Anda di halaman 1dari 19

AL-JINAYAH ALA AL-DIN WA AL-DAWLAH (TINDAK

PIDANA TERHADAP AGAMA DAN NEGARA)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fikih Jinayat Pada

Fakultas Syariah dan Hukum Islam Program Studi Hukum Keluarga

Islam (HKI) Kelompok Enam (VI) Semester Enam (VI)

Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Bone

Oleh :
KELOMPOK VII

ANDI MAULANI HABIBA HABRIANA


01.18.1165
SYARMAWATI ALI
01.18.1152
YULIANA
01.18.1177

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) BONE

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena

atas petunjuk dan kemudahan yang diberikan kepada kami dalam penyelesaian

salah satu tugas kuliah kami yaitu pembuatan makalah dalam hal ini materi yang

kami bahas mengenai mengenai “Al-Jinayah ala al-din wa al-dawlah (tindak

pidana terhadap Agama dan Negara”

Tak lupa kami curahkan sholawat dan salam kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW yang juga telah memberi petunjuk bagi kita semua, sehingga

bisa terselamatkan dari lembah kesesatan. Dalam penyusunan makalah ini, tak

semudah apa yang kami bayangkan. Banyak kesulitan dan hambatan yang kami

lalui dalam penyusunan makalah ini. Tapi berkat Izin dan Rahmat Allah SWT

saya mampu menyelesaikannya.

Harapan kami sebagai penyusun makalah, yaitu semoga apa yang terdapat

dalam lembaran kertas ini, dapat memberi manfaat bagi para pembaca. Tak lupa

pula kami haturkan maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat

dalam makalah ini. Karena pemilik kesempurnaan yang sesungguhnya adalah

Allah SWT.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Penulis

Kelompok VII

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Tindak pidana Islam Terhadap Agama 3

B. Konsep Tindak pidana Islam Terhadap Negara 10

BAB III PENUTUP

A. Simpulan `5

B. Saran 15

DAFTAR RUJUKAN 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan

hak asasi manusia bagi tiap-tiap warga negara, hukum yang berlaku harus mampu

mengatur dan melindungi hak-hak setiap warga negara tanpa ada diskriminasi. Di

antara hak warga negara adalah kebebasan berpendapat di muka umum baik

secara lisan maupun tulisan. Kebebasan berpendapat merupakanhakasasimanusia

yang sangat penting dalam mendukung jalannya demokrasi. Sulit membayangkan

sistem demokrasi bisa bekerja dengan baik tanpa adanya kebebasan tersebut.

Kebebebasan dasar untuk mengeluarkan pendapat tidak dapat didefinisikan

atau ditafsirkan oleh seseorang yang dapat menghilangkan atau mengaburkan

makna dari semangat pelaksanaannya atas dasar tersebut undang-undang

mengatur tentang tindak pidana yang melampaui batas-batas kebebasan

berpendapat, seperti undang undang yang mengatur tentang tindak pidana

tehadap kehormatan baik kehormatan negara maupun warganya.

Penghormatan terhadap simbol- simbol Negara merupakan salah satu media

untuk mempertebal rasa nasionalisme dan cinta tanah air, namun pemahaman

masyarakat tentang bagaimana rumusan dan penggunaan simbol-simbol negara

masih rendah, hal itu terbukti dengan banyaknya kasus tindak pindana

penghinaan terhadap simbol-simbol negara yang disebabkan karena ketidak

pahaman masyarakat.

Dana ada juga Orang yang melakukan penistaan agama, misalnya saja

orang yang mengikuti faham Ahmadiyyah. Ahmadiyyah mengakui bahwa


2

adanya nabi baru yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Jika seseorang mengakui adanya

nabi baru maka ia telah keluar dari Islam atau murtad. Karena ia telah

melanggar Syahadat, dalam Syahadat nabi terakhir adalah Sayyidina

Muhammad saw. Oleh karena itu, sanksi bagi pelaku penistaan agama bisa

disamakan dengan orang yang murtad.

Maka dari itu dalam penulisan makalah inu penulis akan membahas

mengenai Hukum Pidana Islam terhadap Agama dan Negara .

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah pada makalah

ini, yaitu :

1. Bagaimana konsep hukum pidana Islam terhadap Agama?

2. Bagaimana konsep hukum pidana Islam terhadap Negara?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan pada makalah ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui konsep hukum pidana Islam terhadap Agama

2. Untuk mengetahui konsep hukum pidana Islam terhadap Negara


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Hukum Pidana Islam Terhadap Agama

1. Pengertian

Sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk menghormati agama Islam,

tidak menghina, atau menggugat sesuatu darinya. Karena itu, tidak seorangpun

diperbolehkan menggugat agama ini atau merendahkannya. Tidak boleh pula

membicarakannya dengan perkataan yang mengandung unsur penghinaan,

olok-olok atau ejekan. Setiap apa yang merupakan olok-olok atau cemoohan,

maka itu merupakan kekufuran dan dapat mengkafirkan pelakunya.1

Setiap orang yang menyerukan sesuatu yang mengandung celaan

terhadap salah satu akidah Islam dari akidah kaum Muslim – dan jika celaan

tersebut dapat mengkafirkan pelakunya, maka ia akan dikenakan sanksi riddah

atau murtad.2

Makna riddah menurut bahasa adalah kembali dari meninggalkan

sesuatu menuju sesuatu yang lainnya. Sedangan menurut shara’ adalah

putusnya Islam dengan niat, ucapan, atau perbuatan. Berikut definisi riddah

menurut para ulama fiqh:

a. Imam An-Nawawi

Riddah ialah memutus keislaman dengan dibarengi niat (ucapan) dan perbuatan

kufur, baik dimaksudkan untuk menghina, menentang, maupun meyakini

1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.
14.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (H. Ali), Jilid 10 (Bandung: Al-Ma’arif, 1990), h. 151.
2
4

(kekufuran tersebut). Adapun perbuatan yang berakibat pelakunya dianggap

kafir adalah bermaksud menghina agama secara terang-terangan atau secara

tegasmenolak agama tersebut, seperti melemparkan mushaf Al- Qur’an ke

tempat yang kotor dan sujud kepada berhala atau matahari.

b. Zainuddin Al-Malibari

Riddah adalah seorang mukallaf yang memutuskan keislamannya melalui

perbuatan kufur, sedangkan dia melakukannya dalam keadaan tidak dipaksa

lagi mengerti.

c. Asy Syekh Muhammad bin Qosim Al-Ghazy

Riddah menurut bahasa adalah kembali dari meninggalkan sesuatu menuju ke

sesuatu yang lainnya. Sedangkan menurut shara’ adalah putusnya islam

dengan niat, ucapan, atau perbuatan, misalnya sujud kepada berhala, baik

sujud atas dasar menertawakan.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa riddah adalah keluarnya seseorang dari islam menuju

kekafiran dengan ucapan, perbuatan, maupun niat dan keyakinan yang di

dalamnya terdapat kekufuran.

2. Jenis-jenis riddah

Jarimah riddah terbagi dalam tiga jenis diantaranya:3

a. Dengan perbuatan atau menolak perbuatan

Keluar dari Islam dengan perbuatan terjadi apabila seseorang melakukan


3
Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minjahul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim,
(Andi Subarkah), (Solo:Insan Kamil, 2008),h. 895.
5

perbuatan yang diharamkan oleh Islam dengan menganggapnya boleh atau

tidak haram, baik ia melakukannya dengan sengaja atau melecehkan Islam,

menganggap ringan atau menunjukkan kesombongan. Contohnya seperti

melecehkan urusan agama baik berupa perkara wajib atau perkara sunnah,

atau mempermainkan atau menghinanya, atau melemparkan mushaf Al-

Qur’an ke tempat kotor, atau mengiinjak- nginjaknya sebagai bentuk

merendahkan dan penghinaannya padanya.

Adapun yang dimaksud dengan menolak melakukan perbuatan adalah

keengganan seseorang untuk melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh

agama (Islam), dengan diiringi keyakinan bahwa perbuatan tersebut tidak

wajib. Contohnya seperti enggan melaksanakan shalat, zakat, puasa, atau haji

karena merasa semua itu tidak wajib.

b. Dengan ucapan (perkataan)

Keluar dari Islam juga bisa terjadi dengan keluarnya ucapan seseorang yang

berisi kekafiran. Contohnya adalah seseorang berbicara dengan ucapan kufur,

atau kesyirikan tanpa dipaksa, baik diucapkan dengan serius, bermain-main

atau dengan bergurau. Jika ia berbicara dengan ucapak kufur, maka ia divonis

keluar dari Islam, kecuali jika ia ucapkan hal itu dalam keadaan dipaksa.

c. Dengan i’tikad atau keyakinan.

Disamping itu, keluar dari Islam juga bisa terjadi dengan i’tikad atau

keyakinan yang tidak sesuai dengan akidah Islam. Contohnya seperti seseorang

yang meyakini langgengnya alam, atau keyakinan bahwa Allah itu mahkluk,

atau keyakinan bahwa Al-Qur’an itu bukan dari Allah. Adapun keyakinan

semata-mata tidak menyebabkan seseorang menjadi murtad (kafir), sebelum


6

diwujudkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Seperti dalam kaidah berikut:

Artinya: setiap orang yang melakukan perbuatan yang diharamkan (Islam)

disertai dengan keyakinan halal melakukannya, maka ia telah keluar dari Islam.

Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-

larangan syariat Islam disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak

dilarang, maka ia telah keluar darai Islam. Penghalalan yang diharamkan, jika

disertai alasan yang kuat (ta’wi>l) dan ketidaktahuan/kebodohan hukum yang

sebenarnya, belum dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam.

Ketidaktahuan/kebodohan itu bermacam-macam. Jika orang yang hidup

di suatu negeri yang terisolir dari negeri-negeri kaum muslimin. Tidak ditemui

di dalamnya kecuali orang-orang kafir. Maka orang seperti ini dimaklumi

ketidaktahuannya. Adapun orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimim

dan hidup di negeri kaum muslimin, ia mendengar Al- Qur’an, mendengarkan

hadits-hadits dan ucapan para ulama, maka yang semacam ini tidaklah dapat

dimaklumi akan ketidaktahuannya.

3. Unsur-unsur

Unsur-unsur jarimah riddah itu ada dua macam, yaitu:

a. Kembali (keluar) dari Islam

Keluar dari Islam bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara, yaitu dengan

ucapan, perbuatan, dan keyakinan seperti yang disebutkan jenis- jenis riddah di

atas.

b. Adanya niat yang melawan hukum

Untuk terwujudnya jarimah riddah disyaratkan bahwa pelaku perbuatan itu


7

sengaja melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada

kekafiran, padahal ia tahu dan sadar bahwa perbuatan atau ucapannya itu

berisi kekafiran. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan perbuatan

yang mengakibatkan kekafiran, tetapi ia tidak mengetahui bahwa perbuatan

tersebut menunjukkan kekafiran, maka ia tidak termasuk kafir atau murtad.

4. Sanksi

a. Hukuman untuk jarimah riddah ada tiga macam, yaitu hukuman pokok,

hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. Hukuman pokok-Hukuman

pokok untuk jarimah riddah adalah hukuman mati dan statusnya sebagai

hukuman h{add. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi Artinya : Oleh

Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Siapa yang mengganti

agamanya, bunuhlah!" (H.R.Bukhori : 6411)Hukuman mati dalam kasus

pemurtadan telah disepakati tanpa keraguan lagi oleh keempat mazhab

Hukum Islam. Namun kalau seseorang dipaksa mengucapkan sesuatu yang

berarti murtad sedangkang hatinya tetap beriman, maka dalam keadaan itu

dia tidak akan dihukum murtad.Hukuman mati ini adalah hukuman yang

berlaku umum untuk setiap orang yang murtad, baik ia laki-laki maupun

perempuan, tua maupun muda. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah

berpendapatbahwa perempuan tidak dihukum mati karena murtad, melainkan

dipaksa kembali kepada Islam, dengan jalan ditahan dan dikeluarkan setiap

hari untuk diminta bertaubat dan ditawarai untuk kembali ke dalam Islam.

Apabila ia menyatakan Islam maka ia dibebaskan. Akan tetapi apabila ia

tidak mau menyatakan Islam maka ia tetap di tahan sampai ia mau

menyatakan islam atau sampai ia meninggal.

Disamping itu, Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa anak


8

mumayyiz yang murtad tidak dihukum mati dalam empat keadaan sebagai

berikut.

1) Apabila islamnya mengikuti kedua orang tuanya, dan setelah bal>igh ia

murtad. Dalam hal ini menurut qiyas, seharusnya ia dibunuh, tetapi

menurut istihsan ia tidak dibunuh karena shubhah.

2) Apabila ia murad pada masa kecilnya.

3) Apabila ia pada masa kecilnya Islam, kemudian setelah bal>igh ia murtad.

Dalam hal ini ia tidak dibunuh, berdasarkan istihsan, karena ada shbhah.

4) Apabila ia berasal dari negeri bukan Islam, yang ditemukan di negeri

Islam. Dalam hal ini ia dihukumi sebagai anak Islam, karena mengikuti

negara (Islam), sama halnya dengan anak yang dilahirkan di lingkungan

kaum muslimin.

Sebagai pengganti dari hukuman mati yang tidak diterapkan kepada

anak mumayiz dalam keempat keadaan tersebut, menurut Imam Abu Hanifah,

ia dipaksa untuk menyatakan Islam, seperti halnya perempuan, dengan jalan

ditahan atau dipenjara sebagai ta’zir>. Menurut ketentuan yang berlaku, orang

yang murtad tidak dapat dikenakan hukuman mati, kecuali setelah ia diminta

untuk bertaubat. Hukum meminta bertaubat itu wajib. Maksudnya, meminta

orang yang murtad agar bertaubat dan kembali ke haribaan Islam sebelum

dibunuh. Menurut mazhab Syafi’i, barangsiapa murtad dari Islam, maka dia

diminta sebanyak tiga kali untuk bertaubat.

Sedangkan menurut mazhab Maliki, kesempatan untuk bertaubat itu

diberikan selama tiga hari tiga malam, terhitung sejak adanya putusan murtad
9

dari pengadilan, bukan sejak adanya pernyataan kufur atau diajukannya perkara

ke pengadilan.

Syarat pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku murtad adalah

tampaknya kekufuran pada orang yang murtad dan adanya pengakuan orang

tersebut terhadap fakta ini serta sikapnya yang berkeras kepada dalam

kekafiran. Selain itu, orang yang murtad itu sebelumnya adalah muslim, sudah

baligh, dan tidak dipaksa.

b. Hukuman pengganti

Huhukuman pengganti untuk jarimah riddah berlaku dalam dua

keadaan sebagai berikut:

1) Apabila hukuman pokok gugur karena taubat maka hakim menggantinya

dengan hukuman ta’zi>r yang sesuai dengan keadaan pelaku perbuatan

tersebut. Dalam hal hukuman yang dijatuhkannya hukuman penjara maka

masanya boleh terbatas dan boleh pula tidak terbatas, sampai ia tobat dan

perbuatan baiknya sudah kelihatan.

2) Apabila hukuman pokok gugur karena shubhah, seperti pandangan Imam

Abu Hanifah yang menggugurkan hukuman mati dari pelaku wanita dan

anak-anak maka dalam kondisi ini pelaku perbuatan itu (wanita dan anak-

anak) dipenjara dengan masa hukuman yang tidak terbatas dan keduanya

dipaksa untuk kembali ke agama Islam.

c. Hukuman tambahan

Hukuman tambahan yang dikenakan kepada orang murtad ada dua

macam, yaitu sebagai berikut:


10

1) Penyitaan atau perampasan harta Jika orang murtad meninggal sebelum

kembali kepada Islam, hartanya dibagi lima. Seperlimanya untuk mereka

yang berhak mendapatkan rampasan perang dan empat perlima diberikan

kepada seluruh kaum muslimin. Jika ahli waris orang murtad itu yang

muslim berkata, “Ia telah masuk Islam sebelum meninggal” mereka dituntut

untuk memberikan bukti. Jika mereka mampu memberikan bukti, hartanya

diserahkan ahli waris mereka.

2) Berkurangnya kecakapan untuk melakukan tas{arruf Riddah tidak

berpengaruh terhadap kecakapan untuk memiliki sesuatu dengan cara

apapun kecuali warisan, tetapi ia berpengaruh terhadap kecakapan untuk

men-tas{arruf-kan hartanya, baik harta tersebut diperoleh sebelum murtad

maupun sesudahnya.

B. Konsep Hukum Pidana Islam Terhadap Negara

Wacana tentang apakah Islam menggunakan suatu simbol tertentu masih

menjadi perdebatan di antara umat Islam, di antara mereka berpendapat bahwa

Islam tidak pernah mengklaim menggunakan simbol tertentu, jikapun ada, itu

hanya digunakan Islam sebagai representasi gerakan politiknya, bukan

melambangkan spiritualisme Islam. Rasulullah pernah menggunakan bendera

yang seluruhnya berwarna hitam, tanpa lambang atau ornamen apapun, sebagai

pembeda antara kaum muslimin dengan kaum kafir dalam perang atau sebagai

media penegasan wilayah kaum muslimin.Bendera itu sendiri tidak pernah

diasosiasikan kepada Islam secara pemanen dan secara keseluruhan, melainkan

hanya dengan alasan politis. Kaum muslimin saat itu menyebut bendera tersebut

dengan nama “al-„Uqaab. Pada zaman Khulafa al- Rasyidin pun tidak ada satu

simbol atau bendera apapun yang disematkan kepada Islam. Para Khulafa al-
11

Rasyidin pun hanya mengadopsi bendera al-Uqaab untuk dipakai bagi

kepentingan politik mereka. Tentu saja lagi-lagi alasan penggunaan bendera

tersebut hanya dalam kerangka pergulatan politik saja.4

Sementara itu Ahmad Karimah Guru besar fakultas Syariah Islamiyah

Universitas Al Azhar Cairo ketika menyampaikan pendapatnya mengenai undang-

undang penghinaan terhadap bendera Negara Mesir yang ditetapkan oleh Adli

Mansur (presiden sementara Mesir setalah Muhammad Mursi digulingkan), beliau

mengatakan hal tersebut sesuai dengan prinsip–prinsip umum agama Islam, dalam

wawancara beliau dengan elbalad newsbeliau menerangkan bahwa Islam

mengakui bendera sebagai lambang Negara yang harus dihormati, beliau

menambahkan bahwa Rasulullah saw. menggunakan bendera ketika pembebasan

Mekah (fathu makkah).

Istilah yang biasa digunakan Hukum Pidana Islam untuk jarimah

penghinaan adalah “assabb”, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah

menggunakan istilah “sabbudin” untuk pidana “Penghinaan Agama”

Tindak pidana penghinaan terhadap simbol-simbol Negara belum diatur

secara eksplisit dalam Hukum Pidana Islam.akan tetapi jika kita mendalami lebih

jauh akan ditemukan bahwa agama Islam mendidik umatnya untuk senantiasa

menjaga lidah, menahan diri dari ekspresi kasar kepada semua makhluk yang ada

di muka bumi.Oleh karena itu, seorang muslim diperintahkan untuk

menyelamatkan lidahnya dari penghinaan baik penghinaan tersebut dilakukan

terhadap manusia maupun terhadap selain manusia seperti binatang, cuaca, tanah,

dan benda-benda mati lainnya.

4
Al-Zuhaili, Wahbah.Fiqh Islam wa Adillattuh, (Cet x; Jakarta: Gema Insani, 2011), h.
342.
12

Disamping hal tersebut, Islam juga mengajarkan umatnya untuk senstiasa

menghormati Negara dan mencintai tanah air, hal tersebut sangat popular di

kalangan ulama klasik. Sehingga banyak ulama yang menulisnya dalam kitab

khusus terkait tema tersebut. Diantaranya, Hubbu al-Watan krya al- Jahiz,

AlSyauq ila al-Wathan karya Abu Hatim Sahl bin Muhammad al-Sijistani, al-

Wathan wa al-Isthithan, karya Muhammad bin Musa bin Mustafa al- Dali. 20

Untuk memahami lebih jauh tentang penghinaan terhadap simbol-simbol Negara

dalam dalam Hukum Pidana Islam terlebih dahulu harus dikemukakan bahwa

klasifikasi tindak pidana dalam Islam jika dilihat dari berat ringannya hukuman

ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas dan ta‟zir.

Hudud adalah perbuatan melanggar hukum yang jenis dan sanksinya sudah

ditentukan secara syara’, ditinjiau dari segi materi, jarimah hudud terbagi kepada

tujuh jarimah, yaitu hudud atas jarimah zina, qazf, syurb al khamar (meminu

minuman keras, pemberontakan, murtad, perncurian dan perampokan.

Qisas dalam mu‟jam al-wasit diartikan dengan menjatuhkan sanksi hukum

kepada pelaku tindak pidana sema persis dengan tindak pidana yang dilakukan,

nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.

Sanksi qishas ada dua macam yaitu sanksi qishash karena melakukan

pembunuhan dan sanksi qishash karena melakukan penganiayaan dengan

demikian tindak pidana penghinaan tidak dapat dijatuhi hukuman qishash. Ta‟zir

menurut Wahbah Zuhaili adalah hukuman terhadap suatu bentuk

kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman had dan

tidak pula kafarat atau dengan kata lain hukuman yang secara syara‟ tidak

ditegaskan mengenai ukurannya. Syariat Islam menyerahkan kepada penguasa

negara untuk menentukan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang sesuai
13

dengan kejahatannya. Selain itu untuk menumpas permusuhan, mewujudkan

situasi aman terkendali dan perbaikan serta melindungi masyarakat kapan saja dan

di mana saja. Sanksi- sanksi ta‟zir ini sangat beragam sesuai dengan situasi dan

kondisi masyarakat, taraf pendidikan masyarakat berbagai keadaan lain manusia

dalam berbagai masa dan tempat.

Syara’ tidak menentukan macam- macam hukuman untuk setiap jarimah

ta‟zir; tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan

sampai yang paling berat. Hakim diberi kebabasan untuk memilih hukuman mana

yang sesuai dengan tindakan pelaku. Dengan demikian, sanksi ta‟zir mempunyai

batas tertentu. Ta‟zir terbagi menjadi kepada empat bagian:5

1. Jarimah hudud dan qisahs yang tedapat syubhat, dialihkan ke senksi

ta‟zir. Contoh: Pencurian yang dilakukan seorang ayah terhadapa harta

anaknya.

2. Jarimah hudud dan qisahs yang tidak memenuhi syarat akan dijatuhi

hukuman ta‟zir. Contoh: percobaan zina, percobaan pembunuhan dan

pencurian.

3. Jarimah yang ditentukan dalam alquran dan hadist namun sanksinya tidak

ditentukan. Contoh: jarimah penghinaan, saksi palsu, riba suap dll.

4. Jarimah yang ditentukan oleh penguasa utnuk kemaslahatan umat, seperti

pelanggaran aturan lalu lintas, pembajakan, pernografi, penyelundupan dll24.

Dari jenis- jenis ta‟zir yang telah disebutkan, diketahui bahwa jarimah

penghinaan masuk padabagian ketiga yaitu: jarimah yang ditentukan dalam


5
Soesilo, R. Buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar- komentarnya
lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1991), h. 311.
14

alquran dan hadist namun sanksinya sembahan-sembahan yang mereka sembah

selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas

tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik

pekerjaan mereka.kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia

memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.(QS Al

An'am/6:108) Penghinaan bukan Akhlak Rasulullah saw. tidak ditentukan,

karena alquran dan hadist telah menyebutkan tentang larangan melakukan

penghinaan tanpa menentukan sanksinnya. Berikut beberapa ayat dan hadist yang

melarang penghinaan:6

1. Larangan untuk berkata-kata buruk

“Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terang-

terangan kecuali oleh orang yang dizalimi”. (QS An- Nisa’/4:148)

2. Larangan menghina sesembahan penganut agama lain.

Dan masih banyak lagi dalil dalil yang melarang penghinaan secara

umum. Meskipun penghinaan adalah perbuatan yang tercela, Alquran tidak

pernah memuat hukuman bagi pelaku penghinaan, yang ada adalah seruan

untuk meninggalkan orang-orang yang menghina agar penghinaan itu tidak

terus berlanjut.Dengan demikian, tindak pidana penghinaan terhadap

simbol-simbol negara masuk dalammranah jarimah ta’zir bukan termasuk

jarimah qishash dan hudud “dan janganlah kamu memaki.

6
Ledeng Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan Pengertian dan
Penerapannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 225.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, adapun kesimpulan pada makalah ini,

yaitu :

1. Sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk menghormati agama Islam,

tidak menghina, atau menggugat sesuatu darinya. Karena itu, tidak

seorangpun diperbolehkan menggugat agama ini atau merendahkannya.

Tidak boleh pula membicarakannya dengan perkataan yang mengandung

unsur penghinaan, olok-olok atau ejekan. Setiap apa yang merupakan olok-

olok atau cemoohan, maka itu merupakan kekufuran dan dapat

mengkafirkan pelakunya.

2. Tindak pidana penghinaan terhadap simbol-simbol Negara belum diatur

secara eksplisit dalam Hukum Pidana Islam.akan tetapi jika kita mendalami

lebih jauh akan ditemukan bahwa agama Islam mendidik umatnya untuk

senantiasa menjaga lidah, menahan diri dari ekspresi kasar kepada semua

makhluk yang ada di muka bumi.

B. Saran

Adapun saran yang bisa kami sampaikan selaku penulis ialah agar kira nya

para pembaca lebih menambah wawasannya terkait pembahasan yang kami tulis

pada makalah yang masih dari kata sempurna ini dengan berbagai literatur-

literatur tambahan lainnya. Sekian terima kasih.


DAFTAR RUJUKAN

Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minjahul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang
Muslim,Andi Subarkah.Solo:Insan Kamil, 2008.
Al-Zuhaili. Wahbah.Fiqh Islam wa Adillattuh, (Cet x; Jakarta: Gema Insani,
2011.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah. Bandung: Pustaka Setia,
2000.
Marpaung, Ledeng. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan Pengertian dan
Penerapannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, (H. Ali), Jilid 10 Bandung: Al-Ma’arif, 1990.
Soesilo, R. Buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-
komentarnya lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.

Anda mungkin juga menyukai