Anda di halaman 1dari 23

TUGAS INDIVIDU

Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

ANALISIS KEBIJAKAN
UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
(PASAL 66 - 70)

Oleh :

DHIKA INDRIYANI ROPSING


P1804215010
EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
RINGKASAN EKSEKUTIF
A. Isu dan Masalah Publik
Latar belakang umum lahirnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang kesehatan adalah karena beberapa pertimbangan tentang pentingnya
pembentukan sebuah undang-undang baru dari pihak-pihak yang menjadi aktor
dari perumusan dan pembentukan undang-undang. Undang-Undang ini lahir
karena untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang
kesehatan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.
Beberapa Pertimbangan sehingga Undang-Undang ini lahir adalah karena
kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, bahwa setiap
kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, serta setiap hal yang menyebabkan terjadinya
gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar bagi negara.
Isunya adalah transplantasi organ telah menjadi salah satu jalan keluar
yang paling berarti dalam dunia kedokteran modern, banyak nyawa manusia
yang tertolong dengan cara transplantasi organ ini. Yang menjadi masalah dasar
adalah tingginya permintaan transplantasi yang tentu saja diikuti dengan
tingginya permintaan organ tersebut, tidak diikuti dengan tingginya tingkat
persediaan organ. Setiap harinya orang meninggal dalam penantian untuk
mendapatkan donor organ. Meskipun terkadang telah menemukan pendonor tapi
terkadang muncul reaksi tubuh yang menolak organ baru. Masalah lain adalah
karena keterbatasan ekonomi sehingga terkadang orang menjual organ mereka,
ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan yang melarang pendonoran
organ dikomersialkan.
Isu yang lain adalah trend masa kini melakukan bedah plastic bukan
hanya ditujukan untuk memperbaiki bekas luka/konstruktif tapi lebih kepada
estetik/perbaikan penampilan. Yang menjadi masalah dasar adalah banyak
pasien bedah plastik datang ke profesi non medis karena tergiur harga murah
atau karena ketidaktahuannya. Hal ini tidak sesuai dengan pasal 69 Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2009 yang kegiatan bedah pelastik dan rekonstruksi
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Hal ini juga disebabkan karena masih minimnya
ketersediaan dokter spesialis bedah plastik di Indonesia menyebabkan banyak
penderita yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter spesialis bedah
plastik, ternyata ditangani oleh profesi kedokteran lainnya. Dan bahkan tidak
sedikit dari mereka yang membutuhkan penanganan bedah plastik, datang ke
profesi non-medis di klinik-klinik kecantikan swasta.
Yang menjadi masalah dasar dari bedah plastik ini adalah bahwa bedah
plastik tidak boleh dilakukan untuk mengubah identitas dan tidak boleh
menyalahi norma yang ada di masyarakat. Kenyataannya para transgender
mengubah jenis kelamin mereka dengan bedah plastic. Masalah lainnya adalah
Beberapa kasus implant mungkin ditangani oleh tenaga kesehatan seperti
implant Kontrasepsi KB tapi tidak dipungkiri di masyarakat juga ada yang
memasang implant lain bukan pada tenaga kesehatan. Pada penggunaan sel
punca untuk penyembuhan dan pemulihan penyakit di Indonesia masih dalam
tahap pengembangan, hal ini menjadi masalah dasar karena pengembangan sel
punca membutuhkan biaya mahal, masyarakat belum bisa menikmati
penggunaan sel punca ini untuk penyembuhan mereka.
B. Tujuan Kebijakan
Tujuan Pembuatan Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan ini adalah terwujudnya pembangunaan kesehatan yang merata di
seluruh wilayah Indonesia dan agar terwujudnya derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial
dan ekonomis
C. Tipe Pendekatan dalam Setiap Siklus dalam Kebijakan
a. Pendekatan Empiris dengan melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat
terutama yang berpeluang memunculkan gesekan di masyarakat. Terdapat
pada pasal 69 yang bisa memunculkan gesekan terutama kaum transgender
yang dilarang untuk mengubah identitas dengan bedah plastik
b. Pendekatan Valuatif dengan menekankan pada asas manfaat (nilai) yang
dirasakan oleh masyarakat dan pengambilan/penanggung jawab kebijakan
(terdapat manfaat yang bisa dirasakan masyarakat dari pelaksanaan pasal
66-70)
c. Pendekatan Normatif, dengan menilai aspek valuatifnya untuk
menindaklanjuti/menyikapi secara positif untuk berbuat/memberikan aksi,
pelaksanaan pasal 66, 69,dan 70 yang sesuai norma.
D. Substansi pokok kebijakan
Secara rinci pasal 66 membahas tentang transplantasi sel baik yang berasal dari
manusia atau hewan hanya dapat dilakukan jika terbukti aman dan bermanfaat,
pasal 67 membahas tentang pengiriman dan pengambilan specimen organ tubuh
hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan, pasal 68 membahas pemasangan
implant obat atau alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan,
pasal 69 membahas bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang punya keahlian dan pasal 70 membahas penggunaan sel
punca hanya untuk penyembuhan dan pemulihan penyakit bukan untuk tujuan
reproduksi dan sel punca yang dimaksud tidak berasal dari sel embrionik
E. Masalah yang Timbul Akibat kebijakan
Masalah baru yang mungkin timbul adalah makin tumbuh suburnya pelaku usaha
swasta yang menyediakan layanan bedah plastic, salah satunya untuk
memenuhi kebutuhan transgender yang ingin mengubah identitas, serta makin
maraknya pasar gelap yang menyediakan organ.
F. Resistensi terhadap kebijakan
a. Pada kasus bedah plastic : kaum transgender yang menginginkan perubahan
jenis kelamin dan tampilan fisik dengan bedah plastic menentang berlakunya
pasal 69 ayat 2 yang melarang bedah plastic untuk mengubah identitas.
Disatu sisi hal tersebut menyangkut hak asasi manusia sebagai individu,
mereka merasa didiskriminasi terjadi penderitaan karena badan tidak sesuai
dengan perasaannya. Mereka merasa terjadi ketidakadilan karena belum
adanya undang-undang yang mengatur permasalahan transgender dan disisi
lain adanya tentangan dari agama yang mengharamkan pergantian jenis
kelamin yang dianggap juga tidak sesuai dengan kode etik kedokteran.
b. Pada kasus transplantasi organ : Sebagian besar masyarakat Indonesia
masih merasa tidak rela jika organ tubuhnya diambil ketika dirinya atau
kerabatnya meninggal dunia. Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat
banyak pasien yang mengidap penyakit ginjal, jantung, mata yang
sebenarnya masih memiliki peluang untuk sembuh dan hidup normal terpaksa
putus harapan karena donor organ yang dibutuhkannya tak kunjung tiba. Hal
ini disebabkan karena ketidaktahuan, dan kontroversi dari sudut
agama/kepercayaan.
G. Prediksi Keberhasilan
 Prediksi keberhasilan dari pasal 66: agak sulit terpenuhi mengingat minimnya
jumlah donor organ dan yang didonor tidak bebas memilih organ mana yang
memiliki nilai keamanan dan kemanfaatan
 Prediksi keberhasilan dari pasal 67: ada kemungkinan bisa diwujudkan
karena pengambilan dan pengiriman specimen dilakukan oleh tenaga
kesehatan
 Prediksi keberhasilan dari pasal 68 : dapat diwujudkan jika ada kepatuhan
dari aktor kebijakan, hal ini agak sulit jika tidak ada sanksi yang diberikan
terhadap pelanggaran.
 Prediksi keberhasilan dari pasal 69 : dapat diwujudkan jika ada kepatuhan
dari aktor kebijakan, hal ini agak sulit jika tidak ada sanksi yang diberikan
terhadap pelanggaran..
 Prediksi keberhasilan dari pasal 70 : agak sulit dipenuhi karena
pengembangan sel punca di Indonesia masih dalam tahapan penelitian
pengembangaan
H. Kesimpulan-Rekomendasi
a. Kesimpulan :
Pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
khususnya pasal 66 – 70 masih mengalami kendala karena minimnya
persediaan organ, minimnya tenaga dokter spesialis bedah plastic,
pemasangan implant dan bedah plastic terkadang dilakukan oleh tenaga non
medis yang berkompeten, serta penggunaan sel punca belum bisa dinikmati
oleh masyarakat karena hal tersebut masih dalam tahap penelitian
pengembangan penggunaan sel punca untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan.
b. Rekomendasi :
a. Penerapan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 khususnya pasal 66–
70 masih perlu disosialisasikan, hal disebabkan karena masih maraknya
pelanggaran transplantasi organ, pemasangan implant dan bedah plastic
yang dilakukan oleh tenaga non medis.
b. Perlu sosialisasi pengertian profesi bedah plastic dengan memberikan
motivasi dokter muda agar mau menekuni ilmu bedah plastic sehingga
kedepannya lebih banyak tersedia tenaga dokter spesialis bedah plastic.
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
RINGKASAN EKSEKUTIF ii
DAFTAR ISI vii
BAB I. KAJIAN KEBIJAKAN 1
A. Masalah Dasar ……. 1
B. Tujuan Yang Ingin Dicapai ……. 6
C. Substansi Kebijakan (Isi Utama) 7
D. Ciri Kebijakan 8
BAB II. KONSEKUENSI DAN RESISTENSI 11
A. Perilaku yang Muncul (Positif dan Negatif) 11
B. Resistensi 12
C. Masalah Baru yang Timbul 13
BAB III. PREDIKSI KEBERHASILAN ………………………………………………. 14
A. Prediksi “Trade Off” 14
B. Prediksi Keberhasilan 14
BAB IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 16
A. Kesimpulan 16
B. Rekomendasi 16
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN

A. MASALAH DASAR
Dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dimana
dalam pasal 66-70 memuat tentang transplantasi sel, pemasangan implant obat
atau alat kesehatan, bedah plastik dan penggunaan sel punca. Secara rinci
pasal 66 membahas tentang transplantasi sel baik yang berasal dari manusia
atau hewan hanya dapat dilakukan jika terbukti aman dan bermanfaat, pasal 67
membahas tentang pengiriman dan pengambilan specimen organ tubuh hanya
boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan, pasal 68 membahas pemasangan
implant obat atau alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan,
pasal 69 membahas bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang punya keahlian dan pasal 70 membahas penggunaan
sel punca hanya untuk penyembuhan dan pemulihan penyakit bukan untuk
tujuan reproduksi dan sel punca yang dimaksud tidak berasal dari sel embrionik.
Penerapan masing-masing pasal ini di masyarakat tentu tidak semuanya
diterapkan dengan baik.
Sejak kesuksesan transplantasi ginjal yang pertama kali pada 23
Desember 1954, maka teknologi medis transplantasi mengalami perkembangan
yang luar biasa. Riset dan pengembangan terus menerus dilakukan sehingga
saat ini sudah ada teknologi yang memungkinkan pengawetan organ,
penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin canggih dan baik
sehingga memungkinkan berbagai organ manusia dapat ditransplantasikan dan
donor tidak hanya berasal dari kalangan keluarga sedarah saja,tapi siapapun
bisa menjadi donor dengan adanya obat-obatan anti penolakan ini. Di Indonesia
sendiri transplantasi pertama berhasil dilakukan pada tahun 1977 di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo.
Abad ini transplantasi organ telah menjadi salah satu jalan keluar yang
paling berarti dalam dunia kedokteran modern, banyak nyawa manusia yang
tertolong dengan cara transplantasi organ ini. Didukung dengan semakin
majunya ilmu dan teknologi bidang transplantasi organ manusia maka tingkat
keberhasilan dari transplantasi yang dilakukan pun semakin tinggi. Tingkat
kelangsungan hidup dari pasien penerima donorpun saat ini sangat tinggi,
sehingga akibatnya permintaan untuk melakukan transplantasi maupun akan
organ itu sendiripun meningkat secara global diseluruh dunia termasuk di
Indonesia.
Yang menjadi masalah dasar adalah tingginya permintaan transplantasi
yang tentu saja diikuti dengan tingginya permintaan organ tersebut, tidak diikuti
dengan tingginya tingkat persediaan organ. Setiap harinya orang meninggal
dalam penantian untuk mendapatkan donor organ. Meskipun terkadang telah
menemukan pendonor tapi terkadang muncul reaksi tubuh yang menolak organ
baru. Masalah lain adalah karena keterbatasan ekonomi sehingga terkadang
orang menjual organ mereka, ini tidak sesuai dengan Undang-Undang
Kesehatan yang melarang pendonoran organ dikomersialkan.
Mencari donor organ tubuh di Indonesia masih sangat sulit. Kesadaran
masyarakat Indonesia, baik itu individu maupun anggota keluarganya untuk
mendonorkan organ tubuh masih sangat rendah. Rendahnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya menjadi donor organ didorong oleh kurangnya
pemahaman terhadap pentingnya ketersediaan organ bagi manusia lain, bagi
kelangsungan hidup penderita gagal organ, disamping sosiokultur dan
pandangan keagamaan yang menghambat kesadaran untuk mendonorkan
organnya. Sehingga tidaklah mengherankan donor sangat sulit didapatkan di
Indonesia.
Akibat buruk yang muncul dari masalah kekurangan ketersediaan organ
sedangkan permintaan akan donor organ yang tinggi adalah munculnya
perdagangan organ illegal, pasar illegal dan lebih lanjut dapat mendorong
perdagangan manusia. Keterbatasan organ menyebabkan harga organ menjadi
tinggi, sehingga yang muncul dalam masyarakat adalah karena kebutuhan
ekonomi tidak jarang ditemui pemasangan iklan secara terang-terangan menjual
organnya karena kemiskinannya, kemudian kasus penculikan bayi di Rumah
Sakit maupun klinik-klinik bersalin dan penculikan dan dugaan perdagangan
anak disinyalir sebagai upaya perolehan organ secara illegal.
Bedah plastik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai tindakan
medis yang berkaitan dengan koreksi atau restorasi bentuk dan fungsi tubuh.
Bedah plastik adalah cabang ilmu bedah yang mengkhususkan pada
penanganan deformitas serta cacat bawaan pada kulit dan jaringan lunak yang
disertai kerangka muskuloskeletal tertentu di bawahnya. Bedah plastik sendiri
lalu berkembang menjadi dua bidang, yaitu bedah plastik rekonstruksi, dan
bedah plastik kosmetik atau estetik. Bedah plastik rekonstruksi bertujuan
memperbaiki struktur abnormal tubuh karena cacat bawaan/defek atau cacat
yang didapat misalnya memperbaiki bibir sumbing, ataupun luka karena
kebakaran atau kecelakaan. Sementara bedah plastik kosmetik bertujuan
memperbaiki atau membentuk kembali struktur normal dari tubuh agar
berpenampilan lebih baik. Ini banyak dilakukan oleh wanita atau artis artis
Indonesia untuk memperbaiki penampilan mereka
Yang menjadi masalah dasar adalah banyak pasien bedah plastik datang
ke profesi non medis karena tergiur harga murah atau karena ketidaktahuannya.
Hal ini tidak sesuai dengan pasal 69 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
yang kegiatan bedah pelastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini
juga disebabkan karena masih minimnya ketersediaan dokter spesialis bedah
plastik di Indonesia menyebabkan banyak penderita yang seharusnya ditangani
oleh seorang dokter spesialis bedah plastik, ternyata ditangani oleh profesi
kedokteran lainnya. Dan bahkan tidak sedikit dari mereka yang membutuhkan
penanganan bedah plastik, datang ke profesi non-medis di klinik-klinik
kecantikan swasta.
Yang menjadi masalah dasar dari bedah plastik ini adalah bahwa bedah
plastik tidak boleh dilakukan untuk mengubah identitas dan tidak boleh
menyalahi norma yang ada di masyarakat. Kenyataannya para transgender
mengubah jenis kelamin mereka dengan bedah plastik. Salah satu contoh kasus
mengenai transgender yang terjadi di Indonesia adalah kasus dari Nadia Ilmira
Akardia, yang semula adalah seorang lelaki yang kemudian berganti kelamin
menjadi perempuan. Niat Nadia menjadi perempuan telah ada sejak lama, dan
sebelum melakukan operasi kelamin Nadia telah merombak penampilannya
menyerupai seorang perempuan. Tindakan Nadia berganti kelamin di kritik oleh
MUI (Majelis Ulama Indonesia) karena dinilai melenceng dari norma agama dan
tidak ingin operasi ganti kelamin menjadi tren di Indonesia, selain itu MUI
menganggap operasi kelamin bertentangan dengan kode etik kedokteran.
Beberapa kasus implant mungkin ditangani oleh tenaga kesehatan seperti
implant Kontrasepsi KB tapi tidak dipungkiri di masyarakat juga ada yang
memasang implant bukan pada tenaga kesehatan. Pada penggunaan sel punca
untuk penyembuhan dan pemulihan penyakit di Indonesia masih dalam tahap
pengembangan, hal ini menjadi masalah dasar karena pengembangan sel
punca membutuhkan biaya mahal, masyarakat belum bisa menikmati
penggunaan sel punca ini untuk penyembuhan mereka.
Penggunaan sel punca yang diambil dari sum-sum tulang dan tali pusat
bisa dipakai untuk penyembuhan dan pemulihan penyakit. Hal tersebut
merupakan sel punca dewasa, dianggap kurang optimal hasilnya daripada sel
punca embrionik. Dalam hal tipe jaringan yang bisa dibentuk, pengembangan
sel punca embrionik yang mampu membentuk beragam tipe jaringan terbentur
masalah etika karena embrio harus dihancurkan bila hendak diambil sel
puncanya. Ini berarti menghilangkan satu kehidupan yang dimulai sejak
pembuahan. Hal ini sejalan dengan pasal 70 dari undang-undang kesehatan
nomor 36 tahun 2009 yang melarang penggunaan sel punca dari embrionik.
1. Macam masalah : Penerapan pasal 66-70 pada Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 di masyarakat belum sepenuhnya terlaksana dengan baik.
Beragam macam masalah yang muncul yaitu :
a. Tingginya kebutuhan transplantasi organ tidak seimbang dengan
persediaan organ dimasyarakat, hal tersebut memicu adanya pasar illegal
organ, orang miskin rela menjual organ tubuhnya, penculikan bayi dan
anak yang disinyalir sebagai dugaan perolehan organ secara ilegal, hal ini
tidak sejalan dengan Undang-undang yang melarang kegiatan donor
organ untuk dikomersialkan.
b. Kegiatan implant, bedah plastic terkadang ditangani bukan oleh tenaga
kesehatan. Hal ini disebabkan karena minimnya jumlah dokter ahli bedah
plastik di Indonesia juga karena operasi tersebut mahal sehingga orang
yang mengiginkan perbaikan penampilan terkadang tergiur dengan biaya
murah dan mencoba di klinik yang tidak ditangani tenaga non medis.
Kaum transgender juga melakukan bedah plastic untuk mengubah
identitas mereka, ini tidak sejalan dengan undang-undang yang melarang
pengubahan identitas dengan bedah plastik
c. Penggunaan sel punca untuk penyembuhan dan pemulihan penyakit
belum sepenuhnya berkembang di Indonesia. Hal tersebut belum bisa
dinikmati masyarakat Indonesia disebabkan karena pengembangan sel
punca membutuhkan biaya mahal. Hal ini belum sepenuhnya sejalan
dengan harapan mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
2. Nilai : Setiap kebijakan selalu mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan
untuk menciptakan tatanilai baru atau norma baru dalam organisasi.
Seringkali nilai yang ada di masyarakat atau anggota organisasi berbeda
dengan nilai yang ada di pemerintah. Oleh karena itu perlu partisipasi dan
komunikasi yang intens pada saat merumuskan kebijakan. Pada pasal 66-70
UU Nomor 36 tahun 2009, nilai yang terkandung didalamnya ialah :
a. Nilai perlindungan : pada pasal 66-70 ini secara tersirat bahwa pemerintah
ingin melindungi setiap warga negaranya dengan melarang kegiatan
transplantasi organ, implant obat/alat kesehatan, bedah plastic, sel punca
dilakukan oleh tenaga non kesehatan. Kegiatan tersebut harus dilakukan
oleh tenaga yang ahli supaya resiko kematian atau timbulnya efek yang
buruk bisa dihindarkan.
b. Nilai kemanusiaan : pembangunan kesehatan harus dilandasi atas
perikemanusiaan misalnya kegiatan transplantasi organ dilakukan dengan
tujuan kemanusiaan bukan komersial, harus memperhatikan kesehatan
pendonor dan atas persetujuan pendonor,ahli waris atau keluarga.
c. Nilai manfaat : adanya jaminan bahwa kegiatan transplantasi organ yang
dibolehkan hanyalah yang terbukti keamanan dan kemanfaatannya. Dan
pelarangan sel punca dari embrionik memberikan kemanfaatan bahwa
untuk menyembuhkan 1 nyawa tidak harus mengorban kehidupan nyawa
lain/embrio.
d. Nilai agama : kegiatan bedah plastic yang tujuannya mengubah identitas
dilarang karena tidak sesuai dengan nilai agama. Dalam islam dilarang
mengubah ciptaan allah dalam hal ini jenis kelamin yang diperoleh saat
lahir karena dengan mengubah berarti tidak mensyukuri nikmat Allah.
3. Karakteristik : Karakteristik yang ada dalam pasal 66 – 70 Undang - Undang
Nomor 36 tahun 2009 ini adalah masing-masing pasal mensyaratkan bahwa
baik itu kegiatan transplantasi organ, pengiriman dan pengambilan organ
tubuh, implant obat atau alat kesehatan dalam tubuh, pelaksanaan bedah
plastik baik untuk estetik atau konstruktif, penggunaan sel punca semuanya
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya dan dilakukan
disarana kesehatan. Karekteristik lain adalah masing-masing syarat dan tata
cara pelaksanaan kegiatan tersebut sama sama akan diatur dalam peraturan
pemerintah.
4. Aktor : Aktor yang berperan dalam pelaksanaan dan penerapan pasal 66 –
70 Undang - Undang Nomor 36 tahun 2009 ini adalah
a. Pemerintah : baik pemerintah pusat maupun daerah yang dengan adanya
undang-undang ini sebagai payung hukum pelaksanaan pengawasan
kegiatan Transplantasi organ, implant obat/alat kesehatan dalam tubuh,
bedah plastik dan penggunaan sel punca yang terjadi di masyarakat bisa
sesuai dengan yang diharapkan
b. Masyarakat : dengan adanya undang-undang ini, berarti menjamin bahwa
kebutuhan akan layanan tranplantasi organ, bedah plastic dan
penggunaan sel punca bisa mereka peroleh
c. Tenaga kesehatan : dengan adanya undang-undang ini, tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian diberi kewenangan dan tanggungjawab
melaksanakan transplantasi organ, implant, bedah plastic sesuai
ketentuan Undang-Undang.
5. Isu Publik : yang menjadi isu public terkait dengan pelaksanaan dan
penerapan pasal 66 – 70 Undang - Undang Nomor 36 tahun 2009 ini adalah
a. Kegiatan bedah plastik yang mengubah identitas dari segi undang-undang
kesehatan dan norma agama dilarang pelaksanaannya tapi dari segi hak
asasi seorang transgender mereka tidak terpenuhi keinginannya karena
perasaannya tidak sesuai dengan badannya.
b. Isu public yang lain dalam masalah transplantasi organ, masih minimnya
jumlah orang yang mau mendonorkan organnya dengan alasan
kemanusiaan, hal ini disebabkan ketakutan dan ketidaktahuannya serta
kadang dianggap tidak sesuai dengan kepercayaan agama.
B. TUJUAN YANG INGIN DICAPAI
Dengan penerapan dan pelaksanaan pasal 66 – 70 Undang - Undang Nomor 36
tahun 2009 di masyarakat maka tujuan yang ingin dicapai yaitu :
a. Memberikan perlindungan keselamatan pasien dengan melarang kegiatan
donor organ dilakukan jika tidak terbukti keamanan dan kemanfaatannya
serta harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
dilakukan di fasilitas kesehatan tertentu
b. Memberikan perlindungan keselamatan pasien dengan melarang kegiatan
pemasangan implant obat dan alat kesehatan dalam tubuh manusia harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan dilakukan di
fasilitas kesehatan tertentu
c. Memberikan perlindungan keselamatan pasien dengan melarang kegiatan
bedah plastic dan rekonstruksi hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
d. Memberikan perlindungan kehidupan baru dengan melarang penggunaan sel
punca yang berasal dari sel punca embrionik.
C. SUBSTANSI KEBIJAKAN (ISI UTAMA)
Yang menjadi substansi atau isi utama dalam kebijakan pasal 66-70 UU Nomor
36 tahun 2009 adalah diaturnya pelaksanaan transplantasi organ, pemasangan
implant obat atau alat kesehatan dalam tubuh, pelaksanaan bedah plastik baik
untuk estetik atau konstruktif, penggunaan sel punca semuanya harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang ahli dibidangnya dan dilakukan disarana kesehatan
tertentu. Terlihat secara rinci sebagai berikut :

Pasal 66
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya
dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.

Pasal 67
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman
spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan pemasangan
implan obat dan/atau alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 69
(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastic dan rekonstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan
reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel
punca embrionik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
D. CIRI KEBIJAKAN
1. KRITERIA KEBIJAKAN
a. Efektifitas
Pemaparan pasal 67-70 masih membutuhkan peraturan menteri
lainnya sehingga informasi yang tersedia masih sangat minim, misalnya
pada pasal 69 ayat 3 dikatakan bahwa Ketentuan mengenai syarat dan
tata cara bedah plastic dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tetapi tidak
dijelaskan baik secara garis besar mengenai syarat-syaratnya, tata
caranya, indikasi apa yang membolehkan seseorang bisa mendapatkan
layanan bedah plastic, fasilitas kesehatan tertentu mana saja yang
menyediakan layanan tersebut.
b. Efisiensi
Dari kegiatan transplantasi organ, pemasangan implant, bedah
plastic, penggunaan sel punca dalam pelaksanaanya dari sisi pembiayaan
semua membutuhkan biaya yang besar, yang murah hanya pada implant
KB. Besarnya biaya disebabkan karena operasinya yang rumit,
menyangkut organ vital.
c. Kecukupan
Belum cukup menerangkan syarat dan tata cara pengambilan dan
pengiriman specimen atau bagian organ tubuh yang benar, belum cukup
menerangkan transplantasi sel yang terbukti keamanannya itu seperti apa
(pasal 66-67) dan tidak cukup menerangkan syarat dan tata cara
pemasangan implant, bedah plastic dan penggunaan sel punca pada
padal 68-70.
d. Responsivitas
Diasumsikan belum bisa mengakomodir semua substansi yang
diperlukan pelaksanaan transplantasi organ dan bedah plastik, buktinya
dengan masih adanya pelanggaran terkait bedah plastic yang merubah
identitas seperti yang dilakukan oleh Nadia Ilmira Akardia
e. Ketepatan
Terkait apakah kebijakan tersebut benar-benar diperlukan.
Kebijakan ini jelas sangat diperlukan karena jika tidak diatur akan
menimbulkan perilaku mengarah kepada pelanggaran hukum pidana dan
norma agama di Indonesia.
2. TIPE PENDEKATAN
d. Pendekatan Empiris dengan melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat
terutama yang berpeluang memunculkan gesekan di masyarakat.
Terdapat pada pasal 69 yang bisa memunculkan gesekan terutama kaum
transgender yang dilarang untuk mengubah identitas dengan bedah
plastik
e. Pendekatan Valuatif dengan menekankan pada asas manfaat (nilai) yang
dirasakan oleh masyarakat dan pengambilan/penanggung jawab
kebijakan (terdapat manfaat yang bisa dirasakan masyarakat dari
pelaksanaan pasal 66-70)
f. Pendekatan Normatif, dengan menilai aspek valuatifnya untuk
menindaklanjuti/menyikapi secara positif untuk berbuat/memberikan aksi,
pelaksanaan pasal 66, 69,dan 70 yang sesuai norma.
3. PASAL YANG BERMASALAH
a. Pasal 69 ayat 1 karena realitas yang terjadi di masyarakat bedah plastic
kadang ditangani oleh bukan tenaga non medis atau bukan ditangani oleh
dokter spesialis bedah plastic sehingga bisa merugikan masyarakat
b. Pasal 69 ayat 2 karena realitas masih ada kasus yang melakukan bedah
plastic dengan tujuan mengubah identitas yang dilakukan oleh
transgender yang tidak sesuai dengan norma agama
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI

A. PERILAKU YANG MUNCUL (POSITIF DAN NEGATIF)


a. Perilaku Positif : dengan adanya pasal 66-70 Undang-undang Nomor 36
tahun 2009 memberikan perilaku positif yaitu
 Pemerintah sebagai pelaksana dituntut eksistensinya dalam
pengembangan transplantasi organ, pemasangan implant obat dan alat
kesehatan, bedah plastic dan pengembangan penggunaan sel punca agar
menyiapkan tenaga kesehatan yang ahli dalam hal tersebut
 Pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat menyiapkan sarana
kesehatan yang terdapat didalamnya fasilitas transplantasi organ, implant,
bedah plastic dan penggunaaan sel punca karena minimnya sarana
kesehatan di propinsi atau kabupaten karena selama ini hanya terpusat di
Ibukota
 Adanya harapan baru bahwa transplantasi organ, pemasangan implant,
bedah plastic yang dilakukan sesuai prosedur maka yang diperoleh
hanyalah keamanan dan kemanfaatannya.
b. Perilaku Negatif :
 terdapatnya kebutuhan masyarakat terhadap perlunya transplantasi organ,
pemasangan implant, bedah plastic, membuat hal tersebut menjadi
komoditi yang menjanjikan untuk pelaku bisnis. Tetapi pada kenyataannya
masih banyak pelaku bisnis kegiatan tersebut yang hanya melihat dari sisi
keuntungan tanpa memperhatikan standar keamanan dan kemanfaatan
sehingga dapat merugikan masyarakat.
 Kurang tersedianya donor organ untuk alasan kemanusiaan karena
ketakutan akan efek negatif jika seseorang menjadi pendonor baik itu
sebagai donor hidup atau mati serta kontroversi boleh tidaknya
mendonorkan organ dari kaidah agama. Hal tersebut menyebabkan
sulitnya diperoleh organ sehingga organ menjadi barang yang mahal,
seseorang yang terbelit kemiskinan tidak jarang mau menjual organnya
kepada yang membutuhkan.
 Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat mengenai bedah plastic,
implant, transplantasi sel dan penggunaan sel punca masih minim
 Lemahnya sanksi pidana terhadap pihak yang melakukan penjualan organ,
pemasangan implant dan melakukan bedah plastic yg membahayakan
kesehatan masyarakat.
B. RESISTENSI
Resistensi dapat diartikan sebagai sebuah sikap untuk berperilaku bertahan,
berusaha melawan, dan menentang
1. BENTUK :
a. Pada kasus bedah plastic : kaum transgender yang menginginkan
perubahan jenis kelamin dan tampilan fisik dengan bedah plastic
menentang berlakunya pasal 69 ayat 2 yang melarang bedah plastic untuk
mengubah identitas. Disatu sisi hal tersebut menyangkut hak asasi manusia
sebagai individu, mereka merasa didiskriminasi terjadi penderitaan karena
badan tidak sesuai dengan perasaannya. Mereka merasa terjadi
ketidakadilan karena belum adanya undang-undang yang mengatur
permasalahan transgender dan disisi lain adanya tentangan dari agama
yang mengharamkan pergantian jenis kelamin yang dianggap juga tidak
sesuai dengan kode etik kedokteran.
b. Pada kasus transplantasi organ : Sebagian besar masyarakat Indonesia
masih merasa tidak rela jika organ tubuhnya diambil ketika dirinya atau
kerabatnya meninggal dunia. Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat
banyak pasien yang mengidap penyakit ginjal, jantung, mata yang
sebenarnya masih memiliki peluang untuk sembuh dan hidup normal
terpaksa putus harapan karena donor organ yang dibutuhkannya tak
kunjung tiba. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan, dan kontroversi dari
sudut agama/kepercayaan.
2. AKTOR
Resistensi dapat dilakukan oleh masyarakat (kaum transgender), keluarga
pendonor, tenaga kesehatan yang melakukan bedah plastic meskipun bukan
seorang dokter spesialis bedah plastic dan pihak swasta yang ingin mencari
keuntungan sebesar-besarnya.
3. SUMBER
Yang menjadi sumber resistensi pada penerapan pasal 66-70 Undang-Undang
No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ini adalah individu dan organisasi
swasta. Pada individu yang menjadi sumber resistensi terjadi karena
ketidaktahuan atau kurangnya informasi sedangkan pada organisasi atau
pelaku bisnis swasta yang menjadi sumber resistensi terjadi karena
mengancam sumber penghasilan
4. INTENSITAS
Resistensi terhadap kebijakan ini akan senantiasa ada dengan intensitas yang
tinggi karena publik lebih melihat sisi kemungkinan penyelewengan dibanding
upaya Pemerintah untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan pelayanan
public dibidang kesehatan.
C. MASALAH BARU YANG TIMBUL
Masalah baru yang mungkin timbul adalah makin tumbuh suburnya pelaku usaha
swasta yang secara sembunyi-sembunyi menyediakan layanan bedah plastic
salah satunya untuk memenuhi kebutuhan transgender yang ingin mengubah
identitas, serta makin maraknya pasar gelap yang menyediakan organ.
BAB III
PREDIKSI KEBERHASILAN

A. PREDIKSI “TRADE OFF”


Analisis Trade-off merupakan bantuan untuk mendapatkan sebuah kebijakan
yang akomodatif melalui proses analisis kebijakan publik yang melibatkan
banyak ragam stakeholders dengan banyak kepentingan sehingga dalam
pengelolaan berbagai kepentingan ini harus dilakukan secara bijak dan tidak ada
yang dimenangkan atau dikalahkan (win-win solution). Metode ini sangat
signifikan manfaatnya dalam kebijakan yang menyangkut pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan serta kebijakan lain yang menyangkut kepentingan
publik. Prediksi “trade off” undang-undang no.36 tahun 2009 pasal 66 - 70 yakni:
Pasal 66 : adanya kejelasan bahwa transplantasi sel yang berasal dari manusia
dan hewan hanya boleh dilakukan jika ada jaminan keamanan dan
kemanfaatan.
Pasal 67: adanya batasan bahwa pengambilan dan pengiriman specimen atau
bagian organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang berkompeten sesuai dengan syarat dan tata cara yang
ditetapkan
Pasal 68: adanya perlindungan bahwa pemasangan implant obat atau alat
kesehatan hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten
Pasal 69: adanya batasan bahwa bedah plastic tidak boleh dilakukan dengan
tujuan mengubah identitas
Pasal 70: adanya larangan penggunaan sel punca untuk tujuan reproduksi, sel
punca hanya untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
B. PREDIKSI KEBERHASILAN
 Prediksi keberhasilan dari pasal 66: agak sulit terpenuhi mengingat minimnya
jumlah donor organ dan yang didonor tidak bebas memilih organ mana yang
memiliki nilai keamanan dan kemanfaatan
 Prediksi keberhasilan dari pasal 67: ada kemungkinan bisa diwujudkan
karena pengambilan dan pengiriman specimen dilakukan oleh tenaga
kesehatan
 Prediksi keberhasilan dari pasal 68 : dapat diwujudkan jika ada kepatuhan
dari aktor kebijakan, hal ini agak sulit jika tidak ada sanksi yang diberikan
terhadap pelanggaran.
 Prediksi keberhasilan dari pasal 69 : dapat diwujudkan jika ada kepatuhan
dari aktor kebijakan, hal ini agak sulit jika tidak ada sanksi yang diberikan
terhadap pelanggaran..
 Prediksi keberhasilan dari pasal 70 : agak sulit dipenuhi karena
pengembangan sel punca di Indonesia masih dalam tahapan penelitian
pengembangaan
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN
Kebijakan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 khususnya pasal 66 –
70 ada untuk mengakomodir kelemahan udang-undang sebelumnya. Tujuan
terkait pasal 66-70 memberikan jaminan perlindungan pasien agar kegiatan
transplantasi sel, pengambilan dan pengiriman spesimen organ, pemasangan
inplant obat dan alat kesehatan dalam tubuh, pelaksanaan bedah plastic dan
penggunaan sel punca dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ahli dan
berwenang.
Pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
khususnya pasal 66 – 70 masih mengalami kendala karena minimnya persediaan
organ, minimnya tenaga dokter spesialis bedah plastic, pemasangan implant dan
bedah plastic terkadang dilakukan oleh tenaga non medis yang berkompeten,
serta penggunaan sel punca belum bisa dinikmati oleh masyarakat karena hal
tersebut masih dalam tahap penelitian pengembangan penggunaan sel punca
untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan.
B. REKOMENDASI
a. Penerapan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 khususnya pasal 66 – 70
masih perlu disosialisasikan, hal disebabkan karena masih maraknya
pelanggaran transplantasi organ, pemasangan implant dan bedah plastic
yang dilakukan oleh tenaga non medis.
b. Perlu sosialisasi pengertian profesi bedah plastic dengan memberikan
motivasi dokter muda agar mau menekuni ilmu bedah plastic sehingga
kedepannya lebih banyak tersedia tenaga dokter spesialis bedah plastic.
c. Perlu peningkatan pemahaman terhadap pentingnya ketersediaan organ
bagi manusia lain
d. Perlunya peningkatan biaya penelitian pengembangan penggunaan sel
punca agar dapat digunakan oleh masyarakat untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai