Anda di halaman 1dari 76

ANALISIS INTERAKSI OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI DI

POSYANDU LANSIA LEMBAGA KARTINI SURYA KHATULISTIWA


TANJUNG HILIR

SKRIPSI

RAINE ARDHITA ANGGRAENY

I1011171081

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2021
ANALISIS INTERAKSI OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI

DI POSYANDU LANSIA LEMBAGA KARTINI SURYA KHATULISTIWA

TANJUNG HILIR

Tanggung Jawab Yuridis Material Pada

RAINE ARDHITA ANGGRAENY


11011171081

Disetujui Oleh

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Svarifah Nurúl Yanti R.S.A.,M.Biomed Dr. Nurmainah, MM., Apt


198602112012122003 197905202008012019

Mengetahui,
Dekan Fakultas kedokteran
oFNDIDIKAN
Universítas Tanýungpura

Dr. Muhammad Asroruddin, Sp/M


NIP. 198012312006041002
SURAT KEPUTUSAN

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURRA

NOMOR 2192/UN22.9/TA/2021

Tentang
Penetapan Dosen Penguji Tugas Akhir (Skripsi) Mahasiswa Program Studi
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura

Atas Nama:Raine Ardhita Anggraeny/ I1011171081


Tanggal : 6 Mei 2021

TIM PENGUJISKRIPSI

TANDA
JABATAN NAMA GOL
TANGAN
1. KETUA dr.Syarifah Nurul Yanti R.S.A., M.Biomed
NIP.198602112012122003
2. SEKRETARIS Dr.
IIlB
Nurmainah, S.Si, MM,Apt
NIP.197905202008012019
IIID w

3.PENGUJII dr. Mistika Zakiah., M.Biomed


NIP.198806032015042003 II B
4. PENGUJI II dr. Ridha Ulfah
NIP.198911162019032016
ANALISIS INTERAKSI OBAT PADA PASIEN HIPERTENSI DI
POSYANDU LANSIA LEMBAGA KARTINI SURYA KHATULISTIWA
TANJUNG HILIR

Raine Ardhita Anggraeny1; Syarifah NYRS Assegaf2; Nurmainah3

INTISARI

Latar belakang: Pemberian obat secara polifarmasi pada pasien hipertensi lansia
tidak bisa dihindari dikarenakan lansia memiliki beberapa penyakit selain
hipertensi. Pemberian obat secara polifarmasi dapat meningkatkan potensi
terjadinya interaksi obat pada tingkat mayor, moderat atau minor, serta terjadi pada
fase farmakodinamik atau farmakokinetik. Salah satu cara yang dapat dilakukan
yaitu melalui pemberian obat yang tepat dan meminimalisir pemberian obat secara
polifarmasi pada pasien hipertensi. Tujuan: Menganalisis interaksi antar obat,
menggolongkan obat antihipertensi, mendeskripsikan persentase interaksi obat, dan
tingkat keparahan interaksi obat yang diberikan pada pasien hipertensi posyandu
lansia di Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir. Metode:
Observasional dengan rancangan penelitian studi potong lintang (cross sectional
study) bersifat deskriptif. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pasien
hipertensi rawat jalan di posyandu lansia di Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa
Tanjung Hilir sebanyak 36 orang. Sampel dipilih menggunakan Consecutive
Sampling (non probability sampling). Hasil: Interaksi obat yang banyak terjadi
adalah pada tingkat moderat sebanyak 47 kasus (59%) dan pada fase
farmakodinamik sebanyak 71 kasus (90%). Kesimpulan: 79 kasus interaksi obat
pada pasien hipertensi di Posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa
Tanjung Hilir; obat hipertensi captopril dari golongan ACEI paling sering
berinteraksi dengan obat non antihipertensi; berdasarkan tingkat keparahan 32
kasus minor (41%), 47 kasus moderat (59%) dan tidak terdapat interaksi dalam
tingkat mayor; interaksi obat terjadi pada fase farmakokinetik sebanyak 8 kasus
(10%) dan farmakodinamik 71 kasus (90%).

Kata kunci: hipertensi, interaksi obat, lansia

1) Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura,


Pontianak, Kalimantan Barat.
2) Departemen Farmakologi Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat.
3) Departemen Farmakologi Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat.

ii
THE ANALYSIS OF DRUG INTERACTIONS IN HYPERTENSIVE
PATIENTS AT THE POSYANDU LANSIA LEMBAGA KARTINI SURYA
KHATULISTIWA TANJUNG HILIR

Raine Ardhita Anggraeny1; Syarifah NYRS Assegaf; Nurmainah3

ABSTRACT

Background: Polypharmacy of drugs in elderly hypertensive patients cannot be


avoided because the elderly have several diseases other than hypertension.
Polypharmacy administration of drugs can increase the potential for drug
interactions to occur at a major, moderat or minor level, as well as occur in the
pharmacodynamic or pharmacokinetic phase. One way that can be done to reduce
these risks is by administering the right medication and minimizing the
administration of polypharmacy for hypertensive patients. Objective: To analyze
interactions between drugs, classify antihypertensive drugs, describe the
percentage of drug interactions, and the severity of drug interactions given to
elderly hypertensive posyandu patients at the Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung
Hilir Society. Method: Observational with a descriptive model of the cross-
sectional study. The sample used in this study is hypertensive patients at the
Posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung as many as 36
people. Samples are selected using Consecutive Sampling (nonprobability
sampling). Results: drug interactions that occurred moderat level were 47 cases
(59%) and pharmacodynamic stage in 71 cases (90%). Conclusion: 79 cases
interaction drug of hypertension patients in Posyandu Lansia Lembaga Kartini
Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir; captopril hypertension drug from the ACEI
group were most case with non-hypertensive drug s; 32 minor cases (41%), 47
moderat cases (59%) and there was no interaction at the mayor level; 8 cases (10%)
pharmacokinetic and 71 cases (90%) pharmacodynamic interactions.

Keywords: elderly, drug interactions, hypertension

1) Department Medicine, Faculity of Medicine University of Tanjungpura


2) Department of Pharmacology, Faculity of Medicine University of Tanjungpura
3) Department of Pharmacology, Faculity of Medicine University of Tanjungpura.

iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis naikkan pada Tuhan Yesus Kristus yang Maha Esa dan
Maha Pengasih, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis
Interaksi Obat pada Pasien Hipertensi di Posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya
Khatulistiwa Tanjung Hilir”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura Pontianak.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, dr. Asrorudin, Sp. M.


2. Ketua Jurusan Program Studi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Dr.
dr. Ery Hermawati, M. Sc.
3. dr. Syarifah Nurul Yanti R. S. A, M. Biomed, selaku dosen pembimbing 1 yang
selalu mendukung dalam proses pengerjaan skripsi serta senantiasa memberikan
arahan, bimbingan, motivasi dan saran yang sangat membantu penulisan skripsi
ini.
4. Dr. Nurmainah MM, Apt., selaku dosen pembimbing 2 yang bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi serta memberikan arahan,
bimbingan dan saran bagi penulis.
5. dr. Mistika Zakiah, M. Biomed, selaku penguji 1 yang berkenan meluangkan
waktunya dalam menguji skripsi serta dukungan dan doa yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
6. dr. Ridha Ulfah, selaku penguji 2 yang berkenan meluangkan waktunya dalam
menguji skripsi serta dukungan dan doa yang sangat bermanfaat bagi penulis.
7. dr. Wiwik Windarti, Sp. A selaku pembimbing akademik yang selalu
membimbing saya selama berkuliah di FK Untan.
8. Semua staf pengajar dan administratif yang telah memberikan ilmu serta
membantu kelancaran saat saya berkuliah di Fakultas Kedokteran Untan.
9. Orangtua tercinta saya, Bapak Sumardi dan Ibu Eny susilowati. Serta tidak lupa
adik-adik saya, Christia Ardhila Natalia dan Ariesta Ardhinda Berlianti yang
selalu mendukung dengan penuh selama masa perkuliahan dan dalam perihal

iv
penulisan skripsi. Terimakasih atas segala kerja keras dan dukungan serta doa
yang selalu dipanjatkan bagi penulis.
10. M.C.A. sahabat terdekat dari semenjak masa SMP hingga kini dibangku
preklinik yang senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka.
11. Sahabat dekat dari awal kuliah, Dewi Apriani dan Annisa. Terimakasih buat
motivasi serta doa yang selalu diberikan kepada penulis.
12. Teman cerita dan sahabat terbaik, Puti Erika Virginia yang selalu meluangkan
waktu mendengarkan cerita, membantu penulis saat susah dan selalu memberi
motivasi bagi penulis.
13. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian, Chally dan Milenia.
14. Teman-teman lain yang membantu dari belakang yang tidak dapat disebutkan
satu persatu namanya, serta eman-teman semasa perkuliahan, DNA.

Penulis,

Pontianak, 19 April 2021

Raine Ardhita Anggraeny

v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................... i
INTISARI ................................................................................................................................ ii
ABSTRACT ..............................................................................................................................iii
KATA PENGANTAR .............................................................................................................iv
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................................vi
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
1.3. Tujuan Peneltitian .................................................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................................. 4
1.4.1. Bagi Peneliti ..................................................................................................... 4
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan ............................................................................... 5
1.4.3. Bagi Masyarakat ............................................................................................. 5
1.5. Keaslian Penelitian.................................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................ 6
2.1. Hipertensi................................................................................................................. 6
2.1.1. Definisi ............................................................................................................. 6
2.1.2. Klasifikasi ........................................................................................................ 6
2.1.3. Patofisiologi ..................................................................................................... 7
2.1.4. Diagnosis .......................................................................................................... 8
2.1.5. Faktor Risiko Hipertensi ................................................................................ 9
2.1.6. Tatalaksana ................................................................................................... 10
2.2. Obat Anthipertensi ............................................................................................... 14
2.2.1. Jenis – jenis .................................................................................................... 14
2.2.2. Dosis ............................................................................................................... 18
2.2.3. Mekanisme dan efek samping ...................................................................... 19
2.3. Interaksi Obat ....................................................................................................... 21

ii
2.3.1. Pengertian ...................................................................................................... 21
2.3.2. Tingkat Keparahan Interaksi Obat............................................................. 21
2.3.3. Jenis Interaksi Obat ...................................................................................... 22
2.3.4. Mekanisme Interaksi Obat ........................................................................... 23
2.3.5. Faktor – faktor yang Memengaruhi ............................................................ 26
2.4. Kerangka Teori ..................................................................................................... 28
2.5. Kerangka Konsep................................................................................................ 29
BAB III METODE PENELTIAN....................................................................................... 30
3.1. Desain Penelitian ................................................................................................... 30
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................. 30
3.3. Jadwal Penelitian .................................................................................................. 30
3.4. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................... 31
3.4.1. Populasi Penelitian ........................................................................................ 31
3.4.2. Sampel Penelitian .......................................................................................... 31
3.4.3. Besar Sampel Penelitian ............................................................................... 31
3.4.4. Metode Pengambilan Sampel ....................................................................... 31
3.5. Kriteria Sampel ..................................................................................................... 31
3.5.1. Kriteria Inklusi.............................................................................................. 31
3.5.2. Kriteria Eksklusi ........................................................................................... 31
3.6. Variabel Penelitian................................................................................................ 32
3.7. Definisi Operasional.............................................................................................. 32
3.8. Instrumen Penelitian ............................................................................................ 33
3.9. Pengolahan dan Penyajian Data .......................................................................... 34
3.10. Etika Penelitian ................................................................................................. 34
3.11. Alur Penelitian................................................................................................... 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 36
4.1. Hasil Penelitian...................................................................................................... 36
4.1.1. Karakteristik Pasien ..................................................................................... 36
4.1.2. Obat Hipertensi yang digunakan Pasien..................................................... 37
4.1.3. Kejadian Interaksi Obat berdasarkan Golongan Obat ............................. 37

iii
4.1.4. Kejadian Interaksi Obat berdasarkan Tingkat Keparahan ..................... 39
4.1.5. Kejadian Interaksi Obat berdasarkan Mekanisme (Fase) ........................ 39
4.16. Distribusi Tingkat Keparahan dan Mekanisme Interaksi Obat ............... 40
4.2. Pembahasan ........................................................................................................... 41
4.3. Keterbatasan Penelitian ....................................................................................... 51
BAB V PENUTUP................................................................................................................. 52
5.1. Kesimpulan ............................................................................................................ 52
5.2. Saran ...................................................................................................................... 52
Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 53
LAMPIRAN........................................................................................................................... 63

iv
DAFTAR TABEL
Table 1 Keaslian penelitian ........................................................................................... 5
Table 2 Klasifikasi tekanan darah menurut WHO-ISH dan ESC-ESC ........................ 6
Table 3 Klasifikasi hipertensi menurut Hypertension and the International Society of
Hypertension ................................................................................................................. 7
Table 4 Dosis obat antihipertensi menurut Evidence-Based...................................... 18
Table 5 Definisi Operasional ...................................................................................... 33
Table 6 Karakteristik Umum Pasien Hipertensi.......................................................... 36
Table 7 Distribusi Penggunaan Obat Hipertensi pada Pasien ..................................... 37
Table 8 Distribusi Kejadian Interaksi Obat berdasarkan Golongan Obat ................... 38
Table 9 Distribusi Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan ............ 39
Table 10 Distribusi Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme ...................... 39
Table 11 Distribusi Tingkat Keparahan dan Mekanisme Interaksi Obat .................... 40

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Teori Penelitian .......................................................................... 28


Gambar 2 Kerangka Konsep Peneltitian ..................................................................... 29
Gambar 3 Alur Penelitian............................................................................................ 35

vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hipertensi (tekanan darah tinggi) menurut JNC (Joint National
Committee) 8 merupakan peningkatan tekanan darah sistolik di atas batas
normal yaitu lebih dari ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari ≥90
mmHg.1 Prevalensi hipertensi di negara maju dan negara berkembang masih
tinggi. WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa prevalensi
hipertensi secara global sebesar 22% dari jumlah penduduk dunia. Wilayah
Afrika memiliki tingkat prevalensi paling tinggi yaitu sebesar 27%, sedangkan
Asia Tenggara berada di posisi ketiga dengan prevalensi sebesar 25% dari total
penduduk.2 Indonesia merupakan bagian dari Asia Tenggara dimana prevalensi
hipertensi pada penduduk usia ≥18 tahun 2018 adalah sebesar 34,11.3 Salah
satu provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi hipertensi di atas rata-rata
nasional adalah Kalimantan Barat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2018 diketahui prevalensi hipertensi di Kalimantan Barat
yaitu 36,99%3.

Masih tingginya angka kejadian hipertensi di Indonesia khususnya


Provinsi Kalimantan Barat harus menjadi perhatian bagi klinisi dalam menekan
angka kejadian tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu melalui
pemberian obat yang tepat dan meminimalisir pemberian obat secara
polifarmasi pada pasien hipertensi. Walaupun demikian, pemberian obat secara
polifarmasi tidak bisa dihindari ketika tekanan darah pasien tidak dapat
terkontrol secara optimal ketika menggunakan antihipertensi secara tunggal.
Pasien hipertensi memiliki risiko terkena penyakit gagal jantung kongesif,
stroke, gangguan penglihatan, dan penyakit ginjal.4

Penggunaan obat secara polifarmasi diketahui memiliki potensi


terjadinya interaksi antar obat.5 Minimal ada satu interaksi obat pada pasien

1
yang menggunakan obat secara polifarmasi. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa interaksi obat terjadi pasien rawat inap berkisar antara 2,2% sampai 30%
dan interaksi obat terjadi pada pasien rawat jalan berkisar 9,2 % sampai 70%.6,7
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa interaksi obat cenderung terjadi pada
pasien rawat jalan. Melihat persentase data tersebut menunjukkan potensi
interaksi obat lebih tinggi pada pasien rawat jalan dibandingkan pasien rawat
inap yang menggunakan obat polifarmasi.

Menurut penelitian Lamtiar dkk, interaksi obat hipertensi yang terjadi


pada fase farmakokinetik sebesar 47,37%, farmakodinamik 33,33% dan
interaksi yang tidak diketahui sebesar 19,30%.8 Interaksi obat berdasarkan
mekanisme farmakokinetik adalah interaksi yang terjadi apabila satu obat dapat
mengubah absorbsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain.9 Salah satu
contoh interaksi farmakokinetik adalah interaksi antara obat digoxin dan
spironolactone. Mekanisme spironolactone dapat melemahkan efek positif dari
digoxin. Interaksi farmakodinamik terjadi ditingkat reseptor dan
mengakibatkan perubahan efek obat yang bersifat sinergis apabila efeknya
menguatkan atau antagonis apabila efeknya mengurangi.10

Salah satu contoh interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara


digoxin dan furosemid. Mekanisme furosemid dapat menyebabkan gangguan
pada elektrolit tubuh sehingga dapat memengaruhi digoxin dengan
menginduksi terjadinya aritmia. Walaupun demikian, interaksi tersebut
termasuk interaksi farmakodinamik dengan onset lambat.10 Hal ini
menunjukkan bahwa golongan diuretik dapat menimbulkan interaksi obat baik
di fase farmakokinetik maupun farmakodinamik. Contoh antihipertensi lain
yang berpotensi interaksi dengan obat lainnya adalah Furosemid dan suplemen
kalium (KCI), penggunaan Furosemid dapat menurunkan kadar kalium
sehingga memerlukan suplemen kalium yang berfungsi untuk mencegah
penurunan kadar kalium, hal tersebut merupakan interaksi antagonis

2
farmakodinamik.11 Hal ini menunjukkan interaksi obat dapat terjadi di berbagai
golongan antihipertensi dengan obat lainnya.

Interaksi obat pada pasien bisa menyebakan keparahan pada pasien


mulai dari tingkat minor, moderat dan mayor. Interaksi minor adalah interaksi
yang masih dapat ditoleransi karena jika ditemukan dalam lembar resep maka
dalam terapi tidak diperlukan adanya perubahan, sedangkan interaksi moderat
adalah interaksi yang mungkin terjadi dalam terapi dan memerlukan perhatian
medis dan pengertian dari interaksi mayor adalah interaksi antar obat yang
dapat menimbulkan konsekuensi klinis hingga kematian.12 Adanya potensi
tingkat keparahan perlu kiranya sebagai klinisi untuk memperhatikan pola
peresepan obat pada pasien hipertensi terutama pada pasien lansia. Lansia
diketahui memiliki perubahan fisiologis yang dapat memengaruhi
farmakokinetik dan farmakodinamik obat.13

Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan analisis


interaksi obat pada pasien lansia di posyandu lansia Lembaga Kartini Surya
Khatulistiwa Tanjung Hilir. Dari data survei awal, pada tahun 2019 diketahui
pasien hipertensi di Posyandu lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa
Tanjung Hilir cukup besar yaitu 67 orang dan rata-rata peserta posyandu
tersebut setiap bulannya adalah 110 orang serta posyandu ini rutin mengadakan
kegiatan setiap bulannya pada tanggal 10. Hal ini yang menjadi alasan
dipilihnya Posyandu lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir
sebagai tempat penelitian.

1.2. Rumusan Masalah


1. Golongan antihipertensi apa yang memiliki potensi besar untuk terjadinya
interaksi obat pada pasien posyandu lansia di Lembaga Kartini Surya
Khatulistiwa Tanjung Hilir?

3
2. Berapa besar persentase interaksi obat pada fase farmakokinetik dan
farmakodinamik pada obat yang digunakan oleh pasien posyandu lansia di
Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir?
3. Berapa besar persentase tingkat keparahan interaksi obat pada pasien
posyandu lansia di Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir?
1.3. Tujuan Peneltitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis interaksi obat-obat yang diberikan pada pasien hipertensi
posyandu lansia di Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan golongan antihipertensi yang memiliki potensi
besar untuk terjadinya interaksi obat pada pasien posyandu lansia
di Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir.
b. Mendeskripsikan persentase interaksi obat pada fase
farmakokinetik dan farmakodinamik pada obat yang digunakan
pasien posyandu lansia di Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa
Tanjung Hilir.
c. Mendeskripsikan persentase tingkat keparahan interaksi obat pada
pasien posyandu lansia di Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa
Tanjung Hilir.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi Peneliti
Sebagai sarana untuk melakukan penelitian dan penyusunan karya
tulis ilmiah sebagai tugas akhir mengenai Interaksi Obat Hipertensi di
posyandu lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir serta
menambah pengetahuan peneliti saat ingin meresepkan obat bagi pasien
hipertensi sehingga dapat meminimalisir kejadian interaksi obat yang dapat
memperburuk keadan pasien.

4
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
dan literatur penelitian bagi institusi pendidikan kedokteran serta menjadi
referensi dalam penelitian selanjutnya.

1.4.3. Bagi Masyarakat


Memberi informasi tentang interaksi apa saja yang dapat terjadi saat
mengonsumsi obat hipertensi.

1.5. Keaslian Penelitian


Table 1 Keaslian penelitian

No Penelitian Metode Penelitian Perbedan Tahun


Penelitian

1 Analisis Interaksi Obat Desain penelitian Populasi dan 2011


pada Pasien Hipertensi observasional analitik sampel, Metode
Geriatri yang Menjalani dengan menggunakan penilaian potensi
Rawat Jalan di RS PKU rancangan penelitian tingkat
Muhammadiyah cross sectional keparahan
Yogyakarta Agustus interaksi obat
2009-Agustus 2010

2 Analisis Hubungan Desain penelitian non Populasi dan 2019


Polifarmasi dan Interaksi eksperimental secara sampel, Metode
Obat pada Pasien Rawat deskriptif analitik penilaian potensi
Jalan yang Mendapat dengan metode tingkat
Obat Hipertensi di Rsp. Retrospektif. keparahan
dr. Ario Wirawan Periode interaksi obat
Januari-Maret 2019

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi
Berdasarkan JNC 8 Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan
peningkatan tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu ≥140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg.1 Hipertensi merupakan tanda klinis
ketidakseimbangan hemodinamik suatu sistem kardiovaskular, yang
disebabkan oleh beberapa faktor maupun multifaktor sehingga tidak bisa
terdiagnosis dengan hanya satu faktor tunggal.14
2.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi tekanan darah menurut WHO-ISH (World Health
Organization-International Society of Hypertension), dan ESH-ESC
(European Society of Hypertension-European Society of Cardiology),
2014.15,16

Table 2 Klasifikasi tekanan darah menurut WHO-ISH dan ESC-ESC

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Distolik


Darah WHO-ISH ESH-ESC WHO-ISH ESH-ESC

Optimal <120 <120 <80


Normal <130 <130 <85 <85
Tinggi-Normal 130-139 130-139 85-89 85-89
Hipertensi kelas 1 140-159 140-159 90-99 90-99
(ringan)
Cabang: perbatasan 140-149 140-149 90-94
Hipertensi kelas 2 160-179 160-179 100-109 100-109
(sedang)
Hipertensi kelas 3 ≥180 ≥180 ≥110 ≥110
(berat)

6
Klasifikasi hipertensi menurut American Society of Hypertension and
the International Society of Hypertension yaitu,16

Table 3 Klasifikasi hipertensi menurut Hypertension and the International


Society of Hypertension

Klasifikasi Sistolik Diastolik


Optimal <120 Dan <80
Normal 120-129 dan/ atau 80-84
Normal tinggi 130-139 dan/ atau 84-89
Hipertensi derajat 1 140-159 dan/ atau 90-99
Hipertensi derajat 2 160-179 dan/ atau 100-109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 dan/ atau ≥110
Hipertensi sistolik ≥ 140 Dan <90
terisolasi

2.1.3. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE).
Di dalam darah terdapat angiotensinogen yang diproduksi dihati. Ginjal akan
memproduksi hormon renin yang akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I. ACE yang terdapat di paru-paru akan mengubah angiotensin I
menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki peran menaikkan tekanan
darah melalui dua aksi utama.17
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja
di ginjal untuk mengatur osmolaritas dan volume urin. Apabila ADH meningkat
maka urin yang dieksresikan ke luar tubuh akan sedikit atau berkurang (anti
diuresis) sehingga menyebabkan urin menjadi pekat dan tinggi osmolaritasnya.
Volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari

7
bagian intraseluler untuk mengencerkan urin. Akibat hal tersebut maka volume
darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.17
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteksadrenal.
Aldosteron yang merupakan hormon steroid memiliki peranan penting pada
ginjal. Aldosteron mengatur volume cairan ekstraseluler dengan cara
mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan mereabsorbsinya pada tubulus
ginjal. Apabila konsentarsi NaCl meningkat maka akan diencerkan kembali
dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.17

2.1.4. Diagnosis
Terdapat beberapa tahapan pemeriksaan atau diagnosis pada penyakit
hipertensi sebelum menentukan terapi yang tepat. Salah satu contoh adalah
algoritma diagnosis dari Canadian Education Program. The Canadian
Recommendation for The Management of Hypertension 2014.18

1. Anamnesis
Sebagian besar hipertensi bersifat asimptomatik. Beberapa pasien
mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti berputar, atau
penglihatan kabur. Selain itu beberapa hal juga dapat dicurigai sebagai
penyebab hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti
kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID. Pasien
juga terkadang berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat penyakit
ginjal sebelumnya. Anamnesis dapat mengetahui faktor risiko
kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus dan lain sebagainya.16,19,20
2. Pemeriksaan fisik
Nilai tekanan darah pasien setiap kali kunjungan ke dokter atau fasilitas
kesehatan diambil rerata pada dua kali pengukuran. Apabila tekanan darah

8
sistol ≥ 140 dan diastol ≥90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka
hipertensi dapat ditegakkan. 16,19,20
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi
yang telah atau sedang terjadi pada pasien hipertensi. Pemeriksaan
penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium yang mencangkup darah
lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat
dan urinalisis. Pemeriksaan lainnya dapat berupa pemeriksaan fungsi
jantung seperti elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto toraks dan
ekokardiografi. 16,19,20
2.1.5. Faktor Risiko Hipertensi
Terdapat beberapa faktor risiko penyebab tingginya prevalensi
penderita hipertensi, diantaranya yaitu:
1. Jenis kelamin
Laki-laki menunjukkan prevalensi hipertensi dan prehipertensi yang
lebih tinggi daripada perempuan, masing-masing (L: 40,9% dan P: 26,0%)
dan (L: 45,9% dan P: 38,05%).20,21 Beberapa penelitian lain juga
menunjukan persentase hipertensi pria lebih tinggi daripada wanita.22-26 Hal
tersebut dapat dipengaruhi oleh perilaku gaya hidup seperti merokok,
konsumsi alkohol, atau aktivitas fisik lebih banyak dilakukan oleh pria.
Selain itu, perempuanlebih sering pergi ke layanan kesehatan dan juga lebih
sering melaporkan kesehatan mereka yang buruk dan karena itu mereka lebih
cenderung memiliki kesehatan yang lebih baik.27,28
2. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang dengan usia lanjut
cenderung rentan terkena hipertensi.29-32 Dengan bertambahnya usia,
dinding aorta dan arteri akan menjadi lebih kaku dan hal ini dapat

9
berkontribusi pada tingginya prevalensi hipertensi pada kelompok usia yang
lebih tua.33
3. Berat badan berlebih dan Obesitas
Berat badan berlebih dan obesitas merupaka faktor risiko penyakit
hipertensi yang dapat dimodifikasi. Seseorang yang kelebihan berat badan
memiliki risiko dua kali lipat terkena hipertensi dan obesitas memiliki lebih
dari tiga kali lipat terkena hipertensi dibandingkan dengan orang yang
memiliki berat badan normal menurut perhitungan BMI.34,35
Salah satu alasan obesitas dan hipertensi berhubungan adalah bahwa
peningkatan berat badan dapat meningkatkan curah jantung dan peningkatan
resistensi perifer pada arteriol.33
2.1.6. Tatalaksana
Tatalaksana hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu non farmakologis dan
farmakologis18,1 :
1. Non farmakologis
a. Penurunan berat badan.
Penurunan berat badan dapat dimulai dengan mengganti makanan
yaitu memperbanyak asupan sayur dan buah-buahan, hal tersebut dapat
memberikan manfaat penurunan tekanan darah dan dapat mencegah
terjadinya diabetes dan dislipidemia.
b. Mengurangi asupan garam.
Diet rendah garam bermanfaat untuk mengurangi dosis obat
antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan
garam tidak melebihi 2 gr/ hari.
c. Olah raga.
Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari
atau minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.
Olahraga yang dapat dilakukan yaitu olahraga ringan yang dapat

10
dilakukan dalam kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki, mengendarai
sepeda atau menaiki tangga.
d. Mengurangi konsumsi alkohol.
Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas
per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Sehingga,
mengurangi konsumsi alkohol dapat membantu penurunan tekanan darah.
e. Berhenti merokok.
Walaupun belum terdapat penelitian yang membuktikan bahwa
kebiasaan merokok dapat menaikan tekanan darah, tetapi merokok
merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan
pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.
2. Farmakologis
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai apabila
pasien hipertensi derajat 1 tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah
> 6 bulan dan sudah menjalani pola hidup sehat serta pada pasien dengan
hipertensi derajat ≥ 2. Algoritme tatalaksana hipertensi yang
direkomendasikan memiliki persamaan prinsip. Salah satu pedoman terbaru
dan dapat dijadikan acuan dalam penanganan hipertensi di Indonesia adalah
pedoman Joint National Committee (JNC) 8 yang dipublikasikan pada tahun
2014.1
Pedoman JNC 8 mencantumkan 9 rekomendasi penanganan
hipertensi 1:

1. Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, terapi farmakologis untuk


menurunkantekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥150
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target sistolik
<150 mmHg dan target diastolik <90 mmHg. (Strong Recommendation-
Grade A). Pada populasi umum berusia ≥60 tahun, jika terapi
farmakologis hipertensi menghasilkan tekanan darah sistolik lebih rendah

11
(misalnya <140 mmHg) dan ditoleransi baik tanpa efek samping
kesehatan dan kualitas hidup, dosis tidak perlu disesuaikan. (Expert
Opinion- Grade E).
2. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan
tekanan darah dimulai jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan
target tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk usia 30-59 tahun Strong
Recommendation- Grade A; untuk usia 18-29 tahun Expert Opinion-
Grade E).
3. Pada populasi umum <60 tahun, terapi farmakologis untuk menurunkan
tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan
target tekanan darah sistolik <140 mmHg (Expert Opinion- Grade E).
4. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
farmakologis untuk menurunkan tekanan darah dimulai, jika tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg
dengan target tekanan darah sistolik <140 mmHg dan target tekanan
darah diastolik <90 mmHg (Expert Opinion- Grade E).
5. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan diabetes, terapi farmakologis
untuk menurunkan tekanan darah dimulai jika tekanan darah sistolik ≥140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target tekanan
darah sistolik <140 mmHg dan target tekanan darah diastolik <90 mmHg
(Expert Opinion- Grade E).
6. Pada populasi non-kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes,
terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide,
calcium channel blocker, (CCB), angiotensin-converting enzyme
inhibitor (ACEI), atau angiotensin receptor blocker (ARB). (Moderat
Recommendation- Grade B).
7. Pada populasi kulit hitam umum, termasuk mereka dengan diabetes,
terapi antihipertensi awal sebaiknya mencakup diuretik tipe thiazide atau

12
CCB. (Untuk populasi kulit hitam: Moderat Recommendation- Grade B;
untuk kulit hitam dengan diabetes: Weak Recommendation- Grade C).
8. Pada populasi berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi
antihipertensi awal (atau tambahan) sebaiknya mencakup ACEI atau
ARB untuk meningkatkan outcome ginjal. hal ini berlaku untuk semua
pasien penyakit ginjal kronik dengan hipertensi terlepas dari ras atau
status diabetes. (Moderat Recommendation- Grade B).
9. Tujuan utama terapi hipertensi adalah mencapai dan mempertahankan
target tekanan darah. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam 1
bulan perawatan, tingkatkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua
dari salah satu kelas yang direkomendasikan dalam rekomendasi 6
(thiazide-type diuretic, CCB, ACEI atau ARB). Dokter harus terus
menilai tekanan darah dan menyesuaikan regimen perawatan sampai
target tekanan darah dicapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai
dengan 2 obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia.
Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada satu pasien. Jika
target tekanan darah tidak dapat dicapai menggunakan obat di dalam
rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau perlu menggunakan lebih dari
3 obat, obat antihipertensi kelas lain dapat digunakan. Rujukan ke
spesialis hipertensi mungkin diindikasikan jika target tekanan darah tidak
dapat tercapai dengan strategi di atas atau untuk penanganan pasien
komplikasi yang membutuhkan konsultasi klinis tambahan. (Expert
Opinion- Grade E).

13
2.2. Obat Anthipertensi
2.2.1. Jenis – jenis
1. Lini Pertama
a. Diuretik tiazid
Diuretik tiazid dalam pedoman JNC 8 merupakan pengobatan
lini pertama untuk hipertensi; diuretik tiazid dapat digunakan secara
tunggal atau bersama obat lain pada semua kelompok usia tanpa
memandang ras kecuali pasien memiliki penyakit penyerta seperti
penyakit ginjal kronis karena dapat menghambat enzim pengonversi
angiotensin atau angiotensin blocker receptor II.36
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diuretik tiazide seperti
chlorthalidone dan indapamide dapat mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular daripada hydrochlorothiazide. Chlorthalidone
merupakan obat pilihan pertama untuk monoterapi pada pasien
hipertensi diakrenakan studi menunjukkan Chlorthalidone adalah obat
diuretik terbaik untuk mengontrol tekanan darah dan dapat mencegah
kematian serta morbiditas.36-38

Menurut sebuah penelitian, hydrochlorothiazide memiliki efek


yang lebih pendek pada siang hari pada pasien hipertensi di fasilitas
kesehatan dengan pembacaan tekanan darah rawat jalan 24 jam.
Klorthalidone dan hidroklorotiazid dapat menurunkan tekanan darah
sistolik sebesar 7-8 mm Hg.39 Chlorthalidone adalah pilihan pertama
pada pasien lansia dengan osteoporosis, karena menunjukkan lebih
sedikit insiden fraktur panggul bila dibandingkan dengan amlodipin dan
lisinopril.40

b. Calcium Channel Blocker (CCB)


JNC 8 merekomendasikan CCB sebagai pengobatan lini
pertama untuk dikonsumsi tunggal maupun dengan obat hipertensi

14
lainnya pada semua pasien hipertensi tanpa memandang usia dan ras
tetapi terdapat pengecualian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis,
ACE Inhibitor atau ARB menjadi pengobatan yang dianjurkan pada
pasien tersebut.1,41
CCB dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dihidropiridin dan
nondihidropiridin. Dihidropiridin berfungsi sebagai vasodilator dan
lebih banyak digunakan untuk pengobatan pasien hipertensi. Salah satu
contoh obat yang sering digunakan dalam kelompok dihidropiridin
adalah nifedipin dan amlodipin. Dihidropiridin tidak disarankan sebagai
pengobatan utama bagi pasien gagal jantung kongestif (CHF) tetapi
dapat digunakan sebagai pengobatan tambahan yang aman pada pasien
untuk kontrol tekanan darah atau angina pektoris.42
Nondihidropiridin kurang efektif bila digunakan sebagai
vasodilator tetapi memiliki efek kontraktilitas dan konduksi jantung
yang lebih baik. Nondihidropiridin lebih banyak digunakan sebagai
obat antiaritmia dan jarang digunakan untuk pengobatan pasien
hipertensi. Nondihidropiridin relatif kontraindikasi pada pasien dengan
CHF dan dapat menyebabkan risiko fraksi ejeksi berkurang, blok
jantung derajat kedua dan ketiga serta pada pasien dengan sindrom
sinus.43
c. ACE inhibitor
ACE inhibitor merupakan obat antihipertensi pilihan bagi pasien
dengan gagal jantung dan penyakit ginjal kronis dengan proteinuria.1
Pedoman JNC 8 mencantumkan obat antihipertensi ini sebagai
pengobatan lini pertama pada pasien yang tidak berkulit hitam bersama
dengan tiazid dan CCB.1
Obat golongan ini terbukti memiliki efek pelindung kardio
(cardio protection) pada pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit
kardiovaskular. Tiazid diuretik lebih baik daripada ACE inhibitor dalam
15
menurunkan tekanan darah dan mencegah stroke, CCB lebih baik
daripada ACE inhibitor dalam menurunkan tekanan darah dan
mencegah stroke serta gagal jantung.44 Salah satu contoh ACE Inhibitor
adalah perindopril yang digunakan untuk mengurangi angka kejadian
kardiovaskular untuk pasien dengan penyakit arteri koroner stabil dan
disfungsi sistolik normal.44
d. Beta bloker
Beta bloker tidak direkomendasikan sebagai pengobatan utama
pasien hipertensi kecuali ada indikasi seperti gagal jantung dan infark
miokard. Beta bloker dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular pada pasien yang lebih muda, tetapi kurang protektif
pada pasien yang lebih tua (>65 tahun) dan tercatat dapat meningkatkan
penyakit stroke.41,45
2. Lini Kedua dan Ketiga
a. Loop diuretik
Loop diuretik lebih efektif daripada tiazid untuk pasien dengan
perkiraan laju filtrasi glomerulus >30 mL / menit. Obat ini digunakan
untuk pengobatan edema perifer yang terkait dengan gagal jantung
kongestif dan penyebab edema non kardiak lainnya seperti pada
penyakit hati dan ginjal.46
b. Mineralocorticoid receptor antagonists
Pironolakton dan eplerenon dianggap dapat digunakan dalam
pengobatan hipertensi bila ditambahkan ke obat antihipertensi lain pada
pasien hipertensi yang resistan, kelompok obat ini sangat baik jika
digunakan dalam pengobatan rangkap tiga tetapi harus digunakan
secara hati-hati terutama bila ditambahkan ke ACE inhibitor atau ARB
karena dapat meningkatkan kejadian hiperkalemia pada pasien.16

16
c. Hydralazine
Obat ini dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi
resisten, dapat digunakan secara tunggal atau dalam kombinasi dengan
nitrat, dalam kasus gagal jantung. Hydralazine memiliki efek
meningkatkan ritme simpatik dan meningkatkan aviditas natrium, tetapi
jika dikonsumsi bersamaan dengan beta bloker dan loop diuretik dapat
membantu mengurangi efek tersebut.16

d. Clonidine
Clonidine adalah agonis alpa-2 sentral yang dapat digunakan
sebagai obat tambahan ketika pasien gagal dalam terapi kombinasi.16
e. Minoxidile
Obat ini biasanya merupakan pilihan ketika pasien gagal dalam
pengobatan dengan hydralazine, tetapi obat ini memiliki efek retensi
cairan sehingga penambahan loop diuretik dapat mengurangi efek
tersebut. Obat ini juga dapat meningkatkan ritme simpatik yang
mungkin dapat dicegah dengan menambahkan beta bloker.16

f. α – bloker
Obat ini tidak digunakan sebagai lini pertama dikarenakan tidak
efektif dalam pencegahan penyakit kardiovaskular bila dibandingkan
dengan agen lini pertama lainnya.41

17
2.2.2. Dosis
Dosis obat antihipertensi berdasarkan Evidence-Based 47

Table 4 Dosis obat antihipertensi menurut Evidence-Based

Antihypertensive Initial Target Dose in No, of


Medication Daily Dose, RCT5 Doses per
mg Reviewed, mg Day
ACE inhibitors
Captopril 50 120-200 2
Enalapril 5 20 1-2
Lisinopril 10 40 1
Angiotensin
Receptor blockers
Eprosartan 400 600-800 1-2
Candesartan 4 12-32 1
Losartan 50 100 1-2
Valsartan 40-80 160-320 1
Irbesartan 74 300 1
β-Blockers
Atenolol 25-50 100 1
Metoprolol 50 100-200 1-2
Calcium channel
blockers
Alodipine 2-5 10 1
Diltiazem extended
release 120-180 360 1
Nitrendipine 10 20 1-2
Thiazide-type
diuretics
Bendroflumenthiazide 5 10 1
Chlorthalidone 12.5 12.5-25 1
Hydrochlorthiazide 12.5-25 25-100 1-2
Indapamide 1.25 1.25-2.5 1

18
2.2.3. Mekanisme dan efek samping
Mekanisme dan efek samping obat dapat dibedakan berdasarkan kelas obat1
1. Diuretik
a. Diuretik tiazid mengurangi penyerapan natrium di ginjal dan
menghambat natrium serta klorida cotransporter pada tubulus
glomerulus distal ginjal; lebih efektif mengontrol tekanan darah
pasien hipertensi dibandingkan Loop diuretik. Obat ini dapat
menimbukan efek samping berupa hipokalemia, hiponatremia,
hipomagnesemia, hiperurisemia, fotosensitifitas dan efek metabolik
termasuk dislipidemia dan gangguan toleransi glukosa.
b. Loop diuretik bekerja dengan menghambat natrium, kalium, dan
klorotransporter dalam batang asenden tebal pada lingkaran Henle.
Efek samping obat ini berupa hipokalemia, tetapi efek samping
metabolik lainnya lebih sedikit.
c. Diuretik hemat kalium bekerja dengan cara menghambat saluran
natrium epitel di tubulus distal ginjal serta efek sampingnya berupa
hiperkalemia.
2. Renin Angiotensin System Blockers
a. Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor bekerja dengan cara
meredam pantulan gelombang arteri, meningkatkan distensibilitas
aorta dan venodilasi serta menghalangi konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II. Obat ini memiliki efek samping berupa batuk,
hiperkalemi, peningkatan kreatinin, angioedema, dan toksisitas janin.
b. Angiotensin II tipe I bloker (ARB) bekerja dengan cara memblokir
pengikatan angiotensin II dengan reseptor angiotensin tipe 1 dan
memiliki efek samping hiperkalemia, peningkatan kreatinin,
angioedema dan toksisitas janin.
c. Inhibitor renin langsung bekerja dengan cara menghalangi konversi
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan memiliki efek samping
19
berupa hiperkalemia, peningkatan kreatinin, angioedema dan
toksisitas janin serta diare pada konsumsi dosis tinggi.
3. Calcium Channel Blockers (CCB)
a. Dihidropiridin bekerja dengan cara menghambat rantai dan
vasodilatasi membran plasma bertegangan tipe-L. Efek samping
berupa edema dependen dan hiperplasia gingiva.
b. Diltiazem bekerja dengan cara vasodilatasi dan AV nodal blokade
dan efek samping berupa bradikardia.
c. Verapamil bekerja dengan cara vasodilatasi dan AV nodal blokade
dan efek samping berupa bradikardia.
4. Beta Blockers
a. Beta Bloker nonselektif bekerja menghambat reseptor beta 1 dan 2
dan memiliki efek samping depresi dan bronkospasme.
b. Beta blocker selektif bekerja memblokir reseptor beta 1 dan lebih
sering menyebabkan bronkospasme.
c. Kombinasi alpa dan beta bloker bekerja dengan memblokir reseptor
beta dan alfa dan efek samping jarang terjadi dan biasanya berupa
bronkospasme.
5. Aldosterone Blocker
Spironolakton dan eplerenon bekerja dengan cara memblokir
reseptor aldosteron dan efek samping berupa pemblokiran androgen,
seperti menstruasi tidak teratur, ginekomastia dan impotensi.
6. Direct Vasodilators
Bekerja dengan cara merelaksasikan otot polos, tetapi memiliki
efek samping yaitu edema perifer.
7. Alpha-1 Blockers
Bekerja dengan cara vasodilatasi dan efek samping berupa
hipotensi postural.

20
8. Central Adrenergic Agonists
Bekerja dengan menghambat ritme adrenergik sentral dan
memiliki efek samping yaitu menyebabkan rasa kantuk, kelelahan dan
mulut kering.
2.3. Interaksi Obat
2.3.1. Pengertian
Interaksi obat adalah dua atau lebih obat yang diberikan secara
bersamaan sehingga dapat berinteraksi dan dapat memengaruhi respon
tubuh dalam hasil pengobatan. Hasil interaksi tersebut dapat berupa
peningkatan atau penurunan efek yang dapat memengaruhi keluaran atau
hasil terapi pasien. Interaksi obat dapat terjadi pada fase farmakodinamik
atau farmakokinetik.48

2.3.2. Tingkat Keparahan Interaksi Obat


Interaksi obat berdasarkan tingkat keparahan dapat digolongkan menjadi
tiga, yaitu49:
1. Mayor
Kategori mayor atau tinggi yaitu ketika interaksi tersebut memiliki
efek klinis yang sangat signifikan. Kombinasi obat yang berinteraksi
secara mayor dianggap kontraindikasi dan harus dihindari karena
memiliki risiko merugikan lebih tinggi dibandingkan keuntungan dalam
kombinasi obat-obat tersebut. Tingkat keparahan mayor dapat
menimbulkan risiko yang berpotensi mengancam jiwa pasien serta dapat
mengakibatkan kerusakan permanen. Contoh interaksi mayor adalah
penggunaan furosemid dan digoxin, dimana furosemid dapat
meningkatkan efek digoxin yaitu meningkatkan ekskresi kalium dan
magnesium sehingga dapat memengaruhi otot jantung.

21
2. Moderat
Interaksi obat-obat dalam kategori moderat atau sedang juga cukup
signifikan sehingga kombinasi obat ini tidak dianjurkan kecuali untuk
kasus-kasus tertentu. Tingkat keparahan moderat menimbulkan efek
yang dapat mengakibatkan penurunan klinis pasien sehingga
dibutuhkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit. Contoh
interaksi moderat adalah penggunaan bisoprolol dengan digoxin,
dimana bisoprolol akan meningkatkan efek digoxin dan terjadi
bradikardia (penurunan denyut jantung).

3. Minor
Kategori minor memiliki efek klinis minor atau risiko rendah serta
tidak memengaruhi efek klinis pasien sehingga terapi tambahan tidak
diperlukan. Namun, obat alternatif lain dapat digunakan sebagai langkah
untuk mencegah ketergantungan dan risiko interaksi tersebut. Jika obat-
obat yang berinteraksi dengan kategori minor ini diresepkan, maka
pasien harus dimonitor secara seksama. Contoh interaksi minor adalah
penggunaan furosemid dengan captopril, hal tersebut dikarenakan kedua
obat tersebut dapat saling meningkatkan efek masing-masing sehingga
dapat terjadi hipotensi akut dan penurunan fungsi.

2.3.3. Jenis Interaksi Obat


1. Interaksi Obat dengan Obat
Interaksi obat dengan obat dapat terjadi ketika dua obat atau lebih
diberikan pada saat bersamaan. Interaksi antara obat dan obat dapat
memberikan efek menguntungkan maupun merugikan. Adapun contoh
interaksi yang menguntungkan terjadi antara kombinasi ACE Inhibitor
dengan Beta bloker, kombinasi tersebut dapat meningkatkan efek
penurunan tekanan darah. Sedangkan interaksi yang merugikan terjadi
pada kombinasi ACE Inhibitor dengan ARB, yang dapat meningkatkan

22
risiko hipotensi, kerusakan ginjal dan hiperkalemia pada pasien gagal
jantung.50

2. Interaksi Obat dengan Makanan atau Minuman


Makanan dan nutrisi tertentu dalam makanan apabila dikonsumsi
bersamaan dengan obat dapat memengaruhi bioavailabilitas,
farmakokinetik, farmakodinamik maupun efikasi terapi obat. Efikasi
terapi obat-obatan sebagian besar tergantung pada status gizi masing-
masing individu yang berarti nutrisi dalam masing-masing saluran
pencernaan individu dan atau sistem fisiologis tubuh dapat
meningkatkan atau mengganggu tingkat penyerapan obat.51

2.3.4. Mekanisme Interaksi Obat


1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik merupakan suatu interaksi yang dapat
terjadi apabila satu obat mengubah proses penyerapan, distribusi,
metabolisme, atau ekskresi obat lain. Interaksi ini dapat
memengaruhi peningkatan atau penurunan obat yang tersedia agar
dapat menimbukan efek farmakologi.

a. Penyerapan
Interaksi yang dapat memengaruhi penyerapan suatu obat
dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya yaitu
perubahan pH pada saluran cerna, pembentukan kompleks,
perubahan motilitas gastrointestinal dan induksi atau inhibisi
protein transfer. Penyerapan obat ditentukan oleh nilai pKa obat,
kelarutannya dalam lemak dan sejumlah parameter yang berkaitan
dengan dengan formulasi obat sehingga penggunaan obat lain
akan memengaruhi proses penyerapan. Salah satu contoh interaksi
yang dapat memengaruhi penyerapan yakni pada saat penggunaan

23
diuretik tiazid bersamaan dengan kolestiramin, karena hal tersebut
dapat mengurangi penyerapan tiazid sehingga menurunkan efek
terapinya.10,50
b. Distribusi
Interaksi juga dapat memengaruhi proses distribusi obat
dalam tubuh. Dua obat yang berikatan dengan protein atau
albumin akan bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein
atau albumin tersebut sehingga akan terjadi penurunan pada ikatan
protein salah satu atau lebih obat. Hal tersebut dapat berakibat
pada banyak obat bebas yang beredar dalam plasma sehingga
menyebabkan toksisitas. Obat yang tidak berikatan dengan plasma
(bebas) dapat memengaruhi respon farmakologik.50
c. Metabolisme
Agar obat mendapatkan efek farmakologi, obat harus
mencapai situs reseptor yang berarti obat tersebut harus mampu
melintasi membran plasma lipid. Peran metabolisme adalah untuk
mengubah senyawa aktif yang larut dalam lipid menjadi senyawa
tidak aktif yang dapat larut di dalam air sehingga dapat
diekskresikan secara efisien. Salah satu enzim mikrosomal di hati
yang penting yaitu isoenzim sitokrom p-450, enzim ini
bertanggung jawab dalam oksidasi kebanyakan obat serta enzim
tersebut yang paling sering diinduksi oleh suatu obat lain.10
d. Ekskresi
Ekskresi obat sebagian besar terjadi lewat ginjal melalui
urin dan juga melalui empedu. Interaksi obat pada proses ekskresi
dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain kompetisi untuk
sekresi aktif di tubulus ginjal. Hambatan sekresi aktif di tubulus
ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat
untuk sistem transpor aktif yang sama, yakni P-glikoprotein untuk
24
kation organik dan zat netral serta Multidrug Resistance Protein
(MRP) untuk anion organik dan konjugat. Faktor lainnya yakni
perubahan pada pH urin. Salah satu contoh interaksi yang dapat
memengaruhi eliminasi atau ekskresi adalah saat beta bloker
digunakan bersamaan dengan teofilin yang akan mengurangi
eliminasi teofilin.10,52
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang
bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang
sama sehingga hal tersebut dapat menimbulkan efek-efek obat yang
aditif, sinergis (potensiasi) atau antagonis.10,52
a. Efek obat aditif
Interaksi dapat terjadi apabila pemberian dua atau lebih
obat yang memiliki efek farmakologi yang sama diberikan secara
bersamaan dan akan memberikan peningkatan efek dari efek
masing-masing obat. Terkadang efek aditif dapat bersifat toksik
yang mengakibatkan depresi sumsum tulang, nefrotoksik dan
ototoksik. Sebagai contoh, interaksi aditif terjadi pada
penggunaan supplemen kalium dan obat golongan potassium
sparing drugs (ACE Inhibitor, angiotensin receptor blocker,
potassium sparing diuretic) yang akan menyebabkan
hiperkalemia.50
b. Efek obat sinergisme
Interaksi yang terjadi apabila dua obat atau lebih yang
tidak memiliki ataupun memiliki efek farmakologi yang sama
diberikan secara bersamaan dan akan memperkuat efek obat lain.
Interaksi sinergis yang terjadi antara furosemid dan ranipril dapat
meyebabkan hipokalemia. Hipokalemia tersebut disebabkan oleh

25
efek diuretik yang bekerja memperbanyak pengeluaran kalium
dan air.10,50
c. Efek obat antagonis
Efek yang dihasilkan dari interaksi obat yang terjadi
antara dua atau lebih obat yang memiliki efek antagonis atau efek
farmakologi yang berlawanan. Jika obat-obat tersebut diberikan
secara bersamaan maka akan menghilangkan salah satu efek obat
tersebut. Salah satu contoh interaksi antagonis adalah antara
kombinasi ACE Inhibitor atau diuretik loop dengan obat golongan
antiinflamasi non steroid (OAINS) yang bertentangan dengan
efek antihipertensi.50

2.3.5. Faktor – faktor yang Memengaruhi


Menurut Tatro, faktor-faktor yang dapat memengaruhi interaksi obat
antara lain10:

1. Usia
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sekitar 25% dari semua resep
yang ditujukan kepada pasien lanjut usia dan anak-anak memiliki risiko
tinggi terjadinya interaksi obat. Pasien lanjut usia mungkin memiliki
penyakit kronis lainnya maupun penurunan fungsi organ yang dapat
meningkatkan interaksi obat yang dikonsumsi.
2. Penyakit
Keadan penyakit seperti kerusakan fungsi ginjal, fungsi hati maupun
hipoalbumin dapat memengaruhi respon terhadap berbagai obat yang
sedang dikonsumsi.
3. Konsumsi alkohol
Intoleransi alkohol akut (reaksi disulfiram) muncul pada pasien yang
mengonsumsi alkohol saat dalam pengobatan. Pengguna alkohol secara
kronis dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang dapat memengaruhi

26
metabolisme obat terutama induksi enzim. Salah satu contohnya adalah
interaksi alkohol dengan nifedipin yang dapat menyebabkan peningkatan
kadar nifedipine.
5. Merokok
Merokok dapat meningkatkan aktivitas enzim metabolisme obat di
hati. Seorang perokok membutuhkan dosis yang lebih besar untuk
mencapai level serum terapetik.
6. Makanan
Makanan dapat memengaruhi absorbsi obat (seperti makanan
dengan valsartan yang menyebabkan penurunan kadar valsartan), aksi obat
dan eliminasi obat (protein dalam makanan dan pH urin).
7. Lingkungan
Faktor lingkungan seperti adanya beberapa pestisida dapat
mengubah efek enzim metabolisme yang terdapat di hati.

27
2.4. Kerangka Teori

Mayor Moderat Minor

Gambar 1 Kerangka Teori Penelitian

28
2.5. Kerangka Konsep

Mayor Moderat Minor

Gambar 2 Kerangka Konsep Peneltitian

29
BAB III
METODE PENELTIAN
3.1. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode observasional dengan
rancangan penelitian studi potong lintang (cross sectional study) yang bersifat
deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan
menggunakan data rekam medis pasien lansia rawat jalan posyandu lansia di
Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2021 di Posyandu Lansia
Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir setelah lulus kaji etik.

3.3. Jadwal Penelitian


Nov- Jan Mar Apr-Mei
Kegiatan

Penyusunan
proposal
Sidang
proposal
Pengumpulan
Data
Pengolahan
Data
Penyusunan
hasil dan
pembahasan

30
3.4. Populasi dan Sampel Penelitian
3.4.1. Populasi Penelitian
Rekam medis seluruh peserta posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya
Khatulistiwa yang memiliki penyakit hipertensi selama tahun 2019.

3.4.2. Sampel Penelitian


Rekam medis peserta posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya
Khatulistiwa yang memiliki penyakit hipertensi selama tahun 2019 dan masuk
dalam kriteria inklusi.

3.4.3. Besar Sampel Penelitian


Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi penelitian adalah 36
sampel.

3.4.4. Metode Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara Consecutive
Sampling (non probability sampling). Consecutive Sampling merupakan teknik
pengambilan sampel dengan cara pengambilan sampel yang memenuhi kriteria
tertentu sehingga jumlah sampel yang diinginkan tercapai.53

3.5. Kriteria Sampel


3.5.1. Kriteria Inklusi
1. Pasien dengan usia ≥60 tahun.
2. Pasien yang didiagnosis hipertensi dengan sistol ≥140mmHg dan diastol
≥90mmHg di rekam medis.
3. Rekam medis pasien mencantumkan minimal 2 obat hipertensi atau minimal
1 obat hipertensi dengan obat nonhipertensi.
4. Rekam medis lengkap, meliputi identitas pasien, obat yang digunakan dan
diagnosis penyakit.

3.5.2. Kriteria Eksklusi


1. Data obat tidak ditemukan dalam basis data perangkat lunak Drugs.com.
31
2. Data obat tidak ditemukan dalam buku Stockley.

3.6. Variabel Penelitian


Variabel penelitian ini adalah interaksi obat pada pasien hipertensi
Posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir.

3.7. Definisi Operasional


Definisi operasional merupakan definisi yang didasari oleh karakteristik
yang diamati dari variabel penelitian. Peneliti dapat melakukan observasi atau
pengukuran secara cermat kepada objek dan fenomena yang selanjutnya dapat
hal tersebut dapat diulangi serta diteliti oleh orang lain.

32
Table 5 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala

1 Hipertensi Keadan dimana Rekam 1 = Hipertensi Ordinal


subjek penelitian medis (tekanan darah
dinyatakan menderita sistol ≥ 140
hipertensi (sistol dan diastol
≥140mmHg dan ≥90 mmHg)
diastol ≥90mmHg)
0 = Tidak
hipertensi
(tekanan darah
< 140/90
mmHg)
2 Obat Obat adalah terapi Rekam Meliputi ACE Nominal
farmakologi yang medis Inhibitor,CCB,
diberikan pada pasien Diuretik, Beta
hipertensi serta obat- Blocker, ARB,
obat lain yang α-Blocker,
diberikan untuk penghambat
mengatasi penyakit saraf
lainnya apabila pasien adrenergik dan
menderita penyakit vasodilator
penyerta
3 Interaksi Interaksi obat adalah Software Mayor, Nominal
Obat dua atau lebih obat Drugs.com Moderat,
yang diberikan secara dan buku Minor
bersamaan dapat stockley
memberikan efek
masing-masing atau
saling berinteraksi

3.8. Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian ini berupa rekam medis pasien hipertensi peserta
posyandu lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa tanjung hilir pada tahun
2019 sebagai sumber data.

33
3.9. Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang telah diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan
dalam bentuk data kuantitatif maupun data kualitatif. Data kuantitatif disajikan
berupa persentase dalam bentuk tabel berdasarkan kategori yang digunakan
yaitu persentase angka kejadian, jumlah interaksi obat pada tiap pasien, jenis
interaksi obat, tingkat keparahan serta distribusi pasien hipertensi berdasarkan
usia dan jenis kelamin. Data kualitatif disajikan dalam bentuk uraian penjelasan
mengenai keparahan interaksi obat, interaksi obat terjadi dalam fase
farmakokinetik atau farmakodinamik dan saran penggunaan obat jika terjadi
interaksi. Identifikasi interaksi obat yang terdapat dalam rekam medis
dilakukan berdasarkan studi literatur yang berpedoman pada laporan fakta
interaksi obat dalam software Drugs.com, buku stockley dan literatur primer
(artikel original research, systematic review). Penggunaan software Drugs.com
dalam menentukan interaksi obat dikarenakan software tersebut gratis atau
tidak berbayar untuk peneliti dan data interaksi didukung dengan literatur
primer.

3.10. Etika Penelitian


Pengambilan data sampel pada penelitian ini yaitu data rekam medis
pasien rawat jalan di Posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa.
Peneliti bertanggung jawab atas kerahasiaan dan menjaga data pribadi yang
didapatkan. Penelitian ini telah mendapat surat keterangan lolos kaji etik dari
Divisi Kaji Etik Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura dengan nomor
surat 2192/UN22.9/TA/2021.

34
3.11. Alur Penelitian

Pengajuan permohonan penelitian di Posyandu


Lansia Lembaga Surya Khatulistiwa

Menentukan kriteria inklusi penelitian

Mengumpulkan data rekam medis pasien


hipertensi

Tidak sesuai kriteria Sesuai kriteria inklusi


inklusi

Mengolah dan menganalisis data


obat pasien hipertensi sesuai rekam
medis

Penyajian Data

Gambar 3 Alur Penelitian

35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2021 setelah
lulus kaji etik oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
(UNTAN). Penelitian ini menggunakan data rekam medis pasien hipertensi di
Posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir. Jumlah
sampel yang memenuhi kriteria inklusi adalah 36 rekam medis.

4.1.1. Karakteristik Pasien


Berdasarkan jenis kelamin, pasien hipertensi laki-laki berjumlah 4
orang (11%) dan perempuan berjumlah 32 orang (89%). Jenis obat yang
dikonsumsi pasien hipertensi paling banyak adalah 2 jenis yaitu 16 orang (44%)
sedangkan 3 jenis obat dikonsumsi 14 orang (39%) dan 4 jenis obat berjumlah
6 orang (17%). Hasil karakteristik pasien di Posyandu Lansia Lembaga Kartini
Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir dengan hipertensi derajat 1 berjumlah 15
orang (42%) dan hipertensi derajat 2 berjumlah 21 orang (58%).

Table 6 Karakteristik Umum Pasien Hipertensi

Kriteria Subjek N= 36
Jumlah Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-Laki 4 11
Perempuan 32 89
Jenis Obat
2 jenis 16 44
3 jenis 14 39
4 jenis 6 17
Derajat Hipertensi
Hipertensi Derajat 1 15 42
Hipertensi Derajat 2 21 58

36
4.1.2. Obat Hipertensi yang digunakan Pasien
Jenis antihipertensi yang digunakan pasien di Posyandu Lansia
Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir mayoritas merupakan
captopril dan amlodipin yang berjumlah 24 orang (67%) dan captopril tunggal
berjumlah 12 orang (33%), sedangkan untuk penggunaan obat antihipertensi
amlodipin tunggal tidak ada.

Table 7 Distribusi Penggunaan Obat Hipertensi pada Pasien

Obat Antihipertensi Jumlah Persentase (%)


Captopril (tunggal) 12 33
Captopril dan Amlodipin 24 67
Total 36 100

4.1.3. Kejadian Interaksi Obat berdasarkan Golongan Obat


Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi obat yang terjadi antara
obat antihipertensi captopril dengan obat lain atau non antihipertensi adalah
sebanyak 38 kasus (48%), interaksi antara amlodipin dan obat non
antihipertennsi adalah sebanyak 17 kasus (22%) dan kasus interaksi sesama
obat antihipertensi yaitu antara captopril dan amlodipin adalah 24 kasus (30%).

37
Table 8 Distribusi Kejadian Interaksi Obat berdasarkan Golongan Obat

Terapi antihipertensi Nama Obat Jumlah Persentase


kasus (%)
ACEI + CCB Captopril + Amlodipin 24 30
ACEI + NSAID Captopril + Asam 21 27
mefenamat
ACEI + NSAID Captopril + Ibuprofen 2 3
ACEI + NSAID Captopril + Piroxicam 1 1
ACEI + NSAID Captopril + Natrium 2 3
diklofenak
ACEI + Antidiabetes Captopril + Metformin 1 1
(Biguanida)
ACEI + Antasid Captopril + Antasid (Al. 8 10
Hidroksid dan
Mg.Karbonat)
ACEI + Kortikosteroid Captopril + Hidrokortison 1 1
ACEI + Kortikosteroid Captopril + Dexamethason 2 3
CCB + NSAID Amlodipin + Asam 13 17
mefenamat
CCB + NSAID Amlodipin + Ibuprofen 1 1
CCB + NSAID Amlodipin + Piroxicam 1 1
CCB + NSAID Amlodipin + Natrium 1 1
diklofenak
CCB + Kortikosteroid Amlodipin + Hidrokortison 1 1
Jumlah 79 100

38
4.1.4. Kejadian Interaksi Obat berdasarkan Tingkat Keparahan
Berdasarkan penelitian menggunakan aplikasi Drugs.com dan buku
stockley, didapatkan kejadian interaksi dengan tingkat keparahan minor
sebanyak 32 kasus (41%), tingkat keparahan moderat 47 kasus (59%)
sedangakan tidak terdapat interaksi dalam tingkat mayor.

Table 9 Distribusi Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan

Tingkat Keparahan Interaksi Jumlah Interaksi Persentase (%)


Minor 32 40
Moderat 47 60
Total 79 100

4.1.5. Kejadian Interaksi Obat berdasarkan Mekanisme (Fase)


Kejadian interaksi obat dapat dibedakan berdasarkan mekanisme atau
fase interaksi. Hasil penelitian ini menunjukkan interaksi obat terjadi pada fase
farmakodinamik sebanyak 71 kasus (90%) dan pada fase farmakokinetik
sebanyak 8 kasus (10%).

Table 10 Distribusi Kejadian Interaksi Obat Berdasarkan Mekanisme

Mekanisme (fase) Jumlah Kasus Persentase (%)


Farmakodinamik 71 90
Farmakokinetik 8 10
Jumlah 79 100

39
4.16.Distribusi Tingkat Keparahan dan Mekanisme Interaksi Obat
Table 11 Distribusi Tingkat Keparahan dan Mekanisme Interaksi Obat

Tingkat Keparahan Interaksi Jumlah Mekanisme Rekomendasi


Interaksi (Fase)
Minor
Captopril + Amlodipin 24 Farmakodinamik Pemantauan Tekanan Darah
Aditif secara rutin
Captopril + Antasid 8 Farmakokinetik Memisahkan waktu pemberian
Absorbsi selama 1 hingga 2 jam
Moderat

Captopril + Asam mefenamat 21 Pemantauan tekanan darah ,


Farmakodinamik penghentian atau perubahan
Captopril + Ibuprofen 2
Antagonis dosis NSAID dan pemeriksaan
Captopril + Piroxicam 1 fungsi ginjal secara berkala
Captopril + Natrium diklofenak 2
Captopril + Metformin 1 Farmakokinetik Penyesuaian dosis obat dan
Sinergis pemeriksaan gula darah

Captopril + Hidrokortison 1 Farmakodinamik Pemantauan tekanan darah,


Antagonis kadar elektrolit dan berat badan
Captopril + Dexamethason 2
secara teratur, pengamatan
mengenai kemungkinan
perkembangan edema, dosis
obat antihipertensi mungkin
dapat disesuaikan

Amlodipin + Asam mefenamat 13 Farmakodinamik Pemeriksaan fungsi ginjal


Antagonis secara berkala, terapi dapat
dialihkan ke NSAID yang
Amlodipin + Ibuprofen 1 paling aman untuk pasien
Farmakodinamik geriatri yaitu parasetamol.
Amlodipin + Piroxicam 1
Antagonis
Amlodipin + Natrium diklofenak 1

Amlodipin + Hidrokortison 1 Farmakodinamik Pemeriksaan tekanan darah,


Antagonis kadar elektrolit, dan berat badan
yang teratur,
pemeriksaankemungkinan
perkembangan edema

Total 79 100

40
4.2. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rekam medis pasien lansia di
Posyandu Lansia Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir yang
memenuhi kriteria inklusi adalah 36 sampel. Penelitian ini menggunakan
sampel dengan kriteria inklusi lansia ≥60 tahun dikarenakan menurut
penelitian, bertambahnya usia seseorang dapat meningkatkan risiko terjadinya
penyakit hipertensi.54 Usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
hipertensi yang tidak dapat diubah. Perubahan struktur pembuluh darah seperti
penyempitan lumen serta dinding pembuluh darah menjadi kaku dan
elastisitasnya berkurang yang dipengaruhi oleh degenerasi pada orang yang
bertambah usia dapat meningkatkan risiko kenaikan tekanan darah.55

Mayoritas penderita hipertensi dari hasil penelitian ini berdasarkan


jenis kelamin adalah pasien perempuan berjumlah 32 orang (89%) dan pasien
laki-laki berjumlah 4 orang (11%). Menurut penelitian Agnesia56, faktor risiko
jenis kelamin laki-laki terkena hipertensi memiliki nilai p = 0,008; OR = 3,051
dan 95% CI = 1,318 – 7,062. Hasil ini menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak
dapat dijadikan tolak ukur terhadap kejadian hipertensi. Beberapa ahli
menyebutkan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan perempuan,
yang mana rasio peningkatan tekanan darah sistolik sekitar 2,29 mmHg.57
Menurut penelitian Fatharani58 yaitu hubungan jenis kelamin dengan kejadian
hipertensi menunjukkan perempuan (53,7%) lebih banyak mengalami
hipertensi daripada responden berjenis kelamin laki-laki (45,9%). Hasil
perhitungan Prevalensi Rasio (PR) menunjukkan responden berjenis kelamin
perempuan berpeluang 1,169 kali mengalami hipertensi dibandingkan
responden berjenis kelamin laki-laki.58 Hasil Uji Chi-Square menunjukkan
tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian
hipertensi (p value = 0,454).58

41
Risiko hipertensi pada perempuan disebabkan adanya gangguan
hormon estrogen.59 Hormon estrogen diketahui dapat meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL) sehingga dapat melindungi perempuan dari
hipertensi dan komplikasinya termasuk penebalan dinding pembuluh darah atau
aterosklerosis.59 Kasus hipertensi jarang terjadi pada perempuan usia produktif
sekitar 30-40 tahun, tetapi meningkat pada laki-laki. Namun, pada masa
premenopause, perempuan mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon
estrogen yang melindungi pembuluh darah dari kerusakan.59 Proses ini terus
berlanjut di mana jumlah hormon estrogen secara alamiah akan berkurang
seiring dengan bertambahnya usia, yang umumnya terjadi pada perempuan 45-
55 tahun.59 Setelah usia 65 tahun, kejadian hipertensi pada perempuan lebih
meningkat dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal.60
Disisi lain, faktor yang memengaruhi kejadian hipertensi pada perempuan
adalah obesitas.61Walaupun demikian, hasil analisis statistik berdasarkan
perbedaan jenis kelamin menunjukkan hasil tidak bermakna signifikan. 61
Berdasarkan jumlah obat yang dikonsumsi pasien hipertensi lansia,
mayoritas pasien mengonsumsi 2 jenis obat yaitu berjumlah 16 orang (44%), 3
jenis obat berjumlah 14 orang (39%) dan 4 jenis obat berjumlah 6 orang (17%).
Jenis obat yang dikonsumsi dapat berupa sesama obat antihipertensi maupun
obat antihipertensi dengan obat lainnya (obat non antihipertensi). Hasil
penelitian ini menjukkan pasien lansia banyak menerima obat secara
polifarmasi. Penelitian oleh Zulkarnaini dan Martini di Poliklinik RSUP M.
Djamil Padang mendapatkan bahwa polifarmasi terjadi pada 64,72% pasien .62
Proses bertambahnya usia berdampak pada penurunan fungsi organ
sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah pada kesehatan diantaranya
para lansia rentan terhadap faktor risiko penyakit-penyakit antara lain
hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia dan obesitas.63 Pasien lanjut usia
rentan dengan perubahan kondisi fisiologis sehingga dapat meningkatkan risiko
terkena penyakit yang terkait dengan penuaan dan berpengaruh pada
42
peningkatan penggunaan obat.64 Penyakit degeneratif seperti hipertensi banyak
menyebabkan komplikasi penyakit lain sehingga perlu adanya pengobatan
dengan obat lain.63 Polifarmasi pada usia lanjut meningkatkan risiko negatif
seperti peningkatan biaya, efek samping, interaksi obat, ketidakpatuhan
pengobatan, penurunan status fungsional dan sindrom geriatri.64
Derajat hipertensi pasien lansia di Posyandu Lansia Lembaga Kartini
Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir dibedakan menjadi 2 yaitu hipertensi derajat
1 dan hipertensi derajat 2. Pasien hipertensi derajat 2 lebih banyak
dibandingkan derajat 1 yaitu berjumlah 21 orang (58%), sedangkan pasien
derajat 1 berjumlah 15 orang (45%). Penelitian yang dilakukan Puskesmas
Paceda mengenai usia menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang
menderita hipertensi derajat I dan hipertensi derajat II berusia 55-65 tahun.66
Semakin bertambah usia, maka tekanan darah seseorang akan semakin tinggi
dikarenakan beberapa faktor seperti elastisitas pembuluh darah berkurang dan
fungsi ginjal sebagai penyeimbang tekanan darah akan menurun sehingga hal
tersebut dapat menyebabkan tekanan darah semakin meningkat.67

JNC 7 merekomendasikan penggunaan golongan diuretik pada


sebagian kasus hipertensi termasuk pada lansia terutama dari golongan diuretik
jenis thiazide.14 Namun, salah satu systematic review mengatakan bahwa obat
antihipertensi golongan diuretik dapat meningkatkan glukosa, kolesterol dan
asam urat.68 Second Australian National Blood Pressure Trial melaporkan
bahwa hasil penurunan tekanan darah lebih baik dengan menggunakan ACE
Inhibitor dibandingkan dengan diuretik sehingga menjadikan ACE Inhibitor
sebagai obat antihipertensi yang efektif.69 Selain itu, thiazide juga dikenal
sering menyebabkan ketidakseimbangan ion kalium sehingga menyebabkan
hipokalemia, hal ini dapat menyebabkan aritmia yang fatal pada lansia.70,71
Keterbatasan regimen obat antihipertensi di daerah menyebabkan terbatasnya
pemilihan obat pada penanganan hipertensi.

43
Amlodipin dan captopril yang merupakan golongan CCB dan ACE
Inhibitor adalah dua regimen yang paling sering dan mudah didapatkan pada
fasilitas kesehatan tingkat 1 serta memiliki harga yang terjangkau.70 CCB
memiliki efektivitas yang sama seperti diuretik, tetapi lebih efektif
dibandingkan beta-blocker namun lebih rendah dibandingkan ACE Inhibitor
dalam menurunkan risiko komplikasi kardiovaskular.70 Sedangkan, ACE
Inhibitor dikenal lebih efektif dalam menurunkan risiko komplikasi
kardiovaskular dan aman terhadap ginjal pasien serta aman pada pasien
hipertensi dengan diabetes.70,71

Jenis antihipertensi yang digunakan pasien di Posyandu Lansia


Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir dalam penelitian ini
mayoritas merupakan captopril dan amlodipin yang berjumlah 24 orang (67%),
captopril tunggal berjumlah 12 orang (33%) sedangkan untuk penggunaan obat
antihipertensi amlodipin tunggal tidak ada. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Lutfiyati yang menyebutkan captopril lebih banyak diberikan pada
pasien lansia yakni sejumlah 115 orang (79,31%) sedangkan amlodipin
sejumlah 24 orang (16,55%) dan nifedipin, hidroklortiazid serta furosemid
masing-masing sejumlah 2 orang (1,38%).72 Jenis sediaan obat antihipertensi
pada penelitian ini berupa tablet captopril dengan dosis 12,5 mg sebanyak 25
orang (69%) dan 25 mg captopril sebanyak 2 orang (6%) serta amlodipin
dengan dosis 10 mg sebanyak 9 orang (25%). Frekuensi pemberian obat
captopril dibagi menjadi 4 yaitu 1x1 berjumlah 4 orang (11%), 2x1 berjumlah
18 orang (50%), 2x2 berjumlah 2 orang (6%) dan 3x1 berjumlah 3 orang (8%),
sedangkan frekuensi pemberian obat amlodipin 1x1 berjumlah 9 orang (25%).

Obat captopril merupakan golongan Angiotensin Converting Enzyme


Inhibitor (ACE Inhibitor) yang bekerja dengan cara meredam pantulan
gelombang arteri, meningkatkan distensibilitas aorta dan venodilasi serta
menghalangi konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.1 ACE Inhibitor

44
memiliki efek menguntungkan seperti perlindungan organ target dan mencegah
kejadian efek samping kardiovaskular, terutama untuk pasien hipertensi lanjut
usia. ACE Inhibitor tidak memiliki efek merugikan pada metabolisme glukosa
dan lipid serta secara efektif mengurangi ekskresi albumin urin dan aman
terhadap ginjal pasien, dimana fungsi fisiologis ginjal lansia semakin menurun
akibat pertambahan usia.72

Obat antihipertensi lain yang banyak digunakan adalah amlodipin.


Obat antihipertensi golongan Calcium Channel Blocker (CCB) ini bekerja
dengan cara menghambat rantai dan vasodilatasi membran plasma bertegangan
tipe-L.1 CCB adalah pilihan pertama untuk pasien dengan angina pektoris stabil
tanpa riwayat infark miokard dan gagal jantung.73 Jika target tekanan darah
masih belum tercapai dengan penggunaan obat antihipertensi tunggal, maka
kombinasi thiazide, CCB dan ACE Inhibitor, ARB dianjurkan dengan terapi
kombinasi regimen dosis rendah,74,75 sehingga pada penelitian ini, penggunaan
amlodipin (Calcium Channel Blocker ) selalu dikombinasikan dengan captopril
(ACE Inhibitor).

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kejadian interaksi obat


berdasarkan golongan obat dibedakan menjadi beberapa kelompok. Interaksi
yang terjadi diantara sesama obat hipertensi golongan ACE Inhibitor (captopril)
dengan golongan CCB (amlodipin) berjumlah 24 kasus. Golongan ACE
Inhibitor (captopril) dengan golongan NSAID yaitu berjumlah 26 kasus yang
dapat diuraikan menjadi captopril dengan asam mefenamat berjumlah 21 kasus,
captopril dengan ibuprofen berjumlah 2 kasus, captopril dengan peroxicam
berjumlah 1 kasus dan captopril dengan natrium diklofenak berjumlah 2 kasus.
Golongan (captopril) dengan antacid berjumlah 8 kasus, ACE Inhibitor
(captopril) dengan biguanida (antidiabetes) berjumlah 1 kasus. Golongan ACE
Inhibitor (captopril) dengan golongan kortikosteroid yaitu hidrokortison
berjumlah 1 kasus dan captopril dengan dexamethasone berjumlah 2 kasus.

45
Interaksi yang terjadi antara golongan CCB (amlodipin) dengan golongan
NSAID berupa asam mefenamat berjumlah 13 kasus, sedangkan antara CCB
(amlodipin) dengan golongan NSAID lainnya berupa ibuprofen, piroxicam dan
natrium diklofenak masing-masing berjumlah 1 kasus. Interaksi golongan CCB
(amlodipin) juga terjadi apabila dikonsumsi bersamaan dengan kortikosteroid
berupa hidrokortison yang berjumlah 1 kasus.

Potensi kejadian interaksi antar obat menurut tingkat keparahannya


dibagi menjadi 3 yaitu, mayor, moderat dan minor.49 Kategori mayor (tinggi)
yaitu ketika interaksi tersebut memiliki efek klinis yang sangat signifikan.
Kombinasi obat yang berinteraksi secara mayor dianggap kontraindikasi dan
harus dihindari karena memiliki risiko merugikan lebih tinggi dibandingkan
keuntungan dalam kombinasi obat-obat tersebut. Tingkat keparahan mayor
dapat menimbulkan risiko yang berpotensi mengancam jiwa pasien serta dapat
mengakibatkan kerusakan permanen.49 Interaksi obat dalam kategori moderat
(sedang) juga cukup signifikan sehingga kombinasi obat ini tidak dianjurkan
kecuali untuk kasus-kasus tertentu. Tingkat keparahan moderat menimbulkan
efek yang dapat mengakibatkan penurunan klinis pasien sehingga dibutuhkan
terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit ataupun pemantauan secara
berkala.49

Kategori minor memiliki efek klinis minor atau risiko rendah serta
tidak memengaruhi efek klinis pasien sehingga terapi tambahan tidak
diperlukan. Efek minor memiliki efek yang sangat kecil atau tidak terlalu
memegaruhi keadaan klinis pasien, tetapi tetap dilakukan monitor secara
berkala.49 Penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi antar obat berdasarkan
tingkat keparahan yang terjadi pada pasien hipertensi di Posyandu Lansia
Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir mayoritas adalah tingkat
moderat yang berjumlah 47 kasus (59%) dan tingkat minor berjumlah 32 kasus
(41%) sedangkan tidak terjadi interaksi pada tingkat mayor.

46
Contoh interaksi minor yang terjadi pada penggunaan kombinasi obat
antihipertensi yaitu captopril dan amlodipin. Penggunaan obat tersebut secara
bersamaan dapat meningkatkan risiko hipotensi walaupun kemungkinannya
hanya kecil atau tidak signifikan dan tidak memengaruhi efek klinis pasien
hipertensi.76 Salah satu contoh interaksi tingkat moderat adalah interaksi antara
asam mefenamat dan captopril. Asam mefenamat dari golongan NSAID dapat
menyebabkan retensi cairan yang memengaruhi tekanan darah pasien hipertensi
sehingga dapat meningkatkan kemungkinan penurunan fungsi ginjal, terutama
pada pasien yang berusia lanjut atau memiliki gangguan fungsi ginjal dan dapat
menyebabkan terjadi gagal ginjal akut, meskipun efeknya biasanya reversible.76
Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Intan77 dengan
mayoritas interaksi obat pada tingkat moderat yaitu sebanyak 292 kasus, tingkat
keparahan mayor sebanyak 22 kasus dan tingkat keparahan minor sebanyak 64
kasus.77

Hasil penelitian tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan


oleh Marquito et al78 dengan hasil paling banyak terjadi pada tingkat keparahan
moderat. Penelitian lainnya dilakukan oleh Egida menunjukkan interaksi obat
antihipertensi banyak terjadi pada tingkat moderat yaitu sebanyak 54 kasus.79
Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Tifan yang menunjukkan bahwa
interaksi obat banyak terjadi pada tingkat moderat yaitu sebanyak 214 kasus
(64,85%) dari total 330 kejadian interaksi obat.80

Dalam penelitian ini, tingkat interaksi obat moderat memiliki


persentase paling tinggi. Adanya potensi interaksi tersebut menyebabkan
kemungkinan terjadi penurunan status klinis pasien hipertensi. Interaksi
moderat secara klinis, biasanya dapat dicegah dengan menghindari
mengonsumsi kombinasi obat secara bersamaan dan menggunakannya hanya
dalam keadaan khusus. Jika ingin menggunakan kombinasi obat tersebut, maka
status pasien hipertensi harus selalu diperhatikan atau dicek secara berkala.81

47
Berdasarkan hasil penelitian ini, interaksi obat didominasi oleh
mekanisme atau fase farmakodinamik dengan jumlah 71 kasus (90%),
sedangkan fase farmakokinetik dengan jumlah 8 kasus (10%). Angiotensin
Converting Enyzme Inhibitor (ACE Inhibitor) dan Calcium Channel Blocker
(CCB) jika dikonsumsi bersamaan dapat meningkatkan risiko efek hipotensi
aditif dikarenakan memiliki efek yang sama yaitu menyebabkan penurunan
tekanan darah.76 Interaksi antara captopril (ACE Inhibitor) dan amlodipin
(CCB) termasuk dalam interaksi dengan tingkat keparahan minor dan
mekanisme farmakodinamik aditif.76 Jumlah kasus interaksi ini adalah 24
kasus. Meskipun obat-obat ini aman digunakan secara bersamaan, tetapi tetap
dianjurkan pemantauan tekanan darah selama pemberian obat, terutama selama
satu sampai tiga minggu pertama terapi untuk menghindari kemungkinan
terjadinya hipotensi.76

Pemberian obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi


efek antihipertensi dari ACE Inhibitor.76 Mekanisme kombinasi ini dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin ginjal yang diinduksi oleh NSAID. Efek
tersebut menghasilkan aktivitas peningkatan tekanan yang dapat menyebabkan
hipertensi.50 Selain itu, NSAID dapat menyebabkan retensi cairan yang
memengaruhi tekanan darah. Jumlah kasus interaksi ini adalah 26 kasus dengan
tingkat keparahan moderat dan mekanisme farmakodinamik antagonis.76 Obat
dengan golongan NSAID pada penelitian ini adalah asam mefenamat,
ibuprofen, peroxicam dan natrium diklofenak.

Penggunaan NSAID dan ACE Inhibitor secara bersamaan dapat


menyebabkan penurunan fungsi ginjal, terutama pada pasien yang berusia
lanjut termasuk pasien yang menjalani terapi diuretik atau memiliki gangguan
fungsi ginjal dan dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut, meskipun
efek tersebut biasanya reversibel.50 Interaksi NSAID dengan ACE Inhibitor
terjadi karena efek inhibisi prostaglandin dan supresi aktivitas renin plasma.

48
ACE Inhibitor dapat memperburuk fungsi ginjal dengan menghalangi efek
vasokonstriksi arteriol eferen yang dimediasi angiotensin II sehingga
menurunkan filtrasi glomerulus.50 Tatalaksana pada pasien yang diberikan obat
ACE Inhibitor dan memerlukan terapi bersama dengan NSAID dalam waktu
lama (lebih dari 1 minggu) adalah pemantauan tekanan darah secara rutin,
penghentian atau perubahan dosis NSAID. Fungsi ginjal juga harus dievaluasi
secara berkala selama pemberian bersama ACE Inhibitor dan NSAID yang
berkepanjangan.50

Riset menunjukkan bahwa ACE Inhibitor dapat meningkatkan efek


hipoglikemik obat antidiabetes oral termasuk metformin (biguanida).70
Mekanisme yang dapat menyebabkan hipoglikemia belum diketahui.
Penggunaan captopril dan metformin secara bersamaan dapat meningkatkan
efek metformin pada penurunan gula darah.70 Hal ini dapat menyebabkan kadar
gula darah terlalu rendah. Interaksi yang terjadi bersifat moderat dengan
mekanisme farmakodinamik sinergisme.70 Penyesuaian dosis mungkin
diperlukan jika diduga terjadi interaksi. Tanda dan gejala hipoglikemia seperti
sakit kepala, pusing, mengantuk, mual, lapar, gemetar, lemas, berkeringat,
jantung berdebar perlu diperhatikan guna penanganan dalam pengobatannya.50
Tenaga ahli seperti dokter diperlukan sebelum menggunakan captopril bersama
dengan metformin sebab dibutuhkan penyesuaian dosis dan perlu dilakukan
pemeriksaan gula darah secara kontinu.

Pemberian antasida bersamaan dengan captopril (ACE Inhibitor)


dapat menurunkan bioavailabilitas oral antasida karena penundaan
pengosongan lambung dan atau peningkatan pH lambung.76 Berdasarkan data
yang tersedia, efek klinis dari interaksi ini tampak kecil. Interaksi yang terjadi
berupa interaksi minor dengan mekanisme farmakokinetik. Jumlah kasus dalam
interaksi ini adalah 8 kasus. Sebagai tindakan pencegahan, pasien mungkin
dapat mempertimbangkan untuk memisahkan waktu pemberian ACE Inhibitor

49
dan antasida atau obat oral yang mengandung antasida (misalnya selama 1
hingga 2 jam).50

Kortikosteroid dapat melawan efek obat antihipertensi dengan


menginduksi retensi natrium dan cairan. Tingkat keparahan interaksi ini adalah
moderat dan mekanisme secara farmakodinamik antagonis.76 Jumlah kasus
dalam interaksi ini adalah 3 kasus. Kortikosteroid dalam penelitian ini yaitu
hidrokortison dan dexamatasone. Tatalaksana pada pasien yang menjalani
terapi berkepanjangan (yaitu lebih dari satu minggu) atau dosis tinggi
kortikosteroid harus dilakukan pemantauan tekanan darah, kadar elektrolit dan
berat badan secara teratur dan selalu dilakukan pengamatan mengenai
kemungkinan perkembangan edema dan gagal jantung kongestif.50 Dosis obat
antihipertensi mungkin dapat disesuaikan.

Amlodipin (CCB) dapat berinteraksi dengan NSAID (Non Steroid


Antiinflamasi Drug). Ibuprofen (NSAID) berfungsi sebagai analgesik,
mengurangi rasa sakit ringan hingga sedang, dapat juga digunakan sebagai
antipiretik untuk menurunkan suhu badan dan sebagai antiradang untuk
pengobatan rematik.50 NSAID dapat meningkatkan tekanan darah dan dapat
mengganggu efek penurunan dari obat antihipertensi. Bahkan kenaikan kecil
tekanan darah akibat terapi dengan NSAID dapat meningkatkan risiko
kardiovaskular secara signifikan jika dikonsumsi dalam waktu yang lama.82

NSAID dapat mengurangi efek vasodilator dengan penurunan sintesis


prostaglandin di ginjal. NSAID yang digunakan dalam penelitian ini adalah
ibuprofen, piroxicam, natrium diklofenak dan asam mefenamat. Interaksi
farmakodinamik dengan obat ini adalah antagonis dengan tingkat keparahan
moderat. Jumlah kasus pada interaksi ini adalah 16 kasus. Interaksi ini dapat
memengaruhi homeostasis cairan, mengurangi efek antihipertensi dan mungkin
menyebabkan disfungsi ginjal. Interaksi harus selalu dipantau, termasuk efek

50
antihipertensi yang dihasilkan dan fungsi ginjal harus diperiksa secara berkala
untuk mencari tanda-tanda kemungkinan gangguan ginjal.83 Untuk
mengantisipasi adanya kejadian yang tidak diinginkan berupa interaksi obat,
terapi dapat dialihkan ke NSAID yang paling aman untuk pasien geriatri yaitu
parasetamol.84

Obat golongan kortikosteroid dapat menurunkan efek obat amlodipin


dengan cara menginduksi retensi natrium dan cairan sehingga kortikosteroid
dapat melawan efek obat antihipertensi.50 Mekanisme interaksi ini adalah
farmakodinamik antagonis dengan tingkat keparahan moderat. Jumlah kasus
dalam interaksi ini adalah 1 kasus. Tatalaksana pada pasien yang menjalani
terapi berkepanjangan (sekitar satu minggu) dan pemberian kortikosteroid dosis
tinggi harus melakukan pemeriksaan tekanan darah, kadar elektrolit, dan berat
badan yang teratur serta pemeriksaan kemungkinan perkembangan edema dan
gagal jantung kongestif.5

4.3. Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini dilakukan secara observasional dan pengambilan data dengan
cara retrospektif yaitu peneliti melakukan pengambilan data yang telah tersedia di
rekam medis. Penelitian ini mempunyai kelemahan yaitu peneliti hanya melihat
dan mencatat data dari rekam medis yang digunakan sebagai acuan untuk
dilakukannya penelitian. Peneliti tidak memantau pasien secara langsung sehingga
tidak dapat mengetahui dan memastikan ketepatan pemberian obat antihipertensi
secara langsung atau kemungkinan interaksi yang telah terjadi pada pasien
sehingga memengaruhi analisis dan evaluasi terapi.

51
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Obat antihipertensi yang sering berinteraksi dengan obat non antihipertensi
adalah captopril dari golongan ACE Inhibitor sebanyak 38 kasus.
2. Tingkat keparahan interaksi obat pada pasien hipertensi di Posyandu Lansia
Lembaga Kartini Surya Khatulistiwa Tanjung Hilir yaitu minor sebanyak 32
kasus (41%), moderat 47 kasus (59%) dan tidak terdapat interaksi dalam tingkat
mayor.
3. Interaksi obat terjadi pada fase farmakokinetik sebanyak 8 kasus (10%) dan
farmakodinamik 71 kasus (90%).

5.2. Saran
1. Untuk peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian menggunakan
desain penelitian kohort retrospektif.
2. Untuk klinisi agar lebih memperhatikan pemberian resep pada pasien hipertensi
agar menghindari peningkatan keparahan penyakit pada pasien dan lebih
memperhatikan efek samping dalam pemberian obat pada pasien hipertensi
agar efek menguntungkan lebih besar dibandingkan efek yang dapat merugikan
pasien.

52
Daftar Pustaka
1. Armstrong C, Joint National Committee. JNC 8 guidelines for the management
of hypertension in adults. Am Fam Physician. 2014.
2. World Health Organization. (WHO). Health Topics Hypertension. 2019.
3. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2018. 2018.
4. WHO. A Global Brief on Hypertension: Silent Killer, Global Public Health
Crisis. 2013.
5. Sari A, Wahyono D, Raharjo B. Identifikasi Potensi Interaksi Obat Pada Pasien
Rawat Inap Penyakit Dalam Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Metode Observasional Retrospektif Periode November 2009 - Januari 2010.
Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 2012; vol. 2, no. 2, p.196-197.
6. Peng CC, Glassman PA, Marks IR, Fowler C, Castiglione B, Good CB.
Retrospective drug utilization review: incidence of clinically relevant potential
drug-drug interaction in a large ambulatory population. Journal of Managed
Care Pharmacy. 2003; Vol.9 No.6.
7. Katzung BG, Master SB, Trevor AJ. Basic and Clinical Pharmacology: 12th
Edition. United States: McGraw-Hill. 2012.
8. Parulian L, Listyanti E, Hati AK, Sunnah I. Analisis Hubungan Polifarmasi Dan
Interaksi Obat Pada Pasien Rawat Jalan Yang Mendapat Obat Hipertensi Di
RSP. Dr. Ario Wirawan Periode Januari-Maret 2019. Indonesian Journal of
Pharmacy and Natural Product. 2019; 2(2), p.79-86
9. Aslam M, Tan C, & Prayitno A. Farmasi Klinis: Menuju Pengobatan Rasional
dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: PT. Elex Media Kompusindo
Kelompok Gramedia. 2004.
10. Tatro DS, Hartshorn EA. Drug interaction facts, the authority on drug
interactions. Lippincott Williams & Wilkins. 2009.
11. Noviana T. Evaluasi Interaksi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien
Rawat Inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode
53
Agustus 2015. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
2016.
12. Feinstein J, Dai D, Zhong W, Freedman J, Feudtner C. Potential drug-drug
interactions in infant, child, and adolescent patients in children’s hospitals.
Pediatrics. 2014; 135(1), pp. 99–108.
13. Abebe SM, Berhane Y, Worku A, Getachew A. Prevalence and associated
factors of hypertension: a crossectional community based study in Northwest
Ethiopia. PLoS ONE. 2015.
14. JNC VII. The seventh report of the Joint National Committee on prevention,
detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. Hypertension.
2003.
15. ESH and ESC. ESH/ESC guidelines forthe management of arterial
hypertension. journal of hypertension Vol 31. 2013, pp. 1281-1357.
16. Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG,
dkk. Clinical practice guidelines for the management of hypertension in the
community: a statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension. Journal of Clinical Hypertension
(Greenwich, Conn.). 2014; 16: 14–26.
17. Dosh SA. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults. J.
Fam Pract 2001; 50:707-712.
18. Dasgupta K, Quinn RR, Zarnke KB, Rabi DM, Ravani P, et al. The 2014
Canadian hypertension education program recommendation for blood pressure
measurement, diagnosis, assessment of hypertension. Canadian Journal of
Cardiology. 2014; 30(5)
19. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. TheMcGraw
–Hill Companies. 2005.
20. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
edisi IV. Editor: Aru W, Sudoyo, Setohadi B, Alwi I, Setiati S, Marcellus
Simadibrata K. Internal Publising. 2009.
54
21. Singh R, Sinha RK, Mani C, Singh R., Pal R. Burden and vulnerability of
hypertension in a rural population of Patna, Bihar, India. South East Asia
Journal of Public Health. 2013.
22. Gao Y, Chen G, Tian H, et al. Prevalence of hypertension in China: a cross-
sectional study. PLoS ONE. 2013.
23. Dhungana RR, Pandey AR, Bista B, Joshi S, Devkota S. Prevalence and
associated factors of hypertension: a community-based cross-sectional study in
municipalities of Kathmandu, Nepal. International Journal of Hypertension.
2016.
24. Hankappan K, Mini G, Daivadanam M, Vijayakumar G, Sarma P, Nichter M.
Smoking cessation among diabetes patients: results of a pilot randomized
controlled trial in Kerala, India. BMC Public Health. 2013.
25. Bhagyalaxmi A, Atul T, Shikha J. Prevalence of risk factors of non-
communicable diseases in a district of Gujarat, India. Journal of Health,
Population and Nutrition. 2013.
26. Prabakaran J, Vijayalakshmi N., Ananthaiah Chetty N. Risk factors of non-
communicable diseases in an urban locality of andhra pradesh. National
Journal of Research in Community Medicine. 2013.
27. Tabrizi JS, Sadeghi-Bazargani H, Farahbakhsh M, Nikniaz L, Nikniaz Z.
Prevalence and associated factors of prehypertension and hypertension in
Iranian population: the lifestyle promotion project (LPP) PLoS ONE. 2016.
28. Everett B, Zajacova A. Gender differences in hypertension and hypertension
awareness among young adults. Biodemography and Social Biology. 2015.
29. Rem C, Hacihasanoglu A, Kocak M, Deger O, Topbas M. Prevalence of
prehypertension and hypertension and associated risk factors among Turkish
adults: trabzon hypertension study. Journal of Public Health. 2009.
30. Reddy SS, Prabhu GR. Prevalence and risk factors of hypertension in adults in
an Urban Slum, Tirupati, A. P. Indian Journal of Community Medicine. 2005.

55
31. Priya M, Mishra C. Prevalence of hypertension in an area of urban Varanasi,
India and its association with selected demographic factors. International
Journal of Community Medicine and Public Health. 2016.
32. Wamala JF, Karyabakabo Z, Ndungutse D, Guwatudde D. Prevalence factors
associated with hypertension in Rukungiri District, Uganda—a community-
based study. African Health Sciences. 2009.
33. Abebe SM, Berhane Y, Worku A, Getachew A. Prevalence and associated
factors of hypertension: a crossectional community based study in Northwest
Ethiopia. PLoS ONE. 2015.
34. Ani R, Mengi V, Gupta RK, Sharma HK. Hypertension and its risk factors a
cross sectional study in an urban population of a North Indian District. Public
Health Research. 2015.
35. Kishore J, Gupta N, Kohli C, Kumar N. Prevalence of hypertension and
determination of its risk factors in rural Delhi. International Journal of
Hypertension. 2016.
36. Roush GC, Ernst ME, Kostis JB, Tandon S, Sica DA. Head-to-head
comparisons of hydrochlorothiazide with indapamide and chlorthalidone:
antihypertensive and metabolic effects. Hypertension. 2015.
37. Ernst ME, Carter BL, Goerdt CJ, Steffensmeier JJ, Phillips BB, Zimmerman
MB, Bergus GR. Comparative antihypertensive effects of hydrochlorothiazide
and chlorthalidone on ambulatory and office blood pressure. Hypertension.
2006.
38. Olde Engberink RH, Frenkel WJ, van den Bogaard B, Brewster LM, Vogt L,
van den Born BJ. Effects of thiazide-type and thiazide-like diuretics on
cardiovascular events and mortality: systematic review and meta-analysis.
Hypertension. 2015.
39. Carey RM, Calhoun DA, Bakris GL, Brook RD, Daugherty SL, Dennison-
Himmelfarb CR, et al. Resistant Hypertension: Detection, Evaluation, and

56
Management: A Scientific Statement from the American Heart Association.
Hypertension. 2018.
40. Puttnam R, Davis BR, Pressel SL, Whelton PK, Cushman WC, Louis GT,
Margolis KL, Oparil S, Williamson J, Ghosh A, Einhorn PT, Barzilay JI.
Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial
(ALLHAT) collaborative research group. Association of 3 Different
Antihypertensive Medications with Hip and Pelvic Fracture Risk in Older
Adults: Secondary Analysis of a Randomized Clinical Trial. JAMA Intern Med.
2017.
41. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE, Collins KJ, Dennison
Himmelfarb C, DePalma SM, et al. 2017 ACC/AHA/AAPA/
ABC/ACPM/AGS/APhA/ ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline for the
Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Hypertension. 2018.
42. Dahlöf B, Sever PS, Poulter NR, Wedel H, Beevers DG, Caulfield M, Collins
R, et al. Prevention of cardiovascular events with an antihypertensive regimen
of amlodipin adding perindopril as required versus atenolol adding
bendroflumethiazide as required, in the Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes
Trial-Blood Pressure Lowering Arm (ASCOT-BPLA): a multicentre
randomised controlled trial. Lancet. 2005.
43. Khan N, McAlister FA. Re-examining the efficacy of beta-blockers for the
treatment of hypertension: a meta-analysis. CMAJ. 2006.
44. Homopoulos C, Parati G, Zanchetti A. Effects of blood pressure-lowering
treatment on cardiovascular outcomes and mortality: 14 - effects of different
classes of antihypertensive drugs in older and younger patients: overview and
meta-analysis. J. Hypertens. 2018.
45. Huxel C, Raja A, Ollivierre-Lawrence MD. StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL). 2020.
57
46. Bazoukis G, Thomopoulos C, Tsioufis C. Effect of mineralocorticoid
antagonists on blood pressure lowering: overview and meta-analysis of
randomized controlled trials in hypertension. J. Hypertens. 2018.
47. Johnson RJ, Feehally J, Floege J. Comprehensive Clinical Nephrology. 5th
edition. Elseiver Saunders; Philadelpia. 2015.
48. Yasin NM, Widyastuti HT, Dewi EK. Kajian interaksi obat pada pasien gagal
jantung kongestif di RS Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2005. Majalah Farmasi
Indonesia. 2008; 3(1) hal 15-22.
49. Manik U, Harahap U, Tjipta GA. Retrospective study on drug interaction for
pediatric in-patients at Central Public Hospital Haji Adam Malik, Medan for
the Period of January-June 2012. International Journal of Basic Clinical
Pharmacology 3, 512. 2014.
50. Stockley IH. Stockley’s Drug Interaction, Nine Edition, Pharmaceutical Press,
London. 2010.
51. Ismail MYM. Drug – food interactions and role of pharmacists. Asian Journal
of Pharmaceutical and Clinical Research. 2009 Des; vol 2 No 4.
52. Setiabudy, R., dan Nafriadi, Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi, Edisi
kelima, Departemen Farmakologi dan Terapetik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2007.
53. Hidayat, A. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta:
Salemba Medisa. 2009.
54. Sadhewa, Bernandha Ardhan. Karateristik Penderita Hipertensi di Wilayah
Puskesmas II Kembaran Kabupaten Banyumas. Fakultas Ilmu Kesehatan UMP.
2016

55. Yanita. Berdamai dengan Hipertensi. Jakarta: Bumi Medisa. 2017.

56. Nuarima, Agnesia Kartikasari. Faktor Risiko Hipertensi pada Masyarakat di


Desa Kabongan Kidul, Kabupaten Rembang. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. 2012.

58
57. Maulidina, Fatharani. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Jati Luhur Bekasi Tahun 2018. Fakultas
Ilmu - Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof Dr. Hamka Jakarta.
2019.

58. Nurkhalida. Warta Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Depkes RI; 2003. p: 19-21

59. Syukraini Irza. Analisis Faktor Risiko Hipertensi pada Masyarakat Nagari
Bungo Tanjung, Sumatera Barat. 2009. p: 33-53, 60

60. Departemen Kesehatan (Depkes). Pedoman Penemuan dan Tatalaksana


Hipertensi. Jakarta. 2009.

61. H.M. Edial Sanif. Hipertensi pada Wanita. 2009

62. Zulkarnaini A, Martini RD. Gambaran polifarmasi pasien geriatri di beberapa


poliklinik RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;(8): 1-
6.

63. Hines LE, Murphy JE. Potentially harmful drug-drug interactions in the elderly:
a review. Am J Geriatr Pharmacother. 2011; 9(6):367–77.

64. Agustina R., Annisa N. and Prabowo W. Potensi Interaksi Obat Resep pasien
Hipertensi di Salah satu Rumah Sakit Pemerintah di Kota Samarinda, Jurnal
Sains dan Kesehatan. 2015, 1 (4), 208–213.

65. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi
Utara 2016. Manado. 2017.

66. Hananta, I Putu Yuda & Diestesien, Harry Freitag. Deteksi Dini Dan
Pencegahan 7 Penyakit Penyebab Mati Muda. Cetakan Pertama. Media
Pressindo, Yogyakarta. 2011.

67. Paul AJ, Suzanne O, Barry LC, William CC, Cherryl DH, Joel H, dkk. Evidence
Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report

59
from the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee .
JAMA Published. 2014.

68. Samara. Pengaruh Perbedaan Frekuensi Pemberian captopril Terhadap


Penurunan dan Target Tekanan Darah Kejadian Efek Samping dan Kualitas
Hidup pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Bambanglipuro (tesis). Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2014.

69. Alberto F. Rubio-Guerra and Montserrat B. Duran-Salgado. Recommendations


for the Treatment of Hypertension in Elderly People. Bentham Science
Publishers. 2015; 12(6):146-51.

70. Vijan, Sandeep. Diabetes: Treating hypertension. Systematic review. BMJ Pub.
2011; 2-34.

71. Mann JF, Schmieder RE, McQueen M, Dyal L, Schumacher H, Pogue J, Wang
X, Maggioni A, Budaj A, Chaithiraphan S, Dickstein K, Keltai M, Metsärinne
K, Oto A, Parkhomenko A, Piegas LS, Svendsen TL, Teo KK, Yusuf S,
ONTARGET investigators Lancet. 2008; 372(9638):547-53.

72. Ettehad D, Emdin CA, Kiran A, et al. Blood pressure lowering for prevention of
cardiovascular disease and death: a systematic review and meta-
analysis. Lancet. 2016; 387:957–967.

73. Weir MR, Hsueh WA, Nesbitt SD, et al. A titrate-to-goal study of switching
patients uncontrolled on antihypertensive monotherapy to fixed-dose
combinations of amlodipin and olmesartan medoxomil +/-
hydrochlorothiazide. J Clin Hypertens (Greenwich). 2011; 13:404–412.

74. Volpe M, Christian Rump L, Ammentorp B, et al. Efficacy and safety of triple
antihypertensive therapy with the olmesartan/amlodipin/hydrochlorothiazide
combination. Clin Drug Investig. 2012; 32:649–664.

60
75. Lutfiyati Heni, Fitriana Yuliastuti, Arrum Khotimah. Pola Pengobatan
Hipertensi pada Pasien Lansia di Puskesmas Windusari, Kabupaten Magelang
Kabupaten Magelang. Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. III, No. 2,
November 2017. 2017.

76. Drug Interaction Checker. Retrieved from www.drugs.com. 2016.

77. Pasangka, Intan T. Identifikasi Potensi Interaksi Obat pada Pasien Gagal Ginjal
Rawat Inap di RSUP Prof. Dr. R. Kandou Manado. Jurusan Farmasi. Universitas
Sam Ratulangi. Jurnal Ilmiah Farmasi. 2017.

78. Marquito, A. B., Fernandes, N. M., Colugnati, F. A. B., dan Paula, R. B. de.
Identifying Potential Drug Interactions in Chronic Kidney Disease Patients Juiz
de for a: Interdisciplinary Center for Nephrology Studies Research and Care.
Federal University of Juiz de Fora. 2013.

79. Rachmadani, Egida. Identifikasi Potensi Interaksi Obat Antihipertensi pada


Pasien Geriatri Hipertensi Rawat Inap di Rsud Dr Soedarso Pontianak Periode
Januari - Juni 2019. Fakultas Farmasi. Univrsitas Tanjungpura. 2019.

80. Rahmawati Y, Sunarti S. Permasalahan Pemberian Obat pada Pasien Geriatri di


Ruang Perawatan RSUD Saiful Anwar Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya.
2014.

81. Medscape. Drug Interaction Checker (online). Diakses tanggal 7 April 2021 dari
http://www.reference.medscape.com/drug-interactionchecker.

82. Kulkarni, V., Bora, S. S., Sirisha, S., & Saji, M. A study on drug – drug
interactions through prescription analysis in a South Indian teaching hospital.
Therapeutic Advances in Drug Safety. 2013.

83. Davies, E. A., & O’Mahony, M. S. Adverse drug reactions in special populations
- The elderly. British Journal of Clinical Pharmacology. 2015; 80(4), 796–807.

61
84. Vesna Bacic-Vrca, Srecko Marusic, Viktorija Erdeljic, S. F., & Nives Gojo-
Tomic, D. R. The incidence of potential drug – drug interactions in elderly
patients with arterial hypertension. 2010.

62
LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Permohonan Kaji Etik

63
1

Anda mungkin juga menyukai