Anda di halaman 1dari 4

PEMBUBARAN ORMAS KEAGAMAAN

PRO

Dewan juri yth, Tim Kontra sebagai teman kami berfikir dalam perdebatan kali ini dan rekan- rekan
pemerhati debat hukum. Sebelum memasuki bangunan argumentasi yang lebih dalam, izinkanlah
kami tetap pada pendirian kami untuk kesekian kalinya menyatakan sikap PRO pada mossi
perdebatan kita siang hari ini yaitu PEMBUBARAN ORMAS KEAGAMAAN. Perlu kita terangkan
sangatlah apik, dan elok argumentasi dari tim kontra dalam perdebatan kali ini, namun telah terang
disini bahwasanya tim kontra memiliki beberapa kekeliruan dalam argumentasi yang dijabarkannya.

Yang pertama tim kontra menyatakan bahwasannya

Dewan juri yth, Indonesia sebagai negara hukum, hkum mengatur setiap tindak-tanduk warga
masyarakatnya, termasuk mengenai pembatasan hak setiap warga negara terkait kebebasan
berserikat dan berkumpul. Sebagamana dalam UUD RI th 1945 pasal 28 dan 28J. Yang pada intinya
menjelaskan bahwa kemerdekaan dalam berkumpul dan berserikat menyampaikan pikiran
ditetapkan oleh UU dan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan dengan undang-undang Demi u/ menjga
ketertiban umum dlm masyarakat yg demokratis.

Wewenang negara untuk membatasi hak bersekerikat juga ditegaskan oleh MK dalam putusan MK
no. 82/PUU-XI/2013 perihal UU ormas terhadap UUD 1945 “... jika kegiatan aktivitas ormas terbukti
mengancam keamanan dan ketertiban umum, mengganggu hak kebebasan orang lain, serta
melanggar nilai-nilai moral dan nilai2 agama, negara berkewajiban dalam fungsinya menjamin
ketertiban umum dapat melakukan penegakan hukum, bahkan dapat menghentikan kegiatan suatu
ormas” dalam hal ini termasuk pula ormas keagamaan berdasarkan UUD 1945 dan putusan MK
menunjukan dengan jelas bahwa pemerintah memiliki peran untuk pembatasan kebebasan
berserikat jika kebebasan tersebut ternyata dapat mengancam keamanan nasional dan ketertiban
umum tsb.

Substansi materi yang mengatur tentang pembubaran organisasi kemasyarakatan dijelaskan dalam
UU Nomor 17 Tahun 2013 maupun UU Nomor 16 Tahun 2017 dan perpu no 2 thn 2017 telah
memuat tentang pengaturan ormas agar tidak mengancam kedaulatan negara dan menodai agama2
di indonesia, contoh kasus yaitu ormas FPI yg dibubarkan karena dianggap radikal dan mengancam
kedaulatan NKRI, yg pernah mengeluarkan maklumat mengenai ISIS yang mana pada poin 5
menyatakan bahwa Al-Qaeda dan ISIS harus bersatu untuk meneruskan perjuangan adapun juga
imam Besar FPI Rizieq Shihab pernah melecehkan budaya sunda sampurasun menjadi campuracun.
Dengan segala yg telah dilakukanny tidk mungkin ormas yang radikal dan jelas2 menentang sistem
negara Indonesia dibiarkan merajalela dan merendahkan simbol-simbol negara? Sebagaimana
diakatakan oleh Ketua PBNU Said Aqil Siradj bahwa pembiarakan terhadap radikalisme akan
menumbuhsuburkan gerakan terorisme, maka bibit-bibit terorisme harus diberantas sejak dini tanpa
pandang bulu.

Pencabutan izin ormas keagamaan yang sesuai dengan UU telah diatur dalam perpu no 2 thn 2017
pada pasal 61 ayat (3) dengan berdasarkan asas contrarius actus, yaitu pemerintah berwenang ...
sejatinya asas contrarius telah tersirat dalam UU no 30 thn 2014 ttg administrasi pemerintahan pada
pasal 33 ayat (3) dimana pencabutan kembali suatu keputusam juga harus mengacu pada kriteria
atau batasan yg telah diatur dalampasal 64 yaitu apabila ada cacat wewenang, prosedur,
dan/substansi. Dan alasan pencabutan status hukum ormas dalam konteks ormas keagamaan radikal
sbgaimana penjelasan pasal 64 dapat digolongkan dalam kriteria cacat substansi (Keputusan dapat
membahayakan dan merugikan kepentingan umum). Maka dalam perpu no 2 thn 2017 maksudnya
adalah menegaskan kembali asas ini dan apabila hukum telah ditetapkan maka harus dilaksanakan
sesuai dengan prinsip kepastian hukum.

Menurut data pada saat masih berstatus perppu no 2thn 2017 tercatat ada 7x permohonan uji
materiil diajukan ke MK namun seluruhnya ditolak, dan setelah di undangkan menjadi UU no 16 thn
2017 tercatat 3x permohonan uji materiil masuk ke MK dan juga ke semuanya ditolak, dalam uji
materil tersebut pun pasal paling banyak diuji yaitu pasal 80 A dan para pemohon menilai
pemerintah melanggar hak berserikat dan semena-mena. Namun Putusan MK no 2/PUU-XVI/2018
justru menguatkan posisi pemerintah dan menjelaskan bahwa pasal 80A merupakan penjatuhan
sanksi administratif sebagaimana diatur pada pasal 61. dengan demikian maka pembubaran ormas
oleh pemerintah dgn asas contrarius actus sesungguhnya telah teruji konstitusionalitasnya dan
bukan merupakan praktik otoritarianisme.

MK juga menyatakan tidak benar pendapat yg menyebutkan UU 16/2017 telah menghilangkan peran
pengadilan dalam penjatuhan sanksi terhadap ormas, menurut MK peran pengadilan dalam hal ini
tetap ada, yaitu dgn mempersoalkan ke absahan (pesumption of legality) tindakan negara
(pemerintah) yang menjatuhkan sanksi terhadap ormas tanpa melalui pengadilan. Bedanya jika
sebelum nye ketentuan pengadilan di tetapkan di awal proses penjatuhan sanksi, pada saat kasus ini
pengadilan ditempatkan di bagian akhir “hal demikian tidak dapat dikatakan bertentangan dgn
negara hukum sebab peran pengadilan tetap ada” demikian jelas MK

Contoh kasus yaitu pembubran HTI pada 19 juli 2017 dgn cara mencabut status badan hukumnya,
HTI kemudian menggugat ke PTUN sampai kasasi ke mahkamah agung. Putusan kasasi pda 14
februari 2017 justru mengesahkan pembubaran tsb. Maka suatu pembubran ormas itu berdasarkan
uu tsb harus dianggap sah sampai ada keputsan yg membatalkan.

Solusi rekomendasi: pembubaran ormas perlu dilakukan dgn cermas untuk menjaga kedaulatan
negara dari paham2 radikal, penegakannya melalui uu demi u menjamin asas kepastian hukum

KONTRA

Dewan juri yth, Tim pro sebagai teman kami berfikir dan rekan- rekan pemerhati debat hukum.
Sebelum memasuki bangunan argumentasi yang lebih dalam, izinkanlah kami tetap pada pendirian
kami untuk kesekian kalinya menyatakan sikap TIDAK SEPAKAT pada mossi perdebatan kita siang
hari ini yaitu PEMBUBARAN ORMAS KEAGAMAAN. Perlu kita terangkan sangatlah apik, dan elok
argumentasi dari tim pro dalam perdebatan kali ini, namun telah terang disini bahwasanya tim pro
memiliki beberapa kekeliruan dalam argumentasi dan rekomendasi yang ditawarkannya.

Yang pertama tim pro menyatakan bahwasannya…

Dewan juri yth, UUD 1945 pasal 28 e ayat 3 dan pasal 24 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
menjamin bahwa setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-
maksud damai, pembubaran ormas keagamaan

Dewan juri yth, Menurut Hans Kelsen bahwa salah satu esensi demokrasi terletak pada ada tidaknya
sebuah kompromi yang menyatukan perbedaan pendapat untuk menentukan sebuah tatanan bagi
landasan negara, ormas keagamaan dlm hal ini adalah wujud berlangsungnya demokrasi yang
menjembatani antara masyarakat dan pemerintah. Ketentuan perpu no 2 thn 2017 yang dikeluarkan
presiden dengan menambahkan asas contrarius actus didalamnya untuk membubarkan ormas
berbadan hukum tidaklah tepat. Mengingat bahwa pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah
menegaskan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum” The Rule of Law”, sebagaimana
disebut oleh A.V. Dicey memiliki karakteristik yaitu: “Supremacy of Law, Equality Before the Law dan
Due Process of Law. Pembububaran ormas keagamaan tanpa putusan pengadilan berdasarkan asas
contrarius actus berarti telah mengesampingkan prinsip “due process of law” . dan akan berpotensi
membuat pemerintah (eksekutif) terjebak dalam otoritarianisme seperti orde baru. Seperti terjadi
pada ormas keagamaan HTI dmn pemerintah yang dalam menafsirkan Pancasila menganggap Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) sebagai Ormas anti Pancasila. Padahal selama 10 (sepuluh) tahun Susilo
Bambang Yudhoyono berkuasa, HTI tidak dianggap sebagai Ormas anti Pancasila.

There can be no strong democratic legitimacy without ongoing talk” Benjamin Barber, 1984

Pembubaran ormas tanpa adanya putusan pengadilan a/ tindakan sewenang-wenang dalam


memberikan pembatasan terhadap hak-hak konstitusional warganya dlm wujud eksistensi suatu
Ormas, yang selaras dengan pernyataan George Orwell bahwa penguasa totaliter tidak hanya mau
memimpin tanpa gangguan dari bawah: Ia justru secara aktif menentukan bagaimana masyarakat
hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidak makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau
mengontrol apa yang merek pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan dihancurkan. Oleh sebab itu
ketentuan pembubran ormas keagamaan seperti ini menjadikan pemerintah sebagai penafsir
tunggal terhadap hidup matinya suatu Ormas tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri
sebelum dijatuhkan sanksi, yang bertentangan dengan prinsip negara hukum Pasal 1 ayat (3) UUD
1945

Atip Latipulhayat ahli hkm univ padjajaran berpendapat bahwa pembatasan kebebasan berserikat
dan berkumpul dan juga pembubaran organisasinya mensyaratkan adanya pengadilan yang mandiri
dan imparsial. Dengan perkataan lain harus dilakukan dengan proses yang adil atau due process of
law. Keadilan dalam konteks due process of law ini mensyaratkan bukan hanya terpenuhinya basic
procedural rights (hakhakprosedural dasar) tapi juga terlindunginya basic substantive rights (hak-hak
substantif dasar). kebebasan untuk berbicara dan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul adalah
termasuk basic substantive rights yang tentunya harus dilindungi demi memnuhi prinsip keadilan
dalam due process of law.

Bahwa melalui pengadilan, supremasi hukum dan penghormatan hak asasi manusia dapat terjamin,
sekalipun hanya sebatas keadilan prosedural, akan tetapi setidak-tidaknya di Pengadilan semua
pihak diperlakukan sama (equality before the law), dan pihak yang menuduh diwajibkan
membuktikan tuduhannya dan pihak yang dituduh diberi kesempatakan untuk membela diri (audi
alteram partem) sebagai pengejewantahan azas proses hukum yang berkeadilan (due prosess of
law). Sebaliknya tanpa peranan pengadilan, supremasi hukum dan penghormatan hak asasi manusia
mustahil terjamin.

Bahwa krusialnya peran pengadilan dalm menentukan yg hak dan yg bathil ditegaskan pada Article
14 point a International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui
Undang- 20 Undang Nomor 12 Tahun 2005 dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam
suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu
badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum.
Menurut Atip latipulhayat terselenggaranya suatu proses peradilan bukan hanya u/ formalitas, akan
tetapi esensi dari peradilan tersebut harus dilakukan secara reasonable, just, dan proper. Dengan
demikian, adanya pengadilan tidak dengan sendirinya merupakan due process of law, apabila tidak
dilakukan dengan reasonable, just, dan proper. Misalnya, pengadilan dilakukan setelah pemerintah
mencabut hak-hak warga untuk berserikat dan berkumpul dalam hal pembubaran Ormas
keagamaan. Proses seperti ini jelas merupakan proses yang undue (tidak patut), karena kerugian
sudah terjadi (the damage has been done) tanpa ada ruang dan kesempatan membela diri. Bukan
suatu pembelaan apabila luka dan kerugian sudah diderita.

Azas Nulla Poena Sine Culpa. Yang Mengandung Arti Bahwa Walaupun Perbuatan Seseorang walau
telah bersifat melawan hukum, namun itu tidak dapat dipidana apabila ia tidak dapat dinyatakan
bersalah. Jadi kesalahan merupakan suatu syarat untuk dapat dijatuhkannya Pidana. Azas tiada
pidana tanpa kesalahan Pengaturanya pada pasal 6 ayat (2) Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004
yang berbunyi"Tidak Seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut Undang - Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab,telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya".

Solusi rekomendasi: pembubaran ormas harus melalui pengadilan

Anda mungkin juga menyukai