Anda di halaman 1dari 9

JUDUL ESAI

“Setetes Inovasi Untuk Air Kehidupan Bangsa Indonesia“

Karya Ini Disusun Untuk Mengikuti Lomba Esai Nasional


“Pembangunan Berkelanjutan (SDG)”

Penulis :
Muhammad Ikrom
Setetes Inovasi Untuk Air Kehidupan Bangsa Indonesia
Oleh : Muhammad Ikrom

Pada tahun 2015, merupakan sejarah baru bagi negara Indonesia. Karena Indonesia
dan Negara lainnya yang bergabung dengan PBB akan mengganti pola pembangunan yang
sebelumnya MDGs (Millennium Deveplopment Goals) menjadi SDGs (Sustainable
Deveplopment Goals) dengan 17 tujuan yang salah satu menjadi “boomerang” bagi
Negara Indonesia karena selalu gagal dalam percapain tujuan pembangunan sebelumnya
yaitu “Air Bersih dan Sanitasi Layak”.
Faktanyan, 97,5% dari air di bumi adalah air laut dan hanya 2.5% air tawar yang
bisa dikonsumsi dan 50% persedian air minum dunia hanya terdapat di 6 negara yaitu
Brazil, Russia, Kanada, Indonesia, China, Dan Kolombia. Kenyataan itu ditutup dengan
fakta miris bahwa lebih dari sepertiga populasi dunia hidup di tempat persedian air yang
minim. Lalu mengapa manusia seolah belum menyadari, bahwa dunia saat ini masuk ke
fase kekhawatiran krisis air ?
Indonesia adalah suatu negara yang memiliki julukan yang beragam dan salah
satunya adalah Negara “maritime”. Akan tetapi julukan tersebut berbanding terbalik bak
“langit dan bumi” terhadap kualitas dan kuantitas sanitasi dan air bersih Indonesia.
Menurut Ehler dan Steel (2000) sanitasi layak adalah sebagai usaha untuk mencegah
penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang
berkaitan dengan rantai penularan penyakit tersebut. Indonesia memiliki tantangan besar
dalam mengatasi masalah sanitasi dasar dan air bersih bagi rakyatnya. Dari data World
Bank (Bank Dunia) diketahui, setengah populasi masyarakat perdesaan Indonesia tidak
memiliki akses sanitasi yang layak. Menurut World Bank (Bank Dunia), dari 57 juta orang
yang melakukan buang air besar (BAB) sembarangan, 40 juta diantaranya tinggal di
perdesaan.
Menurut Catatan World Bank (Bank Dunia) juga mencatat bahwa kerugian akibat
sanitasi yang tidak layak di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 56 triliun. Bahkan, 120
juta penduduk Indonesia dilaporkan terserang penyakit diare per tahunnya (WSP-EAP
2008). Di lain pihak, hasil studi organisasi kesehatan dunia World Health Organitation
(WHO) menunjukkan bahwa dengan sanitasi yang baik, terutama dalam lingkungan rumah
tangga, dapat menurunkan 94 persen kasus diare. Menurunnya kasus diare amat
berpengaruh dalam meningkatkan produktivitas dan juga taraf hidup masyarakat. Hal ini
menunjukkan bahwa sanitasi yang baik memang merupakan salah satu persyaratan mutlak
bagi terciptanya hidup sehat dan berkualitas.
Pada tahun 2011, sekitar dua ratus juta penduduk Indonesia, baru 20% saja yang
memiliki akses terhadap air bersih. Itu pun kebanyakan di daerah perkotaaan. Sedangkan
sisanya, atau sekitar 80% rakyat Indonesia masih mengkonsumsi air yang tak layak untuk
kesehatan. Hal itu dibuktikan melalui hasil penelitian dari Jim Woodcock (2011), seorang
konsultan masalah air dan sanitasi dari World Bank (Bank Dunia), yang hasilnya adalah
100.000 bayi di Indonesia tewas setiap tahunnya yang disebabkan oleh diare, penyakit yang
paling mematikan nomor dua setelah infeksi saluran pernapasan akut. Penyebab utamanya,
jelas buruknya akses terhadap air bersih serta sanitasi.
Di Nusa Tenggara Timur, warga harus menempuh jarak minimal sejauh 700 meter
dengan lama sekitar 46 menit ditambah dengan tekstur jalanan yang mereka lalui yang
tidak rata untuk memperoleh air bersih. Tentu saja hal itu sangat memprihatinkan. Selain
disebabkan oleh topografi daerah tersebut, tidak adanya sistem infrastruktur yang memadai
juga merupakan penyebab utama sulitnya masyarakat mengakses air bersih. Bahkan, saking
langkanya air bersih, warga Pulau Sebatik di Kalimantan Timur pun kesulitan air bersih.
Sampai-samapai mereka harus mengambil air bersih di daerah Tawau yang telah masuk ke
dalam wilayah Malaysia. Sebenarnya di daerah tersebut telah terdapat Pipa PDAM yang
dibangun pada tahun 2004. Namun kondisi sudah rusak karena tidak pernah dialiri air
bersih. Data dari kementerian kesehatan juga menyatakan bahwa 60% sungai di Indonesia
tercemar, mulai dari bahan organic sampai bakteri-bakteri penyebab diare
seperti coliform dan Fecal coli. Padahal, air sungai seharusnya bisa menjadi sumber
kehidupan warga sekitar. Namun, justru malah tercemar dan berubah warnanya menjadi
hitam pekat, sehingga tidak layak untuk dijadikan air minum, mandi, serta mencuci.
Kondisi ini tentunya menyebabkan pencemaran lingkungan dan berimbas pada buruknya
kesehatan pada warga.
Belum selesai masalah akses terhadap air bersih, masalah buruknya sanitasi juga
semakin besar. Sebab, kedua hal tersebut juga berkaitan. Sebuah penelitian bahkan
menunjukkan bahwa masih sekitar 70 juta masyarakat Indonesia buang air besar
sembarangan setiap harinya. Itu berarti, setiap hari ada 14.000 ton tinja dan 176.000 meter
kubik air seni yang mencemari lingkungan. Bakteri E.Coli juga dijumpai pada 75% air
sumur dangkal di perkotaan Hal itu tentu menyebabkan akses air bersih semakin sulit. Ini
dibuktikan dengan sebuah data yang menunjukkan dari 1000 orang penduduk Indonesia,
411 diantaranya terkena penyakit diare, yang itu artinya hampir 50% penduduk Indonesia.
Melihat data-data di atas tentu kita sangat prihatin terhadap kondisi masyarakat
Indonesia sekarang ini ditinjau dari faktor ketersediaan akses terhadap air bersih serta
sanitasi. Hal itu tentunya memunculkan tanda tanya besar. Apa penyebab buruknya kualitas
air dan sanitasi di Indonesia ? Apakah ada solusi dan juga penyelesaian permasalahan
klasik yang “menghantui” masyarakat Indonesia sehingga mengakibatkan ratusan generasi
muda penerus bangsa meninggal tiap tahunnya diakibatkan oleh air yang tidak bersih ?
Hal Pertama yang harus dibenahi di Indonesia adalah kesadaran masyarakat agar
tidak buang air besar ditempat terbuka seperti sungai. Sekitar 17 persen rumah tangga pada
tahun 2010 atau sekitar 41 juta orang masih buang air besar di tempat terbuka. Ini meliputi
lebih dari sepertiga penduduk di Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa
Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Praktek tersebut bahkan ditemukan di provinsi-
provinsi dengan cakupan sanitasi yang relatif tinggi, dan pada penduduk perkotaan dan di
seluruh kuintil. Masyarakat juga sudah terbiasa dengan “hujan panas permainan hari,
senang susah permainan hidup” sangking susahnya mencari air bersih. Beberapa
kementerian dan lembaga yang terlibat dalam sektor air bersih dan sanitasi memerlukan
koordinasi yang lebih kuat. Misalnya, kontraktor yang membangun sistem perairan
perdesaan lebih bertanggung jawab kepada lembaga pemerintah, bukan pada pengguna
jasa. Tanggung jawab pemeliharaan sistem ini tidak jelas seperti “menjaring angin” yang
berarti perbuatan sia-sia dan struktur manajemen masyarakat masih lemah. Dalam tahun-
tahun terakhir, koordinasi tersebut telah meningkat dengan terbentuknya kelompok kerja
yang disebut Pokja AMPL di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten untuk air bersih dan
sanitasi lingkungan.
Setelah masa desentralisasi, banyak pemerintah kabupaten terhambat oleh
kurangnya keahlian di sektor perairan dan kapasitas kelembagaan. Kabupaten-kabupaten
terpencil mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga terampil, yang pada umumnya lebih
memilih untuk tinggal dan bekerja di daerah perkotaan. Masyarakat “bagai kerakap
tumbuh di atas batu, hidup enggan mati tak mau” yang artinya hidup dalam kesukaran
(kemeralatan) sehingga perlu meningkatkan kesadaran mereka. Situasi kebersihan
seringkali buruk di pusat-pusat kesehatan dan tempat-tempat umum lainnya, seperti pasar
lokal dan di antara para penjual makanan jalanan. Sebuah survei di enam provinsi, yang
dilakukan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2005 untuk USAID, menyatakan bahwa
kurang dari 15 persen ibu menyatakan mencuci tangan mereka dengan sabun setelah buang
air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak mereka, sebelum makan,
atau sebelum membersihkan pantat anak.
Pemanfaatan air bersih di perkotaan tidak diatur dengan baik dan secara umum
cakupannya kecil. Dari 402 perusahaan daerah air minum (PDAM), yang melayani
sebagian besar daerah perkotaan, hanya 31 yang memiliki lebih dari 50.000 sambungan
pada tahun 2009. Ukuran yang lebih kecil dari optimal menyebabkan biaya operasi yang
tinggi. Pada tahun 2010, angka air bersih yang tidak dipertanggungjawabkan adalah antara
38-40 persen dan hanya 30 PDAM mampu menutup biaya operasional dan pemeliharaan
secara penuh. PDAM mengalihkan sebagian pendapatan diperkirakan sebesar 40 persen
kepada pemerintah kabupaten dengan sedikit tanggung jawab, dan memiliki sedikit dana
tersisa untuk operasi dan pemeliharaan. Tidak mengherankan, sistem persediaan air bersih
perkotaan pada umumnya tidak terawat dan rusak. Beberapa PDAM telah mengadakan
Kemitraan Publik-Publik, tetapi kompleksitas negosiasi antara pemerintah pusat, provinsi
dan kabupaten menyebabkan pembatalan dan penundaan.
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki solusi-solusi yang sudah diterapkan dan
bahkan mendapat bantuan dari Negara lain. Namun, karena luasnya Indonesia dan
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan air sungai sehingga
permasalahan sanitasi air dan kekurangan air bersih tak kunjung selesai sejak era MDGs
(Millennium Deveplopment Goals). Namun seperti salah satu kutipan “Aku tidak
mengatakan gagal, tetapi saya menemukan 10,000 cara yang salah,” itulah sepenggal
kutipan Thomas Alva Edison yang mengisyaratkan bahwa kegagalan bukanlah segalanya
dan berusahalah dari kegagalan tersebut, masih banyak cara yang masih belum di gunakan
Indonesia.
Salah satunya Program Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dan
lima pilarnya merupakan kerangka kerja yang penting mengatasi sanitasi dan air bersih di
Indonesia. Kelima pilar tersebut adalah sebagai berikut.
1. Penghapusan buang air besar di tempat terbuka,
2. Mencuci tangan dengan sabun,
3. Pengolahan air rumah tangga,
4. Pengelolaan sampah padat dan
5. Pengelolaan limbah cair.
Kepemimpinan Kementerian Kesehatan sangat penting dalam meningkatkan STBM.
Kabupaten dan provinsi perlu mempercepat upaya-upayanya, sesuai dengan standar dan
pedoman nasional.
Namun, terlihat bahwa kinerja pemerintah kurang terlalu serius dalam menanggapi
kekurangan air bersih dan juga permasalahan sanitasi air seperti peribahasa “ikan belum
dapat, airnya sudah keruh” yang bermaksud pelaksanaan kerja yang tidak tepat (keadaan
menjadi buruk sebelum pekerjaan selesai). Pasalnya, pemerintah hanya berusaha
melakukan sosialisasi-sosialiasi tiap daerah tanpa melakukan aksi signifikan untuk
menyelesaikan permasalahan yang berlarut tak kunjung selesai. Sehingga apa yang
dilakukan pemerintah seperti “mengukir langit” yang artinya pemerintah melakukan
perbuatan sia-sia. Masyarakat lebih mengharapkan aksi nyata bukan “murah di mulut,
mahal di timbangan” yang terlontar ketika melakukan sosialisasi terhadap kebutuhan air.
Sudah seharusnya Indonesia memiliki peralatan canggih tersendiri agar masalah
yang dihadapi bisa diselesaikan. Terlihat jelas bahwasannya Negara kita masih tertinggal
jauh dari tetangga yaitu Malaysia yang memanfaatkan zaman modern. Dengan teknologi
yang muktahir setidaknya Malaysia lebih unggul dari Indonesia dalam hal penyaluran air
bersih ke masyarakatnya. Indonesia sendiri hanya lebih baik dari Timur Leste dan Kamboja
dalam hal penyaluran air bersih ke masyarakatnya. Padahal seperti yang kita ketahui
Indonesia adalah Negara dengan laju ekonomi terbaik ke-2 di Asia Tenggara menurut
South Economy Asean (SEASEAN).

Kita harus belajar dengan Negara yang bagus dalam mengelola air bersih dan
sanitasi air. “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri china”, begitu pepatah yang sering kita
dengar. Namun hal itu tidak untuk ilmu sanitasi. Untuk sanitasi Belanda memang juaranya.
Betapa tidak, banyak teknologi sanitasi mereka telah mendunia sehingga tidak heran jika
negeri Van Oranje ini menjadi kiblat banyak insinyur lingkungan. Berbagai inovasi
teknologi terus mereka kembangkan mulai wadden marker, room of the river, new delta
plan, eco-drainage hingga yang terbaru hidrochip.
Sejarahnya Belanda juga hampir sama dengan persoalan dengan Negara Indonesia.
Belanda juga berjuang menaklukan air layaknya menghalau musuh. Hal tersebut
mengingatkan kita pada untaian kata yang dilontarkan Rene Descartes, “God created the
world, but the Dutch created Holland”,ujarnya. Filsuf Perancis tersebut mencoba
menggambarkan bagaimana orang Belanda mengeringkan daratan yang digenangi air agar
dapat menjadi permukiman yang layak didiami. Dan hasilnya Belanda berhasil menaklukan
air dan menjadikan air sebagai sahabat Negara Belanda sehingga Belanda seperti “gua di
mulut, ikan dalam belanga” yang artinya sudah dalam kekuasaan mereka.
Salah satu metode yang harus di ikuti Indonesia adalah eco-drainage. Eco-drainage
upaya mengelola air kelebihan dengan cara sebesar-besarnya diresapkan ke dalam tanah
secara alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai
sebelumnya. Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan
harus dikelola sedemikian sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun
diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk
cadangan pada musim kemarau. Konsep ini sifatnya mutlak di daerah beriklim tropis
dengan perbedaan musim hujan dan kemarau yang ekstrem seperti di Indonesia. Kelemahan
Konsep Eco-drainage bagi belanda adalah tidak ada tempat resapan air akan tetapi itu
menjadi kelebihan bagi Indonesia karena Indonesia masih banyak tempat-tempat resapan
air. Konsep Eco-drainage didukung dengan metode Kolam Koservasi, Sumur Resapan, dan
River Side Polder.
Kolam konservasi dapat dikembangkan menjadi bak-bak permanen air hujan,
khususnya di daerah-daerah dengan intensitas hujan yang rendah. Sangat disayangkan,
bahwa perkembangan yang ada di Indonesia sekarang ini justru masyarakat dan pemerintah
berlomba mempersempit atau bahkan menutup kolam konservasi alamiah yang ada (rawa,
situ, danau kecil, telaga, dan lain-lain). Parit ini sangat penting untuk cadangan air musim
kemarau sekaligus meningkatkan konservasi air hujan di daerah hulu, serta meningkatkan
daya dukung ekologi daerah setempat..
Metode sumur resapan merupakan metode praktis dengan cara membuat sumur-
sumur untuk mengalirkan air hujan yang jatuh pada atap perumahan atau kawasan tertentu
(Dr Sunjoto, UGM). Konstruksi dan kedalaman sumur resapan disesuaikan dengan kondisi
lapisan tanah setempat. Perlu dicatat bahwa sumur resapan ini hanya dikhususkan untuk air
hujan, sehingga masyarakat harus mendapatkan pemahaman mendetail untuk tidak
memasukkan air limbah rumah tangganya ke sumur resapan tersebut.
River side polder adalah metode menahan aliran air dengan mengelola atau
menahan air kelebihan (hujan) di sepanjang bantaran sungai. Pembuatan polder pinggir
sungai ini dilakukan dengan memperlebar bantaran sungai di berbagai tempat secara
selektif di sepanjang sungai.. Upaya ini sedang dilakukan di Jepang dan Jerman secara
besar-besaran, sebagai upaya menahan air untuk konservasi sungai musim kemarau dan
menghindari banjir serta meningkatkan daya dukung ekologi wilayah keairan
Jika pemerintah bisa menerapkan konsep eco-drainage dan metode kolam
konservasi, sumur resapan, dan river side polder, maka yang namanya darurat air di
Indonesia akan di atasi dan juga tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pilar air
bersih dan sanitasi layak terlaksana dengan baik dan tidak menghantui bagi Indonesia.
Seperti kutipan Albert Einstein yang mengatakan “Belajarlah dari masa lalu, hidup untuk
hari ini, berharap untuk hari esok”. Bahkan tidak hanya pilar air bersih dan sanitasi layak
yang berhasil dilakukan dan dicapai Indonesia, pilar lain seperti pilar kehidupan sehat dan
sejahtera, dan pilar industri, inovasi dan infrastruktur juga tercapai jika pemerintah
menerapkan konsep eco-drainage. Dan itu semua hanya perlu dengan satu perubahan.
“Saya katakan bahwa cita-cita kita dengan keadilan sosial adalah satu masyarakat yang
adil dan makmur dengan menggunakan alat-alat industri, alat-alat teknologi yang sangat
moderen. Asal tidak dikuasai oleh sistem kapitalisme”. Itulah sepenggal cita-cita Soekarno,
founding father bangsa ini. Yaitu agar Indonesia bisa memanfaatkan teknologi saat ini
untuk Bangsa Indonesia yang Maju.

Anda mungkin juga menyukai