Anda di halaman 1dari 5

1.

Pandemi COVID-19 hadir menjadi sebuah permasalahan kompleks yang tidak dapat
diselesaikan dari satu aspek saja. Meskipun berhubungan erat dengan dunia kesehatan,
pandemi yang kini dampaknya telah menjadi isu global perlu dianalisa dari berbagai sisi.
Studi tentang masalah dan isu internasional tidak dapat ditangani dari analisis ekonomi,
politik, atau sosiologis saja (Lairsson dan Skidmore, 2016). Pendekatan ini disebut
International Political Economy atau IPE yang dianggap mampu menghasilkan solusi-
solusi holistik terhadap krisis global ini karena mencakup aspek penting untuk mencapai
kestabilan. Menurut Balaam-Dilman (2014), terdapat tiga dimensi dalam lingkup IPE
yaitu dimensi politik, ekonomi, dan sosial. Dimensi politik memperhitungkan penggunaan
kekuasaan oleh berbagai seperti individu, kelompok domestik, negara dan organisasi
internasional. Sementara dimensi ekonomi meliputi bagaimana sumber daya yang langka
didistribusikan di antara individu, kelompok, dan negara-bangsa. Di sisi lain, IPE
dianggap belum mampu mengeksplor perilaku sosial secara global dan keterkaitannya
dengan dimensi lain. Namun, peran kesamaan identitas, norma, etnis antar negara tidak
dapat dipungkiri masih besar dalam mendorong hadirnya isu internasional di mana
kelompok-kelompok tertentu terutama yang termajinalkan berupaya untuk
memperjuangkan haknya.
Salah satu penanganan COVID-19 yang menjadi prioritas saat ini adalah distribusi
vaksin secara global dari perusahaan penyedia vaksin terkemuka di dunia. Meskipun
vaksin dapat hadir sebagai bentuk murni dari teknologi dan kesehatannya, distribusi
vaksin itu sendiri perlu diamati dari aspek lain. Secara politis, terdapat isu Vaccine
Nationalism di mana tiap negara memastikan terpenuhinya kebutuhan vaksin hanya pada
negaranya sendiri (Hafner et al, 2020). Meskipun secara internal hal ini merupakan bentuk
tanggungjawab negara dalam memastikan kesejahteraan warganya, vaccine nationalism
menghambat tercapainya herd immunity secara global. Fenomena ini dapat diamati dari
negara besar dalam komite G7 mereservasi satu pertiga total vaksin di dunia meskipun
penduduknya hanya mencapai 13% dari populasi dunia. Dengan kekuatan politis yang
besar, negara-negara tersebut mengesampingkan tujuan global untuk kepentingan
negaranya sendiri. Dalam menanggulangi masalah ini, WHO atau World Health
Organization menyerukan kritik terhadap negara dalam komite G7 terkait penimbunan
vaksin tersebut.
Dari sisi ekonomi, kondisi ekonomi tiap negara tentu berbeda namun hal yang
pasti adalah hampir seluruh negara mengalami penurunan kemampuan ekonomi akibat
pandemi COVID-19. Meski begitu, negara-negara dengan ekonomi lemah lebih
mengalami kesulitan untuk mendapatkan vaksin dalam jumlah besar dari perusahaan
vaksin. Hal ini mendorong terbukanya negara-negara maju seperti Amerika Serikat untuk
memberikan donasi vaksin untuk negara lain seperti India dan Indonesia. Secara sosial,
negara-negara dalam benua Afrika sebagai kelompok termarjinalkan mendapatkan akses
vaksin paling kecil di mana hanya 2% dari populasi yang mendapatkan vaksin. Selain
dikarenakan akses vaksin yang kurang, beberapa negara di benuar Afrika kekurangan
tenaga kesehatan terlatih dikarenakan akses pendidikan yang masih belum merata.
Terjadinya disparitas ini menjadi dorongan untuk Inggris sebagai salah satu negara
produsen vaksi untuk mendonasikan vaksinnya ke negara-negara di Afrika seperti Zambia,
Malawi, dan Mesir.
Dari tiga dimensi dengan segala permasalahan, terbentuk suatu inisiasi global yang
dikepalai oleh WHO bernama COVAX atau (COVID-19 Vaccine Global Access). Selain
perjanjian antara dua atau lebih negara secara independen, inisiasi ini bertujuan untuk
memberikan akses vaksin untuk negara-negara berkembang hasil dalam bentuk subsidi
dan donasi vaksin dari negara maju. Negara yang menerima bantuan didasarkan pada
berbagai faktor ekonomi, kemajuan teknologi, kualitas sumber daya manusia, dan lain-
lain. Dengan pemerataan distribusi vaksin secara global, diharapkan herd immunity dapat
dicapai oleh seluruh negara tanpa terhalang faktor politik, ekonomi, dan sosial.

2. Coopetition adalah bentuk kerjasama antara dua pihak yang bersaing dengan membentuk
aliansi strategis yang dirancang untuk mendorong perkembangan kedua perusahaan.
Praktik bisnis ini mampu mengarah kepada perluasan pasar dan pembentukan hubungan
bisnis baru. Salah satu bentuk koopetisi yang dilakukan di Indonesia adalah dengan
pembentukan klaster industri/bisnis. Tambunan (2013) menyebutkan bahwa pembentukan
klaster industri bertujuan untuk mengontrol pemanfaatan ruang wilayah serta
meningkatkan daya saing industri. Selain itu, dengan klaster industri, terdapat koordinasi
antar sektor dalam perencanaan dan pembangunan infraksturur dengan kepastian lokasi.
Dalam konsep “The Four Diamond” yang dicetuskan Porter, terdapat empat faktor
yang saling terkait dan merupakan penentu keunggulan daya saing suatu industri, yaitu:
1. Kondisi permintaan,
2. Kondisi faktor,
3. Industri terkait dan pendukung.
4. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan,
Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan di kawasan industri Indonesia
meliputi strategi perusahaan untuk mendapatkan bahan baku, minimisasi biaya produksi,
inovasi pada produksi dan pemasaran, dan akses keluar/masuk industri. Di Indonesia
sendiri, kemapanan faktor ini masih belum merata dikarenakan skala kawasan industri
yang beragam. Daerah dengan kawasan industri besar seperti Karawang, Bekasi,
Surabaya, dan Pasuruan memiliki akses yang lebih baik dibanding daerah lain yang masih
dalam tahap pengembangan. Namun, Kemenperin menyatakan bahwa hingga Juni tahun
2020, telah terbangun sebanyak 118 kawasan industri yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi optimisme pengusaha di Indonesia dalam
membangun kawasan Industri yang dapat menimbulkan pesaingan sehat untuk
meningkatkan daya saing produk Indonesia di kancah dunia.
Faktor selanjutnya adalah kondisi permintaan atau demand conditions. Kondisi
permintaan ini bersifat domestik, di permintaan dalam negeri yang tinggi dapat
mendorong inovasi dan investasi industri. Dengan semakin maraknya Gerakan Nasional
Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang diprakarsai oleh pemerintah, permintaan
masyarakat atas produk berkualitas buatan Indonesia semakin meningkat. Menurut survei
oleh Katadata Insight Center (KIC), 87,2% konsumen memilih untuk membeli produk
lokal. Peningkatan ini mendorong industri dari berbagai sektor untuk terus berkembang.
Industri barang dan jasa di Indonesia kian hari semakin cepat mengembangkan diri agar
tidak kehilangan momentum ini.
Berikutnya adalah kondisi faktor atau factor conditions yang menggambarkan
situasi industri seperti kualitas tenaga kerja, bahan baku, atau kesiapan infrastruktur yang
diperlukan untuk bersaing dalam suatu industri. Menurut World Development Report
(2019), Indonesia menempati peringkat 87 dari 167 negara dalam Human Capital Index
dengan skor 0,53. Angka ini dapat diartikan bahwa sumber daya manusia Indonesia baru
mampu mencapai 53% dari potensi produktivitasnya. Hal ini tentu menjadi tantangan
Indonesia dalam bersaing di kancah internasional dalam hal industri. Maka dari itu, perlu
adanya reformasi ketenagakerjaan, pemerataan pendidikan, serta peningkatan ilmu
pengetahuan dan teknologi di Indonesia agar mampu menghasilkan SDM yang unggul.
Faktor terakhir yaitu industri terkait dan pendukung atau related and supporting
industries yaitu keberadaan dan kualitas industri pemasok dan penunjang lainnya. Faktor
ini tak kalah penting karena dapat menjadi kunci keberhasilan industri yang disokongnya.
Dengan semakin banyaknya kawasan industri di Indonesia, maka semakin banyak hadir
industri hilir yang mendorong hadirnya inovasi. Pengembangan industri pendukung di
Indonesia mulai pesat dengan adanya dorongan investasi dari pemerintah.

3. COP26 adalah konferensi perubahan iklim tahunan yang dibesut oleh PBB. Di tahun ke-
26, COP atau Conference of Parties dihadiri oleh perwakilan megara-negara yang
menandatangani United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Konferensi ini merupakan konferensi pembahasan iklim terbesar setelah Perjanjian Paris
tahun 2015. Dalam Perjanjian Paris, negara-negara yang hadir menyepakati bahwa tiap
negara wajib secara kolektif membatasi kenaikan suhu karena pemanasan global tidak
melebihi 1,5 derajat celcius serta meningkatkan upaya dan pendanaan untuk gerakan
perbaikan iklim.
COP26 merupakan kelanjutan dari perjanjian itu di mana delegasi memiliki tujuan
untuk melengkapi Paris Rulebook, sebuah kebijakan yang di dalamnya berisi perencanaan
dan aksi untuk implementasi Perjanjian Paris. Melihat dari agenda konferensi ini, para
delegasi didorong untuk memiliki target yang ambisius dalam mengurangi cepatnya
kerusakan akibat perubahan iklim. COP26 juga mengharapkan bahwa seluruh negara
mampu berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon di tahun 2030. Khusus untuk negara
maju, mereka ditunjuk untuk memberi kontribusinya dalam memenuhi target 100 milyar
dollar untuk anggaran aksi iklim. Peran Indonesia sebagai salah satu negara penghasil
emisi terbesar di dunia, menempati peringkat sepuluh besar. Hal ini tentu menjadi
kekhawatiran baik bagi kondisi iklim Indonesia maupun dunia. Selain itu, Indonesia akan
memangku peran presidensi G20 di tahun 2022 menggantikan Italia. Peran ini dapat
menguatkan posisi Indonesia di kancah internasional dalam mendorong perubahan serta
menuntut koordinasi yang lebih aktif dari negara-negara yang hadir terutama negara maju.
Indonesia sendiri telah berkontribusi terhadap upaya mencegah perubahan iklim seperti
menargetkan turunnya emisi gas rumah kaca sebesar 29% di tahun 2030, menurunnya
tingkat deforestasi di Indonesia hingga mencapai angka terendah dalam 20 tahun terakhir,
berkurangnya kebakaran hutan secara drastis sebsar 82% hingga ikut mengikrarkan bahwa
Indonesia akan menanam 600.000 mangrove pada tahun 2024, jumlah reboisasi tertinggi
di dunia. Komitmen ini dapat mengukuhkan peran Indonesia sebagai pemain aktif dalam
mengurangi dampak pemanasan global di dunia internasional.

Anda mungkin juga menyukai