Anda di halaman 1dari 13

LEMBAR KERJA SISWA

SISTEM DEMOKRASI PARLEMENTER


SEJARAH WAJIB
KELAS XII

Kelompok :

1. Gede Satyamahinsa P.U (06)


2. Gede Tio Ryzaldi (07)
3. Ketut Bisnu Suarnayuga (15)
4. Ni Nyoman Yuni Triyani (25)
5. Putu Andhika Restu Kurnia (30)
KOMPETENSI DASAR
3.2 Menganalisis perkembangan kehidupan politik dan
ekonomi Bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan
sampai masa Demokrasi Liberal

TUJUAN PEMBELAJARAN

Menjelaskan perkembangan kabinet yang berlangsung


selama masa Demokrasi Parlementer 1950-1959
Menganalisis sistem kepartaian yang berlangsung pada
masa Demokrasi Parlementer
Membandingkan pelaksanaan pemilu pada masa
Demokrasi Parlementer dengan pemilu pada masa
Reformasi
RINGKASAN MATERI

4. Kabinet Ali Satromidjojo I (31 Juli 1953 - 12 Agustus 1955)


Kabinet berikutnya terbentuk pada tanggal 1 Agustus 1953, dengan Perdana Menteri
Mr. Ali Sastromidjojo (PNI) dan Wakil Perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (Partai Indonesia
Raya). Di dalam kabinet ini Masyumi tidak turut serta, akan tetapi Nadhatul Ulama (NU) duduk
di dalamnya. Program kerja kabinet ini sebagai berikut meningkatkan keamanan dan
kemakmuran serta segara menyelenggarakan pemilu, pembebasan Irian Barat secepatnya,
pelaksanaan politik bebas aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB, penyelesaian
pertikaian politik hasil yang di proleh dari kabinet ini adalah persiapan pemilihan umum untuk
memilh anggota parlemen yang akan di selenggarakan pada 29 September 1955, dan
menyelenggarakan Konfrensi Asia-Afrika atau KAA tahun 1955 (Arta dan Margi, 2014:133).

Gambar 2.5 Kabinet Ali Sastroamidjojo


Sumber : https://www.google.com

Pada masa Kabinet Ali I ini peristiwa besar Konferensi Asia Afrika atau (KAA)
berhasil diselenggarakan di kota Bandung. Konferensi Asia Afrika digagas oleh Perdana
Menteri Indonesia (Ali Sastroamidjojo), Perdana Menteri Srilanka (Sir John Kotelawala),
Perdana Menteri Birma (U Nu), Perdana Menteri India (Jawaharlal Nehru), dan Perdana
Menteri Pakistan (Mohammed Ali). KAA diselenggarakan pada bulan April 1955.
5. Kabinet Burharuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)
Kabinet Ali-Wongso digantikan oleh Kabinet Burharuddin Harahab pada 12 Agustus
1955. Burharuddin Harahab dari Masyumi berhasil menyusun suatu kabinet yang didasarkan
pada dukungan Masyumi bersama PSI dan NU (12 Agustus 1955-3 Maret 1956). Dalam
Kabinet Burharudin Harahap, memiliki beberapa program kerja yang hampir sama dengan
kabinet sebelumnya antara lain mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu
mengembalikan kepercayaan angkatan darat dan masyarakat kepada pemerintah,
melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah di tetapkan dan mempercepat
terbentuknya parlemen baru, masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi,
perjuangan pengembalian Irian Barat, politik kerja sama Asia Afrika berdasarkan politik luar
negeri bebas aktif (Arta dan Margi, 2014:133). Program lain Kabinet Burhabuddin Harahap
yang harus di selesaikan seperti telah di janjikan dalam pembentukan kabinet, ialah pemilihan
umum. Golongan oposisi terus mendesak kepada kabinet untuk melaksanakan pemilihan
umum secepat mungkin (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008: 317)

Gambar 2.6 Kabinet Baharudin Arahab


Sumber : https://www.google.com
Kabinet ini berlangsung antara 12 Agustus 1955-3 Maret 1956. Pada masa Kabinet
Burhanudin Harahap berhasil melaksanakan pemilu tanggal 29 September 1955. Pemilihan
Umum sebagai sarana penting demokrasi sebetulnya sudah masuk agenda kerja kabinet
parlementer pertama dibawah pimpinan Natsir, dan juga ada dalam program Kabinet Sukiman,
tetapi belum sempat dilaksanakan oleh mereka keburu dijatuhkan kabinet. Baru pada era
Kabinet Wilopo sebuah Rancangan Undang-undang Pemilu diajukan ke parlemen (DPRS,
DPAS) dan disahkan menjadi UU. Pemilihan ini di gunakan untuk memilih 257 anggota DPR
dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih 514 anggota konstituante (Zulkarnain,
2012: 115) Hasil Pemilu 1955 memunculkan empat kekuatan partai besar, yaitu; (1) PNI, (2)
Masyumi, (3) NU, dan (4) PKI. Hasil pemilihan umum baik di DPR maupun konstituante
adalah sebagai berikut: a) Perolehan kursi di DPR, Masyumi 57 kursi, PNI 57 kursi, NU 45
kursi, PKI 39 kursi, peserta lain 81 kursi. b) Perolehan kursi di Konstituante, Masyumi 119
kursi, PNI 112 kursi, NU 91 kursi, PKI 81 kursi, peserta lain 118 kursi. Namun, ternyata hasil
pemilu tidak memuaskan pihak manapun, terutama dua partai besar yaitu Masyumi dan PNI.
Keduanya menginginkan memperoleh dukungan yang mutlak (Zulkarnain, 2012: 115).
Ketidakpuasan tersebut inilah menyebabkan banyak partai yang menarik menteri-menterinya
untuk keluar dari kabinet tersebut. Akhirnya pada tahun 1956 Burhanudin Harahap
mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno (Ricklefs, 2009: 522)

6. Kabinet Ali Satromidjojo II (20 Maret 1956 - 4 Maret 1957)


Kabinet Ali II merupakan sebuah kabinet koalisi PNI-Masyumi-NU. Kabinet ini
berlangsung sejak 20 Maret 1956-4 Maret1957.

Gambar 2.7 Kabinet Ali Satromidjojo II


Sumber : https://www.google.com
Program kerja yang diusung oleh Kabinet Ali II di sebut Rencana Pembangunan Lima
Tahun yang membuat program jangka panjang sebagi berikut, perjuangan pengembalian Irian
Barat, pembentukan daerah – daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota –
anggota DPRD, mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai, menyehatkan
perimbangan keuangan Negara, mewujudkan perubahan ekonomi colonial menjadi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat. Selain itu program pokoknya adalah pembatalan Konfrensi
Meja Bundar, pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan
politik luar negeri bebas aktif, melaksankan keputusan Konfrensi Asia-Afrika atau KAA. Hasil
yang di proleh dari kabinet ini adalah mendapat dukungan penuh dari Presiden dan dianggap
sebagai titik tolak dari periode planning and Investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh
perjanjian Konfrensi Meja Bundar atau KBM (Arta dan Margi, 2014:134).
Sama dengan kabinet-kabinet sebelumnya, Kabinet Ali II ini juga berusia pendek. Hal
ini disebabkan karena berkobarnya semangat anti China di masyarakat, munculnya pergolakan
di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan
dewan militer seperti dewan benteng di Sumatra Tengah, dewan gajah di Sumatra Utara, dewan
garuda di Sumatra Selatan, dewan lambung mangkurat di Kalimantan Selatan, dan dewan
manguni di Sulawesi Selatan, memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat
di anggap mengabaikan pembangunan di daerahnya, pembatalan KBM oleh Presiden
menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia.

7. Kabinet Djuanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)


Setelah Kabinet Ali Sastromidjojo II jatuh, Presiden Soekarno menunjuk Soewirjo menjadi
formatur dalam membentuk kabinet baru. Dua kali Soewirjo berusaha, tetapi gagal membentuk
kabinet. Dengan gagalnya Soewirjo, akhirnya Presiden Soekarno menunjuk dirinya sendiri
sebagai formatur. Formatur Ir. Soekarno membentuk Kabinet Darurat Ekstra Parlementer dan
menunjuk Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri. Kabinet Djuanda ini juga diberi nama Kabinet
Karya dan di dalamnya duduk dua orang anggota Angkatan Bersenjata, dan satu satunya
kabinet yang tidak berasal dari partai politik. Kabinet Djuanda berlangsung antara April 1957-
Juli 1959.

Gambar 2.8 Kabinet Djuanda


Sumber : https://www.google.com
Program kerja kabinet ini antara lain membentuk dewan nasional, normalisasi keadaan RI,
melancarkan pelaksanaa pembatalan KBM, perjuangan pengembalian Irian jaya, mempercepat
proses pembangunan. Hasil yang di proleh dari Kabinet Djuanda adalah mengatur batas
perairan nasional Indonesia melalui deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut
pedalaman dan laut territorial. Melalui deklarasi Djuanda ini menunjukan telah terciptanya
kesatuan wilayah Indonesia di mana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh
dan bulat, terbentuknya dewan nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan
menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan Presiden sebagai
ketuanya (Arta dan Margi, 2014:135)
Meskipun beberapa program dari Kabinet Djuanda untuk menghadapi pergolakan yang
terjadi di daerah, akan tetapi pergolakan pergolakan di daerah seakan tidak ada habisnya. Di
masa Kabinet Djuanda ini masih terjadi peristiwa pemberontakan PRRI dan Permesta.
Pemberontakan PRRI-Permesta bermula dari konflik internal Angkatan Darat. Kekecewaan
atas minimnya kesejahteraan anggota di Sumatera dan Sulawesi mendorong beberapa tokoh
militer menentang kebijakan KSAD dan pemerintahan pusat. kabinet Djuanda jatuh ketika
Presiden merencanakan dekrit pada bulan Juli 1959 (Zulkarnain, 2012: 117). Dekrit Presiden
akhirnya dikeluarkan karena konstituante dianggap gagal dan belum mampu membentuk UUD
baru sebagai pengganti UUDS terjadi pada tanggal 9 Juli 1959 yang mengakhiri demokrasi
liberal di Indonesia.
TUGAS KELOMPOK

Secara kelompok melalui pustaka atau internet, jelaskan konsep berikut:


1. Uraikanlah keterkaitan antara Kabinet Ali Sastrowijoyo I dengan Konferensi Asia
Afrika (KAA) yang diselenggraka di kota Bandung!
Jawaban :

Peran Ali Sastroamidjojo atau bisa kita sebut ali Sastrowijoyo pada Konferensi
Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1955 ini sangatlah besar dalam
pengusulan dan meyakinkan negara lain bahwa Indonesia bisa menjadi tuan rumah
pada konferensi tersebut. Sebelum diadakannya konferensi tersebut sempat ada
beberapa kendala yang mesti dikendalikan oleh negara Indonesia sendiri dan negara
yang akan diundang, namun berkat kontribusi besar serta kerja sama kabinet Ali
Sastrowijoyo bersama rekannya pelaksanaan Konferensi Asia Afrika dapat diadakan
di Kota Bandung berikut uraian lebih mendalamnya.

Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon, Sir John Kotelawala,
mengundang para perdana menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru),
Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud
mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik
oleh semua pimpinan pemerintah negara tersebut. Pada kesempatan itu, Presiden
Indonesia, Soekarno, menekankan kepada Perdana Menteri Indonesia, Ali
Sastroamidjojo, untuk menyampaikan ide diadakannya Konferensi Asia Afrika pada
pertemuan Konferensi Kolombo tersebut. Beliau menyatakan bahwa hal ini merupakan
cita-cita bersama selama hampir 30 tahun telah didengungkan untuk membangun
solidaritas Asia Afrika dan telah dilakukan melalui pergerakan nasional melawan
penjajahan.

Sebagai persiapan, maka Pemerintah Indonesia mengadakan pertemuan yang


dihadiri oleh para Kepala Perwakilan Indonesia di Asia, Afrika, dan Pasifik, bertempat
di Wisma Tugu, Puncak, Jawa Barat pada 9 – 22 Maret 1954, untuk membahas
rumusan yang akan dibawa oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada Konferensi
Kolombo, sebagai dasar usulan Indonesia untuk meluaskan gagasan kerja sama
regional di tingkat Asia Afrika.
Pemerintah Indonesia, melalui saluran diplomatik, melakukan pendekatan
kepada 18 Negara Asia Afrika, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara
tersebut terhadap ide pelaksanaan Konferensi Asia Afrika. Ternyata pada umumnya
mereka menyambut baik ide ini dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumah
konferensi tersebut, walaupun mengenai waktu penyelenggaraan dan peserta
konferensi terdapat berbagai pendapat yang berbeda.

Pada 18 Agustus 1954, melalui suratnya, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru


dari India mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi
dunia dewasa itu yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk
mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri India dalam menerima
usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul tersebut dilaksanakan.
Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada 25 September 1954, beliau
yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi tersebut, Keyakinan serupa
dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma, U Nu, pada 28 September 1954. Pada 28
– 29 Desember 1954, atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para perdana menteri
peserta Konferensi Kolombo (Birma, Ceylon, India, Indonesia, dan Pakistan)
mengadakan pertemuan di Bogor, untuk membicarakan persiapan Konferensi Asia
Afrika.
Konferensi tersebut berhasil merumuskan kesepakatan tentang agenda, tujuan,
dan negara-negara yang diundang pada Konferensi Asia Afrika. Kelima negara peserta
Konferensi Bogor menjadi sponsor Konferensi Asia Afrika dan Indonesia dipilih
menjadi tuan rumah pada konferensi tersebut, yang ditetapkan akan berlangsung pada
akhir minggu April tahun 1955. Presiden Indonesia, Soekarno, menunjuk Kota
Bandung sebagai tempat berlangsungnya konferensi.

Pada 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan


kepada kepala pemerintah dari 25 Negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang
diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah,
karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya,
sedangkan 24 negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya
ada negara yang masih ragu-ragu.
2. Uraikanlan alasan mengapa sistem kepartaian yang dianut pada maa demokrasi
parlementer adalah sistem kepartaian multi partai!
Jawaban:
Ciri utama dari pelaksanaan demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun
1950-1959 adalah penerapan sistem multi partai. Landasan hukum dari pelaksanaan
sistem multi partai tersebut adalah Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945. Secara
garis besar, maklumat tersebut berisi pelarangan atas pendirian satu partai politik serta
anjuran pembentukan partai-partai politik untuk dapat mengukur kekuatan perjuangan.
Dengan adanya maklumat tersebut, partai-partai politik baru segera bermunculan.
Dengan demikian, Maklumat 3 November 1945 merupakan alasan
diterapkannya sistem multi partai di Indonesia pada tahun 1950an. Serta dengan
menganut sistem multi partai, maka diharapkan peran serta masyarakat dalam
berpolitik lebih banyak untuk mengawasi jalannya pemerintah, serta dengan aktifnya
masyarakat mengawasi jalannya pemerintah akan mengurangi proses sakralisasi
(dimana suatu kekuasaan semakin lama semakin mutlak) dan atau diktator
3. Analisislah alasan mengapa pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1955 dianggap
sebagai pemilu paling demokratis!
Jawaban:

Indonesia mulai memperlihatkan jati diri sebagai negara demokrasi kepada


dunia dengan peran dan kiprahnya menyelenggarakan KTT Asia Afrika pertama tahun
1955 dan sepak terjangnya di Asia Tenggara melalui pembentukan organisasi ASEAN
tahun 1967. Membenahi sistem politik dan demokrasi Indonesia dapat dilihat dari
bagaimana Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955 yang
dikatakan sebagai pemilihan umum paling demokratis sepanjang sejarah politik
Indonesia.
Walaupun dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif dengan
sering terjadinya tindakan separatis, bahkan saat berlangsungnya Pemilu, Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri yang kemudian diganti oleh Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap, namun Pemilu yang memperebutkan 260 kursi DPR
dan 520 kursi Konstituante ditambah 14 kursi khusus untuk wakil golongan minoritas
itu berjalan dengan baik.Pemilihan Umum Indonesia 1955 merupakan pemilihan umum
pertama yang diadakan di Indonesia pada 1955.
Pemilu saat itu dinilai sebagai pemilu paling demokratis karena berlangsung
aman di saat kondisi keamanan negara sedang tidak kondusif. Tahun 1955 Indonesia
sedang mengalami kekacauan, di Madiun misalnya. Tengah terjadi pemberontakan
yang dilakukan kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin
oleh Kartosuwiryo. Polisi dan Tentara pada waktu itu ikut serta dalam pemilihan
pemilu. Mereka yang bertugas di daerah rawan, secara bergilir menuju ke tempat
pemilihan. Pemilu untuk memilih anggota DPR dan Konstituante pada saat itu berjalan
aman.
Kursi yang diperebutkan sebanyak 794 kursi, terdiri atas 260 untuk DPR dan
520 untuk konstituante atau dua kali lipat anggota DPR. Jumlah kursi masih ditambah
14 lagi untuk wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah. Saat itu, total
pemilih adalah sebanyak 37.785.299 orang. Meski ini adalah pemilihan umum pertama,
dengan ratusan partai peserta, dan jutaan pemilih, pemilihan berlangsung aman dan
tertib. Dari hasil pemilihan umum, empat partai-partai terbesar adalah Partai Nasional
Indonesia (PNI) dengan 8.434.653 suara (22,3%) dan 57 kursi, Masyumi dengan
7,903,886 suara (20,9%) dan 57 kursi, Nahdlatul Ulama dengan 6,955,141 suara
(18,4%) dan 45 kursi, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 6,176,914 suara
(16,4%) dan 39 kursi.
4. Uraikanlah alasan mengapa pada masa demokrasi parlementer sering terjadi
pergantian kabinet (Kabinet Jatuh bangun)!
Jawaban:

Penyebab utama sering terjadinya pergantian kabinet dalam masa demokrasi


parlementer adalah perselisihan antara partai politik, sehingga banyak terjadi mosi tidak
percaya dan pencabutan dukungan yang menyebabkan kabinet jatuh dan perdana
menteri harus mengembalikan mandatnya ke presiden.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949 oleh Belanda,
Indonesia mulai memasuki masa pemerintahan sendiri. Namun pada masa ini terjadi
persoalan, yaitu ketidakstabilan politik yang terlihat dari seringnya kabinet dan perdana
menteri diganti. Dengan berakhirnya perjuangan kemerdekaan Indonesia, perpecahan
dalam masyarakat Indonesia mulai bermunculan. Perbedaan daerah, moral, tradisi,
agama, persaingan pengaruh Liberalisme dan Marxisme serta kondisi Perang Dingin
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, semuanya berkontribusi terhadap kondisi
politik dimana partai-partai saling bertentangan. Misalnya, penandatanganan
penerimaan bantuan Mutual Security Act oleh Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo
menyebabkan Kabinet Sukirman Jatuh, akibat kehilangan dukungan karena
kebijakannya dianggap membuat Indonesia menjadi bersekutu dengan Amerika
Serikat.
Selain itu juga berkecamuk berbagai gerakan separatis menentang Republik
Indonesia, seperti Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII) yang memberontak
Jawa Barat dari tahun 1948 sampai 1962, gerakan separatis Republik Maluku Selatan
dan pemberontakan PRRI/PERMESTA di Sumatera dan Sulawesi antara tahun 1955
dan 1961. Pemberontakan ini membuat kekuatan kabinet lemah karena dianggap tidak
mampu menghentikan ancaman separatis. Selepas pemilihan umum 1955, kondisi
politik juga tidak membaik. Hal ini karena berdasar hasil pemilihan umum tersebut,
tidak ada partai yang memperoleh suara dominan. Akibatnya politik Indonesia diisi
oleh partai-partai yang saling berebut pengaruh. Karena tidak ada partai dengan suara
mayoritas, kabinet hanya bisa dibentuk oleh koalisi partai, karena tidak ada partai yang
dominan. Ketika ada partai mencabut dukungan maka kabinet dengan mudah akan
jatuh.
5. Analislah mengapa sistem demokrasi parlementer tidak cocok diterapkan di Indonesia
sehingga memicu awal mula diterapkannya demokrasi terpimpn!
Jawaban:
Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan yang parlemennya
memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki
wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan
pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.
Munculnya sistem parlementer di Indonesia karena jatuhnya kabinet
Presidensial Pertama pada 14 November 1945 yang disebabkan oleh keluarnya
Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 pada 16 Oktober 1945 dan diikuti kemudian
oleh Maklumat Pemerintah pada 3 November 1945

Demokrasi parlementer tidak cocok diterapkan di Indonesia karena :


1. Karena masyarakat Indonesia tidak bisa dan siap mengutamakan individu
ketimbang kepentingan bersama, asas utama demokrasi parlementer atau
liberal.

2. Sistem kabinet dengan perdana menteri dan kelompok oposisi tdk berjalan
dengan baik karena pemahaman yang kurang mendalam antara pihak
pemerintah dan oposisi sehingga pada akhirnya oposisi lebih sibuk ingin
menjegal kabinet yang ada.

3. Provinsi yang mendapat hak istimewa layaknya negara bagian di AS cenderung


memanfaatkan hak tersebut untuk memberontak dan memisahkan diri dari
negara karena wawasannya yang cenderung masih kedaerahan. Hal ini tentunya
mengganggu stabilitas nasional. Setelah berakhirnya era demokrasi
parlementer, Indonesia mulai memasuki fase demokrasi lainnya, yaitu
demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin dimulai saat Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi sebelum dekrit presiden
diumumkan, demokrasi parlementer atau demokrasi konstitusional masih
bertahan dengan adanya pembentukan sebuah kabinet transisi yang dipimpin
oleh Ir. Djuanda atau yang disebut sebagai Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda
ini berisi orang-orang yang bukan dari koalisi dominan partai di palemenen,
maka sering kali Kabinet Djuanda disebut juga sebagai Kabinet Ekstra
Parlemen. Kabinet ini terhitung mulai bekerja sejak 9 April 1957 sampai 10 Juli
1959

Anda mungkin juga menyukai