Anda di halaman 1dari 59

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Rokok

2.1.1. Epidemiologi

Epidemiologi membuktikan bahwa merokok merupakan salah satu

penyebab penyakit dan kematian terpenting bagi manusia. Rokok

bertanggungjawab atas 30% kematian akibat keganasan di negara berkembang.

Rokok juga penyebab utama kematian akibat penyakit kardiovaskuler, penyakit

pulmoner obstruktif kronik, dan penyakit degeneratif. Tahun 2000 di seluruh

dunia terdapat 4,8 juta kematian dini yang disebabkan oleh rokok dimana 2,4 juta

kematian di negara berkembang dan 2,43 juta kematian di negara industri

berkembang. Jumlah ini diperkirakan akan naik menjadi 10 juta kematian pada

tahun 2030 (Valvanidis et al, 2009).

Data Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan peningkatan

prevalensi perokok dari 27% pada tahun 1995 dan meningkat menjadi 36,3% pada

tahun 2013. Artinya jika 20 tahun yang lalu dari setiap 3 orang Indonesia 1 orang

di antaranya adalah perokok, maka dewasa ini dari setiap 3 orang Indonesia 2

orang di antaranya adalah perokok (KEMENKES RI, 2016).

1
2

Prevalensi perokok perempuan turut meningkat dari 4,2% pada tahun 1995

menjadi 6,7% pada tahun 2013. Dengan demikian pada 20 tahun yang lalu dari

setiap 100 orang perempuan Indonesia 4 orang di antaranya adalah perokok, maka

dewasa ini dari setiap 100 orang perempuan Indonesia 7 orang di antaranya adalah

perokok (KEMENKES RI, 2016).

Kebiasaan buruk merokok juga meningkat pada generasi muda. Data

Kemenkes menunjukkan bahwa prevalensi remaja usia 16-19 tahun yang merokok

meningkat 3 kali lipat dari 7,1% di tahun 1995 menjadi 20,5% pada tahun 2014.

Kecenderungan adiksi juga dipengaruhi oleh usia awal merokok. Semain muda

usia mulai merokok, semakin besar kemungkinan ketergantungannya terhadap

nikotin. Perokok pemula usia 10-14 tahun meningkat lebih dari 100% dalam

kurun waktu kurang dari 20 tahun, yaitu dari 8,9% di tahun 1995 menjadi 18% di

tahun 2013 (GYTS, 2014).

Rerata batang rokok yang dihisap perhari penduduk umur ≥10 tahun di

Indonesia adalah 12,3 batang (setara satu bungkus). Dari hasil penelitian di

propinsi Bangka Belitung ditemukan jumlah rerata batang rokok terbanyak yang

dihisap sebanyak 18 batang. Proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada

umur 30-34 tahun sebesar 33,4 persen, pada laki-laki lebih banyak di bandingkan

perokok perempuan (47,5% banding 1,1%). Berdasarkan jenis pekerjaan,

petani/nelayan/buruh adalah perokok aktif setiap hari yang mempunyai proporsi

terbesar (44,5%) dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya. Proporsi penduduk

umur ≥15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung meningkat

dari 34,7% (RISKESDAS 2010) menjadi 36,3% (RISKESDAS 2013).


3

Proporsi tertinggi pada tahun 2013 adalah Nusa Tenggara Timur (55,6%).

Dibandingkan dengan penelitian Global Adults Tobacco Survey (GATS) pada

penduduk kelompok umur ≥15 tahun, proporsi perokok laki-laki 67,0 persen dan

pada RISKESDAS 2013 sebesar 64,9 persen, sedangkan pada perempuan menurut

GATS adalah 2,7 persen dan 2,1 persen menurut RISKESDAS 2013. Proporsi

mengunyah tembakau menurut GATS 2011 pada laki-laki 1,5 persen dan

perempuan 2,7 persen, sementara RISKESDAS 2013 menunjukkan proporsi laki-

laki 3,9 persen dan 4,8 persen pada perempuan (RISKESDAS, 2013).

Mengacu hasil penelitian yang dilakukan di Bogor Jawa Barat dalam data

RISKESDAS 2013 , menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat memiliki 27 kota /

kabupaten dengan rata-rata perokok aktif tiap harinya terbanyak pada rentang usia

45-49 tahun sebesar 37,2%. Perokok laki-laki lebih banyak dari pada perokok

wanita dengan perbandingan 51,7% dan 1,8%. Perokok di Jawa Barat memiliki

kecenderungan tinggal di pedesaan (29,3%) daripada di perkotaan (26,0%)

(RISKESDAS, 2013).

Penelitian lain dilakukan oleh Iin Rahmania yang dilakukan di Rumah

Sakit Persahabatan Jakarta tahun 2014, dengan jumlah responden 85 orang

perokok. Sebaran berdasar jenis kelamin didapat kelompok perokok laki-laki lebih

banyak (88,2) dibandingkan perokok wanita (11,7 %) dan rentang usia 30 – 39 th

sebesar 45,9% ( Inayatillah et al, 2014).


4

2.1.2. Klasifikasi Perokok

Perokok aktif adalah orang yang orang yang menghisap asap utama pada

rokok yang dihisap (mainstream). Perokok pasif adalah asap rokok yang di hirup

oleh seseorang yang tidak merokok (pasive smoker). Asap rokok yang

dihembuskan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih

banyak mengandung karbonmonoksida dan empat kali lebih banyak mengandung

tar dan nikotin. Pada penelitiannya Goniewicz menemukan bahwa ada pengaruh

lokasi apakah di dalam ruangan atau diluar ruangan, bila dalam ruangan lebih

banyak perokok maka perokok pasif akan terukur kadar karbonmonoksida yang

lebih tinggi (Goniewicz et al, 2009).

Sitepoe melakukan klasifikasi perokok berdasarkan jumlah rokok yang

dikonsumsi tiap hari. Klasifikasi ini membagi perokok menjadi perokok ringan,

perokok sedang dan perokok berat. Perokok ringan adalah perokok yang merokok

satu hingga sepuluh batang rokok per hari. Perokok sedang adalah perokok yang

merokok sebelas hingga dua puluh empat batang per hari. Sementara perokok

berat merokok lebih dari dua puluh empat batang rokok per hari (Sitepoe, 2010).

Penggunaan jumlah rokok yang dikonsumsi sebagai dasar klasifikasi juga

dilakukan oleh Mu’tadin, dengan penambahan intensitas atau waktu merokok

sebagai dasar 9 klasifikasi. Mu’tadin membagi perokok menjadi empat golongan,

perokok ringan, perokok sedang, perokok berat dan perokok sangat berat. Hal

senada dikemukakan pula oleh Smet pada tahun 1994, namun Smet menggunakan

kriteria jumlah yang lebih rendah dibandingkan Sitepoe ( Inayatillah et al, 2014).
5

Klasifikasi lain menggunakan keterkaitan antara jumlah rokok yang

dikonsumsi dengan lamanya konsumsi rokok semasa hidup. Klasifikasi ini

menggunakan Indeks Brinkman. Indeks Brinkman menggunakan hasil perkalian

antara rerata jumlah batang rokok yang dihisap tiap hari dan lama merokok dalam

tahun. Perokok ringan bila IB = 0-199, perokok sedang bila IB = 200 – 599,

perokok berat bila IB > 600 ( Inayatillah et al, 2014).

Penggolongan perokok juga dapat dibedakan dari cara menghisapnya,

begitu menghisap langsung dihembuskan (secara dangkal), ditelan sampai ke

dalam mulut (dimulut saja), ditelan sampai di kerongkongan (hisapan dalam) (

Inayatillah et al, 2014).

Rokok tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatnya yaitu

tembakau. Di Indonesia tembakau ditambah cengkeh dan bahan–bahan lain

dicampur untuk dibuat rokok. Selain itu juga masih ada beberapa jenis rokok yang

dapat digunakan yaitu rokok linting, rokok putih, rokok cerutu, rokok pipa, rokok

kretek, rokok klobot dan rokok tembakau tanpa asap (tembakau kunyah)

(Benowitz et al, 2010).

Packyears adalah skala pengelompokan jumlah rokok yang dikonsumsi

oleh seseorang berdasarkan standar internasional yang berlaku. Setiap satu pak

mengandung 20 batang rokok yang dikonsumsi per hari untuk satu tahun disebut

satu packyear (Patha et al, 2015).


6

Tabel 2. 1
Klasifikasi Perokok

2.2. Nikotin

Biomarker yang dapat digunakan untuk menentukan status perokok,

derajat ketergantungan dan status oksidatif stres antara lain pengukuran

karbonmonoksida, karboksihemoglobin, kadar nikotin serum darah, darah tepi,

serum vitamin A,C,E, MDA (Malondyaldehide), status antioksidan (TAC/ Total

Antioxidant Capacity) dan lain-lain.

Penelitian yang dilakukan perbandingan terhadap grup perokok dan bukan

perokok yang diberi paparan asap rokok dengan mengukur darah tepi, kadar

serum malondialdehyde (MDA) dan vitamin E, dan total kapasitas antioksidan.

Hasil yang didapat adalah tidak ada perbedaan nilai darah putih sebelum dan
7

setelah terpapar asap rokok. Pada grup perokok didapat peningkatan rasio

granulosit limfosit secara bermakna, kadar MDA meningkat dan kadar serum

vitamin E menurun secara bermakna, TAC menurun setelah paparan asap rokok.

Pada grup perokok pasif dan bukan perokok ditemukan MDA dan vitamin E

turun, begitu juga TAC. Diantara kedua grup hanya nilai hematokrit dan kadar

MDA yang sangat berbeda bermakna setelah terpapar asap rokok. Paparan asap

rokok akut mempengaruhi secara negatif indeks hematologi dan biomarker stres

oksidatif, baik pada grup perokok maupun bukan perokok (Lymperaki et al,

2015).

2.2.1. Kadar Nikotin

Nikotin dihasilkan dari daun tembakau berupa cairan alkaloid alami tak

berwarna yang dihasilkan oleh tanaman tembakau dengan pH>7 (bersifat alkalis)

dan ukuran molekulnya sangat kecil. Nikotin larut dalam air dan lemak sehingga

nikotin diabsorpsi secara cepat masuk ke dalam darah. Bersifat poten karena 5-10

kali lebih kuat menimbulkan efek psikoaktif pada manusia daripada kokain dan

morfin. Struktur molekul nikotin ditampilkan pada gambar 2.3 (Benowitz et al,

2010).

Gambar 2. 1
Struktur Molekul Nikotin

Sumber : (Benowitz et al, 2010)


8

Penghantaran nikotin melalui asap yaitu ketika rokok dibakar, nikotin

tersebar ke udara dalam bentuk butiran-butiran kecil tar bersama komponen-

komponen asap tembakau lainnya. Setelah dihisap nikotin memadat dengan cepat

di alveoli masuk ke dalam vena pulmonalis kemudian ke ventrikel kiri dan

dipompa ke arteri-arteri seluruh tubuh hingga ke otak dan organ lain (Benowitz et

al, 2010).

Penghantaran nikotin melalui tembakau tanpa asap
(seperti tembakau

kunyah atau snuff) dimana nikotin masuk ke dalam tubuh melalui dinding mulut

dan tenggorokan, atau hidung kemudian nikotin akan menembus membran

biologis dan masuk ke aliran darah untuk didistribusikan ke berbagai jaringan

tubuh (Benowitz et al, 2010).

Nikotin dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh dan sampai ke

sistem saraf pusat (SSP) dalam 10 - 20 detik setelah dihisap. Respon farmakologis

yang sangat kuat terjadi di otak berupa rasa nikmat, relaksasi, berkurangnya

stress, meningkatnya kewaspadaan, meningkatnya konsentrasi, dan perubahan

mood. Merokok sepanjang hari dilakukan perokok untuk untuk mempertahankan

efek nikotin (self-titration) (Benowitz et al, 2010).

Kadar nikotin dalam darah perokok menurun di malam hari, penurunan

ini cukup signifikan untuk membuat perokok lebih sensitif terhadap efek nikotin

di pagi hari. Peningkatan sensitivitas nikotin di pagi hari ini ditandai oleh

keinginan yang kuat untuk segera merokok setelah bangun tidur. Rokok pertama
9

setelah bangun tidur ini mempunyai efek yang paling kuat dan paling memuaskan

(Benowitz et al, 2010).

Metabolisme nikotin sebesar 80 - 90 % terjadi di hati, ginjal, dan paru-

paru. Nikotin kemudian diubah menjadi beberapa metabolit yaitu kotinin

(metabolit utama), ion iminium nikotin, nicotyrine dan nornikotin Semua

metabolit ini mempunyai aktivitas biologis lebih lemah dan kurang poten

dibanding nikotin (Benowitz et al, 2010).

Cara penghantaran nikotin non-tembakau dihantarkan melalui produk non

tembakau seperti terapi sulih nikotin (Nicotine Replacement Therapy / NRT),

biasanya digunakan oleh perokok yang sedang berusaha untuk berhenti merokok.

Absorpsi nikotin lebih lambat dan kadar nikotin dalam darah yang lebih rendah

kecuali bila menggunakan dosis yang sangat tinggi sehingga NRT memiliki

tingkat keberhasilan yang rendah pada terapi berhenti merokok (Benowitz et al,

2010).

Waktu paruh nikotin 19-24 jam. Konsentrasi kotinin dalam plasma

digunakan sebagai indeks paparan asap rokok. Kotinin meningkatkan laju

produksi PAF (platelet-activating factor) sehingga meningkatkan resiko trombus

arteri. Setelah 5-10 menit nikotin masuk ke dalam peredaran darah, kadar kotinin

plasma mencapai puncaknya (2,160 pmol/ml). Kadar nikotin plasma turun

sebanyak 50% dalam 20 menit (waktu paruh) setelah masuk ke dalam peredaran

darah. Waktu paruh nikotin dalam otak sekitar 50 menit. Waktu paruh nikotin

dalam organ lain sekitar 20 – 25 menit. Metabolit utama nikotin yaitu dalam

bentuk Kotinin terakumulasi dalam plasma, dalam waktu 30 menit konsentrasi

nikotin dan kotinin plasma setara (890-1--- pmol/ml). Saat kotinin terakumulasi
10

dalam plasma, niktoin mengalami eleminasi di ginjal. Konsentrasi nikotin dalam

organ akan menurun dalam semua organ, namun kadar kotinin akan menetap.

Observasi yang dilakukan pada tikus ini mengindikasikan adanya proses

eleminasi nikotin di ginjal atau metabolisme kotinin yang dapat terakumulasi

dalam plasma dalam jangka waktu yang lama (Benowitz et al, 2010).

2.2.2. Mekanisme Kerja Nikotin

Segera setelah menghisap rokok, nikotin mencapai susunan saraf pusat

dalam 10-20 detik. Neuron presinap melepaskan neurotransmitter, yang terikat

dengan reseptor sel postsinaps. Hubungan ini memungkinkan sinyal

ditransmisikan antar neuron di dalam otak (gambar 2.4).

Gambar 2. 2
Mekanisme Kerja Nikotin Pada Sinap

Sumber: (Benowitz et al, 2010)

Efek nikotin pada tubuh terjadi melalui ikatan dengan nicotinic

acetylcholine receptors (nAChRs) di otak. Di sistem saraf pusat, sebagian besar


11

dari nAChRs terdiri dari subtipeα4 β2, α3 β4, dan α7. Dari subtipe-subtipe yang

dominan ini, reseptor α4 β2 jumlahnya paling banyak di otak dan berperan

penting dalam menyebabkan adiksi nikotin. Setelah rokok dihisap, dalam waktu

20 detik, nikotin akan berikatan dengan nAChRs subtype α4β2 di Ventral

Tegmental Area (VTA) di otak. Impuls akan dihantarkan di sepanjang neuron ke

nukleus akumbens (NAc) untuk melepaskan dopamin dalam jumlah besar

(Benowitz et al, 2009).

Pelepasan dopamine akan menimbulkan berbagai efek reward yang dicari

oleh perokok, antara lain timbulnya perasaan senang, relaksasi, mengurangi stres,

meningkatkan konsentrasi, dan memperbaiki mood. Rasa nikmat (reward) ini

akan menjadi motivator yang mendorong seseorang untuk terus merokok.

Gambar 2. 3
Area otak yang terlibat dalam adiksi nikotin

Sumber (Benowitz et al, 2010)


12

Nikotin menstimulasi reseptor asetilkolin yang terletak di area ventral

tegmental (VTA), yang menimbulkan pelepasan dopamin di nucleus accumben

(NAc), tahap ini sangat penting dalam adiksi nikotin. Proyeksi neuron dari kortex

prefrontal dan amygdala mengatur pelepasan dopamin di nucleus accumben, yang

bertanggungjawab pada perilaku ketergantungan. Jalur ini dipengaruhi oleh

GABA (glutamate and gamma-aminobutyric acid) (Benowitz et al, 2010).

Asap rokok juga berperan dalam adiksi nikotin adalah kandungan

Monoamine oxidases, nezim yang terletak di katekolminergik dan neuron,

mengkatalisasi metabolisme dopamin, norepinefrin dan serotonin. Kondensasi

asetaldhid dari asap rokok dengan gugus biogenik amin menghambat aktifitas

MAO tipe A dan MAO tipe B, dan membuktikan bahwa penghambatan MAO

berperan pada proses adiksi perokok dengan mereduksi metabolisme dopamin

(Benowitz et al, 2010).

Dalam sel kromafin di medula adrenal, nikotin berikatan dengan reseptor

asetilkolin ganglion-type nicotinic, yang terdiri dari subunit alpha 3 (CHRNA3)

dan beta 4 (CHRNB4). Akibat ikatan reseptor ini, nikotin menyebabkan sel

mengalami depolarisasi dan terjadi influks kalsium melalui pintu hantaran

kalsium. Kalsium akan memicu pelepasan epinefrin dari vesikel kromafin ke

dalam aliran darah, yang menimbulkan efek peningkatan denyut jantung, tekanan

darah dan kadar gula darah (Benowitz et al, 2010).

Nikotin juga aktif mempengaruhi system saraf simpatis, melalui saraf

splanknik ke medula adrenal dengan merangsang pelepasan epinefrin. Nikotin

juga mempunyai afinitas terhadap jaringan yang mengandung melanin

sehubungan dengan prekursor fungsi sintesa melanin atau berhubungan dengan


13

ikatan yang ireversibel antara melanin dan nikotin. Hal ini mendasari pemikiran

bahwa pada orang dengan kulit berwarna lebih gelap ketergantungan nikotin lebih

banyak, dan angka berhenti merokok lebih rendah. Namun penelitian lebih lanjut

diperlukan untuk membuktikan hal ini (Benowitz et al, 2010).

Nikotin juga menghambat pelepasan insulin dari pankreas. Insulin

merupakan hormone yang bertanggungjawab mengambil kelebihan glukosa dari

darah. Keadaan ini akan menimbulkan perokok mengalami hiperglikemik ringan,

dalam arti terdapat lebih banyak gula darah dari normal. Tingginya kadar gula

darah ini berperan sebagai penekan nafsu makan. Hal ini yang banyak diyakini

perokok bahwa merokok dapat mengurangi rasa lapar (Benowitz et al, 2009).

Efek nikotin terhadap perubahan mood yaitu antara efek stimulasi dan efek

relaksasi. Efek stimulasi diakibatkan pelepasan glukosa dari hepar dan epinefrin

(adrenalin) dari medula adrenal. Perubahan mood relaksasi berupa tenang, santai.

Namun sebagai efek katastrofik yaitu akathisia, terjadi peningkatan metabolisme

dan penurunan nafsu makan, sehingga pada banyak perokok mengalami

penurunan berat badan (Benowitz et al, 2010).

Merokok berhubungan dengan resistensi insulin dan meningkatnya resiko

diabetes militus tipe 2. Data epidemiologi dari Atherosclerosis Risk in

Communities Study menunjukkan adanya peningkatan resiko diabetes lebih tinggi

setelah berhenti merokok, hal ini dikaitkan dengan kenaikan berat badan akibat

efek nikotin tidak lagi mengurangi rasa lapar dan efek craving dari gejala

withdrawal nikotin (Yeh HC et al, 2010).


14

Data tersebut diatas sangat berlawanan dengan penelitian lain dilakukan

oleh Bergman dkk menunjukkan adanya peningkatan sensitifitas insulin setelah 1

– 2 minggu berhenti merokok. Nilai lain yang ikut membaik termasuk profil lipid

trigliserida darah (Bergman et al, 2012).

Saat nikotin mencapai otak, dengan segera banyak merangsang pelepasan

neurotransmitter dan hormon, seperti asetilkolin, norepinefrin, epinefrin,

vasopressin, arginin, serotonin, dopamin, agen autokrin, dan beta endorfin.

Nikotin terlihat memberi efek meningkatkan konsentrasi dan memori karena

meningkatnya asetilkolin. Meningkatnya kewaspadaan berhubungan dengan

peningkatan asetilkolin dan norepinefrin. Gairah meningkat karena peningkatan

norepinefrin. Berkurangnya rasa sakit berhubungan dengan peningkatan

asetilkolin dan beta-endorfin. Berkurangnya kecemasan dikarenakan peningkatan

beta-endorfin. Nikotin juga memperpanjang efek positif dopamin dan

meningkatkan sensitifitas melalui sistem reward. Kebanyakan rokok mengandung

1-3 mg nikotin ( Ball S et al, 2015).

Saat asap rokok dihisap, nikotin akan mencapai peredaran darah dan mulai

mempengaruhi otak dalam 10 detik. Pelepasan adrenalin akan menimbulkan efek

peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan terhambatnya aliran darah

kedalam otot jantung. Saat ini terjadi, perokok akan merasakan pola nafas yang

berubah menjadi lebih cepat, berat dan rasa berdebar. Adrenalin juga

memerintahkan tubuh untuk membuang kelebihan glukosa ke dalam aliran darah

(Benowitz et al, 2010).


15

2.2.3. Withdrawal syndrome

Adiksi nikotin didasari oleh jalur mesolimbik (reward system) yaitu

lingkaran dalam otak yang mengatur perasaan kesenangan dan eforia. Dopamin

adalah kunci neurotransmitter yang aktif dalam otak. Saat kadar dopamin

meningkat dalam lingkaran reward system maka nikotin bertindak sebagai zat

adiktif, beberapa penelitian bahkan menyebutkan bahwa kekuatan aditif nikotin

jauh lebih besar dibandingkan kokain dan heroin.

Pada mekanisme withdrawal terjadi ‘down-regulation’ produksi dopamin

dan neurotransmitter lain sehingga mencetuskan kompensasi untuk menggantikan

efek stimulan buatan. Hal ini menimbulkan penurunan sensitifitas reseptor

asetilkolin nikotinik. Sebagai kompensasi mekanisme ini, otak menurunkan

jumlah reseptor. Sebagai contoh adalah peningkatan noreponefrin, salah satu

pengganti dopamin, menghambat pengambilan reseptor glutamate yang

bertanggungjawab terhadap efek memori dan kognisi. Hasilnya adalah

peningkatan sensitifitas sirkuit reward, berbeda terbalik dengan efek pemakaian

zat aditif lain seperti kokain dan heroin yang akan menurunkan sensitifitas sirkuit

reward (Benowitz et al, 2010).

2.2.4. Test Ketergantungan Nikotin

Test Fagerstorm untuk ketergantungan nikotin (The Fagerström Test for

Nicotine Dependence /FNDT) digunakan untuk menentukan status ketergantungan

nikotin. Kuisioner toleransi Fagerstorm dibuat oleh Karl-Olov Fagerström di


16

tahun 1978. Instrumen ini kemudian dimodifikasi menjadi Fagerström Test for

Nicotine Dependence oleh Todd Heatherton et al pada tahun 1991. Hak cipta

FNDT dipegang oleh Taylor and Francis Ltd., namun boleh diperbanyak tanpa

izin dan dapat digunakan sebagai referensi. Test ini adalah berupa kuisioner yang

diisi oleh perokok, dan tergantung pada kejujuran dan subyektifitas perokok itu

sendiri. Namun cara ini dinilai sangat mudah, peka dan hasilnya segera dapat

mencerminkan keadaan ketergantungan nikotin seseorang (tabel 2.3) (Korte et al,

2012).

Derajat adiksi atau tingkat ketergantungan nikotin dapat ditentukan dengan

menggunakan kuesioner Fagerstroom. Pada penelitian – penelitian terdahulu

terdapat bukti bahwa ada korelasi antara pengukuran kadar karbonmonoksida

udara ekspirasi dengan kadar nikotin plasma dan tingkat ketergantungan nikotin.

Namun Inayatillah et al dalam penelitiannya memperoleh hasil uji korelasi tidak

didapatkan korelasi yang bermakna antara derajat adiksi dengan kadar

karbonmonoksida udara ekspirasi (p=0,245 ; r = 0,127). Hasil pada penelitian ini

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pulungan dkk terhadap 167

perokok siswa/i SMA yang mendapatkan hubungan bermakna antara kadar

karbonmonoksida udara ekspirasi dengan tingkat ketergantungan nikotin (

Inayatillah et al, 2014).

Strength of Urges to Smoke (SUTS) dan the Heaviness of Smoking Index

(HSI). HSI menggunakan 2 pertanyaan saja dan merupakan bagian dari FNDT

juga sering digunakan untuk penentuan secara cepat ketergantungan nikotin.

SUTS berkaitan dengan ketergantungan nikotin pagi hari. Korelasi skor FNDT

dengan biomarker kadar nikotin, karbonmonoksida ekspirasi dan


17

karboksihemoglobin sangat dipengaruhi oleh pertanyaan dalam kuisioner HSI

(tabel 2.2) (Kah et al, 2011).

Tabel 2. 2
HSI (Heaviness os Smoking Index)

Seberapa cepat anda merokok < 5 menit 3

setelah bangun tidur? 6-30 menit 2

31 – 60 menit 1

> 60 menit 0

Berapa batang rokok yang < 10 batang 0

dihisap tiap hari? 11 – 20 batang 1

21 – 30 batang 2

> 31 batang 3

Sumber : (Kah et al, 2011)

Biomarker untuk ketergantungan nikotin selain kuisioner FNDT adalah

kadar kotinin saliva. Penelitian yang dilakukan di Malaysia terhadap 61 pria

perokok menilai hubungan pemeriksaan saliva dengan hasil kuisioner FNDT.

Penilaian kadar kotinin biokimia saliva dengan teknik SOS (Saliva Bio Oral

Swab) menunjukkan sensitivitas sebesar 0,15 ng/ml. Penelitian ini berhasil

membuktikan korelasi yang bermakna antara FNDT dengan kadar kotinin saliva

(Zulkifley et al, 2017).


18

Tabel 2. 3
The Fagerstorm Test for Nicotine Dependence

No PERTANYAAN JAWABAN SKOR

1 Berapa cepat anda merokok setelah bangun < 5 menit 3

tidur? 6-30 menit 2

31-60 menit 1

>60 menit 0

2 Apakah anda merasa sulit menahan diri YA 1

untuk tidak merokok ditempat yang dilarang TIDAK 0

merokok?

3 Rokok yang paling tidak dapat anda tinggalkan ? Pertama pagi 1

hari

Di waktu lain 0

4 Berapa batang rokok yang dihisap setiap hari? < 10 0

11 – 20 1

21 – 30 2

> 31 3

5 Apakah anda merokok lebih sering/banyak di YA 1

pagi hari

setelah bangun tidur atau di waktu yang lain TIDAK 0

6 Apakah anda tetap merokok walaupun YA 1

dalam keadaan sakit terbaring di tempat tidur? TIDAK 0

TOTAL

Sumber : (Kah et al, 2011)


19

Hasil FNDT menunjukkan tingkat ketergantungan terhadap nikotin. Dari 6

pertanyaan yang masing-masing jawaban diberi skor. Bila skor 0-2 maka

dinyatakan sangat rendah (tidak ketergantungan nikotin ), skor 3-4 rendah, skor 5

medium, skor 6-7 tinggi dan skor 8-10 sangat tinggi ketergantungannya terhadap

nikotin (Kah et al, 2011).

Pada penelitian ini digunakan FNDT untuk menentukan kriteria perokok

berat dalam sampel penelitian.

2.3. Rokok Sebagai Radikal Bebas

Menjadi tua melalui proses penuaan disebabkan oleh banyak faktor yaitu

faktor internal dan eksternal. Faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang

berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun

dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak

sehat, kebiasaan hidup yang salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan

(Pangkahila, 2011).

Teori proses penuaan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori “pakai dan

rusak” dan teori program. Teori “pakai rusak” meliputi kerusakan DNA,

glikosilasi dan radikal bebas. Teori program meliputi teori terbatasnya replikasi

sel, proses imun dan teori hormon (Pangkahila, 2011).

Pada teori “pakai rusak” tubuh menua karena penggunaan dan kerusakan

terus menerus. Merokok membuat kerusakan lebih cepat terjadi. Kerusakan pada
20

tingkat molekuler dapat berupa strand breaks, cobalent modification dan atau

chromosomal rearrangements. Kerusakan DNA menumpuk dalam waktu lama,

yang mencapai suatu keadaan dimana basis molekul sebenarnya sudah rusak berat

(Pangkahila, 2011).

Merokok juga mempengaruhi terjadinya proses glikosilasi akibat

meningkatnya kadar gula darah pada perokok karena pengaruh nikotin. Pada

perokok resiko meningkatnya penyakit diabates lebih tinggi, terutama setelah

berhenti merokok (Shamima Akter et al, 2015).

Pengaruh rokok yang paling besar adalah dalam hal radikal bebas.

Pengaruh radikal bebas secara molekuler berupa serangkaian peristiwa yang

menyebabkan oksidasi organik oleh oksigen molekuler, peristiwa ini

mengakibatkan kerusakan fungsi seluler melalui terjadinya mutasi DNAm,

cleavage of DNA dan agregasi biomolekul melalui cross linking reaction. Pada

proses ini terlibat didalamnya adalah oksidan dan radikal bebas juga peran

antioksidan sebagai penghambat kerusakan yang terjadi (Pangkahila, 2011).

Tembakau pada rokok mengandung banyak zat racun, karsinogen dan

bahan kimia mutagenik, juga ditemukan radikal bebas stabil dan tidak stabil dan

ROS (Reactive Oxygen Species) di dalam fase partikel dan gas yang berpotensi

menyebabkan kerusakan oskidatif biologi sel. Banyak data epidemiologi

menunjukkan merokok merupakan faktor ekstrinsik yang utama penyebab

kesakitan kematian. Penelitian yang dilakukan oleh Valvanidis et al mencari

mekanisme oksidatif dan karsinogenik tembakau yang mempunyai efek sinergi

dengan zat lain dalam asap rokok pada sistem respirasi perokok (Valvanidis et

al, 2009).
21

Radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok mainstream (perokok

aktif) terbagi atas fase partikel solid (tar) dan fase gas (gas beracun, volatile

organic compound / VOCs, radikal bebas dan lain-lain). Tar pada rokok

mengandung konsentrasi zat radikal bebas stabil yang sangat tinggi dan

mempunyai waktu paruh yang sangat panjang. Sedangkan pada asap rokok

sidestream (perokok pasif) juga terbagi atas fase solid dan gas, yang mengandung

lebih banyak lagi zat toksik dan karsinogenik (Valvanidis et al, 2009).

. Dengan alat EPR (Electron Paramagnetic Resonance) dan teknik spin-

trapping yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur kadar radikal bebas

dalam tar, unstable superoxide anion (O2•−) dan radikal hydroxyl (HO•) dalam

asap rokok menunjukkan sistem radikal semiquinone berpotensi dalam

rangkaian peristiwa oksidasi dalam tubuh. Pada penelitian selanjutnya

dibuktikan bahwa larutan aqueous cigarette tar (ACT) dapat mencetuskan

perubahan DNA nukelotida, particularly the mutagenic 8-hydroxy-2’-

deoxyguanosine biomarker karsinogenik). Pada penelitian itu pula ditemukan

dengan digunakannya filter pada rokok tidak mengurangi kandungan radikal

bebas pada fase partikel maupun gas rokok (Dellinger et all, 2011).

Asap rokok berukuran sekitar 1010 partikel/mL, mengandung kaya akan

material polimer karbon dengan logam berat, PAH (polycyclic aromatic

hydrocarbons), aza-arenes, N-nitrosamin dan zat kima organik lainnya. Asap

rokok mengandung sedikitnya 3500 kandungan zat kima dan sebagian besar

adalah toksik, karsinogenik dan mutagen (benzene, 2-napthylamine, 210Po, 226


Ra,
228
ra, nikel, cadmium, benzo-apyrene dll). Sedikitnya 55 zat karsinogenik yang

terdapat dalam asap rokok diteliti oleh the International Agency for Reasearch on
22

Cancer (IARC) dan terbukti sebagai zat karsinogenik berbahaya (Valvanidis et al,

2009).

Mekanisme biokimia aksi karsinogenik oleh konstituen asap rokok dan

kerusakan oksidatif dalam DNA seluler oleh ROS telah diobservasi dengan teknik

yang sangat sensitif. Dalam dua dekade terakhir banyak sekali penelitian yang

menemukan karsinogenesis dan stres oksidatif adalah faktor utama dalam

mekanisme radikal bebas pada asap rokok. Penemuan penting oleh Pryor et al

mengungkapkan bahwa tar pada rokok mengandung konsentrasi yang sangat

tinggi radikal bebas stabil, yang diidentifikasi sebagai semikuinon (QH*) dan

carbon-centered radicals (-C*) oleh alat EPR ( Electron Parametric Resonance).

Yang terpenting dalam penemuan ini adalah sistem

quinone/semiquinon/hydroquinone (Q/QH*/QH2) dalam matriks polimer tar.

Radikal bebas stabil yang diidentifikasi sebagai radikal o- dan p-

benzosemiquinone dan menjadi penyebab proses terjadinya kerusakan DNA,

melalui formasi HO* yang terdeteksi dengan teknik spin trapping EPR .

Mekanisme yang mengikuti adalah radikal QH* tereduksi O2 kedalam radikal

O22* yang didismutase kedalam bentuk H2O2 , kemudian bersama Fe2+ (rokok

mengandung banyak sekali zat besi) dapat bergenerasi melali reaksi oksidasi

Fenton menjadi radikal hidroksil (Valvanidis et al, 2009).

Tar dapat menghasilkan ekstrak H2O2 dalam jumlah yang sangat besar

dan oksidan dalam tar dan fase-gas membantu pelepasan zat besi dari enzim

endogen feritin dan mengubah metabolisme besi dalam paru-paru. Oksidan dan

radikal bebas dalam asap rokok memiliki potensi menimbulkan peroksidasi lipid

pada membrane seluler lipid, yang mencetuskan terjadinya aterosklerosis,


23

disfungsi endotel dan keadaan klinik akut, meningkatkan resiko penyakit

kardiovaskuler. ROS dalam rokok pada fase gas menghancurkan antioksidan

seluler endogen (vitamin dan antioksidan enzimatik) sehingga menurunkan

pertahanan antioksidan seluler. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vitamin-

vitamin antioksidan sangat rendah pada perokok sehingga menyebabkan stres

oksidatif yang sistemik, sementara konsumsi suplemen-suplemen antioksidan

hanya memberikan perlindungan terbatas (Valvanidis et al, 2009).

2.3.1. Karbonmonoksida

Karbonmonoksida diproduksi secara endogen dari hasil katabolisme rantai

pyrrole yang berasal dari hemoglobin, siktokrom dan pigmen lain pembawa

hemoglobin. Katabolisme Haem terbesar berasal dari produksi karbonmonoksida

endogen. Kadar karbonmonokisda endogen pada pria diperkirakan 0,1-1,0%.

Katabolisme Haem adalah sumber utama produksi karbonmonoksida endogen

(gambar 2.4). Pada anemia hemolitik dapat ditemukan karbonmonoksida endogen

yang meningkat, namun pada pemakaian obat-obat tertentu mencetuskan sitokrom

hati menjadi sumber utama karbonmonoksida endogen, atau pada porfiria

cutaneous tarda. Pada penyakit hematologi lainnya, sunsum tulang belakang

dapat juga menjadi sumber pembentukan karbonmonoksida (Sen, 2010).


24

Gambar 2. 4
Siklus Katalisa Karbonmonoksida

Sumber : Sen, 2010

Kadar karbonmonoksida dalam asap rokok secara ilmiah terbukti sangat

tinggi mencapai 0,5-5% v/v lebih tinggi dibanding karbonmonoksida yang

dihasilkan asap mobil. Kadar ini dapat mematikan bila secara terus menerus

dihisap selama 30 menit. Ikatan karbonmonoksida dengan haemoglobin darah

sangat kuat, pada perokok sekitar 2-5% haemoglobin darah berikatan dengan

karbonmonoksida dan menghalangi ikatannya dengan oksigen (Sen, 2010).

Sistem respirasi dan kardiovaskuler menjaga asupan oksigen yang adekuat

bagi metabolisme jaringan dengan menjamin transportasi oksigen dari atmosfer ke

dalam jaringan tubuh. Saat sejumlah kecil oksigen larut dalam plasma, sebagian

besar akan terikat reversibel dengan sel darah merah. Karbonmonoksida sebagai

salah satu zat kimia yang bersaing dengan oksigen untuk berikatan dengan

molekul hemoglobin. Afinitas hemoglobin dengan karbonmonoksida 200-250 kali

lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen, masalah utamanya adalah disosiasi


25

karbonmonoksida sangat lambat karena ikatan karbonmonoksida terhadap

hemoglobin sangat kuat, waktu paruhnya antara 3-4 jam. Sebagai konsekuensinya,

karbonmonoksida akan mengurangi jumlah total ikatan oksigen. Seiring dengan

naiknya kadar karboksihemoglobin, kurva oksihemoglobin akan perlahan-lahan

mengambil kurva oksigen disosiasi dari myoglobin (Kendrick, 2010).

Jumlah karbonmonoksida dan oksigen yang dihirup, ventilasi alveolar dan

jalur difusi, akan menentukan berapa jumlah karbonmonoksida yang akan

dilepaskan dari paru-paru. Usia mempengaruhi kualitas sawar ini, semakin tua

akan semakin tebal dan akan mengurangi pertukaran gas pada membran. Ada

penurunan bifasik pada kadar karboksihemoglobin pembuluh darah arteri. Pada

awalnya terjadi penurunan eksponensial cepat (fase distribusi), terjadi sekitar 20-

30 menit. Ini mungkin berhubungan dengan distribusi karbonmonoksida (CO) dari

peredaran darah limpa, myoglobin, dan enzim sitokrom. Selama fase ini

karbonmonoksida akan dieleminasi dari paru-paru. Setelah fase distribusi selesai,

diikuti penurunan lebih lambat secara linear (fase eleminasi) pada

karboksihemoglobin (COHb), tercermin pada terlepasnya karbonmonoksida dari

hemoglobin dan myoglobin, difusi dan ventilasi pernafasan, juga penurunan

tekanan karbonmonoksida parsial secara bersamaan. Secara singkat dapat

dijelaskan bahwa pelepasan karbonmonoksida akan terjadi sangat cepat pada

awalnya, kemudian akan melambat, dan makin rendah kadar karboksihemoglobin

maka kecepatan eleminasinya akan melambat (Kendrick, 2010).


26

Gambar 2. 5
Komponen asap rokok

Sumber : Repine J. et al., Am J. Respire Crit Care Med. 1997;156:341-57

Fase gas asap rokok termasuk karbonmonoksida menghasilkan jumlah

yang sangat besar radikal bebas (diperkirakan 1x1015 radikal per hisapan) . Nitric

oxide (NO*) adalah salah satu radikal bebas yang terpenting dikarenakan

perannya dalam berbagai efek fisiologis (neurotransmioter, modulator tekanan

darah), namun juga memiliki sifat yang sangat toksik jika ditemukan dalam

jumlah berlebihan. NO* bereaksi sangat cepat dengan O2* untuk membentuk

peroksinitrit (O-NNOO-), yang dikenal sebagai sangat toksik dan melalui reaksi

biomolekuler oksidatifnya (contoh 3-nitrotyrosine). NO berperan dalam proses

karsinogenesis dan pertumbuhan tumor (Valvanidis et al, 2009).


27

Gambar 2. 6
Patofisiologi Toksisitas Karbonmonoksida

Sumber : Kao et all, Clin Lab Med 26 (2006) 99–125

Pada keracunan karbonmonoksida terjadi peningkatan Nitric Oxide ( NO*)

yang menyebabkan stres oksidatif seperti tampak pada gambar 2.6. Kombinasi

dari hipoksia akibat ikatan hemoglobin dengan karbonmonoksida dan efek radikal

bebas dari NO* menyebabkan lipid peroksidase di otak (DNS / Delayed

Neurologic Syndrome).
28

Toksisitas karbonmonoksida berhubungan dengan status oksidan

seseorang. Efek patofisiologisnya adalah ikatan hemoglobin, toksisitas selular

secara langsung, heme-containing protein bindings dan meningkatnya oksidan

seperti NO* ( Nitric Oxide ). Stres oksidatif yang disebabkan efek toksik

karbonmonoksida menyebabkan ketidakseimbangan antara oksidan dan

antioksidan dalam tubuh dibuktikan dengan parameter menurunnya kadar PON

(serum paraoxonase), ARYL (arylesterase), Cp (ceruloplasmin) dan (-SH)

sulfhydril. Pemberian antioksidan dapat memperbaiki keadaan ini (Zengin et al,

2014).

Asap rokok sebagai faktor resiko utama penyebab COPD (Chronic

Obstructive Pulmonary Desase) mengandung plethora dari reactive

Oxygen/Nitrogen Species (ROS/RNS) yang ikut berperan dalam terjadinya

ketidakseimbangan oksidan / antioksidan di saluran nafas perokok (tabel 2.4).

(Pandey et al, 2013).

Tabel 2. 4
Kandungan Radikal Bebas Asap Rokok

Sumber : (Pandey et al, 2013)


29

Hubungan antara asap rokok dan Oxidative/Nitrosative Stress

digambarkan pada gambar 2.7 berikut.

Gambar 2. 7
Hubungan ROS: Reactive Oxygen Species; RNS: Reactive Nitrogen Species; ADS:
Antioxidant defense system

Sumber (Pandey et al, 2013)

Radikal bebas pada asap rokok melalui berbagai proses inflamasi

menyebabkan kerusakan sel paru-paru pada kasus COPD. Pada Ilmu Kedokteran

saat ini semakin banyak terapi yang dikembangkan untuk memperbaiki

ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang menyebabkan penyakit.

Pemberian antioksidan salah satu tindakan ajuvan selain pengobatan konvesional

dengan tujuan memperbaiki kondisi ketidakseimbangan ini, protease /

antiprotease khususnya pada kasus COPD (Pandey et al, 2013).


30

2.3.2. Karboksihemoglobin sebagai biomarker pada status merokok

Paparan karbonmonoksida lingkungan biasanya kurang dari 0,001%, atau

10 ppm, tetapi mungkin lebih tinggi di daerah perkotaan. Jumlah

karbonmonoksida yang diserap oleh tubuh tergantung pada ventilasi, durasi

paparan, dan konsentrasi karbonmonoksida dan oksigen di lingkungan. Setelah

memasak dengan kompor gas, konsentrasi karbonmonoksida udara dalam ruangan

bisa mencapai 100 ppm. Perokok aktif dihadapkan pada sekitar 400 hingga 500

ppm CO. Knalpot mobil mungkin mengandung sebanyak 10% (100.000 ppm)

karbonmonoksida. Paparan hingga 70 ppm dapat menyebabkan

karboksihemoglobin (CO-Hb) tingkat 10% pada kesetimbangan (sekitar 4 jam),

dan paparan 350 ppm dapat menyebabkan tingkat CO-Hb sebesar 40% pada

kesetimbangan. Badan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Amerika menentukan

batas yang diperbolehkan untuk paparan karbonmonoksida di pekerja adalah 50

ppm rata-rata lebih dari 8 jam hari kerja (Kendrick, 2010).

Jumlah karbonmonoksida yang masuk ke dalam alveoli tergantung dari

jenis rokok yang dihisap, pola merokok, dan kedalaman inhalasi.

karbonmonoksida dalam jumlah sangat kecil akan terabsorbsi dalam mulut dan

laring (5%), maka bila terjadi peningkatan karboksihemoglobin (COHb) maka

pasti berarti karbonmonoksida telah mencapai alveoli dan berdifusi melintasi

membran alveolar-kapiler untuk bergabung dengan hemoglobin

(karboksihemoglobin) (Kendrick, 2010).


31

Konsentrasi karboksihemoglobin pada perokok aktif (mainstream) adalah

4% (v/v). Diperkirakan bahwa perokok mungkin terpapar karbonmonoksida

dengan konsentrasi 460-575 mg.m-3 (400-500 ppm) untuk menghabiskan 1

batang rokok selama 6 menit dan waktu paruh yang dibutuhkan untuk

mengeleminasi karbonmonoksida pada perokok adalah 4,5 – 5 jam (Kendrick,

2010).

Dalhamn et al meneliti bahwa perokok tergantung dari jumlah rokok,

merk rokok, menunjukkan kadar karboksihemoglobin 2 - >15% (10->80 ppm

karbonmonoksida). Perokok berat yang menghisap 20 batang per hari

menunjukkan kadar karboksihemoglobin 3-6% (15-34 ppm karbonmonoksida),

dan meningkat menjadi 6-10% (15-60 ppm karbonmonoksida) untuk perokok

yang menghisap 40 batang sehari. Pada perokok yang menghisap lebih dari 40

batang sehari kadar karboksihemoglobin yang terukur diatas 20% (Kendrick,

2010).

Parameter untuk mengukur keberhasilan program berhenti merokok antara

lain thiocyanatem nikotin, kotinin dan ppm karbonmonoksida / %

karboksihemoglobin , tergantung biaya dan kemampuan pasien. Parameter terbaik

adalah dengan mengukur kadar nikotin darah, lebih akurat karena spesifik

terhadap rokok, namun tentu biayanya mahal. Kadar thocyanate dan

karbonmonoksida lebih mudah diukur, namun kadarnya juga akan meningkat

pada penyakit lain seperti keracunan asap emisi. Beberapa penelitian

membandingkan test yang dipakai walaupun hanya satu yang menggunakan udara

ekspirasi. Pada penelitian ini dipakai batas 10 ppm untuk membedakan antara

perokok dan bukan perokok. Sensitifitas pada perokok 84% dan 88% perokok
32

sigaret, dan 84% bukan perokok. Sensitivitas ini dibandingkan dengan

pengukuran kadar kotinin, yaitu 95% pada semua perokok, 98% perokok sigaret

dan 83% untuk bukan perokok (Kendrick, 2010).

Pengukuran kadar karbonmonoksida yang ditiup adalah sangat mudah,

sederhana dan terjangkau dengan metode non invasive untuk mendapatkan hasil

yang segera dan reliable. Sampai saat ini belum ada kesepakatan batas kadar

karbonmonoksida ekspirasi yang menentukan perokok dan bukan perokok.

Sebagian penulis menyarankan bila kadar dibawah 6 ppm maka dinyatakan bukan

perokok, penulis lain menggunakan batas 8 – 10 ppm. Namun sebagai catatan

bahwa pada pasien asma dan COPD (Chronic Obstructive Pumloner Desaese)

kadar 10-11 ppm digunakan untuk menentukan ada tidaknya proses inflamasi di

saluran nafas. Pada penelitian lain untuk keperluan militer dipakai batasan 5 ppm.

Studi Javors dkk menyarankan batasan yang dipakai adalah 8 ppm dan kadar

rendah 2-3 ppm untuk identifikasi maksimal bebas rokok. Pada penelitian lain

oleh Chatkin dkk menggunakan batas ≥5 ppm CO dengan rasio 0,06 (Kendrick,

2010).

2.3.3. Smokerlyzer

Alat yang digunakan untuk mengukur kadar karboksihemoglobin ( COHb)

adalah Smokerlyzer monitor karbonmonoksida (CO) ekshalasi. Subyek diminta

untuk menahan nafas 20 detik kemudian meghembuskan nafasnya ke dalam

monitor. Jumlah karbonmonoksida dalam “udara akhir ekspirasi” (setelah 20

detik) mendekati angka konsentrasi karbonmonoksida dalam darah (COHb).


33

Dalam beberapa detik alat pembaca digital akan menunjukkan kadar

karbonmonoksida dalam darah subyek (Goldstein et al, 2018).

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran kadar

karbonmonoksida diteliti oleh Iim Rahmania dkk di RS Persahabatan Departemen

Pulmonolgi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Jakarta tahun 2013 menunjukkan

kadar karbonmonoksida ekspirasi pada kelompok perokok berbeda signifikan

dengan kadar karbonmonoksida ekspirasi bukan perokok yaitu sebesar 22 ± 4,48

ppm pada perokok lebih tinggi dibandingkan dengan bukan perokok sebesar 5,83

± 1,82 ppm ( Inayatillah et al, 2014).

Untuk menentukan faktor mana yang paling berpengaruh terhadap kadar

karboksihemoglobin pada perokok maka dilakukan analisis multivariat terhadap

faktor-faktor jenis kelamin, pola hisapan, jumlah rokok/ per hari, derajat adiksi

dan packyears. Hasil analisis didapat ada korelasi bermakna antara jenis kelamin

dan kadar karboksihemoglobin. Pada pria didapat kadar karboksihemoglobin yang

lebih tinggi dikarenakan waktu paruh karbonmonoksida pada perempuan lebih

cepat dihubungkan dengan kadar hemoglobin (Hb) wanita lebih rendah daripada

pria. Korelasi bermakna lain yang ditemukan adalah dengan packyears, pekerjaan,

pola hisapan dan jumlah rokok harian ( Inayatillah et al, 2014).

Pada penelitian yang sama tidak ditemukan korelasi bermakna antara

kadar karboksihemoglobin pada perokok kretek dan putih ternyata tidak berbeda

bermakna dihubungkan dengan proses scavenging (redistribusi) dan oksidasi yang

terjadi saat ekspirasi. Faktor lingkungan tempat tinggal dan tingkat adiksi tidak

ditemukan korelasi yang bermakna dengan kadar karboksihemoglobin (

Inayatillah et al, 2014).


34

2.3.4. Titik Potong (cut off point)

Hasil analisis Inayatillah et al menggunakan kurva ROC mendapatkan

kadar karbonmonoksida ekspirasi sebesar 8 ppm sebagai nilai titik potong untuk

mengetahui status merokok pada seseorang dengan sensitivitas sebesar 91% dan

spesifisitas sebesar 90%. Kadar karbonmonoksida ekspirasi ≤ 8 ppm adalah kadar

karbonmonoksida ekspirasi untuk kriteria bukan perokok sedangkan kadar

karbonmonoksida ekspirasi > 8 ppm adalah kadar karbonmonoksida ekspirasi

untuk kriteria perokok. Angka ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Jarvis et al tahun 1986. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam buku

pedoman berhenti merokok menetapkan batasan ≤ 4 ppm untuk kriteria bukan

perokok dan batasan ≥ 10 ppm untuk kriteria perokok ( Inayatillah et al, 2014).

Penelitian Cunnington et al mendapatkan kadar karbonmonoksida

ekspirasi sebesar 6 ppm sebagai nilai titik potong untuk membedakan kriteria

perokok dan bukan perokok. Kadar karbonmonoksida ekspirasi lebih dari 6 ppm

meningkatkan resiko keracunan karbonmonoksida, walaupun kadar dibawah 6

ppm belum tentu terhindar dari resiko tersebut (Cunnington et al, 2018).

Pada penelitian ini dipakai smokerlyzer sebagai biomarker mengukur

kadar karboksihemoglobin perokok berat. Bedfont mengeluarkan beberapa varian

alat smokerlyzer diantaranya tipe PICO. Goldstein membandingkan beberapa

merk smokerlyzer yang beredar di pasaran. Perbedaan harga dan fitur serta akurasi

data sangat bervariasi. Smokerlyzer adalah alat ukur yang terjangkau, tidak
35

invasif, dapat dibawa dengan mudah, dan menjadi motivator perokok dalam

program berhenti merokok (Goldstein et al, 2018).

Bedfont® Scientific Ltd atau Bedfont® Technical Instruments Ltd.,

didirikan tahun 1976 oleh Dr John Marron. Trevor dan Jason Smith menemukan

banyak alat yang berhubungan dengan kimia gas industri, namun berkembang

menjadi pelopor alat analisis pernafasan untuk penggunaan medis. Perusahaan ini

berada di kota Harrietsham Eropa dan telah mendapatkan BS ISO 13485 dan

ISO9001. Bedfont mengeluarkan alat analisis pernafasan bernama Smokerlyzer

PICO, BabyPICO, Micro yang digunakan untuk alat monitor pada program

berhenti merokok, ToxCO untuk alat emergensi keracunan karbonmonoksida.

Pada penelitian ini yang dipakai adalah tipe PICO Advance (gambar 2.9)

(Bedfont Manual Book , 2018).

.
36

Gambar 2. 8
Smokerlyzer PICO Bedfont

Sumber : (Bedfont Manual Book , 2018)

Cara penggunaannya adalah dengan meminta perokok mengambil nafas

dalam dan menahannya selama 15 detik (ditunjukkan dengan timer pada monitor)

kemudian meniupkan perlahan hingga ekspirasi akhir. Hasil kadar

karbonmonoksida ekspirasi berupa angka dalam satuan ppm dan konversi dalam

% untuk kadar karboksihemoglobin (gambar 2.10) (Bedfont Manual Book ,

2018).
37

Mendapatkan hasil pembacaan di zona


ini mengindikasikan anda adalah
Perokok Aktif denagn kadar CO yang
sangat tinggi di dalam darah anda

Zona ini mengindikasikan anda adalah


Perokok Ringan atau Perokook Pasif
atau seorang non – perokok yang
terkspos asap rokok karena lingkungan

Di Zona ini seharusnya anda berada, ini


artinya hanya terdapat kurang dari 1 %
CO di dalam darah anda.

Gambar 2. 9
Kadar Karbonmonoksida pada pengukuran Smokerlyzer PICO

Sumber : Smokerlyzer PICO manual book


38

2.4. Terapi Berhenti Merokok

Terapi berhenti merokok terdiri dari farmakologik dan non-farmakologik.

Terapi Non Farmakologis berupa Nasihat Singkat, Multi-Session Support,

hypnoterapi. Dan Terapi Farmakologis yaitu menggunakan Nicotine replacement

therapy (NRT), Long acting1-3, Nicotine Patch, Gum, Inhaler, Nasal spray,

Sublingual tablets/lozenges, Antidepressants4, Bupropion SR4, Varenicline, dan

vaksin nikotin ( Ball S et al, 2015).

Langkah terbaik untuk mengurangi tingginya jumlah perokok adalah

dengan pencegahan dan deteksi dini, dan harus didukung oleh pemerintah. Dari

70% orang yang ingin berhenti merokok, faktanya hanya 5 - 10 % yang dapat

melakukannya tanpa bantuan. Tingkat intervensi yang dilakukan saat terapi

berhenti merokok bervariasi tergantung jumlah, frekuensi dan intensitas

pemakaian rokok / nikotin. Untuk tingkat ketergantungan ringan menunjukkan

hasil yang baik dengan memilih tanggal mulai berhenti merokok, berhenti

menggunakan rokok, fasilitas konseling. Bagi penderita adiksi berat

membutuhkan jenis terapi lain seperti nicotine replacement therapy (nicotine

patch, permen karet, permen hisap, inhaler atau nasal spray) atau mendapatkan

pengobatan terapeutik (bupropion, varenicline). Untuk penderita adiksi sangat

berat, merokok dalam jangka waktu sangat lama lebih membutuhkan konseling

lebih intensif dengan kombinasi terapi farmaseutikal ( Ball S et al, 2015).

Varenicline merupakan terapi berhenti merokok terbaru yang bekerja

dengan cara menghambat ikatan nikotin dengan reseptornya, sehingga nikotin


39

tidak dapat berikatan dengan reseptor dan para perokok akan kehilangan rasa

nikmat akibat merokok pada saat menggunakan varenicline. Fagerstorm

membuktikan efek varenicline membantu berhenti merokok 3 kali lebih kuat

dibanding plasebo (Fagerstorm , 2012).

Pemberian antioksidan pada perokok sudah banyak diteliti dan

memberikan hasil bermakna untuk mengurangi kerusakan sel akibat oksidatif

stres dan aktifitas radikal bebas lainnya. Pada pengobatan tradisional Ayurweda

salah satunya digunakan Ashwagandha untuk mengurangi efek negatif dari rokok

(Semwal et al, 2015).

2.5. Antioksidan

Antioksidan dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat

memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Oksidasi adalah suatu reaksi kimia

dimana terjadi pengurangan elektron dari atom atau grup atom. Dalam pengertian

kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, tetapi dalam arti

biologis pengertian antioksidan lebih luas lagi, yaitu semua senyawa yang dapat

meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein

pengikat logam (Pangkahila, 2007).

Berdasarkan mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan

dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu antioksidan endogen yang berfungsi

mencegah terbentuknya radikal hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya

bagi tubuh dan antioksidan eksogen pemutus rantai. Yang termasuk kedalam

antioksidan endogen pencegah adalah Super Oxide Dismutase (SOD) yang ada di
40

dalam tubuh manusia, yaitu yang berada di mitokondria (Mn SOD) dan di

sitoplasma (Cu,Zn, SOD), Katalase (Catalase) dalam sitoplasma, dapat

mengkatalisir H2O2 menjadi H2O dan O2.. Komponen katalase adalah Fe dan

bermacam-macam enzim peroksidase, seperti glutation peroksidase yang dapat

meredam H2O2 menjadi H2O melalui sistem siklus redoks glutation. Senyawa

yang mengandung gugusan sulfhidril (glutation, sistein, kaptopril) dapat

mencegah timbunan radikal hidroksil dengan mengkatalisir menjadi H2O (Nimse

et al, 2015).

Sedangkan antioksidan pemutus rantai adalah zat yang dapat memutuskan

rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak pada membran sel untuk

mencegah peroksidasi lemak. Antioksidan pemutus rantai dapat digolongkan

menjadi golongan antioksidan eksogen, contohnya adalah vitamin C, vitamin E

dan betakaroten (Nimse et al, 2015).

Asap rokok yang mengandung banyak sekali radikal bebas, mempengaruhi

keseimbangan antioksidan tubuh terutama pada rongga mulut yang merupakan

pintu masuk pertama saat menghisap rokok. Saliva didalam rongga mulut

mengandung antioksidan endogen yang bersifat sebagai barrier pertahanan tubuh

terhadap radikal bebas. Antioksidan yang terdapat dalam saliva antara lain SOD,

Glutation peroksidase, vitamin C, vitamin E dan lain-lain (Nimse et al, 2015).

Antioksidan yang terdapat pada saliva tersebut pada dasarnya untuk

mencegah penimbunan ion superoksida (O2*) oleh enzim Superoksida dismutase

(SOD) yang mengkatalis reaksi dismutase ion peroksida (O2), sedangkan

penimbunan H2O2 dicegah oleh aktifitas 2 jenis enzim yaitu: katalase yang

mengkatalisis reaksi dismutasi H2O2 dan peroksidase. Diantara berbagai


41

peroksidase, yang paling penting adalah glutathion peroksidase, dan apabila

radikal hidroksil (OH) masih terbentuk, masih dapat diredam dengan melibatkan

senyawa-senyawa yang mengandung gugusan SH, seperti GSH dan sistein (cys-

SH). Sedangkan vitamin E, vitamin C, karoten, GSH dan sistein merupakan

antioksidan pemutus rantai yang mencegah reaksi rantai berlanjut. Tingginya

kandungan radikal bebas pada asap rokok dan bahan-bahan toksik lainnya

bereaksi dengan gugus thiol dan sulfidril yang menyebabkan perubahan struktur

dan fungsi molekul. Sehingga terjadi berbagai kelainan di rongga mulut akibat

stres oksidatif yang terjadi tersebut (Nimse et al, 2015).

Gordon et al tahun 1989 membuktikan adanya deplesi vitamin C pada

perokok yang menghisap lebih dari 20 batang sehari. Dengan memberikan

suplemantasi Vitamin C akan meningkatkan kadar serum vitamin C dengan

siginifan, demikian juga pada perokok yang sedang mengurangi / berhenti

merokok. Peneliti di Linus Pauling Institute Universitas Oregon mengemukakan

bahwa dengan konsumsi 1000 mg vitamin C per hari akan membantu melindungi

fungsi vitamin E. Vitamin C dapat mengurangi kehilangan vitamin E sebanyak

45% akibat merokok. Vitamin E bertindak sebagai antioksidan protektif terhadap

radikal bebas yang tinggi dalam tubuh perokok. Konsumsi vitamin E dan C dalam

program berhenti merokok akan membantu tubuh memperbaiki sistem imunitas

dan melawan kerusakan yang telah ada akibat pengaruh nikotin. The Institute of

Medicine, Food and Nutrition Board USA, NICUS tahun 2005 menetapkan

formula Dietary Reference Intakes (DRIs) dosis vitamin C yang baik dikonsumsi

perokok adalah of 35mg/hari (ODS, 2018).


42

Vitamin lain yang berkurang kadarnya akibat merokok adalah vitamin A,

yang pada keadaan normal berfungsi melindungi paru-paru dari infeksi. Konsumsi

vitamin A akan melindungi paru dari resiko terjadinya kanker, namun peneltian

terus dilakukan berapa besar perlindungan itu terjadi. Menurut American Cancer

Society perokok berat dengan kadar serum vitamin A rendah akan beresiko 3 kali

lebih besar untuk menderita kanker dibandingkan perokok berat dengan kadar

serum vitamin A normal. Rekomendasi dosis vitamin A pada dewasa adalah 700

sampai 900 micrograms. Suplementasi dalam bentuk beta-carotene, retinyl

palmitate atau retinyl acetate dapat ditoleransi hingga 3,000 IU (Livestrong, 2018)

Stres merupakan faktor penting pada fase withdrawal nikotin, seiring

dengan keinginan merokok masih sangat kuat namun kadar nikotin dalam tubuh

berangsur hilang. Vitamin B5 membantu tubuh mengeluarkan hormon stres

sehingga sering disebut sebagai vitamin anti stres, walaupun masih dalam

penelitian bagaimana vitamin B 5 dapat digunakan sebagai obat untuk terapi stres.

Vitamin B5 membantu mengurangi keluhan-keluhan yang terjadi saat withdrawal

nikotin, defisiensi vitamin ini akan menyebabkan insomnia, depresi, iritabel, dan

infeksi saluran nafas atas (ODS, 2018).

Telah diketahui bahwa antioksidan juga bisa didapat dari tanaman herbal

yang kaya akan kandungan antioksidan eksogen seperti asam fenolik, flavonoid

dan katekin.
43

2.6. Ashwagandha

Withania somnifera, dikenal dengan nama Ashwagandha, Indian

ginseng, poison gooseberry, atau winter cherry, adalah tanaman dari kingdom

Plantae, famili Solanaceae atau nightshade. Tanaman Ashwagandha rendah,

tumbuh setinggi 35-75cm. Daun hijau, tumpul, elips dan panjang sekitar 10-12

cm. Bunganya kecil, hijau dan berbentuk seperti bel. Buahnya berwarna oranye

(gambar 2.11). Somnifera bermakna “sleep-inducing”, Asvha berarti kuda, dan

gandha berarti berbau, menggambarkan akarnya yang beraroma kuat seperti kuda.

Tumbuh di berbagai daerah India seperti Mandsaour district di Mandhya Pradesh,

Punjab, Sindh, Gujarat, Kerala dan Rajasthan. Juga dapat ditemukan di Nepal,

China dan Yaman (Wikipedia, 2012).

Gambar 2. 10
Daun dan Akar Ashwagandha

Sumber : (Wikipedia, 2012)

2.6.1. Kimia Ashwagandha

Konstituen utama dari W. somniferaare adalah withanolides, yang

merupakan bentuk natural steroid lakton C28 dengan ergostane-based skeleton.


44

Konstituen aktif utama adalah alkaloid dan steroidlakton. Ini termasuk tropine dan

cuscohygrine. Daun Ashwagandha mengandung lakton steroid, withanolides,

terutama withaferin A, yang merupakan withanolide pertama yang diisolasi dari

W.somnifera oleh Lavie et al pada tahun 1965. Withanolides adalah fitokonstituen

oksidan tinggi (Choudhary et al., 2013).

Grup Gunatilaka et al melaporkan profil sintesa dan sitotoksik withaferin-

A, mereka berhasil mensintesa 36 analog dengan variasi kimia masing-masing

dibandingkan sifat sitotoksik dan sitoproktektif yang terkandung dalam

withaferin-A (Wijeratne et al., 2014).

Ashwagandha (terutama dalam akar) mengandung zat aktif sebagai berikut

(Chatterjee S et al, 2010):

 Steroid lakton Withanone (berat kering akar 5.54+/-0.4mg/g dan 18.42+/-

0.8mg/g daun]), 27-deoxywithanone (1.63+/-0.2mg/g dalam daun dan 3.94+/-

0.4mg/g dalam akar ), and 27-hydroxywithanone (0.50+/-0.1mg/g berat kering

daun dan akar )

 5,6-epoxy steroidal lactones Withaferin A](22.31+/-1mg/g berat kering daun

dan 0.92+/-0.4mg/g dalam akar) dan 17-hydroxy-27-deoxy-Withaferin A

(3.61+/-0.5mg/g berat kering daun dan 0.66+/-0.2mg/g akar)

 Serial Withanolide 6,7-epoxy steroidal lactones terbanyak ditemukan pada

Withanolide A (akar 3.88+/-0.7mg/g, daun 2.11+/-0.5mg/g) namun pada

Withanolide B-D jugaterdapat varian seperti 27-hydroxy Withanolide B

(0.55+/-0.2mg/g akar dan 2.78+/-0.5mg/g berat kering daun)


45

 Serial steroid lakton Withanoside terutama Withanoside IV (0.44+/-0.1mg/g

berat kering dalam akar dan 1.60+/-0.2 dalam daun) dan Withanoside VI

(1.90+/-0.2mg/g dalam daun dan 3.74+/-0.2mg/g dalam akar)

 Varian Diepoxy dari withanolides seperti 5β,6β,14α,15α-diepoxy-4β,27-

dihydroxy-1-oxowitha-2,24-dienolide

 Varian Chloronated withanolide seperti 27-acetoxy-4β,6α-dihydroxy-5β-

chloro-1-oxowitha-2,24-dienolide dan Withanolide Z

 Withanolide glycosides,yang biasa disebut Sitoindosides (atau

glycowithanolides)

 12-deoxywithastromonolide terdapat 2.15+/-0.5mg/g dalam daun dan 1.90+/-

0.5mg/g dalam akar .

 Physagulin (3.46 ± 0.4mg/g dalam akar, tidak terdeteksi dalam akar dengan

varian (4,16-dihydroxy-5β,6β-epoxyphysagulin D) dan glycosides (27-O-β-

d-glucopyranosylphysagulin D)

 Ashwagandhanolide (Withaferin A dimer terikat oleh ikatan gugus sulfur

yang dapat memecah gugus epoxide, atau disebut 'thiowithanolide'), molekul

yang sama namun berikatan dengan gugus sulfoxide disebut Withanolide

sulfoxide

 Viscosa lactone B

 Steroid lakton sulfat

 Kaempferol 0.06mg/g (berat kering buah, tidak ditemukan dalam akar atau

daun)

 Naringenin 0.50mg/g berat kering dalam buah (tidak ditemukan dalam daun

atau akar)
46

 (+)-Catechin 12.82mg/g (dalam akar), 19.48mg/g (buah), dan 28.38mg/g berat

kering dalam daun

 Asam Gallic 0.18mg/g berat kering dalam daun (tidak ditemukan dalam akar

atau buah)

 Phenolic acids seperti Syringic acid (0.30mg/g dalam daun), p-coumaric acid

(0.80mg/g dalam daun), vanillic acid (0.15mg/g berat kering daun), dan

benzoic acid (0.80mg/g dalam daun)

 A 1,4-dioxane derivative (2,5-Dioxo-3-tetratriacont-3′-enyl-1,4-dioxane)

 β-sitosterol dan stigmaterol, sebagai molekul glucoside

 Trigonelline (1.33+/-0.3mg/g dalam daun)

 Palmitic acid dalam daun (3.55+/-0.5mg/g berat kering) dan akar (1.18+/-

0.2mg/g berat kering)

 Oleic acid dalam daun (0.71+/-0.1mg/g) dan akar (0.39+/-0.1mg/g berat

kering)

 Linoleic acid dalam daun (1.52+/-0.2mg/g berat kering) dan daun (1.31+/-

0.2mg/g berat kering)

 Linolenic acid dalam daun (4.38+/-0.5mg/g berat kering) dan akar (0.15+/-

0.1mg/g berat kering)

Juga ditemukan kandungan polisakarida dalam akar (196 mg per 20g

akar kering), terdiri atas 65% gula (52% arabinose, 22% galactose, 18% glucose,

6% rhamnose, dan 2% fucose) dengan 22% protein dan 9% uronic acid. acidic

28kDa glycoprotein juga ditemukan dalam akar Ashwagandha yang memiliki efek

menghambat enzim hyaluronidase (Chatterjee S et al, 2010) .


47

Kandungan Withanolides merupakan konsentrasi tertinggi dalam

famili Solanaceae Withania Somnifera (Ashwagandha). Kandungan fenolik

mencapai 17.8-32.6mg/g berat kering, dibandingkan dengan kandungan flavonoid

15.49-31.58mg/g berat kering ; keduanya ditemukan tertinggi pada daun dan

terendah pada akar (dalam buah ada diantaranya). 80% ekstrak etanol, kandungan

flavonoids dalam akar sekitar 530+/-80mg/100g (quercetin equivalents) dan

520+/-60mg/100g di daun (Chatterjee S et al, 2010).

Kandungan withanolide aktif dalam tiap suplemen tercatat sangat

bervariasi, dikarenakan tidak ada standarisasi bubuk akar.Walaupun standar

ditetapkan dalam satuan persentase, jumlah Withanolide A aktif (sebagai

kandungan utama) dan Withaferin-A adalah 1% berat kering daun Ashwagandha

(Chatterjee S et al, 2010).

50% ekstrak ethanolic akar mengandung Withaferin A (17+/-4mg/100g),

Withanoside VI (24+/-3mg/100g), Withanoside IV (79+/-5mg/100g), physagulin

(103+/-3mg/100g), 27-hydroxywithanone (22+/-2mg/100g), Withanolide A

(1,340+/-6mg/100g), Withanone (315+/-5), 12-deoxywithastramonolide (23+/-

3mg/100g), dan withastramonolide (17+/-2mg/100g)dan tidak terdeteksi

Withanolide D (Chatterjee S et al, 2010).


48

Gambar 2. 11
Withanolides dan derivatnya

Sumber : (Chatterjee S et al, 2010)

2.6.2. Aktifitas Farmakologi Ashwagandha Sebagai Antioksidan

Pada masa dasawarsa terakhir ini begitu banyak penelitian yang

menitikberatkan pada antioksidan. Dari cara kerjanya antioksidan endogen

digolongkan menjadi enzimatik (contoh : selenium, SOD, Katalase, Glutation

peroksidase) dan non enzimatik (contoh : Polifenol , Gallic Acid , Vitamin C dan

E) ( Stahl & Sies, 2003).

Dari studi yang dilakukan mengungkapkan adanya kandungan asam

fenolik, flafonoid dan 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl radical (DPPH) yang di

ekstraksi dari buah, akar dan daun Ashwagandha (WSFEt, WSREt dan WSLEt)

(Alam et al, 2011).


49

Dengan menggunakan metode spektrometri untuk memisahkan flavonoid

dan antioksidan DPPH, dan metode HPLC untuk menentukan profil asam fenolik.

Hasil penelitian tersebut mendeteksi adanya kandungan fenolik dan flavonoid

yang tinggi diseluruh bagian tanaman. Scavenging radikal DPPH juga

menunjukkan aktifitas yang kuat diseluruh bagian tanaman. Delapan polifenol

(gallic, syringic, benzoic, p-coumaric dan asam vanilic juga katekin, kaemferol

dan neringenin) dapat diidentifikasi dengan metode HPLC di seluruh bagian

tanaman. Dari semua polifenol, katekin terdeteksi memiliki konsentrasi tertinggi.

Hasil penelilitan ini membuktikan khasiat Ashwagandha sebagai bahan tanaman

yang berkhasiat sehubungan dengan tingginya kandungan polifenol dan aktivitas

antioksidan terutama katekin (Alam et al, 2011).

Dari analisis fitokima dan evaluasi antioksidan dan free radical

scavenging activity yang dilakukan pada akar Ashwagandha didapat hasil

signifikan aktifitas antioksidan pada radikal bebas Nitric oxide (NO*) walaupun

masih lebih rendah dibandingkan ekstrak curcumin yang digunakan sebagai

pembanding (Chauduri et al, 2012).

Pemberian Ashwagandha oral (ekstrak hydroalcoholic 50 mg/kgBB pada

tikus atau 8 mg/kgBB pada manusia) dalam 1 bulan memberikan efek

kardioprotektif ditunjukkan dengan adanya perbaikan kadar enzim antioksidan

(katalase, SOD, Glutathion peroksidase) lebih tinggi dibandingkan pemberian

vitamin E 100mg/kgBB dan normalisasi lipid peroksidase melalui pemeriksaan

konsentrasi MDA (Gupta et al, 2004).

Dalam pengobatan tradisional India, obat dibuat dalam sediaan cair atau

ekstrak ethanol. Kadar total phenolic dalam Ashwagandha adalah (methanolic)


50

43,77 ± 1.7, aqueous = 42.52 ± 0.8, aktfitas Trolox dengan metode ABTS IC50

value 428.38 ± 1.90 μg /ml, aktifitas Antioksidan total Total Antioxidan dengan

metode ABTS (methanolic) IC50 Value is 28.353 ± 0.269 mg/ml in aqueous

32.547 ± 0.532 mg/ml, Free radical scavenging capacity by DPPH dalam

Ashwagandha (methanolic) IC50 Value 2.9 ± 0.09 mg/ml in aqueous 3.27 ± 0.05

mg/ml. Ashwagandha telah lama dan luas digunakan dalam pengobatan aryuweda

India (Patha et al, 2015).

Kandungan fenolik dari akar Ashwagandha berkontribusi sebagai

antioksidan kuat. Selain itu sebagai antioksidan non – nezimatik Ashwagandha

juga mengandung asam Gallic, epicatekin, rutin hydrate dan quercetin-3-

rhamnoside yang ditemukan dalam ekstrak akar Ashwagandha ( Pal et al, 2012).

Penelitian lain membandingkan efek antioksidan Ashwagandha dengan

selenium dan kombinasi antara kedua antioksidan tersebut menunjukkan efek

antioksidan fenolik dan flavonoid dalam Ashwagandha terbukti siginifikan lebih

kuat menggunakan TEAC dan ORAC Assays ( Venter, 2013).

Studi farmakologi lain menunjukkan adanya peningkatan kadar

hemoglobin dan hitung jenis pada atlet dengan pemberian Ashwagandha,

sehingga terjadi peningkatan transportasi oksigen melalui darah pada sistem

perifer (Shenoy et al., 2012).

Pemberian Aswagandha juga memperbaiki performa enduran pada atlet

sehat selama 8 minggu dibandingkan dengan kelompok kontrol, terjadi perbaikan

dengan intensitas moderat VO2 Max sebesar 65% (Sandhu, 2010).


51

Gambar 2. 12
Perbandingan antioksidan dan kapasitas scavenging radikal bebas dari 70%
metanolik Ashwagandha

Sumber : (Chaunduri et al, 2012)

Chaudhuri et al mengungkapkan aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh

Ashwagandha adalah 70% ekstrak metanolik, dengan menggunakan beberapa tes

aktivitas antioksidan, efisiensi scavenging hydroxyl, superoxide, nitric oxide,

singlet oxygen radicals, hypochlorous acid dan inhibisi lipid peroxidation

(gambar 2.13)

Nasreen et al dalam penemuannya menentukan kualitas Ashwagandha

dalam efek farmakognostik dan fisiokimia berhasil menyaring beberapa senyawa

fitokimia yang bersifat antioksidan (gambar 2.14).


52

Gambar 2. 13
Fitokimia dalam Ashwagandha

Sumber : (Nasreen et al, 2011)

Pada penelitian yang dilakukan Romero et al pada tahun 1998

menunjukkan penurunan kadar MDA (Malondialdehyde) yang digunakan sebagai

indikator lipid peroksidase dan peningkatan kadar peroksidasi berhubungan

dengan keadaan akut maupun kronis pada manusia maupun hewan percobaan.

Seperti diketahui peningkatan kadar MDA ( Malondialdehyde) mengindikasikan

adanya peningkatan lipid peroksidase pada penderita jantung koroner. Penurunan

kadar MDA (Malondialdehyde) setelah pemberian Ashwagandha menunjukkan

aktifitas antioksidan yang dimiliki oleh tanaman tersebut.

Pembuktian pada uji klinis yang dilakukan oleh Pingali et al tahun 2013

menunjukkan aktifitas antioksidan Ashwagandha menurunkan kadar MDA

(Malondialdehyde) serum. Penelitian ini dilakukan terhadap 24 laki-laki sehat

diberikan preparat Ashwgandha 2 kali 500mg sehari selama 14 hari dibandingkan

dengan plasebo. Didapatkan hasil penurunan kadar hs-CRP, serum MDA


53

(Malondialdehyde) dan kortisol yang signifikan menunjukkan bahwa

Ashwagandha merupakan antioksidan kuat (Pingali et al, 2013).

Penelitian klinis lain dilakukan terhadap 30 sukarelawan sehat yang

diberikan kapsul Ashwagandha, Guduchi dan plasebo 1 kapsul (500mg) setiap

hari selama 6 bulan. Parameter yang digunakan adalah kadar hemoglobin, eritrosit

sedimen, MDA (Malondialdehyde) dan SOD (Super-Oxide Dismutase)

menunjukkan hasil Ashwagandha meningkatkan kadar SOD dan menurunkan

kadar MDA (Malondialdehyde) lebih banyak dibandingkan Guduchi dan plasebo

(Kuchewar et al, 2014).

Aktifitas Nitric Oxide Scavenging Ashwagandha dibandingkan dengan

Vitamin C dan BHT (Hydroxy toluene) menunjukkan hasil yang baik. Ekstrak

chloroform mengandung jumlah fenol dan flavonoid tertinggi diantara bentuk

ekstrak lain (Shariar et al, 2013).

2.6.3. Aktifitas Farmakologi Ashwagandha lain

Efek Aktifitas antikanker prostat, kolon, paru-paru, payudara, pankreas,

ginjal, kepala dan leher pada manusia (Nema et al, 2013; Patel et al., 2013; Singh

et al, 2011; Yadav et al, 2010). Withanolides merupakan konstituen natural

bioaktif yang bersifat antioksidan tinggi yang berperan sebagai antitumor (Patel et

al., 2013).

Penelitian lain juga menemukan dan aktivasi NF-κB, merangsang

inaktivasi Akt, death receptor 5up-regulation dan down-regulation of cellular

FLICE (FADD-like IL-1β-converting enzyme)-inhibitory protein (Oh and Kwon,

2009; Patel et al, 2013; Um et al, 2012).


54

Ashwagandha adalah obat tradisional untuk epilepsi (Soman et al, 2012).

Ashwagandha juga digunakan untuk kasus depresi dan anxietas (Jayanthi et al.,

2012; Pingali et al, 2014; Khan and Ghosh, 2011; Maity et al, 2011).

Ashwagandha bertindak sebagai Monoamin oxidase inhibitor, yang meningkatkan

availibilitas neurotransmiter dopamin dalam tubuh (Barathi et al, 2015)

Ashwagandha adalah antiartitris dan antiinflamasi poten (Gupta and

Singh, 2014; Ku et al, 2014; Mulabagal et al, 2009; Oh and Kwon, 2009; Gupta

and Singh, 2014; Paval et al, 2009 ; Khedgikar et al, 2013). Ashwagandha juga

menunjukkan aktifitas analgesik pada hewan percobaan sehingga dapat digunakan

untuk berbagai manajemen nyeri (Sabina et al, 2009; Shahriar et al, 2014).

Ashwagandha, juga berperan dalam proses mengatasi kerusakan oksidatif

sperma dan ROS yang berhubungan dengan terjadinya infertilitas (Ambiye et al,

2013 ; Ahmad et al, 2010; Shukla et al, 2011).

Aktifitas hepatoprotektif Ashwagandha berupa penurunan siginifikan

peroksidasi lipid, meningkatnya glutathione, katalase, glutathione reductase dan

aktifitas glutathione peroxidase di hati (Malik et al, 2013; Sabina et al, 2013).

Enzim serum antioksidan termasuk SOD dan glutathione peroxidase di jaringan

hati juga meningkat (Hosny and Farouk, 2012).

Flavonoids dan alkaloids dari daun dan akar Ashwagandha diketahui

mempunyai efek antimikroba. (Alam et al, 2012 ; Singh and Kumar, 2011; Singh

and Kumar, 2012; Al-Ani et al, 2013; Pandit et al, 2013). Potensi antibakteri

Ashwagandha diduga karena aktifitas kandungan antioksidan (Alam et al, 2012).

Aktifitas antibakteri Ashwagandha dilaporkan efektif menghadapi bakteri gram

positif dan bakteri gram negatif patogen (Singariya et al, 2012 ; Mwitari et al,
55

2013). Withanolide D, E dan F menunjukkan aktifitas potensial melawan target

PknG di Mycobacterium tuberculosis (Santhi and Aishwarya, 2011).

Aktifitas hipoglikemik dan hipolipidemik ditunjukkan oleh Flavonoid

dalam akar Ashwagandha bermakna menurunkan kadar gula darah dan kadar lipid

(Rajangam et al, 2009; Anwer et al, 2008; Khalili, 2009; Sarangi et al, 2013;

Visavadiya and Narasimhacharya, 2007). Pada penelitian lain Ashwagandha

secara bermakna meningkatkan kadar kolesterol HDL plasma, meningkatkan

aktifitas HMG-CoA reductase dan kandungan asam empedu pada hati hewan

percobaan (Visavadiya and Narasimhacharya, 2007).

Aktifitas farmakologi lain dari Ashwagandha pada penelitian ditemukan

aktifitas sebagai antiplatelet, antikoagulan, dan profibrinolitik (Ku and Bae,

2014), aktifitas kardioprotektif, nefroprotektif, aktifitas imunomodumaotor dan

antileishmanial. (tabel 2.5 )


56

Tabel 2. 5
Aktifitas Farmakologi Ashwagandha

Sumber : (Kumar et al, 2015)


57

2.6.4. Ashwagandha yang digunakan dalam penelitian ini

Ashwagandha yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ashwagandha

yang diproduksi oleh The Himalaya Drug Company, Makali, Bangalore 562 162

India, diimpor dan didistribusikan oleh PT. Anugerah Pharmindo Lestari Jl.

Pulolentut Kav II E/4 Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur 13920.

Registrasi POM TI.114 344 871.

Digunakan dalam pengobatan tradisional India untuk membantu sirkulasi

darah. Dikenal sebagai Indian Ginseng. Memiliki efek peningkatan fungsi adrenal

namun bukan sebagai cardiac stimulant .Sediaan ini dibuat sejak tahun 1930,

Non-GMO Project Verified, Certified USDA Organic, Gluten-Free, India

Organic, cGMP, Vegan Friendly, Certified Organic by Control Union

Certifications.

Indikasi pemberian Ashwagandha antara lain stres, artritis, hipertensi,

diabetes, debilitas. Komposisi tiap kapsul mengandung ekstrak akar Ashwagandha

250mg. Anjuran dosis 2 x 1 kapsul sehari sebelum makan.

Laporan Hasil Uji di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian

Bogor, No Sertifikat 405.012/LPSB IPB/VIII/15 mengidentifikasikan isi

kandungan Ashwagandha yang dipakai dalam penelitian ini dengan jenis analissis

fitokimia, antioksidan, total flavonoid dan total fenol, dilaporkan mengandung

zat-zat sebagai berikut : ( lampiran)

 Fitokimia : Alkaloid, Steroid, Flavonoid, Tanin, Saponin (visualisasi

warna)
58

 Total Flavonoid : 0.162 % (b/b) (spektrofotometri)

 Total Fenol : 3.31 % (b/b) (spektrofotometri)

 Antioksidan IC50-DPPH : 326,568 ppm (spektrofotometri)

 Standar Vitamin C : Serbuk padatan : Antioksidan IC50-DPPH 4.912 ppm

Gambar 2. 14
Ashvagandha PT Himalaya

Sumber : ww.himalayawellness.com
59

Anda mungkin juga menyukai