak Lahir mati, Aborsi disengaja), program

pembangunan, faktor persediaan KB, output pelayanan (akses, kualitas

pelayanan, image), pemanfaatan pelayanan

b. faktor individu dan sosial (karakteristik individu) terhadap

pemakaian kontrasepsi
1. Umur

Kesehatan pasangan usia subur sangat mempengaruhi

kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga waktu melahirkan, jumlah

kelahiran atau banyaknya anak yang dimiliki dan jarak anak tiap

kelahiran. Maka dari itu umur merupakan salah satu faktor

seseorang untuk menjadi akseptor, sebab umur berhubungan

dengan potensi reproduksi dan juga untuk menentukan perlu

tidaknya seseorang menggunakan alat kontrasepsi. BKKBN

menyebutkan bahwa Pasangan usia subur yang berusia muda

yaitu < 35 tahun lebih cenderung ingin memiliki anak lagidan

pada usia >35 tahun kemungkinan calon peserta sudah memiliki

jumlah anak.

2. Pendidikan

pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi pengetahuan dan sikap tentang metode kontrasepsi.

Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang

lebih rasional daripada mereka yang berpendidikan rendah, lebih

kreatif dan lebih terbuka terhadap usaha-usaha pembaharuan. Ia

juga lebih dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan

sosial. Secara langsung maupun tidak langsung dalam hal Keluarga

Berencana (KB). Karena pengetahuan KB secara umum diajarkan

pada pendidikan formal di sekolah dalam mata pelajaran kesehatan,

pendidikan kesejahteraan keluarga dan kependudukan. Semakin

tinggi tingkat pendidikan pasangan yang ikut KB, makin besar


pasangan suami istri memandang anaknya sebagai alasan penting

untuk melakukan KB. sehingga semakin meningkatnya pendidikan

semakin tinggi proporsi mereka yang mengetahui dan

menggunakan kontrasepsi untuk membatasi jumlah anaknya

(BKKBN dalam Purwoko). Namun pada kenyataannya, pendidkan

tidak selalu memberi kesan positif terhadap Pasangan Usia Subur

untuk ikut ber KB.

3. Jumlah anak (paritas)

BKKBN menjelaskan Jumlah anak hidup yang dimiliki,

mempengaruhi pasangan usia subur dalam menentukan

penggunaan kontrasepsi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup

masih sedikit terdapat kecenderungan untuk menggunakan metode

kontrasepsi . sedangkan pada pasangan dengan jumlah anak hidup

banyak terdapat kecenderungan untuk menunda atau tidak

menggunakan menggunakan metode kontrasepsi

4. Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan suatu keluarga tidak lepas dari yang namanya

pekerjaan. Tingkat pendapatan keluarga sangat berpengaruh

terhadap kesertaan PUS dalam ber KB.

c. Nilai anak dan keinginan memiliki

Tidak dapat dipungkiri bahwa anak mempunyai nilai tertentu bagi

orang tua. Anak yang diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi orang tua

memiliki nilai tertentu serta mentutut dipenuhinya beberapa

konsekuensi atas kehadirannya. Latar belakang sosial yang berbeda


tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan suatu

kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang

berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak.

Anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat

dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain.

Pandangan orang tua mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam

keluarga dapat merupakan hambatan bagi keberhasilan program KB.

Anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak dapat

memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya selain itu akan

merupakan jaminan di hari tua dan dapat membantu ekonomi

keluarga, banyak masyarakat di Indonesia yang berpandangan bahwa

banyak anak banyak rejeki.

Siregar menjelaskan bahwa di negara maju, kekayaan mengalir dari

orang tua ke anak, sedangkan negara berkembang sebaliknya

kekayaan mengalir dari anak ke orang tua. Jika anak merupakan

sumber utama jaminan ekonomi maka masyarakat tersebut akan

mengalami fertilitas yang tinggi. Motivasi untuk mempunyai jumlah

anak yang sedikit dan nilai-nilai tentang anak merupakan aspek yang

penting. Kadang-kadang jumlah anak yang diinginkan lebih besar

daripada jumlah anak yang mampu dirawat dengan baik.

Menurut Bertrand, nilai dan keinginan anak biasanya

dinyatakan dengan jumlah anak ideal yang diputuskan oleh pasangan

untuk dimilikinya, hal ini sangat subjektif karena berkaitan dengan

masalah ekonomi, penambahan keuntungan orang tua dan biaya serta


manfaat dari anak tersebut. Perkembangan tingkat sosial ekonomi,

urbanisasi, tuntutan untuk memperkerjakan anak, jaminan ekonomi di

usia tua, biaya membesarkan anak, tingkat kematian bayi, tingkat

pendidikan, status wanita, struktur keluarga, tanggung jawab orang

tua dan agama yang dianut merupakan contoh dari faktor penentu

yang dapat mempengaruhi nilai anak dan keinginan anak di tingkat

masyarakat maupun ditingkat keluarga. Bagaimanapun keinginan

anak dipengaruhi oleh ketersediaan keluarga berencana.

d. Permintaan KB

Keinginan atau kemauan (want) yang diterjemahkan ke dalam

perilaku mencari pelayanan (pemeliharaan) kesehatan disebut

permintaan atau tuntutan (demands). Permintaan adalah suatu fungsi

dari kebutuhan (needs) dan faktor-faktor lain termasuk kemampuan

pelayanan dan keadaan sosioekonomi seperti income, kelas sosial,

dan besar keluarga (wijono 2012).

Menurut Bertrand, faktor sosial ekonomi dan faktor budaya sangat

menentukan norma ukuran keluarga. Karakteristik sosial-demografi

dan psikososial dapat mempengaruhi keinginan ukuran keluarga pada

tingkat individu. Pelayanan KB yang siap tersedia tidak hanya dapat

memenuhi permintaan untuk mengatur jarak atau membatasi

kelahiran, tetapi juga menciptakan suatu permintaan jasa dalam

menyediakan pelayanan alternatif untuk meneruskan childbearing dan

keberhasilan pencegahan kehamilan.

e. output pelayanan
1. Akses pelayanan KB

Wijono memaparkan bahwa Akses berarti bahwa pelayanan

kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, budaya,

organisasi atau hambatan bahasa.

Menurut BKKBN, keterjangkauan ini dimaksudkan agar

Pasangan usia subur dapat memperoleh informasi yang memadai

dan pelayanan KB yang memuaskan. Keterjangkauan ini meliputi:

a) Keterjangkauan fisik

b) Keterjangkauan ekonomi Keterjangkauan ekonomi

c) Keterjangkauan psikososial

d) Keterjangkauan pengetahuan

e) Keterjangkauan administrasi

2. Kualitas pelayanan KB

Bruce menjelaskan bahwa terdapat enam komponen

dalam kualitas pelayanan, yaitu pilihan kontrasepsi, informasi

yang diberikan, kemampuan tehnikal, hubungan interpersonal,

tidak lanjut atau kesinambungan, kemudahan pelayanan.

disebutkan pula bahwa dampak dari kualitas pelayanan adalah

pengetahuan klien, kepuasan klien, kesehatan klien, penggunaan

kontrasepsi penerimaan dan kelangsungannya.

Enam elemen kualitas pelayanan di atas saling berkaitan

antara yang satu dengan unsur yang lainnya. Keterkaitan ini

dipengaruhi oleh faktor latar belakang yang sama, yaitu

kebijaksanaan politis, sumber alokasi, managemen program. Dari


ketiga unsur yaitu pengelola, pelaksana, dan klien dapat

diidentifikasi untuk dapat memberikan penilaian pada setiap

elemen tersebut dapat membahas untuk konsep dan indikator

kualitas pelayanan KB. Kualitas yang diterima oleh klien menjadi

fokus pokok untuk menilai kualitas pelayanan.

f. Image atau penerimaan KB

Pengertian penerimaan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah sikap terhadap sesuatu. Sikap merupakan reaksi atau

respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus

atau objek. Menurut New comb dalam Notoatmodjo (2003) sikap

merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan

merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan

“predisposisi” tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan

reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku

yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan

reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

penghayatan terhadap objek.

g. Sosial budaya

Hasil penelitian BKKBN tentang faktor sosekbud (sosial, ekonomi,

dan budaya) menerangkan bahwa nilai budaya, seperti pandangan

terhadap banyak anak adalah banyak rejeki, preferensi jenis kelamin

anak, dan pandangan agama yang dianut secara inferensial tidak

menunjukkan pengaruh yang signifikan.


Wirawan menjelaskan bahwa Mayoritas budaya masyarakat di

dunia ini memang menunjukkan kecenderungan untuk lebih

menyenangi kelahiran anak laki-laki, dibandingkan kelahiran anak

perempuan. Preferensi jenis kelamin laki-laki terutama terjadi di

kalangan budaya orang-orang Islam, Cina, India, dan di Indonesia,

budaya ini ditemukan di masyarakat Batak, dan Bali. Preferensi anak

laki-laki, nampaknya menjadi hambatan untuk mewujudkan cita-cita

dua anak harus dianggap ideal dan juga untuk mengurangi tingkat

fertilitas di China modern.

Menurut siregar Adat kebiasaan atau adat dari suatu masyarakat

yang memberikan nilai anak laki-laki lebih dari anak perempuan atau

sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan satu keluarga mempunyai

anak banyak. Bagaimana kalau keinginan untuk mendapatkan anak

laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan menceraikan

istrinya dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak laki-

laki ataupun anak perempuan. Disinilah norma adat istiadat perlu

diluruskan karena tidak banyak menguntungkan bahkan banyak

bertentangan dengan kemanusiaan.

Bagi para pemeluk agama merencanakan jumlah anak adalah

menyalahi kehendak Tuhan. Kita boleh mendahului kehendak Tuhan

apalagi mencegah kelahiran anak dengan anak dengan menggunakan

alat kontrasepsi supaya tidak hamil. Langkah utama untuk mengatasi

hal ini adalah menemui tokoh-tokoh atau ulama dari agama tersebut
untuk menjelaskan bahwa merencanakan keluarga untuk membantu

Keluarga kecil adalah tidak bertentangan dengan agama.

C. Tinjauan Tentang Program Kampung KB

Kampung KB adalah sebuah program baru BKKBN yang kental dengan

inovasi yang menjadi salah satu “pintu masuk” optimalisasi percepatan

penggarapan program KKBPK di tingkat akar rumput. Karena itu, Presiden

Jokowi sangat mengapresiasi kehadiran program ini.Bahkan meminta agar

BKKBN segera mencanangkan Kampung KB, karena strategisnya

keberadaan kampung ini.

Pencanangan Kampung KB itu sendiri akhirnya terealisasi pada 14 Januari

2016 lalu, dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo di permukiman

nelayan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Mengapa Cirebon? Karena

daerah ini telah menerapkan Kampung KB dalam beberapa waktu ke

belakang, dan dinilai cukup mumpuni untuk menjadi salah satu daerah

percontohan.

Melalui Kampung KB, BKKBN juga akan menggalakkan program

revolusi mental berbasis keluarga (RMBK) untuk membangun karakter

keluargakeluarga Indonesia. Keha diran Kampung KB menjadi perhatian ter

sendiri Presiden, sejalan pula dengan instruksi Presiden agar BKKBN, mitra

kerja dan masyarakat bekerja lebih keras lagi untuk mengendalikan

pertumbuhan penduduk dan pembangunan keluarga.


Ajakan presiden ini seiring dengan hasil Sensus Penduduk tahun 2010.

Dalam sensus sepuluh tahunan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ini diketahui

tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia berada pada posisi 1,49 persen atau

setara dengan jumlah penduduk Singapura saat ini. Padahal, pemerintah

menargetkan pertumbuhan populasi saat ini dapat ditekan menjadi 1,1 persen.

Kehadiran Kampung KB memberikan harapan.Setidaknya bila Penyuluh

KB (PKB), Petugas Lapangan KB (PLKB) maupun kader KB benarbenar

menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta profesionalismenya

dengan benar.Berhasil tidaknya pelaksanaan program KKBPK di Kampung

KB sepenuhnya terletak di pundak mereka sebagai petugas atau ujung

tombak terdepan program KKBPK di lini lapangan.

Sejarah Kampung KB Adalah sebuah kerja panjang meng hadirkan

Kampung KB (ada daerah, dengan kearifan lokal, menyebutnya “Kampung

Keluarga Kecil Berkualitas” atau “Kampung KKB”) di sebuah

daerah.Pemerintah Ka bupaten Sukabumi di Jawa Barat, seperti halnya

Pemerintah Kabupaten Cirebon, mempunyai cerita panjang tentang

itu.Karena Kampung KKB diwujudkan keberadaannya di kabupaten itu.

Panjang kisahnya, sepanjang lelahnya mewujudkan Kampung KB pertama

kali di Kabupaten Sukabumi. Untuk mengetahui proses panjang perjalanan

pembentukannya. Betapa tidak, implementasi Kampung KB sangat

ditentukan oleh data keluarga di setiap wilayah.Operasionalisasi diawali

dengan pendataan dan pemetaan yang dilakukan petugas lini lapangan seperti

PLKB, PKB, Tenaga Penggerak Desa (TPD), dan tenaga kerja kontrak di

setiap desa.
Pemetaan didasarkan pada data mikro keluarga, yaitu R/I/KS dan

R/I/MDK serta R/I/PUS.Data mikro tersebut dianalisis untuk menentukan

sasaran, potensi, dan permasalahan yang berkaitan dengan program KKBPK

di desa atau kelurahan binaan.Data mikro keluarga menyediakan empat

informasi utama, meliputi data demografi, data KB, data tahapan keluarga

sejahtera, dan data anggota keluarga.

Data yang sudah dianalisis dan menjadi informasi tentang KKBPK

disosialisasikan kepada masyarakat, Ketua RW/RT, apa rat pemerintah

desa/kelurahan, tokohto koh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.

Data ini menjadi bahan dalam penyusunan perencanaan pembangunan

tingkat desa atau kelurahan.

Selanjutnya disusunlah perencanaan program KKBPK di tingkat desa atau

kelurahan.Pekerjaan ini dilakukan di awal tahun anggaran berdasarkan hasil

analisis pendataan ke luarga yang telah disosialisasikan kepada pemangku

kepentingan di tingkat desa dan kelurahan.Petugas lapangan menyiapkan data

dan informasi tentang permasalahan dan kebutuhan program untuk diajukan

dalam perencanaan pembangunan desa dan kelurahan.

Forum yang digunakan untuk menyusun perencanaan tersebut antara lain

Musrenbangdes, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan

Alokasi Dana Desa (ADD). Selanjutnya, rencana tahunan tersebut

diterjemahkan oleh PLKB ke dalam rencana bulanan dan

minggguan.Rencanarencana tersebut kemudian disodorkan kepada pemangku

kepentingan.Tujuannya meminta dukungan semua pihak.Targetnya,

menjadikan program KKBPK sebagai agenda bersama.


1) Prasyarat Pembentukan, Ruang Lingkup Dan Sasaran Kampung KB

Dalam proses pembentukannya, suatu wilayah yang akan dijadikan

sebagai lokasi Kampung KB perlu memperhatikan persyaratan wajib

yang harus dipenuhi, yaitu:

1) Tersedianya Data Kependudukan yang Akurat

Data Kependudukan yang akurat adalah data yang bersumber dari

Hasil Pendataan Keluarga, data Potensi Desa dan data Catatan Sipil

yang akurat sehingga dapat digunakan sebagai dasar penetapan

prioritas, sasaran dan program yang akan dilaksanakan di suatu

wilayah Kampung KB secara berkesinambungan.

2) Dukungan dan komitmen Pemerintah daerah

Komitmen dan peranan aktif seluruh instansi/unit kerja pemerintah

khususnya Perintahan Kabupaten/Kota, Kecamatan dan

Desa/Kelurahan dalam memberikan dukungan pelaksanaan program

dan kegiatan yang akan dilaksanakan di kampung KB dan

memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan bidang

tugas instansi masing masing untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat.

3) Partisipasi Masyarakat yang berpartisipasi aktif

Partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan dan pelaksanaan

seluruh kegiatan yang akan dilakukan di kampung KB secara


berkesinambungan guna meningkatkan taraf hidup seluruh

masyarakat yang di wilayahnya.

2) Ruang lingkup kegiatan Kampung KB

Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan di Kampung KB meliputi:

a. Kependudukan;

b. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi;

c. Ketahanan Keluarga dan Pemberdayaan Keluarga (Pembangunan

Keluarga)

d. Kegiatan Lintas Sektor (Bidang Pemukiman, Sosial Ekonomi,

Kesehatan, Pendidikan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak, dan sebagainya–disesuaikan dengan kebutuhan wilayah

Kampung KB)

3) Sasaran penggarapan

a. Sasaran

Sasaran yang merupakan subjek dan objek dalam pelaksanaan

program dan kegiatan di Kampung KB adalah Keluarga, Remaja,

Penduduk Lanjut Usia (Lansia), Pasangan Usia Subur (PUS),

Keluarga dengan balita, Keluarga dengan remaja, Keluarga dengan

lansia, Sasaran sektor sesuai dengan bidang tugas masing masing

b. Pelaksana:

1) Kepala Desa/Lurah

2) Ketua RW, Ketua RT

3) PKB/PLKB/TPD
4) Petugas Lapangan sektor terkait

5) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tingkat

Desa/Kelurahan

6) Institusi Masyarakat Pedesaan (PPKBD dan Sub PPKBD)

7) Tokoh Masyarakat (Tokoh Adat/Tokoh Agama/Tokoh

masyarakat)

8) Masyarakat di desa/kelurahan)

9) Kader

Gambar 2.1. Model Penggarapan Kampung KB (Badan Keluarga Berencana Kota

Makassar, 2016)

4) Lingkup Penggarapan Kampung Kb

a. Kriteria Pemilihan Wilayah Kampung KB

1) Kriteria Utama
Terdapat dua kriteria utama yang wajib dipenuhi dalam pemilihan

dan penetapan pembentukan kampung KB. Kedua kriteria utama

tersebut adalah:

a) Jumlah Pra-KS dan KS-1 (miskin) di atas rata-rata Pra KS- dan

KS-1 tingkat desa/kelurahan dimana kampung tersebut berada.

b) Jumlah peserta KB di bawah rata-rata pencapaian peserta KB

tingkat desa/kelurahan dimana kampung tersebut berlokasi.

2) Kriteria Wilayah

Setelah terpenuhi dua kriteria di atas sebagai kriteria utama

pemilihan dan pembentukan kampung KB, maka selanjutnya dapat

memilih salah satu atau lebih kriteria wilayah berikut Kumuh,

Pesisir/Nelayan, Daerah Aliran Sungai (DAS), Bantaran Kereta

Api, Kawasan Miskin (termasuk Miskin Perkotaan), Terpencil,

Perbatasan, Kawasan Industri, Kawasan Wisata, Padat penduduk

3) Kriteria Khusus

a) Kriteria Data

Setiap RT/RW memiliki Data dan Peta Keluarga yang

bersumber dari hasil Pendataan Keluarga, data kependudukan

dan/atau pencatatan sipil yang akurat

b) Kriteria Kependudukan

Angka partisipasi penduduk usia sekolah rendah

c) Kriteria Program Keluarga Berencana

1) Peserta KB Aktif lebih rendah dari capaian rata-rata tingkat

desa/kelurahan;
2) Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)

lebih rendah dari capaian rata-rata tingkat desa/kelurahan;

3) Tingkat Unmet Need lebih tinggi dari capaian rata-rata

tingkat desa/kelurahan.

5) Tahapan Operasional/Pelaksanaan Kegiatan Kampung KB

Setelah seluruh proses tahapan pembentukan Kampung KB diatas selesai,

maka dilanjutkan pada tahapan implementasi kegiatan yang didahului

dengan rapat persiapan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait

di tingkat kabupaten, dimana salah satu output yang diharapkan dapat

dicapai pada rapat tersebut adalah tersusunnya terjemahan Rencana

Program dan Anggaran Kampung KB melalui Alokasi Jadwal Kegiatan

(AJK) yang meliputi rencana pelaksanaan kegiatan bulanan dan

mingguan agar dapat mengarahkan para pelaksana kegiatan (Kelompok

Kerja Kader per-Bidang) agar dapat mencapai target kinerja yang

diharapkan. Kemudian pada tahapan selanjutnya diselenggarakan

workshop tingkat Kabupaten/Kota oleh Perwakilan BKKBN Provinsi,

dimana workshop tersebut bertujuan untuk:

a. Memberikan pemahaman tentang konsep Kampung KB termasuk

indikator-indikator keberhasilan yang harus dicapai.

b. Mensosialisasikan Rencana Program dan Kegiatan Kampung KB

yang telah disusun.

c. Mensosialisasikan Alokasi Jadwal Kegiatan (AJK) bulanan dan

mingguan.
d. Pemaparan informasi tentang alur pengganggaran kegiatan

(APBN/APBD/Dana Desa/Dukungan anggaran lintas sektor)

e. Mensosialisasikan format-format evaluasi dan pelaporan.

f. Koordinasi lintas sektor dan kemitraan.

Di tingkat Kecamatan, diselenggarakan lokakarya mini yang diikuti oleh

pemangku kepentingan tingkat Kecamatan dan Desa/Lokasi Kampung

KB untuk kemudian ditindaklanjuti dengan lokakarya mini tingkat Desa

dan Pelatihan Kader Desa/Kelurahan (Kelompok Kerja Kader per-bidang

yang telah ditetapkan dalam Struktur Organisasi Kampung KB) dengan

target setiap kader mampu melaksanakan kegiatan Kampung KB yang

telah direncanakan. Kader bersama toga/toma melaksanakan KIE kepada

masyarakat melalui:

a. KIE Individu atau kunjungan ke rumah-rumah sasaran

b. KIE Kelompok dengan memanfaatkan forum-forum social

(pengajian,pertemuan BKB, Pertemuan BKR, pertemuan UPPKS,

Arisan , Taman Posyandu dll)

c. KIE Massa dengan memanfaatkan media tradisional, Mupen, Acara-

acara hiburan rakyat, dll

d. KIE Konseling kepada sasaran (Ibu Hamil,BUTEKI,PUS bukan

peserta KB, Calon Peserta KB) untuk menentukan dan memantapkan

pilihan kontrasepsi yang digunakan.


6) Indikator Keberhasilan Sertaevaluasi Dan Pelaporan Kegiatan

Kampung Kb

a. Indikator keberhasilan

Sebagai sebuah proses, indikator ketercapaian model kampung KB

tidak semata-mata hanya melihat hasil, namun keberhasilan juga

didasarkan pada input, proses dan output. Keberhasilan “input” ditandai

dengan jumlah PLKB/PKB proporsional, ketersediaan dukungan

operasional (anggaran) untuk program KKBPK dari APBD dan APBN

maupun sumber dana lain seperti PNPM, Anggaran Dana Desa (ADD),

Program keluarga harapan (PKH), Jamkesmas atau Jamkesda,

ketersediaan sarana operasional, baik kontrasepsi maupun sarana

pendukung lainnya.

Keberhasilan “proses” ditentukan berdasarkan pada: 1).

Peningkatan frekuensi dan kualitas kegiatan advokasi dan KIE; 2).

Peningkatan kualitas pelayanan KB an KR; 3). Pertemuan berkala

kelompok kegiatan BKB, BKR, BKL, UPPKS, pertemuan IMP, Staf

Meeting dan Lokakarya mini; 4).Pelayanan Taman Posyandu (PAUD,

Kesehatan/Posyandu dan BKB), surat nikah, akta kelahiran, KTP.

Sedangkan keberhasilan “Output: ditentukan berdasarkan pada

beberapa indikator sebagai berikut:


Tabel 2.1. Indikator keberhasilan output kegiatan program kampung KB (Badan
Keluarga Berencana Kota Makassar, 2016)

N
INDIKATOR CAPAIAN
O
1 Data dan Informasi
Setiap RT/RW memiliki data dan peta keluarga
100%
yang bersumber dari pendataan keluarga
2 Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi
> rata-rata capaian
Peserta KB Aktif (CU/PUS)
desa/kelurahan
> rata-rata capaian
MKJP
desa/kelurahan
> rata-rata capaian
Pria ber-KB dari total peserta KB
desa/kelurahan
< rata-rata capaian
Unmeet need
desa/kelurahan
3 Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga
< rata-rata capaian
Partisipasi klg yang memiliki balita dlm BKB
desa/kelurahan
< rata-rata capaian
Partisipasi klg yang memiliki remaja dlm BKR
desa/kelurahan
< rata-rata capaian
Partisipasi klg yang memiliki lansia dlm BKL
desa/kelurahan
< rata-rata capaian
Partisipasi lansia dalam BKL
desa/kelurahan
< rata-rata capaian
Partisipasi remaja dalam PIK
desa/kelurahan
Rata-rata usia kawin perempuan > 20 tahun
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
4
Anak
5 Kesehatan ditentukan oleh
6 Sosial Ekonomi kementerian /
7 Pendidikan lembaga, pemprov,
pemda
8 Pemukiman dan Lingkungan
9 Program lainnya sesuai dengan perkembangan

b. Evaluasi dan pelaporan kegiatan Kampung KB

Perkembangan pelaksanaan kegiatan dan realisasi program dan

anggarannya secara rutin dilaporkan (triwulan, semester dan tahunan)

oleh Ketua Kampung KB secara berjenjang kepada Kepala SKPD KB


untuk ditembuskan kepada Bupati/Walikota selaku Pembina Kampung

KB dan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi.

D. Tinjauan Umum Tentang Perilaku

Perilaku dari aspek biologis diartikan sebagai suatu kegiatan atau

aktivitas organisme atau mahluk hidup yang bersangkutan.Aktivitas tersebut

ada yang dapat diamati secara langsung dan tidak langsung. Menurut

Ensiklopedia Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi

organisme terhadap lingkungannya. Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa

perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati

dan bahkan dapat dipelajari (Ahmad Kholid, 2012).

1. Domain Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang

lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam Ahmad Khalid

membagi perilaku itu ke dalam tiga domain (ranah/kawasan), meskipun

kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan

tegas.Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan

pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah

mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut,

yang terdiri dari: a) ranah kognitif (cognitive domain), b) ranah efektif

(affective domain), dan c) ranah psikomotor (psychomotor domain).

Ranah psikomotor ini menurut teori Skinner sama dengan tindakan atau

praktik (Practice).
Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan

untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur

dari:

a. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan

(knowledge)

b. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang

diberikan (attitude)

c. Praktik (praksis), atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik

sehubungan dengan materi pendidikaan yang diberikan (practice)

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang deawasa

dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu

terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya.

Kemudian menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut, dan

selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap si subjek

terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang

telah diketahui dan disadari sepenuhnya akan menimbulkan respons lebih

jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan

stimulus atau objek tadi. Namun demikian, dalam kenyataan stimulus yang

diterima oleh subjek dapat langsung menimbulkan tindakan.Artinya,

seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih

dahulu terhadap makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain

tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau

sikap.
Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat

dikelompokkan menjadi dua, (Notoatmodjo, 2005) yaitu :

a. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih

belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons

seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,

pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk

“unob servable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur

dari pengetahuan dan sikap

b. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut

sudah berupa tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari

luar atau “observable behavior”.

Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui

dua cara, secara langsung maupun secara tidak langsung, yakni dengan

pengamatan (observasi), yaitu mengamati tindakan dari subjek dalam

rangka memelihara kesehatannya. Sedangkan secara tidak langsung

menggunakan metode mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan

melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang apa yang telah

dilakukan berhubungan dengan objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).

2. Teori perilaku kesehatan


Beberapa teori telah dicoba untuk mengungkapkan determinan

perilaku dari analisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku yang

berhubungan dengan kesehatan, ada beberapa teori yang sering menjadi

acuan dalam penelitian-penelitian kesehatan masyarakat mengenai

perubahan perilaku. Ketiga teori tersebut adalah:

a. Teori Lawrence Green

Teori Lawrence Green mencoba menganalisis dari tingkat kesehtan.

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu

faktor perilaku (behavior causes) dan faktor dari luar perilaku (non

behaviorcauses)

Gambar 2.3. Teori Lawrence green Teori Lawrence Green dalam

Notoatmodjo, 2011

keturunan

Pelayanan Status lingkungan


kesehatan kesehatan

perilaku
Pengetahuan, Sikap dan perilaku
sikap, petugas serta
kepercayaan, Ketersediaan Tokoh Masyarakat
tradisi, nilai dan fasilitas
sebagainya

PPM pem. Sosial


Komunikasi perilaku ituP.Osendiri ditentukan atau Training
Selanjutnya terbentukP.O
tiga faktor.
DK
(Ahmad Kholid, 2012) yaitu :
Pendidikan
kesehatan
1. Faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah dan mendasari

untuk terjadinya perilaku tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini

adalah ilmu pengetahuan, sikap, nilai-nilai budaya, kepercayaan dari

orang tersebut tentang dan terhadap perilaku tertentu, umur, jenis

kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan

status ekonomi. Faktor predisposisi dalam penelitian ini adalah:

a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan ditujukan untuk

menggugah kesadaran, memberikan atau meningkatkan

pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan dan peningkatan

kesehatan baik bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun

masyarakatnya. Disamping itu pendidikan kesehatan juga

memberikan pengertian-pengertian tentang tradisi, kepercayaan

masyarakat, dan sebagainya, baik yang merugikan maupun yang

menguntungkan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

b. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan adalah Hasil penginderaan

manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui

indrayang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).

Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga

menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh

intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Menurut

Notoatmodjo (2010), Pengetahuan seseorang terhadap objek

mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis

besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu :


1) Tahu (Know) Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil)

memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

2) Memahami ( Komprehension) Memahami suatu objek bukan

hanya sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat

menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

menginterprestasikan secara benar tentang objek yang

diketahui tersebut.

3) Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan apabila orang yang

telah memahami objek yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip

yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

4) Analisis (analysis) Analisis adalah sebagai kemampuan

seseorang untuk menjabarkan atau memisahkan, kemudian

mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat

dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.

5) Sintesis (Syntesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan

untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang

logis dari komponenkomponen pengetahuan yang dimiliki.

6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan

seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap

suatu objek tertentu. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada

suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang

berlaku dimasyarakat. Pengukuran pengetahuan dapat

dilakukan dengan wawancara atau dengan angket yang


menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Kedalam pengetahuan yang ingin

kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan

tingkatan-tingkatan diatas (Notoatmodjo, 2003).

c. Ekonomi Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder

keluarga dengan status ekonomi baik lebih mudah tercukupi

dibandingkan keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan

mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang temasuk kebutuhan

sekunder.

d. Paritas adalah angka-angka yang menunjukkan jumlah anak yang

dimiliki PUS

e. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain

yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau

menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-

nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata

contohnya : sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan

berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

Seorang akseptor KB dengan alat kontrasepsi Jangka Panjang

seperti IUD mengalami perdarahan. Meskipun sikapnya sudah

positif terhadap KB, tetapi ia kemudian tetap tidak mau ikut KB

dengan alat kontrasepsi apapun (Notoatmodjo, 2003).

2. Faktro-faktor pendukung (Enabling factors Faktor pendukung adalah

faktor untuk mendukung terjadinya perilaku tertentu. Yang termasuk

dalam kelompok ini adalah ketersediaan sumber daya


kesehatan/fasilitas pelayanan kesehatan, keterjangkauan sumber daya

kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi,

jamban, dan sebagainya. Pemberian KIE mengenai KB menjadi

prioritas dan komitmen pemerintah terhadap kesehatan dan

ketrampilan yang berkaitan dengan kesehatan. Tersedia atau tidaknya

sarana yang dapat dimanfaatkan adalah hal penting dalam munculnya

perilaku seseorang dibidang kesehatan. Berapapun positifnya latar

belakang, kepercayaan dan persiapan mental yang dimiliki tetapi jika

sarana kesehatan tidak tersedia tentu seseorang tidak akan dapat

berbuat banyak dan perilaku kesehatan tidak akan muncul.

3. Faktro-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam

sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Yang

termasuk faktor ini adalah pendapat, dukungan, kritik baik dari

keluarga, teman kerja, tokoh masyarakat, tokoh agama, juga dari

petugas kesehatan itu sendiri. Faktor pendorongi dalam penelitian ini

adalah

a. Keluarga

Peran keluarga adalah suatu yang diharapkan secara normative

dari seorang dalam situasi social tertentu agar dapat memenuhi

harapan.Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang

diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peranan

keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal,sifat,


kegiatan yang berhubungan dengan individudalam posisi dan

situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh

harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok, dan

masyarakat.

Menurut Friedman dukungan suami dianggap melemahkan

dampak stress dan secara langsung memperkokoh kesehatan

mental individu dalam keluarga. Keberadaan dukungan suami

yang adekuat terbukti berhubungan dengan status kesehatan yaitu

timbulnya suatu motivasi bagi istri yang mengarah pada perilaku

tertentu.Bentuk dukungan dari suami dapat berupa persetujuan

suami pada istri untuk menggunakan kontrasepsi metode jangka

Panjang.

b. Petugas Kesehatan / PLKB

Sikap petugas kesehatan dalam melakukan konseling KB

memperlakukan klien dengan baik, interaksi antara petugas dan

klien, memberikan informasi yang baik dan benar kepada klien,

menghindari pemberian informasi yang berlebihan, membahas

metode yang diingini klien,membantu klien untuk mengerti dan

mengingat.

tenaga kesehatan harus lebih berupaya dalam memberikan

pendidikan kesehatan dan konseling kepada wanita pasangan usia

subur secara informal. Karena pada umumnya Wanita pasangan

usia subur lebih mudah mendapat informasi tentang KB dari

tetangga maupun lingkungan sekitarnya.


BKKBN menegaskan bahwa PLKB merupakan ujung tombak

pengelola KB di lini lapangan. Bila dilihat dari  Tugas Pokok dan

Fungsi (Tupoksi) jabatannya, para Penyuluh KB adalah juru

penerang  pada keluarga dan masyarakat luas menuju perubahan.

Penyuluh KB juga merupakan salah satu komponen penting dalam

upaya peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat,

juga sebagai indikator kemajuan yang telah dicapai oleh suatu

daerah. Penyuluh KB bersentuhan langsung dengan masyarakat

dalam memberikan berbagai penyuluhan program KB.

b. Teori WHO

Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan

seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 6 alasan

pokok, yaitu pengetahuan, kepercayaan, sikap, orang penting sebagai

referensi, sumber-sumber daya (resouces) dan kebudayaan

(Notoatmodjo, 2003).

Kemudian menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut,

dan selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap si

subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni

objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya akan menimbulkan

respons lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau

sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian, dalam

kenyataan stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung

menimbulkan tindakan.Artinya, seseorang dapat bertindak atau

berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu terhadap makna


stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice)

seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang

kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan

sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping

itu ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan

terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat

terbentuknya perilaku. Sedangkan seorang ibu yang tidak mau ikut

KB, mungkin karena tidak ada minat dan niat terhadap KB (behavior

intencional), atau barang kali tidak ada dukungan dari masyarakat

sekitarnya (socialsupport). Mungkin juga karena kurang atau tidak

memperoleh informasi yang kuat tentang KB (accessibility of

information) atau mungkin ia tidak mempunyai kebebasan untuk

menentukan. Misalnya, harus tunduk kepada suaminya, mertua atau

orang lain yang disegani (personalautonomy) ( Notoatmodjo, 2007, p-

180)
Faktor yang
KERANGKA TEORI
mempengaruhi
perilaku
(lawrence, 1984)
Gambar 2.4.Kerangka
Predisposisi teori Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo, 2003;
teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2011
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
- Tradisi Program Keluarga - perencanaan
- Nilai
Berencana (KB) yang - Proses
Enabling sudah kurang bergema - evaluasi
- Ketersesiaan
sumber daya
manusia Indikator keberhasilan
- Fasilitas
- Input : jumlah PLKB/PKB
proporsional, ketersediaan
Reinforcing
sumber dana ketersediaan
- Sikap dan sarana operasional
perilaku - Proses : Peningkatan
petugas frekuensi dan kualitas
kegiatan advokasi dan
Program
pemerintah
Kampung KB

Perubahan
perilaku PUS
Domain perilaku
(benyamin bloom,
1908)
Pengggunaan
- Pengetahuan
alat kontrasepsi - Sikap
- tindakan
Kerangka Konsep

Kerangka konsep bertujuan untuk menjelaskan hubungan antar

variabel yang akan diteliti. Dalam menyusun kerangka konsep dimulai dari

variabel yang mewakili masalah penelitian. Konsep penelitian ini terdiri dari

dua variabel, yaitu veriabel dependen dan variabel independen. Variabel

dependen pada penelitian ini yaitu penggunaan alat kontrasepsi di wilayah

Kampung KB. Variabel independen pada penelitian ini yaitu pengetahuan,

sikap, dukungan Suami dan peranPLKB.

Gambar 2.5.kerangka Konsep analisis faktior yang mempengaruhi WUS


dalam keikutsertaan program KB MJP d wilayah Kamppung KB Kota
Makassar

Variabel dependent Variabel independent

Faktor predisposisi :

1. Pengetahuan
2. sikap

Faktor pendukung: Penggunaan alat


1. Ketersediaan fasilitas pelayanan kontrasepsi di
kesehatan
wilayah Kampung
2. Keterjangkauan fasilitas pelayanan
kesehatan KB

Faktor pendorong:

1. Dukungan Suami
2. Peran PLKB

Keterangan:

Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Hipotesis null (Ho) :

a. Tidak ada Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Penggunaan alat

Kontrasepsi di Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota

Makassar tahun 2018

b. Tidak ada Hubungan Sikap Ibu dengan Penggunaan alat Kontrasepsi

Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota Makassar tahun

2018

c. Tidak ada Hubungan dukungan Suami dengan Penggunaan alat

Kontrasepsi Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota

Makassar tahun 2018

d. Tidak ada Hubungan peran PLKB dengan Penggunaan alat

Kontrasepsi Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota

Makassar tahun 2018

e. Tidak ada faktor yang paling berhubungan dengan Penggunaan alat

Kontrasepsi Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota

Makassar tahun 2018

2. Hipotesis alternatif (Ha)

a. ada Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Penggunaan alat Kontrasepsi

Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota Makassar tahun

2018

b. ada Hubungan Sikap Ibu dengan Penggunaan alat Kontrasepsi di

Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota Makassar tahun

2018
c. ada Hubungan dukungan Suami dengan Penggunaan alat Kontrasepsi

Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota Makassar tahun

2018

d. ada Hubungan peran PLKB dengan Penggunaan alat Kontrasepsi di

Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota Makassar tahun

2018

e. ada faktor yang paling berhubungan dengan Penggunaan alat

Kontrasepsi Wilayah Kampung Kb Kecamatan Panakukkang Kota

Makassar tahun 2018


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif desain penelitian

observasional dengan rancangan cross-sectional yang bertujuan untuk

mengetahui ada atau tidak adanya hubungan Variabel independen pada

penelitian ini yaitu pengetahuan, sikap, dukungan Suami dan peran PLKB

terhadap variabel dependen yaitu penggunaan alat kontrasepsi di wilayah

Kampung KB yang diidentifikasi secara bersamaan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kampung KB yang terletak di

Kecamatan panakukkang yaitu di kelurahan karuwesi. Kecamatan tersebut

merupakan kecamatan.dengan jumlah PUS yang besar yaitu 12.435

(Panakukkang) dan jumlah PUS dikelurahan Karuwiai adalah 1.767.

Program ini awalnya berasal dari program inovasi lorong KB. kampung

KB  diwakili oleh satu kelurahan dari setiap kecamatan yang ada di Kota

Makassar.

Adapun pelaksanaan penelitian ini akan berlangsung pada bulan september

november Juni 2018


C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan elemen/subjek penelitian (Saepudin,

2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PUS di kelurahan

Karuwisi sebanyak 1.767 pasang.

2. Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Purpossive

sampling. Pada teknik ini, setiap subyek yang ada dalam populasi

memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel.

Sampel yang digunakan adalah PUS di masing masing RW yang ada

di keluarahn Karuwisi, yaitu sebanyak 10 RW. memenuhi kriteria

inklusi dan jika tidak memenuhi kriteria maka tidak dimasukan

sebagai sampel

Penentuan besar sampel yang digunakan adalah rumus besar sample

crossectional Lemeshow;

Z1−α /2 p ( 1−p ) N
n= 2
d ( N−1 ) + Z 1−α / 2 p(1− p)

Keterangan:
n = jumlah sampel
p = proporsi Pasangan Usia Subur (15-49 Tahun) Yang Memiliki
Kebutuhan KB Dan Menggunakan Alat Kontrasepsi Metode
berdasarkan data BPS Sulawesi Selatan 47,5 % (0,475)
q = 1-p = 1 – 0,475 = 0,525
d = limit dari error atau presisi absolutJika ditetapkan =0,05
Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada tertentu

Z α p ( 1− p ) N
1−
2
maka; n= 2
d ( N−1 ) + Z α p (1− p )
1−
2

1,962 .0,475 . 0,525 .1767


n=
0,0025. 1766+1,962 . 0,475. 0,525

864,546716
n=
4,415+0,49

865
n= = 176,35
4,905

berdasarkan rumus besar sampel di atas, maka besar jumlah sampel yang

di butuhkan dalam penelitian ini adalah 176,35, di bulatkan menjadi 176

responden

D. Kriteria responden

a. Kriteria inklusi

1. Wanita Usia Subur

2. Istri dari pasangan usia Subur (15-49 tahun)

3. Bersedia menjadi responden penelitian

4. Bertempat tinggal di wilayah kampung KB

b. Kriteria eksklusi

Ibu yang tidak bersedia menjadi responden penelitian

E. Metode Pengumpulan Data

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari wawancara langsung

dengan ibu PUS dengan menggunakan kuesioner


2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari BKKBN Provinsi

Sulawesi Selatan, BKKBN Kota Makassar, dan Kecamatan lokasi

penelitian

F. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan instrumen kuesioner terstruktur dan terpimpin, Yang

kemudian akan di skoring berdasarkan kriteria objektif. Instrumen yang

digunakan melalui tahapan uji validitas dengan batasan nilai valid r tabel

angka kritik ( α = 0,005). Pada pengetahuan nilai r tabel adalah 13-2 = 11

(berarti r tabel adalah 0,553). Pertanyaan sikap, dan peran PLKB 10 – 2 =

8 (berarti r tabel adalah 0,632). Pertanyaan peran PLKB 12-2=10

(r=0,576) Jika r hasil lebih besar dari r tabel, maka pertanyaan tersebut

dianggap valid.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional dari variabel independen dan variabel dependen

penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pengetahuan ibu

Segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang KB, macam-

macam metode jangka panjang dan jangka pendek , Definisi,

Carakerja, Keunggulan, Kekurangan, waktu penggunaan, efek

samping terdiri dari 15 pertanyaan.

Pengetahuan yang diajukan di dalam angket terdiri dari 3 opsi pilihan

jawaban yang masing-masing jawaban memiliki nilai paling tinggi ke

rendah 3, 2 dan 1. Skala yang di gunakan adalah skala nominal


Kategori:

1. Pengetahuan cukup bila total skor jawaban responden > 66,7 %

2. Pengetahuan kurang bila total skor jawaban responden ≤ 66,7%

2. Sikap Ibu

Tanggapan responden mengenai Program KB, tujuan Program KB,

jumlah anak yang di anjurkan, KB dalam agama, pendapat tentang

Mit os KB, dengan pilihan Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak setuju

(TS), Setuju (S), Sangat Setuju (SS), terdiri dari 10 pertanyaan

angket penilaian adalah STS bernilai 1, SS bernilai 4.

skala Nominal

Kategori:

a. Sikap Positif jika total skor jawaban dari responden > 62,5 %

b. Sikap negative jika total skor jawaban dari responden ≤ 62,5 %

3. Dukungan Suami

Dukungan Suami terhadap Ibu untuk menggunakan alat kontrasepsi.

Terdiri dari dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan

instrumental, dukungan penghargaan dan dukungan materil. Jumlah

pertanyaan 10 pertanyaan

Angket penilaian adalah YA bernilai 2, TIDAK bernilai 1

Skala Nominal

Kategori:

a. Ya jika total skor jawaban dari responden > 50%

b. Tidak jika total skor jawaban dari responden ≤ 50%

4. Peran tenaga kesehatan

Peran PLKB dalam memberi informasi tentang manfaat KB,


keuntungan dan kerugian, kelemahan, efek samping, tempat

pelayanan KB, dantempat rujukan jika terjadi efek samping.terdiri

dari 5 pertanyaan.Angket penilaian adalah YA bernilai 2, TIDAK

bernilai 1.Skala nominal

Kategori:

a. Berperan jika total skor jawaban dari responden > 50%

b. Tidak berperan jika total skor jawaban dari responden ≤ 50%

5. Penggunaan alat Kontrasepsi

Keikutsertaan Wanita Usia subur dalam menggunakan alat

Kontrasepsi. Pertanyaan berupa metode yang d gunakan, lama

penggunaan, alas an menggunakan, dan perolehan sumber informasi

mengenai KB, Terdiri dari 7 pertanyaan.

Skala nominal

Kategori:

a. ya

b. Tidak

H. Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dalam empat

tahap meliputi: editting, untuk menilai kelengkapan data, setelah

kuesioner diisi oleh responden, peneliti mengumpulkan kuesioner

tersebut, terlebih dahulu peneliti memastikan kuesioner telah terisi

dengan lengkap, sehingga jika belum lengkap dapat langsung

diperbaiki dan dilengkapi oleh responden. Selanjutnya dilakukan

pengecekan hasil kuesioner yang telah diisi.


Coding, peneliti melakukan pengkodean untuk mengubah data

yang berbentuk kalimat menjadi angka dan bilangan yang kemudian

diolah selanjutnya sesuai cara ukur yang telah ditetapkan di bab

sebelumnya. Peneliti melakukan pengkodean supaya mendapat

kemudahan saat pengolahan data dan mempercepat proses analisa data.

Entry data, peneliti melakukan entry data atau memasukan data

yang telah ditabulasi ke dalam sistem SPSS, data yang sudah

didapatkan dimasukan ke dalam software.

Selanjutnya Cleaning, peneliti melakukan pengecekan kembali

untuk mengetahui kembali kemungkinan kesalahan dalam pengkodean

atau pemasukan data (Notoatmodjo, 2010).

2. Analisis data

Analisis data adalah mengelompokan data berdasarkan variabel

dan jenis responden, menyajikan data variabel yang diteliti, melakukan

perhitungan statistikuntuk menjawab rumusan masalah dan hipotesa

(Hastono, 2007). Analisis datayang digunakan pada penelitian ini

yaknii analisa univariat, analisa bivariat, dananalisa multivariat.

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan

karakteristik masing-masing variabel yang diteliti, bentuk atau

hasilnya tergantung darii jenis datanya (Hastono, 2007). Analisis

univariat pada penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel

penelitian secara deskritif untuk menentukan karakteristiknya usia,

agama, suku, pendidikan, pekerjaan jumlah anak dan penggunaan

kontrasepsi.
Analisis bivariat merupakan analisis untuk dua variabel antara

variabel independen dengan dependen yang bertujuan untuk

mengestimasi adanya hubungan atau perbedaan (Hastono, 2007).

Analisis bivariat pada penelitian inidigunakan untuk membuktikan

hipotesa yang telah dirumuskan yaitu apakahada hubungan antara

pengetahuan, sikap, dukungan suami dan peran PLKB dengan

penggunaan alat kontrasepsi di wilayah kampung KB (Kategorik)

Analisis bivariat diawali dengan melakukan uji kenormalan data pada

setiap variabel untuk menentukan jenis uji yang tepat digunakan pada

data dalam analisisbivariat (Hastono, 2007).

Analisis bivariat menggunakan uji sesuai datanya (data

berdistribusi normal atau tidak normal). Sehingga analisis bivariat

yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Chisquare (jika

distribusi data normal) dan uji mann whitney (jika distribusi data tidak

normal) (Stang, 2014).

Analisis multivariat bertujuan untuk melihat atau mempelajari

hubungan beberapa variabel (lebih dari satu variabel) independen

dengan satu atau beberapa variabel dependen (umumnya satu variabel

dependen) (Hastono, 2007). Langkah awal untuk dilakukan analisis

multivariat adalah menyeleksi variabel yang akan dimasukan dalam

analisis multivariat dengan uji regresi linear berganda. Variabel yang

dimasukan dalam analisis multivariat adalah variabel yang pada

analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,05 (Dahlan, 2011).


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum wilayah penelitian

a. Geografis

Kecamatan Panakkukang adalah salah satu dari 14 Kecamatan di kota

makassar. yang secara geografis terletak antara 5 07’45”BT dan

119024’40”LS. Kecamatan Panakkukang terdiri dari 11 Kelurahan (salah

satunya adalah kelurahan Karuwisi yang menjadi lokasi dibentuknya

program Kampung KB) 90 RW dan 476 RT, dengan luas wilayah 17,05 km.

Wilayah Kecamatan Panakkukang merupakan daerah bukan pantai.

Menurut jaraknya, letak masing-masing kelurahan ke ibukota Kecamatan

berkisar antara 3-4 Km dengan Batas administrasi wilayah Kecamatan

Panakkukang adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kecamatan Tallo

b. Sebelah Selatan : Kecamatan Rappocini

c. Sebelah Timur : Kecamatan Tamalanrea

d. Sebelah Barat : Kecamatan Makassar

Gambar 5.1. peta kecamatan panakukkang


Sumber: Profil Kecamatan Panakukkang

b. Demografis

Penduduk merupakan subyek dan obyek dari pembangunan. Terkait

dengan hal tersebut, perubahan komponen kependudukan akan

mempengaruhi berbagai kebijakan pembangunan. Perubahan komponen

kependudukan dapat menggambarkan dinamika sosial yang terjadi

dimasyarakat.

Jumlah penduduk Kecamatan Panakkukang pada tahun 2017 adalah

146.968. dengan jumlah penduduk laki-laki sekitar 72.720 jiwa sedangkan

peermpuan sekitar 74.248 jiwa. penduduk umur 20-24 Tahun sebanyak

18.509 jiwa dengan pembagian laki-laki sekitar 9.322 jiwa dan perempuan

sekitar 9.187 jiwa. Kelompok umur paling sedikit adalah penduduk yang

berumur 75 Tahun keatas dengan jumlah sekitar 1.267 jiwa.


c. Sosial Ekonomi Dan Budaya

1. Sosial budaya

Masyarakat Kecamatan Panakkukang terdiri dari 2 (dua) jenis

yakni masyarakat yang heterogen dan masyarakat homogen, kondisi

masyarakat mayoritas heterogen yang berarti kondisi interaksi sosial

masyarakat Kecamatan Panakkukang masih kurang di beberapa

kelurahan yang disebabkan masyarakat yang bertempat tinggal di

Kelurahan seperti (Masale, Karampuang, Panaikang, Tello Baru,

Panaikang, dan Paropo) telah di huni oleh masyarakat kalangan

menengah keatas dan memiliki kesibukan masing-masing sehingga

interaksi sosial mereka agak renggang. Namun dalam beberapa

kelurahan Seperti Kelurahan Paropo masih memiliki Masyakat Asli

Paropo yang masih menjaga kekerabatan dan tali silaturahmi yang cukup

erat tepatnya di Kampung Paropo.

Secara umum Masyarakat Kecamatan Panakkukang masih tetap

menjaga dan mempertahankan nilai-nilai budaya, tradisi, dan kebiasaan

yang dimiliki secara turun-menurun.

2. Kondisi Ekonomi
Ekonomi adalah salah satu point yang paling mempengaruhi

kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Panakkukang. Sektor

perdagangan menjadi bagian dala pemenuhan kebutuhan sehari-hari

masyarakat. Wilayah Kecamatan Panakkukang merupakan salah satu

daerah pusat bisnis dan pemukiman, keberadaan pusat bisnis sangatlah

penting tidak hanya sebagai penunjang kegiatan bisnis tetapi juga sebagai

salah satu sumber pendapatan daerah (PAD). Kondisi Ekonomi di


Kecamatan Panakkukang cukup beragam, seperti banyaknya pasar,

swalayan, rumah makan, dan beberapa industri rumahan dan perkantoran

yang berada di Kecamatan Panakkukang. Adapun untuk mengetahui

jumlah pasar permanen, pasar tidak permanen, dan restaurant

d. sarana Kesehatan

Sarana kesehatan tahun di Kecamatan Panakkukang tercatat 4 Rumah

Sakit Umum/Khusus, 3 buah Puskesmas, 2 buah Pustu, 4 buah Balai

Kesehatan Ibu & Anak (BKIA), 10 buah Rumah Bersalin Dan 79 Posyandu.

Untuk tenaga medis tercatat 83 Dokter Umum, 14 orang Dokter Spesialis,

13 orang Dokter Gigi dan 108 orang Paramedis yang terdiri dari 23 orang

Bidan, 85 orang Perawat/Mantri, sementara 14 orang Dukun Bayi.

Terdapat juga 7 Balai Pengobatan, 30 Tempat Praktek Dokter, 21

Apotik, 18 Bidan Praktek Swasta, dan 12 Toko Khusus Jamu/Obat.

Pemerintah menginginkan target dalam bidang kesehatan harus dicapai,

salah satu upaya yang dilakukan adalah memberikan pelayanan kesehatan

untuk semua lapisan masyarakat secara mudah, murah, dan merata. Dengan

adanya upaya tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan

masyarakat yang lebih baik

2. Analisis Hasil Penelitian


a. Karakteristik Responden
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di kampung KB kelurahan
Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota makassar tahun 2018

Karakteristik n (%)
usia responden (tahun)/
≤ 25 tahun 16 9.09
26-35 tahun 85 48.30
36-45 tahun 69 39.20
> 45 tahun 6 3.41

pekerjaan responden
Tidak Bekerja / IRT 127 72.16
Buruh 6 3.41
Pedagang 30 17.05
PNS 4 2.27
Pegawai Swasta 6 3.41
Lainnya 3 1.70

pendidikan responden
Tidak Tamat SD 3 1.70
Tamat SD 3 1.70
Tamat SMP 126 71.59
Tamat SMA 31 17.61
Tamat Akademik/Perguruan 13 7.39
Tinggi

pendidikan suami
Tamat SMP 135 76.70
Tamat SMA 27 15.34
Tamat Akademik/Perguruan 14 7.95
Tinggi

pekerjaan suami
Buruh 120 68.18
Pedagang 39 22.16
PNS 10 5.68
Pegawai Swasta 3 1.70
Lainnya 4 2.27

jumlah anak
≤2 29 16.48
>2 147 83.52

Sumber : data primer. 2018

Tabel 5.1. menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 26-35

tahun tahun yaitu sebanyak 85 responden (48.30%), berpendidikan di


tingkat SMP yaitu sebanyak 126 responden (71,59 %), dengan pendidikan

suami juga Sebagian besar SMP sebanyak 135 responden (76,70%)

bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 127 responden

(72,16%), dengan pekerjaan suami sebagai buruh / pekerja lepas sebanyak

120 orang (68.18%). responden sebagian besar memiliki anak lahir hidup ≥

2 sebanyak 147 responden (83.52).

b. Analisis Univariat

Hasil analisis univariat dari 176 responden yang diwawancarai di

wilayah kampung KB kelurahan karuwisi kecamatan Panakukkang kota

Makassar berdasarkan tingkat pengetahuan responden, sikap responden

terhadap Program KB, Dukungan suami yang di berikan kepada ibu untuk

ikut serta menjadi peserta KB, peranan PLKB dalam pelaksanaan program

KB, dan jumlah responden yang menggunakan KB ataupun tidak

menggunakan. disajikan seperti pada tabel berikut :

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan tingkat pengetahuan di
kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota
makassar tahun 2018

Pengetahuan n %
Cukup 157 89,2
Kurang 19 10,8
Total 176 100
Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.2 pengetahuan ibu tentang KB di bagi menjadi 2

kriteria. Hasilnya menggambarkan bahwa sebagian besar responden meiliki

pengetahuan tinggi yaitu 157 responden (89,2%) dan selebihnya yaitu

sebanyak 19 responden (10,8%) memiliki pengetahuan cukup.


Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi berdasarkan sikap responden terhadap KB di
kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota
makassar tahun 2018

Sikap n %
Positif 167 94,9%
Negatif 9 5,1%
Total 176 100
Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.3 sikap ibu terhadap KB di bagi menjadi 2 kriteria.

Hasilnya menggambarkan bahwa sebagian besar responden memberikan

sikap yang positif terhadap KB yaitu sebanyak 167 responden (94,9%),

dan selebihnya memberikan sikap yang negatif terhadap KB yaitu

sebanyak 9 responden (5,1%).

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi berdasarkan sikap responden terhadap KB di
kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota
makassar tahun 2018

Dukungan suami n %
Ya 124 70.45
Tidak 52 29.55
Total 176 100
Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.4 terlihat bahwa banyak ibu yang mendapatkan

dukungan dari suami untuk ikut serta menjadi akseptor sebanyak 124

responden (70,45), namun ada juga yang tidak mendapatkan dukungan

suami yaitu sebanyak 52 responden (29,55%)

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi responden berdasarkan peran PLKB di
kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota
makassar tahun 2018

Peran PLKB n %
Cukup Berperan 149 84.66
Kurang Berperan 27 15.34
Total 176 100
Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.5 terlihat bahwa ada 149 (84,66%) responden yang

mengemukakan bahwa PLKB memiliki peran yang baik dalam

pelaksanaan program KB, selebihnya yaitu sebanyak 27 responden

(15,34%) responden mengemukakan bahwa PLKB tidak berperan dalam

program KB.

Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi responden berdasarkan penggunaan alat
kontrasepsi di kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan
panakukkang, kota makassar tahun 2018

penggunaan alat n %
kontasepsi
Ya 132 75

Tidak 44 25

Total 176 100

Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.6 terlihat bahwa hampir seluruh responden menjadi

peserta KB aktif yaitu sebanyak 132 (75%) responden, dan selebihnya

yaitu 44 (25%) responden tidak menggunakan KB.

c. Analisis Bivariat
selanjutnya, Pada tahap ini dilakukan analisis tabulasi silang antara variabel

yang termasuk faktor determinan dengan variabel penelitian, yaitu sebagai

berikut:

Tabel 5.7
Hubungan pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi di
kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota
makassar tahun 2018

pengetahuan penggunaan kontrasepsi Total P


Ya tidak

n % n % N % 0,001
Cukup 124 79,0 33 21,0 157 100,00
Kurang 8 42,1 11 57,9 19 100,00
Jumlah 132 75,00 44 25,00 176 100,00
Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.7 terlihat bahwa responden yang menggunakan

alat Kontrasepsi paling banyak adalah yang memiliki pengetahuan cukup

yaitu 79% berpengetahuan rendah yaitu 42,1%. Hasil uji Chi-square

menunjukkan pengetahuan berhubungan secara bermakna dengan

penggunaan alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,001 (p<0,05).

Tabel 5.8
/Hubungan sikap ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi di
kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota
makassar tahun 2018
Sikap Penggunaan kontrasepsi Total P
Ya Tidak

n % n % N % 0,044
Positif 128 76,6 39 23,4 167 100,00
Negative 4 44,4 5 55,6 9 100,00
Jumlah 132 75,00 44 25,00 176 100,00
Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.8 terlihat bahwa responden yang menggunakan alat

kontrasepsi lebih banyak yang memiliki sikap positif yaitu 76,6%

dibandingkan dengan yang bersikap negatif yaitu 44,4%. Hasil uji Chi-

square menunjukkan Sikap ibu berhubungan secara bermakna dengan

penggunaan alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,044 (p<0,05)

Tabel 5.9
Hubungan dukungan suami dengan penggunaan alat kontrasepsi di
kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota
makassar tahun 2018

dukungan penggunaan kontrasepsi Total P


suami
Ya tidak

n % n % N % 0,000
Ya 116 93,5 8 6,50 124 100,00
Tidak 16 30,8 36 69,20 52 100,00

Jumlah 132 75,00 44 25,00 176 100


Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.9 bahwa responden yang menggunakan alat kontrasepsi


lebih banyak yang mendapatkan dukungan dari suami yaitu 93,50%
dibandingkan dengan responded yang tidak mendapatkan dukungan dari
suami yaitu 30,8%. Hasil uji Chi-square menunjukkan dukungan suami
berhubungan secara bermakna dengan penggunaan alat kontrasepsi dengan
nilai p = 0,000 (p<0,05)

Tabel 5.10
Hubungan peran PLKB dengan penggunaan alat kontrasepsi di
kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan panakukkang, kota
makassar tahun 2018

peran penggunaan kontrasepsi Total P


PLKB
Ya tidak

n % n % N % 0,463
Berperan 111 74,5 38 25,5 149 100,00
tidak 21 77,8 6 22,2 27 100,00
berperan

  132 75,00 44 25,00 176 100


Sumber : data primer. 2018

Berdasarkan Tabel 5.10 bahwa responden yang menggunakan KB lebih

banyak yang mengungkapkan bahwa PLKB memiliki peran yaitu sebanyak

111 responden dibandingkan yang mengungkapkan bahwa PLKB tidak

berperan yaitu sebanyak ada 111 (74,50%) responden yang mengemukakan

bahwa petugas KB tidak memiliki peran yaitu 21 responden. Terlihat juga

bahwa terdapat 38 responden yang tidak menggunakan alat kontrasepsi,

namun mengungkapkan bahwa PLKB memiliki peran yang baik. Hasil uji

Chi-square menunjukkan peran PLKB tidak berhubungan dengan

penggunaan alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,463 (p>0,05)

Tabel 5.11
Resume hasil analisis bivariat hubungan variabel indepeden dengan
penggunaan alat kontrasepsi di kampung KB kelurahan Karuwisi,
kecamatan panakukkang, kota makassar tahun 2018

Variabel P value Keterangan

Pengetahuan 0,001 Signifikan

Sikap 0,044 Signifikan

dukungan suami 0,000 Signifikan

tidak
peran PLKB 0,463
signifikan
Sumber : data primer

Tabel 5.11 menunjukkan bahwa dari 4 variabel independen yang diteliti

terdapat 3 variabel independen (pengetahuan, sikap dan dukungan suami

yang berhubungan secara signifikan dengan penggunaan alat kontrasepsi di

Kampung KB kota Makassar, serta terdapat 1 variabel independen (peran

PLKB) yang terbukti tidak berhubungan secara signifikan dengan

penggunaan alat kontrasepsi di Kampung KB kota Makassar dengan nilai

(p>0,05). Berdasarkan hasil uji tersebut, maka hanya variabel pengetahuan,

sikap,dukungan suami yang dimasukkan kedalam analisis multivariat

dengan menggunakan uji regresi logistik berganda.

d. Analisis Multivariat

Pada tahap ini dilakukan analisis secara simultan terhadap semua

variabel yang termasuk determinan terhadap pemanfaatan RTK dengan

menggunakan uji regresi logistik berganda dengan metode “Backward”

yang disajikan sebagai berikut :

Tabel 5.12
Hasil Uji Multivariat faktor determinan dengan penggunaan alat
kontrasepsi di kampung KB kelurahan Karuwisi, kecamatan
panakukkang, kota makassar tahun 2018

Variable B S.E Wald D Sig. Exp(B 95,0% C.I.for


f ) EXP(B)
lower Upper

Pengetahuan -1,519 , 4,392 1 , ,219 ,053 ,906


725 036
Sikap -2,553 , 7,824 1 , ,078 ,013 ,466
913 005
Dukungan -3,622 , 47,46 1 , ,027 0,10 ,075
Suami 526 0 000

Sumber : Data Primer

Tabel 5.12 memperlihatkan hasil uji regresi logisik berganda yang dinilai

melalui tingkat signifikansi (Sig), koefisien ―B‖ serta Exp (B),

menunjukkan bahwa dari 3 variabel independen yang dimasukkan kedalam

uji secara simultan, hanya 1 variabel yang memiliki nilai signifikansi secara

konsisten yakni variabel dukungan suami. Dukungan suami merupakan

variabel yang paling berhubungan dalam penggunaan alat kontrasepsi

dengan nilai p-value (0,000).

B. Pembahasan

1. Kampung KB di kelurahan karuwisi

Anindita Dyah (2016) dalam artikelnya menjelaskan bahwa Kampung

KB adalah miniatur pelaksanaan program KB secara terpadu dan

komprehensif di tingkat lini lapangan (desa/kelurahan/dusun/RW) konsep

kampung KB merupakan konsep terpadu program KB dengan program

pembangunan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi. Kampung

KB ini didesain sebagai upaya pemberdayaan masyarakat terhadap


pengelolaan program KB. Kegiatannya dikelola berdasarkan prinsip dari,

oleh dan untuk masyarakat itu sendiri. Penetapan wilayah kampung KB

sesuai kriteria utama yakni jumlah Pra-KS dan KS-1 (miskin) diatas rata-

rata Pra-KS dan KS-1, jumlah peserta KB belum cukup tinggi , kriteria

wilayah termasuk wilayah yang padat penduduk serta kriteria program KB

seperti peserta KB aktif dan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang,

rendah dengan tingkat Unmet Need tinggi

Kelurahan Karuwisi merupakan salah satu dari kelurahan yang berada di

wilayah Kecamatan Panakukkang kota Makassar yang terdiri dari 10 RW.

Penduduk di kelurahan karuwisi sangat heterogen dan padat pemukiman,

sehingga terbentuk banyak lorong yang kumuh. Wilayah Kelurahan

karuwisi berada di tengan kota. Dengan akses jalan yang bagus.

Badan Keluarga Berencana (KB) Kota Makassar menginginkan untuk

memaksimalkan program dua anak cukup di tahun 2017, sehingga Pada

tahun 2016 pemerintah mulai mengadakan program lorong sehat / lorong

KB. Diketahui, lorong KB di 14 Kecamatan lingkup Pemerintah Kota

Makassar tahun 2016 sebanyak 155 lorong KB. Badan KB Kota Makassar

menargetkan akan menambah jumlah lorong pembinaan serta penyuluhan di

Kota Makassar sebanyak 310 lorong KB.. Untuk itu, seiring bertambahnya

jumlah kelurahan Kota Makassar yang memicu perencanaan penambahan

lorong KB kedepannya. saat ini hampir seluruh lorong di kota Makassar

telah berubah menjadi bersih dan sehat, termasuk lorong – lorong di

kelurahan karuwisi

Program Kampung KB yang mulai di perkenalkan pada tahun 2016 di

daerah jawa, mulai merambah hampir keseluruh wilayah Indonesia. pada


mei 2017 program Kampung Kb di canangkan di Wilayah kerja Kota

makassar dan Kelurahan Karuwisi terpilih sebagai pelaksana program

yang telah dibuat oleh Pemerintah tersebut. selanjutnya Lorong KB yang

berada di kelurahan Karuwisi telah masuk ke dalam program Kampung

KB. Program ini mencakup 10 RW di kelurahan karuwisi.

Program Kampung KB ini bertujuan untuk mensejahterahkan

masyarakat ditingkat kampung/kelurahan serta meningkatkan kualitas hidup

masyarakat pada bidang pelayanan KB. Berdasarkan hasil wawancara

dengan Koordinator Pelaksana Lapangan Keluarga Berencana (PLKB)

kelurahan Karuwisi, Ibu Ir. Mulyati menyatakan bahwa, sebelum program

Lorong KB yang kemudian berlanjut menjadi Kampung dijalankan di

Kelurahan Karuwisi, kelurahan tersebut tidak hanya memiliki lingkungan

yang kumuh dan padat penduduk, namun juga rendah dari sisi pendidikan,

ekonomi, dan kesehatan. Masyarakat Kelurahan Karuwisi sebagian besar

hanya bermata pencarian sebagai pekerja lepas / buruh serta tingkat

pendidikan di Kelurahan tersebut tergolong rendah. Masyarakat di

Kelurahan karuwisi sebagian masih ada yang tidak paham akan pentingnya

cara ber KB, serta masih rendahnya partisipasi masyarakat terhadap

pelayanan KB. Sebagian besar mereka masih mempercayai mitos mitos

tentang KB yang beredar dari dulu hingga sekarang (Profil Kampung KB).

Sejak program Kampung KB terlaksana di Kelurahan Karuwisi kurang

lebih selama satu tahun, pelayanan yang diberikan dalam pelaksanaan

program Kampung KB menjadi lebih maksimal. Karena sejak adanya

program ini masyarkat di Kelurahan tersebut tidak perlu susah-susah lagi

jika ingin melakukan KB, karena dalam program ini pelayanan KB yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan / pelaksana tugas KB diberikan secara

gratis kepada warga di puskesmas kelurahan. Jumlah alat kontrasepsi

semakin di tambah ketersediaannya. setiap RW memiliki minimal 1 orang

kader khusus KB, tiap RW memiliki 1 posyiandu yang Pelaksanaannya

tiap 1 bulan sekali, diurut per RW yang dimulai tiap tanggal 16. PLKB

bersama Kader dan tenaga kesehatan lainnya melaksanakan penyuluhan di

Posyiandu, mereka juga mengundang tokoh masyarakat dan instansi terkait

sambil melakukan evaluasi program di balai pertemuan kecamatan.

Lingkungan penduduk menjadi lebih bersih dan asri, jalanan yang rusak

sudah di paving, penataan taman d mini di pinggir jalan, tersedia bak

pembuangan sampah, gorong-gorong dan sistem drainase pun sudah di

perbaiki.

Mengingat program Kampung KB ini adalah program baru, Sebagian

besar penelitian fokus meneliti tentang evaluasi berjalannya program

tersebut. Seperti penelitian oleh Yunas (2018), desi (2018) dan Zultha (2017)

mengenai evaluasi keberhasilan indikator program Kampung KB dan

mengenai keberadaan Kampung KB yang berkontribusi secara signifikan

pada penguatan program KKBPK, namun belum maksimal mengingat masih

kuatnya ego sektoral diantara stakeholder terkait. Elsa Setiawati (2017) juga

melakukan penelitian tentang Persepsi Masyarakat Terhadap Program

Kampung KB yang hasilnya bahwa seluruh masyarakat Kelurahan Pantoloan

Boya Khususnya masyarakat yang bearda di lingkungan Kampung KB sangat

senang dengan adanya program tersebut.

Banyak hambatan yang dihadapi oleh PLKB dalam pelaksanaan program

khususnya dalam hal penggunaan KB, serta jumlah akseptor baru maupun aktif
sangat tidak signifikan dari jumlah PPM yang ditetapkan. Peneliti ingin melakukan

penelitian mengenai faktor-faktor dalam penggunaan alat kontrasepsi, dengan

harapan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi dan referensi program

dalam keberhasilan pencapaian program.

2. Karakteristik responden

a. Umur

Berdasarkan tabel 5.1 . sebagian besar responden berusia 26.35

tahun. Umur responden rata-rata masih dalam kategori usia produktif

yaitu 20-35 tahun, memungkinkan mereka masih mampu untuk

menangkap informasi yang diberikan dan bisa mengingatnya kembali.

sebagian besar responden berada pada usia reproduktif dimana pada usia

alat-alat reproduksi sudah matang dan siap untuk.

Dari hasil analisa diketahui bahwa terdapat 10 responden usia <25

tahun yang menggunakan alat kontrasepsi, 68 responden usia 26 – 35

tahun yang menggunakan alat kontrasepsi, 47 responden usia 36-45

tahun yang menggunakan alat kontrasepsi, dan terdapat 6 responden usia

>45 tahun yang masih menggunakan alat kontrasepsi. Dan yang tidak

menggunakan alat kontrasepsi terdapat 6 responden usia <25 tahun, 17

responden usia 26 – 35 tahun, dan 21 responden usia 36-45 tahun.

Kesehatan pasangan usia subur sangat mempengaruhi kebahagiaan

dan kesejahteraan keluarga waktu melahirkan, jumlah kelahiran atau

banyaknya anak yang dimiliki dan jarak anak tiap kelahiran. Maka dari

itu umur merupakan salah satu faktor seseorang untuk menjadi akseptor

kontap, sebab umur berhubungan dengan potensi reproduksi dan juga

untuk menentukan perlu tidaknya seseorang menggunakan alat


kontrasepsi. BKKBN menyebutkan bahwa Pasangan usia subur yang

berusia muda yaitu < 35 tahun lebih cenderung ingin memiliki anak

lagi dan pada usia >35 tahun kemungkinan calon peserta sudah memiliki

jumlah anak. Begitupun dengan kondisi responden dalam penelitian ini.

b. Pendidikan

Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan ditujukan untuk menggugah

kesadaran, memberikan atau meningkatkan pengetahuan masyarakat

tentang pemeliharaan dan peningkatan kesehatan bagi dirinya sendiri,

keluarga, maupun masyarakatnya. Disamping itu pendidikan kesehatan

juga memberikan pengertian-pengertian tentang tradisi, kepercayaan

masyarakat, dan sebagainya, baik yang merugikan maupun yang

menguntungkan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

Dari hasil analisis data didapatkan hasil bahwa sebagian besar

responden maupun suami nya memiliki pendidikan sampai tamat SMP.

Ada126 responden yang memiliki pendidikan tamat SMP, 95 diantara x

adalah akseptor KB dan selebihnya 31 responden bukan akseptor KB.

Meskipun mereka memiliki pendidikan yang bisa di katakan rendah, tapi

pengetahuan mereka tentang KB sangat luas. Aktifnya tenaga kesehatan

dan PLKB dan dibantu oleh kader dalam memberikan informasi tentang

KB membuat Masyarakat memiliki pengetahuan yang baik tentang KB.

Dewasa ini informasi juga bisa diperoleh melalui media televisi, internet.

Jadi meskipun pendidikan mereka tergolong menengah, mereka masih

tetap memperoleh pengetahuan dengan baik mengenai KB.

pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

pengetahuan dan sikap tentang kontrasepsi. Orang yang berpendidikan


tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional daripada mereka

yang berpendidikan rendah, lebih kreatif dan lebih terbuka terhadap

usaha-usaha pembaharuan. Ia juga lebih dapat menyesuaikan diri

terhadap perubahan-perubahan sosial. Secara langsung maupun tidak

langsung dalam hal Keluarga Berencana (KB). Makin besar pasangan

suami istri memandang anaknya sebagai alasan penting untuk

melakukan KB. sehingga semakin meningkatnya proporsi mereka yang

mengetahui dan menggunakan kontrasepsi untuk membatasi jumlah

anaknya (BKKBN dalam Purwoko).

Penelitian yang dilakukan oleh budisantoso (2008) bahwa dari Hasil

analisis data menunjukan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan

dengan penggunaan metode kontrasepsi pada akseptor KB, berarti

tingkat pendidikan tidak menentukan seseorang dalam penggunaan

kontrasepsi. Hal ini menunjukan bahwa tinggi rendahnya pendidikan

tidak mempengaruhi peserta KB dalam menentukan jenis kontrasepsi

yang digunakan, ini disebabkan responden yang berpendidikan rendah

dan tinggi sudah tahu pentingnya serta manfaat dari suatu alat

kontrasepsi dari petugas kesehatan ataupun sumber lainnya.

Hal yang sama juga di ungkapkan oleh salsabila,dkk (2018), bahwa

dari penelitiannya diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara

pendidikan dengan pemilihan alat kontrasepsi IUD Hal ini dikarenakan

pendidikan yang tinggi bukan jaminan seseorang akan melakukan

sebuah tindakan termasuk dalam memilih alat kontrasepsi IUD,

begitupun sebaliknya.

c. Pekerjaan
Pendapatan suatu keluarga berhubungan erat dengan kebutuhan-

kebutuhan keluarga. Penghasilan seseorang merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi penerimaan dan pengambilan keputusan terhadap

inovasi baru Tingkat pendapatan suatu keluarga tidak lepas dari yang

namanya pekerjaan. Tingkat pendapatan keluarga sangat berpengaruh

terhadap kesertaan PUS dalam ber KB. hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa sebagian besar responden adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu

127 dari 176 responden, yang menggunakan alat kontrasepsi terdapat 95

responden, dan yang tidak menggunakan ada 32 responden dan tidak

memiliki pekerjaan atau Ibu runmah tangga. Sedangkan responden yang

bekerja yaitu 49 responden, 33 responden adalah akseptor dan 12

responden bukan akseptor. Dapat dilihat bahwa lebih besar jumlah

responden yang bekerja dibandingkan yang bekerja.

Wanita bekerja diduga mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk

memakai alat kontrasepsi . Nilai waktu yang dimiliki wanita bekerja

adalah lebih mahal dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.

Kesempatan wanita bekerja untuk mengurus anak lebih sedikit

dibandingkan dengan yang tidak bekerja. Oleh karena itu wanita bekerja

akan cenderung memakai alat kontrasepsi untuk membatasi jumlah anak

yang bersifat permanen,Pekerjaan sangat mempengaruhi tingkat

ekonomi, dalam prakteknya sangat nyata dalam mempengaruhi perilaku

masyarakat dalam kesehatan reproduksi.

Irmawati (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan dari analisa

data didapatkan tidak ada Pengaruh pekerjaan terhadap Penggunaan alat

Kontrasepsi hormonal pada akseptor KB. (Nuraedah,2001). Begitupun


dengan hasil analisa data dalam penelitian ini bahwa meskipun banyak

responden yang berprofesi sebagai IRT, mereka masih tetap

menggunakan kontraepsi.

d. Paritas / jumlah anak hidup yang dimiliki

BKKBN menjelaskan Jumlah anak hidup yang dimiliki,

mempengaruhi pasangan usia subur dalam menentukan penggunaan

kontrasepsi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup masih sedikit

terdapat kecenderungan untuk menggunakan alat kontrasepsi .

sedangkan pada pasangan dengan jumlah anak hidup banyak terdapat

kecenderungan untuk menunda atau tidak menggunakan menggunakan

metode kontrasepsi.

Paritas adalah angka-angka yang menunjukkan jumlah anak yang

dimiliki PUS. Hasil dari analisa data menunjukan bahwa sebagian besar

responden adalah multipara atau memiliki anak lahir hidup lebih dari 2.

Terdapat 147 responden (83,52%) yang memiliki anak lebih dari 2, 109

diantaranya menggunakan alat kontrasepsi dan 38 responden tidak

mengunakan alat kontrasepsi. Terlihat bahwa responden yang memiliki

anak lebih dari 2 mereka tetap menggunakan alat kontrasepsi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa anak mempunyai nilai tertentu bagi

orang tua. Anak yang diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi orang tua

memiliki nilai tertentu serta mentutut dipenuhinya beberapa konsekuensi

atas kehadirannya. Latar belakang sosial yang berbeda tingkat

pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan suatu kelompok

sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan,

menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak.


Anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat

dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Pandangan orang tua

mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam keluarga dapat merupakan

hambatan bagi keberhasilan program KB. Anak mempunyai nilai yang

tinggi bagi keluarga. Anak dapat memberikan kebahagiaan kepada orang

tuanya selain itu akan merupakan jaminan di hari tua dan dapat

membantu ekonomi keluarga, banyak masyarakat di Indonesia yang

berpandangan bahwa banyak anak banyak rejeki.

Siregar menjelaskan bahwa di negara maju, kekayaan mengalir dari

orang tua ke anak, sedangkan negara berkembang sebaliknya kekayaan

mengalir dari anak ke orang tua. Jika anak merupakan sumber utama

jaminan ekonomi maka masyarakat tersebut akan mengalami fertilitas

yang tinggi. Motivasi untuk mempunyai jumlah anak yang sedikit dan

nilai-nilai tentang anak merupakan aspek yang penting. Kadang-kadang

jumlah anak yang diinginkan lebih besar daripada jumlah anak yang

mampu dirawat dengan baik.

Menurut Bertrand, nilai dan keinginan anak biasanya

dinyatakan dengan jumlah anak ideal yang diputuskan oleh pasangan

untuk dimilikinya, hal ini sangat subjektif karena berkaitan dengan

masalah ekonomi, penambahan keuntungan orang tua dan biaya serta

manfaat dari anak tersebut. Perkembangan tingkat sosial ekonomi,

urbanisasi, tuntutan untuk memperkerjakan anak, jaminan ekonomi di

usia tua, biaya membesarkan anak, tingkat kematian bayi, tingkat

pendidikan, status wanita, struktur keluarga, tanggung jawab orang tua

dan agama yang dianut merupakan contoh dari faktor penentu yang
dapat mempengaruhi nilai anak dan keinginan anak di tingkat

masyarakat maupun ditingkat keluarga. Bagaimanapun keinginan anak

dipengaruhi oleh ketersediaan keluarga berencana.

Anita (2014) mengungkapkan dalam penelitiaannya bahwa tidak

ada hubungan antara paritas dengan pemilihan jenis kontrasepsi.. Hal ini

dapat dipengaruhi oleh karakteristik dan jumlah responden dari tiap

penelitian. Paritas atau jumlah anak harus di perhatikan setiap keluarga

karena semakin banyak anak semakin banyak pula tanggungan kepala

keluarga dalam mencukupi kebutuhan hidup, selain itu juga harus

menjaga kesehatan reproduksi karena semakin sering melahirkan

semakin rentan terhadap kesehatan ibu.

3. Hubungan pengetahuan dengan penggunaan alat kontrasepsi

Dalam teori diketahui bahwa pengetahuan mempunyai kontribusi yang

besar dalam mengubah perilaku seseorang untuk berbuat sesuatu. . Menurut

Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), jika seseorang berperi-

laku didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif sehingga perilaku

tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya bila perilaku itu tidak didasari

pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama

Berdasarkan Hasil penelitian ini bahwa responden yang menggunakan alat

Kontrasepsi paling banyak adalah yang memiliki pengetahuan cukup yaitu

79% berpengetahuan rendah yaitu 42,1%. Hasil uji Chi-square menunjukkan

pengetahuan berhubungan secara bermakna dengan penggunaan alat

kontrasepsi dengan nilai p = 0,001 (p<0,05). sebagian besar responden telah

mendapatkan informasi tentang alat kontrasepsi sebelumnya melalui tenaga

kesehatan, televisi, majalah atau media lainnya, sehingga hal tersebut bisa
menambah pengetahuan responden. Semakin tinggi pengetahuan seseorang

memungkinkan orang tersebut dapat lebih mudah untuk mengaplikasikan

pengetahuannya dan informasi yang didapatkan dari dan kepada orang lain.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Novayanti

(2014) yang didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

pengetahuan dengan penggunaan IUD pada WUS. Hal ini juga di dukung oleh

penelitian huda,dkk. Pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa ada hubungan

antara pengetahuan responden dengan perilaku penggunaan alat kontrasepsi.

Yang kemudian febriyani,dkk (2017) menyebutkan bahwa ada hubungan antara

pengetahuan responden dengan perilaku penggunaan alat kontrasepsi.

Menurut teori informasi adalah salah satu organ pembentuk pengetahuan.

Semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin baik pula

pengetahuannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh, maka

semakin kurang pengetahuannya. Pengetahuan suatu bentuk tahu yang

diperoleh dari pengetahuan, akal dan pikiran seseorang melakukan pengindraan

terhadap suatu objek tertentu pada akhirnya memungkinkan seseorang untuk

melakukan suatu tindakan (Suryanto,2007).

Dalam teori WHO, dijelaskan bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh

pengalaman seseorang, faktor-faktor luar orang tersebut (lingkungan), baik

fisik maupun non fisik dan sosial budaya yang kemudian pengalaman tersebut

diketahui, dipersepsikan, diyakini sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk

bertindak dan pada akhirnya terjadi perwujudan niat berupa perilaku

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Penelitian Aryanti

(2014)pengetahuan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan

penggunaan kontrasepsi pada wanita kawin usia dini. Febriani,dkk (2017)


juga menunjukkan bahwa hasil penelitiannya, uji statistik nilai p-value = 0,913

atau lebih besar dari alpha yaitu 0,05 sehingga tidak ada hubungan antara

pengetahuan dengan penggunaan alat kontrasepsi pada Wanita Usia Subur

(WUS) beragama Islam di Kelurahan Pasir Kuda. Hal tersebut dikarenakan

tingkat pengetahuan dan informasi yang di peroleh responden kurang.

Dari hasil hasil penelitian didapatkan bahwa, semakin tinggi tingkat

pengetahuan seseorang tentang alat kontrasepsi maka akan cenderung untuk

menggunakannya. banyak faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang

terhadap penggunaan dengan adanya dukungan yang kuat yang diberikan oleh

salah satu pasangan mempengaruhi seseorang untuk menggunakan kontrasepsi.

Perbedaan hasil penelitian juga bisa disebabkan karena cara pengambilan

sampel yang berbeda, jumlah yang berbeda dan metode yang berbeda sehingga

kemungkin hasil penelitian juga berbeda.

4. Hubungan Sikap responden dengan Penggunaan alat Kontrasepsi

Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang

paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain

atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu

terwujud dalam suatu tindakan nyata contohnya : sikap diikuti atau tidak diikuti

oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman

seseorang.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa responden

yang menggunakan alat kontrasepsi lebih banyak yang memiliki sikap positif

yaitu 76,6% dibandingkan dengan yang bersikap negatif yaitu 44,4%. Hasil uji

Chi-square menunjukkan Sikap ibu berhubungan secara bermakna dengan

penggunaan alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,044 (p<0,05) Hal ini


disebabkan oleh pengetahuan responden yang tidak menyeluruh mengenai KB,

ada rasea takut, rasa tidak nyaman, ingin mempunyai anak lagi dan adanya

pengaruh orang lain (keluarga, tetangga, teman dekat), atau bahkan

dikarenakan responden mendengar cerita cerita negatif tentang KB yang

menyebabkan responden ragu bahkan tidak ingin menggunakan alat

kontrasepsi.

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh budisantoso

(2008) ternyata ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap partisipasi

pria dalam KB Berdasar uji statistik dengan uji chi square dengan p value

0,009 (α=0,05%). Begitu juga dengan penelitian setiasih, dkk(2016), ada

hubungan antara sikap dengan pemilihan MKJP Non Hormonal, dengan Hasil

uji chi square memperoleh nilai p=0,027. Huda,dkk (2016) dalam penelitiannya

ada hubungan antara sikap responden dengan perilaku penggunaan alat

kontrasepsi, dengan hasil uji chi square tabel nilai p sebesar 0,034. Hasul ini

juga di dukung oleh penelitian salsabila (2017) bahwa bahwa terdapat

hubungan antara sikap dengan pemilihan alat kontrasepsi IUD.

menurut Berkowitz dalam Azwar (2008) menyatakan bahwa sikap

seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak

(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak

(unfavorable) pada obyek tersebut Sikap menunjukkan kesetujuan atau ketidak

setujuan terhadap sesuatu. Dalam hal ini menyangkut alat kontrasepsi. Sikap

responden sangat berpengaruh terhadap alat kontrasepsi yang akan di gunakan.

Responden yang memiliki sikap yang baik terhadap sesuatu dapat disebabkan

oleh kepercayaan positif yang dimiliki oleh responden. Begitupun sebaliknya,


jika kepercayaan terhadap sesuatu bersifat negatif, maka menimbulkan sikap

yang negatif pula.

Penelitian ini tidak sejalan febriyani,dkk (2017) tidak ada hubungan

antara sikap dengan penggunaan alat kontrasepsi pada Wanita Usia Subur

(WUS) beragama Islam di Kelurahan Pasir Kuda. Dengan diperoleh hasil uji

statistik nilai p-value = 0,663 atau lebih besar dari alpha yaitu 0,0. Sikap

merupakan suatu perasaan yang melekat pada diri seseorang. Perasaan yang

positif, belum tentu diterjemahkan ke dalam suatu perilaku yang positif.

Berbagai hal lain dapat mempengaruhi sikap seseorang untuk berperilaku tidak

sesuai dengan sikapnya.

5. Hubungan Dukungan Suami dengan penggunaan Kontrasepsi

Dukungan suami dalam penelitian ini adalah faktor yang paling

berhubungan. Menurut BKKBN (2000), penggunaan kontrasepsi merupakan

tanggung jawab pria dan wanita sebagai pasangan, sehingga metode

kontrasepsi yang dipilih mencerminkan kebutuhan serta keinginan suami dan

istri. Suami dan istri harus saling mendukung dalam penggunaan metode

kontrasepsi karena keluarga berencana bukan hanya urusan pria atau wanita

saja.

Menurut Green ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat

untuk menggunakan kontrasepsi yaitu faktor predisposisi,faktor pendukung

dan faktor pendorong. Pada penelitian ini ditemukan bahwa faktor pendorong

yaitu dukungan suami berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi pada ibu

sedangkan faktor predisposisi dan faktor pendukung tidak berhubungan dengan

penggunaan kontrasepsi pada ibu akan tetapi ke dua faktor tersebut memiliki

peluang untuk mempengaruhi ibu untuk menggunakan kontrasepsi.


Dukungan suami diartikan sebagai sikap/ tindakan mendukung dalam hal

emosional dan materil, informasi, instrumental dan pemberian pengargaan

suami terhadap alat/ metode kontrasepsi yang digunakan istrinya. Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa responden yang menggunakan alat

kontrasepsi lebih banyak yang mendapatkan dukungan dari suami yaitu

93,50% dibandingkan dengan responded yang tidak mendapatkan dukungan

dari suami yaitu 30,8%. Hasil uji Chi-square menunjukkan dukungan suami

berhubungan secara bermakna dengan penggunaan alat kontrasepsi dengan

nilai p = 0,000 (p<0,05)

Dukungan suami merupakan salah satu faktor eksternal dalam pemilihan

alat kontrasepsi dimana menjadi penguat untuk mempengaruhi seseorang

dalam berperilaku. Seperti penelitian yang dilakukan oleh nuryati 2014 bahwa

terdapat pengaruh dukungan suami dalam menggunakan MKJP terhadap

pemilihan alat kontrasepsi (MKJP dan Non MKJP) dengan nilai p=<0.0001.

aryanti (2014) dalam penelitiannya juga menyebutkan ada hubungan yang

bermakna antara dukungan suami dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita

kawin usia dini di Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur, Hasil ini di

dukung pula oleh Huda (2016) bahwa pada hasil penelitiannya didapatkan ada

hubungan antara dukungan suami yang dirasakan ibu dengan perilaku

penggunaan alat kontrasepsi. Sama halnya dengan Penelitian yang di lakukan

oleh salsabila 2017 bahwa terdapat hubungan antara dukungan suami dengan

pemilihan alat kontrasepsi IUD.

Hal tersebut berkaitan dengan budaya masyarakat Indonesia yang

masih beranggapan bahwa suami adalah pengambil keputusan utama

dalam keluarga, sehingga anggota keluarga cenderung untuk mengikuti


keputusan yang telah ditetapkan oleh suami. Dengan demikian dalam

memberikan pelayanan KB perlu melibatkan partisipasi pria agar pria dapat

mendorong pasangannya untuk memakai alat kontrasepsi yang rasional,

effektif, efisien dan sesuai dengan perencanaan keluarga.

Suami Sebagai partner dalam penggunaan alat kontrasepsi juga akan

merasakan langsung pengaruh penggunaan alat kontrasepsi oleh istri. Oleh

karena keputusan yang diambil istri atas campur tangan suami, Ada 36

Responden tidak mendapat dukungan suami dan tidak menggunakan alat

kontrasepsi. kurangnya informasi yang diperoleh suami tentang alat

kontrasepsi menjadi penyebab tidak adanya dukungan yang di berikan.

Menurut Mubarak (2009), kemudahan memperoleh informasi dapat membantu

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

Beda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Alfiah (2015), pada

analisis bivariat dan uji statistik diperoleh p value 1 sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami

dengan penggunaan MKJP. Hasil ini juga di dukung oleh Setiasih 2016 Hasil

uji chi square memperoleh nilai p=0,835, sehingga tidak ada hubungan antara

dukungan suami dengan pemilihan MKJP Non Hormonal.

Peran suami yang dominan dalam Pengambil keputusan secara bersama-

sama tidak membuat istri mendapatkan hak-hak untuk menggunakan alat

kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan istri. Beberapa bentuk dukungan

suami yang diberikan kepada responden dalam penelitian ini yaitu

mengantarkan ibu ke tempat pelayanan kesehatan, dan memberi biaya untuk

penggunaan alat kontrasepsi, membantu dalam mencari informasi tentang KB,

ikut serta hadir dalam penyuluhan KB, membantu memilih dan memutuskam
alat kontrasepsi yang digunakan ibu.

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan teori yang ada dapat disimpulkan

bahwa dukungan suami memiliki pengaruh besar terhadap kontrasepsi yang

akan digunakan oleh istri. Peneliti berasumsi bahwa Partisipasi suami dalam

bentuk dukungan secara penuh dalam pengambilan keputusan untuk

menggunakan alat kontrasepsi yang dilakukan oleh ibu sangat membantu ibu

dalam menentukan pilihan. Sehingga dengan begitu ibu dapat menggunakan

alat kontrasepsi secara efektif. Dukungan suami/isteri merupakan salah satu

faktor penguat (reinforcing factor) yang dapat mempengaruhi seseorang dalam

berperilaku. Maka setiap dilakukan tindakan medis dalam penggunaan

kontrasepsi, harus membutuhkan partisipasi atau dukungan dari suami, karena

hal ini menyangkut organ reproduksi dari kedua pihak.

6. Hubungan peran PLKB dengan penggunaan Kontrasepsi

Petugas KB berperan dalam memberikan konseling KB, memperlakukan

klien dengan baik, interaksi antara petugas dan klien, memberikan informasi

yang baik dan benar, menghindari pemberian informasi yang berlebihan,

membahas metode yang diingini klien. PLKB merupakan ujung tombak

pengelola KB di lini lapangan. Bila dilihat dari  Tugas Pokok dan Fungsi

(Tupoksi) jabatannya, para Penyuluh KB adalah juru penerang  pada keluarga

dan masyarakat luas menuju perubahan. Penyuluh KB juga merupakan salah

satu komponen penting dalam upaya peningkatan perekonomian dan

kesejahteraan masyarakat, juga sebagai indikator kemajuan yang telah dicapai

oleh suatu daerah. Penyuluh KB bersentuhan langsung dengan masyarakat

dalam memberikan berbagai penyuluhan program KB.


Berdasarkan Tabel 5.10 bahwa responden yang menggunakan KB lebih

banyak yang mengungkapkan bahwa PLKB memiliki peran yaitu sebanyak 111

responden dibandingkan yang mengungkapkan bahwa PLKB tidak berperan

yaitu sebanyak ada 111 (74,50%) responden yang mengemukakan bahwa

petugas KB tidak memiliki peran yaitu 21 responden. Terlihat juga bahwa

terdapat 38 responden yang tidak menggunakan alat kontrasepsi, namun

mengungkapkan bahwa PLKB memiliki peran yang baik. Hasil uji Chi-square

menunjukkan peran PLKB tidak berhubungan dengan penggunaan alat

kontrasepsi dengan nilai p = 0,463 (p>0,05)

Darpat juga kita lihat terdapat 21 responden yang menggunakan alat

kontrasepsi namun mengungkapkan bahwa petugas KB tidak berperan hal itu

disebabkan karena pengetahuan ibu yang kurang, ibu kurang aktif dalam

mengikuti penyuluhan – penyuluhan yang diadakan oleh petugas KB. Hasil uji

Chi-square menunjukkan peran PLKB tidak berhubungan dengan penggunaan

alat kontrasepsi dengan nilai p = 0,463 (p>0,05).

Tidak adanya hubungan antara peran PLKB dengan penggunaan

kontrasepsi di kecamatan Panakukkang kota Makassar ini disebabkan oleh

banyak faktor, diantaranya karena jumlah petugas lapangan khusus KB /

PLKB, Di Kecamatan Panakukkang hanya 1 orang di tiap wilayah kerja,

meskipun kecamatan panakukang khususnya kelurahan Karuwi/si merupakan

wilayah binaan program Kampung KB, nilai anak di masyarakat yang masih

menganut istilah ‘banyak anak banyak rejeki’, dan faktor individu itu sendiri.

Pandangan orang tua mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam keluarga

dapat merupakan hambatan bagi keberhasilan program KB. Anak mempunyai

nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak dapat memberikan kebahagiaan kepada
orang tuanya selain itu akan merupakan jaminan di hari tua dan dapat

membantu ekonomi keluarga, banyak masyarakat di Indonesia yang

berpandangan bahwa banyak anak banyak rejeki.

BKKBN dalam menjalankan program Kampung KB, menyebutkan faktor

utama menjadi penghambat program KB adalah sosialisasi yang kurang baik

kepada masyarakat dan kurangnya fasilitas yang mendukung program KB

tersebut. Hambatan yang ditemui dalam mensosialisasikan program Keluarga

Berencana banyak terjadi diberbagai bidang mulai dari tingkat ekonomi,

pengetahuan, pendidikan, usia, tidak sama sehingga sulit memberikan

pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya program KB tersebut. Pola

pikir yang sudah tertanam pada target sasaran masyarakat yaitu “banyak

anakbanyak rejeki” juga merupakan faktor penghambat masuknya program KB

tersebut. Fasilitas yang kurang memadai, Seperti tempat atau ruangan untuk

melaksanakan penyuluhan atau sosialisasi program Keluarga Berencana (KB).

Kurangnya tenaga penyuluh atau PLKB pada saat akan turun ke lokasi menjadi

salah satu faktor penghambat dalam mensosialisasikan program Keluarga.

Melihat begitu banyak tugas fungsi PLKB dan merupakan ujung tombak

pengelola KB di lini lapangan, sebaiknya PLKB di satu wilayah kerja terdiri

dari 2 atau lebih. Sehingga hal tersebut menyebabkan menjadi tidak efektifnya

penyuluhan, pembinaan dan advokasi yang dilakukan oleh petugas lapangan

KB di kelurahan. Penyebab lainnya yaitu bahwa responden telah mendapatkan

informasi tentang kontrasepsi yang digunakan dari sumber lain walaupun

informai yang diterima tidaklah lengkap dan akurat.

Hasil ini sejalan dengan penelitian suseno 2012 yang menyebutkan bahwa

tidak terdapat hubungan yang sigifikan peran PLKb/petugas kesehatan


khususnya dalam hal kualitas pelayanan KB terhadap penggunaan alat

kontrasepsi. Peran PLKB/tenaga kesehatan tetap tak bisa lepas dalam proses

program KB. pemilihan metode, kompetensi teknis tenaga kesehatan, informasi

yang diberikan kepada klien, mekanisme tindak lanjut dan kontinuitas

merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan oleh penyedia layanan

kesehatan. Kualitas pelayanan keluarga berencana yang baik merupakan salah

satu sarana yang penting guna peningkatan pengetahuan akseptor tentang

kontrasepsi dan penerimaan metode yang efektif bagi wanita.

Ungkapan yang sama oleh oleh Arliana dkk. (2012) mengatakan dari hasil

analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian

informasi oleh petugas KB dengan penggunaan metode kontrasepsi. Hal ini

karena akseptor KB sudah mengetahui informasi tentang kontrasepsi yang

digunakan dari sumber lain. Hal ini didukung dengan sumber informasi tempat

ibu pertama kali mendengar istilah KB yaitu sekitar 80,0% dari bidan

sedangkan dari petugas KB sendiri hanya 9,0% adapun yang lainnya adalah

dari dokter, buku, sekolah, televisi maupun teman. Febriani,dkk (20117) juga

menyebutkan bahwa ada hubungan antara peran tenaga kesehatan dengan

perilaku penggunaan alat kontrasepsi, dengan Hasil chi square didapatkan nilai

p sebesar 0,009.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian ekarini (2014) yang

menyebutkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara Kualitas pelayanan

KB dengan Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana. Hasil wawancara

mendalam menunjukkan semua informan menyatakan upaya yang perlu

dilakukan agar klien mempunyai pilihan metode kontrasepsi yang tersedia

untuk pria dan wanita adalah melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)
tentang metode kontrasepsi yang dilakukan oleh PLKB, yang meliputi macam,

manfaat dan efek samping, cara pemakaian, syarat-syarat menjadi akseptor KB,

dan prosedurnya.

Berdasarkan uraian teori dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa

dalam pelaksaan program KB perlu dilakukan kerja sama dari beberapa

petugas lapangan KB dalam 1 wilayah kerja, agar masyarakat khususnya

Pasangan Usia Subur (PUS) mendapatkan perhatian lebih yang tepat dan

benar, sehingga mereka dapat menggunakan kontrasepsi sesuai dengan

kebutuhan dan keinginannya

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil pembahasan dalam penelitian yang telah dilakukan


maka simpulan dari penelitian ini adalah
1. Faktor pengetahuan berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi di

wilayah kampung KB kecamatan Panakukkang Kota Makassar, hal ini bisa

dilihat sebagian besar responden memiliki pengetahuan cukup mengenai KB.

Dan lebih banyak responden yang menggunakan alat kontrasepsi yang

memiliki pengetahuan cukup dibandingkan yang memiliki penegtahuan

kurang.

2. Faktor sikap ibu berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi di

wilayah kampung KB kecamatan Panakukkang Kota Makassar, hal ini bisa

dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki sikap yang positif

mengenai KB. Dan lebih banyak responden yang menggunakan alat

kontrasepsi yang memiliki sikap positif dibandingkan yang memiliki sikap

negatif.

3. Dukungan suami adalah faktor yang paling berhubungan dengan

penggunaan alat kontrasepsi di wilayah kampung KB kecamatan Kota

Makassar, hal ini bisa dilihat bahwa sebagian besar responden memperoleh

dukungan dari suami untuk ber KB, Dan lebih banyak responden yang

menggunakan alat kontrasepsi yang memiliki pengetahuan cukup

dibandingkan yang memiliki penegtahuan kurang.

4. Faktor peran PLKB tidak berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi

di wilayah kampung KB kecamatan Panakukkang Kota Makassar, hal ini

bisa dilihat bahwa terdapat jumlah akseptor yang cukup banyak yang

menggunakan KB dan mengungkapkan bahwa Petugas KB kurang berperan,


namun tidak sedikit juga responden yang tidak menggunakan alat kontrasepsi

dan mereka mengungkapkan bahwa petugas KB cukup berperan.

B. Saran

1. Bagi Akseptor

a. Diharapkan kepada para suami responden agar tetap mempertahankan

dukungan yang telah diberikan kepada ibu dalam penggunaan alat

kontrasepsi.

b. Diharapkan akseptor KB berperan aktif dalam kegiatan yang berkaitan

dengan kontrasepsi agar akseptor KB memperoleh informasi yang benar

dari sumber yang tepat

2. Bagi PLKB, pertahankan keterampilan yang dimiliki dan

meningkatkan keterampilan tersebut. Selain itu, diharapkan agar PLKB

sebagai bagian dari program KB dapat meningkatkan edukasi kesehatan

khususnya dalam hal program KB.

3. Bagi pemegang kebijakan

a. Bagi pemegang kebijakan diharapkan dapat meningkatkan peran dan

menambah jumlah petugas lapangan KB sehingga untuk tiap-tiap desa

dipegang oleh satu petugas lapangan KB.

b. Bagi pemerintah Bersama sektor terkait seperti kelurahan, kecamatan,

puskesmas kelurahan maupun puskesmas kecamatan bekerja sama untuk

meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kontrasepsi,

meluruskan mitos mitos terkait kontrasepsi yang berkembang di

masyarakat.
c. Meningkatkan peran serta tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam

penyuluhan dan sosialisasi tentang penggunaan kontrasepsi pada

masyarakat di wilayah kerja Kampung KB

4. Bagi peneliti

a. Dilakukan penelitian kualitatif mengenai peran tenaga kesehatan yang

tidak berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi sehingga

diketahui alternatif pemecahan masalah untuk variabel tersebut.

b. Bagi peneliti sendiri dan peneliti lain selanjutnya agar dapat melakukan

penelitian kualitatif tentang peran stakeholder dalam program kampung

KB dan evaluasi program Kampung KB itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai