Anda di halaman 1dari 42

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja

2.1.1 Definisi Remaja

Remaja atau adolescence berasal dari kata latin yaitu adolescene yang berarti
tumbuh kearah kematangan fisik, sosial, dan psikologis (Sarwono, 2012). Pada
umumnya remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa anak-anak
menuju ke masa dewasa yang terjadi pada usia 12 tahun hingga 21 tahun (Dewi,
2012). Menurut Piaget, secara psikologis masa remaja merupakan masa individu
tidak lagi merasa berada di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan
masa remaja merupakan masa individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa
dan berada pada tingkatan yang sama (Hanifah, 2013).

Berdasarkan teori tahapan perkembangan individu menurut Erickson dari masa


bayi hingga masa tua, masa remaja dibagi menjadi tiga tahapan yaitu remaja awal,
remaja pertengahan, serta remaja akhir. Rentang usia remaja awal pada
perempuan yaitu 13-15 tahun dan pada laki-laki yaitu 15-17 tahun. Rentang usia
remaja pertengahan pada perempuan yaitu 15-18 tahun dan pada laki-laki yaitu
17-19 tahun. Sedangkan rentang usia remaja akhir pada perempuan yaitu 18-21
tahun dan pada laki-laki 19-21 tahun (Thalib, 2010). Berdasarkan survei tahun
2002 mengenai perilaku berisiko yang memiliki dampak pada kesehatan
reproduksi remaja terdapat bahwa remaja yang tercakup adalah mereka yang
berusia 10-24 tahun (Maryatun, 2013).

Jadi dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan atau masa
transisi dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa yang berlangsung pada usia
12 tahun hingga 21 tahun dengan adanya perubahan fisik, sosial, dan psikologis,
dimana secara psikologis remaja mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa
dan berada pada tingkatan yang sama.

10
11

2.1.2 Tahapan Remaja

Menurut (Sarwono, 2012) ada tiga tahap perkembangan remaja dalam proses
penyesuaian diri menuju dewasa, antara lain:

a. Remaja awal (Early Adolescence)

Masa remaja awal berada pada rentang usia 10-13 tahun ditandai dengan
adanya peningkatan yang cepat dari pertumbuhan dan pematangan fisik,
sehingga intelektual dan emosional pada masa remaja awal ini sebagian besar
pada penilaian kembali dan restrukturisasi dari jati diri. Pada tahap remaja
awal ini penerimaan kelompok sebaya sangatlah penting (Aryani, 2010).

b. Remaja Madya (Middle Adolescence)

Masa remaja madya berada pada rentang usia 14-16 tahun ditandai dengan
hampir lengkapnya pertumbuhan pubertas, dimana timbulnya keterampilan-
keterampilan berpikir yang baru, adanya peningkatan terhadap persiapan
datangnya masa dewasa, serta keinginan untuk memaksimalkan emosional dan
psikologis dengan orang tua (Aryani, 2010).

c. Remaja akhir (Late Adolescence)

Masa remaja akhir berada pada rentang usia 16-19 tahun. Masa ini merupakan
masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapain lima
hal, yaitu:

1) Minat menunjukkan kematangan terhadap fungsi-fungsi intelek.

2) Ego lebih mengarah pada mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang
lain dalam mencari pengalaman baru.

3) Terbentuk identitas seksual yang permanen atau tidak akan berubah lagi.

4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti


dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
12

5) Tumbuh pembatas yang memisahkan diri pribadinya (Private Self) dengan


masyarakat umum (Sarwono, 2012).

2.1.3 Tugas- tugas Perkembangan remaja

Havigurst mendefinisikan tugas perkembangan merupakan tugas yang muncul


sekitar satu periode tertentu pada kehidupan individu, jika individu berhasil
melewati periode tersebut maka akan menimbulkan fase bahagia serta membawa
keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan selanjutnya
(Muhammad Ali, 2011). Namun jika individu gagal melewati periode tersebut
maka tak jarang akan terjebak dalam perkembangan psikis yang tidak sehat, salah
satunya kenakalan remaja (Syafitri, 2015).

Adapun tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havigurst adalah sebagai


berikut:

a. Mampu menerima keadaan fisiknya.

b. Mampu memahami dan menerima peran seks usia dewasa.

c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan


jenis.

d. Mencapai kemandirian emosional.

e. Mencapai kemandirian ekonomi.

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan


untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.

h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk


memasuki dunia dewasa.

i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.


13

j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan


keluarga (Muhammad Ali, 2011).

2.1.4 Perkembangan Fisik Masa Remaja

Papalia dan Olds menjelaskan bahwa perkembangan fisik merupakan suatu


perubahan yang terjadi pada tubuh, otak, kapasitas sensoris, dan keterampilan
motorik (Jahja, 2012). Piaget menambahkan bahwa yang terjadi pada perubahan
tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi badan, berat badan, pertumbuhan
tulang, pertumbuhan otot, struktur otak semakin sempurna untuk meningkatkan
kemampuan kognitif, serta kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi
(Jahja, 2012).

Pada masa remaja adanya pertumbuhan organ-organ reproduksi sehingga


terjadinya kematangan fungsi reproduksi yang diikuti munculnya tanda-tanda
sebagai berikut:

a. Tanda- tanda seks primer

Menurut Sekarrini (2012) tanda seks primer pada remaja adalah sebagai
berikut:

1) Remaja Perempuan

Remaja perempuan mengalami tanda seksual primer berupa terjadinya


menstruasi (menarche) (Dewi, 2012). Dimana menstruasi didefinisikan
sebagai perubahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14 hari setelah
ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus
(Bobak, 2004).

2) Remaja Laki-laki

Tanda seksual primer pada remaja laki-laki ketika sudah mengalami


mimpi basah yang menandakan bahwa sistem reproduksinya mulai
berfungsi. Mimpi basah biasanya terjadi pada remaja laki-laki usia 10-15
tahun (Sekarrini, 2012).
14

b. Tanda seksual sekunder

1) Pada perempuan tanda seksual sekunder yang terjadi adalah pelebaran


pinggul, pertumbuhan payudara, tumbuh rambut di sekitar kemaluan dan
ketiak, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimal setiap
tahunnya, serta pertumbuhan rahim dan vagina (Sarwono, 2012).

2) Pada laki-laki tanda seksual sekunder yang terjadi adalah pertumbuhan


tulang- tulang, testis (buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan yang
halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi
(keluarnya air mani), bulu kemaluan menjadi keriting, pertumbuhan tinggi
badan mencapai tingkat maksimal setiap tahunnya, tumbuh rambut-
rambut halus di wajah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir
perubahan suara, serta dapat adanya rambut- rambut di dada (Sarwono,
2012).

2.1.5 Perkembangan Psikologis Masa Remaja

Perubahan fisik pada remaja yang cepat dan terjadi secara berkelanjutan
menyebabkan para remaja sadar dan lebih memperhatikan bentuk tubuhnya serta
adanya keinginan untuk membandingkan dengan teman-teman sebaya lainnya.
Jika perubahan tidak berlangsung secara lancar maka akan memberikan pengaruh
terhadap perkembangan psikis dan emosi remaja tersebut yang dapat
menimbulkan adanya cemas berlebih, terutama pada remaja perempuan bila tidak
dipersiapkan untuk menghadapinya (Jose RL, 2010).

Peningkatan emosional pada remaja dikenal dengan masa storm and stress,
dimana remaja bisa merasakan sangat sedih kemudian bisa kembali bahagia
dengan cepat atau sering juga disebut emosional yang bergejolak dan kurang
stabil. Hal tersebut terjadi karena perubahan hormon yang terjadi pada masa
remaja. Jika dilihat dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan
tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari kondisi
sebelumnya (Sekarrini, 2012). Selain keadaan emosi yang tidak stabil, remaja
15

memiliki kecenderungan untuk memperhatikan penampilan, menyendiri, hingga


meningktanya rasa ingin tahu mengenai seksualitas (Dewi, 2012).

Kauma juga menambahkan bahwa akibat masih labilnya emosi remaja, remaja
memiliki kecenderungan untuk meniru, mencari perhatian, mencari idola, mulai
tertarik pada lawan jenis, dan selalu ingin mencoba hal- hal baru (Sekarrini,
2012).

2.1.6 Perkembangan Kognitif Masa Remaja

Perkembangan kognitif merupakan perubahan kemampuan belajar, memori,


berpikir, menalar, serta bahasa (Jahja, 2012). Menurut Piaget seorang remaja aktif
mengembangkan kemampuan kognitif mereka melalui informasi yang didapatkan,
namun tidak langsung diterima begitu saja melainkan remaja telah mampu
membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibandingkan ide
lainnya serta remaja dapat mengembangkan ide-ide tersebut hingga memunculkan
suatu ide baru (Jahja, 2012).

Pemikiran masa remaja cenderung abstrak, logis, serta idealis. Remaja lebih
mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang
lain pikirkan tentang diri mereka, serta cenderung lebih banyak mencaritahu
mengenai kehidupan sosial serta menginterpretasikan (Jahja, 2012). Dengan
kekuatan baru dalam penalaran yang dimiliki remaja menjadikan dirinya mampu
membuat pertimbangan dan melakukan perdebatan sekitar topik-topik mengenai
kehidupan manusia, kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan keadilan (Endah,
2015).

2.2 Pengetahuan

2.2.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu domain perilaku. Pengetahuan adalah hasil


dari tahu terhadap suatu objek melalui indera manusia yakni penglihatan,
pendengaran, peraba, pembau, serta perasa yang sebagian besar pengetahuan
seseorang diperoleh melalui indera pendengaran dan indera penglihatan
16

(Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan atau kognitif sangatlah penting karena


merupakan domain yang berperan dalam membentuk tindakan seseorang (overt
behavior) (Fitriani, 2011). Secara garis besar pengetahuan dibagi dalam enam
tingkat, yaitu (Notoatmodjo, 2010):

a. Tahu (know)

Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya


dan setelah mengamati sesuatu. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Pengetahuan
tingkat ini merupakan tingkat yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dengan
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehension)

Kemampuan menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan


sebagainya terhadap objek yang diketahui dan dipelajari secara benar serta
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Aplication)

Kemampuan menerapkan materi yang telah dipelajari sebelumnya pada situasi


dan kondisi sebenarnya.

d. Analisis (Analysis)

Kemampuan menjabarkan materi kemudian mencari hubungan suatu objek ke


dalam komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah. Kemampuan
analisis ini dapat dinilai dengan penggunaan kata-kata kerja seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan, dan sebagainya.
17

e. Sintesis (Synthesis)

Kemampuan seseorang untuk merangkum komponen-komponen pengetahuan


yang dimiliki serta meletakkan dalam suatu hubungan yang logis. Dengan kata
lain, sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi- formulasi yang ada. Misalnya dapat merencanakan, dapat
menyusun, dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya.

f. Evaluasi (Evaluation)

Kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu yang


didasari dari kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
kriteria yang sudah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket mengenai isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden.

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut (Mubarak, 2007) ada tujuh faktor-faktor yang mempengaruhi


pengetahuan seseorang, yaitu:

a. Pendidikan

Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu bimbingan yang diberikan seseorang


kepada orang lain terhadap suatu objek atau hal lainnya agar dapat dimengerti.
Makin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah mereka menerima
informasi serta makin banyak pula pengetahuan dan informasi yang
dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang memeiliki tingkat pendidikan yang
rendah, maka akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap
penerimaan, informasi, dan nilai-nilai yang diperkenalkan.

b. Pekerjaan

Lingkungan dapat menjadikan seseorang mampu memperoleh pengalaman


dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
18

c. Umur

Umur sangat erat kaitannya dengan pengetahuan karena bertambahnya umur


seseorang maka akan terjadinya perubahan pada aspek psikis dan psikologis
(mental). Pada aspek psikologis dan mental taraf berfikir seseorang semakin
matang dan dewasa.

d. Minat

Minat merupakan suatu kecenderungan atau keinginan yang besar terhadap


sesuatu. Dengan adanya minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan
menekuni suatu hal, sehingga diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

e. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu peristiwa atau kejadian yang dialami seseorang


dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan jika
pengalaman tersebut kurang baik, maka seseorang akan berusaha untuk
melupakan, namun sebaliknya jika pengalaman terhadap objek tersebut
menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang membekas
sehingga menimbulkan sikap positif.

f. Kebudayaan Lingkungan Sekitar

Apabila suatu wilayah mempunyai budaya atau kebiasaan menjaga kebersihan


lingkungan, maka sangat mungkin masyarakat sekitar lingkunga tersebut akan
mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan.

g. Informasi

Kemudahan mengakses informasi dapat memudahkan seseorang untuk


mendapatkan pengetahuan yang baru.
19

2.2.3 Pengetahuan Remaja tentang Seksual Pranikah

A. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang disertai oleh hasrat seksual,
baik dengan lawan jenis ataupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2012). Bentuk
perilaku seksual bermacam-macam, diantaranya mulai dari perasaan tertarik
sampai adanya tingkah laku berkencan, bercumbu, hingga bersenggama dengan
suatu objek baik berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri
(Sarwono, 2012). Perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seks yang
dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi sebelumnya menurut
hukum, agama, dan kepercayaan masing- masing individu. Perilaku seksual
pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai dampak
yang merugikan remaja itu sendiri (Sarwono, 2012).

Terdapat bentuk perilaku seksual yang beraneka ragam, baik yang termasuk dalam
tindakan yang tidak berhubungan badan maupun yang melakukan hubungan
badan (sexual intercourse) (Sarwono, 2012). Objek seksual dapat berupa orang,
baik dengan lawan jenis ataupun yang sejenis, orang dalam khayalan atau diri
sendiri. Bentuk perilaku seksual diantaranya ada yang dapat dilakukan oleh diri
sendiri yang meliputi masturbasi, hingga yang dilakukan bersama pasangan
seperti berkencan, bercumbu, bersenggama (Sarwono, 2012). Berikut adalah
bentuk- bentuk perilaku seksual pranikah, antara lain (Sarwono, 2012):

1. Bergandengan tangan merupakan salah satu perilaku seksual pranikah yang


terbatas pada pergi berdua atau bersama dan saling berpegangan tangan,
bergandengan tangan sebagai salah satu bagian dari perilaku seksual pranikah
karena adanya kontak fisik secara langsung antara dua orang lawan jenis yang
didasari dengan rasa suka atau cinta.

2. Berpelukan merupakan perilaku seksual yang menyebabkan jantung akan


berdegup lebih cepat dan menimbulkan rangsangan seksual pada individu.
20

3. Berciuman didefinisikan sebagai suatu tindakan saling menempelkan bibir ke


pipi atau bibir ke bibir hingga menempelkan lidah, sehingga dapat
memunculkan adanya rangsangan seksual.

4. Meraba bagian tubuh yang sensitif merupakan tindakan memegang bagian


tubuh yang sensitif seperti payudara, vagina, dan penis.

5. Bercumbu yang merupakan tindakan yang sudah dianggap rawan yang


cenderung menimbulkan suatu rangsangan untuk melakukan hubungan
seksual (senggama), dimana pasangan sudah melakukan tindakan hingga
memegang atau meremas payudara, baik melalui pakaian atau secara langsun,
saling menempelkan alat kelamin namun belum melakukan hubungan seksual
atau bersenggama secara langsung.

6. Necking merupakan rangsangan di sekitar leher ke bawah. Necking ini dapat


berupa ciuman di sekitar leher serta pelukan secara mendalam untuk
menimbulkan rangsangan.

7. Petting merupakan upaya dalam membangkitkan dorongan seksual antar jenis


kelamin dengan tanpa melakukan intercourse atau hubungan seksual.

8. Oral Genital Seks merupakan hubungan oral sex sebagai rangsangan dengan
mulut pada organ sex.

9. Bersenggama merupakan suatu tindakan melakukan hubungan seksual atau


adanya kontak seksual. Bersenggama memiliki arti bahwa sudah memasukkan
alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja,


diantaranya faktor internal serta faktor eksternal. Faktor internal yang
mempengaruhi perilaku seksual pada remaja meliputi:
21

a. Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi

Pengetahuan merupakan suatu hasil tahu seseorang terhadap objek melalui


penginderaan (mata, hidung, telinga, dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan mengenai kesehatan repsroduksi mencakup apa yang diketahui
seseorang mengenai kesehatan reproduksi yang meliputi sistem reproduksi,
fungsi, proses, serta cara-cara pencegahan atau penanggulangan terhadap
kehamilan, aborsi, serta penyakit-penyakit kelamin (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Syafrudin sebagian besar remaja merasakan bahwa orang tua mereka
menolak memulai pembicaraan mengenai seks pranikah, sehingga mereka
mencari jalan lain dengan memanfaatkan sumber informasi yang lainnya
seperti teman atau media massa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar remaja sangat membutuhkan informasi mengenai seksual dan
reproduksi, namun seringkali remaja memperoleh informasi yang tidak akurat
mengenai seksual dan reproduksi dari teman-teman mereka melainkan bukan
dari petugas kesehatan, guru, atau orang tua (Ririn, 2011).

b. Perubahan hormonal

Faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah adanya
perubahan hormonal. Remaja cenderung memiliki dorongan seks yang kuat
terhadap lawan jenis. Sebagian besar remaja kurang mampu melakukan
pengontrolan diri yang baik dan akan menyebabkan disalurkan melalui
kanalisasi yang tidak tepat (Sarwono, 2012).

c. Sikap

Sikap remaja yang mempengaruhi perilaku seksual yang tidak sehat seperti
sikap permisif, kurang adanya kontrol diri, tidak dapat mengambil keputusan
terkait kehidupan seksual yang sehat, serta tidak dapat bersikap arsetif
terhadap ajakan teman ataupun pacar (Sarwono, 2012).
22

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja


meliputi:

a. Peran keluarga

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja. Pola
asuh orang tua sebagai salah satu faktor penyebab perilaku menyimpang pada
remaja salah satunya perilaku seksual (Sekarrini, 2012). Orang tua sebaiknya
membimbing dengan cara komunikasi yang terbuka terkait kepentingan hidup
remaja agar dapat menjadi dewasa dan melewati masa remaja dengan
terhindar dari perilaku yang menyimpang (Sekarrini, 2012).

Sebagian besar remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah


merupakan remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai,
keluarga yang memiliki banyak konflik dan perpecahan (Sarwono, 2012).

Menurut Rohmahwati hubungan orang tua yang harmonis akan mempengaruhi


perkembangan kepribadian anak, namun sebaliknya jika keluarga dengan
orang tua yang sering bertengkar akan menyebabkan terhambatnya
komunikasi dalam keluarga, selain itu keluarga yang tidak lengkap misalnya
karena perceraian, kematian, serta keluarga dengan keadaan ekonomi yang
kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa remaja (Ririn, 2011).

Menurut (Sarwono, 2012) komunikasi antara orang tua dan remaja


mempengaruhi seberapa besar kemungkinan remaja melakukan perilaku
seksual, dimana semakin rendahnya komunikasi antara orang tua dan remaja,
maka akan menyebabkan semakin besar remaja melakukan tindakan seksual.
Pada usia remaja, kebutuhan emosional individu beralih dari orang tua kepada
teman sebaya. Pada tahap tersebut teman sebaya juga dianggap sumber
informasi tidak terkecuali dalam hal perilaku seksual, namun informasi yang
diberikan oleh teman sebaya cenderung salah (Sarwono, 2012).
23

b. Sumber informasi/ media

Lembaga swadaya masyarakat Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia


menyebutkan bahwa pengaruh konten ponografi terhadap anak di Indonesia
masuk dalam tingkat terentan kedua setelah Rusia. Remaja usia 14 hingga 16
tahun serta 30 hingga 45 tahun mendominasi pengakses key word sex yang
dilakukan di seluruh Indonesia. Byte Mobile (perusahaan solusi dan strategi
mobile internet) bahwa selama bulan juli 2010 trafic video mobile didominasi
adanya 4 situs porno dengan trafik mencapai 15 persen dari keseluruhan trafik
10 besar video mobile yang ada (Anggraini, 2013).

c. Pengaruh teman sebaya

Berdasarkan teori perkembangan psikologi, remaja merupakan suatu tahap


pendewasaan dimana adanya pergeseran pengaruh keluarga menjadi teman
sebaya (Suwarni, 2014). Hal tersebut disebabkan adanya peningkatan minat
remaja dalam melakukan suatu hubungan persahabatan serta keikutsertaan
dalam kelompok. Menurut Nasution remaja akan memperoleh berbagai
pengalaman dari pergaulannya tersebut, salah satunya adanya pengalaman
berhubungan dengan lawan jenis ataupun hal-hal lain yang berkaitan dengan
seksualitas. Sebagian besar remaja merasakan bahwa membahas mengenai
seksualitas bersama teman-teman sebaya akan lebih menyenangkan
dibandingkan bercerita dengan orang tua (Zulhaini, 2011).

Jika pengaruh negatif dari teman-teman sebaya lebih besar dibandingkan


perlawanan dalam diri remaja, maka remaja cenderung akan terpengaruh
karena remaja ingin adanya penerimaan dalam kelompok walaupun hal
tersebut bertentangan dengan ajaran orang tua (Suwarni, 2014).

C. Dampak Perilaku Seksual Pranikah

Menurut (Sarwono, 2012) perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan dampak


negatif bagi remaja, diantaranya adalah:
24

a. Dampak psikologis

Dampak psikologis yang biasanya terjadi pada remaja akibat seksual pranikah
diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah, dan
berdosa.

b. Dampak fisiologis yang biasanya terjadi pada remaja akibat seksual pranikah
diantaranya kehamilan tidak diinginkan serta tindakan aborsi. Kehamilan
Tidak Diinginkan (KTD) merupakan suatu kehamilan yang keberadaanya
tidak diinginkan oleh salah satu atau kedua calon orang tua bayi tersebut
(Soetjiningsih, 2007). Bagi remaja yang mengalami KTD umumnya
merasakan cemas, rasa malu, bersalah, rasa berdosa yang berkepanjangan,
serta adanya perasaan tidak berharga sehingga muncul perasaan minder dan
tidak berdaya (Aliyah, 2009).

Angka tindak aborsi berdasarkan hasil survei tercatat adanya 2.000.000 kasus
aborsi per tahun. Dimana dampak yang ditimbulkan dari tindakan aborsi
tersebut adalah adanya pendarahan, infeksi, kemandulan, bahkan kematian
(Aliyah, 2009). Meningkatnya kasus KTD serta aborsi di kalangan remaja
yang disebaBKan oleh perilaku seksual yang beresiko bahkan kecenderungan
sexual psychopath seharusnya menjadi perhatian serius untuk ditemukan
solusi dalam penanganannya (Syamsu Yusuf, 2009).

c. Dampak sosial

Dampak sosial yang biasanya terjadi akibat perilaku seksual yang dilakukan
sebelum waktunya diantaranya dikucilkan, putus sekolah pada remaja
perempuan yang hamil, serta adanya perubahan peran menjadi ibu. Sebagian
besar warga masyarakat mengejek dan menolak keadaan tersebut (Sarwono,
2012). Secara psikologis remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan
akan merasa tertekan, takut, bingung, malu, dan berbagai emosi dalam dirinya.
Sehingga, mereka cenderung menggugurkan kandungan (aborsi) daripada
harus memberikan bayinya untuk dilakukan adopsi (Sarwono, 2012).
25

d. Dampak fisik

Menurut (Sarwono, 2012) dampak fisik akibat perilaku seksual pranikah


adalah meningkatkan risiko berkembangnya penyakit menular seksual di
kalangan remaja dengan frekuensi yang tertinggi antara usia 15-24 tahun.
Penyakit infeksi menular seksual dapat menyebabkan kemandulan serta
meningkatkan risiko terkena PMS salah satunya HIV/AIDS (Duarsa, 2007).

D. Perilaku Seksual Yang Sehat Secara Fisik

1. Tidak tertular penyakit seksual dan tidak merusak kesehatan orang lain

Salah satu dampak akibat hubungan seksual sebelum menikah apalagi jika
dilakukan dengan berganti-ganti pasangan adalah dapat menularkan penyakit
seksual Human Deficiency Virus/ Acquired Immune Deficiency Syndrome
(HIV/AIDS), serta dapat mengakibatkan infeksi saluran reproduksi. Sebagian
besar remaja tidak mengetahui pasangannya telah berhubungan dengan siapa
saja, pasangannya tertular HIV atau tidak. Infeksi saluran reproduksi biasanya
terjadi pada remaja yang sudah melakukan hubungan seksual aktif pada usia di
bawah 20 tahun serta dapat berkembang menjadi keganasan yaitu kanker
serviks (Wardani, 2013).

2. Tidak menyebabkan kehamilan sebelum menikah

Hamil merupakan salah satu akibat yang harus dijalani karena hubungan
seksual yang dilakukan. Jika kehamilan tersebut terjadi sebelum menikah
maka akan menyebabkan tekanan bagi seseorang yang hamil, baik di keluarga
ataupun di masyarakat. Sebagian besar remaja memilih jalan untuk melakukan
tindakan aborsi dengan segala risiko yang akan dijalani seperti adanya
perdarahan, kemandulan bahkan kematian, hal tersebut dilakukan hanya untuk
menghilangkan perasaan tertekan akibat hamil di luar nikah (Soetjiningsih,
2004).
26

3. Menguasai tentang kesehatan reproduksi remaja

Remaja biasanya akan mencari untuk mengetahui dan memahami perubahan-


perubahan yang terjadi pada dirinya. Diharapkan remaja tidak mencari
informasi mengenai kesehatan reproduksi serta mengenai seksualitas dari
sumber-sumber yang tidak jelas bahkan informasi yang tidak dapat diketahui
kebenarannya. Sehingga informasi yang diinginkan remaja seperti mengenai
kesehatan reproduksi dan seksualitas diharapkan dapat berawal dari keluarga.
Dengan adanya komunikasi yang baik antara orang tua dan remaja disertai
dengan pola asuh yang baik antara orang tua dan remaja akan menyebabkan
remaja dapat menguasi dan mengerti mengenai kesehatan reproduksi dan
terhindar dari perilaku seksual pranikah (Dewi, 2012).

4. Mampu mengambil keputusan dan mempertimbangkan segala risiko dari


keputusan yang diambil

Orang tua sangat berpengaruh terhadap keputusan remaja terkait suatu


keinginan. Dimana peran orang tua dalam hal ini adalah diharapkan mampu
mendiskusikan keinginan dan pendapat remaja untuk dapat mengambil
keputusan terakhir. Selain dapat berdiskusi dan berkomunikasi secara terbuka
antara orang tua dan remaja, diharapkan bimbingan orang tua dapat
mengarahkan remaja untuk mengerti dengan baik mengenai hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan. Dengan adanya diskusi dan bimbingan maka akan
membantu perkembangan dan pertumbuhan remaja kearah yang lebih baik,
karena remaja diberikan kepercayaan dan harapan agar mereka dapat
bertanggung jawab dan mempertimbangkan segala risiko dari keputusan yang
diambil (Wardani, 2013).

5. Mampu menyesuaikan diri dengan nilai- nilai sosial dan norma yang ada di
lingkungan sekitar

Sebagian besar remaja akan mengambil nilai sosial, nilai moral, serta taat pada
norma yang berasal dari orang tua, agama, budaya, dan masyarakat umum
dalam mengendalikan perilaku dan emosinya sehingga akan membentuk
27

konsep moral yang positif, akan terbentuk identitas dan citra diri remaja.
Sehingga diperlukan kontrol diri dari remaja itu sendiri untuk membentuk
konsep diri, identitas, serta citra diri yang positif (Khairunnisa, 2013).

2.2.4 Kriteria Pengetahuan

Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat dinilai dan


diintepretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif,yaitu:

a. Baik : hasil presentase 76% - 100%

b. Cukup : hasil presentase 56% - 75%

c. Kurang : hasil presentase < 56%

2.3 Sikap

2.3.1 Pengertian Sikap

Pada awalnya, istilah sikap (attitude) digunakan untuk menunjuk status mental
individu. Sikap individu sifatnya masih tertutup karena selalu diarahkan kepada
suatu hal atau objek tertentu. Oleh karena itu, manifestasi sikap tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat diperkirakan dari perilaku yang tertutup
tersebut (Sunaryo, 2004).

Sikap merupakan keseluruhan kumpulan pendapat serta keyakinan seseorang


mengenai objek atau situasi yang relatif tidak mengalami perubahan, yang disertai
adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk
membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya (Sunaryo,
2004). Sikap dapat diartikan sebagai reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu
yang sebelumnya adanya sebuah penghayatan terhadap objek tersebut
(Notoadmojo, 2007). Secara operasional pengertian sikap menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap kategori stimulus tertentu, sedangkan dalam
penggunaan praktis sikap seringkali dihadapkan dengan rangsang sosial dan reaksi
yang bersifat emosional (Sunaryo, 2004).
28

2.3.2 Tingkatan Sikap

Adapun tingkatan dalam sikap, yaitu (Notoadmojo, 2003):

a. Menerima (Receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa seseorang mau dan memperhatikan stimulus


yang diberikan oleh orang lain.

b. Merespon (Responding)

Mampu memberikan jawaban apabila diberikan pertanyaan, mengerjakan dan


menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal tersebut merupakan suatu indikasi
dari sikap karena dengan usaha untuk menjawab pertanyaan dan mengerjakan
tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, menandakan
bahwa seseorang telah menerima ide tersebut.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mendiskusikan dan mengerjakan suatu masalah


dan merupakan suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (Responsibility)

Bertanggung jawab terhadap sesuatu yang telah dipilih dengan berbagai


risikonya yang merupakan suatu indikasi sikap yang paling tinggi.

2.3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap

Menurut (Azwar S, 2010) faktor- faktor yang mempengaruhi sikap yaitu:

a. Pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai dasar dalam pembentukan sikap


jika pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih
mudah terbentuk apabila pengalaman terjadi dengan melibatkan faktor
emosional.
29

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Individu cenderung memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap
seseorang yang dianggap penting. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya
motivasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.

c. Pengaruh kebudayaan

Suatu budaya dapat memberi pengalaman terhadap masyarakat yang ada di


dalam budaya tersebut. Akibatnya dengan tidak disadari kebudayaan telah
menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah.

d. Media massa

Informasi yang didapatkan melalui surat kabar maupun radio atau media
komunikasi lainnya merupakan informasi yang lebih bersifat faktual dan
disampaikan secara objektif, sehingga berpengaruh terhadap sikap
konsumennya.

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Konsep moral dan ajaran lainnya dari lembaga pendidikan dan lembaga agama
sangat menentukan sistem kepercayaan. Sehingga konsep tersebut dapat
mempengaruhi sikap seseorang.

f. Faktor emosional

Sikap merupakan suatu pernyataan yang didasari oleh emosi seseorang yang
berfungsi sebagai penyaluran emosi yang dirasakan serta pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego.
30

2.3.4 Komponen Sikap

Menurut (Azwar S, 2010) sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang
yaitu:

a. Komponen kognitif

Merupakan representasi hal yang telah dipercayai oleh individu sebagai


pemilik sikap, komponen kognitif terkait dengan kepercayaan stereotipe yang
dimiliki individu mengenai sesuatu yang dapat disamakan terutama mengenai
isu-isu tertentu.

b. Komponen afektif

Perasaan yang melibatkan faktor emosional. Faktor emosional tersebut


memiliki makna paling dalam sebagai suatu komponen sikap dan merupakan
faktor yang dapat bertahan dari pengaruh-pengaruh yang dapat mengubah
sikap seseorang.

c. Komponen konatif

Kecenderungan akan berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang


serta kecenderungan untuk bertindak dan bereaksi terhadap sesuatu dengan
cara-cara tertentu.

2.3.5 Sikap Remaja tentang Pencegahan Seksual Pranikah

Menurut (Soetjinigsih, 2008) upaya dalam pencegahan seksual pranikah dilakukan


dengan memperhatiakn hal-hal sebagai berikut :

1. meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan remaja

orang tua seharusnya memiliki sikap terbuka terkait masalah seksual, sehingga
bisa menjadi tempat remaja mencari informasi terkait seksual. Sikap dan
perilaku orang tua juga berperan penting sebagai teladan bagi remaja dalam
menyikapi hubungan seksual pranikah.
31

2. Keterampilan menolak tekanan negatif dari teman (teknik asertif)

Teman sebaya memiliki pengaruh yang besar terhadap sikap dan perilaku
remaja, sehingga perlu adanya keterampilan remaja dalam melakukan
penolakan terhadap ajakan teman yang mengarah ke hal atau kegiatan yang
bersifat negatif. Selain itu, remaja harus mampu memilih teman yang
membawa pengaruh positif dalam bergaul, sehingga remaja dapat bersikap
bijaksana terkait hubungan seksual pranikah.

Sikap asertif untuk kelompok remaja sangat diperlukan dalam menghadapi


tekanan remaja sebaya. Tekanan tersebut berkaitan dengan ajakan untuk
terlibat ke dalam perilaku yang berisiko (BKKBN, 2008). Tekanan teman
sebaya berupa ajakan ke dalam perilaku berisiko akan mengakibatkan remaja
menjadi sulit untuk menolak secara tegas, sehingga remaja menjadi pribadi
yang tidak asertif. Penelitian Fallah (2009) menjelaskan perilaku asertif pada
remaja putri terhadap perilaku seksual pranikah merupakan suatu kemampuan
yang harus dimiliki remaja dalam bersikap tegas untuk mempertahankan hak
seksualnya agar tidak dilecehkan, remaja diharapkan dapat membedakan
perilaku baik dan buruk, serta dapat mengambil keputusan seksualnya, dengan
tetap menghargai hak dan tanpa menyakiti teman sebaya. Esti (2005) dalam
penelitiannya menyebutkan tujuan remaja memiliki sikap asertif adalah untuk
meningkatkan kemampuan interpersonal yaitu remaja mampu mengatakan
“tidak”, mampu mengekspresikan perasaan baik positif maupun negative,
serta mampu membuat suatu permintaan.

Menurut Eisler, Miller & Hersen, Johnson & Pinkton ada beberapa komponen
dari asertivitas, antara lain:

a. Compliance

Terkait usaha seseorang dalam melakukan suatu penolakan atau memiliki


pendapat yang berbeda dengan orang lain. Yang perlu ditekankan disini
merupakan adanya keberanian seseorang untuk mengatakan “tidak” pada
orang lain jika memang tidak sesuai dengan keinginannya.
32

b. Duration of Reply

Waktu yang diperlukan bagi seseorang untuk mengatakan apa yang


diinginkan untuk dijelaskan pada orang lain.

c. Loudness

Berbicara dengan lebih keras dan tegas namun tidak berteriak merupakan
salah satu sikap asertif. Berbicara dengan suara yang jelas merupakan cara
terbaik dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.

d. Request For New Behavior

Meminta adanya perilaku yang baru pada orang lain, mengungkapkan


terkait fakta ataupun perasaan, serta memberikan saran pada orang lain,
dengan tujuan agar situasi berubah sesuai dengan yang kita inginkan.

e. Affect

Afek diartikan sebagai emosi, ketika seseorang berbicara dengan keadaan


emosi maka intonasi suaranya akan lebih tinggi. Pesan yang disampaikan
akan lebih asertif jika seseorang berbicara dengan fluktuasi yang sedang
dan tidak berupa respon yang emosional.

f. Latency Of Response

Adanya jarak waktu antara akhir ucapan seseorang sampai giliran kita
untuk mulai berbicara. Adanya sedikit jeda sesaat sebelum menjawab
secara umum lebih asertif dibandingkan tidak terdapat jeda.
33

g. Non Verbal Behavior

Komponen- komponen non verbal dari asertivitas antara lain:

1) Kontak Mata

Jika kita memandang teman bicara kita maka akan membantu dalam
penyampaian pesan serta dapat meningkatkan efektifitas pesan. Akan
tetapi jangan terlalu membelalak atau menundukkan kepala.

2) Ekspresi Muka

Perilaku asertif yang efektif memerlukan adanya ekspresi wajah yang


sesuai dengan pesan yang akan disampaikan. Misalnya, jika pesan
bersifat kemarahan maka akan disampaikan secara langsung tapa
senyuman, ataupun saat gembira tunjukkan dengan wajah senang.

3) Jarak Fisik

Sebaiknya berdiri atau duduk dengan jarak yang sewajarnya. Jika


terlalu dekat terlihat seperti menantang, sementara jika terlalu jauh
maka akan menyebabkan orang lain susah dalam mengartikan
perkataan yang diucapkan.

4) Sikap Badan

Sikap badan yang tegak ketika berhadapan dengan orang lain akan
membuat pesan lebih bersifat asertif. Sementara sikap badan yang
tidak tegak dan terlihat malas akan memberikan penilaian mudah
mudur atau melarikan diri dari masalah.

5) Isyarat Tubuh

Isyarat tubuh dengan gerakan tubuh yang berarti adanya keterbukaan,


rasa percaya diri, serta dapat mengurangi gerakan seperti menggaruk
kepala atau leher, serta menggosok- gosok mata (Marini, & Andriani,
2005).
34

3. Meningkatkan religiusitas remaja

Ajaran agama untuk remaja sebaiknya diwujudkan dalam bentuk kegiatan


yang nyata terkait dengan masalah-masalah yang sering terjadi dalam
kehidupan remaja seperti masalah kesehatan repsroduksi dan seksual. Dari
kegiatan yang nyata tersebut akan membentuk sikap remaja yang lebih
bijaksana khususnya dalam menyikapi hubungan terkait seksual pranikah.

4. Pembahasan atau pengaturan peredaran media sosial

Diharapkan remaja mampu memahami manfaat yang positif dari media sosial
terkait pesan-pesan seksualitas yang mendidik. Media sosial dapat
dimanfaatkan sebagai sumber informasi mengenai materi pendidikan
seksualitas. Dengan adanya informasi yang positif melalui media sosial maka
akan membawa dampak positif pula pada sikap dan perilaku remaja.

5. Promosi tentang kesehatan seksual bagi remaja

Remaja sebagai siswa di sekolah seharusnya memanfaatkan layanan


bimbingan konseling yang ada dalam memberikan pendidikan seksual untuk
siswa. Selain itu, remaja dapat memanfaatkan adanya kegiatan lembaga
pemerintah ataupun lembaga non pemerintah terkait seminar mengenai
kesehatan seksual remaja dan pendidikan seksual secara keseluruhan. Hal
tersebut dilakukan agar siswa secara sadar diri dapat mengambil sikap
terhadap hubungan seksual pranikah secara bijaksana dengan sendirinya tanpa
paksaan dari siapapun, karena kesadaran diri dari remaja itu sendiri
merupakan cara yang paling penting dalam mencegah hubungan seksual
pranikah.

Menurut (BKKBN, 2004) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait upaya-
upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah atau menghindari seksual pranikah :

1. Remaja harus mampu menahan diri saat berpacaran.

2. Remaja harus memahami bahwa seks bukan satu- satunya cara untuk
mengungkapkan kasih sayang kepada pasangan.
35

3. Remaja harus memiliki komitmen, motivasi, serta pengendalian diri yang kuat
agar tidak melakukan seks pranikah, sebaiknya remaja perlu meningkatkan
kemampuan untuk menolak setiap ajakan untuk melakukan seksual pranikah.

4. Menghindari perilaku yang dapat menimbulkan rangsangan, seperti


menyentuh bagian tubuh yang mudah terangsang.

5. Mencari sumber informasi yang tepat, baik dari orang tua, sekolah, ataupun
media cetak serta internet.

6. Memiliki keyakinan yang kuat terkait nilai-nilai keagamaan.

2.3.6 Skala Pengukuran Sikap

Menurut (Hidayat, 2013) skala Likert dapat digunakan untuk mengukur sikap,
persepsi, serta pendapat seseorang mengenai masalah ataupun hal lainnya yang
ada di masyarakat atau yang dialami, dikenal sebagai summated ratings method.
Skala pengukuran Likert menggunakan pernyataan-pernyataan dengan
menggunakan empat alternatif jawaban atas pernyataan tersebut. Subjek yang
diteliti dapat memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang ada. Empat
jawaban yang dikemukakan Likert diantaranya sangat setuju, setuju, tidak setuju,
dan sangat tidak setuju. Sikap seseorang dapat diukur dan diintepretasikan, yaitu:

a. Sikap baik : hasil presentase baik 76% - 100%

b. Sikap cukup : hasil presentase cukup 51% - 75%

c. Sikap kurang : hasil presentase benar <50%

2.4 Bimbingan kelompok

2.4.1 Pengertian Bimbingan Kelompok

Bimbingan merupakan salah satu program yang termasuk dari bidang pendidikan
yang bertujuan untuk membantu mengoptimalkan perkembangan siswa. Menurut
Tolbert, bimbingan merupakan seluruh kegiatan atau program dalam lembaga
36

pendidikan yang bertujuan untuk membantu individu agar dapat menyusun dan
melaksanakan rencana serta penyesuaian diri dalam kehidupan sehari-hari
(Hikmawati, 2014). Tujuan dari pelayanan bimbingan agar sesama manusia
mampu mengatur kehidupan sendiri, menjamin perkembangan diri sendiri
semaksimal mungkin, bertanggung jawab sepenuhnya atas arah hidup seseorang
itu sendiri, menggunakan kebebasan sebagai manusia secara dewasa dengan
berpedoman pada cita- cita dan potensi yang ada di dalam diri seseorang, serta
dapat menyelesaikan segala tugas secara optimal (Winkel, 2006).

Bimbingan kelompok merupakan kegiatan bimbingan yang diberikan kepada


suatu kelompok individu, dimana kelompok sebagai wadah atau isi bimbingan
konseling (Hartinah, 2009). Menurut Winkel dan Hastuti (2006), bimbingan
kelompok merupakan suatu kumpulan individu yang karena satu atau lain alasan
tergabung dan mempunyai tujuan yang ingin dicapai bersama.

Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan suatu usaha untuk


membantu pengembangan peserta didik, baik secara individual, kelompok, serta
klasikal sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan, kondisi,
serta peluang- peluang yang dimiliki. Pelayanan bimbingan dan konseling di
sekolah juga dapat membantu peserta didik dalam mengatasi kelemahan dan
hambatan serta masalah yang dihadapi peserta didik (Hikmawati, 2014).

2.4.2 Tujuan Layanan Bimbingan Kelompok

Secara umum tujuan dari layanan bimbingan kelompok adalah untuk mencari
solusi ataupun mengembangkan langkah-langkah strategis dalam menangani
permasalahan yang menjadi topik masalah yang dibahas dalam kelompok,
sehingga dapat meningkatkan suatu hubungan yang baik antar anggota kelompok,
meningkatkan kemampuan berkomunikasi antar individu, mampu
mengembangkan sikap dan tindakan nyata untuk dapat mencapai tujuan yang
diinginkan dalam kelompok, serta dapat meningkatkan pemahaman dalam
berbagai situasi dan kondisi lingkungan (Hallen, 2005).
37

Menurut (Prayitno, 2008) bahwa tujuan dari bimbingan kelompok dibagi menjadi
tujuan umum dan tujuan khusus, diantaranya:

1. Tujuan umum

Secara umum tujuan dari bimbingan kelompok adalah untuk membantu siswa
mencari solusi dari masalah yang dialami melalui prosedur kelompok. Selain
itu juga dapat mengembangkan pribadi masing- masing anggota kelompok
melalui berbagai suasana yang muncul dalam kegiatan kelompok tersebut,
baik suasana menyenangkan ataupun yang menyedihkan.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus bimbingan kelompok bertujuan untuk:

a. Membantu siswa dalam mengenali diri sendiri dalam hubungannya dengan


orang lain.

b. Melatih siswa agar berani berpendapat dihadapan teman- temannya.

c. Melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan sosial.

d. Melatih siswa agar dapat membina keakraban bersama teman- teman


dalam kelompok khsusunya dan teman diluar kelompok pada umumnya.

e. Melatih siswa agar memiliki sikap tenggang rasa terhadap orang lain.

f. Meningkatkan sikap terbuka di dalam kelompok.

g. Melatih siswa untuk dapat mengendalikan diri dalam kegiatan kelompok.

Pendapat lain mengenai tujuan bimbingan kelompok dikemukakan oleh Winkel


dan Hastuti (2006), dimana tujuan dari bimbingan kelompok agar individu yang
tergabung dalam kelompok tersebut mampu mengatur kehidupannya sendiri,
mamiliki pandangan sendiri dan tidak hanya sekedar mengikuti pendapat dan
pandangan orang lain, sehingga individu tersebut mampu mengambil sikap
sendiri, berani menanggung sendiri efek serta akibat dari tindakan yang dilakukan.
38

Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Sukardi dan Kusmawati (2008)


bahwa tujuan dari bimbingan kelompok adalah untuk mendukung pemahaman dan
kehidupan siswa sehari- hari, untuk perkembangan diri baik sebagai individu
maupun sebagai pelajar, serta dapat meningkatkan kemampuan dalam
pengambilan keputusan atau tindakan tertentu.

2.4.3 Bentuk-Bentuk Layanan Bimbingan Kelompok

Beberapa bentuk bimbingan kelompok menurut Ahmadi dan widodo (2004)


adalah sebagai berikut:

1. Pelajaran Bimbingan (Group Guidance Class)

Dengan pelajaran bimbingan diharapkan siswa bukan hanya sekedar


mendapatkan pengetahuan, melainkan juga adanya perubahan sikap dengan
cara bergaul. Metode ini dapat diterapkan di kelas atau suatu kelompok yang
sudah dibentuk untuk keperluan pengajaran, sehingga tidak ada
pengelompokan kembali, tetapi dipertahankan satuan- satuan kelas yang sudah
ada. Metode pelajaran bimbingan tidak hanya bersifat memberikan nasihat,
wejangan atau ceramah, melainkan melibatkan siswa dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya.

2. Karyawisata

Dengan karyawisata, siswa mendapat kesempatan untuk memperoleh


penyesuaian dalam meninjau objek- objek yang menarik dan mendapat
informasi yang lebih baik dari objek tersebut.

3. Diskusi kelompok

Siswa yang tergabung dalam kelompok- kelompok kecil yang terdiri dari
empat sampai dengan enam siswa dan mendiskusikan berbagai permasalahan
yang dialami. Maslaah-maslaah yang mungkin dapat didiskusikan dalam
kelompok seperti maslah pergaulan, kesusahan dalam belajar, masalah
pengisian waktu luang, masalah hubungan dengan persahabatan, masalah
39

menyelesaikan pekerjaan rumah, masalah sekolah, dan lain sebagainya.


Masalah yang didiskusikan dalam kelompok ditentukan oleh ahli.

4. Homeroom

Homeroom merupakan kegiatan yang dilakukan dalam pertemuan kelompok


dalam usaha untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap
suatu hal, seperti suatu masalah, sosiodrama atau persiapan suatu acara.

2.5 Teknik Homeroom

2.5.1 Pengertian Homeroom

Menurut Romlah homeroom merupakan suatu teknik dalam penciptaan suasana


kekeluargaan yang digunakan dalam mengadakan petemuan dengan sekelompok
siswa di luar jam-jam pelajaran dengan suasana kekeluargaan, dipimpin oleh guru
atau konselor (Wiendi, 2015).

Teknik homeroom merupakan suatu teknik yang dilaksanakan oleh petugas


konselor untuk membantu siswa dalam memperoleh solusi dari masalah yang
dihadapi serta dapat membantu siswa dalam mengembangkan bakat yang dimiliki
dengan menciptakan suasana yang menyenangkan melalui kegiatan kelompok
sehingga menimbulkan rasa nyaman dan keterbukaan siswa (Achmad, 2005).

Teknik homeroom merupakan sebuah teknik yang digunakan seorang konselor


untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah untuk
mengembangkan potensi siswa dengan menggunakan suasana yang
menyenangkan sehingga adanya rasa nyaman dan terbuka dari para siswa
(Achmad, 2005).

2.5.2 Tujuan Teknik Homeroom

Salah satu tujuan dari metode homeroom adalah untuk mengembangkan


kecerdasan interpersonal peserta didik. Adapun manfaat yang didapatkan dengan
menerapkan teknik homeroom bagi guru pembimbing ataupun konselor yaitu
dapat lebih memahami dan mengenal peserta didik serta dapat menciptakan suatu
40

hubungan saling percaya serta akrab antara guru ataupun konselor dengan peserta
didik. Sedangkan adapun manfaat yang didapatkan dari metode homeroom
tersebut bagi siswa adalah terciptanya suasana yang harmonis di lingkungan
kelompok ataupun kelas, sekolah, dan sosial, dapat menicptakan suasana akrab
antara sesama peserta didik, serta dapat menimbulkan rasa kerjasama dan
gotongroyong antara peserta didik (Salahudin A, 2010).

Adapun tujuan yang akan dicapai dengan menggunakan metode homeroom adalah
sebagai berikut (Wiendi, 2014):

a. Peserta didik dapat mengakrabkan diri dengan lingkungan.

b. Peserta didik dapat memahami diri sendiri atau dapat menerima


kekurangan dan kelebihan diri sendiri serta mampu mengerti dan
memahami orang lain dalam artian peserta didik lainnya secara lebih baik.

c. Dengan menggunakan metode homeroom, peserta didik dapat merasakan


nyaman dengan dirinya sendiri.

d. Metode homeroom dapat memberikan kesempatan peserta didik untuk


dapat berpartisipasi dalam kegiatan kelompok.

e. Peserta didik dapat berupaya untuk mengembangkan sikap positif yang


dimiliki.

f. Adanya hubungan yang baik dan sehat dengan peserta didik lain dalam
satu kelompok.

g. Mampu mengembangkan minat peserta didik.

Dengan menggunakan metode homeroom, peserta didik dapat menyadari


akan kepentingan sendiri.
41

2.5.3 Kelebihan Dan Kelemahan Teknik Homeroom

Kelebihan metode bimbingan homeroom adalah sebagai berikut (Ali M, 2011):

a. Kegiatan bimbingan secara berkesinambungan dapat direncanakan dengan


baik karena adanya seorang guru ataupun konselor yang memimpin proses
bimbingan tersebut, sehingga peserta didik dapat mengikuti kegiatan
bimbingan dengan metode homeroom secara berkelanjutan serta kemajuan
kegiatan bimbingan juga dapat direncanakan dengan lebih baik.

b. Dengan mengikuti kegiatan homeroom peserta didik dapat membina


kepercayaan dan peserta didik dapat saling mengakraBKan diri dalam
kelompok homeroom tersebut. Dengan adanya saling akrab antar kelompok
maka kegiatan bimbingan akan berlangsung dengan efektif.

c. Kegiatan bimbingan dengan metode homeroom dapat dilakukan sesuai dengan


tingkat perkembangan peserta didik jika kegiatan homeroom tersebut
diorganisasikan sesuai dengan tingkat kelas peserta didik.

Adapun kelemahan dari metode bimbingan homeroom adalah tidak akan berjalan
lancar jika bimbingan tersebut dilakukan tidak dalam bentuk kelompok, selain itu
kelemahan dari metode bimbingan dengan teknik homeroom adalah sulitnya
mengatur peserta didik hingga berada pada kondisi yang nyaman sehingga mampu
mengikuti proses bimbingan dengan efektif. Selain itu adanya persepsi yang
buruk dari para siswa mengenai peserta didik yang sering memasuki ruang
bimbingan di sekolah, ada anggapan bahwa peserta didik yang sering memasuki
ruang bimbingan di sekolah merupakan siswa yang bermasalah (Ali M, 2011).

2.5.4 Komponen Layanan Bimbingan Kelompok Teknik Homeroom

Menurut (Prayitno, 2008) komponen- komponen yang harus diperhatikan dalam


pelaksanaan kegiatan bimbingan kelompok adalah sebagai berikut :
42

a. Fasilitator (Pemimpin Kelompok)

Fasilitator atau pemimpin kelompok merupakan seorang konselor yang


berwenang dan telah terlatih dalam menjalankan kegiatan konseling
profesional. Konselor memiliki keterampilan khusus dalam menyelenggarakan
bimbingan kelompok. Pemimpin kelompok memiliki kewajiban untuk
menciptakan suasana dinamika kelompok antara seluruh anggota seintensif
mungkin yang mengarah pada pencapaian tujuan- tujuan umum yang telah
ditetapkan dalam bimbingan kelompok.

Karakteristik pemimpin kelompok dalam menjalankan tugas dan


kewajibannya secara profesional hendaknya memiliki karakteristik sebagai
seorang yang mampu menciptakan serta mengarahkan kelompok sehingga
terciptanya dinamika kelompok, berwawasan luas dan tajam, serta memiliki
kemampuan hubungan antar personal yang hangat dan nyaman. Adapun
peranan Pemimpin kelompok dalam mengarahkan suasana kelompok yaitu
sebagai berikut (Prayitno, 2008) :

1. Pembentukan kelompok dari siswa yang terdiri dari 8 sampai 10 orang,


sehingga terpenuhi syarat- syarat kelompok yang mampu secara aktif
mengembangkan dinamika kelompok. Adapun syarat yang dimaksud yaitu
memiliki minat dan tujuan yang sama dalam melakukan kegiatan
bimbingan kelompok, serta dapat menjaga hubungan antar personal dalam
kegiatan bimbingan kelompok.

2. Penstrukturan, yaitu membahas bersama dengan anggota kelompok


mengenai pengertian, tujuan, dan prosedur yang akan dilakukan dalam
layanan bimbingan kelompok.

3. Melakukan prosedur bimbingan kelompok sesuai dengan tahapan.

4. Melakukan penilaian segera dari hasil layanan bimbingan kelompok.

5. Tindak lanjut yang dilakukan setelah adanya hasil dari kegiatan bimbingan
kelompok.
43

Secara umum hal yang harus dimiliki oleh pemimpin kelompok yaitu
kemampuan dalam mengelola kelompok agar terciptanya dinamika kelompok.
Apabila dinamika kelompok berjalan dengan baik maka akan tercapainya
tujuan umum maupun tujuan khusus yang telah ditetapkan dalam bimbingan
kelompok.

b. Anggota kelompok

Tidak semua kumpulan individu dapat dijadikan sebagai anggota bimbingan


kelompok. Untuk dapat terselenggaranya kegiatan bimbingan kelompok, maka
seorang konselor harus membentuk kumpulan individu sebagai sebuah
kelompok sesuai dengan persyaratan yang ada. Sebaiknya jumlah anggota
kelompok tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Idealnya jumlah anggota
kelompok terdiri dari 8 sampai 10 orang (Prayitno, 2008).

Adapun peran anggota kelompok dalam kegiatan bimbingan kelompok yaitu


dapat beraktivitas secara langsung serta mandiri dalam bentuk (Prayitno,
2008):

1. Mendengar dan memahami topik dalam bimbingan kelompok.

2. Mampu berpikir dan memberikan pendapat.

3. Menganalisis dan berargumentasi.

4. Memiliki rasa empati.

5. Berpartisipasi dalam kegiatan bersama anggota kelompok lainnya.

c. Teknik Komunikasi Pada Remaja

Pola komunikasi remaja sangatlah unik dank has. Dimana remaja cenderung
menggunakan ungkapan dan terminology yang seringkali menurut pandangan
orang- orang dewasa tanpa aturan dan menyimpang dari kaidah berbahasa
sehingga sulit dipahami oleh orang lain diluar komunitas mereka. Pola
komunikasi yang berbeda antara remaja dengan orang sekitarnya dapat
44

menyebabkan komunikasi mengalami distorsi, padahal komunikasi adalah inti


dari relasi interaksi (Surbakti, 2008). Adapun cara komunikasi yang efektif
pada remaja yaitu meliputi (Sofia Retnowati, 2013):

1. Mendengar aktif, merupakan suatu teknik komunikasi untuk menguraikan


perasaan remaja dengan tepat, sehingga dapat mengerti perasaan remaja
melalui bahasa verbal maupun non verbal. Keuntungan dari mendengar
aktif antara lain mampu mendorong adanya katarasis, mendorong remaja
agar tidak takut terhadap perasaannya baik positif maupun negatif,
mengembangkan hubungan yang sangat dekat dengan remaja,
memudahkan remaja dalam memecahkan masalah, meningkatkan
kemampuan remaja untuk dapat mendengarkan pendapat orang lain, serta
dapat meningkatkan tanggung jawab remaja.

2. Komunikasi dengan empatik. Prinsip komunikasi empatik adalah berusaha


untuk mengerti lebih dahulu sebelum dimengerti. Dalam mendengarkan
empatik, sebagai lawan bicara remaja berusaha untuk masuk ke dalam
kerangka pikiran serta perasaan remaja. Mendengar empatik adalah
mendengar untuk dapat mengerti baik secara emosional dan intelektual,
bukan dengan maksud untuk menjawab, mengendalikan atau
memanipulasi perasaan remaja.

3. Memfasilitasi, merupakan bagian cara berkomunikasi melalui ekspresi


atau respon remaja terhadap pesan. Dalam memfasilitasi harus mampu
mengekspresikan perasaan dan tidak boleh dominan, tetapi remaja harus
diberikan respon terhadap pesan yang disampaikan melalui mendengarkan
dengan penuh perhatian serta tidak memberikan ungkapan negative yang
menunjukkan kesan yang buruk pada remaja.

4. Pilihan pro dan kontra. Penggunaan teknik komunikasi ini sangatlah


penting dalam menentukan atau mengetahui perasaan dan pikiran remaja
dengan memberikan suatu situasi yang mengharuskan remaja
menunjukkan pilihan positif dan negatif yang sesuai dengan pendapat
remaja.
45

2.5.5 Prosedur Bimbingan Kelompok Teknik Homeroom

Pada pelaksanaan bimbingan kelompok yang dikemukakan oleh Prayitno (2008)


dan beberapa pakar bimbingan kelompok terdiri atas empat tahap yang
sebelumnya diawali dengan tahap permulaan atau tahap awal untuk
mempersiapkan anggota kelompok. Tahap awal atau langkah awal dilakukan
hingga terkumpulnya para calon anggota kelompok. Empat tahap berikutnya
meliputi tahap pembentukan dinamika kelompok, tahap peralihan, tahap kegiatan,
dan tahap pengakhiran. Tahap tersebut merupakan kesatuan dari seluruh kegiatan
kelompok. Tahap- tahap tersebut akan dibahas secara terperinci yaitu sebagai
berikut:

A. Tahap Awal

Tahap awal dilakukan dengan tujuan pembentukan kelompok hingga


mengumpulkan para peserta yang siap melaksanakan kegiatan kelompok.
Langkah awal ini dimulai dengan penjelasan terkait adanya layanan bimbingan
kelompok bagi para siswa, pengertian, serta tujuan dan kegunaan bimbingan
kelompok. Sekumpulan orang akan menjadi kelompok jika mereka memiliki
tujuan bersama. Adapun kriteria yang tergabung dalam kegiatan bimbingan
kelompok adalah individu yang benar- benar berusaha secara aktif ikut serta
dalam seluruh kegiatan kelompok, mampu berkomunikasi secara terbuka, mampu
memberikan kesempatan kepada anggota lainnya untuk berpendapat dan
menjalankan perannya (Prayitno, 2008).

Pada tahap awal dilakukan kegiatan sosialisasi ke masing- masing kelas terkait
adanya kegiatan Bimbingan kelompok dengan teknik homeroom. Kegiatan
sosialisasi tersebut dipimpin oleh mahasiswa sebagai peneliti menyampaikan
maksud dan tujuan dari adanya kegiatan bimbingan kelompok tersebut. Seluruh
siswa diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti kegiatan bimbingan
kelompok.
46

B. Tahap Kegiatan

1. Tahap pembentukan dinamika kelompok

Tahap awal dari kegiatan bimbingan kelompok merupakan tahap


pembentukan dinamika kelompok sebagai pondasi untuk menyelenggarakan
tahap kegiatan selanjutnya dalam bimbingan kelompok. Jika tahap
pembentukan dinamika kelompok berjalan dengan baik, maka akan membantu
mewujudkan keberhasilan kelompok dalam menjalankan tahap- tahap
selanjutnya. Adapun tujuan dilakukannya tahap pembentukan dinamika
kelompok menurut (Prayitno, 2008) adalah sebagai berikut:

a. Anggota memahami pengertian serta kegiatan yang akan dilakukan dalam


kelompok.

b. Tumbuhnya suasana antar individu dalam kelompok.

c. Meningkatkan kemauan anggota dalam menjalankan ataupun mengikuti


kegiatan kelompok.

d. Dapat saling mengenal, percaya, menerima, dan saling membantu diantara


para anggota.

e. Meningkatkan suasana yang bebas dan terbuka.

f. Adanya pembahasan tingkah laku dan perasaan dalam kelompok.

Kegiatan yang dilakukan pada tahap pembentukan adalah (Prayitno, 2008):

a. Menjelaskan pengertian dan tujuan kegiatan bimbingan kelompok.

b. Menjelaskan cara- cara dan asas- asas kegiatan bimbingan kelompok.

c. Saling memperkenalkan dan mengungkapkan diri.

d. Adanya permainan penghangatan dan pengakraban.


47

Jenis permainan yang diberikan yaitu rangkaian nama. Dalam meningkatkan


dinamika kelompok serta mengembangkan suasana kehangatan kelompok
diperlukan adanya suatu jenis permainan yang bersifat ringan. Pelaksanaannya
secara sederhana dengan syarat dilakukan oleh seluruh anggota kelompok,
bersifat gembira dan lucu, tidak memerlukan tenaga yang banyak dan
melelahkan, bersifat sederhana, serta waktu yang dibutuhkan singkat (Esti,
2005).

Cara permainan rangkaian nama adalah dengan menggunakan bola dan lagu
sebagai perantara salah satu anggota kelompok yang menjadi urutan pertama
dalam menyebutkan nama panggilan serta kegemaran, kemudian setelah orang
pertama menyebutkan nama dan kegemaran dilanjutkan dengan memutar bola
disertai lagu ke anggota kelompok lainnya hingga lagu berhenti dan bola
berada di orang kedua dalam anggota kelompok. Dimana orang kedua tersebut
menyebutkan nama dan kegemaran orang sebelumnya kemudian dilanjutkan
dengan menyebutkan nama dan kegemarannya sendiri. Begitu selanjutnya
hingga seluruh anggota kelompok menyebutkan nama dan kegemaran masing-
masing (Esti, 2005).

Dalam tahap pembentukan diutamakan adanya perasaan dan sikap- sikap


positif antar anggota kelompok seperti adanya saling keterbukaan,
kesukarelaan, saling percaya, dan dapat menerima satu sama lain, perasaan
senang, nyaman, partisipasi yang aktif dari anggota kelompok, dan
sebagainya. Tujuan dari terbinanya perasaan dan sikap positif agar membina
suasana dan dinamika kelompok yang aktif, hidup, serta produktif agar tahap
demi tahap dalam kegiatan bimbingan kelompok dapat dilalui dengan baik
(Prayitno, 2008).

Tahap kegiatan pembentukan dinamika kelompok ini dilakukan pada


pertemuan pertama yang dipimpin oleh mahasiswa sebagai peneliti dan
didampingi oleh guru BK sebagai fasilitator dalam kegiatan bimbingan
kelompok. Dimana kegiatan dimulai dengan memperkenalkan diri antara
mahasiswa dan anggota kelompok, mahasiswa memberikan informasi terkait
pengertian dan tujuan kegiatan bimbingan kelompok, menjelaskan terkait
48

prosedur yang akan dilakukan siswa dalam kegiatan bimbingan kelompok,


serta melakukan kegiatan permainan terkait proses penghangatan dan
pengakraban.

2. Tahap Peralihan

Setelah adanya suasana kelompok serta adanya dinamika kelompok, tahap


kedua yaitu mengalihkan kegiatan awal kelompok ke kegiatan berikutnya
yang lebih berfokus pada tahap pencapaian tujuan kelompok. Pemimpin
kelompok menjelaskan peranan para anggota kelompok dalam kegiatan serta
mampu menerima suasana yang ada dengan sabar dan terbuka. Menurut
(Prayitno, 2008) kegiatan- kegiatan yang harus dilakukan pada tahap ini
adalah sebagai berikut:

a. Menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan pada tahap berikutnya.

b. Mengamati kesiapan anggota kelompok dalam melanjutkan kegiatan pada


tahap selanjutnya (tahap ketiga).

c. Membahas suasana yang terjadi.

d. Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota.

e. Apabila diperlukan, dapat kembali ke beberapa aspek yang dilakukan di


tahap pertama (tahap pembentukan).

Tahap kegiatan peralihan ini dilakukan pada pertemuan pertama yang


dipimpin oleh mahasiswa sebagai peneliti dan didampingi oleh guru BK
sebagai fasilitator dalam kegiatan bimbingan kelompok. Pada tahap ini
mahasiswa menjelaskan kembali mengenai prosedur yang akan dilakukan
selanjutnya, serta memastikan kesiapan anggota kelompok dalam melanjutkan
kegiatan pada tahap selanjutnya.
49

3. Tahap kegiatan

Pemimpin kelompok mengutarakan topik serta membahasnya secara


mendalam sesuai dengan tujuan awal kegiatan. Dalam hal ini konselor sebagai
pemimpin kelompok juga harus mengatur jalannya proses kegiatan, dimana
pemimpin kelompok tetap menjaga suasana dan situasi kelompok agar tetap
nyaman sesuai keinginan anggota kelompok. Suasana bimbingan dibuat
senyaman mungkin senyaman suasana di rumah dengan penuh kehangatan dan
kekeluargaan. Tahap kegiatan ini merupakan kegiatan inti kegiatan bimbingan
kelompok. Dimana masing- masing anggota kelompok saling berinteraksi
memberikan tanggapan yang menunjukkan hidupnya suasana kegiatan
bimbingan kelompok yang pada akhirnya membawa kea rah bimbingan
kelompok sesuai tujuan yang diharapkan. Saling tukar pengalaman,
pengutaraan, penyajian, dan keterbukaan diri berlangsung dengan bebas.
Anggota kelompok bertukar pendapat dengan baik, serta saling membantu dan
menerima, saling berusaha menguatkan rasa kebersamaan sehingga interaksi
sosial diantara anggota kelompok terbentuk secara optimal. Adapun
pelaksanaan tahap kegiatan ini sebagai berikut (Prayitno, 2008):

a. Masing- masing anggota kelompok dalam bimbingan kelompok secara


bebas dan sukarela berbicara, bertanya, mengeluarkan pendapat, ide, sikap,
saran, serta perasaan yang dirasakan pada saat itu.

b. Mendengarkan dengan baik bila salah satu anggota kelompok


menyampaikan tanggapan, karena dengan memperhatikan maka akan
mudah untuk saling menanggapi pendapat lain, sehingga akan
menumbuhkan dinamika kelompok di dalam kegiatan bimbingan
kelompok tersebut.

c. Mengikuti aturan yang ditetapkan oleh kelompok dalam bimbingan


kelompok, sehingga diharapkan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dapat
berjalan sesuai yang diharapkan oleh kedua belah pihak.
50

Tahap kegiatan merupakan inti dari prosedur bimbingan kelompok teknik


homeroom yang dilakukan pada pertemuan kedua dan ketiga. Tahap kegiatan
ini dipimpin oleh guru BK sebagai fasilitator dalam diskusi. Dimana pada
pertemuan kedua dilakukan diskusi dengan materi mengenai tahap
perkembangan remaja, pengertian, serta penyebab perilaku seksual pranikah
pada remaja. Pada pertemuan ketiga dilakukan diskusi dengan materi dampak
serta pencegahan perilaku seksual pranikah pada remaja.

4. Tahap pengakhiran

Tahap pengakhiran secara keseluruhan merupakan kegiatan akhir dari


serangkaian pertemuan kelompok. Keseluruhan pengalaman yang diperoleh
anggota kelompok selama proses kegiatan memerlukan perhatian khusus dari
pemimpin kelompok, terutama ketika kelompok hendak dibubarkan.
Pembubaran kelompok secara keseluruhan idealnya dilakukan setelah tujuan
kelompok tercapai. Dalam tahap pengakhiran ini terdapat kesepakatan
kelompok apakah kelompok akan melanjutkan kegiatan dan bertemu kembali
serta berapa kali kelompok akan bertemu, dimana kelompok yang menetapkan
sendiri kapan akan melakukan kegiatan. Sebagai tahap penutup dari kegiatan
bimbingan kelompok adapun tugas pemimpin kelompok dalam tahap ini
adalah sebagai berikut (Prayitno, 2008):

a. Mengemukakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri.

b. Pemimpin kelompok dan anggota kelompok mengemukakan kesan dari


hasil- hasil kegiatan.

c. Membahas kegiatan lanjutan.

d. Mengemukakan kesan dan harapan.

e. Doa penutup.

Tahap kegiatan pengakhiran ini dilakukan pada pertemuan keempat yang


dipimpin oleh guru BK sebagai fasilitator dalam kegiatan bimbingan
kelompok. Dimana pada tahap keempat ini guru BK mendampingi siswa
51

dalam melakukan roleplay teknik asertif penolakan terhadap perilaku seksual


pranikah, serta mengemukakan kesan dan harapan dari hasil kegiatan.

2.6 Penerapan Bimbingan Kelompok Teknik Homeroom Tentang Seksual


Pranikah

Seksual pranikah saat ini merupakan suatu masalah yang dialami remaja di
Indonesia, hal tersebut diakibatkan karena remaja saat ini begitu mudah
mengiyakan ajakan lawan jenis untuk melakukan hubungan seks sebelum
menikah dengan alasan karena suka sama suka dan saling mencintai satu sama
lain. Remaja tidak pernah berfikir kerugian apa yang akan diterimanya jika
melakukan hubungan seksual di luar pernikahan (Ririn, 2010).

Solusi yang dapat dilakukan untuk pencegahan seksual pranikah antara lain
dengan melakukan penyuluhan oleh pihak sekolah terutama pihak guru
pembimbing yang lebih dapat memberikan pengetahuan sekaligus memberikan
konseling kepada siswa, baik berupa bimbingan individu ataupun bimbingan
kelompok terkait dampak yang ditimbulkan dari seksual pranikah (Gendys, 2013).

Hasil penelitian mengenai Penerapan Bimbingan Kelompok Teknik Homeroom


untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa tentang Bahaya Seks Bebas, berdasarkan
pembahasan dan hasil penelitian disebutkan bahwa adanya peningkatan skor
pemahaman bahaya seks bebas dari hasil post test yang diuji sebelumnya dengan
menggunakan metode pre test dan post test setelah dilakukan intervensi
bimbingan kelompok dengan menggunakan teknik homeroom. Sehingga dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan bimbingan kelompok dengan
menggunakan teknik homeroom dapat meningkatkan pemahaman bahaya seks
bebas (Gendys & Sutijono, 2013).

Anda mungkin juga menyukai