Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini masalah sosial dan lingkungan yang tidak diatur dengan

baik oleh perusahaan ternyata memberikan dampak yang sangat besar,

bahkan tujuan meraih keuntungan dalam aspek bisnis malah berbalik menjadi

kerugian yang berlipat. Oleh karena itu masalah pengelolaan sosial dan

lingkungan untuk saat ini tidak bisa menjadi hal marginal, ditempatkan pada

tahap kuratif atau aspek yang tidak dianggap penting dalam beroperasinya

perusahaan. “Tanggung jawab sosial perusahaan atau dikenal dengan istilah

Corporate Social Responsibility (selanjutnya disebut CSR), merupakan aspek

penting yang harus dilakukan perusahaan dalam operasionalnya”.1

Kehadiran suatu perusahaan di tengah-tengah masyarakat terlebih lagi


perusahaan tersebut membuka lahan yang semula belum tersentuh
oleh teknologi canggih, suka atau tidak, akan membawa dampak
sosial bagi masyarakat di sekitar wilayah beroperasinya perusahaan
tersebut. Dampak sosial yang dimaksud, misalnya penduduk di sekitar
lokasi perusahaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan berbagai
kebutuhan sehari-hari.2

Meningkatnya tingkat kepedulian kualitas kehidupan, harmonisasi

sosial dan lingkungan juga mempengaruhi aktivitas bisnis, maka lahirlah

gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab sosial.

Disinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan

1
Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility Transformasi Konsep Sustainability
Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 128.
2
Sentosa Simbiring, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social and
Environment Resposibilities) Dalam Perspektif Hukum Perusahaan”, Jurnal Hukum Yusriri A,
Edisi Nomor 77, Tahun 2009, hlm. 66.

1
2

CSR. “Dalam konteks aktifitas, CSR menjadi menu wajib bagi perusahaan, di

luar kewajiban yang digariskan undang-undang”.3

Masalah sosial dan lingkungan muncul sejak tahun 1960-an dimana


perusahaan menolak tuntutan agar perusahaan memperhatikan
masalah-masalah sosial. Pada periode tahun 1970-an sampai tahun
1980-an, perusahaan mulai memperbaiki citranya di mata masyarakat
dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan konsumen. Barulah pada
tahun 1990-an perusahaan benar-benar melihat partisipasi perusahaan
itu perlu dengan menerima bahwa mereka mempunyai tanggung
jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Inilah
kemunculan persoalan tanggung jawab sosial perusahaan atau
Corporate Social Responsibility.4

Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social

Responsibility (CSR) pada dasarnya adalah sebuah kebutuhan bagi korporat

untuk dapat berinteraksi dengan komunitas lokal sebagai bentuk masyarakat

secara keseluruhan. “Kebutuhan korporat untuk beradaptasi dan guna

mendapatkan keuntungan sosial dari hubungannya dengan komunitas lokal,

sebuah keuntungan sosial berupa kepercayaan (trust)”.5 CSR tentunya sangat

berkaitan dengan kebudayaan perusahaan dan etika bisnis yang harus dimiliki

oleh budaya perusahaan. “Untuk melaksanakan CSR diperlukan suatu budaya

yang didasari oleh etika yang bersifat adaptif”.6

Pertumbuhan ekonomi negara dan pergaulan dunia usaha yang

semakin pesat, menjadi bagian penting dalam perkembangan hukum di

Indonesia. Karenanya menurut Satjipto Raharjo, hukum tidak berdiri sendiri

secara otonom penuh, tetapi merupakan bagian intergral dalam kehidupan


3
A. B. Susanto, Corporate Social Resposibilitity, The Jakarta Consulting Groub, Jakarta,
2007, hlm. 7.
4
Harian Kompas. Andreas Maryoto, Dari CSR ke Inovasi Sosial, Jakarta, Kamis, 1 April
2010.
5
Bambang Rudito dan Melia Famiola, Corporate Social Responsibility, Rekayasa Sains,
Bandung, 2013, hlm. 1.
6
Ibid.
3

bangsa.7 “Disisi lain dalam pergaulan Internasional adanya perjanjian-

perjanjian Internasional yang semakin besar, dikarenakan adanya pengaturan-

pengaturan khusus dari berbagai jenis kegiatan transnasional sebagai akibat

atau produk dari suatu kondisi modern kehidupan Internasional”. 8 Dari

pendapat tersebut dikaitkan dengan “perkembangan tanggung jawab sosial

perusahaan (Corporate Social Responsibility) sangat terkait dengan dinamika

perkembangan ISO 26000 sebagai Guide Standart on Social Responsibillty”.9

ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela

mengenai tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor

badan publik ataupun badan privat, baik di negara berkembang maupun

negara maju. Melalui ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai

terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan

cara:

1) Mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab

sosial;

2) Menyediakan pedoman tentang penterjemahaan prinsip-prinsip menjadi

kegiatan-kegiatan yang efektif; dan

3) Memilah praktik-praktik terbaik yang sudah berkembang dan

disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat Internasional.

Ketentuan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 bahwa, “Perekonomian nasional diselenggarakan


7
Kompas, 14 Juli 2009, Satjipto Raharjo, Tribut untuk Mahkamah Konstitusi (Opini)
Kompas, hlm. 6.
8
Yudha Bakti, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 2-3.
9
Elita Rahmi, “Standarisasi Lingkungan (ISO 26000) Sebagai Harmonisasi Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan dan Instrumen Hukum sdi Indonesia”, Inovatif Jurnal Ilmu Hukum
Volume IV Nomor V, Tahun 2011, hlm. 132.
4

berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

“Perkembangan perekonomian nasional yang diselenggarakan

berdasakan prinsip yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) tersebut bertujuan

untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat”.10 Kesejahteraan masyarakat

Indonesia tidak semata-mata tanggung jawab salah satu pihak saja, akan

tetapi tanggung jawab semua yang berkepentingan (stakeholders) seperti

negara dan pengusaha yang ikut menikmati kekayaan Negara Republik

Indonesia. “Salah satu bentuk tanggung jawab pengusaha terhadap

masyarakat adalah tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social

Responsibiliy)”.11

Menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT 2007) menetukan:

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan


untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya.
Hukum sebagai perangkat norma-norma kehidupan dalam

bermasyarakat merupakan salah satu istrumen terciptanya aktivitas bisnis

yang lebih baik. Para pelaku bisnis (perusahaan) dan masyarakat hendaknya

tercipta hubungan yang harmonis. Untuk itulah perusahaan dan masyarakat

Penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.


10

Umar Hasan, “Kewajiban Corporate Sosial Responsibility (CSR) Dilihat dari Perspektif
11

Hukum”, Majalah Hukum Forum Akademika, Nomor 1 Tahun 2014, hlm. 1-2.
5

harus dapat bersinergi dalam hal ini perusahaan harus mampu menghapus

segala kesenjangan yang terjadi.

Perusahaan merupakan badan usaha yang berbadan hukum yang


merupakan subjek hukum dengan demikian perusahaan mempunyai
hak dan tanggung jawab hukum juga mempunyai tanggung jawab
moral, dimana tanggung jawab moral ini dapat menjadi cerminan dari
perusahaan tersebut.12

Dalam perkembangannya pemerintah Indonesia telah mengatur

mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang salah satunya diatur dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Ditentukan dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT 2007 bahwa:

Perseroan yang menjalankan kegiatan usahnya di bidang dan/atau


berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
Ayat (2)
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaanya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Ayat (3)
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaiman dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Landasan utama ini sebagai dasar pedoman didalam menjalankan

kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, disisi lain negara mengeluarkan

Peraturan Pemerintah berupa PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, yang mengatur

12
I Nyoman Tjager, et al, Corporate Governance (Tantangan dan Kesempatan Komunitas
Bisnis Indonesia), PT. Perhalindo, Jakarta, 2002, hlm. 142.
6

pelaksanaan lebih lanjut mengenai tata cara tanggung jawab sosial lingkungan

secara internal perusahaan melalui aturan ini, yakni dengan menganggarkan

dana tersebut yang disetujui dan disahkan dalam Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS) perusahaan.

Kewajiban untuk memenuhi CSR/TJSL oleh perusahaan belum dapat

diimplemtasikan dengan baik, karena dalam UUPT 2007 maupun PP No. 47

Tahun 2012 tidak diatur secara jelas bentuk dan standarisasi pelaksanaan

CSR/TJSL, melainkan hanya penegasan bahwa perusahaan wajib

melaksanakan TJSL berdasarkan kepatutan dan kewajaran.

“Pengaturan terkait penyaluran, sistematikan, serta ukuran

pelaksanaan CSR itu sendiri di Indonesia masih belum tertuang didalam

sebuah regulasi yang mengatur secara mendetail”.13 Seperti yang diatur dalam

Pasal 74 ayat (2) UUPT 2007, pelaksanaan CSR dilakukan dengan

memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Penjelasan mengenai makna yang

tertuang atas “kepatutan dan kewajaran” pada UUPT 2007 dijelaskan dengan

makna “cukup jelas”, dimana sebenarnya makna dan bentuk kepatutan itu

sendiri merupakan hal yang sifatnya umum. Banyak penafsiran yang akan

berbeda-beda setiap pemaknaannya.

Perusahaan bisa saja menganggap pelaksanaan CSR yang mereka

salurkan sudah sesuai dengan “kepatutan dan kewajaran” yang dimaksudkan

dalam undang-undang, namul hal tersebut dapat dianggap berbeda dan tidak

13
Rachmad Robby Nugraha, dkk. “Makna Kepatutan dan Kewajaran Berkaitan Dengan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas”, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Volume 3 Nomor
2, hlm. 178.
7

memenuhi bentuk dan pemaknaan dari kepatutan dan kewajaran tersebut oleh

masyarakat, karena belum ada atau tidak adanya sejauh mana acuan dan tolak

ukur sebuah kepatutan dan kewajaran terkait pelaksanaan CSR sebuah

perusahaan. Hal ini tentunya membuat belum adanya kepastian hukum terkait

ukuran kepatutan dan kewajaran dalam pelaksanaan CRS itu sendiri.

Bahasa yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan harus


lugas dan pasti. Lugas berarti kalimat yang digunakan sebagai
rumusan norma harus menganai hal-hal yang pokok saja, sedangkan
pasti berarti kalimat yang digunakan sebagai rumusan norma harus
sudah tetap. Kelugasan dan kepastian rumusan norma yang membuat
bahasa peraturan perundang-undangan menjadi jelas.14

Ketidakjelasaan dan ketidakpastian kalimat peraturan perundang-

undangan menjadi penyebab timbulnya masalah multitafsirnya suatu rumusan

peraturan perundang-undangan. “Hal ini sebagaimana karakteristik dari

peraturan perundang-undangan yang harus tertulis (lex scripta), harus tegas,

baku, larangan analogi (lex scripta), dan harus jelas atau tidak multitafsir (lex

serta)”.15 Pemaknaan akan bentuk dari sebuah “kepatutan dan kewajaran”

yang jelaskan pada Pasal 74 ayat (2) UUPT 2007 belum dapat memberikan

dan mencerminkan suatu kepastian hukum yang merupakan ciri utama dari

hukum itu sendiri. Hal ini karena tidak terpenuhinya unsur lex stricta dan lex

certa, terbukti terhadap makna tersebut masih menimbulkan kebingungan dan

keambiguan apa sebenarnya yang tergolong ke dalam “kepatutan dan

kewajaran” yang dimaksud Pasal 74 ayat (2) UUPT 2007 tersebut.

14
Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Cetakan Pertama,
Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm.158.
15
Ibid., hlm. 159.
8

Pemberlakuan CSR/TJSL harus berdasarkan kepatutan dan kewajaran,

dalam Putusan MK No. 53/PUU-VII/2008 mengutarakan bahwa

“...Perusahaan sendirilah yang melaksanakan TJSL sesuai dengan prinsip

kepatutan dan kewajaran.”. Namun, dalam hal ini standarisasi kepatutan dan

kewajaran tidak ditentukan oleh Undang- Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas. Kepatutan dan kewajaran memiliki arti yang berbeda

bagi tiap-tiap perusahaan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu keseragaman

dalam hal kewajaran dan kepatutan tersebut.16

UUPT 2007 dan PP Nomor 47 Tahun 2012 mengenai pelaksanaan

CSR tidak memberikan standar atas pelaksanaan CSR yang berdasarkan atas

kepatutan dan kewajaran itu sendiri. Karena tidak adanya norma yang jelas

yang akan digunakan sebagai alat ukur untuk menentukan ukuran/acuan

dalam pelaksanaan kegiatan CSR di dalam UUPT secara obyektif, maka

menurut penulis disini terdapat kekaburan norma untuk menentukan ukuran

dalam pelasanaan CSR bagi perusahaan yang akan melaksanakannya.

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka penulis

tertarik untuk meneliti dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Ukuran

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Berdasarkan Kepatutan dan Kewajaran Menurut Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”.

B. Rumusan Masalah

16
Muhammad Hundory, et, Al. “Urgensi Etika Bisnis dalam Wujudkan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan Perusahaan Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas”, Jurnal Living Law, Volume 11 Nomor 1, Tahun 2019, hlm. 58.
9

Perumusan masalah merupakan hal yang penting dalam suatu

penelitian. Perumusan masalah dapat membantu peneliti untuk

mengidentifikasikan persoalan yang akan diteliti dan akan mengarahkan

penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan uraian dalam latar

belakang diatas, penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah konsep tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate

Social Responsibility) menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas?

2. Bagaimanakah ukuran dari tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate

Social Responsibility) berdasarkan kepatutan dan kewajaran menurut

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas agar penelitian

tersebut memiliki arahan dan tujuan yang pasti. Tujuan pada prinsipnya

mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti sebagai solusi atas

permasalahan yang dihadapi. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian ini yaitu:

1. Untuk Mengetahui dan Menganalisis konsep tanggung jawab sosial

perusahaan (Corporate Social Responsibility) menurut Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis ukuran dari tanggung jawab sosial

perusahaan (Corporate Social Responsibility) berdasarkan kepatutan dan


10

kewajaran menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian akan bernilai dan dihargai apabila peneliti tersebut

dapat memberikan manfaat yang tidak hanya bagi peneliti sendiri, namun

juga bagi orang lain. Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat akademis

a. Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya pada bidang

hukum ekonomi.

b. Memberikan referensi dan literatur kepustakaan di bidang hukum

perusahaan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan

(Corporate Social Responsibility).

c. Diharapkan mampu menjadi bahan acuan bagi penelitian-penelitian

berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Sosial

Responsibility) di masa yang akan datang.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi terhadap

pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengaturan hukum mengenai

tanggung jawab sosial oleh perusahaan.


11

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan

masukkan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal

pelaksaan tanggung jawab sosial oleh perusahaan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap

pihak-pihak yang berkepentingan mengenai ukuran atau acuan dalam

pelaksanaan tanggung jawab sosial berdasarkan kepatutan dan

kewajaran bagi perusahaan-perusahaan.

E. Kerangka Konseptual

Untuk menghindarkan penafsiran atau interpretasi yang berbeda

terhadap kata atau istilah yang digunakan dalam judul skripsi, maka menjadi

penting untuk diuraikan pengertian kata atau istilah sebagai berikut:

1. Kepatutan dan Kewajaran adalah kebijakan perseroan, yang disesuaikan

dengan kemampuan keuangan perseroan, dan potensi resiko yang

mengakibatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus

ditanggung oleh perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya yang tidak

mengurangi kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan usaha

perseroan.17

2. Corporate Social Responsibility, menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk

berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna

Lihat Penejelasan Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
17

Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Ligkungan Perseroan Terbatas.


12

meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik

bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada

umumnya.

F. Landasan Teori

1. Teori yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan


a. Maximizing Profit Theory
Berdasarkan teori ini, yang lebih dikenal sebagai teori atau
pandangan tradisional tentang tanggung jawab sosial, mengemukakan
bahwa sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan, maka
perusahaan berkewajiban untuk meningkatkan dan memaksimalkan
keuntungan dari shareholders (pemilik saham perusahaan). Menurut
Milton Friedman, seorang pemenang hadiah nobel di bidang ekonomi
melalui teorinya menambahkan bahwa memaksimalkan profit
diartikan sepanjang dilakukan dalam jalur yang tepat (rule game)
dalam skema persaingan bebas tanpa suatu kecurangan. Teori ini
banyak dikecam karena hanya menekankan pada tanggung jawab dan
kewajiban meningkatkan keuntungan bagi shareholderS.18

b. Moral Minimum Theory


Konsep tanggung jawab sosial menurut teori yang kedua ini adalah
bahwa perusahaan wajib untuk menghasilkan keuntungan dalam
operasinya, namun jangan sampai merugikan atau membahayakan
pihak lainnya. Sebagai contoh dalam teori ini jika suatu perusahaan
menimbulkan pencemaran lingkungan, maka perusahaan tersebut
wajib memberikan kompensasi ganti rugi atas kerugian yang terjadi.
Jika kemudian pihak perusahaan telah memberikan ganti rugi atau
kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran
lingkungan tersebut, maka perusahaan tersebut telah melakukan
tanggung jawab sosial yaitu memenuhi moral minimum konsep CSR.
Teori ini pun banyak menuai kritik karena tanggung jawab sosial
hanya berorientasi pada program pemulihan keadaan setelah terjadi
negatif effects.19

c. Stakeholder Interest Theory


Menurut teori ini perusahaan harus mempertimbangkan efek dari
kegiatan operasionalnya terhadap kepentingan stakeholder

18
Ni Ketut Supasti Dharmawan, “A Hybrid Framework Suatu Alternatif Pendekatan CSR
(Corporate Social Responsibility) di Indonesia”, Jurnal Hukum Kertha Patrika, Volume 34 Nomor
1, Tahun 2010, hlm. 5.
19
Ibid.
13

(karyawan, konsumen, kreditor, masyarakat setempat). Kritik


terhadap teori ini adalah bahwa tidak mudah mengharmonisasikan
kepentingan stakeholder yang satu dengan stakeholder lainnya,
misalnya suatu tindakan mungkin akan mememenuhi kepentingan
stakeholder dari kalangan para kreditor, namun belum tentu
memenuhi keinginan dan kepentingan stakeholder pegawai/karyawan
maupun masyarakat setempat.20

d. Corporate Citizenship Theory


Menurut teori ini, tanggung jawab sosial berarti perusahaan
berkewajiban untuk melakukan hal-hal yang baik (to do good) baik
untuk perkembangan perusahaannya sendiri maupun keseluruhan
stakeholders termasuk didalamnya lingkungan, perusahaan
bertanggungjawab untuk membantu memecahkan masalah sosial,
mensubsidi mendirikan sekolah-sekolah maupun mendidik anak-
anak. Teori ini kemudian banyak diikuti berkaitan dengan penerapan
CSR dalam praktek.21

2. Teori Keadilan
“Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling

banyak dibicarakan sepanjang sejarah filsafat hukum”.22 Aristoteles

dalam John Thamrun, menyatakan keadilan adalah kebajikan yang

berkaitan dengan hubungan antar manusia. Aristoteles menyatakan

bahwa adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu

yang semestinya. “Seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang

itu mengambil hak lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak

menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan

kepada hukum dapat dianggap adil”.23

Aristoteles dalam karyanya Nichomachean Ethics

20
Ibid., hlm. 6.
21
Ibid.
22
John Thamrun, Perselisihan Prayudisial Penundaan Pemeriksaan Perkara Pidana
Terkait Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 11.
23
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
hlm. 294.
14

mengungkapkan, bahwa keadilan mengandung arti berbuat kebajikan,

atau dengan kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama.24

Aristoteles menggolongkan keadilan ke dalam keadilan distributif


dan keadilan korektif. Keadilan distributif menyangkut soal
pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing
orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat, sedangkan
keadilan korektif memberikan ukuran untuk menjalankan hukum
sehari-hari.25

Perkembangan lebih lanjut tentang keadilan, Thomas Aquinas

mengajukan tiga struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu:

a. hubungan antar individu;

b. hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu; dan

c. hubungan individu terhadap masyarakat secara keseluruhan.26

Thomas Aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu

keadilan umum dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan

menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi

kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas

dasar kesamaan atau proporsionalitas. “Keadilan khusus ini dibedakan

menjadi keadilan distributif, keadilan komutatif dan keadilan

24
John Thamrun, Op. Cit., hlm. 12.
25
Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm. 294.
26
John Thamrun, Loc.Cit.
15

vindikatif”.27

Keadilan distributif ialah suatu keadilan yang memberikan kepada

setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut

haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan

antara masyarakat dengan perorangan. Di sini pengertian keadilan bukan

berarti persamaan melainkan perbandingan.. Keadilan komutatif ialah

suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa

memperdulikan jasa masing- masing. Keadilan vindikatif adalah keadilan

dalam hal menjatuhkan hukuman atas ganti kerugian dalam tindak

pidana. “Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda

sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak

pidana yang dilakukannya”.28

Sedangkan, Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai justitia


constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan
adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada
masing- masing apa yang menjadi haknya), atau tribuere cuique
suum-to give everybody his own, keadilan memberikan kepada
setiap orang yang menjadi haknya.29

Dalam hubungan antara negara dan keadilan, Plato menyatakan

bahwa Negara yang ideal apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan

baginya adalah keseimbangan serta harmoni. Harmoni disni artinya

27
Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm. 296.
28
Ibid.
29
John Thamrun, Loc.Cit.
16

warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara, di mana masing

masing warga negara menjalani hidup secara baik sesuai dengan kodrat

dan posisi sosialnya masing-masing.

Plato memberikan kualifikasi makna substansi dari keadilan itu,


antara lain: (1) suatu karakteristik atau sifat yang terbit secara alami
dalam diri setiap individu manusia; (2) dalam keadaan ini, keadilan
memungkinkan orang mengerjakan pengkoordinasian (menata)
serta memberi batasan (mengendalikan) pada tingkat emosi mereka
dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat ia
bergaul; dan (3) keadilan merupakan hal yang memungkinkan
masyarakat manusia menjalankan kodrat kemanusiaannya dalam
cara-cara yang utuh dan semestinya.30

“Hart mengemukakan, bahwa prinsip umum keadilan dalam

hukum adalah kesetaraan dan kedaksetaraan. Artinya bahwa untuk hal

yang serupa diperlakukan dengan cara yang serupa, sedangkan untuk hal

yang berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda”.³ Pandangan ini

memberikan persepsi bahwa kesetaraan terhadap individu harus

diperlakukan sama dengan individu yang lainnya, menjadi relavan jika

kesetaraan berbeda dari apa yang dilakukan terhadap cara yang

diperlakukannya, begitu juga dengan perlakuan terhadap hal yang serupa

dengan cara yang serupa pula.

Pemikiran kritis memandang, bahwa keadilan tidak lain sebuah

fatamorgana, seperti orang melihat langit yang seolah-oleh kelihatan

tetapi tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pernah

mendekatinya. Walaupun demikian, harus diakui bahwa hukum tanpa

keadilan akan terjadi kesewenang-wenangan.

30
Hayat, “Keadilan sebagai Prinsip Negara Hukum”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2
Nomor 2, Tahun 2015, hlm. 392.
17

Jadi, paling tidak ada dua rumusan umum tentang keadilan, yaitu

pertama, pandangan bahwa keadilan ialah keserasian antara penggunaan

hak dan pelaksanaan kewajiban. Kedua, pandangan para ahli hukum yang

pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara

kepastian hukum dan kesebandingan hukum.

3. Teori Kepastian Hukum


kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau
ketetapan. hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai
pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus
menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. “Hanya karena bersifat adil
dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya.
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologis”.31
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das
sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang
harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia
yang deliberatif. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku
dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama
individu maupun hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan
itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan
pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.32

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan

dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan

logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir)

dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan
31
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
32
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158.
18

norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,

tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaanya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. “Kepastian

dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual

mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil

bukan sekedar hukum yang buruk”.33

Gustaf Radbruch dalam R. Tony Prayago berpendapat, dalam


konsep “Ajaran Prioritas Baku” mengemukakan ada tiga ide dasar
hukum atau tiga tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga
hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta
merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu
mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat.34

Masih sama, menurut Radbruch, keadilan yang dimaksud adalah

keadilan dalam arti sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang

didepan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas menggambarkan isi

hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang mau dicapai

oleh hukum tersebut, sedangkan kepastian hukum dimaknai dengan

kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus

ditaati. Dari ketiga ide dasar hukum Gustaf Radbruch tersebut, kepastian

hukum yang menghendaki bahwa hukum dapat berfungsi sebagai

33
Cst Kansil dkk, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009, hlm. 385.
34
R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materil dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang (The
Implementation Of Legal Certainly Principle In Supreme Court Regulation Number 1 Of 2011 On
Material Review Rights And In Constitutional Court Regulation Number 06/PMK/2005 On
Guidelines For The Hearing In Judicial Review)”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13 Nomor
02, Tahun 2016, hlm. 192.
19

peraturan yang harus ditaati tentunya tidak hanya terhadap bagaimana

peraturan tersebut dilaksanakan, akan tetapi bagaimana norma-norma

atau materi muatan dalam peraturan tersebut memuat prinsip-prinsip

dasar hukum.35

Menurut Sutjipto Raharjo dalam Ihwan Zaini, asas hukum


(termasuk asas kepastian hukum) merupakan jantungnya hukum
yang melandasi kekuatan mengikat berlakunya peraturan hukum.
Meskipun asas hukum bukan merupakan norma hukum, namun
tanpa asas hukum norma hukum tidak memiliki kekuatan hukum
dalam pengaturan, penerapan dan penegakannnya. Tegasnya, asas
hukum berfungsi sebagai pemberi nilai etis dan yuridis terhadap
peraturan hukum, tata hukum dan sistem hukum.36

Menurut aliran normatif-dogmatik yang dianut oleh John Austin

dan van Kan sebagaimana dikutip oleh Ramlan, menganggap bahwa pada

asasnya hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.

Bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk

peraturan tertulis. “Hukum itu otonom sehingga tujuan hukum semata-

mata untuk kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan

kewajiban seseorang”.37

Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan

untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kepastian hukum

merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk

norma hukum tertulis. Menurut Fence M. Wantu, sebagaimana dikutip

oleh R. Tony, “hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan


35
Ibid.
36
Ihwan Zaini, “Pelaksanaan Eksekusi Hukuman Mati dalam Sistem Peradilan Pidana
(Upaya Pencarian Kepastian Hukum)”, Jurnal Nestor Magister Hukum Untan, Volume 2 Nomor 3,
Tahun 2013, hlm. 15.
37
Ramlan, “Tinjauan Filosofis Aspek Kepastian Hukum antara Pemerintah dengan
Pemerintah Daerah dalam Implementasi Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia”,
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012.
20

makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua

orang”.38

38
Ibid.
21

G. Metode Penelitian

1. Tipe penelitian

Penelitian ini merupakan bentuk penelitian yuridis normatif, yakni

penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau

norma-norma dalam hukum positif, objek penelitian ini adalah hukum

positif yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan

perusahaan.

Dalam penelitian hukum normatif, penelitian terhadap asas-asas


hukum yang dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum yang
merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas.
Penelitian tersebut dapat dilakukan (terutama) terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-bahan tadi
mengandung kaidah-kaidah hukum.39

“Sifat normatif penelitian hukum dikaitkan dengan karakter

keilmuan hukum itu sendiri. Karena itu pemilihan metode penelitian

senantiasa dibatasi oleh rumusan masalah, objek yang diteliti dan tradisi

keilmuan hukum itu sendiri”.40 Menurut Meuwissen, bahwa ilmu hukum

dogmatik (normatif) mempunyai karakter tersendiri yang disebut dengan

sui generis, yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan

bentuk ilmu lainnya.41 Dengan sifat sui generisnya, maka penelitian

hukum normatif, kajiannya terfokus pada hukum positif dengan aspek

sebagai berikut:

a. Mempelajari aturan dari segi teknis


39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 62.
40
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Makalah, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 4-7.
41
D.M.H. Meuwissen, (Van Apeldoorn’s: 448) Van Apeldoorn’s Inleiding Tot de Studies
van Het Nederlandse Recht, yang dikuti oleh Philipus M. Hadjon, dalam Yuridika, Nomor 6,,
Surabaya, Tahun 1994.
22

b. Berbicara tentang hukum

c. Berbicara hukum dari segi hukum

d. Berbicara problem hukum yang konkrit.

Maka yang dimaksud penulis dalam penelitian ini, adalah akan

mengkaji asas kepatutan dan kewajaran dalam pelaksanaan tanggung

jawab sosial dan lingkungan oleh perusahaan (Corporate Social

Responsibility) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas.

2. Pendekatan penelitian

Di dalam sistem pendekatannya yaitu tinjauanya dilakukan dengan

berpegang pada metode dogmatik. “Dalam hal ini yang perlu

diperhatikan ialah adanya perkembangan dalam ilmu hukum positif, yang

praktis dengan ilmu hukum positif yang teoritis”.42

Oleh karena itu, dalam penelitian ilmu hukum normatif banyak

pendekatan yang dapat digunakan baik secara terpisah-pisah berdiri

sendiri, maupun secara kolektif sesuai dengan isu atau permasalahan

yang akan dibahas. Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang

digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) dan

pendekatan perundang-undangan (normative approach). Kedua

pendekatan ini dipandang sesuai karena objek analisis adalah peraturan

perundang-undangan dan konsep CSR itu sendiri.

42
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008,
hlm. 91-92.
23

“Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani”.43 “Adapun pendekatan

konseptual (conceptual approach) adalah suatu pendekatan yang

beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum”.44

3. Bahan Hukum

Penelitian ini berfokus pada studi pustaka dengan mempelajari

bahan hukum yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu terdiri dari perundang-undangan yang

berlaku yang berhubungan dengan permasalahan yang akan

dibahas yaitu:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);

3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);

4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas;

6) Peraturan Perundang-undangan yang terkait lainnya.

43
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 92.
44
Ibid. hlm. 95.
24

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu terdiri dari literatur-literatur atau

bacaan ilmiah yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu terdiri dari Kamus Hukum dan Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

4. Analisa Bahan Hukum

Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara menginterpretasikan

peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep pengaturan

berkaitan dengan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan

berdasarkan kepatutan dan kewajaran sesuai dengan masalah yang

dibahas, menilai bahan-bahan hukum yang akan diteliti, dan

mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti. Berdasarkan analisis bahan hukum

tersebut dirumuskan kesimpulan yang merupakan jawaban atas

permasalahan dalam skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang tersusun dalam

empat bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan, yang memuat dan menguraikan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kerangka konseptual, landasan teori, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka, merupakan penelaahan kepustakaan

mengenai pengertian Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, pengertian


25

Corporate Social Responsibility, Pengaturan hukum mengenai Corporate

Social Responsibility, Implementasi Program Corporate Social

Responsibility, Kategori Perusahaan Menurut Implemtasi Corporate Social

Responsibility, Bentuk-Bentuk Corporate Social Responsibility, dan Manfaat

Corporate Social Responsibility.

BAB III Pembahasan, membahas mengenai Konsep Tanggung Jawab

Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Menurut Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Ukuran

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

berdasarkan Kepatutan dan Kewajaran Menurut Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

BAB IV Penutup, berisikan tentang kesimpulan dan saran.


BAB II

TINJAUAN TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

(CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)

A. Pengertian Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perseroan memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan

lingkungan dimana perseroan melaksanakan kegiatan usahanya atau

aktivitasnya. Tanggung jawab perseroan yang dimaksud disini adalah

tanggung jawab sosial dan lingkungan atau dalam dunia internasional dikenal

dengan istilah Corporate Social Responsibility. Pada Pasal 1 angka 3 UUPT

2007, ditentukan bahwa:

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan


untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya.

Dalam Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal, terdapat istilah yang disebut sebagai Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah

tanggung jawab yang melekat pada setiap penanam modal untuk tetap

menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,

nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat”.

Menurut Daniel Saligman, “Tanggung jawab sosial perusahaan adalah

rumit sebagian karena tidak adanya lawan yang secara umum telah disetujui;
27

paling sedikit tampaknya tidak ada yang menganjurkan agar perusahaan tidak

perlu mempunyai tanggung jawab sosial”.45

Berdasarkan uraian diatas, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

merupakan komitmen perseroan akan kepedulian sosial perseroan terhadap

segala aspek yang berkaitan dengan perseroan, lingkungan, masyarakat, serta

para pemangku kepentingan perseroan guna meningkatkan kesejahteraan

setiap pemangku kepentingan dengan menyeimbangkan antara tanggung

jawab ekonomi dan tanggung jawab sosial.

B. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang diatur dalam

UUPT 2007, diilhami oleh pandangan yang berkembang belakangan ini yang

mengajarkan perseroan sebagai “perusahaan yang melakukan kegiatan usaha

ditengah-tengah kehidupan masyarakat, harus ikut bertanggung jawab

terhadap masalah sosial yang dihadapi masyarakat setempat”.46 Pandangan

tersebut telah melahirkan konsep tanggung jawab sosial perseroan yang

dikenal sebagai Corporate Sosial Responsibility. “Landasan pandangan CSR

bersumber dari nilai moral, bahwa perseroan hidup dan berada di tengah-

tengah kehidupan masyarakat”.47 CSR menjadi landasan fundamental bagi

pembangunan berkelanjutan (Substainability Development).

Berikut ini beberapa definisi CSR:

45
Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial
Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 61.
46
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, 2016, hlm. 298.
47
Ibid.
28

a. Menurut Suhandari M. Putri

Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau


dunia bisnis untuk berkonstribusi dalam pengembangan ekonomi yang
berkelanjutan dengan memeperhatikan tanggung jawab sosial
perusahaan dan menitik beratkan pada keseimbangan antara perhatian
terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.48

b. Komisi Eropa

CSR adalah sebuah konsep dimana perusahaan mengintergrasikan


kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis bisnis dan
dalam interraksi dengan para pemangku kepentingan secara sukarela
yang berikut semakin menyadarkan bahwa perilaku bertanggung
jawab mengarah pada keberhasilan bisnis yang berkenlanjutan.49

c. The Word Business Council for Sustainable Development (WBCSD)

Menurut WBCSD “CSR adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi

terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan

karyawan, keluarga mereka dan masyarakat lokal (WBCSD, 2001)”.50

d. Budimanta, et al. (2008)

CSR merupakan komitmen perusahaan untuk membangun kualitas


kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak yang terkait,
utamanya masyarakat disekeliling dan lingkungan sosial dimana
perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu dengan kegiatan
usahanya secara berkelanjutan.51

e. ISO 26000

Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and


activities on society and the environment, throught transparent and
ethical behavior that contributes to suistainable development, health
and the welfare of society; takes into account the expectations of
stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent

48
Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
hlm. 1., menguntip Suhandari M. Putri, Schema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007.
49
Totok Mardikanto, Corporate Social Responsibility: Tanggung Jawab Sosial Korporasi.
Cet. 1, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hlm. 92.
50
Ibid., hlm. 93.
51
Ibid., hlm. 94.
29

with international norms of behavior; and is intergrade throught the


organization and practiced in its relationship.
Tanggung jawab organisasi terkait dengan dampak keputusan, dan
kegiatan di masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang
transparan dan etis yang memberikan kontribusi terhadap
pembangunan berkelanjutan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat;
memperhitungkan harapan pemangku kepentingan adalah sesuai
dengan hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma
perilaku internasional, dan terintegrasi di seluruh organisasi dan
diperkatikan dalam hubungannya.52

f. Davis (1960)

Menurut Davis “CSR adalah keputusan dan tindakan bisnis diambil

dengan alasan, atau setidaknya sebagian, melampaui kepentingan

ekonomi atau teknis langsung perusahaan”.53

g. Bowem (1951)

Menurut Bowem “CSR adalah kewajiban pengusaha untuk

merumuskan kebijakan, membuat keputusan, atau mengikuti garis

tindakan yang diinginkan dalam hal tujuan dan nilai-nilai

masyarakat”.54

Definisi CSR, dewasa ini belum memiliki satu konsep yang sama

diberbagai Negara. Dari pengertian dan konsep yang diuraikan diatas,

konsepsi CSR berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan

penyelenggaraan perseroan yang mengedepankan prinsip Good Corporate

Governance. Pada dasarnya pelaksanaan CSR terdapat dalam dua model

penerapan, yaitu CSR yang dilaksanakan secara Mandatory (kewajiban).

52
Ibid., hlm. 97.
53
Ibid., hlm. 86.
54
Ibid.
30

Dalam hal ini, pengaturan CSR atau TJSL yang diatur dalam Pasal 74 UUPT

2007 dialaksanakan secara Mandatory.

C. Pengaturan Hukum Mengenai Pelaksanaan Corporate Social

Responsibility

Pengaturan CSR di Indonesia didasarkan pada bebeberapa peraturan

perundangan hukum positif di Indonesia, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(UUPT 2007). Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, Tanggung Jawab Sosial

dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam

pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas

kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,

komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Mengenai

TJSL, diatur dalam Pasal 74 UUPT dan penjelasannya. Pengaturan ini

berlaku untuk perseroan.

Pasal 74 UUPT 2007

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau

berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung

Jawab Sosial dan Lingkungan.

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan

diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaanya

dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.


31

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaiman dimaksud

pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 74 UUPT 2007 pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal berikut:

a. TJSL ini wajib untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di

bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.

1) Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan

usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya” alam

adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan

memanfaatkan sumber daya alam.

2) Sedangkan yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan

kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam”

adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan

sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada

fungsi kemampuan sumber daya alam.

b. TJSL ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan

diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan

dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

c. Mengenai sanksi, dikatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan

kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang terkait.


32

2. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab

Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47 Tahun 2012), dalam

Pasal 4 PP Tahun 2012, dikatakan bahwa TJSL dilaksanakan oleh

Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat

persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS) sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Rencana kerja tahunan

perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran yang

dibutuhkan untuk pelaksaaan TJSL. Sedangkan pelaksanaan TJSL

tersebut dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan

dipertanggungjawabkan kepada RUPS (Pasal 6 PP 47 Tahun 2012).

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU

Penanaman Modal). Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Penanaman Modal,

penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan

penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri

maupun penanam modal asing. Dalam Pasal 15 huruf b diatur bahwa

setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud TJSL

menurut penjelasan Pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal adalah

tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanam modal

untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai

dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Selain itu dalam Pasal 16 UU Penanaman Modal juga diatur bahwa setiap

penanam modal bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian lingkungan

hidup. Di dalam Pasal 34 UU Penanaman Modal disebutkan bahwa


33

apabila penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk

melaksanakan TJSL, maka berdasarkan peraturan tersebut penanam

modal dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembatasan kegiatan usaha;

c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanam modal; atau

d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanam modal.

Selain dikenai sanksi administratif, UU Penanaman Modal juga

membuka peluang adanya sanksi lain. Hal tersebut sebagaimana

dinyatakan di dalam Pasal 34 ayat (3) UU Penanaman Modal yang

menyebutkan bahwa penanam modal juga dapat dikenai sanksi lain

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara

(UU Minerba). Menurut UU Minerba, pertambangan adalah sebagian

atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan

pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,

eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan

pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

Menurut Pasal 95 huruf d UU Minerba, yaitu pemegang IUP (Izin Usaha

Pertambangan) maupun IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) wajib

melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat.

Isi pasal tersebut menjelaskan bahwa perusahaan tambang memiliki

tanggung jawab sosial kepada masyarakat setempat. Mengenai bentuk


34

program CSR perusahaan Minerba diatur di dalam Pasal 87 huruf j UU

Minerba. Bentuk program bisa antara lain berupa, pembinaan dan

pengembangan sumber daya manusia, pengembangan perekonomian, dan

perbaikan layanan kesehatan.

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup). Berdasarkan

Pasal 68 UU Lingkungan Hidup, setiap orang yang melakukan usaha

dan/atau kegiatan berkewajiban:

1) memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan

tepat waktu;

2) menjaga keberlangsungan fungsi lingkungan hidup; dan

3) menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau

kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

(UU Migas). Di dalam UU Migas terdapat 2 (dua) Pasal yang mengatur

mengenai CSR/TJSL. Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 11 ayat

(3) dan Pasal 40 ayat (5). Di dalam Pasal 11 ayat (3) ditentukan bahwa

kegiatan usaha hulu yang dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Badan

Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana

wajib memuat ketentuan-ketentuan pokok yang salah satunya adalah

mengenai pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak

masyarakat adat. Sementara Pasal 40 ayat (5) dinyatakan bahwa kegiatan


35

usaha Minyak dan Gas Bumi (kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha

hilir) ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan dan masyarakat

setempat.

7. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-

07/MBU/7/2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri

Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-09/MBU/07/2015 Tentang

Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan Badan Usaha Milik

Negara. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Permen BUMN tersebut,

dinyatakan bahwa Program Kemitraan BUMN yang selanjutnya disebut

program kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan

usaha kecil agar menjadi tangguh dan madiri. Selanjutnya pada Pasal 1

angka 7 Program Bina Lingkungan yang selanjutnya disebut program BL

adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN.

Tinjauan dalam Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) dalam Pasal 2 juncto Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2003 juncto Pasal 8 Keputusan Menteri BUMN nomor 236

Tahun 2003 juncto Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-

03/MBU/12/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Badan

Usaha Milik Negara Nomor PER -09/MBU/7/2015 tentang program

kemitraan dan bina lingkungan Badan Usaha Milik Negara, dapa

diberikan acuan sebesar 1 (satu) hingga 4% (empat persen) dari hasil laba

bersih perusahaan setiap akhir pembukuan. Pada Pasal 8 Keputusan

Menteri BUMN nomor 236 Tahun 2003 disebutkan bahwa dalam kondisi
36

tertentu , besarnya dana program bina lingkungan ditetapkan dengan

persetujuan Menteri (untuk Perum) atau RUPS (untuk Persero).

D. Implementasi Program Corporate Social Responsibility

CSR sebagai media untuk terlibat dalam menciptakan kesejahteraan

masyarakat, “Dalam teori ekonomi, CSR dilihat sebagai alat strategis

perusahaan untuk mencapai sasaran akhir, dan menciptakan kekayaan dalam

jangka panjang, perusahaan bertanggung jawab kepada pemegang saham dan

stakeholders lainnya”.55 Hal tersebut perlu diimplementasikan dengan baik

oleh setiap Perseroan. “Oleh sebab itu, dalam penerapan CSR diperlukan

beberapa kondisi yang akan menjamin terlaksananya implementasi program

CSR dengan baik”.56 Karena, jika tidak ada pengetahuan akan kondisi yang

diperlukan dapat menimbulkan masalah dalam pengimplementasian dalam

program CSR.

Berikut ini beberapa kondisi yang diperlukan dalam

mengimplementasikan program CSR, yaitu:

a. Kondisi pertama, implementasi CSR memperoleh persetujuan dan

dukungan dari berbagai pihak yang terlibat.

b. Kondisi Kedua, ditetapkannya pola hubungan (relationship) di antara

pihak-pihak yang terlibat secara jelas.

c. Kondisi Ketiga, adanya pengelolaan program yang baik.

Dalam mengimplementasikan program CSR yang baik, maka sudah

menjadi keharusan dalam menyusun program CSR sebagai bentuk


55
Ibid., hlm 197.
56
Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility: From Chairity to Substainability,
Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 145.
37

implementasi CSR yang baik. Penyusunan program CSR dapat tediri dari

beberapa tahapan yang relatif dapat disamakan dengan penyusunan aktivis

kehumasan. Tahapan mutlak yang harus ada dalam menyusun program CSR

ialah seperti identifikasi masalah, menyusun perencanaan, pelaksanaan,

sampai pada tahapan evaluasi.

E. Kategori Perusahaan Menurut Implementasi Corporate Social

Responsibility

Perilaku para pengusaha pun beragan dari kelompok yang sama sekali

tidak melaksanakan sampai ke kelompok yang telah menjadikan CSR sebagai

nilai inti (corevalue) dalam menjalankan usaha. “Terkait dengan praktik CSR,

pengusaha dapat dikelompokan menjadi empat: kelompok hitam, merah, biru,

dan hijau”.57

Kelompok Hitam adalah mereka yang tidak melakukan praktik CSR

sama sekali. Mereka adalah pengusaha yang menjalankan bisnis semata-mata

untuk kepentingan diri sendiri. Kelompok ini sama sekali tidak peduli pada

aspek lingkungan dan sosial sekelilingnya dalam menjalankan usaha, bahkan

tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya.

Kelompok Merah adalah mereka yang mulai melaksanakan praktik

CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan

mengurangi keuntungan. Aspek sosial dan lingkungan mulai

dipertimbangkan, tetapi dengan keterpaksaan yang biasanya dilakukan setelah

mendapatkan tekanan dari pihak lain, seperti masyarakat atau lembaga

swadaya masyarakat. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok satu


57
Suhandari M. Putri, Schema CSR, Kompas, 4 Agustus 2007.
38

(kelompok hitam) yang mendapatkan tekanan dari stakeholders-nya, yang

kemudian dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial,

termasuk kesejahteraan karyawannya. CSR jenis ini kurang berimbas pada

pembentukan citra positif perusahaan karena public melihat kelompok ini

memerlukan tekanan sebelum melakukan praktik CSR. Praktik jenis ni tidak

akan mampu berkontribusi bagi pembangunan bekelanjutan.

Kelompok Biru, perusahaan yang menilai praktik CSR akan memberi

dampak positif terhadap usahanya karena merupakan investasi, bukan biaya.

Kelompok Hijau, perusahaan yang sudah menempatkan CSR pada strategi

inti dan jantung bisnisnya, CSR tidak hanya dianggap sebagai keharusan,

tetapi kebutuhan yang merupakan modal sosial.

F. Bentuk-Bentuk Corporate Social Responsibility

Tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya juga terkait dengan

budaya perusahaan (corporate culture) yang ada yang dipengaruhi oleh etika

perusahaan yang bersangkutan. Budaya perusahaan terbentuk dari para

individu sebagai anggota perusahaan yang bersangkutan dan biasanya

dibentuk oleh sistem dalam perusahaan.

Sistem perusahaan khususnya alur dominasi para pemimpin


memegang peranan penting dalam pembentukan budaya perusahaan,
pemimpin perusahaan dengan motivasi yang kuat dalam etikanya yang
mengarah pada kemanusiaan akan dapat memberikan nuansa budaya
perusahaan secara keseluruhan.58

Pada dasarnya bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dapat

beraneka ragam dari yang besifat charity sampai pada kegiatan yang bersifat

58
Bambang Rudito & Melia Famiola, etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan
di Indonesia, Rekayasa Sains Bandung, Bandung, 2007, hlm. 210.
39

pengembangan komunitas, dari yang bernuansa abstrak sampai pada bentuk

yang konkrit. Akan tetapi dari keseluruhan kegiatan tersebut, pada dasarnya

tidak terkait dengan produk dari yang dihasilkan oleh perusahaan, seperti

sebuah reklame tetapi tidak berisi produk dari si pembuat reklame. “Kegiatan

program yang dilakukan oleh perusahaan dalam konteks tanggung jawab

sosialnya dapat dikategorisasi dalam tiga bentuk”.59

Pertama, yakni bentuk public relations. Usaha untuk menanamkan

persepsi positif kepada komunitas tentang kegiatan yang dilakukan oleh

perusahaan. Biasanya berbentuk kampanye yang tidak terkait sama sekali

dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Bentuk

ini lebih ditekankan pada penanaman persepsi tentang perusahaan dengan si

perusahaan membuat suatu kegiatan sosial tertentu dan khusus sehingga

tertanam dalam image komunitas bahwa perusahaan tersebut banyak

melakukan kegiatan sosial sampai anggota komunitas tidak mengetahui

produk apa yang dihasilkan oleh perusahaan, akan tetapi tertanam di benak

anggota komunitas bahwa perusahaan yang bersangkutan selalu menyisihkan

sebagian keuntungannya untuk kegiatan sosial. Kegiatan atau usaha ini lebih

mengarah pada menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan komunitas,

khususnya menanamkan sebuah persepsi yang baik tentang perusahaan

terhadap komunitas. Pekerjaan untuk model public relations ini lebih banyak

menjadi tugas dari unit kerja hubungan komunitas dalam sebuah perusahaan.

Kedua, Strategi defensif. Usaha yang dilakukan oleh perusahaan guna

menangkis anggapan negatif komunitas luas yang sudah tertanam terhadap


59
Ibid., hlm. 210-212.
40

kegiatan perusahaan terhadap karyawannya, dan biasanya untuk melawan

‘serangan’ negatif dari anggapan komunitas atau komunitas yang sudah

terlanjur berkembang. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan sasaran yang

berbeda dengan anggapan yang telah berkembang atau bertolak belakang

dengan persepsi-persepsi yang ada di komunitas pada umumnya. Prinsipnya

hamper sama dengan bentuk kegiatan public relations, akan tetapi berbeda

pada proses kejadiannya.

Pada public relations, pada dasarnya menjalin hubungan yang belum

ada, sedangkan pada strategy defensif mengarah pada proses melawan

kejadian yang pernah dialami, artinya anggapan komunitas terhadap

perusahaan sudah ada sebelumnya dan anggapan ini biasanya bernada negatif

yang pada umumnya bicara tentang aktivitas dari perusahaan yang

bersangkutan yang negatif terhadap sesuatu hal. Usaha CSR yang

dilakukannya adalah untuk merubah anggapan yang berkembang sebelumnya

dengan menggantinya dengan yang baru sebagai suatu anggapan baru yang

bersifat positif.

Sehingga usaha dari perusahaan yang melakukan kegiatan CSR dari

bentuk ini adalah seakan merupakan perlawanan terhadap pandangan orang

luar terhadap perusahaan yang bersangkutan. Perlawanan ini tentunya harus

ditunjang dengan modal yang tidak sedikit, hal ini berkaitan dengan usaha

membersihkan nama baik yang telah beredar secara meluas di dalam

kehidupan komunitas, sedangkan untuk mengganti secara menyeluruh seperti


41

mengganti logo tidak memungkinkan dan bahkan menjadi kerugian yang

besar.

Contoh kajian Price Waterhouse Coopers tentang program CSR,

ditemukan bahwa sejumlah perusahaan menjalankan CSR karena ingin

menghindari konsekuensi negatif dari publisitas yang buruk. Contohnya

adalah kasus sebuah perusahaan yang merespon pemberitaan tentang

perusahaan tersebut yang melanggar hak-hak pekerjanya dengan melakukan

kegiatan sosial lainnya untuk meredam pemberitaan tersebut.

Ketiga, keinginan tulus untuk melakukan kegiatan yang baik yang

benar-benar berasal dari visi perusahaan. Melakukan program untuk

kebutuhan komunitas atau komunitas sekitar perusahaan atau kegiatan

perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri. Kegiatan

perusahaan dalam konteks ini adalah sama sekali tidak mengambil suatu

keuntungan secar materil tetapi berusaha untuk menanamkan kesan baik

terhadap komunitas atau komunitas berkaitan dengan kegiatan perusahaan.

Biasanya bentuk keinginan tulus suatu perusahaan dalam kegiatan tanggung

jawab sosialnya adalah berkaitan erat dengan kebudayaan perusahaan yang

berlaku (corporate culture). Kegiatan CSR dari perusahaan yang

bersangkutan didorong oleh kebudayaan yang berlaku di perusahaan,

sehingga secara otomatis dalam kegiatan CSR perusahaan yang bersangkutan

sudah tersirat etika dari perusahaan tersebut.

Pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh Perusahaan memiliki banyak

bentuk, tetapi dari keseluruhan bentuk, hanya ada dua pelaksanaan CSR yang
42

dominan, yaitu meletakkan CSR sebagai kegiatan yang menyatu dengan inti

bisnis (core bisnis/inline) dan melakukan CSR diluar inti bisnis atau yang

sering disebut charity, karikatif, philanthropy dan lain-lain.

CSR yang diletakkan dalam inti bisnis, merupakan suatu kumpulan


kebijakan, praktek dan program yang secara komperhensif terintegrasi
dalam operasi sehari-hari dengan demikian dampak sosial dan
lingkungan ikut dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Dalam hal ini paling tepat, CSR dijadikan sebagai manajemen resiko,
manajemen resiko ini dapat dilakukan apabila perusahaan mampu
mendapatkan informasi yang akurat terkait kepentingan stakeholder.60

Menurut Goyder, Corporate Social Responsibility (CSR) terbagi

menjadi dua bentuk, yaitu:61

Pertama, membentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap

komunitas dan nilai yang menjadi acuan dalam Corporate Social

Responsibility (CSR). Pembagian ini merupakan tindakan terhadap luar

perusahaan atau kaitannya terhadap lingkungan di luar perusahaan, seperti

komunitas dan lingkungan alam.

Kedua, mengarah ke tipe ideal yang berupa nilai dalam perusahaan

yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang

sesuai dengan keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya. Interpretasi

yang benar dari CSR adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai

dalam seluruh hubungan yang dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan

berbeda dengan norma yang ada dalam perusahaan.

60
Anonim, menuju praktek CSR, makalah disampaikan oleh Aris Bintoro dalam seminar
“kewajiban bagi bisnis mempraktekkan CSR pasca Undang-Undang PT” yang diadakan oleh BWI,
Hotel Sahid Raya Solo, 29 September 2007.
61
download.portalgaruda.org/article=346721&val=6466&title= Kewajiban Hukum
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Dalam Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia.
43

Bentuk-bentuk program CSR yang dilakukan pada tiap-tiap

perusahaan biasanya berbeda-beda, disesuaikan dengan lingkungan termasuk

alam dan komuniti dan juga tergantung dengan kepentingan stakeholdernya.

G. Manfaat Corporate Social Responsibility

Di dalam bukunya Totok Mardikanto membahas mengenai manfaat

CSR dan menyebutkan bahwa, “Corporate Social Responsibility (CSR)

adalah komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui

praktik bisnis”.62

Prinsip dasar CSR adalah memperdayakan terhadap masyarakat

setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Fokus CSR adalah

sebagaimana meningkatkan kualitas hidup masyarakat sehingga akhirnya

memiliki kemampuan hidup untuk dapat mengatasi masalah sosial. Sesuatu

yang diharapkan dari pelaksanaan CSR, selain untuk meningkatkan kualitas

hidup masyarakat setempat, juga untuk menjaga stabilitas operasional

perusahaan.

“Manfaat CSR bagi perusahaan antara lain:


a. Mempertahankan dan mendongkrak reoutasi/citra merk perusahaan.
b. Mendapatkan lisensi untuk beroperasional secara sosial.
c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan.
d. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional perusahaan.
e. Membuka peluang pasar yang lebih luas.
f. Mereduksi biaya.
g. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders.
h. Memperbaiki hubungan dengan regulator.
i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan.
j. Peluang mendapatkan penghargaan”.63

62
Totok Mardikanto, Op. Cit., hlm. 130.
63
Hendrik Budi Untung, Op. Cit. hlm 6-7., Menguntip Suhandri M. Putri, Schema CSR,
Kompas, 4 Agustus 2007.
44

Keberhasilan CSR harus dibantu oleh media publikasi dalam

pelaksanaannya, CSR harus bersifat sustainability (berkelanjutan) sehingga

pelaksanaan CSR dapat bermanfaat bagi masyarakat. Dalam perencanaanya

setiap Sprogram CSR harus dibuat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan

masyarakat, agar tidak terjadi keseimbangan manfaat CSR. Pelaksanaan CSR

perlu dipantau untuk memastikan bahwa pelaksanaan program CSR tidak

menyimpang dari rencana yang telah ditentukan. “Chakraborty (2010)

menyimpulkan bahwa, Corporate Social Responsibility (CSR) adalah tentang

bagaimana perusahaan mengelola proses bisnis untuk menghasilakn dampak

positif secara keseluruhan pada masyarakat”.64

Inti tujuan CSR yaitu bagaimana pembangunan komunitas bisa

berkelanjutan dalam masyarakat. CSR akan lebih berdampak positif pada

masyarakat apabila adanya peran pemerintah dalam penerapan CSR, dan

dalam hal ini dapat menciptakan hubungan yang baik antara pemerintah dan

perseroan dalam mengatasi permasalahan sosial yang ada.

64
Totok Mardikanto, Op. Cit., hlm. 132.
BAB III

UKURAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

(CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) BERDASARKAN

KEPATUTAN DAN KEWAJARAN

A. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social

Responsibility) menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas

Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) telah diperkenalkan

sejak abad ke 17, kemudian terjadi kesepakatan dari Word Summit on

Sustanaible Development (WD-SD) di Johannesburg Afrika Selatan tahun

2002 yang ditujukan kepada perusahaan di seluruh dunia dalam rangka

terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan (sustainable develovment)

dengan tujuan terjadinya hubungan yang harmonis antara perusahaan,

masyarakat, dan lingkungan. “Hubungan tersebut dikenal dengan istilah 3BL

(Triple Botttom Line) atau 3P (Profit, People, Planet)”.65

Banyak istilah tentang tanggung jawab sosial perusahaan, dalam

perundang-undangan menggunakan tanggung jawab sosial dan lingkungan

atau corporate social responsibility atau sering juga orang menyebut dengan

business social responsibility atau corporate citizenship atau corporate

65
Siti Maryama, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam Perspektif Regulasi
(Studi: Indonesia, Belanda dan Kanada”, Jurnal Liquidity, Volume 2 Nomor2, Tahun 2013, hlm.
189.
46

responsibility atau business citizenship. Istilah-istilah tersebut sama artinya

dan sering digunakan untuk merujuk pengertian CSR.66

Pengaturan tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perseroan di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas (UUPT), terdapat pada BAB V tentang Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan, khususnya Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan

Ligkungan Perusahaan. Adapun ketentuan mengenai pelaksanaan tanggung

jawab sosial dan lingkungan perusahaan diatur melalui Peraturan Pemerintah

Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perseroan Terbatas.

Secara Yuridis, Pasal 1 angka 3 UUPT 2007 menggunakan istilah

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagai terjemahan dari

istilah Corporate Social Responsibility (CSR) untuk konteks perusahaan

dalam masyarakat Indonesia, dan mengartikannya (konsep hukumnya)

sebagai “Komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan

ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan

lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas

setempat, maupun masyarakat pada umumnya”.

Perumusan CSR ke dalam peraturan perundang-undangan tersebut

sebagai akibat banyaknya perseroan yang hanya melakukan kegiatan

operasionalnya namun kurang memberikan perhatian terhadap kepentingan

sosial, padahal antara perusahaan, masyarakat, dan lingkungan merupakan

66
T. Romi Marnelly, “Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teori dan Praktek
di Indonesia”, Jurnal Aplikasi Bisnis, Volume 2 Nomor 2, Tahun 2012, hlm. 50.
47

satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga diantara ketiganya saling

mempengaruhi dan dipengaruhi.67

Menurut Gayus Lumbuun, kehadiran CSR dilandasi oleh desakan


masyarakat yang melihat praktik beberapa PT yang melakukan
perusakan lingkungan dan sebagainya sehingga membutuhkan etika
bisnis untuk menegaskan adanya tanggung jawab sosial dan
lingkungan. Selain itu, dengan penormatifan praktik CSR dalam UU
PT 2007 maka terdapat pergeseran dari semula CSR hanya
responsibility (pertanggung jawaban non hukum) menjadi liability
(tanggung jawab hukum).68

Secara teoritis, “pertanggungjawaban suatu badan hukum

(rechtperson) dapat dibedakan menjadi 2 (dua) makna, yaitu: 1) liability

(tanggungjawab yuridis/hukum), dan 2) responsibility (tanggungjawab

moral/etis)”.69 Menurut Busyra Azheri, liability adalah tanggungjawab secara

yuridis, sedangkan responsibility merupakan pertanggungjawaban sosial atau

publik. Perbedaan keduanya terletak pada sumber pengaturannya. Jika secara

yuridis terbit pertanggungjawaban karena kesalahan atas tindakannya sendiri

atau orang lain, maka itu merupakan liability. Namun jika kesalahan tersebut

tidak atau belum diatur secara yuridis, maka itu adalah pertanggungjawaban

secara responsibility.70

67
Putu Edgar Tanaya, “Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Corporate Social
Responsibility (CSR) Sebagai Etika Bisnis dan Etika Sosial”, Jurnal Komunikasi Hukum, Volume
2 Nomor 2, Tahun 2016, hlm. 269.
68
Gayus Lumbuun, “Telaah Hukum Atas Ketentuan Corporate Social Responsibility Dalam
UUPT”, Makalah, Disampaikan Pada Seminar “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pada
Perusahaan Tambang” dalam rangka Lustrum XX Universitas Sahid Jakarta, 26 Februari 2008,
hlm.3-4.
69
Yosi Hadiyanto, “Aspek Hukum Al-Wadi’ah Yad Adh-Dhamanah pada Perbankan
Syariah”, Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, Jember, 2013,
http://repository.unej.ac.id/bitstream/. Diakses pada tanggal 22 Mei 2020.
70
Busyra Azheri, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaaan (Corporate Social Responsibility)
dalam Kegiatan Pertambangan di Sumatera Barat”, Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2010, hlm. 63.
48

Menurut Plato, liability menunjuk pada akibat kegagalan memenuhi

standar tertentu, sedangkan bentuk tanggungjawabnya diwujudkan dalam

bentuk ganti rugi dan pemulihan terhadap kerusakan atau kerugian.

Sedangkan responsibility ditegaskan sebagai kewajiban, penghakiman,

kemampuan dan kapasitas. Kewajiban dalam hal tindakan yang seharusnya

dilakukan, untuk memperbaiki atau memberikan ganti rugi terhadap setiap

kerusakan yang mungkin disebabkan.71

Ditentukan dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT 2007 bahwa:

Perseroan yang menjalankan kegiatan usahnya di bidang dan/atau


berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
Ayat (2)
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaanya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Ayat (3)
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaiman dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Di Indonesia, CSR saat ini bukan lagi bersifat sukarela/komitmen

yang dilakukan perusahaan dalam mempertanggungjawabkan kegiatan

usahanya, melainkan bersifat wajib/menjadi kewajiban bagi beberapa

perusahaan untuk melakukannya. Responsibility yang bersifat sukarela

sebagai tanggung jawab etis, berubah menjadi liability sebagai tanggung

jawab yuridis (akibat dari kegiatan perusahaan yang merugikan, misalnya


71
Ibid., hlm. 47.
49

pencemaran, rusaknya tatanan sosial, dan sebagainya). Hal ini menyebabkan

cakupan TJSL menjadi sangat luas, yaitu memberikan landasan hukum bagi

tanggung jawab etis maupun yuridis. Dengan TJSL perusahaan

bertanggungjawab secara etis dan sekaligus yuridis, terhadap seluruh kegiatan

perusahaan, baik yang merugikan maupun tidak.

Ketentuan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL)

seperti yang ditegaskan di dalam Pasal 74 UUPT 2007 bertujuan mewujudkan

pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan

dan lingkungan yang bermanfaat bagi perseroan itu sendiri, komunitas

setempat dan masyarakat pada umumnya. Ketentuan ini juga dimaksudkan

untuk mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang dan

sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat,

maka ditentukan bahwa perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau

berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TJSL. Untuk

melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan TJSL harus

dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang dilaksanakan

dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut dimuat

dalam laporan tahunan perseroan. Jika perseroan tidak melaksanakan TJSL,

maka perseroan yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.72

CSR merupakan suatu konsep yang penting untuk dilaksanakan oleh

perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan timbal balik

72
Sri Bakti Yunari, “Suatu Perbandingan Pengaturan Corporate Social Responsibility
(CSR) DI Taiwan dan di Indonesia”, Jurnal Legality, Volume 24 Nomor 1, Tahun 2016, hlm. 66.
50

yang saling sinergis antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan

sekitarnya. “Dengan diaturnya TJSL di dalam Pasal 74 UUPT, maka

kewajiban moral yang selama ini melekat pada CSR, berubah menjadi

kewajiban hukum (legal obligation), dan sifat CSR yang voluntary dianut

oleh negara-negara selama ini, di Indonesia berubah menjadi bersifat

Mandatory”.73

Konsep CSR oleh Pasal 74 ayat (1) UUPT 2007 telah ditetapkan
sebagai kewajiban hukum dan harus dilaksanakan. Dimasukannya
konsep CSR dalam ketentuan Pasal 74 tersebut merupakan suatu
langkah maju bagi masyarakat, bangsa dan negara walaupun
ketentuan tersebut terbatas bagi perusahaan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam.74

Kewajiban hukum dapat diartikan untuk memaksakan perusahaan

yang tidak memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial untuk menjalankan

kewajiban sosial dan lingkungan terhadap masyarakat di sekitar perusahaan

itu berada. Kewajiban atas tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi

perusahaan yang telah ditetapkan sebagai kewajiban hukum oleh UUPT 2007

mempunyai implikasi agar kewajiban perusahaan atas lingkungan sekitarnya

tidak hanya sebatas dalam tataran moralitas yang pelaksanaannya bersifat

sukarela, tetapi perlu diatur dalam suatu norma sebagai suatu kewajiban

hukum agar tercapai suatu kepastian hukum.

Mengenai filosofi dan paradigma dasar, TJSL adalah padanan kata


yang digunakan di dalam UUPT untuk penggunaan istilah corporate
social responsibility (CSR). CSR atau TJSL sebagai suatu konsep,
berkembang pesat sejak tahun 1980-an hingga 1990-an sebagai reaksi
73
Ibid.
74
Eny Suastuti, “Beberapa Kendala dalam Penerapan CSR (Analisis Pasal 74 UUPT)”,
Rechtidee Jurnal Hukum, Volume 9 Nomor 2, Tahun 2014, hlm. 218.
51

dan suara kerprihatinan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil


dan jaringan tingkat global untuk meningkatkan perilaku etis, fairness
dan responsibilitas perusahaan yang tidak hanya terbatas pada
perusahaan, tetapi juga pada stakeholder dan komunitas atau
masyarakat sekitar kerja dan operasinya.75

“Program CSR yang terpenting dalam aturan yang mewajibkan

programnya haruslah dilaksanakan secara berkelanjutan (suistanable)”.76

Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak

positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan. Dalam

pelaksanaan CSR ada hubungan timbal balik yakni saling membutuhkan dan

saling mempengaruhi antara perseroan dan stakeholders, di satu sisi

stakeholders merasakan manfaat peningkatan kualitas hidup dari pelaksanaan

CSR tersebut dan disisi lain perseroan juga merasakan manfaat dari

pelaksanaan CSR tersebut yakni kelancaran kegiatan usaha yang dilakukan

oleh perseroan dan mendapat keuntungan sosial berupa kepercayaan (trust)

dari stakeholders.

Ada nilai perusahaan yang terkandung di dalam CSR yaitu, pertama,


CSR bersifat sukarela, kedua, prinsip etis dan moral, dan ketiga, sifat
sukarela mencakup semua sektor, baik badan hukum publik dan
privat. CSR adalah prinsip yang bersifat etis dan moral yang
dinormakan oleh Pasal 74 UU PT menjadi bersifat kewajiban dan
memiliki sanksi bagi yang tidak menjalankan pasal tersebut.77

Dalil Mahkamah Konsitusi dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-

VI/2008 terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 40 tentang

75
Gunawan Wijaya, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas 150 Tanya Jawab tentang
Perseroan Terbatas, Cetakan Pertama, Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hlm. 96.
76
Dyah Permata Budi Asri, “Relevansi Antara Pelaksanaan Corporate Social
Responsibility (CSR) dengan Keberlanjutan Suatu Perusahaan”, Jurnal Cakrawala Hukum,
Volume VI Nomor 2, Tahun 2011, hlm. 34.
77
Eko Rial Nugroho, “Politik Hukum Pembaharuan Undang-Udang Nomor 40 Tahun 2007
tentang perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)”. Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM, Nomor 3 Volume 21, Tahun 2014, hlm. 487-488.
52

Perseroan Terbatas, “Bahwa hubungan antara moral dan etik dengan hukum

adalah bersifat gradual, dimana hukum merupakan formalisasi atau legalisasi

dari nilai-nilai moral. Dalam hubungan ini, nilai-nilai moral dan etik yang

diterima secara sukarela (voluntary) dan dianggap penting dapat saja diubah

secara gradual menjadi hukum atau Undang-Undang agar lebih mengikat”.

Penulis berpendapat bahwa pergeseran konsep dalam pelaksanaan

CSR di Indonesia yang semula hanya bersifat sukarela yang kini menjadi

kewajiban hukum, adalah merupakan suatu hal yang berbeda dengan konsep

dasar CSR yang berkembang di negara-negara maju, seperti CSR di Amerika

Serikat, Taiwan, dan Belanda. Hal ini dikarenakan tanggung jawab sosial dan

lingkungan yang diatur dalam Pasal 74 UUPT 2007 adalah sesuai dengan

falsafah bangsa Indonesia yang secara sosiologi berasaskan kekeluargaan

bukan individualistic. Karena itu konsep CSR yang dianut negara barat yang

cenderung pada asas ekonomi kapitalis dan liberal tentunya sangat berbeda

dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan yang dianut bangsa

Indonesia.

Bahwa pengaturan TJSL dengan kewajiban hukum (legal obligation)


lebih mempunyai kepastian hukum jika dibandingkan dengan CSR
yang bersifat sukarela (voluntary). Penormaan TJSL akan dapat
menghindarkan penafsiran yang beragam dari perusahaan, hal
demikian dimaksudkan agar memiliki daya atur, daya ikat, dan daya
dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL, sebaliknya
pengaturan TJSL dengan voluntary tidak cukup kuat untuk dapat
memaksa perusahaan melaksanakan TJSL, sehingga dengan
meningkatkan CSR dari voluntary menjadi TJSL yang mandatory
diharapkan adanya kontribusi dari perusahaan untuk ikut
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.78
78
Dalil Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 53/PUU-VI/2008
terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, hlm. 93.
53

Masih banyak perusahaan di Indonesia seperti perusahaan batubara

yang mengeksploitasi sumber daya alam yang tidak menjalankan prinsip

pertanggungjawaban sosial dan lingkungan apabila CSR dilakukan melalui

konsep pendekatan sukarela. Oleh karenanya pendekatan konsep mandatory,

yaitu dengan adanya pengaturan oleh undang-undang diperlukan terutama

bagi masyarakat, baik dari sisi pelaku usaha dan konsumen yang masih

memiliki tingkat kesadaran sosial dan lingkungan yang rendah seperti

Indonesia.

Ada 2 (dua) landasan berkenanaan dengan corporate social


responsibility (CSR) yaitu berasal dari etika bisnis dan dimensi sosial
dari etika bisnis. CSR atau sering diartikan “being socially
responsible” jelas merupakan suatu cara-cara yang berbeda dalam
negara yang berbeda pula. Artinya penerapan CSR di masing-masing
negara harus disesuaikan dengan konteks sosial dan lingkungannya.
Sehingga perlu berhati-hati dalam menerapkan konsep CSR dari
negara-negara maju di negara-negara yang sedang berkembang.79

Dari ketentuan Pasal 74 UUPT 2007 yang mengatur tentang CSR,

terkandung ide dasar yang sarat nilai-nilai sosial serta moral yaitu aktivitas

perusahaan diharapkan tidak hanya terfokus pada pengelolaan perusahaan

guna mengejar keuntungan secara ekonomi, tetapi juga menaruh kepedulian

pada lingkungan sekitarnya. Sejatinya kemajuan perusahaan beriringan

dengan kemakmuran dan kesejateraan sekitarnya.

“Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi

dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate

79
Melianny Budiarti S. & Santoso Tri Raharjo, “Corporate Social Responsibility (CSR)
dari Sudut pandang Perusahaan”, Share Social Work Journal, Volume 4 Nomor 1, Tahun 2014,
hlm. 15.
54

Governance)”.80 Pelaksanaan CSR berkenaan dengan pelaksanaan prinsip

responsibility dan fairness dalam perlakuan perusahaan kepada stakeholders.

Konsep ini mencakup berbagai kegiatan dan tujuannya mengembangkan

masyarakat yang sifatnya produktif dan melibatkan masyarakat didalam dan

diluar perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bagian dari


perkembangan Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola
perusahaan yang baik. CSR merupakan gejala kecenderungan global
yang mendorong peningkatan kapasitas dan kualitas atau mutu suatu
perusahaan.81

Secara umum prinsip-prinsip dasar yang harus diterapkan oleh

perusahaan dalam rangka Good Corporate Governance (GCG) atau tata

kelola perusahaan yang baik adalah:82

1. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan pembagian tugas,


wewenang, dan tanggung jawab masing-masing organ-organ
perusahaan yang diangkat setelah melalui fit and propertest,
sehingga pengelolaan perusahaan dapat dilaksanakan secara efektif
dan efesien.
2. Kemandirian (Independency), yaitu suatu keadaan, perusahaan
dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan
pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, terutama pemegang
saham mayoritas, yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undanganyang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yangn baik.
3. Transparansi (Transparancy), yaitu keterbukaan terhadap proses
pengembilan keputusan, dan penyampaian informasi mengenai
segala aspek perusahaan terutama yang berkaitan dengan
kepentingan stakeholder dan publik secara benar dan tepat waktu.
4. Pertanggungjawaban (Respossibility), yaitu perwujudan kewajiban
organ perusahaan untuk melaporkan kesesuaian pengelolaan
perusahaan dengan peraturan perundang-undanngan yang

80
Eny Suastuti, Op. Cit., hlm. 204.
81
Suhermanto, “Aspek Hukum Penerapan Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (PT) Dikaitkan Dengan Eksistensi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL) di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara Berbadan Hukum Perseroan Terbatas (PT)”,
Jurnal Pakuan Law Review, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2015, hlm. 120.
82
I Ketut Westra, “Implementasi Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan
Publik di Indonesia”, Jurnal Hukum Kerta Patrika, Volume 34 Nomor 1, Tahun 2010, hlm. 43.
55

berlaku,dan keberhasilan maupun kegagalannya dalam pencapaian


visi, misi, tujuan, dan sasaran perusahaan yang telah ditetapkan.
5. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan dalam
memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan
perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terwujudnya pelaksanaan GCG akan memberikan manfaat berupa

penambahan nilai pada perusahaan, serta mengurangi terjadinya

penyimpangan dalam pengurusan perusahaan. Sesungguhnya substansi

keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan

itu sendiri dengan membangun kerjasama antar stakeholders. Atau dalam

pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan

lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik

lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR harus

mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.83

Di dalam laporan WCED (Word Commission on Environment

Development) mendefisikan pembangunan berkelanjutan sebagai:

”Pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini, tanpa

mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan

mereka”. Dengan demikian konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan

jangka panjang dan berupaya menyediakan sumber daya yang cukup dan

lingkungan sehat yang mendukung kehidupan. Konsep tersebut sesuai dengan

sasaran dan tujuan CSR yang berperan serta dalam pembangunan ekonomi,

sosial dan lingkungan secara berkelanjutan.84

83
Elita Rahmi, Op. Cit., hlm. 138.
84
Sunaryo, “Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Perspektif Pembangunan
Berkelanjutan”, Fiat Justicia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 7 Nomor 1, Tahun 2013, hlm. 268-269.
56

Rendahnya komitmen perusahaan pada aspek lingkungan dan sosial

sekitar, sebenarnya tidak dapat dilepas dari masih diterapkannya paradigma

lama dalam pengelolaan perusahaan, yaitu: keuntungan perusahaan hanya

dapat diperoleh pada saat perusahaan mampu menerapkan strategi perusahaan

secara tepat, di luar strategi perusahaan, seperti pemberdayaan masyarakat,

pelestarian lingkungan, yang tidak akan memberikan konstribusi yang

signifikan terhadap pencapaian keuntungan perusahaan. Padahal, adanya

pemisahaan antara tujuan ekonomi dan sosial adalah pandangan yang keliru,

karena perusahaan tidak berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya.

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sejatinya dapat mendorong

terwujudnya kesejahteraan rakyat karena adanya alokasi dana dari perusahaan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. “Pelaku usaha harus

mampu bekerja sama dengan Pemerintah dalam upaya mensejahterakan

rakyat”.85 Program yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam kaitannya

dengan tanggung jawab sosial di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga

bentuk, yaitu:86

1. Public Relations, yakni usaha untuk menanamkan persepsi positif


kepada komunitas tentang kegiatan yang dilakukan perusahaan.
85
Kesejahteraan rakyat tersirat sebagai tugas Pemerintah melalui Alinea-IV Pembukaan
UUD 1945, yang menyatakan bahwa: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
86
Nur Arifudin, “Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul,
Volume 4 Nomor 2, Tahun 2008, hlm. 132.
57

2. Strategi Defensif, usaha yang dilakukan perusahaan guna


menangkis anggapan negatif komunitas yang sudah tertanam
terhadap kegiatan perusahaan. Usaha CSR yang dilakukan adalah
untuk merubah anggapan yang berkembang sebelumnya dengan
menggantinya dengan yang baru yang bersifat positif.
3. Kegiatan yang berasal dari visi perusahaan, yakni melakukan
program untuk kebutuhan komunitas sekitar perusahaan yang
berbeda dari hasil perusahaan itu sendiri.

Setidaknya menurut hemat penulis, ada tiga alasan penting mengapa

para pelaku usaha harus merespon dan mengembangkan konsep tanggung

jawab sosial sejalan dengan kegiatan usahanya. Pertama, perusahaan adalah

bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan

memperhatikan kepentingan masyarakat. Kedua, para pelaku usaha dan

masyarakat seharusnya memiliki hubungan yang saling menguntungan.

Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk

menghindari konflik sosial. Melalui implementasi CSR, keseimbangan dan

keharmonisan antara perusahaan dan masyarakat akan terbangun dengan pola

saling menguntungkan dan mendukung kemajuan bersama.


58

B. Ukuran dari tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social

Responsibility) berdasarkan kepatutan dan kewajaran menurut Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Pada bahasan sebelumnya, penulis telah menerangkan bahwa konsep

tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (CSR) menurut UUPT

2007 merupakan suatu kewajiban hukum (bersifat mandatoty) yang harus

dilakukan oleh perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang

dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Adapun pelaksanaanya

dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Namun makna

kepatutan dan kewajaran menjadi multitafsir baik penafsiran dalam

perundang-undangan maupun sumber hukum positif lainnya, sehingga

menimbulkan ketidakpastian hukum. Pada pembahasan kedua ini, penulis

akan mencoba menerangkan apakah makna dari kepatutan dan kewajaran itu

sendiri serta ukuran seperti bagaimanakah yang dimaksud UUPT 2007 dalam

melaksanakan TJSL/CSR berdasarkan kepatutan dan kewajaran.

Ketidakpastian lainnya adalah menyangkut pola alokasi dana CSR.


Tidak satupun dari peraturan perundang-undangan yang mengatur
secara rinci pola alokasi dana CSR baik yang berasal dari anggaran
maupun dari laba yang disisihkan. Pasal 74 ayat (2) UUPT
menyebutkan bahwa pelaksanaan CSR atau TJSL dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ukuran dari kepatutan dan
kewajaran tersebut tidak disebutkan perundang-undangan, perseroan
terbatas memiliki keleluasaan untuk menentukan besaran alokasi dana
CSR yang patut dan wajar. Pasal 74 ayat (2) menetapkan CSR sebagai
kewajiban hukum tetapi ukuran pelaksanaanya lebih mengarah pada
pertimbangan moralitas perusahaan.87

87
Mahmul Siregar, “Prediktabilitas Regulasi Tanggung jawab Sosial Perusahaan
( Corporate Social Responsibility) di Indonesia”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Volume II
Nomor 1, Tahun 2016, hlm. 101.
59

Ditentukan dalam Pasal 74 UUPT 2007 bahwa:

1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahnya di bidang dan/atau


berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan
dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaanya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dari penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa ketentuan tersebut

bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang serasi,

seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya

masyarakat setempat. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya

dibidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya

mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Perseroan yang

menjalankan kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah

perseroan yang tidak memanfaatkan sumber daya alam tetapi kegiatan

usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Yang

dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang terkait.88

Makna dari kepatutan menurut penjelasan Pasal 74 ayat 2 UUPT 2007

dinyatakan “cukup jelas”, namun pengertian kepatutan itu sendiri belumlah

jelas karena perusahaan bisa mengatakan bahwa anggaran program

88
Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
60

CSR/TJSL dan pelaksanaan yang dilakukan sudah sesuai dengan kepatutan,

tetapi masyarakat maupun pemerintah dapat juga mengatakan yang

sebaliknya. Kata kepatutan dapat memberikan ketidakjelasan bagi

stakeholders atau pemangku kepentingan. “Di dalam Pasal 74 ayat (2) UUPT

2007 tidak disebutkan secara tegas berapa persen untuk melaksanakan

CSR/TJSL dari perusahaan. Dengan demikian peraturan ini tidak memiliki

kepastian hukum untuk dilaksanakan”.89

Pasal 74 UUPT tidak mengatur stakeholder yang berhak mendapatkan


CSR atau stakeholder mana yang diprioritaskan memperoleh CSR,
apakah primary stakeholder atau secondery stakeholder. Dalam
konteks yang demikian, mengingat CSR berdasarkan Pasal 74 adalah
anggaran biaya yang bersumber dari dana milik perseroan, maka
tentulah perseroan yang menetapkan prioritas penerima dana CSR.
Hal ini mengakibatkan CSR berdasarkan Pasal 74 UUPT lebih
diarahkan pada kewajiban menyediakan dana dalam anggaran tanpa
mengatur penggunaannya. Kewajiban yang demikian menggambarkan
kewajiban CSR menjadi dipersempit dalam bentuk pemberian dana
kepada pemangku kepentingan.90
Pasal 74 ayat (2) UUPT 2007 menentukan bahwa TJSL sebagaimana

ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan

diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaanya memperhatikan

kepatutan dan kewajaran. Maksud kewajiban perusahaan yang dianggarkan

dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan adalah bahwa TJSL harus

ditetapkan dalam anggaran perusahaan. Disinilah adanya unsur pemaksaan

dalam penerapan TJSL, yang apabila tidak dilaksanakan akan dikenakan

sanksi hukum (Pasal 74 ayat (3) UUPT 2007).

89
Sulaeman, “Asas Kepatutan dalam Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan pada
Perseroan”, Badamai Law Journal, Volume 1 Nomor 1, Tahun 2016, hlm. 66.
90
Mahmul Siregar, Loc. Cit.
61

Apabila TJSL ditetapkan di dalam anggaran perusahaan maka akan

dapat memberatkan perusahaan, dikarenakan kondisi keuangan perusahaan

yang berbeda-beda. Oleh karena itu terdapat frase “kepatutan dan kewajaran”

sebagai jalan keluar bagi Pemerintah untuk menentukan pelaksanaan TJSL.

Maksudnya adalah sebagai alasan Pemerintah untuk menerapkan TJSL

kepada perusahaan-perusahaan yang sedang berkembang.91

Secara etimologi, kepatutan diartikan sebagai kepantasan, kelayakan,

kesesuaian atau kecocokan, dimana dimaksudkan atas segala yang kita

lakukan hendaknya sesuai dengan batas-batas yang berlaku di masyarakat. 92

Menurut Mariam Darus, ”kepatutan adalah yang dapat dirasakan sebagai

sopan, patut dan adil. Jadi rumus kewajaran dan kepatutan meliputi semua

yang dapat ditangkap, baik dengan intelek maupun perasaan”.93

Asas kepatutan termuat dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang


menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-
hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan. Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian. Asas ini merupakan ukuran tentang hubungan
yang ditentukan juga oleh rasa keadilan masyarakat. Isi perjanjian
yang dimaksudkan adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh
kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban mereka di dalam
perjanjian tersebut. 94

Kepatutan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang secara bersama-sama

dengan kebiasaan dan undang-undang harus diperhatikan pihak-pihak dalam

91
Sulaeman, Loc. Cit.
92
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/kepatutan. Diakses pada tanggal 21
Mei 2020.
93
Hukum Online. Profesor FH USU Bedah Definisi “Asas Itikad Baik”,
http://m.hukumonline.com/. Diakses pada tanggal 21 Mei 2020.
94
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, Tahun
1993, hlm. 187.
62

melaksanakan perjanjian. Hal kepatutan dalam pelaksanaan perjanjian berada

pada itikad baik, sekedar itikad baik ini memenuhi unsur subjektif, terletak

pada hati sanubari orang-orang yang berkepentingan, sedangkan kepatutan

mempunyai unsur objektif, terletak terutama pada hal keadaan sekitar

persetujuan.95 Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dilihat bahwasannya

kepatutan yang dimaksud disini ialah kepatutan yang sifatnya merupakan

keadilan atau keseimbangan sehingga menciptakan suatu kesesuaian, yang

dirasa baik dan tidak melanggar ketentuan serta pandangan kebiasaan yang

baik dan tumbuh berkembang di masyarakat.

Pemaknaan atas kata kewajaran, yang memliki kata dasar wajar yakni

tidak menyimpang atau tidak menyalahi dari sebuah ketentuan yang ada, atau

wajar merupakan sesuatu yang dianggap dan dipersepsikan tentang hal yang

semestinya. Wajar lebih memberikan pengertian terhadap subjek atau kata

sifat, sedangkan kewajaran merupakan gambaran yang menunjuk kepada

sebuah objek. Sehingga menurut KBBI kewajaran yang memiliki kata dasar

wajar ialah suatu hal yang memang semestinya dan tidak melanggar atas

ketentuan yang ada.96

Kewajaran atau wajar, dimaknai sebagai sebuah perbuatan atau

aktivitas yang sudah selayaknya, sudah seharusnya dilakukan oleh seseorang,

baik yang menyangkut akan diri sendiri, orang lain pada sebuah situasi

(berkaitan dengan waktu), dan kondisi (berkaitan dengan tempatnya) tertentu.

95
Ibid.
96
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Kewajaran. Diakses
pada tanggal 30 Mei 2020.
63

Sehingga pemaknaan atas sebuah kewajaran merupakan hal yang dinamis,

tergantung dari sudut mana dipandang dan dipersepsikan.97

Dalam UUPT 2007, CSR/TJSL merupakan kewajiban perseroan

sebagai legal entity yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya

perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan

dan kewajaran, maka dalam hal ini harus ada itikad baik dari perusahaan.

“Itikad baik dalam arti subjektif merupakan suatu batin atau keadaan jiwa,

sehingga itikad baik dimaknai sebagai keinginan dalam hati sanubari pihak

yang menguasai/memegang barang pada waktu ia mulai menguasai barang

tersebut. Sedangkan arti objektif, itikad baik diartikan sebagai kepatutan”.98

Dalam penjelasan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun

2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang dimaksud

dengan kepatutan dan kewajaran adalah kebijakan perseroan, yang

disesuaikan dengan kemampuan keuangan perseroan, dan potensi resiko yang

mengakibatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus ditanggung oleh

perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya yang tidak mengurangi kewajiban

sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan kegiatan perseroan.

Jumlah biaya dan proporsinya untuk CSR/TJSL ditentukan sendiri

oleh perseroan berdasarkan keuntungan atau laba bersih perseroan tersebut.

Oleh karena itu kepatutan dapat dikatakan sebagai kelayakan, kepantasan atau

97
Rachmad Robby Nugraha, dkk. Op. Cit., hlm. 180.
98
Antique, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSL) dan Hukum
Lingkungan, http://antiquem.blogspot.co.id. Diakses pada tanggal 21 Mei 2020.
64

itikad baik perseroan dalam melaksanakan tanggung jawab sosial dan

lingkungan.

TJSL merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap


lingkungannya bagi kepedulian sosial maupun tanggung jawab
lingkungannya dengan tidak mengabaikan kemampuan perusahaan.
perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan
keputusannya tidak hanya berdasarkan faktor keuangan belaka seperti
halnya keuntungan atau deviden, melainkan juga harus berdasarkan
konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun jangka
panjang.99

Dalam penelitian terdahulu, yang dilakukan oleh Rachmad Robby

Nugraha, Siti Hamidah, dan Moh. Fadli, yang melakukan penelitian tentang

makna kepatutan dan kewajaran berkaitan dengan tanggung jawab sosial

perusahaan dalam UUPT 2007 yang ditinjau dari aspek jumlah, sasaran, dan

bentuknya, adapun dalam hasil penelitiannya menjelaskan sebagai berikut:

1. Patut dan wajar dalam bentuk jumlah dan jenisnya, berdasarkan jumlah

yang diberikan patut dan wajar terimplisitkan sebagai jumlah dan

ketentuan pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan sebagai bentuk

CSR haruslah sesuai dengan proporsinya dengan tidak bertentangan

dengan ketentuan yang diatur oleh perundangan, sedangkan dalam sudut

jumlah dalam jenisnya terhadap patut dan wajar yakni jenis objek dan

bentuk dripada jumlah yang dikeluarkan perusahaan untuk penyaluran

CSR dapat dikeluarkan atas bentuknya sebagai dana atau uang dan juga

barang atau benda, selama peruntukannya sesuai dengan prinsip

pengelolaan dan pelaksanaan CSR serta tidak melanggar norma maupun

perundangan yang berlaku.100


99
Sulaeman, Op. Cit., hlm. 60-61.
100
Rachmad Robby Nugraha, dkk. Op. Cit., hlm. 182.
65

2. Kepatutan dan kewajaran dipandang dari sudut sasaran.

Terhadap kepatutan dan kewajaran yang dipandang dari sudut sasaran

atau tujuan dari pelaksanaan CSR perusahaan, merunut kembali atas

bentuk kepatutan terhadap sasaran yakni, sasaran yang tepat guna dimana

patut disini diartikan sebagai hal yang adil yakni sesuai dengan

kebutuhan, sehingga kepatutan dapat dimaknai dengan sasaran berupa

subjek sosialnya maupun lingkungannya yang berdampak langsung dari

segala aktivitas bisnis yang dilakukan oleh perusahaan dan dirasa

kebutuhannya sesuai dengan kebutuhan yang ada, kebutuhan yang sesuai

dengan kemampuan dan tujuan prioritas CSR perusahaan berdasarkan

penjelasan Pasal 5 PP Nomor 47 Tahun 2012. Terhadap bentuk dan

pemaknaan atas kewajaran terhadap sasaran atau yang menjadi tujuan

dari CSR perusahaan, ialah suatu bentuk kepada sasaran yang memang

sudah selayaknya dan seharusnya diberikan sebuah penyaluran CSR

perusahaan. Atas sasaran yang menjadi tujuan tersebut dipandang

memang seharusnya diberikan sesuai dengan manajemen potensi resiko

perusahaan dan tidak melanggar norma serta ketentuan perundang-

undangan yang berlaku.101

Mengenai anggaran CSR yang dilakukan dengan memperhatikan

kepatutan dan kewajaran, sedangkan nilai patut dan wajar suatu perusahaan

tidak sama dengan perusahaan lain, maka batasan nilai patut dan wajar ini

belum bisa dijadikan sebagai acuan yang konkrit bagi perusahaan dalam

101
Ibid.
66

mengimplementasikan program CSR.102 Ukuran kepatutan dan kewajaran

tersebut berbeda-beda dalam setiap perusahaan karena adanya perbedaan dari

ukuran perusahaan, kondisi kemampuan keuangan perusahaan, kondisi

stakeholder perusahaan, rencana pengembangan perusahaan dan kondisi

perekonomian.

Pada dasarnya kegiatan CSR sangat beragam bergantung pada proses

interaksi sosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika,

dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan

perundang-undangan. Oleh karena itu, didalam praktek, penerapan CSR

selalu disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan

kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu dirumuskan bersama 3 pilar

yakni dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat setempat dan kemudian

dilaksankan sendiri oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian adalah

tidak mungkin untuk mengukur pelaksanaan CSR.103

Pelaksanaan CSR harus berkenaan dengan prisip 3P (Profit, People,

dan Planet). Profit, berarti perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari

keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk tetap terus beroperasi dan

berkembang. People, berarti perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap

kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR

seperti pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, serta penguatan kapasitas

ekonomi lokal. Sementara Planet, berarti perusahaan peduli terhadap

102
Martin, Marthen B. Salnding, Inggit Akim, “Implementasi Corporate Social
Responsibility (CSR) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas”, Journal of Private and Commercial Law, Volume 1 Nomor 1, Tahun 2017, hlm. 115.
103
Mas Achmad Daniri, “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”, Jurnal, KADIN-
Indonesia, Tahun 2008, hlm. 27.
67

lingkungan hidup dan berkelanjutan keragaman hayati. Beberapa program

CSR yang berpijak pada prinsip ini melakukan kegiatan CSR berupa

penghijauan lingkungan hidup, penyediaan air bersih, perbaikan pemukiman

dan pengembangan pariwisata (ecotourism).104

“Bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering

diterapkan di Indonesia adalah Community Develovment”.105 Perusahaan yang

menggunakan konsep ini akan menekankan kepada pembangunan sosial dan

kapasitas masyarakat sehingga menggali potensi masyarakat lokal, serta

membangun citra perusahaan yang ramah dan peduli terhadap lingkungan.

Konsep Community Development merupakan istilah yang


dimaksudkan untuk mewakili pemikiran tentang pengembangan
masyarakat dalam konteks pembangunan sumber daya manusia ke
arah kemandirian, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran
perusahaan di tengah kehidupan masyarakat dengan berbagai
kegiatannya menimbulkan ketidaksetaraan sosial ekonomi anggota
masyarakat lokal dengan perusahaan ataupun pendatang lainnya,
sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk meningkatkan daya saing
dan kemandirian masyarakat lokal. Diperlukannya suatu wadah
program yang berbasis pada masyarakat yang sering disebut sebagai
community development untuk menciptakan kemandirian komunitas
lokal untuk menata sosial ekonomi mereka sendiri.106

Setiap masyarakat tentunya memiliki local wisdom yang berbeda di

setiap daerah, sehingga program-program tanggung jawab sosial perusahaan

harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat tersebut. Hal ini

dikarenakan perusahaan sebagai agent of development ditengah-tengah

104
Joko Rizkie Widokarti, “Masalah Dasar Pengelolaan Corporate Social Responsibility
(CSR) DI Indonesia”, Jurnal Universitas Terbuka, Tahun 2014, hlm. 15.
105
Putri Nesia Dahlius, dkk., “Analisis Hukum Terhadap Kebijakan Corporate Social
Responsibility (CSR) Pada PT. Bank Sumut”, USU Law Journal, Volume 4 Nomor 1, Tahun
2016, hlm. 47.
106
Ibid.
68

masyarakat. Dengan demikian, sangat penting bagi perusahaan untuk

mengetahui kondisi-kondisi sosial budaya masyarakat sekitar.107

Kegiatan-kegiatan CSR perusahaan dengan demikian membutuhkan

pemahaman yang baik dan mendalam mengenai kondisi masyarakat setempat

dimana kegiatan CSR tersebut dilakukan. Peran masyarakat dan stakeholders

menjadi penting untuk dilibatkan dalam pelaksanaan CSR tersebut.

Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam pandangan CSR

adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil

terbaik, dengan paling sedikit merugikan masyarakat maupun lingkungan.

Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah prinsip golden rules,

yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain

sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu perusahaan

yang mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat

terbesar bagi masyarakat.108

107
Melianny Budiarti S. & Santoso Tri Raharjo, Op. Cit., hlm. 15.
108
Dyah Permata Budi Asri, Op. Cit., hlm. 36-37.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka

penulis menyimpulkan:

1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (CSR) menurut

UUPT 2007 adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam

pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas

kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri,

komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Konsep CSR

tersebut merupakan suatu kewajiban hukum (bersifat mandatoty) yang

harus dilakukan oleh perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di

bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Adapun

pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan

kewajaran.

2. Kepatutan dan kewajaran adalah kebijakan perseroan, yang disesuaikan

dengan kemampuan keuangan perseroan, dan potensi resiko yang

mengakibatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan harus ditanggung

oleh perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya yang tidak mengurangi

kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan perseroan. Ukuran

kepatutan dan kewajaran tersebut berbeda-beda dalam setiap perusahaan

karena adanya perbedaan dari ukuran perusahaan, kondisi kemampuan


70

keuangan perusahaan, kondisi stakeholder perusahaan, rencana

pengembangan perusahaan dan kondisi perekonomian. Ukuran Kepatutan

dan Kewajaran dilihat dari jumlahnya, pengeluaran yang dikeluarkan

oleh perusahaan haruslah sesuai proporsinya dan kekuatan perusahaan.

Kepatutan dan kewajaran dilihat dari sasarannya maksudnya harus sesuai

dengan prioritas perusahaan dalam penyaluranya, diberikan kepada

yang berpotensi terkena resiko perusahaan serta tidak melanggar

norma dan peraturan yang berlaku.

B. Saran

Pemerintah perlu mengkaji ulang mengenai ketentuan Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang terdapat dalam UUPT 2007 yang

pelaksanaanya telah ditetapkan sebagai kewajiban hukum. Hal ini tentunya

berbeda dengan filosofi dasar pemahaman CSR yang pelaksananya secara

sukarela dan berdasarkan tanggung jawab moral dan etis. Akibat dari CSR

yang telah dijadikan kewajiban hukum, maka tentunya harus ada ukuran yang

pasti dalam pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh Perusahaan agar dapat

menjamin kepastian hukum. Seharusnya CSR tidak ditetapkan besarannya

oleh pemerintah. Jika CSR diatur seperti itu, Indonesia akan menjalankan

ketentuan yang tidak lazim dalam praktik bisnis Internasional. Penulis

berpendapat bahwa ini akan menjadi penghambat dalam iklim investasi di

Indonesia. Peraturan Pemerintah yang mengatur CSR tidak manafsirkan

ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dengan lebih rigid, CSR

perlu dipahami sebagai komitmen bisnis untuk melakukan kegiatannya secara


71

beretika dan berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan serta

memperhatikan lingkungan dan sosial disekitar perusahaan, melalui

kerjasama dengan para pemangku kepentingan. Artinya, harus ada

kesepakatan bersama dalam pengimplemtasikan CSR tersebut.


72

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adjie, Habbie. Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab


Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008.

Bakti, Yudha. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000.

Erwin, Muhammad. Filsafat Hukum Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2015.

Harahap, M. Yahya. Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, 2016.

Kansil, Cst dkk, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, 2009.

Kartini, Dwi. Corporate Social Responsibility Transformasi Konsep


Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2009.

Mardikanto, Totok. Corporate Social Responsibility: Tanggung Jawab Sosial


Korporasi. Cet. 1, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

_____________. Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.

Nasution, Bahder Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,


Bandung, 2008.

Prodjodikoro, Wirjono. Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,


1993.

Rato, Dominikus. Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami


Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010.

Redi, Ahmad. Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Cetakan


Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2018.

Rudito, Bambang dan Melia Famiola. etika bisnis dan tanggung jawab sosial
perusahaan di Indonesia, Rekayasa Sains Bandung, Bandung, 2007.

_______________. Corporate Social Responsibility, Rekayasa Sains,


Bandung, 2013.
73

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu


Tinjauan Singkat. Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Solihin, Ismail. Corporate Social Responsibility: From Chairity to


Substainability, Salemba Empat, Jakarta, 2009.

Susanto, A.B. Corporate Social Responsibility, The Jakarta Colsulting Groub,


Jakarta, 2007.

Thamrun, John. Perselisihan Prayudisial Penundaan Pemeriksaan Perkara


Pidana Terkait Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2016,

Tjager, I Nyoman. Corporate Governance (Tantangan dan Kesempatan


Komunitas Bisnis Indonesia), PT. Perhalindo, Jakarta, 2002.

Untung, Budi Hendrik. Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta,


2008.

Wijaya, Gunawan. Seri Pemahaman Perseroan Terbatas 150 Tanya Jawab


tentang Perseroan Terbatas, Cetakan Pertama, Forum Sahabat,
Jakarta, 2008.

B. Jurnal/Majalah Ilmiah

Arifudin, Nur. “Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Perspektif


Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”,
Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Volume 4 Nomor 2, Tahun
2008.

Azheri, Busyra. “Tanggung Jawab Sosial Perusahaaan (Corporate Social


Responsibility) dalam Kegiatan Pertambangan di Sumatera Barat”,
Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang, 2010.

Bakti, Sri Yunari. “Suatu Perbandingan Pengaturan Corporate Social


Responsibility (CSR) DI Taiwan dan di Indonesia”, Jurnal Legality,
Volume 24 Nomor 1, Tahun 2016.

Budiarti S., Melianny & Santoso Tri Raharjo, “Corporate Social


Responsibility (CSR) dari Sudut pandang Perusahaan”, Share Social
Work Journal, Volume 4 Nomor 1, Tahun 2014

Daniri, Mas Achmad.. “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”,


Jurnal, KADIN-Indonesia, Tahun 2008.
74

D.M.H. Meuwissen. ”(Van Apeldoorn’s: 448) Van Apeldoorn’s Inleiding Tot


de Studies van Het Nederlandse Recht.” yang dikutip oleh Philipus M.
Hadjon, dalam Yuridika, No. 6, Surabaya, 1994.

Edgar, Putu Tanaya. “Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Corporate Social


Responsibility (CSR) Sebagai Etika Bisnis dan Etika Sosial”, Jurnal
Komunikasi Hukum, Volume 2 Nomor 2, Tahun 2016.

Hadiyanto,Yosi. “Aspek Hukum Al-Wadi’ah Yad Adh-Dhamanah pada


Perbankan Syariah”, Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas
Negeri Jember, Jember, Tahun 2013.

Hasan, Umar. ”Kewajiban Corporate Sosial Responsibility (CSR) Dilihat dari


Perspektif Hukum”, Majalah Hukum Forum Akademika, Nomor 1
Tahun 2014.

Hayat, “Keadilan sebagai Prinsip Negara Hukum”, Jurnal Ilmu Hukum,


Volume 2 Nomor 2, Tahun 2015.

Hundory, Muhammad., et, Al. “Urgensi Etika Bisnis dalam Wujudkan


Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Sesuai Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, Jurnal
Living Law, Volume 11 Nomor 1, Tahun 2019.

Ketut, I Westra. “Implementasi Good Corporate Governance (GCG) dalam


Perusahaan Publik di Indonesia”, Jurnal Hukum Kerta Patrika,
Volume 34 Nomor 1, Tahun 2010.

Ketut, Ni Supasti Dharmawan. “A Hybrid Framework Suatu Alternatif


Pendekatan CSR (Corporate Social Responsibility) di Indonesia”,
Jurnal Hukum Kertha Patrika, Volume 34 Nomor 1, Tahun 2010.

Marnelly, T. Romi. “Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teori


dan Praktek di Indonesia”, Jurnal Aplikasi Bisnis, Volume 2 Nomor 2,
Tahun 2012.

Marthen B., Martin, Salnding, Inggit Akim. “Implementasi Corporate Social


Responsibility (CSR) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas”, Journal of Private and
Commercial Law, Volume 1 Nomor 1, Tahun 2017.

Maryama, Siti. “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam Perspektif


Regulasi (Studi: Indonesia, Belanda dan Kanada”, Jurnal Liquidity,
Volume 2 Nomor2, Tahun 2013.

Maryoto, Andreas. “Dari CSR ke Inovasi Sosial”, Opini, Jakarta: Harian


Kompas Tahun 2010.
75

Nesia, Putri Dahlius, dkk., “Analisis Hukum Terhadap Kebijakan Corporate


Social Responsibility (CSR) Pada PT. Bank Sumut”, USU Law
Journal, Volume 4 Nomor 1, Tahun 2016.

Nugraha, Rachmad Robby, dkk. “Makna Kepatutan dan Kewajaran Berkaitan


Dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”, Jurnal Ilmiah
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Volume 3 Nomor 2.

Prayogo, R. Tony. “Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan


Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materil dan
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang (The
Implementation Of Legal Certainly Principle In Supreme Court
Regulation Number 1 Of 2011 On Material Review Rights And In
Constitutional Court Regulation Number 06/PMK/2005 On
Guidelines For The Hearing In Judicial Review)”. Jurnal Legislasi
Indonesia, Volume 13, Nomor 02, Tahun 2016.

Permata, Dyah Budi Asri. “Relevansi Antara Pelaksanaan Corporate Social


Responsibility (CSR) dengan Keberlanjutan Suatu Perusahaan”, Jurnal
Cakrawala Hukum, Volume VI Nomor 2, Tahun 2011.

Purba, Achmad Zen Umar. “BUMN, Konsekuensi Negara Berniaga,” Harian


Umum Kompas, 24 Maret 2008.

Raharjo, Satjipto. “Tribun Untuk Mahkamah Konstitusi (Opini) Kompas”,


Kompas, 14 Juni 2009.
Rahmi, Elita. “Standarisasi Lingkungan (ISO 26000) Sebagai Harmonisasi
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Instrumen Hukum di
Indonesia”, Inovatif Jurnal Ilmu Hukum, Volume IV Nomor V, Tahun
2011.

Ramlan, “Tinjauan Filosofis Aspek Kepastian Hukum antara Pemerintah


dengan Pemerintah Daerah dalam Implementasi Undang-Undang
Penanaman Modal di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3
Nomor 1, Tahun 2012.

Rial, Eko Nugroho. “Politik Hukum Pembaharuan Undang-Udang Nomor 40


Tahun 2007 tentang perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta
Penjelasannya)”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Nomor 3
Volume 21, Tahun 2014.

Rizkie, Joko Widokarti. “Masalah Dasar Pengelolaan Corporate Social


Responsibility (CSR) DI Indonesia”, Jurnal Universitas Terbuka,
Tahun 2014.
76

Simbiring, Sentosa. “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate


Social and Environment Resposibilities) Dalam Perspektif Hukum
Perusahaan”, Jurnal Hukum Yusriri A, Edisi Nomor 77 Tahun 2009,
hlm. 66.

Siregar, Mahmul. “Prediktabilitas Regulasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan


(Corporate Social Responsibility) Di Indonesia”, Jurnal Hukum
Samudra Keadilan, Volume II Nomor 1, Tahun 2016.

Suastuti, Eny. “Beberapa Kendala dalam Penerapan CSR (Analisis Pasal 74


UUPT)”, Rechtidee Jurnal Hukum, Volume 9 Nomor 2, Tahun 2014.

Suhermanto, “Aspek Hukum Penerapan Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007


tentang Perseroan Terbatas (PT) Dikaitkan Dengan Eksistensi
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) di Lingkungan
Badan Usaha Milik Negara Berbadan Hukum Perseroan Terbatas
(PT)”, Jurnal Pakuan Law Review, Volume 1 Nomor 1, Tahun 2015.

Sulaeman, “Asas Kepatutan dalam Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan


pada Perseroan”, Badamai Law Journal, Volume 1 Nomor 1, Tahun
2016.

Sunaryo, “Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Perspektif


Pembangunan Berkelanjutan”, Fiat Justicia Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 7 Nomor 1, Tahun 2013.

Zaini, Ihwan. “Pelaksanaan Eksekusi Hukuman Mati dalam Sistem Peradilan


Pidana (Upaya Pencarian Kepastian Hukum)”. Jurnal Nestor Magister
Hukum Untan, Volume 2 Nomor. 3, Tahun 2013.

C. Makalah Seminar/Diskusi/Simposium/Lokakarya

Anonim, menuju praktek CSR, makalah disampaikan oleh Aris Bintoro dalam
seminar “kewajiban bagi bisnis mempraktekkan CSR pasca Undang-
Undang PT” yang diadakan oleh BWI, Hotel Sahid Raya Solo, 29
September 2007.

M. Hadjon, Philipus. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”.


Makalah. Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994.
Lumbuun, Gayus. “Telaah Hukum Atas Ketentuan Corporate Social
Responsibility Dalam UUPT”, Makalah, Disampaikan Pada Seminar
“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pada Perusahaan Tambang”
dalam rangka Lustrum XX Universitas Sahid Jakarta, 26 Februari
2008.
77

D. Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak


dan Gas Bumi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 136.

________________. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan


Usaha Milik Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 70.

________________. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang


Penanaman Modal. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 67.

________________. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang


Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 106.

________________. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang


Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 89.
E. Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008

E. Internet.

Antique, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSL) dan


Hukum Lingkungan, http://antiquem.blogspot.co.id. Diakses pada
tanggal 21 Mei 2020.

Download.portalgaruda.org/article=346721&val=6466&title= Kewajiban
Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility) Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.

http://hukumoline.com/klinik/detail/It52716870e6a0f/aturan-aturan-hukum-
corpprate-social–ressponsibility. Diakses pada tanggal 9 Desember
2019.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/kepatutan. Diakses pada


tanggal 21 Mei 2020.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Kewajaran.


Diakses pada tanggal 30 Mei 2020.

Hukum Online. Profesor FH USU Bedah Definisi “Asas Itikad Baik”,


http://m.hukumonline.com/. Diakses pada tanggal 21 Mei 2020.
78

CURRICULUM VITAE

A. Data Pribadi

Nama : Herdiansyah
Tempat, Tanggal Lahir : Jambi, 30 April 1998
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Mawar II No. 14 Solok Sipin, Jambi
Nomor Telepon : 085314028664
Email : Herdy3004@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan

Pendidikan Formal
SD : SD Negeri 2 Kota Jambi (2004-2010)
SMP : SMP Negeri 2 Kota Jambi (2010-2013)
SMA : SMA ISLAM AL-FALAH Kota Jambi (2013-2016)
PT : Universitas Jambi (2016)

C. Pengalaman Organisasi Kampus

- Ketua Tim Rekam Sidang KPK-Fakultas Hukum Universitas Jambi


(2019-2020).
- Staf Penyunting (Editorial Assistant) pada Zaaken Journal of Civil and
Business Law, Fakultas Hukum Universitas Jambi.
- Ketua Kopermu (Komunitas Peradilan Semu) Law Science Organization
(2018-2019).
- Delegasi dalam Kompetisi Peradilan Semu Perdata Tingkat Nasional MCC
Bulaksumur IV Tahun 2018.
- Ketua Divisi Hukum Kajian Publik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Jambi (2018-2019).
D. Pengalaman Magang (Internship)

- Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP RI)

Tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai