ANALISIS UNDANG-UNDANG NO 36 TAHUN 2009 PASAL 171, 172, 173, 174, 175
DISUSUN OLEH:
ERWIN
P1804215031
BAB II
KAJIAN KEBIJAKAN
A. Macam Masalah
Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pembiayaan pelayanan
kesehatan dengan tepat, baik itu pelayanan yang bersifat kuratif, preventif
dan/atau promotif. Dengan diberlakukannya sistem Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), maka sumber dana untuk pengobatan akan di-cover oleh skema
JKN. Sementara pembiayaan preventif dan promotif akan bersumber dari
kantong Biaya Operasional Kesehatan (BOK) maupun kantor-kantong lain dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Prinsip pembiayaan kesehatan adalah keadilan dalam kontribusi
pembiayaan dan perlindungan terhadap resiko keuangan berdasarkan dugaan
bahwa sebaiknya rumah tangga dapat membayar bagiannya secara adil tanpa
memperburuk keadaan finansial yang ada. Sementara indikasi adil akan
bergantung pada perkiraan/dugaan normatif masyarakat dan bagaimana sistem
kesehatan dapat membiayainya.
Untuk membantu Pemerintah Nasional, Provinsi dan Kabupaten
melakukan perencanan pembiayaan berbasis bukti (evidence based health
financing), Program AIPHSS mendanai kegiatan-kegiatan terkait
penyusunan Health Account ditingkat nasional (NHA), provinsi (PHA) dan
Kabupaten (DHA), khususnya PHA dan DHA diwilayah sasasaran program
AIPHSS. Health Account dimaksud, secara sederhana adalah suatu cara
pemantauan yang sistematis, komprehensif serta konsisten terkait pemanfaatan
aliran dana/pembiayaan pada sistem kesehatan (health spending). Tujuan utama
dari Health Account adalah mengukur alur pengeluaran yang ada dimasing-
masing tingkat sehingga pembiayaan kesehatan ditahun yang akan datang dapat
diproyeksikan secara tepat sasaran dan tepat manfaat.
Menurut Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menyebutkan bahwa alokasi anggaran kesehatan adalah minimal
5% dari APBN, dan minimal 10% dari APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota)
dengan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran
APBN dan APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota). Tetapi kenyataannya hal
tersebut belum terpenuhi dalam RAPBN 2014 dan selama ini pun anggaran
kesehatan hanya berada di kisaran 2% total belanja pemerintah, baik melalui
APBN maupun APBD. Melihat kecilnya persentase alokasi anggaran untuk
kesehatan di Indonesia, tidak mengherankan jika hal tersebut dapat menciptakan
ketidakmerataan distribusi anggaran pembiayaan kesehatan yang penyebaran
dananya kebanyakan justru lebih besar beredar di daerah perkotaan. Selain itu,
sudah dipastikan jika semakin kecilnya anggaran, hal tersebut juga akan
berdampak pada minimnya pelayanan kesehatan, apalagi jika anggaran
kesehatan tersebut harus di bagi ke seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari
banyak pulau dan sangat luas kawasannya.
Kecenderungan meningkatnya biaya pemeliharaan kesehatan menyulitkan
akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
keadaan ini terjadi terutama pada keadaandiman a pembiayaannya
harus ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistim tunai (free for
service). Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat penerapan teknologi canggih,
karakter supplyinduced demand dalam pelayanan kesehatan, pola pembayaran
tunai langsung ke pelayanan kesehatan, pola pembayaran tunau langsung ke
pemberi peayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif, serta inflasi.
Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan itu semakin sulit diatasi oleh
kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. peningkatan
biaya itu mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan dankarenanya
harus dicari solusi untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan ini.
Masalah-masalah dalam pembiayaan kesehatan saat ini yakni :
Kurangnya dana yang tersedia
Di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, dana yang
disediakan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan tidaklah
memadai. rendahnya alokasi anggaran dikarenakan masih kurangnya
kesadaran pengambilan keputusan akan pentingnya arti kesehatan.
kebanyakan dari pengambil keputusan menganggap pelayanan kesehatan
bersifat konsumtif bukanlah produktif dan karena itu kurang diprioritaskan
Penyebaran dana yang tidak sesuai dengan kebutuhan (equity-fairness)
Penyebaran dana kesehatan justru beredar diperkotaan bukan dipedesaan.
pada hal jika ditinjau dari penyebaran penduduk, kebanyakan bertempat
tinggal di daerah pedesaan.
Pemanfaatan yang tidak tepat
Pemanfaatan dana yang tidak tepat hal ini merupakan salah satu masalah
yang dihadapi dalam pembiayaan kesehatan. kebanyakan biaya pelayanan
kedokteran lebih tinggi dari pada pelayanan kesehatan masyarakat.
Pengelolaan dana yang belum sempurna
Seandainya dana yang tersedia amat terbatas, penyebaran dan
1
pemanfaatannya belum begitu sempuma, namun jika apa yang dimiliki
1
tersebut dapat dikelola dengan baik, dalam batas-batas tertentu tujuan dari
pelayanan kesehatan majih dapat dicapai. Sayangnya kehendak yang
seperti ini sulit diujudkan. Penyebab utamanya jalah karena pengelolaannya
memang belum sempuma, yang kait berkait tidak hanya dengan
pengetahuan dan keterampilan yang masih terbatas, tetapi juga ada
kaitannya dengan sikap mental para pengelola.
Biaya kesehatan yang semakin meningkat
Biaya kesehatan yang meningkat dipengrauhi oleh beberapa faktor, yakni :
tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan teknologi, perubahan
pola penyakit, perubahan pola pelayanan kesehatan, perubahan pola
hubungan dokter-pasien dan penyalahgunaan asuransi
Lemahnya mekanisme pengendalian biaya
Saat ini, pelayanan kesehatan belum dinikmati secara merata oleh
penduduk Indonesia. Ini terjadi karena terdapat beberapa perbedaan seperti
jarak geografis, latar belakang pendidikan, keyakinan, status sosial ekonomi,
dan kurang cakupan jaminan kesehatan.
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional memperlihatkan bahwa
Indonesia sampai saat ini mengutamakan pembiayaan kesehatan yang upaya
kesehatan yang bersifat kuratif saja. Pembiayaan untuk upaya kesehatan
preventifnya, belum mendapatkan porsi dalam pengaturan anggaran di Jaminan
Kesehatan Nasional. Melihat pada hal tersebut, menjelaskan bahwasanya
pembiayaan kesehatan yang mendukung upaya promotif preventif akan menjadi
salah satu tantangan bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan
biaya pelayanan upaya kesehatan perorangannya masih mendapatkan perhatian
yang jauh lebih besar dibandingkan biaya untuk pelayanan kesehatan
masyarakat. Padahal pelayanan kedokteran dipandang kurang efektif dari pada
pelayanan kesehatan masyarakat.
Menurut pendapat para ahli bahwa nilai adalah kualitas, berharga,
bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna atau keadaan yang bermanfaat
bagi manusia baik lahir ataupun batin. BAB XV tentang pembiayaan kesehatan
yakni:
Nilai keadilan : yang berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat
dengan pembiayaan yang terjangkau.
Nilai ekonomis dan nilai teknikal yang mengatur ketentuan mengenai tujuan, unsure
dan sumber pembiayaan kesehatan
Nilai manfaat yang bertarti bahwa pembiayaan kesehatan sangat bermanfaat bagi
pelayanan publik, terutama penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak yang
terlanta.
Karakterisik yang ada pada BAB XV, yakni Ketentuan mengenai tujuan,
unsur dan sumber pembiayaan kesehatan, Ketentuan mengenai besarnya
anggaran dalam alokasi pembiayaan kesehatan, Penekanan pada alokasi
pembiayaan kesehatan, Penekankan pada pelaksanaan program jaminan
1
kesehatan. Adapaun pelaku atau aktor yang terlibat dalam pembiayaan
1
kesehatan, yakni :pemerintah, baik pemerintah Pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah daerah, Pihak Swasta, Masyarakat.
Isu-isu Publik Kebijakan pembiayaan kesehatan di tahun 2010 ditandai oleh
beberapa perkembangan menarik. Salah satunya adalah target Universal
Coverage 2014 (100 persen penduduk terjamin) telah ditetapkan. Ini merupakan
tantangan berat karena saat ini baru sekitar 50% penduduk yang terjamin asuransi
kesehatan atau jaminan kesehatan lainnya, itupun lebih dari 75% terdiri dari warga
miskin yang dijamin oleh pemerintah lewat dana pajak. Universal coverage sudah
ditargetkan untuk dicapai namun pada saat yang sama penerapan UU SJSN
masih belum dilakukan. Walaupun demikian, ada satu langkah menarik yang
dianggap sebagai “pembuka jalan” untuk tercapainya Universal Coverage, yaitu
Jampersal (jaminan kesehatan persalinan) yang, berbeda dengan Jamkesmas,
juga ikut menjamin ibu non miskin yang bersalin asal mau dirawat di klas 3 RS
Pemerintah atau swasta tertentu. Juga pada tahun 2010, hampir semua
kabupaten/kota juga sudah mencanangkan program Jaminan Kesehatan Daerah
dengan berbagai variasinya. Pada tahun 2010 sebenarnya ditargetkan untuk
diundangkannya UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, namun kenyataannya
belum juga terlaksana akibat tarik ulur antara eksekutif dan legislatif mengenai
jumlah BPJS.
Isu besar lain saat ini juga adalah masalah adekuasi dan sustainabilitas dari
pembiayaan kesehatan di Indonesia, khususnya pembiayaan pemerintah. Diskusi
tentang “apakah anggaran saat ini cukup? Atau kurang?, menjadi perdebatan
yang hangat. Jika melihat kebutuhan akan dana program dari pemerintah yang
digulirkan melalui APBN (Pusat) dan atau APBD (Propinsi dan Kabupaten Kota),
maka bisa dikatakan bahwa anggaran kesehatan Indonesia relative sangat kecil
(hanya 1.7% dari total belanja pemerintah). Tetapi isu menarik berikutnya adalah
adanya sisa anggaran yang tidak terserap di kementrian kesehatan. Data pasti
belum terkumpul, namun kejadian sudah terlihat bertahun-tahun. Isu sustainablitas
yang muncul adalah masalah Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang
menjadi input system kesehatan sebagai dana bantuan program, dimana istilah
“bantuan” menimbulkan pertanyaan tentang sustainabilitas dari program tersebut.
Ada perkembangan menarik bahwa BOK ini nantinya akan menjadi Dana Tugas
Pembantuan (TP) untuk kesehatan melalui PKM, ini juga menjadi perhatian
penting karena dalam perundangan, TP dan Dekonsentrasi ini sifatnya hanya
dana pelimpahan wewenang pusat ke propinsi dan nanti selanjutnya akan
dialihkan ke Dana Alokasi Khusus (DAK). Isu menarik lain adalah mengenai
ekuitas pelayanan kesehatan antara daerah miskin dan kaya, pedesaan dan
perkotaan. Disinyalir bahwa kebijakan jamkesmas/Jamkesda atau Jampersal
hanya akan menguntungkan masyarakat perkotaan di daerah yang relatif kaya
seperti Jawa dan Sumatera mengingat ketersediaan pelayanan kesehatan di
daerah tersebut relatif lebih merata. Di samping permasalahan mengenai
pembiayaan kesehatan kuratif di atas, juga terdapat masalah pembiayaan
kesehatan di aspek promotif dan preventif. Saat ini bergulir wacana akan adanya
pengalihan sebagian hasil cukai rokok untuk promosi dan prevensi di bidang
kesehatan. Namun di sisi lain, pasal “anti rokok” di UU Kesehatan yang baru
malah “menghilang”. Selain itu, banyak ahli kesehatan masyarakat saat ini juga
memandang seolah ada dikotomi antara kuratif dan preventif/promotif; dengan
menyebutkan bahwa pemerintah sekarang terlalu cenderung membiayai kuratif
dan mengabaikan pembiayaan preventif dan promotif. Berbagai perkembangan
dan isu ini perlu diantisipasi oleh semua pihak karena akan menentukan kebijakan
yang akan diambil. PMPK akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan ilmiah
untuk memberi masukan kepada para pengambil kebijakan terkait dengan
pembiayaan
Kesehatan . Alokasi dana kesehatan hingga saat ini masih tergolong
rendah bila dibandingkan dengan Negara lain, dimana dalam pelaksanaannya
belum merata dan belum mencakup masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Alokasi dana untuk kesehatan yang di atur oleh pemerintah, sering kali terdapat
penyelewengan atau tindakan korupsi, sehingga alokasi pembiayaan kesehatan
tidak maksimal.
B. Tujuan yang Ingin di Capai
Tujuan yang ingin di capai dalam pembiayaan kesehatan, yakni :
1. Untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan
jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara
berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
setinggi-tingginya.
2. Untuk mengetahui ketentuan mengenai pembiayaan kesehatan melalui tata
cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.
C. Substansi Kebijakan
1. Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dimana kegiatan tersebut diharapkan tetap terlaksana,
berkesinambungan dan secara adil dan merata. Sumber pembiayaan
1
kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta
1
dan sumber lain.
2. Negara harus mengalokasikan 5% dari total APBN setiap tahunnya untuk
pelayanan kesehatan utamanya kesehatan public meliputi preventif,
pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif yang
dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Biaya
tersebut dilakukan secara efisien dan efektif dengan mengutamakan
pelayanan preventif dan pelayanan promotif dan besarnya sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari APBN dan APBD. Besar anggaran
kesehatan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal
sepuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah diluar gaji.
3. Alokasi pembiayaan kesehatan yang ditujukan untuk pelayanan kesehatan di
bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut
usia, dan anak terlantar
4. Tata cara penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi
kesehatan komersial.
D. Ciri Kebijakan
a. Kriteria Kebijakan
- Menekankanpadapengaturanketentuanmengenaitujuan,
unsurdansumberpembiayaankesehatan.
- Menekankan pada pelaksana pembiayaan kesehatan
- Menekankan pada alokasi (pembagian) pembiayaan kesehatan
b. Tipe pendekatan
Ada tiga pendekatan yang mungkin ditempuh, berdasarkan program-
program pembiayaan kesehatan Indonesia yang ada sekarang, diskusi
kebijakan saat ini dan Undang-undang tahun 2004 tentang Jaminan Sosial,
sebagai opsi untuk mencapai Cakupan Semesta. Ketiga opsi tersebut akan
dapat membantu mewujudkan cakupan asuransi kesehatan semesta, dan
ketiganya memiliki jumlah peserta yang cukup besar untuk pemusatan risiko
(risk pooling) yang efektif. Lepas dari pendekatan yang dipilih,
keputusankeputusan penting berkaitan dengan paket manfaat, mekanisme
berbagi biaya, pengaturan pembayaran/pengontrakkan dan modalitas untuk
menangani hambatan-hambatan dari sisi penyediaan pelayanan kesehatan
perlu dibuat. Ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
Pendekatan pertama menyerupai Layanan Kesehatan Nasional seperti
yang ada di Sri Lanka dan Malaysia, dan termasuk di dalamnya ekspansi
program Jamkesmas yang didanai pendapatan umum yang diawali untuk
mencakup warga miskin dan hamper miskin dan kemudian untuk seluruh
penduduk.
Pendekatan kedua menyerupai model Asuransi Kesehatan Sosial ‘baru’
(sekarang disebut Asuransi Kesehatan Wajib/AKW), di mana sistem AKW
didanai melalui kontribusi/iuran berdasarkan gaji bagi para pegawai pemerintah
dan sektor swasta (dan para pensiunan) dan kontribusi dari pemerintah untuk
membiayai kaum miskin dan kelompok-kelompok lain yang kurang beruntung
Pendekatan ketiga, yang dapat dianggap sebagai varian dari Opsi 2 atau
kombinasi dari Opsi 1 dan 2, memberikan cakupan jaminan kesehatan bagi
kaum miskin dan kelompok-kelompok lain yang kurang beruntung melalui
sebuah sistem yang dibiayai oleh pemerintah, sementara lain-lainnya dicakup
melalui dana-dana AKW lainnya, masing-masing dibiayai berdasarkan
kontribusi/iuran.
- Pendekatan empiric, memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu
apakah sesuatu itu ada (menyangkut fakta). Pendekatan ini lebih
menekankan penjelasan sebab akibat dari kebijakan publik. Contoh,
1
Analisis dapat menjelaskan atau meramalkan pembiayaan kesehatan
yang memusatkan pada penyediaan pembiayaan kesehatan yang
berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara
adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna dapat
menjamin terselenggaranya pembagunan kesehatan sehingga
meningkatnya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya
- Pendekatan normatif, memusatkan perhatian pada masalah pokok,
yaitu tindakan apa yang semestinya di lakukan. Pengusulan arah
tindakan yang dapat memecahkan masalah problem kebijakan,
merupakan inti pendekatan normative dimana kebijakan menetapkan
alokasi pembiayaan kesehatan harus ditujukan untuk pelayanan
kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin,
kelompok lanjut usia, dan anak terlantar.
- Pendekatan Evaluatif memusatkan pada ketentuan alokasi dana
kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturanperundang-undangan.
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI
1
1
BAB III
PREDIKSI
A. Kesimpulan
Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu kegiatan pembangunan kesehatan
yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dimana kegiatan
tersebut diharapkan tetap terlaksana, berkesinambungan dan secara adil dan merata.
Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, swasta dan sumber lain. Besar anggaran pemerintah dialokasikan minimal
lima persen dari anggaran pendapatan belanja negara diluar gaji. Besar anggaran
kesehatan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal sepuluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah diluar gaji.
Masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia yakni kurangnya dana yang
tersedia, penyebaran dana yang tidak sesuai dengan kebutuhan (equity-fairness), biaya
kesehatan yang semakin meningkat sera lemahnya mekanisme pengendalian biaya.
B. Rekomendasi
1. Pencapaian program kesehatan masih banyak belum tercapai dari target, maka
perlunya penyusunan anggaran berbasis kinerja di masa mendatang.
2. Peningkatan efektifitas dilakukan dengan mengubah penyebaran atau
alokasi penggunaan sumber dana. Berdasarkan pengalaman yang dimiliki,
maka alokasitersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang
menghasilkan dampak yang lebih besar, misalnya mengutamakan upaya
pencegahan, bukan pengobatan penyakit
3. P e n i n g k a t a n efisiensi dilakukan dengan memperkenalkan
b e r b a g a i mekanisme pengawasan dan pengendalian.
4. Untuk mencapai terjadinya pemerataan, dapat dilakukan universal coverage yang
bersifat wajib dimana penduduk yang mempunyai resiko kesehatan rendah akan
membantu mereka yang beresiko tinggi dan penduduk yang mempunyai kemampuan
membayar lebih akan membantu mereka yang lemah dalam pembayaran
1
1
1
REFERENSI