Perkembangan Hukum Lingkungan
Perkembangan Hukum Lingkungan
Pengakuan antar hubungan yang tidak dapat memisahkan manusia dan alam,
perlindungan lingkungan adalah isu utama (major issue) bagi manusia dan
pemerintah;
Kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang banyak disebabkan oleh
kemiskinan;
Bertambahnya jumlah penduduk menjadi masalah besar dalam perlindungan
lingkungan;
Sudah saatnya umat menusia bersungguh-sungguh untuk memperbaiki
lingkungan;dan
Umat manusia-pemerintah-dunia harus berani mengambil tanggung jawab untuk
kemaslahatan bersama.
Selanjutnya isu-isu di atas dijabarkan dalam 26 principles (asas) yang harus diikuti oleh
negara-negara dalam bertindak dalam keseharian mereka jika menginginkan alam dan
lingkungan tetap terpelihara. Dari sejumlah prinsip yang terdapat dalam Stockholm
Declaration ada beberapa asas yang kemudian diadopsi menjadi asas hukum dalam
pengelolaan lingkungan global dan domestic. Prinsip/ asas-asas tersebut adalah:
Perlu diingat bahwa walaupun Stockhom Declaration adalah soft law karena hanya
memuat norma-norma umum dan asas penting sehingga harus diterjemahkan dalam
aturan yang lebih rinci untuk dapat menjalankannya dengan baik, pengaruh positif
sangat luar biasa setelah lahirnya Stockholm Declaration, negara-negara seakan-akan
berlomba untuk memperbaiki kebijakan nasional lingkungan mereka agar sesuai
dengan cita-cita dan rekomendasi yang terdapat dalam Action Plan yang dihasilkan di
Stockholm.
Action Plan ini disepakati ketika UN Conference on Human and Environment. Jadi
tidak hanya melahirkan Stockholm Declaration tetapi juga Action Plan. Action Plan
berisi 109 rekomendasi dan diterima secara konsensus oleh 114 negara yang hadir di
Stockholm. Rekomendasi tersebut memuat 6 agenda utama tentang:
Dari 27 prinsip/asas ada sejumlah prinsip yang sangat relevan dengan perkembangan
hukum lingkungan internasional dan nasional. Prinsipprinsip tersebut adalah:
10 tahun Rio Declaration, Majelis Umum PBB mengadakan lagi World Summit on
Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan. WSSD tidak
menghasilkan banyak prinsip baru sebagaimana dalam Rio Declaration, tapi berusaha
memperkuat dan memperteguh janji bangsa-bangsa untuk menjalankan sustainable
development, karena para peserta konferensi sepakat bahwa pencapaian sustainable
development di semua negara ‘gagal’ dilaksanakan.
Kesemua soft law instruments yang dihasilkan oleh keempat konferensi besar tersebut
menyumbangkan beberapa prinsip utama dalam pengelolaan lingkungan hidup dan
sampai hari ini banyak diadopsi dalam international hard law instruments dan hukum
nasional bangsa-bangsa. Pendeknya, walaupun soft law tidak dapat langsung dijadikan
norma yang siap untuk diimplementasikan, tapi sangat membantu dalam meningkatkan
kualitas legislasi lingkungan dalam tataran global dan nasional.
Kehadiran UUPLH 82 tersebut dinilai begitu penting karena lahir dalam situasi yang
dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, Indonesia saat itu sedang giatnya
melancarkan pembangunan nasionalnya di semua bidang kehidupan. Adapaun
kebijakan yang diambil untuk tujuan membangun, UUPLH 82 ini selalu berhadapan
dengan aspek ekologi lingkungan hidup. Kedua, bahwa UUPLH 82 adalah undang-
undang pokok yang merupakan dasar peraturan pelaksanaan bagi semua sektor yang
menyangkut lingkungan hidup. UUPLH 82 ini berfungsi sebagai ketentuan payung
(umbrella provision). Ketiga, bahwa corak ekologis Indonesia sangat spesifik, yakni
merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari dua pertiga wilayah laut yang terletak
antara benua Asia dan Australia serta samudera Hindia dan Pasifik.
Dari gambaran situasi tersebut, berkaitan dengan lahirnya UUPLH 82, secara objektif
dapat dipahami karena aktivitas pembangunan nasional yang meliputi berbagai macam
bidang kehidupan itu, cepat atau lambat berdampak pada kondisi lingkungan hidup.
Kemudian lahirnya UU No. 23 Tahun 1997 pengganti UUPPLH 82, dilihaat sudah
tidak sesuai lagi dengan dinamika permasalahan lingkungan hidup yang semakin parah
maupun perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. UU tersebut tidak lagi
mampu menangani dan mengatasi segala permasalahan lingkungan hidup: antara lain
karena kewenangan Kementrian Lingkungan Hidup sangat terbatas dan berbagai
ketentuan yang tidak tegas dan rinci sehingga terjadi manipulasi dalam implementasi
misalnya (Amdal).
UU No. 23 Tahun 1997 masih menganut filosofi antroposentris yang tidak sesuai lagi
dengan kesadaran baru tentang lingkungan hidup yang lebih biosentris dan
ekosentris.Lingkungan hidup merupakan salah satu isu global selain demokrasi dan
HAM, khususnya isu pemanasan global, yang memerlukan kebijakan dalam negeri
yang pro lingkungan hidup. Berbagai instrumen perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern belum diakomodasi dalam UU No. 23 Tahun 1997.
Dasar utama dari PPLH teletak pada “perencanaan”. Sasaran pokok PPLH adalah
daya tampung dan daya dukung Lingkungan Hidup sebagai tolok ukur keberhasilan
pembangunan berkelanjutan.
Dengan demikian, eksistensi serta fungsi pemerintah, baik pemerintah pusat mapun
pemerintah daerah dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup segala tindakan
hukumnya wajib memperhatikan prinsip-prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud.
Secara eksplisit asas dasar terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber
daya alam, termuat dalam UUPPLH, yang menyebutkan bahwa:
Ketentuan di atas mengandung 3 (tiga) asas dasar atau utama dalam konteks
pengelolaan lingkungan hidup, yaitu; (a) asas tanggungjawab negara; (b) asas
keberlanjutan; dan (c) asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).
Istilah “tanggung jawab negara” dalam berbagai literatur maupun peraturan perundang-
undangan dimaksudkan sebenarnya adalah untuk menyebut “tanggung jawab
pemerintah”, dan sebaliknya. Istilah “tanggung jawab” seringkali disinonimkan dan
karena itu sering dipertukarkan penggunaannya dengan istilah “kewajiban”.
Dalam literatur hukum berbahasa Inggris, istilah “tanggung jawab” bisa merujuk pada
istilah “responsibility” maupun “liability”. Dalam Black Law Dictionary, istilah
“responsibility” memiliki makna yang lebih luas, karena tidak hanya berupa kewajiban
(obligation) untuk “merespons” (menjawab; memenuhi) atas apa yang pernah
dilakukan terkait dengan keputusan, keahlian, dan kemampuan seseorang, tetapi juga
kewajiban untuk “memulihkan” (restitution; pembayaran ganti rugi) terhadap kerugian
yang disebabkan oleh tindakan yang pernah dilakukan. Ini berarti bahwa istilah
“responsibilty” mencakup tidak hanya kewajiban untuk memenuhi atau memikul
“tanggung jawab hukum” tetapi juga “tanggung jawab moral” terkait dengan tindakan,
keputusan, atau keahlian (profesi) tertentu yang pernah dilakukan.
Sedangkan, istilah “liability” berarti suatu keadaan untuk melaksanakan kewajiban
hukum tertentu. Dengan demikian, berarti istilah “tanggung jawab” baik dalam arti
“responsibility” maupun “liability” tidak bisa dilepaskan dari makna “kewajiban”
(obligation; duty). Atas dasar inilah maka bisa dimengerti apabila penggunaan istilah
“tanggung jawab” sering diartikan sama dan dipertukarkan penggunaannya dengan
istilah “kewajiban”.
Asas tanggungjawab negara dalam perjanjian ini bermakna dua yaitu tanggungjawab
negara dalam lingkup internasional dan tanggungjawab negara dalam lingkup nasional.
Tanggung jawab negara secara internasional yang berhubungan dengan hukum
lingkungan internasional, bila suatu negara melakukan pencemaran lingkungan yang
melintasi batas negara yang mengakibatkan kerugian lingkungan bagi negara lain.
Misalnya, asap dari kebarakan hutan, jatuhnya limbah di laut territorial negara lain,
aktivitas perusahaan tambang diperbatasan yang mengakibatkan rusaknya atau
tercemarnya ekosistem air, udara atau hutan di wilayah negara lain.
Terdapat dua teori tanggungjawab negara dalam hukum internasional yaitu 1) Teori
Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak
(absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective
responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggungjawab atas setiap kegiatan
yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan walaupun kegiatan itu sendiri
adalah kegiatan yang sah menurut hukum; dan 2) Teori Kesalahan (Fault Theory) yang
melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif atau tanggungjawab atas dasar kesalahan,
yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat
dibuktikan adanya unsur kesalahan perbuatan itu.
Sedangkan dalam kontek tanggungjawab negara dalam lingkup nasional atau dalam
perspektif ketatanegaraan bahwa kekuasaan negara adalah berkaitan dengan tanggung
jawab dan kewajiban. Sehingga dalam aspek pengelolaan lingkungan hidup dan sumber
daya alam, negara tidak hanya berperan menguasai dan mendapatkan manfaat yang
sebesar-besarnya, meskipun hal itu kemudian peruntukannya ditujukan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua, dalam hal timbulnya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akibat
keputusan (beschikking) pemerintah maka pemerintah memikul tanggung jawab untuk:
Konsep ini lahir dan berkembang setelah diawali dengan adanya Konferensi Tingkat
Tinggi yang diadakan oleh PBB yaitu Deklarasi Stockholm 1972. Kemudian sejak
tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma
pembangunan berkelanjutan.
Berlakunya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH). UU ini telah mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) guna memastikan prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah dan/atau pengambilan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP)
Pembangunan. Yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No. 46 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS. Dalam PP No. 46 Tahun 2016 tersebut
sudah mengakomodir elemen-elemen dalam prinsip pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan hidup.
Menurut Chay Asdak, secara substansial, KLHS merupakan suatu upaya sistematis dan
logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan
melalui proses pengambilan keputusan yang lebih berwawasan lingkungan. KLHS
merupakan “alat” untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan lingkungan hidup
dan/atau prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam proses pengambilan keputusan.
Penyelenggaraan KLHS secara garis besar terdiri atas 3 tahap yaitu: Pertama, tahap
pembuatan dan pelaksanaan KLHS. Ada 3 kegiatan utama yang dilakukan pada tahap
ini, yaitu pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi lingkungan hidup yang dilakukan
oleh penyusun KLHS yang memenuhi standar kompetensi; perumusan alternatif
penyempurnaan KRP; dan penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambilan
keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada tahap
inilah dipertimbangkan faktor-faktor seperti kapasitas daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup, perkiraan dampak dan resiko lingkungan hidup, dan sebagainya.