Anda di halaman 1dari 33

TUGAS MANAJEMEN KEBIJAKAN KESEHATAN

ANALISIS UNDANG-UNDANG NO 36 TAHUN 2009 PASAL 171, 172, 173, 174, 175

Dosen : Dr. dr. H. Nur Bahry Noor, M.Sc

DISUSUN OLEH:

ERWIN

P1804215031

PROGRAM PASCASARJANA EPIDEMIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN

A. Isu Masalah Publik


Kebijakan pembiayaan kesehatan di tahun 2010 ditandai oleh beberapa
perkembangan menarik. Salah satunya adalah target Universal Coverage 2014
(100 persen penduduk terjamin) telah ditetapkan. Ini merupakan tantangan berat
karena saat ini baru sekitar 50% penduduk yang terjamin asuransi kesehatan
atau jaminan kesehatan lainnya, itupun lebih dari 75% terdiri dari warga miskin
yang dijamin oleh pemerintah lewat dana pajak. Universal coverage sudah
ditargetkan untuk dicapai namun pada saat yang sama penerapan UU SJSN
masih belum dilakukan. Walaupun demikian, ada satu langkah menarik yang
dianggap sebagai “pembuka jalan” untuk tercapainya Universal Coverage, yaitu
Jampersal (jaminan kesehatan persalinan) yang, berbeda dengan Jamkesmas,
juga ikut menjamin ibu non miskin yang bersalin asal mau dirawat di klas 3 (Tiga)
Rumah Sakit Pemerintah atau swasta tertentu. Juga pada tahun 2010, hampir
semua kabupaten/kota juga sudah mencanangkan program Jaminan Kesehatan
Daerah dengan berbagai variasinya.
Pada tahun 2010 sebenarnya ditargetkan untuk diundangkannya UU
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, namun kenyataannya belum juga
terlaksana akibat tarik ulur antara eksekutif dan legislatif mengenai jumlah BPJS.
Isu besar lain saat ini juga adalah masalah adekuasi dan sustainabilitas dari
pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya pembiayaan pemerintah. Jika
melihat kebutuhan akan dana program dari pemerintah yang digulirkan melalui
APBN (Pusat) dan atau APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota), maka bisa
dikatakan bahwa anggaran kesehatan Indonesia relative sangat kecil (hanya
1.7% dari total belanja pemerintah). Tetapi isu menarik berikutnya adalah adanya
sisa anggaran yang tidak terserap di kementrian kesehatan. Data pasti belum
terkumpul, namun kejadian sudah terlihat bertahun-tahun.
Isu sustainablitas yang muncul adalah masalah Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) yang menjadi input system kesehatan sebagai dana bantuan
program, dimana istilah “bantuan” menimbulkan pertanyaan tentang
sustainabilitas dari program tersebut. Ada perkembangan menarik bahwa BOK
ini nantinya akan menjadi Dana Tugas Pembantuan (TP) untuk kesehatan
melalui PKM, ini juga menjadi perhatian penting karena dalam perundangan, TP
dan Dekonsentrasi ini sifatnya hanya dana pelimpahan wewenang pusat ke
propinsi dan nanti selanjutnya akan dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK). Isu
menarik lain adalah mengenai ekuitas pelayanan kesehatan antara daerah
miskin dan kaya, pedesaan dan perkotaan.
Disinyalir bahwa kebijakan Jamkesmas/Jamkesda atau Jampersal hanya
akan menguntungkan masyarakat perkotaan di daerah yang relatif kaya seperti
Jawa dan Sumatera mengingat ketersediaan pelayanan kesehatan di daerah
tersebut relatif lebih merata. Di samping permasalahan mengenai pembiayaan
kesehatan kuratif di atas, juga terdapat masalah pembiayaan kesehatan di aspek
promotif dan preventif. Saat ini bergulir wacana akan adanya pengalihan
sebagian hasil cukai rokok untuk promosi dan prevensi di bidang kesehatan
Namun di sisi lain, pasal “anti rokok” di UU Kesehatan yang baru malah
“menghilang”. Selain itu, banyak ahli kesehatan masyarakat saat ini juga
memandang seolah ada dikotomi antara kuratif dan preventif/promotif; dengan
menyebutkan bahwa pemerintah sekarang terlalu cenderung membiayai kuratif
dan mengabaikan pembiayaan preventif dan promotif.
B. Tujuan
Dalam rangka mewujudkan peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia
tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Berdasarkan Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bab VI pada bagian kesatu
berbunyi sebagai berikut : Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan
menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan
masyarakat.
Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan kesehatan, perlu adanya
pembiayaan kesehatan, yang bertujuan untuj enyediaan pembiayaan kesehatan
yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil
dan termanfaatkan secara berhasil dab berdaya guna. Untuk ituperlu
diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk
upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang
diselengggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitative yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan
C. Tipe Pendekatan Dalam Setiap Siklus Dalam Kebijakan
Analisis kebijakan, dalam pengertiannya yang luas, melibatkan hasil
pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Secara historis, tujuan
analisis kebijakan adalah menyediakan informasi bagi pembuat kebijakan untuk
dijadikan bahan pertimbangan yang nalar guna menemukan pemecahan
masalah kebijakan.
Analisis kebijakan mengambil dari berbagai disiplin yang tujuannya
bersifat deskriptif, evaluatif, dan normatif. Sebagai disiplin ilmu terapan, analisis
kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan perilaku tetapi juga administrasi
publik, hukum, etika, dan berbagai macam cabang analisis sistem matematika
dan terapan. Analisis kebijakan diharapkan untuk menghasilkan dan
mentransformasikan informasi tentang: (1) nilai-nilai, yang pencapaiannya
merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2)
fakta-fakta, yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan
pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan-tindakan, yang penerapannya dapat
menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
Ketiga macam tipe informasi tersebut dapat dihasilkan dengan
menggunakan satu atau lebih dari tiga pendekatan analisis kebijakan utama
menurut William N. Dunn, yaitu empiris, valuatif, dan normatif.
1. Pendekatan Empiris
Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab
dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Dari sini, pertanyaan utama
akan bersifat faktual (apakah sesuatu ada?) dan macam informasi yang
dihasilkan bersifat deskriptif. Misalnya, analis dapat mendeskripsikan,
menjelaskan, atau meramalkan pengeluaran publik untuk kesehatan,
pendidikan, atau jalan raya.
2. Pendekatan Valuatif
Pendekatan ini merupakan kebalikan dari pendekatan empiris. Pendekatan ini
lebih ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa kebijakan. Maka
dalam hal ini, pertanyaan yang muncul akan berkenaan dengan nilai (berapa
nilainya) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat valuatif. Sebagai contoh,
setelah memberikan informasi deskriptif mengenai berbagai macam kebijakan
perpajakan, analis dapat mengevaluasi berbagai cara yang berbeda dalam
mendistribusikan beban pajak menurut konsekuensi etis dan moral mereka.
3. Pendekatan Normatif
Pendekatan ini lebih ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan
yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik.
Dalam kasus ini, pertanyaannya berkenaan dengan tindakan (Apa yang harus
dilakukan?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskriptif. Sebagai
contoh, kebijakan jaminan pendapatan minimum tahunan dapat
direkomendasikan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah kemiskinan.
D. Substansi Pokok Kebijakan
Kebijakan ini mengatur penyelengaraan pelayanan kesehatan mulai dari
perencanaan, penyelenggaraan sampai dengan pengawasan pelaksanaan
pelayanan kesehatan dengan substansi utama telah memuat mengenai
pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan, tenaga kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sarana kesehatan dan komoditi kesehatan
E. Masalah Yang Timbul Akibat Kebijakan
Salah satu hal penting yang menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat
dalam menerapkan desentralisasi adalah dalam pembiayaan kesehatan.2
Reposisi pemerintah pusat dalam hal pembiayaan pembangunan kesehatan di
Indonesia merupakan salah satu indikator kesungguhan pemerintah pusat dalam
menerapkan desentralisasi. Dalam draf dokumen dari Departemen Kesehatan1
dinyatakan bahwa masih banyak masalah dalam pelaksanaan program
pembangunan kesehatan.
Masalah pertama adalah belum sinkronnya antara kebijakan,
perencanaan dan penganggaran, serta pelaksanaan. Dalam hubungannya
dengan sektor lain terdapat lemahnya sinergisme dalam penyusunan kegiatan
lintas program. Di samping itu, ada penggunaan indikator yang tidak konsisten.
Dalam konteks desentralisasi, terdapat gejala belum sinkronnya perencanaan
pusat dan daerah. Di dalam lingkup proses perencanaan disadari kesulitan untuk
merubah mindset dari ”project oriented” atau ”budget oriented” kepada
”performance based-budgeting”. Faktor lain adalah terbatasnya SDM yang dapat
menunjang upaya perencanaan pembangunan kesehatan, serta tidak lancarnya
pelaporan kegiatan dan pengembangan yang bertujuan untuk meningkatkan
mutu perencanaan pembangunan kesehatan.
Jika diperhatikan syarat pokok pembiayaan kesehatan sebagaimana yang
telah dikemukakan, segera terlihat bahwa untuk memenuhinya tidaklah semudah
yang diperkirakan. Sebagai akibat makin meningkatnya kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan dan juga karena telah dipergunakarmya berbagai peralatan
canggih, menyebabkan pelayanan kesehatan semakin bertambah komplek.
Kesemuanya ini disatu pihak memang mendatangkan banyak keuntungan yakni
makin meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, namun di pihak lain temyata
juga mendatangkan banyak masalah. Adapun berbagai masalah tersebut jika
ditinjau dari sudut pembiayaan kesehatan secara sederhana dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Kurangnya dana yang tersedia
Di banyak negara terutama di negara yang sedang berkembang, dana yang
disediakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan tidaklah memadai.
Rendahnya alokasi anggaran ini kait berkait dengan masih kurangnya
kesadaran pengambil keputusan akan pentingnya arti kesehatan.
Kebanyakan dari pengambilan keputusan menganggap pelayanan kesehatan
tidak bersifat produktif melainkan bersifat konsumtif dan karena itu kurang
diprioritaskan. Kita dapat mengambil contoh di Indonesia misalnya, jumlah
dana yang disediakan hanya berkisar antara 2 – 3% dari total anggaran
belanja dalam setahun.
2. Penyebaran dana yang tidak sesuai
Masalah lain yang dihadapi ialah penyebaran dana yang tidak sesuai, karena
kebanyakan justru beredar di daerah perkotaan. Padahal jika ditinjau dari
penyebaran penduduk, terutama di negara yang sedang berkembang,
kebanyakan penduduk bertempat tinggal di daerah pedesaan.
3. Pemanfaatan dana yang tidak tepat
Pemanfaatan dana yang tidak tepat juga merupakan salah satu masalah
yang dihadapi dalam pembiayaan kesehatan ini. Adalah mengejutkan bahwa
di banyak negara tenyata biaya pelayanan kedokterannya jauh lebih tinggi
dari pada pelayanan kesehatan masyarakat. Padahal semua pihak telah
mengetahui bahwa pelayanan kedokteran dipandang kurang efektif dari pada
pelayanan kesehatan masyarakat.
4. Pengelolaan dana yang belum sempurna
Seandainya dana yang tersedia amat terbatas, penyebaran dan
pemanfaatannya belum begitu sempuma, namun jika apa yang dimiliki
tersebut dapat dikelola dengan baik, dalam batas-batas tertentu tujuan dari
pelayanan kesehatan masih dapat dicapai. Sayangnya kehendak yang
seperti ini sulit diwujudkan. Penyebab utamanya ialah karena pengelolaannya
memang belum sempurna, yang kait berkait tidak hanya dengan
pengetahuan dan keterampilan yang masih terbatas, tetapi juga ada
kaitannya dengan sikap mental para pengelola.
5. Biaya kesehatan yang makin meningkat
Masalah lain yang dihadapi oleh pembiayaan kesehatan ialah makin
meningkatnya biaya pelayanan kesehatan itu sendiri. Banyak penyebab yang
berperanan di sini, beberapa yang terpenting adalah (Cambridge Research
Institute, 1976; Sorkin, 1975 dan Feldstein, 1988):
a. Tingkat inflasi. Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi oleh
tingkat inflasi yang terjadi di masyarakat. Apabila terjadi kenaikan harga di
masyarakat, maka secara otomatis biaya investasi dan biaya operasional
pelayanan kesehatan masyarakat akan meningkat.
b. Tingkat permintaan. Meningkatnya biaya kesehatan sangat dipengaruhi
oleh tingkat permintaan yang ditemukan di masyarakat. Untuk bidang
kesehatan peningkatan permintaan tersebut dipengaruhi setidak-tidaknya
oleh dua faktor. Pertama, karena meningkatnya kuantitas penduduk yang
memerlukan pelayanan kesehatan, yang karena jumlah orangnya lebih
banyak menyebabkan biaya yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan akan lebih banyak pula. Kedua,
karena meningkatnya kualitas penduduk, yang karena pendidikan dan
penghasilannya lebih baik, membutuhkan pelayanan kesehatan yang
lebih baik pula. Kedua keadaan yang seperti ini, tentu akan besar penga
ruhnya pada peningkatan biaya kesehatan.
c. Kemajuan ilmu dan teknologi. Meningkatnya biaya kesehatan sangat
dipengaruhi oleh pemanfaatan berbagai ilmu dan teknologi, yang untuk
pelayanan kesehatan ditandai dengan makin banyaknya dipergunakan
berbagai peralatan modern dan canggih.
d. Perubahan pola penyakit. Meningkatnya biaya kesehatan sangat
dipengaruhi oleh terjadinya perubahan pola penyakit dimasyarakat. Jika
dahulu banyak ditemukan berbagai penyakit yang bersifat akut, maka
pada saat ini telah banyak ditemukan berbaga penyakit yang bersifat
kronis. Dibandingkan dengan berbagai penyakit akut, perawatan berbagai
penyakit kronis ini temyata lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan
untuk perawatan dan penyembuhan penyakit akan lebih banyak pula.
Apabila penyakit yang seperti ini banyak ditemukan, tidak mengherankan
jika kemudian biaya kesehatan akan meningkat dengan pesat
e. Perubahan pola pelayanan kesehatan. Meningkatnya biaya kesehatan
sangat dipengaruhi oleh perubahan pola pelayanan kesehatan. Pada saat
ini sebagai akibat dari perkembangan spesialisasi dan subspesialisasi
menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi terkotak-kotak (fragmented
health services) dan satu sama lain tidak berhubungan. Akibatnya, tidak
mengherankan jika kemudian sering dilakukan pemeriksaan yang sama
secara berulang-ulang yang pada akhirya akan membebani pasien. Lebih
dari pada itu sebagai akibat makin banyak dipergunakanya para spesialis
dan subspesialis menyebabkan hari perawatan juga akan meningkat.
Penelitian yang dilakukan Olell Feklstein (1971) menyebutkan jika Rumah
Sakit lebih banyak mempergunakan dokter umum, maka Rumah Sakit
tersebut akan berhasil menghemat tidak kurang dari US$ 39.000 per
tahun per dokter umum, dibandingkan jika Rumah Sakit tersebut
mempergunakan dokter spesialis dan atau subspesialis.
F. Resistensi Terhadap Kebijakan
Anggaran Kesehatan 5% dari APBN sesuai amanah UU Buruknya
layanan kesehatan salah satunya dikarenakan minimnya ketersediaan fasilitas
kesehatan yang memadai di beberapa wilayah. Ini berkaitan erat dengan
rendahnya anggaran kesehatan yang dialokasikan pemerintah. Menurut data
Kemenkeu, porsi anggaran kesehatan dari APBN periode 2009 -2014 hanya
sebesar 3 sd. 3,8%. Ini jauh di bawah ketentuan UU Kesehatan No. 36 tahun
2009 Pasal 171 yang menyebutkan besar anggaran kesehatan Pemerintah
dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan
belanja negara di luar gaji.
Alokasi cukai rokok untuk pembiayaan kesehatan Mengalokasikan cukai
rokok untuk pembiayaan kesehatan sebagai kompensasi dampak negatif rokok
bagi masyarakat. Di tahun 2012 lalu saja, data menunjukkan prevalensi perokok
di Indonesia menempati posisi kedua di dunia setelah Timor Leste. Secara tidak
langsung memberikan gambaran seberapa besarnya gangguan kesehatan yang
dialami masyarakat akibat rokok. Belum lagi bicara prevalensi perokok pasif dan
perokok anak-anak. Itu sebabnya alokasi cukai rokok bisa menjadi solusi supaya
anggaran kesehatan untuk pembangunan sektor kesehatan di indonesia
terpenuhi.
Hapus pajak barang mewah impor alat kesehatan dan
menumbuhkembangkan sektor industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri
untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada produk asing dan untuk
menekan tingginya biaya layanan kesehatan. Tingginya biaya kesehatan di
Indonesia juga menjadi persoalan yang cukup signifikan. Ini dikarenakan
komponen dalam layanan kesehatan seperti obat-obatan dan alat kesehatan
yang sebagian besar diimpor dari luar. Untuk industri farmasi dalam negeri,
pemerintah sendiri melalui Perpres Nomor 39 tahun 2014 membuka peluang
industri strategis ini dikuasai oleh asing sebesar 85%. Ini akan menjadi pil pahit
bagi layanan kesehatan di indonesia karena obat adalah komponen vital dalam
layanan kesehatan. Negara ini hanya akan menjadi negara konsumen, bukan
produsen sehingga memiliki ketergantungan luar biasa pada pihak asing. Selain
itu, alat-alat kesehatan juga dikenakan pajak barang mewah yang menambah
beban biaya layanan kesehatan.
Perbaikan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional DIB turut
mengkritisi pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional yang sampai saat ini sarat
masalah. Diantaranya :
1. keterbatasan fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS di tingkat
layanan primer, sekunder maupun tersier sehingga berakibat panjangnya
antrian masyarakat yang datang berobat ke puskesmas dan poliklinik RS.
2. Keterbatasan jumlah dan jenis obat yang tersedia bagi peserta BPJS.
Penyebaran tenaga kesehatan terutama dokter belum merata, terpusat di
kota-kota besar. Ketersediaan tenaga dokter spesialis di Indonesia juga
masih terbatas.
3. Belum terdata dengan baik masyarakat kelompok Penerima Bantuan Iuran
(PBI) sehingga masih ada masyarakat yang masuk kategori miskin dan tidak
mampu belum mendapat layanan kesehatan. Masih minimnya kepesertaan
BPJS, tarif INACBGS dan besaran kapitasi yang irasional karena tidak sesuai
dengan standar mutu layanan kesehatan dan standar keekonomian.
4. Revisi Juklak dan Juknis yang masih tersendat-sendat, serta pemanfaatan
dana kapitasi yang dijadikan sumber PAD oleh pemda setempat sehingga
layanan kesehatan yang diterima masyarakat bermutu rendah.
5. Proses verifikasi yang berbelit-belit mengakibatkan para dokter di RS yang
melaporkan klaim pada bulan Januari hanya dibayarkan 50% dari total klaim
hingga saat ini. Hal tersebut berpengaruh pada manajemen keuangan
sehingga Rumah Sakit kesulitan menyediakan obat dan alat medis yang
diperlukan. Dokter sebagai pelaksana di lapangan yang berhadapan
langsung dengan masyarakat seringkali berada dalam posisi sulit ketika
masyarakat mengeluhkan buruknya layanan kesehatan yang mereka
dapatkan. Faktanya para tenaga kesehatan dan masyarakat adalah korban
dari sistem yang buruk
6. Penyebaran tenaga kesehatan terutama dokter belum merata Untuk
mengatasi maldistribusi tenaga kesehatan terutama dokter, DIB mengajukan
usulan revisi UU No. 32 tahun 2004 tentang pembagian urusan pemerintah
agar sektor kesehatan dikembalikan ke pusat atau dengan kata lain
sentralisasi tenaga kesehatan. Pemerintah pusat bertanggung jawab
mengkoordinir segala aspek yang berhubungan dengan tenaga kesehatan
dengan memperhatikan potensi daerah tersebut. Keberadaan tenaga
kesehatan tersebut baik sebagai PNS, Karyawan sistem kontrak, mandiri
atau pun swasta harus disertai dengan standar gaji yang sesuai dengan
lokasi dan kompetensi. Perlindungan profesi serta keamanan tenaga
kesehatan dalam menjalankan tugas harus dijamin oleh pemerintah pusat
dan daerah. Ketika kebiijakan otonomi daerah berlaku seringkali tenaga
kesehatan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, berada dalam tekanan
politik pemerintah daerah sehingga menghambat pelaksanaan tugas dan
pengembangan profesi.

BAB II
KAJIAN KEBIJAKAN
A. Macam Masalah
Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pembiayaan pelayanan
kesehatan dengan tepat, baik itu pelayanan yang bersifat kuratif, preventif
dan/atau promotif.  Dengan diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), maka sumber dana untuk pengobatan akan di-cover oleh skema
JKN. Sementara pembiayaan preventif dan promotif akan bersumber dari
kantong Biaya Operasional Kesehatan (BOK) maupun kantor-kantong lain dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Prinsip pembiayaan kesehatan adalah keadilan dalam kontribusi
pembiayaan dan perlindungan terhadap resiko keuangan berdasarkan dugaan
bahwa sebaiknya rumah tangga dapat membayar bagiannya secara adil tanpa
memperburuk keadaan finansial yang ada. Sementara indikasi adil akan
bergantung pada perkiraan/dugaan normatif masyarakat dan bagaimana sistem
kesehatan dapat membiayainya.
Untuk membantu Pemerintah Nasional, Provinsi dan Kabupaten
melakukan perencanan pembiayaan berbasis bukti (evidence based health
financing), Program AIPHSS mendanai kegiatan-kegiatan terkait
penyusunan Health Account ditingkat nasional (NHA), provinsi (PHA) dan
Kabupaten (DHA), khususnya PHA dan DHA diwilayah sasasaran program
AIPHSS. Health Account dimaksud, secara sederhana adalah suatu cara
pemantauan yang sistematis, komprehensif serta konsisten terkait pemanfaatan
aliran dana/pembiayaan pada sistem kesehatan (health spending). Tujuan utama
dari Health Account adalah mengukur alur pengeluaran yang ada dimasing-
masing tingkat sehingga pembiayaan kesehatan ditahun yang akan datang dapat
diproyeksikan secara tepat sasaran dan tepat manfaat.
Menurut Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan  menyebutkan bahwa alokasi anggaran kesehatan adalah minimal
5% dari APBN, dan minimal 10% dari APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota)
dengan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran
APBN dan APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota). Tetapi kenyataannya hal
tersebut belum terpenuhi dalam RAPBN 2014 dan selama ini pun anggaran
kesehatan hanya berada di kisaran 2% total belanja pemerintah, baik melalui
APBN maupun APBD.  Melihat kecilnya persentase  alokasi anggaran untuk
kesehatan di Indonesia, tidak mengherankan jika hal tersebut dapat menciptakan
ketidakmerataan distribusi anggaran pembiayaan kesehatan yang penyebaran
dananya  kebanyakan justru lebih besar beredar di daerah perkotaan. Selain itu,
sudah dipastikan jika semakin kecilnya anggaran, hal tersebut juga akan
berdampak pada minimnya pelayanan kesehatan, apalagi jika anggaran
kesehatan tersebut harus di bagi ke seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari
banyak pulau dan sangat luas kawasannya.
Kecenderungan meningkatnya biaya pemeliharaan kesehatan menyulitkan
akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
keadaan ini terjadi terutama pada keadaandiman a pembiayaannya
harus ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistim tunai (free for
service). Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat penerapan teknologi canggih,
karakter supplyinduced demand dalam pelayanan kesehatan, pola pembayaran
tunai langsung ke pelayanan kesehatan, pola pembayaran tunau langsung ke
pemberi peayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif, serta inflasi.
Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan itu semakin sulit diatasi oleh
kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. peningkatan
biaya itu mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan dankarenanya
harus dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan ini.
Masalah-masalah dalam pembiayaan kesehatan saat ini yakni :
 Kurangnya dana yang tersedia
Di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, dana yang
disediakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan tidaklah
memadai. rendahnya alokasi anggaran dikarenakan masih kurangnya
kesadaran pengambilan keputusan akan pentingnya arti kesehatan.
kebanyakan dari pengambil keputusan menganggap pelayanan kesehatan
bersifat konsumtif bukanlah produktif dan karena itu kurang diprioritaskan
 Penyebaran dana yang tidak sesuai dengan kebutuhan (equity-fairness)
Penyebaran dana kesehatan justru beredar diperkotaan bukan dipedesaan.
pada hal jika ditinjau dari penyebaran penduduk, kebanyakan bertempat
tinggal di daerah pedesaan.
 Pemanfaatan yang tidak tepat
Pemanfaatan dana yang tidak tepat hal ini merupakan salah satu masalah
yang dihadapi dalam pembiayaan kesehatan. kebanyakan biaya pelayanan
kedokteran lebih tinggi dari pada pelayanan kesehatan masyarakat.
 Pengelolaan dana yang belum sempurna
Seandainya dana yang tersedia amat terbatas, penyebaran dan
1
pemanfaatannya belum begitu sempuma, namun jika apa yang dimiliki
1
tersebut dapat dikelola dengan baik, dalam batas-batas tertentu tujuan dari
pelayanan kesehatan majih dapat dicapai. Sayangnya kehendak yang
seperti ini sulit diujudkan. Penyebab utamanya jalah karena pengelolaannya
memang belum sempuma, yang kait berkait tidak hanya dengan
pengetahuan dan keterampilan yang masih terbatas, tetapi juga ada
kaitannya dengan sikap mental para pengelola.
 Biaya kesehatan yang semakin meningkat
Biaya kesehatan yang meningkat dipengrauhi oleh beberapa faktor, yakni :
tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan
pola penyakit, perubahan pola pelayanan kesehatan, perubahan pola
hubungan dokter-pasien dan penyalahgunaan asuransi
 Lemahnya mekanisme pengendalian biaya
Saat ini, pelayanan kesehatan belum dinikmati secara merata oleh
penduduk Indonesia. Ini terjadi karena terdapat beberapa perbedaan seperti
jarak geografis, latar belakang pendidikan, keyakinan, status sosial ekonomi,
dan kurang cakupan jaminan kesehatan.
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional memperlihatkan bahwa
Indonesia sampai saat ini mengutamakan pembiayaan kesehatan yang upaya
kesehatan yang bersifat kuratif saja. Pembiayaan  untuk upaya kesehatan
preventifnya, belum mendapatkan porsi dalam pengaturan anggaran di Jaminan
Kesehatan Nasional. Melihat pada hal tersebut, menjelaskan bahwasanya
pembiayaan kesehatan yang mendukung  upaya promotif preventif akan menjadi
salah satu tantangan bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan
biaya pelayanan upaya kesehatan perorangannya masih mendapatkan perhatian
yang jauh lebih besar dibandingkan biaya untuk pelayanan kesehatan
masyarakat.  Padahal pelayanan kedokteran dipandang kurang efektif dari pada
pelayanan kesehatan masyarakat.
Menurut pendapat para ahli bahwa nilai adalah kualitas, berharga,
bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna atau keadaan yang bermanfaat
bagi manusia baik lahir ataupun batin. BAB XV tentang pembiayaan kesehatan
yakni:
 Nilai keadilan : yang berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat
dengan pembiayaan yang terjangkau.
 Nilai ekonomis dan nilai teknikal yang mengatur ketentuan mengenai tujuan, unsure
dan sumber pembiayaan kesehatan
 Nilai manfaat yang bertarti bahwa pembiayaan kesehatan sangat bermanfaat bagi
pelayanan publik, terutama penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak yang
terlanta.
Karakterisik yang ada pada BAB XV, yakni Ketentuan mengenai tujuan,
unsur dan sumber pembiayaan kesehatan, Ketentuan mengenai besarnya
anggaran dalam alokasi pembiayaan kesehatan, Penekanan pada alokasi
pembiayaan kesehatan, Penekankan pada pelaksanaan program jaminan
1
kesehatan. Adapaun pelaku atau aktor yang terlibat dalam pembiayaan
1
kesehatan, yakni :pemerintah, baik pemerintah Pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah daerah, Pihak Swasta, Masyarakat.
Isu-isu Publik Kebijakan pembiayaan kesehatan di tahun 2010 ditandai oleh
beberapa perkembangan menarik. Salah satunya adalah target Universal
Coverage 2014 (100 persen penduduk terjamin) telah ditetapkan. Ini merupakan
tantangan berat karena saat ini baru sekitar 50% penduduk yang terjamin asuransi
kesehatan atau jaminan kesehatan lainnya, itupun lebih dari 75% terdiri dari warga
miskin yang dijamin oleh pemerintah lewat dana pajak. Universal coverage sudah
ditargetkan untuk dicapai namun pada saat yang sama penerapan UU SJSN
masih belum dilakukan. Walaupun demikian, ada satu langkah menarik yang
dianggap sebagai “pembuka jalan” untuk tercapainya Universal Coverage, yaitu
Jampersal (jaminan kesehatan persalinan) yang, berbeda dengan Jamkesmas,
juga ikut menjamin ibu non miskin yang bersalin asal mau dirawat di klas 3 RS
Pemerintah atau swasta tertentu. Juga pada tahun 2010, hampir semua
kabupaten/kota juga sudah mencanangkan program Jaminan Kesehatan Daerah
dengan berbagai variasinya. Pada tahun 2010 sebenarnya ditargetkan untuk
diundangkannya UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, namun kenyataannya
belum juga terlaksana akibat tarik ulur antara eksekutif dan legislatif mengenai
jumlah BPJS.
Isu besar lain saat ini juga adalah masalah adekuasi dan sustainabilitas dari
pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya pembiayaan pemerintah. Diskusi
tentang “apakah anggaran saat ini cukup? Atau kurang?, menjadi perdebatan
yang hangat. Jika melihat kebutuhan akan dana program dari pemerintah yang
digulirkan melalui APBN (Pusat) dan atau APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota),
maka bisa dikatakan bahwa anggaran kesehatan Indonesia relative sangat kecil
(hanya 1.7% dari total belanja pemerintah). Tetapi isu menarik berikutnya adalah
adanya sisa anggaran yang tidak terserap di kementrian kesehatan. Data pasti
belum terkumpul, namun kejadian sudah terlihat bertahun-tahun. Isu sustainablitas
yang muncul adalah masalah Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang
menjadi input system kesehatan sebagai dana bantuan program, dimana istilah
“bantuan” menimbulkan pertanyaan tentang sustainabilitas dari program tersebut.
Ada perkembangan menarik bahwa BOK ini nantinya akan menjadi Dana Tugas
Pembantuan (TP) untuk kesehatan melalui PKM, ini juga menjadi perhatian
penting karena dalam perundangan, TP dan Dekonsentrasi ini sifatnya hanya
dana pelimpahan wewenang pusat ke propinsi dan nanti selanjutnya akan
dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK). Isu menarik lain adalah mengenai
ekuitas pelayanan kesehatan antara daerah miskin dan kaya, pedesaan dan
perkotaan. Disinyalir bahwa kebijakan jamkesmas/Jamkesda atau Jampersal
hanya akan menguntungkan masyarakat perkotaan di daerah yang relatif kaya
seperti Jawa dan Sumatera mengingat ketersediaan pelayanan kesehatan di
daerah tersebut relatif lebih merata. Di samping permasalahan mengenai
pembiayaan kesehatan kuratif di atas, juga terdapat masalah pembiayaan
kesehatan di aspek promotif dan preventif. Saat ini bergulir wacana akan adanya
pengalihan sebagian hasil cukai rokok untuk promosi dan prevensi di bidang
kesehatan. Namun di sisi lain, pasal “anti rokok” di UU Kesehatan yang baru
malah “menghilang”. Selain itu, banyak ahli kesehatan masyarakat saat ini juga
memandang seolah ada dikotomi antara kuratif dan preventif/promotif; dengan
menyebutkan bahwa pemerintah sekarang terlalu cenderung membiayai kuratif
dan mengabaikan pembiayaan preventif dan promotif. Berbagai perkembangan
dan isu ini perlu diantisipasi oleh semua pihak karena akan menentukan kebijakan
yang akan diambil. PMPK akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan ilmiah
untuk memberi masukan kepada para pengambil kebijakan terkait dengan
pembiayaan
Kesehatan . Alokasi dana kesehatan hingga saat ini masih tergolong
rendah bila dibandingkan dengan Negara lain, dimana dalam pelaksanaannya
belum merata dan belum mencakup masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Alokasi dana untuk kesehatan yang di atur oleh pemerintah, sering kali terdapat
penyelewengan atau tindakan korupsi, sehingga alokasi pembiayaan kesehatan
tidak maksimal.
B. Tujuan yang Ingin di Capai
Tujuan yang ingin di capai dalam pembiayaan kesehatan, yakni :
1. Untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan
jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara
berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
setinggi-tingginya.
2. Untuk mengetahui ketentuan mengenai pembiayaan kesehatan melalui tata
cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.
C. Substansi Kebijakan
1. Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dimana kegiatan tersebut diharapkan tetap terlaksana,
berkesinambungan dan secara adil dan merata. Sumber pembiayaan
1
kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta
1
dan sumber lain.
2. Negara harus mengalokasikan 5% dari total APBN setiap tahunnya untuk
pelayanan kesehatan utamanya kesehatan public meliputi preventif,
pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif yang
dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Biaya
tersebut dilakukan secara efisien dan efektif dengan mengutamakan
pelayanan preventif dan pelayanan promotif dan besarnya sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari APBN dan APBD. Besar anggaran
kesehatan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal
sepuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah diluar gaji.
3. Alokasi pembiayaan kesehatan yang ditujukan untuk pelayanan kesehatan di
bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut
usia, dan anak terlantar
4. Tata cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.
D. Ciri Kebijakan
a. Kriteria Kebijakan
- Menekankanpadapengaturanketentuanmengenaitujuan,
unsurdansumberpembiayaankesehatan.
- Menekankan pada pelaksana pembiayaan kesehatan
- Menekankan pada alokasi (pembagian) pembiayaan kesehatan
b. Tipe pendekatan
Ada tiga pendekatan yang mungkin ditempuh, berdasarkan program-
program pembiayaan kesehatan Indonesia yang ada sekarang, diskusi
kebijakan saat ini dan Undang-undang tahun 2004 tentang Jaminan Sosial,
sebagai opsi untuk mencapai Cakupan Semesta. Ketiga opsi tersebut akan
dapat membantu mewujudkan cakupan asuransi kesehatan semesta, dan
ketiganya memiliki jumlah peserta yang cukup besar untuk pemusatan risiko
(risk pooling) yang efektif. Lepas dari pendekatan yang dipilih,
keputusankeputusan penting berkaitan dengan paket manfaat, mekanisme
berbagi biaya, pengaturan pembayaran/pengontrakkan dan modalitas untuk
menangani hambatan-hambatan dari sisi penyediaan pelayanan kesehatan
perlu dibuat. Ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
Pendekatan pertama menyerupai Layanan Kesehatan Nasional seperti
yang ada di Sri Lanka dan Malaysia, dan termasuk di dalamnya ekspansi
program Jamkesmas yang didanai pendapatan umum yang diawali untuk
mencakup warga miskin dan hamper miskin dan kemudian untuk seluruh
penduduk.
Pendekatan kedua menyerupai model Asuransi Kesehatan Sosial ‘baru’
(sekarang disebut Asuransi Kesehatan Wajib/AKW), di mana sistem AKW
didanai melalui kontribusi/iuran berdasarkan gaji bagi para pegawai pemerintah
dan sektor swasta (dan para pensiunan) dan kontribusi dari pemerintah untuk
membiayai kaum miskin dan kelompok-kelompok lain yang kurang beruntung
Pendekatan ketiga, yang dapat dianggap sebagai varian dari Opsi 2 atau
kombinasi dari Opsi 1 dan 2, memberikan cakupan jaminan kesehatan bagi
kaum miskin dan kelompok-kelompok lain yang kurang beruntung melalui
sebuah sistem yang dibiayai oleh pemerintah, sementara lain-lainnya dicakup
melalui dana-dana AKW lainnya, masing-masing dibiayai berdasarkan
kontribusi/iuran.
- Pendekatan empiric, memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu
apakah sesuatu itu ada (menyangkut fakta). Pendekatan ini lebih
menekankan penjelasan sebab akibat dari kebijakan publik. Contoh,

1
Analisis dapat menjelaskan atau meramalkan pembiayaan kesehatan
yang memusatkan pada penyediaan pembiayaan kesehatan yang
berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara
adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna dapat
menjamin terselenggaranya pembagunan kesehatan sehingga
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya
- Pendekatan normatif, memusatkan perhatian pada masalah pokok,
yaitu tindakan apa yang semestinya di lakukan. Pengusulan arah
tindakan yang dapat memecahkan masalah problem kebijakan,
merupakan inti pendekatan normative dimana kebijakan menetapkan
alokasi pembiayaan kesehatan harus ditujukan untuk pelayanan
kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin,
kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
- Pendekatan Evaluatif memusatkan pada ketentuan alokasi dana
kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturanperundang-undangan.
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI

A. Perilaku yang Muncul


Konsekuensi dan resistensi bertujuan untuk menggambarkan
serangkaian tindakan yang dilakukan untuk menghadapi konsekuensi dari
diberlakukannya Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pada Bab
XV mengenai pembiayaan kesehatan. Ada 2 perilaku berlawanan yang
diperkirakan akan muncul sebagai konsekuensi bila UU Kesehatan ini
diberlakukan.
a. Perilaku Positif : pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah,
masyarakat, swasta sebagai pelaksanan akan lebih dituntut
eksistensinya terhadap pembiayaan kesehatan sehingga dalam
melaksanakan kebijakan tersebut dilakukan secara berkesinambungan
dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna sesuai dengan
ketentuan dalam kebijakan yang telah ditetapkan.
b. Perilaku Negatif : Dengan adanya kebijakan tersebut, maka pemerintah
maupun pelaksana lain diberikan kekuasaan untuk mengatur
pembiayaan kesehatan sesuai dengan apa yang telah ditentukan
dalam kebijakan, namun seringkali terdapat adanya penyalahgunaan
dana yang diperuntukkan untuk kesehatan masyarakat dalam hal ini
adanya tindakan korupsi terhadap anggaran kesehatan. Selain itu
adanya kecenderungan pemerintah yang mengutamakan kepentingan
proyek mercusuar di daerahnya. Misalnya, dana yang seharusnya
digunakan untuk kesehetan malah digunakan untuk membangun atau
merenovasi rumah dinas agar menjadi mewah, atau segera mengganti
mobil dinas dengan mobil yang baru, lalu membangun gedung. Hal ini
menggambarkan ”aktor politik” belum memprioritaskan pada
pembangunan kesehatan.
B. Resistensi
Alokasi dana kesehatan hingga saat ini masih tergolong rendah bila
dibandingkan dengan Negara lain, dimana dalam pelaksanaannya belum
merata dan belum mencakup masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Alokasi dana untuk kesehatan yang di atur oleh pemerintah, sering kali
terdapat penyelewengan atau tindakan korupsi, sehingga alokasi
1
pembiayaan kesehatan tidak maksimal. Resistensi Alokasi anggaran untuk
1
biaya kesehatan per kapita penduduk di Indonesia, masih sangat kurang.
Berbagai LSM dan praktisi kesehatan terus berupaya melakukan advokasi
terhadap penentu kebijakan agar lebih memperhatikan status kesehatan
utamanya masyarakat miskin. Salah satu upaya nyata praktisi kesehatan
adalah dengan memperjuangkan Undang-undang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), yang memungkinkan pelayanan kesehatan lebih
baik kepada kaum buruh.
Keluhan masyarakat mengenai kualitas pelayanan dan fasilitas
kesehatan yang kurang memadai dan sulit dijangkau dikarenakan masih
minimnya anggaran pemerintah yang ditujukan untuk sektor kesehatan.
Dengan adanya UU tentang pembiayaan kesehatan, masyarakat tidak
terlalu khawatir terhadap kesehatan mereka, karena mereka berfikir ketika
mereka sakit, maka biaya pengobatan mereka akan ditanggung oleh
pemerintah. Hal ini membuat perhatian terhadap kesehatan berkurang.
Adapun aktor yang resistensi tehadap UU mengenai pembiayaan kesehatan
yakni pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, masyarakat dan
swasta sebagai sumber pembiayaan kesehatan serta masyarakat yang
menggunakan dana kesehatan.
C.    Masalah Baru yang Timbul
Masalah baru yang muncul akibat adanya Undang-Undang mengenai
pembiayaan kesehatan yakni:
1. Alokasi dana kesehatan hingga kini masih tergolong rendah bila dibandingkan
dengan negara lain dan dalam pelaksanaannya belum merata dan pesertanya
belum mencakup masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
2. Dalam prakteknya pembiayaan kesehatan mengalami berbagai permasalahan.
Permasalahan yang dihadapi antara lain adalah kecenderungan anggaran
tersebut digunakan untuk belanja fisik, kurangnya biaya operasional,
kecenderungan daerah untuk menggratiskan pelayanan bagi seluruh penduduk
dan realisasi anggaran pemerintah yang terlambat.
3. Alokasi pembiayaan yang mungkin belum merata. Karena maraknya tindakan
korupsi yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang
menyebabkan tujuan kesehatan yang tidak tercapai yakni meningkatkan
kesehatan masyarakat

1
1
BAB III
PREDIKSI

Berbagai Sistem Pembiayaan Untuk Mencapai Equity Dan Universal Coverage


A. State-funded systems (biaya kesehatan ditanggung negara) atau Tax Based
System (Berbasis Pajak)
Sistem ini dijalankan oleh Inggris dan bekas jajahannya (negara anggota
persemakmuran seperti Australia, New Zealand, Canada, Singapura, Malaysia)
serta beberepa negara Eropa. Dalam sistem ini masyarakat mendapatkan
pelayanan kesehatan gratis atau nyaris gratis namun mereka ditarik berbagai
pajak sebelumnya. Keuntungan dari sistem ini adalah biasanya mencakup lebih
banyak orang (universal coverage), serta dapat mengandalkan pada banyak
sumber pembiayaan, serta secara relatif mudah dikelola. Namun di sisi lain
karena tergantung pada anggaran yang secara tahunan harus bersaing dengan
dinas lain, maka sifatnya kurang stabil dan bahkan sering tidak memadai. Di
banyak negara sistem ini ternyata tidak efisien. Selain itu, state funded systems
cenderung menguntungkan yang kaya daripada yang miskin. Oleh karena itu,
untuk menjaga agar sistem ini berjalan baik di negara berpenghasilan rendah,
harus ada kondisi yang mendukung misalnya pertumbuhan ekonomi yang baik,
administrasi pajak yang profesional, dan institusi yang kompeten. Selain itu, yang
penting terdapat upaya khusus untuk membantu orang miskin, untuk mencegah
“a poor system for poor people” (Mossialos and Dixon 2002). Dalam sistem ini,
pemberi pelayanan dibayar langsung oleh pemerintah, seperti tampak pada
gambar di bawah ini.
B. Social Health Insurance (SHI).
Sistem ini dianut oleh Jerman, Taiwan, Korea Selatan dan beberapa negara lain.
Bentuk asuransi ini berupa iuran wajib dari setiap warga negara kepada lembaga
asuransi yang terpisah dari lembaga pemerintah. Sistem ini bertujuan untuk
mencakup sebanyak mungkin orang dengan sistem subsidi silang antara yang
kaya dan yang miskin. Selain itu membuat sumber biaya kesehatan lebih stabil
dan masyarakat lebih mandiri. Tapi tujuan ini hanya bisa dicapai lewat tahapan
dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung pada karakteristik politik,
sosial dan ekonomi di suatu negara. Di banyak negara dengan pendapatan
rendah, terutama yang ekonominya stagnan dan jumlah pekerja informal banyak,
akan terdapat kendala besar bagi tercapainya tujuan ini. Oleh karena itu,
sebelum mengimplementasikan sistem ini pemerintah harus mengkaji secara
mendalam. Pengkajian ini akan memutuskan apakah reformasi perlu segera
dilakukan atau harus menunggu semua lingkungan kondusif. Pengalaman
menunjukkan bahwa pada tahap awal implementasinya, SHI cenderung
mengalihkan sumber daya dari segmen populasi yang miskin ke yang kaya.
Sistem SHI juga harus didukung oleh upaya pengendalian biaya (cost
containment).
C. Community Based Health Insurance
Di Indonesia system ini pernah dikenal dengan nama Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM). Dalam sistem ini, kelompok-kelompok
masyarakat mengumpulkan iuran asuransi kesehatan sendiri secara sukarela.
Sistem ini memberikan proteksi finansial kepada mereka yang tidak mempunyai
akses lain ke pelayanan kesehatan. Walaupun demikian, kebanyakan community
based health insurance preminya dan benefitnya kecil dan seringkali tidak bisa
bertahan. Asuransi ini juga sering tidak efektif dalam mencapai populasi yang
termiskin. Asuransi semacam ini dapat dikembangkan bila banyak sektor
informal serta tidak terdapat institusi yang memadai untuk mengelola asuransi.
Tetapi syaratnya harus ada komitmen dan solidaritas tinggi diantara masyarakat.
Intervensi pemerintah seperti pemberian subsidi, bantuan teknis dan inisiatif
untuk menghubungkan antara community based insurance dengan sistem
pembiayaan kesehatan yang lebih formal adalah penting untuk meningkatkan
efisiensi dan keberlangsungan sistem ini. Banyak literatur menganggap bahwa
model ini “lebih baik daripada tidak ada sama sekali” Namun demikian
community based insurance harus dianggap sebagai pelengkap bukan pengganti
dari yang sudah ada (Preker and others 2004). Tantangan yang paling besar
adalah bagaimana merancang community based insurance agar berubah
menjadi sistem pembiayaan yang lebih komprehensif dan canggih.
D. Voluntary Health Insurance (Asuransi Kesehatan Sukarela)
Dalam sistem ini, setiap orang berhak untuk ikut atau tidak ikut menjadi anggota
sebuah perusahaan asuransi swasta komersial. Sistem ini memerlukan adanya
perusahaan komersial yang kompeten. Sistem ini dapat mengambil untung dari
(tetapi tidak tergantung dari) kapasitas pemerintah yang kuat. Tidak seperti
asuransi sosial yang lebih sulit dikembangkan. Asuransi sukarela tidak
tergantung pada solidaritas sosial atau nasional dan pasar formal yang stabil,
walaupun kondisi semacam ini membantu. Namun demikian, sistem ini, kecuali
disubsidi oleh pemerintah, hanya dapat mengandalkan pada kemampuan
membayar masyarakat dan kalangan bisnis. Selain itu sistem ini rentan terhadap
kegagalan pasar dan isu keadilan. (Tapay and Colombo 2004). Oleh karenany,a
harus dikembangkan secara hati-hati dan perlu ada peraturan pemerintah yang
kuat. Dalam ketiga system asuransi di atas, perusahaan asuransi yang
membayar pemberi pelayanan kesehatan (PPK) sedangkan pemerintah
berfungsi sebagai regulator
E. Kritik Terhadap Sistem Pembiayaan Berbasis Pajak (State Funded/Tax based)
Sistem ini dianggap menjadikan masyarakat manja dan tidak mendidik karena
merasa gratis sehingga tidak mempunyai keinginan untuk menjaga kesehatan,
cenderung memanfaatkan secara berlebihan (moral hazard). Selain itu, terdapat
sangat rentan terhadap politik jangka pendek. Sebagai contoh: pejabat yang
dipilih sekarang menjanjikan “pelayanan gratis”, namun tapi bila pejabat tersebut
tidak terpilih kembali belum tentu pejabat baru melanjutkan. Yang terjadi di
beberapa negara berkembang, seringkali yang “gratis” hanya sesuatu yang tidak
berbiaya besar seperti misalnya pelayanan rawat jalan di Puskemas, atau diberi
batasan yang terlalu ketat misalnya hanya akan ditanggung sampai maksimal Rp
1.000.000,-
F. Kritik Terhadap Sistem Asuransi
Perusahaan asuransi dikritik cenderung menganggap uang premi sebagai
“pendapatan perusahaan” sehingga berperilaku terlalu “efisien” dan akhirnya
mutu layanan kesehatan dikorbankan. Permasalahan dalam pengumpulan premi
juga dapat menjadi kendala. Mekanisme penarikan premi yang berasal dari
masyarakat yang pendapatan tidak tetap (sektor informal) sulit karena mereka
tidak memiliki gaji tetap bulanan yang tercatat. Selain itu, kepercayaan
masyarakat kepada system asuransi masih rendah karena tidak ada “uang
kembali” bila tidak sakit.
G. Pilihan Indonesia
Secara hukum (dejure), Indonesia telah memilih sistem Asuransi Sosial yang
tertera dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 19:
Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial dan prinsip equitas. Namun secara fakta (de facto), di Indonesia
ternyata lebih dominan sistem pajak daripada asuransi social karena saat ini
terdapat lebih dari 70 Juta orang yang dijamin oleh program Jamkesmas yang
pada prinsipnya adalah system berbasis pajak. Bahkan. direncanakan akan ada
penambahan dana untuk Jamkesmas dan perluasan keanggotaan. Terlebih lagi
saat ini terdapat lebih dari 100 kabupaten/kota yang mempunyai program
Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang tidak menarik iuran tetapi
membiayainya dengan sumber dana dari APBD (uang pajak yang dikelola
daerah).
H. Prediksi ke depan
Berdasarkan perkembangan terakhir dapat diprediksi arah sistem pembiayaan
kesehatan. Perkembangan politik menunjukkan bahwa arah sistem pembiayaan
akan menuju sistem pajak (non contributory) dalam jangka waktu 15 – 20 tahun
ke depan. Hal ini terbukti dengan adanya Jaminan Persalinan (Jampersal) yang
menjamin tidak hanya ibu-ibu miskin tetapi semua ibu yang melahirkan akan
dibiayai oleh negara. Apabila sistem pajak mendominasi sistem pembiayaan
maka akan sulit berubah menjadi sistem asuransi sosial (contributory).
Berdasarkan perkembangan yang ada sampai saat ini, sistem pajak
diproyeksikan akan lebih feasible bila ingin mencapai Universal Coverage 2014.
Namun tantangan dari sisi pasokan sumber daya (jumlah dokter spesialis, RSU
dan layanan kesehatan lain) berat. Hal ini karena masih belum meratanya
tenaga dan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Akibatnya kalaupun semua
penduduk dijamin sebuah system pembiayaan kesehatan, namun mereka yang
ada di daerah terpencil tidak akan mampu memanfaatkannya. Ini berarti ada
Universal Coverage (semua orang punya jaminan kesehatan) namun hanya
akan dimanfaatkan oleh mereka yang dekat dengan fasilitas kesehatan. Dan
bagi mereka yang di daerah terpencil, hanya yang cukup kaya yang dapat
membiayai perjalanan untuk dapat mencapai fasilitas kesehatan. Dengan
demikian akan terdapat equity (keadilan) yang rendah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu kegiatan pembangunan kesehatan
yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dimana kegiatan
tersebut diharapkan tetap terlaksana, berkesinambungan dan secara adil dan merata.
Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, swasta dan sumber lain. Besar anggaran pemerintah dialokasikan minimal
lima persen dari anggaran pendapatan belanja negara diluar gaji. Besar anggaran
kesehatan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal sepuluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah diluar gaji.
Masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia yakni kurangnya dana yang
tersedia, penyebaran dana yang tidak sesuai dengan kebutuhan (equity-fairness), biaya
kesehatan yang semakin meningkat sera lemahnya mekanisme pengendalian biaya.
B. Rekomendasi
1. Pencapaian program kesehatan masih banyak belum tercapai dari target, maka
perlunya penyusunan anggaran berbasis kinerja di masa mendatang.
2. Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau
alokasi penggunaan sumber dana. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki,
maka alokasitersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang
menghasilkan dampak yang lebih besar, misalnya mengutamakan upaya
pencegahan, bukan pengobatan penyakit
3. P e n i n g k a t a n efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan
b e r b a g a i mekanisme pengawasan dan pengendalian.
4. Untuk mencapai terjadinya pemerataan, dapat dilakukan universal coverage yang
bersifat wajib dimana penduduk yang mempunyai resiko kesehatan rendah akan
membantu mereka yang beresiko tinggi dan penduduk yang mempunyai kemampuan
membayar lebih akan membantu mereka yang lemah dalam pembayaran
1
1
1
REFERENSI

Admin. 2010.PernyataanPengurusBesarIkatanDokter Indonesia PadaSidangYudisial


Review TerhadapPasal 108 Dan Pasal 190 Uu No 36 Tahun 2009
TentangKesehatan Di
MahkamahKonstitusi[online]http://www.idionline.org/2010/05/.
DwiAstuti, 2010. Tantangandalam UU kesehatan . http:// artikel-
media.blogspot.com/2010/.../tantangan-dalam-uu-kesehatan.
KeluargaRasyid. 2009. ASI dalam UU KesehatanBaru no 36 tahun 2009.http:
http://keluarga.rasyid.net/2009/12/26/asi-dalam-uu-kesehatan-baru-no-
362009.html.
Maghfirah, 2010 Sistem Pembiayaan Kesehatan
http://www.scribd.com/doc/124740114/Sistem-Pembiayaan-Kesehatan-
Indonesia#scribd
Muslimin, Saefuddin. 2012. KriterianUntukMenilaiKebijakanPemerintah. (online)
disadurdarihttp://saefuddinmuslimin.blogspot.com/2012/05/kriteria-untuk-menilai-
kebijakan.html
PemerintahKabupaten Ende.2012.Program danKegiatan.http:
portal.endekab.go.id/pemerintah/executif/dinas/.../kesehatan-.
Suara Pembaruan.2013. AnggaranKesehatanRendah, KKRI GugatKe MK.
http://sp.beritasatu.com/home/anggaran-kesehatan-rendah-kkri-gugat-ke-
mk/40261
Surya Utama. 2004. Dasar-dasarAnalisisKebijakan. [online] http://repository.usu.ac.id
/bitstream/123456789/3765/1 /fkm-surya4.pdf.
Undang-undang No.36 tahun 2009-2009. [Online] http:
www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-36-2009Kesehatan.pdf.
LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 36 TAHUN 2009


1
TENTANG KESEHATAN 1
(Bab XV tentang Pembiayaan Kesehatan)
Pasal 170
(1). Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang
berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya.
(2). Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas sumber pembiayaan, alokasi, dan pemanfaatan.
(3). Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, swasta dan sumber lain.
Pasal 171
(1). Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima
persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
(2). Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan
minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar
gaji.
(3). Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 172
(1). Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (3) di
tuj ukan untuk pel ayanan kesehat an di bi dang pel ayanan publ i k, terutama bagi
penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi pembiayaan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 173
(1). Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3) dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial
nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.
Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional
dan/atau asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.    Kesimpulan
1.      Asas Undang-Undang No.36 Tahun 2009 ialah Pembangunan kesehatan
diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,
pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan
nondiskriminatif dan norma-norma agama.
2.      Undang-Undang No.23 Tahun 1992 dengan paradigma sakit kemudian diubah
menjadi paradigm sehat pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
3.      Kesehatan merupakan hak asasi manusia jadi setiap manusia berhak memperoleh
pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi
B.     Rekomendasi
1.      Perlunya nondiskriminatif terhadap setiap individu yang ingin memperoleh pelayanan
kesehatan.
2.      Sebaiknya undang-undang bersifat universal dan menguntungkan semua pihak yang
terkait.

Anda mungkin juga menyukai