0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
8 tayangan3 halaman
Dokumen tersebut merangkum bab 10 tentang pernikahan dan kontekstualisasinya dalam Islam. Ia menjelaskan bahwa pernikahan adalah ikatan suci yang dimulai dengan ijab qabul berdasarkan Al-Quran dan hadis. Dokumen juga membahas rukun, syarat, larangan, dan perbedaan praktik pernikahan sebelum dan sesudah Islam.
Deskripsi Asli:
Judul Asli
19204241035_Ainun Nurfadhila Syahban_B_RESUME BAB 10
Dokumen tersebut merangkum bab 10 tentang pernikahan dan kontekstualisasinya dalam Islam. Ia menjelaskan bahwa pernikahan adalah ikatan suci yang dimulai dengan ijab qabul berdasarkan Al-Quran dan hadis. Dokumen juga membahas rukun, syarat, larangan, dan perbedaan praktik pernikahan sebelum dan sesudah Islam.
Dokumen tersebut merangkum bab 10 tentang pernikahan dan kontekstualisasinya dalam Islam. Ia menjelaskan bahwa pernikahan adalah ikatan suci yang dimulai dengan ijab qabul berdasarkan Al-Quran dan hadis. Dokumen juga membahas rukun, syarat, larangan, dan perbedaan praktik pernikahan sebelum dan sesudah Islam.
NIM : 19204241035 Kelas : B (Pendidikan Bahasa Prancis) Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam
RESUME BAB 10 (PERNIKAHAN DAN KONTEKSTUALISASINYA DALAM ISLAM)
Pernikahan sebagai mitsaqan galidzan yaitu sebuah ikatan yang kokoh, ikata tersebut mulai diakui ketika telah terucapnya sebuah perjanjian yang tertuang dalam bentuk ijab dan qabul. Penjelasan tentang pernikahan ini terdapat dalam dasar hukum pernikahan yaitu Q.S An- Nisa 4:3, Ar-Rum 30:21, dan An-Nur 24:32. Kemudian prinsip prinsip dalam pernikahan yaitu Prinsip Kebebasan Memilih, Prinsip Musyawarah dan Demokrasi, Prinsip Menghindari Kekerasan, Prinsip Hubungan yang Sejajar, Prinsip Keadilan, Prinsip Mawaddah, Prinsip Rahmah, Prinsip amanah/ tanggung jawab, dan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf. Berdasarkan Alquran dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa hal-hal yang termasuk rukun pernikahan adalah a) calon suami, b) calon isteri, c) wali nikah, d) dua orang saksi, dan e) ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hanbali (Yunus, 1996: 18). Adapun syarat-sahnya nikah, menurut Wahbah Zuhaili adalah : a) antara suami isteri tidak ada hubungan nasab, b) sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, c) adanya persaksian, d) tidak ada paksaan, e) ada kejelasan calon suami isteri, f) tidak sedang ihram, g) ada mahar, h) tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai, i) tidak sedang menderita penyakit kronis, dan j) adanya wali (Az-Zuhaili, 1989: 62). Faktor penghalang terjadinya perkawinan ada dua macam, yang pertama adalah penghalang selama-lamanya, yang kedua adalah penghalang sementara. Penghalang selama-lamanya adalah: 1. Antara suami isteri masih memiliki hubungan nasab. 2. Antara suami isteri mempunyai hubungan sepersusuan. 3. Antara suami isteri mempunyai hubungan semenda/perkawinan. Larangan perkawinan yang bersifat sementara adalah sebagai berikut. 1. Calon isteri masih menjalani ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki. ”Seorang perempuan yang mempunyai ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki, tidak bisa melakukan perkawinan dengan laki-laki lain” (KHI Pasal 40). 2. Memadukan dua orang perempuan yang sedarah, dalam hal seorang suami mempunyai isteri lebih dari satu (KHI, Pasal 41). 3. Isteri orang lain atau bekas isteri orang lain yang sedang menjalani masa iddah. Wanita yang mengalami masa iddah, atau masa tunggu setelah terputusnya hubungan perkawinan, tidak diperbolehkan menikah lagi dengan laki-laki lain sampai habis masa tunggunya. Tujuan iddah adalah untuk membersihkan rahim perempuan dan memastikan bahwa tidak ada benih yang tertanam dari suami sebelumnya. 4. Perempuan yang ditalak tiga kali, atau dicerai secara li’an. Bagi suami yang mentalak tiga kali isterinya, atau bersumpah di depan hakim bahwa isterinya menyeleweng dan kemudian menceraikannya (li’an), tidak boleh menikahinya kembali sebelum perempuan tersebut dinikahi oleh laki-laki lain dalam perkawinan yang sah (Ash-Shabuni, 1985: 122; KHI Pasal 43). 5. Kedua calon mempelai tidak sedang dalam keadaan ihram (haji atau umruh). 6. Khusus untuk calon mempelai laki-laki, tidak beristerikan lebih dari empat orang. (KHI, Pasal 55). Praktik pernikahan sebelum dan sesudah datangnya islam sangat berbeda seperti jika dilihat dari Konsep Wali dan Mahar, Pada masa pra Islam wali berhak menentukan jodoh untuk anaknya di samping sebagai bentuk kuasa laki-laki atas perempuan sedangkan setelah datangnya islam wali sebagai bentuk perwalian aanak perempuan tanpa adanya bentuk paksaan, begitu juga dengan praktik pemberian mahar (mas kawin) bagi pengantin perempuan yang dimana pada masa pra islam mahar lebih dikenal sebagai harga perempuan tetapi setelah datangnya islam mahar bermakna sebagai bentuk kasih sayang pengantin laki-laku kepada pengantin perempuan. Demikian juga dengan praktik pernikahannya sangat sangat berbeda pada masa pra islam lebih bersifat partriarki, perempaun sebagai objek yang harus tunduk pada laki-laki, yang menentukan pernikahan adalah ayah, kaka laki laki, keponakan laki laki atau saudara laki lakinya yang lain dari pihak keluarga. Sedangkan praktik pernikahan sesudah datangnya islam lebih bersifat kontraktual, konsep perkawinan sebagai sebuah akad yang sakral dan bernilai ibadah tidak tampak. Bentuk perkawinan yang ada dilangsungkan tidak dengan ketentuan syariat Islam yang berlaku, melainkan cenderung kepada kepentingan pihak-pihak tertentu dengan kesepakatan tradisi tersebut. Dalam penyelenggaraannya pun sampai sekarang sebenarnya masih memiliki kontroversi contohnya adanya poligami (memiliki istri lebih dari satu), adanya pernikahan siri (pernikahan yang sah secara agama namun belum sah secara hukum negara indonesia), adanya perkawinan mut'ah (perkawinan yang memiliki kontrak atau perjanjian sebelumnya) dan adanya pernikahan sesama jenis.