Makalah Manajemen Resiko Dan Pembiayaan Bank Syari'Ah
Makalah Manajemen Resiko Dan Pembiayaan Bank Syari'Ah
Disusun Oleh :
Tukmaninah (341119016)
i
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya. Sehingga penyusunan makalah ini yang berjudul
“Manajemen Risiko kredit dan pembiayaan” dapat terselesaikan. Disusunnya
makalah ini untuk memenuhi tugas fiqh muamalah kontemporer dengan dosen
pengampu bapak Fathur Rokhman M.E., sholawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan makalah ini selain sebagai tugas juga bermaksud untuk
memberikan wawasaan terhadap pembaca, semoga makalah ini bermanfaat serta
menambah pengetahuan pembaca. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini
banyak kekurangan, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran dari pembaca.
penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
2.1 Pengertian Manajemen risiko kredit dan pembiayaan.........................................3
2.1.1 Pengertian Manajemen Risiko......................................................................3
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
menetapkan aturan Manajemen Risiko ini sebagai standar minimal yang
harus dipenuhi oleh BUS dan UUS.1
BAB II
1
Santoso, Wimboh dan Enrico Heriantoro, “Market Risk di Perbankan Indonesia”, Kajian
Stabilitas Keuangan, No. 1 Juni, Jakarta: Bank Indonesia, 2003, hlm.76
2
PEMBAHASAN
2
Muhammad Harlianto Purnama, Topowijono, Achmad Husaini, ANALISIS PENERAPAN
MANAJEMEN RISIKO PADA PERUSAHAAN EKSPORTIR YANG MENGGUNAKAN
METODE PEMBAYARAN LETTER OF CREDIT (Studi Pada PT. Inti Luhur Fuja Abadi
Pasuruan), Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 16 No. 1 November 2014. Hlm. 3
3
Hanafi, M. Mahmud. 2014. Manajemen Risiko. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
4
Ronny Kountur, Manajemen Risiko Operasional: Memahami Cara Mengelola Risiko
Operasional Perusahaan, PPM, Jakarta, 2004, Hal. 4
3
diperkirakan (expected) maupun yang tidak dapat diperkirakan
(unexpected) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan
permodalan bank. Risiko juga dapat dianggap sebagai kendala dalam
pencapaian suatu tujuan
Ketika dua kalimat ini digabungkan akan melahirkan pengertian
atau makna tambahan, yang mana manajemen Risiko adalah seperangkat
kebijakan, prosedur yang lengkap, yang dipunyai organisasi, untuk
mengelola, memonitor dan mengendalikan eksposur organisasi terhadap
risiko” (Hanafi, 2006: 26);
“Manajemen risiko adalah suatu proses dengan metode-metode
tertentu supaya suatu organisasi mempertimbangkan risiko yang dihadapi
setiap kegiatan organisasi dalam mencapai tujuan organisasi”
Dalam POJK NO.65/POJK.03/2016 Manajemen Risiko adalah
serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang
timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank. Dari beberapa pengertian
tersebut maka dapat ditarik kesimpulan manajemen risiko adalah sebuah
metode atau cara yang dilakukan oleh entitas untuk merencanakan,
melaksanakan, dan mengendalikan kerugian yang tidak diharapkan
terhadap sebuah aktivitas.
4
kredit supaya berada di parameter yang dapat diterima. Bank perlu
mengelola risiko kredit dari seluruh portofolio serta risiko dari individu
atau kredit atau transaksi.
Bagi sebagian besar bank, pinjaman adalah yang terbesar dan juga
sumber resiko kredit, namun sumber-sumber risiko kredit lain juga
terdapat di seluruh kegiatan bank, termasuk pembukuan perbankan dan
pembukuan perdagangan baik yang di dalam atau di luar neraca. Resiko
kredit perbankan semakin meningkat (atau resiko dari pihak lainnya ) di
berbagai instrumen keuangan selain pinjaman termasuk penerimaan,
transaksi antar bank, pembiayaan perdagangan, transaksi valuta asing,
masa depan keuangan, swap, obligasi, ekuitas, opsi dan perluasan
komitmen dan jaminan, penyelesaian transaksi.
5
dapat menambah parameter/indikator lain yang relevan dengan
karakteristik dan kompleksitas usaha Bank dengan memperhatikan prinsip
proporsionalitas.
2.2.1 Risiko Inhern pada Kredit
Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak
lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. Risiko kredit pada
umumnya terdapat pada seluruh aktivitas Bank yang kinerjanya
bergantung pada kinerja pihak lawan (counterparty), penerbit (issuer), atau
kinerja peminjam dana (borrower). Risiko Kredit juga dapat diakibatkan
oleh terkonsentrasinya penyediaan dana pada debitur, wilayah geografis,
produk, jenis pembiayaan, atau lapangan usaha tertentu. Risiko ini lazim
disebut Risiko Konsentrasi Kredit dan wajib diperhitungkan pula dalam
penilaian risiko inheren.
Dalam menilai Risiko inheren atas Risiko Kredit, parameter/indikator
yang digunakan adalah:
(i) komposisi portofolio aset dan tingkat konsentrasi;
(ii) kualitas penyediaan dana dan kecukupan pencadangan;
(iii) strategi penyediaan dana dan sumber timbulnya penyediaan dana;
(iv) faktor eksternal.
Bank dalam menilai Risiko inheren atas Risiko Kredit menggunakan
parameter/indikator Risiko inheren dengan berpedoman pada lampiran SE
BI No. 13/24/DPNP/2011
6
Malaysia. Indonesia yang diwakili oleh Bank Indonesia (BI) merupakan
salah satu negara pendiri.
IFSB juga menentukan prinsip-prinsip panduan untuk JKS yang
didefinisikan secara luas untuk mencakup perbankan, pasar modal dan
sektor asuransi. Selain itu IFSB juga melakukan penelitian dan
mengkoordinasikan inisiatif isu-isu industri terkait, serta
menyelenggarakan diskusi informal, seminar dan konferensi untuk
regulator dan pemangku kepentingan industri. Kedepan, IFSB akan
melanjutkan program workshop dan seminar tersebut yang diperkuat
dengan beberapa inisiatif baru antara lain train the trainers program dan e-
learning modules.
IFSB akan menyusun standar dan prinsip pokok pengawasan,
pengaturan, dan penerapan syariah Islam oleh lembaga keuangan syariah
di seluruh Indonesia. IFSB juga akan menjadi penghubung sekaligus
menjalin kerjasama dengan lembaga penetapan standar di bidang moneter
dan stabilitas ekonomi. Di antara hal yang akan dilakukan, yang cukup
penting adalah penyusunan standar operasional yang selaras dengan Basel
Accord II. Basel Accord II sendiri masih dalam tahap persiapan akhir bagi
pengimplementasian pada akhir tahun 2006, yang dikendalikan secara
eksklusif oleh Bank for International Settlements (BIS) di Basel, Swiss.
Intinya, fungsi IFSB seperti Bank for International Settlement (BIS). IFSB
telah menerbitkan 2 (dua) standar baru yaitu:
(i) Guiding Principles on LiquidityRisk Management for Institutions
offering Islamic Financial Services (IFSB-12), dan
(ii) Guiding Principles on Stress Testing for Institutions offering Islamic
Financial Services(IFSB-13).
Selain kedua standar tersebut, IFSB juga tengah menyusun standar
mengenai revisi standar capital adequacy bagi perbankan syariah, standar
manajemen resiko bagi takaful dan revisi standar supervisory review
process bagi perbankan syariah serta proposal penyusunanGuidance note
on disclosure requirement for Islamic capital market products. Penyusunan
7
standar dan pedoman tersebut merupakan bagian dari rencana IFSB dalam
rangka menjaga relevansi perubahan standar perbankan dan keuangan
internasional, khususnya pasca krisis keuangan internasional yang
dampaknya masih berlanjut hingga periode laporan.
8
membuat akad pembiayaan antara BPRS dengan nasabah penerima
fasilitas.
5. BPRS dilarang membuat akad pembiayaan apabila akad pembiayaan
tersebut mewajibkan BPRS untuk menyalurkan dana yang akan
mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPD.
6. BPRS dilarang memberikan penyaluran dana yang mengakibatkan
pelanggaran BMPD.
7. BMPD untuk pembiayaan dihitung berdasarkan baki debet
pembiayaan
sedangkan BMPD untuk penempatan dana antar bank pada BPRS lain
dihitung berdasarkan nominal penempatan dana antar bank.
8. Penyaluran dana kepada seluruh pihak terkait ditetapkan paling tinggi
10% dari modal BPRS.
9. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada pihak terkait wajib
memperoleh persetujuan dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1
(satu) orang anggota Dewan Komisaris BPRS.
10. Penyaluran dana dalam bentuk penempatan dana antar bank kepada
BPRS
lain yang merupakan pihak tidak terkait dan/atau dalam bentuk
pembiayaan kepada 1 (satu) nasabah penerima fasilitas yang
merupakan pihak tidak terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh
persen) dari modal BPRS.
11. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada 1 (satu) kelompok
nasabah penerima fasilitas yang merupakan pihak tidak terkait
ditetapkan paling tinggi 30% dari modal BPRS.
12. BPRS wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action
plan)
untuk penyelesaian pelanggaran BMPD dan/ atau pelampauan BMPD.
13. Action plan tersebut wajib memuat paling kurang langkah-langkah
untuk
9
penyelesaian pelanggaran BMPD dan/atau pelampauan BMPD serta
target waktu penyelesaian.
14. BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan untuk
penyelesaian pelanggaran BMPD dan/atau pelampauan BMPD disertai
dengan bukti pendukungnya.
15. BPRS wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPD kepada
Bank
Indonesia secara on-line setiap bulan secara benar, lengkap dan tepat
waktu paling lama tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
16. Laporan BMPD mencakup:
a. Penyaluran Dana kepada pihak tidak terkait yang melanggar dan
melampaui
BMPD; dan
b. Seluruh penyaluran dana kepada pihak terkait.
17. BPRS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan
BPRS termasuk badan hukum pemilik BPRS sampai dengan ultimate
shareholders kepada Bank Indonesia, 1 tahun sekali untuk posisi akhir
tahun dan setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok usaha
yang menyebabkan perubahan pengendali BPRS.
18. BPRS wajib mengungkapkan ultimate shareholders BPRS dalam
laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi BPRS.
Kewajiban ini merupakan tambahan atas kewajiban pengungkapan
informasi mengenai pemegang saham BPRS.
19. BPRS yang tidak memenuhi Peraturan Bank Indonesia ini akan
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
yang berlaku.
20. Ketentuan Peralihan:
a. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat tetap
10
berlaku dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini.
b. Terhadap pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana
dimaksud pada huruf 19.a tetap berlaku ketentuan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.
21. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli
1998 tentang Batas Maksimum Penyaluran Kredit Bank Perkreditan
Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
11
b. Kecukupan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan
limit Risiko;
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian
Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pihak bank perlu secara aktif dalam melakukan peninjauan nasabah
yang kemungkinan akan mengalami penunggakan kredit sehingga pihak
bank dapat mengantisipasi sejak awal. Rivai dan Veithzal (2010:814-823)
menjelaskan secara rinci tentang proses penerapan manajemen risiko
kredit, yaitu sebagai berikut:
1. Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi.
a. Dewan komisaris bertanggung jawab dalam melakukan persetujuan
dan peninjauan berkala setidaknya secara tahunan mengenai strategi
dan
kebijakan risiko kredit pada bank.
b. Direksi bertanggung jawab untuk mengimplementasikan strategi dan
mengembangkan kebijakan dan prosedur dengan mendukung standar
pemberian kredit yang sehat, memantau dan mengendalikan risiko
kredit, dan mengidentifikasi serta menangani kredit bermasalah.
2. Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Limit
a. Kriteria pemberian kredit yang sehat dengan cara bank harus
mempunyai informasi yang cukup untuk membantu bank dalam menilai
secara komperehensif terhadap profil risiko nasabah.
b. Bank harus memastikan bahwa kerangka kerja atau mekanisme
kepatuhan prosedur pendelegasian dalam pemberian kredit terdapat
pemisahan fungsi antara yang melakukan persetujuan, analisis dan
administrasi kredit.
c. Bank harus menetapkan limit untuk seluruh nasabah sebelum
melakukan transaksi kredit, dimana limit tersebut dapat berbeda antara
nasabah satu sama lain.
12
3. Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Sistem Informasi
Sebagai tambahan untuk hal-hal umum dalam menilai risiko pada
bank syariah, ada sejumlah risiko pihak ketiga terkait dengan model
pembiayaan syariah, yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak
pengawas bank.
a. Menurut para ahli fikih, bahwa akad murabahah hanya mengikat pihak
penjual dan tidak mengikat pihak pembeli. Akan tetapi, beberapa fuqaha
yang lain berpendapat sebaliknya, dan hampir semua bank syariah
mengikuti pendapat yang kedua ini. Bagaimanapun, Komisi Fikih OKI
memutuskan bahwa pihak yang gagal harus bertanggungjawab penuh
untuk mengganti kerugian yang diderita bank.
b. Terdapat banyak risiko pihak ketiga dari akad salam. Diantaranya
adalah penyerahan barang yang tidak tepat waktu, barang yang diserahkan
tidak sesuai dengan pesanan, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Selain
itu, risiko pihak ketiga dalam akad salam tidak hanya bergantung pada
factor yang dikendalikan oleh supplier, tetapi juga pada factor yang berada
di luar kendalinya. Oleh karena itu risiko kredit yang ada pada akad salam
juga signifikan.
c. Ketika masuk pada akad istishna’, bank syariah mengakui aturan yang
ada pada pengembang, kontraktor, produsen barang, dan supplier. Selama
bank tidak menguasai bidang ini, ia harus mempercayakan pada
subkontraktor. Hal ini menyebabkan timbulnya risiko pihak ketiga dari
dua arah. Salah satunya adalah risiko kegagalan dari nasabah bank. Ini
sama dengan yang terjadi pada murabahah dan juga risiko kredit yang
dihadapi bank konvensional. Selain itu, juga ada risiko kegagalan dari
subkontraktor untuk memenuhi kewajibannya secara efisien dan tepat
waktu.
d. Beberapa ulama tidak membolehkan bank syariah untuk melakukan
akad ijarah yang diakhiri dengan kepemilikan. Meskipun demikian, ijarah
13
yang banyak dipraktikan pada bank syariah hampir sama dengan
pembiayaan leasing yang dibolehkanoleh beberapa ahli. Adanya perbedaan
ini menjadi sumber risiko yang serius dalam akad ijarah, karena tidak
adanya standar legitimasi yang jelas.
14
usahanya.
3. Capital Informasi mengenai besar kecilnya modal (capital) perusahaan
calon debitur adalah sangat penting bagi bank4. Collateral (jaminan
kredit) merupakan setiap aktiva atau barang-barang yang diserahkan
debitur sebagai jaminan atas kredit yang diperoleh dari bank.
4. Conditions disini adalah keadaan perekonomian secara umum dimana
perusahaan tersebut beroperasi.
5. Constraint dalam pemberian kredit, bank perlu juga mengetahui dan
mempertimbangkan hambatan (constraint) yang mungkin muncul di
lapangan Selain menganalisa kredit dari sisi nasabah, perbankan juga
perlu mengevaluasi rasio kredit macetnya baik bulanan maupun
tahunan. Sesuai dengan aturan Bank Indonesia nomor 15/2/PBI/2013
tentang Penetapan Status Dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum
Konvensional menetapkan rasio kredit macet lebih dari netto 5%.
15
Lembaga pemeringkat kredit atau credit rating agency merupakan
suatu perusahaan yang menerbitkan peringkat kredit bagi para penerbit
obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun suatu perusahaan.
Penerbit dari obligasi yang dapat diperdagangkan pada pasar sekunder
tersebut biasanya merupakan perusahaan, kota, lembaga nirlaba, ataupun
pemerintahan suatu negara. Peringkat kredit tersebut mengukur kelayakan
kredit, kemmpuan pembayaran kembali utang, dan berpengaruh pada suku
bunga yang dibebankan pada utang tersebut. (Suatu perusahaan yang
menerbitkan skor kredit bagi kelayakan kredit individu secara umum
disebut dengan istilah biro kredit atau lembaga pelaporan kredit
konsumen) .
Terdapat lima lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK dalam
menentukan rating obligasi, yaitu PT Fitch Ratings, Moody’s Investor
Service, Standard and Poor’s (S&P), dan PT Pemeringkat Efek Indonesia
(PEFINDO).
16
pembiayaan lebih tepatnya perbankan. Berikut ini adalah Mitigasi Risiko
terhadap pembayaran kredit :
a. Prinsip mengenal nasabah
Untuk mengelola risiko yang mungkin timbul, bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian. Salah satu upaya melaksanakan prinsip
tersebut dengan mengetahui identitas nasabah,memantau transaksi
termasuk laporan transaksi yang mencurigakan. Dalam menerapkan
prinsip mengenal nasabah bank wajib menerapkan kebijakan-kebijakan
yang sesuai seperti prosedur mengidentifikasi nasabah.
b. Kapasitas Pembayaran Nasabah
Tim survei perlu melakukan analisa kelayakan dari pendapatan
atau penghasilan nasabah, sebelum plafon kredit dikucurkan. Apakah
memiliki rekening koran yang aktif, alur kas keluar masuk yang stabil,
atau masa lama kerjanya. Dengan begitu dapat memutuskan sejauh mana
kemampuan calon debitur dalam melakukan pembayaran kredit mereka
hingga lunas.
c. Nilai Jaminan Pembiayaan
Setiap bank akan melihat lebih detail jenis jaminan dan nilai jaminan yang
akan diberikan ke calon debitur mereka. Dan jenis pembiayaan kredit
dengan jaminan masih merupakan tren, selain menjadi suatu ketenangan
bagi kreditur pun akan menjadi sebuah pendorong kewajiban debitur
dalam menyelesaikan angsurannya.
17
1. Penjadwalan kembali (reschedulling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya.
2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal
pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu, dan atau pemberian
potongan, sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus
dibayarkan kepada bank.
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling dan reconditioning, yang
antara lain meliputi :
a. Penambahan dana fasilitas pembiayaan bank
b. Konversi akad pembiayaan
c. Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu
menengah
d. Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada 32
perusahaan nasabah.
Adapun menurut PBI No.10/18/PBI/2008, pada Pasal 5, dijelaskan
bahwa :
1. restrukturisasi hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
(a). nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
(b). nasabah memiliki prospek usaha yang baik, dan mampu memenuh
kewajiban setelah restrukturisasi.
2. Restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan
dengan kualitas pembiayaan Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
3. Restrukturisasi pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan bukti -
bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik. Sementara itu,
pada PBI No. 10/18/PBI/2008, pada Pasal 6, dijelaskan bahwa :
1. Restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu akad pembiayaan awal.
18
2. Restrukturisasi pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling
cepat 6 (enam) bulan setelah restrukturisasi pembiayaan sebelumnya.
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa, restrukturisasi
hanya dapat dilakukan pada nasabah yang usaha atau bisnisnya masih
berjalan, dalam arti masih beroperasi dan menghasilkan pendapatan,
serta dipandang masih memiliki prospek usaha yang bagus, untuk
jangka waktu yang akan datang. Disamping itu, restrukturisasi
pembiayaan juga perlu memandang karakter dari nasabah itu sendiri,
apakah yang bersangkutan memiliki itikad yang baik untuk
menyelesaikan kewajibannya.Nasabah juga perlu diketahui apakah
memiliki motivasi, keuletan dan strategi kedepan, dalam menjalankan
bisnisnya pasca restrukturisasi.Hal ini penting dilakukan, untuk
memberikan keyakinan pada pihak bank, bahwa restrukturisasi mampu
menjadi mekanisme penyelamatan pembiayaan nasabah, yang
sebelumnya mengalami hambatan dapat kembali berjalan normal.
Sebagaimana ketentuan diatas, bahwa mekanisme restrukturasi hanya
dapat diterapkan pada nasabah dengan kualitas pembiayaanKurang
Lancar, Diragukan, dan Macet. Maka, untuk nasabah dengan kategori
kualitas pembiayaan Dalam Perhatian Khusus, atau Kolek 2 (dua),
proses penyelesainnya adalah melalui mekanisme penagihan atau
collection.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
20
mengelola risiko kredit dari seluruh portofolio serta risiko dari individu
atau kredit atau transaksi.
2. Risiko Inhern
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Wimboh dan Enrico Heriantoro, “Market Risk di Perbankan Indonesia”,
Kajian Stabilitas Keuangan, No. 1 Juni, Jakarta: Bank Indonesia, 2003.
Muhammad Harlianto Purnama, Topowijono, Achmad Husaini, ANALISIS
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO PADA PERUSAHAAN EKSPORTIR YANG
MENGGUNAKAN METODE PEMBAYARAN LETTER OF CREDIT (Studi Pada
PT. Inti Luhur Fuja Abadi Pasuruan), Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 16
No. 1 November 2014.
Hanafi, M. Mahmud. 2014. Manajemen Risiko. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Ronny Kountur, Manajemen Risiko Operasional: Memahami Cara Mengelola
Risiko Operasional Perusahaan, PPM, Jakarta, 2004.
Rustam, Bambang Rianto, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia,
Jakarta: Selemba Empat, 2013.
Sjabdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Umum Graffiti, 1999.
Arifin, Zainul, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005.
21
Ali, Mashud. 2006. Manajemen Risiko: Strategi Perbankan dan Dunia Usaha
Menghadapi Tantangan Globalisasi Bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
22