Prodi: D3 Kebidanan
Menurut WHO and The American Collage of Obstetricians and
Gynecologist yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam
rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam
rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian janin merupakan
hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi
(Winknjosastro H, 2009).
• Tidak terlihat gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama pada ibu yang
kurus.
• Penurunan atau terhentinya peningkatan bobot berat badan ibu.
• Terhentinya perubahan payudara.
• Tinggi fundus uteri lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan ; tidak teraba gerakan-
gerakan janin
• Dengan palpasi yang teliti dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang kepala janin.
• Baik memakai stetoskop monoral maupun doptone tidak akan terdengan denyut jantung
janin.
• Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin mati dalam kandungan.
1. Adanya akumulasi gas dalam jantung dan pembuluh darah besar janin (Robert
sign).
2. Tanda nojoks : adanya angulasi yang tajam tulang belakang janin.
3. Tanda spalding : overlapping tulang-tulang kepala (sutura) janin.
4. Disintegrasi tulang janin bila ibu berdiri tegak.
5. Kepala janin kelihatan seperti kantong berisi benda padat.
6. Kepala janin terkulai.
• Grade 0 (durasi < 8 jam) : kulit kemerahan ‘setengah matang’.
• Grade I (durasi > 8 jam) : kulit terdapat bullae dan mulai
mengelupas.
• Grade II (durasi 2-7 hari) : kulit mengelupas luas, efusi cairan
serosa di Rongga toraks dan abdomen.
• Grade III (durasi >8 hari) : hepar kuning kecoklatan, efusi cairan
keruh, Mungkin terjadi mumifikasi.
• Gangguan psikologis ibu dan keluarga.
• Infeksi, apabila ketuban masih intak kemungkinan untuk terjadinya
infeksi sangat kecil, namun bila ketuban sudah pecah infeksi dapat terjadi
terutama oleh mikroorganisme pembentuk gas seperti Clostridium welchii.
• Kelainan pembekuan darah, bila janin mati dipertahankan melebihi 4
minggu, dapat terjadi defibrinasi akibat silent Disseminated Intravascular
Coagulopathy (DIC). Kelainan ini terjadi akibat penyerapan bertahap
dari tromboplastin yang dilepaskan dari plasenta dan desidua yang mati
ke dalam sirkulasi maternal.
• Selama persalinan dapat terjadi inersia uteri, retensio plasenta dan
perdarahan post partum.
• Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun
dengan kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit
bila kematian jannin terjadi pada salah satu dari bayi kembar
(Winknjosastro H, 2009).
• Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan
tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan
dan gula darah. Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang
kemungkinan penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan
mental emosional pada penderita dankeluarga, yakinkan bahwa
kemungkinan lahir pervaginam (Winknjosastro H, 2009).
Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau
mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun,
tidakbergerak, atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio plasenta. Pada
gemeli dengan twin to twin transfusion pencegahan dilakukan dengan
koagulasi pembuluh anatomosis (Winknjosastro H, 2009).
Pemantauan kesejahteraan janin dapat dilakukan dengan
anamnesis, ditanyakan aktivitas gerakan janin pada ibu hamil,
bilamencurigakan dapat dilakukan pemeriksaan kardiotokografi.
• Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu, umumnya tanpa
komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi persalinan dengan oksitosin
maupun misoprostol. Tindakan perabdominam bila janin letak lintang. Induksi persalinan
dapat dikombinasi oksitosin + misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus pascaseksio
sesarea ataupun miomektomi, bahayanya terjadi ruptura uteri.
• Pada kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara vaginal (50-100 μg
tiap 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan di atas 28 minggu dosis misoprostol 25 μg
pervaginam/6jam.
• Setelah bayi lahir dilakukan ritual keagamaan merawat mayat bayi bersama keluarga.
Idealnya pemeriksaan otopsi atau patologi plasenta akan membantu mengungkap penyebab
kematian janin.
• Metode terminasi lainnya berupa embriotomi. Embriotomi adalah suatu persalinan buatan
dengan cara merusak atau memotong bagian-bagian tubuh janin agar dapat lahir
pervaginam, tanpa melukai ibu. Embriotomi diindikasikan kepada janin mati dimana ibu
dalam keadaaan bahaya ataupun janin mati yang tak mungkin lahir pervaginam
(Winknjosastro H, 2007).
• Kematian janin dalam kandungan ( Intra Uterine Fetal Death ) berkaitan erat
dengan angka kematian perinatal karena angka kematian perinatal ini merupakan
parameter dini keadaan pelayanan kesehatan dan mencerminkan kemajuan sosial
ekonomi suatu negara.
• Diagnosis kematian janin dalam kandungan dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
• Penyebab kematian janin bersifat multifaktorial baik dari faktor fetal, maternal,
plasenta maupun dengan 25 % – 35 % kasuss tidak diketahui penyebabnya.
• Pemeriksaan Ante Natal Care yang teratur dan efektif juga pengetahuan ibu
tentang kesejahteraan janinnya dapat digunakan untuk mendeteksi dini penurunan
kesejahteraan janin yang berakibat pada IUFD dan komplikasi yang dapat terjadi
pada ibu dapat dihindari.
• Usaha mengakhiri kehamilan pada IUFD dilakukan untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut pada ibu.
• IUFD sangat mempengaruhi pasien secara emosional, sehingga dibutuhkan
dukungan moril dari keluarga maupun dokter yang menanganinya.