Anda di halaman 1dari 12

HUKUM LINGKUNGAN

SYAMSUL MUJTAHIDIN, SH., MH.

PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN

1. PENGATURAN HUKUM LINGKUNGAN DI TINGKAT INTERNASIONAL

Kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup diawali dengan sejumlah


negosiasi di Majelis Umum PBB (UN General Assembly) yang diawali dengan
terbitnya ‘UN General Assembly Resolution 2398 tahun 1968. Selanjutnya meminta
Majelis Umum PBB untuk mengadakan konferensi tingkat tinggi tentang lingkungan
hidup. Kemudian diselenggarakan UN Conference on Human and Environment pada
tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm Swedia di bawah kepemimpinan Dr Maurice
Strong, yang dihadiri oleh 114 negara, dan menghasilkan Stockholm Declaration on
the Human Environment (1972 Stockholm Declaration).

Stockholm Declaration sebagai ‘kitab suci pertama’ perlindungan lingkungan hidup


manusia yang pertama yang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang dianggap
komprehensif karena memuat banyak hal baru dalam upaya perlindungan lingkungan
hidup. Ia berhasil merumuskan sejumlah principles (asas) yang sampai hari ini masih
relevan untuk dipertahankan dan dilaksanakan dalam upaya perlindungan lingkungan
hidup di dunia, baik pada skala global maupun skala domestik.

“Stockholm Declaration on Human and Environment” memproklamirkan 7 (tujuh) isu


utama yang berhubungan dengan manusia dan lingkungannya, di antaranya:

 Pengakuan antar hubungan yang tidak dapat memisahkan manusia dan alam,
perlindungan lingkungan adalah isu utama (major issue) bagi manusia dan
pemerintah;
 Kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang banyak disebabkan oleh
kemiskinan;
 Bertambahnya jumlah penduduk menjadi masalah besar dalam perlindungan
lingkungan;
 Sudah saatnya umat menusia bersungguh-sungguh untuk memperbaiki
lingkungan;dan
 Umat manusia-pemerintah-dunia harus berani mengambil tanggung jawab untuk
kemaslahatan bersama.

Selanjutnya isu-isu di atas dijabarkan dalam 26 principles (asas) yang harus diikuti oleh
negara-negara dalam bertindak dalam keseharian mereka jika menginginkan alam dan
lingkungan tetap terpelihara. Dari sejumlah prinsip yang terdapat dalam Stockholm
Declaration ada beberapa asas yang kemudian diadopsi menjadi asas hukum dalam
pengelolaan lingkungan global dan domestic. Prinsip/ asas-asas tersebut adalah:

1) Sustainable development (pembangunan berkelanjutan) yang diartikan sebagai


“pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan tidak
mengompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka”. (commonly understood as development that “meets the needs of the
present without compromising the ability of future generations to meet their
own needs”).
2) Man has fundamental rights to good environment (manusia memiliki hak
fundamental atas lingkungan yang baik).
3) Natural resources shall be safeguarded for future generation (kekayaan alam
harus dijaga untuk generasi mendatang).
4) Discharge of toxic substances or of other substances must be halted
(pembuangan bahan beracun berbahaya harus dihentikan).
5) States shall prevent pollution of the seas (negara-negara harus mencegah
pencemaran laut).
6) Planning must be applied to human settlements and urbanization (perencanaan
harus dilakukan buat penempatan penduduk dan urbanisasi).
7) The importance of science, technology and education on environmental matters.
(pentingnya ilmu, teknologi dan Pendidikan lingkungan).
8) The prevention of environmental harm. Prinsip ini sangat penting dari segi
hukum lingkungan internasional karena meminta negara-negara ‘bertanggung
jawab’ memastikan bahwa aktivitas dalam wilayah/yurisdiksi/ kontrol mereka
tidak menimbulkan kerusakan pada lingkungan negara lain atau wilayah di luar
kontrol mereka’. (State’s responsibility to ensure that activities within its
activity or control do not cause damage to the environment of other States or to
areas beyond national jurisdiction or control).
9) liability and compensation for the victims of pollution and other environmental
damage (tanggung jawab dan ganti rugi bagi korban pencemaran/kerusakan
lingkungan).

Prinsip-prinsip di atas tidak saja memberikan landasan baru bagi pengelolaan


lingkungan pada tingkat global, tapi masing-masing negara juga banyak mengadopsi
prinsip-prinsip yang tertuang dalam Stockholm Declaration dalam kebijakan dan
regulasi pengelolaan lingkungan mereka.

Perlu diingat bahwa walaupun Stockhom Declaration adalah soft law karena hanya
memuat norma-norma umum dan asas penting sehingga harus diterjemahkan dalam
aturan yang lebih rinci untuk dapat menjalankannya dengan baik, pengaruh positif
sangat luar biasa setelah lahirnya Stockholm Declaration, negara-negara seakan-akan
berlomba untuk memperbaiki kebijakan nasional lingkungan mereka agar sesuai
dengan cita-cita dan rekomendasi yang terdapat dalam Action Plan yang dihasilkan di
Stockholm.

Action Plan ini disepakati ketika UN Conference on Human and Environment. Jadi
tidak hanya melahirkan Stockholm Declaration tetapi juga Action Plan. Action Plan
berisi 109 rekomendasi dan diterima secara konsensus oleh 114 negara yang hadir di
Stockholm. Rekomendasi tersebut memuat 6 agenda utama tentang:

1) perencanaan dan manajemen pemukiman manusia untuk kualitas lingkungan


(planning and management of human settlement for environmental quality);
2) Aspek lingkungan dari manajemen sumber daya alam (environmental aspect of
natural resource management);
3) Identifikasi dan penanggulangan pencemar dan gangguan yang memiliki
dampak luas secara internasional (identification and control of pollutants and
nuisances of broad international significance);
4) Pendidikan, informasi, sosial dan aspek budaya isu-isu lingkungan
(educational, informational, social and cultural aspects of environmental
issues);
5) Pembangunan dan lingkungan (development and environment); and
6) Implikasi organisasi internasional pada proposal aksi/tindak lanjut
(international organizational implications of action proposal).
20 Tahun setelah Stockholm Declaration, Majelis Umum PBB sekali lagi menggelar
konferensi besar yang diberi judul: United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED) pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, dan
menghasilkan suatu deklarasi penting yang disebut Rio Declaration on Environment
and Development. Konferensi ini dihadiri oleh 172 negara dan 116 negara
mengirimkan kepala negara/pemerintahan mereka. Rio Declaration menghasilkan 27
prinsip/ asas, namun ada sejumlah prinsip/asas dalam Rio Declaration yang merupakan
ulangan atau penegasan dari Stockholm Declaration.

Rio Declaration on Environment and Development yang menurut para pengamat


dianggap sebagai langkah penting dalam melindungi lingkungan hidup.

Dari 27 prinsip/asas ada sejumlah prinsip yang sangat relevan dengan perkembangan
hukum lingkungan internasional dan nasional. Prinsipprinsip tersebut adalah:

1) Manusia berhak atas lingkungan hidup yang baik (prinsip 1);


2) Negara diperbolehkan mengeksploitasi SDA tapi tidak boleh merk negara lain
(Prinsip 2 dan sama dengan Prinsip 21 Stockholm Declaration);
3) Hak atas pembangunan negerasi sekarang dan generasi mendatang (Prinsip 3);
4) Prioritas diberikan pada negara miskin/berkembang dan pembedaan tanggung
jawab atas negara maju dan negara berkembang/negara miskin (Prinsip 6 dan
7);
5) Pentingnya public participation dalam keputn dan kebijakan lingkungan
(Prinsip 10)
6) Perintah agar setiap negara membuat UU lingkungan nasional dan standar
lingkungan yang efektif. Negara juga diminta membat undang-undang tentang
tanggung jawab dan ganti rugi lingkungan di luar wilayah mereka. (Prinsip 11
dan 13);
7) Larangan penyebarluasan/transfer ke negara lain kegiatan dan bahan-bahan
yang merugikan kesehatan (Prinsip 14)
8) Pentingnya penggunaan asas kehati-hatian (precautionary approach) jika belum
ada kepastian ilmiah atas suatu kegiatan tertentu. (Prinsip 15)
9) Penggunaan intrumen ekonomi seperti internalisasi biaya kegiatan ekonomi
(Prinsip 16);
10) Perintah akan pentingnya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
sebelum suatu kegiatan dilaksanakan (Prinsip 17);
11) Perintah tentang pentingnya memberitahu negara tetangga jika terjadi bencana
alam yang memiliki dampak lingkungan (Prinsip 18 dan 19);
12) Pengakuan akan peran perempuan dan masyarakat asli (indigenous people)
dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan (Prinsip 20 dan 22).

10 tahun Rio Declaration, Majelis Umum PBB mengadakan lagi World Summit on
Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan. WSSD tidak
menghasilkan banyak prinsip baru sebagaimana dalam Rio Declaration, tapi berusaha
memperkuat dan memperteguh janji bangsa-bangsa untuk menjalankan sustainable
development, karena para peserta konferensi sepakat bahwa pencapaian sustainable
development di semua negara ‘gagal’ dilaksanakan.

Peserta konferensi kemudian menghasilkan Plan of Implementation yang memuat: (i)


Pemberantasan Kemiskinan; (ii) Perubahan Pola Konsumsi dan Produksi; (iii)
Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketiga hal ini menjadi dasar dari 10
pokok rencana pelaksanaan (action plan) yang harus dikerjakan setiap negara.

Kesemua soft law instruments yang dihasilkan oleh keempat konferensi besar tersebut
menyumbangkan beberapa prinsip utama dalam pengelolaan lingkungan hidup dan
sampai hari ini banyak diadopsi dalam international hard law instruments dan hukum
nasional bangsa-bangsa. Pendeknya, walaupun soft law tidak dapat langsung dijadikan
norma yang siap untuk diimplementasikan, tapi sangat membantu dalam meningkatkan
kualitas legislasi lingkungan dalam tataran global dan nasional.

2. PENGATURAN HUKUM LINGKUNGAN DI TINGKAT NASIONAL

Seiring dengan semakin menguatnya kesadaran dan komitmen pemerintah Indonesia


terhadap berbagai macam persoalan di bidang lingkungan hidup khususnya setelah
dilaksanakannya berbagai Konferensi Internasional di bidang lingkungan, mulai dari
Konferensi Stockholm 1972, Konferensi Rio 1992, dan Konferensi Johannesburg 2002,
adalah dengan terbentuknya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH82). Lahirnya UUPLH82 ini
dipandang sebagai sebuah momentum penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
khususnya berkaitan dengan pengaturan hukum lingkungan secara modern di
Indonesia, hal ini dikarenakan eksistensi UUPLH82 selain sebagai payung hukum, erat
kaitannya juga dengan aktivitas pembangunan nasional yang secara nyata dapat
mengancam bahkan merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Kehadiran UUPLH 82 tersebut dinilai begitu penting karena lahir dalam situasi yang
dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, Indonesia saat itu sedang giatnya
melancarkan pembangunan nasionalnya di semua bidang kehidupan. Adapaun
kebijakan yang diambil untuk tujuan membangun, UUPLH 82 ini selalu berhadapan
dengan aspek ekologi lingkungan hidup. Kedua, bahwa UUPLH 82 adalah undang-
undang pokok yang merupakan dasar peraturan pelaksanaan bagi semua sektor yang
menyangkut lingkungan hidup. UUPLH 82 ini berfungsi sebagai ketentuan payung
(umbrella provision). Ketiga, bahwa corak ekologis Indonesia sangat spesifik, yakni
merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari dua pertiga wilayah laut yang terletak
antara benua Asia dan Australia serta samudera Hindia dan Pasifik.

Dari gambaran situasi tersebut, berkaitan dengan lahirnya UUPLH 82, secara objektif
dapat dipahami karena aktivitas pembangunan nasional yang meliputi berbagai macam
bidang kehidupan itu, cepat atau lambat berdampak pada kondisi lingkungan hidup.

Sehingga Secara historis, lahir dan berkembangnya prinsip-prinsip dasar


pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
prinsipprinsip yang tertuang dalam Deklarasi Stockholm, Deklarasi Rio dan
Deklarasi Johannesburg.

Kemudian lahirnya UU No. 23 Tahun 1997 pengganti UUPPLH 82, dilihaat sudah
tidak sesuai lagi dengan dinamika permasalahan lingkungan hidup yang semakin parah
maupun perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. UU tersebut tidak lagi
mampu menangani dan mengatasi segala permasalahan lingkungan hidup: antara lain
karena kewenangan Kementrian Lingkungan Hidup sangat terbatas dan berbagai
ketentuan yang tidak tegas dan rinci sehingga terjadi manipulasi dalam implementasi
misalnya (Amdal).

UU No. 23 Tahun 1997 masih menganut filosofi antroposentris yang tidak sesuai lagi
dengan kesadaran baru tentang lingkungan hidup yang lebih biosentris dan
ekosentris.Lingkungan hidup merupakan salah satu isu global selain demokrasi dan
HAM, khususnya isu pemanasan global, yang memerlukan kebijakan dalam negeri
yang pro lingkungan hidup. Berbagai instrumen perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern belum diakomodasi dalam UU No. 23 Tahun 1997.

Kemudian visi besar tentang implementasi pembangunan berkelanjutan dituangkan


kedalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, dengan sedikit tambahan cakupan
PPLH yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan
penegakan hukum sebagaimana Pasal 4. Tambahannya: sistem informasi dan peran
masyarakat.

Dasar utama dari PPLH teletak pada “perencanaan”. Sasaran pokok PPLH adalah
daya tampung dan daya dukung Lingkungan Hidup sebagai tolok ukur keberhasilan
pembangunan berkelanjutan.

Dengan demikian, eksistensi serta fungsi pemerintah, baik pemerintah pusat mapun
pemerintah daerah dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup segala tindakan
hukumnya wajib memperhatikan prinsip-prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud.

PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DAN PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN

Dalam konteks pengelolaan lingkungan, secara substansi didalamnya mengandung


prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan dengan membedakan antara asas dan tujuan,
dan demikian pula dengan sasaran. Ketiganya adalah merupakan prinsip tiga serangkai
tidak terpisahkan sama sekali satu sama lainnya dalam sistem hukum pengelolaan
lingkungan.

Secara eksplisit asas dasar terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber
daya alam, termuat dalam UUPPLH, yang menyebutkan bahwa:

“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung


jawab negara, asas kelestarian dan keberlanjutan, asas keserasian dan
keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion,
keanekaragaman hayati, pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal, tata
kelola pemerintahan yang baik, dan otonomi daerah. bertujuan mewujudkan
pembangunan berkelanjutan dan mencapai keserasian, keselarasan dan
keseimbangan lingkungan hidup”.

Ketentuan di atas mengandung 3 (tiga) asas dasar atau utama dalam konteks
pengelolaan lingkungan hidup, yaitu; (a) asas tanggungjawab negara; (b) asas
keberlanjutan; dan (c) asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).

Prinsip Tanggung Jawab Negara

Tanggungjawab negara (state responsibility) dimaknai sebagai upaya perlindungan dan


pemulihan hak-hak negara lain yang dirugikan, akibat tindakan negara yang merugikan
negara lain. Suatu negara bertanggungjawab bilamana suatu perbuatan atau kelalaian
yang melahirkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional baik yang lahir dari
suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya.

Istilah “tanggung jawab negara” dalam berbagai literatur maupun peraturan perundang-
undangan dimaksudkan sebenarnya adalah untuk menyebut “tanggung jawab
pemerintah”, dan sebaliknya. Istilah “tanggung jawab” seringkali disinonimkan dan
karena itu sering dipertukarkan penggunaannya dengan istilah “kewajiban”.

Dalam literatur hukum berbahasa Inggris, istilah “tanggung jawab” bisa merujuk pada
istilah “responsibility” maupun “liability”. Dalam Black Law Dictionary, istilah
“responsibility” memiliki makna yang lebih luas, karena tidak hanya berupa kewajiban
(obligation) untuk “merespons” (menjawab; memenuhi) atas apa yang pernah
dilakukan terkait dengan keputusan, keahlian, dan kemampuan seseorang, tetapi juga
kewajiban untuk “memulihkan” (restitution; pembayaran ganti rugi) terhadap kerugian
yang disebabkan oleh tindakan yang pernah dilakukan. Ini berarti bahwa istilah
“responsibilty” mencakup tidak hanya kewajiban untuk memenuhi atau memikul
“tanggung jawab hukum” tetapi juga “tanggung jawab moral” terkait dengan tindakan,
keputusan, atau keahlian (profesi) tertentu yang pernah dilakukan.
Sedangkan, istilah “liability” berarti suatu keadaan untuk melaksanakan kewajiban
hukum tertentu. Dengan demikian, berarti istilah “tanggung jawab” baik dalam arti
“responsibility” maupun “liability” tidak bisa dilepaskan dari makna “kewajiban”
(obligation; duty). Atas dasar inilah maka bisa dimengerti apabila penggunaan istilah
“tanggung jawab” sering diartikan sama dan dipertukarkan penggunaannya dengan
istilah “kewajiban”.

Asas tanggungjawab negara dalam perjanjian ini bermakna dua yaitu tanggungjawab
negara dalam lingkup internasional dan tanggungjawab negara dalam lingkup nasional.
Tanggung jawab negara secara internasional yang berhubungan dengan hukum
lingkungan internasional, bila suatu negara melakukan pencemaran lingkungan yang
melintasi batas negara yang mengakibatkan kerugian lingkungan bagi negara lain.
Misalnya, asap dari kebarakan hutan, jatuhnya limbah di laut territorial negara lain,
aktivitas perusahaan tambang diperbatasan yang mengakibatkan rusaknya atau
tercemarnya ekosistem air, udara atau hutan di wilayah negara lain.

Terdapat dua teori tanggungjawab negara dalam hukum internasional yaitu 1) Teori
Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak
(absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective
responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggungjawab atas setiap kegiatan
yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan walaupun kegiatan itu sendiri
adalah kegiatan yang sah menurut hukum; dan 2) Teori Kesalahan (Fault Theory) yang
melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif atau tanggungjawab atas dasar kesalahan,
yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat
dibuktikan adanya unsur kesalahan perbuatan itu.

Sedangkan dalam kontek tanggungjawab negara dalam lingkup nasional atau dalam
perspektif ketatanegaraan bahwa kekuasaan negara adalah berkaitan dengan tanggung
jawab dan kewajiban. Sehingga dalam aspek pengelolaan lingkungan hidup dan sumber
daya alam, negara tidak hanya berperan menguasai dan mendapatkan manfaat yang
sebesar-besarnya, meskipun hal itu kemudian peruntukannya ditujukan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

Melekatnya tanggung jawab pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan


lingkungan dapat diartikan dua: Pertama, bahwa pemerintah memiliki kewajiban
menjalankan fungsi pemerintahan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup berdasarkan prinsip good environmental government. Artinya pemerintah
bertanaggung jawab:

1. Pemerintah menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat


yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi
masa kini maupun generasi masa depan.
2. Pemerintah menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
3. Pemerintah mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam
yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Kedua, dalam hal timbulnya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup akibat
keputusan (beschikking) pemerintah maka pemerintah memikul tanggung jawab untuk:

1. Membatalkan keputusan yang menyebabkan pencemaran lingkungan yang berarti


menghentikan sumber terjadinya pencemaran.
2. Membayar ganti kerugian kepada korban pencemaran baik orang maupun
lingkungan.
3. Sebagai pemberi izin jadi harus bertanggung jawab juga untuk mengembalikan
lingkungan yang telah tercemar menjadi lingkungan yang sehat kembali.

PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan di bidang


pengelolaan lingkungan hidup yang muncul dan berawal dari rasa keprihatinan negara-
negara dunia terhadap timbulnya kerusakan dan pencemaran lingkungan yang semakin
mengkhawatirkan akan keberlangsungan fungsi kelestarian lingkungan dan daya
dukungnya terhadap kepentingan generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Konsep ini lahir dan berkembang setelah diawali dengan adanya Konferensi Tingkat
Tinggi yang diadakan oleh PBB yaitu Deklarasi Stockholm 1972. Kemudian sejak
tahun 1980-an agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma
pembangunan berkelanjutan.
Berlakunya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH). UU ini telah mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) guna memastikan prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah dan/atau pengambilan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP)
Pembangunan. Yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PP No. 46 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS. Dalam PP No. 46 Tahun 2016 tersebut
sudah mengakomodir elemen-elemen dalam prinsip pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan hidup.

Menurut Chay Asdak, secara substansial, KLHS merupakan suatu upaya sistematis dan
logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan
melalui proses pengambilan keputusan yang lebih berwawasan lingkungan. KLHS
merupakan “alat” untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan lingkungan hidup
dan/atau prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam proses pengambilan keputusan.

Penyelenggaraan KLHS secara garis besar terdiri atas 3 tahap yaitu: Pertama, tahap
pembuatan dan pelaksanaan KLHS. Ada 3 kegiatan utama yang dilakukan pada tahap
ini, yaitu pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi lingkungan hidup yang dilakukan
oleh penyusun KLHS yang memenuhi standar kompetensi; perumusan alternatif
penyempurnaan KRP; dan penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambilan
keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada tahap
inilah dipertimbangkan faktor-faktor seperti kapasitas daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup, perkiraan dampak dan resiko lingkungan hidup, dan sebagainya.

Kedua, tahap penjaminan kualitas dan pendokumentasian KLHS. Penjaminan kualitas


dilakukan melalui penilaian mandiri oleh penyusun KRP untuk memastikan bahwa
kualitas dan proses pembuatan dan pelaksanaan KLHS dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Hasil penjaminan kualitas KLHS harus disusun secara tertulis
dengan memuat informasi tentang kelayakan KLHS jika telah memenuhi ketentuan
dan/atau rekomendasi perbaikan KLHS yang telah diikuti dengan perbaikan KRP.

Ketiga, tahap validasi yang diselenggarakan untuk memastikan penjaminan kualitas


telah dilaksanakan secara akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Anda mungkin juga menyukai