ANEMIA
2. Epidemiologi
Anemia merupakan masalah yang dihadapi oleh banyak negara, baik negara
maju maupun berkembang. Di negara maju prevalensi anemia tergolong relatif
rendah dibandingkan dengan negara berkembang yang diperkirakan mencapai 90
% dari semua individu.
Beberapa peneliti dan laporan menyatakan bahwa anemia gizi besi
merupakan prevalensi yang paling tinggi dari berbagai anemia gizi, dan hampir
separuh dari semua wanita di negara berkembang menderita anemia.
Di antara negara-negara berkembang yang mempunyai prevalensi anemia
gizi yang paling tinggi adalah negara-negara di benua Asia Selatan. Prevalensi
anemia gizi paling tinggi pada wanita hamil dan lebih dari 40% wanita hamil di
negara Asia menunjukkan Hb<11g/dL. Beberapa negara yang dilaporkan
memiliki prevalensi anemia gizi pada wanita hamil yang cukup tinggi antara lain
(1) Bangladesh (1981-1982) hasil survei gizi pada pedesaan menunjukkan
prevalensi anemia gizi pada ibu hamil 77%, (2) Bhutan (1992) menunjukkan
bahwa 59% wanita hamil menderita anemia (Hb<11g/dL), (3) India berdasarkan
hasil studi yang cukup representatif oleh ICMR dengan menggunakan metode
cyanmethemoglobin menggambarkan prevalensi anemia ibu hamil 87%, dan 62%
pada kehamilan trimester II pada Tahun 1992, (4) Maldives, 68% wanita hamil
dilaporkan menderita anemia dengan Hb<11g/dL, (5) Nepal dilaporkan prevalensi
anemia gizi pada wanita hamil 60-65%, (6) Srilangka ditemukan prevalensi
anemia gizi wanita hamil 38%.
Prevalensi anemia gizi wanita hamil di Indonesia berdasarkan hasil
penelitian atau survei yang telah dilakukan mempunyai prevalensi yang cukup
tinggi, diperkirakan 50-70%. Laporan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) yang dilaksanakan pada Tahun 1985-1986 menunjukkan bahwa 73,7%
wanita hamil menderita anemia (Hb<11g/dL). Sedangkan hasil SKRT (1992)
menunjukkan prevalensi anemia pada wanita hamil adalah 63,5% dan turun
menjadi 50,9% pada SKRT 1994. Data SKRT 1995 menunjukkan bahwa
prevalensi anemia pada WUS (15-45 tahun) 39,5% dan pada remaja putri (10-14
tahun) 57,1%.
3. Etiologi
Menurut Bakta (2009), pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:
a) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali.
Apabila tiap-tiap komponen mengalami kecacatan atau kelainan, maka akan
menimbulkan masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak dapat berfungsi
sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan kemudian
dihancurkan. Penyebab dari gangguan pembentukan eritrosit ini dapat disebabkan
oleh karena defisiensi zat besi, vitamin B12, asam folat, penyakit pada sumsum
tulang dan kerusakan pada sumsum tulang
b) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan
kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena
perdarahan besar dan dalam waktu singkat ini jarang terjadi. Keadaan ini
biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung
disadari, seperti : kecelakaan, pembedahan, persalinan, pecah pembuluh darah,
penyakit Kronik (menahun), perdarahan hidung, wasir (hemoroid), perdarahan
menstruasi yang sangat banyak
c) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan
menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan
ini sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut
terjadi terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat
dihancurkan oleh sistem imun.
4. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau
kehilangan sel darah merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum
dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau
kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang
melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat defek sel darah
merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan
destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau
dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping
proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan
destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan
bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl
mengakibatkan ikterik pada sclera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada
kelainan hemolitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat
semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin
(hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh
penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak
mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar hitung retikulosit dalam
sirkulasi darah dan/ derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum
tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada
tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.
5. Klasifikasi
Secara umum anemia dikelompokan menjadi :
1) Anemia mikrositik hipokrom
a. Anemia defisiensi besi
Untuk membuat sel darah merah diperlukan zat besi (Fe). Kebutuhan Fe
sekitar 20 mg/hari, dan hanya kira-kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam
tubuh berkisar 2-4 mg, kira-kira 50 mg/kg BB pada pria dan 35 mg/kg BB pada
wanita. Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di Indonesia
banyak disebabkan oleh infestasi cacing tambang (ankilostomiasis), inipun tidak
akan menyebabkan anemia bila tidak disertai malnutrisi. Anemia jenis ini dapat
pula disebabkan karena :
Diet yang tidak mencukupi
Absorpsi yang menurun
Kebutuhan yang meningkat pada wanita hamil dan menyusui
Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah
Hemoglobinuria
Penyimpanan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis
paru.
b. Anemia penyakit kronik
Anemia ini dikenal pula dengan nama sideropenic anemia with
reticuloendothelial siderosis. Penyakit ini banyak dihubungkan dengan
berbagai penyakit infeksi seperti infeksi ginjal, paru ( abses, empiema, dll).
2) Anemia makrositik
1) Anemia Pernisiosa
Anemia yang terjadi karena kekurangan vitamin B12 akibat faktor intrinsik
karena gangguan absorsi yang merupakan penyakit herediter autoimun
maupun faktor ekstrinsik karena kekurangan asupan vitamin B12.
2) Anemia defisiensi asam folat
Anemia ini umumnya berhubungan dengan malnutrisi, namun penurunan
absorpsi asam folat jarang ditemukan karena absorpsi terjadi di seluruh
saluran cerna. Asam folat terdapat dalam daging, susu, dan daun – daun
yang hijau.
3) Anemia karena perdarahan
a. Perdarahan akut
Mungkin timbul renjatan bila pengeluaran darah cukup banyak, sedangkan
penurunan kadar Hb baru terjadi beberapa hari kemudian.
b. Perdarahan kronik
Pengeluaran darah biasanya sedikit – sedikit sehingga tidak diketahui
pasien. Penyebab yang sering antara lain ulkus peptikum, menometroragi,
perdarahan saluran cerna, dan epistaksis.
4) Anemia hemolitik
Pada anemia hemolitik terjadi penurunan usia sel darah merah (normal 120
hari), baik sementara atau terus menerus. Anemia ini disebabkan karena
kelainan membran, kelainan glikolisis, kelainan enzim, ganguan sistem
imun, infeksi, hipersplenisme, dan luka bakar. Biasanya pasien ikterus dan
splenomegali.
5) Anemia aplastik
Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel-sel
darah. Penyebabnya bisa kongenital, idiopatik, kemoterapi, radioterapi,
toksin, dll.
Pembagian derajat anemia menurut WHO dan NCI (National Cancer Institute)
DERAJAT WHO NCI
Derajat 0 (nilai normal) >11.0 g/dL Perempuan 12.0 - 16.0 g/dL
Laki-laki 14.0 - 18.0 g/dL
Derajat 1 (ringan) 9.5 - 10.9 g/dL 10.0 g/dL - nilai normal
Derajat 2 (sedang) 8.0 - 9.4 g/dL 8.0 - 10.0 g/dL
Derajat 3 (berat) 6.5 - 7.9 g/dL 6.5 - 7.9 g/dL
Derajat 4 (mengancam jiwa) < 6.5 g/dL < 6.5 g/dL
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pada pemeriksaan laboratorium ditemui :
a) Jumlah Hb lebih rendah dari normal ( 12 – 14 g/dl )
b) Kadar Ht menurun ( normal 37% - 41% )
c) Peningkatan bilirubin total ( pada anemia hemolitik )
d) Terlihat retikulositosis dan sferositosis pada apusan darah tepi
e) Terdapat pansitopenia, sumsum tulang kosong diganti lemak ( pada
anemia aplastik )
9. Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan Farmakologi
Terapi untuk anemia bisa dilakukan dengan transfusi darah, transfusi
RBC untuk geriatri, pemberian oral atau parenteral vitamin B12,induksi
asam folat (menginduksi remisi eksogen hematologi). Pemberian
parenteral asam folat jarang diperlukan , karena asam folat oral diserap
dengan baik bahkan pada pasien dengan sindrom malabsorpsi . Dosis 1 mg
asam folat oral setiap hari sudah cukup untuk memulihkan anemia
megaloblastik , memulihkan kadar folat serum normal (Katzung, 2009).
Anemia defisiensi Fe diatasi dengan makanan yang memadai,
pemberian tablet tambah darah (Sulfas Ferosus) beberapa merk dagang
untuk mengobati anemia antara lain: neurobion, sangobion yang dapat
didapatkan di apotek terdekat.
Anemia megaloblastik dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin
B12, untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan pengobatan
menggunakan asupan Vitamin B12 100 mcg/hari.
b) Penatalaksanaan Non-Farmakologi
Pasien Anemia hendaknya melakukan terapi non farmakologi untuk
membantu penyembuhan, yaitu dengan cara sebagai berikut:
Beristirahat yang cukup
Mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan, konsumsi Susu
Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti
sayuran, daging, ikan dan unggas.
10. Komplikasi
Komplikasi umum anemia menurut Sjaifoellah (1998) meliputi :
a) Gagal jantung.
Gagal jantung adalah pemberhentian sirkulasi normal darah
dikarenakan kegagalan dari ventrikel jantung untuk berkontraksi secara
efektif pada saat systole.Akibat kekurangan penyediaan darah,
menyebabkan kematian sel dari kekurangan oksigen.Cerebral hypoxia,
atau kekurangan penyediaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernafas dengan tiba-tiba.
b) Kejang : Gerakan yang tidak dikendalikan karena ada masalah di otak
disebut kejang.
c) Perestesia (kesemutan).
d) Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya,
penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang batuk-pilek,
gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas, jantung juga
menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah lebih kuat. Pada
kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan
berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin.
Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga
mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak
(Sjaifoellah, 1998).
10. Prognosis
Pada anemia apapun, penyebab anemia, keparahannya, dan kecepatan
perkembangannya menentukan hasilnya. Usia pasien dan adanya penyakit
penyerta seperti jantung, paru-paru, ginjal, atau penyakit hati juga dapat secara
signifikan mempengaruhi hasil. Hasil dari anemia akibat kehilangan darah
tergantung pada sumber perdarahan, tingkat keparahan kerugian, dan respon
terhadap pengobatan. Jika sumber perdarahan diidentifikasi dan dikoreksi, anemia
akut akibat kehilangan darah masif dapat berhasil diobati dengan transfusi darah.
Anemia kronis akibat kehilangan darah kecil tapi terus-menerus, seperti pada
perdarahan gastrointestinal, merespon koreksi pendarahan tanpa perlu transfusi
jika sumber perdarahan diidentifikasi sebelum kehilangan darah yang signifikan.
Anemia yang disebabkan oleh kekurangan makanan biasanya dapat
diperbaiki dengan terapi penggantian, dan perbaikan dapat dilihat dalam beberapa
minggu atau bulan. Gejala neuropsikiatri disebabkan oleh anemia pernisiosa bisa
memakan waktu hingga satu tahun atau lebih menunjukkan peningkatan. Gejala
-gejala mungkin tidak menyelesaikan sepenuhnya, tetapi dengan perawatan
berkelanjutan mereka biasanya tidak berkembang. Individu dengan seumur hidup,
anemia herediter yang parah (misalnya, anemia sel sabit, talasemia) memiliki
harapan hidup dipersingkat. Tanpa transplantasi sumsum tulang, bentuk parah dari
anemia ini sering mengakibatkan kematian pada dekade kedua atau ketiga
kehidupan (Conrad).
c. Pola eliminasi
Pola BAK dan BAB dapat dikaji untuk mengetahui pola eliminasi
klien. Kaji mengenai frekuensi berkemih maupun BAB setiap
harinya, konsistensi, warna, dan baunya.
d. Pola aktivitas dan latihan
Tanyakan kepada klien mengenai kemampuan dalam melakukan
aktifitas sehari-hari, seperti tertera pada table di bawah ini.
2. Diagnosa
1. Pk Anemia
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kerusakan
transportasi oksigen melewati membran kapiler ditandai dengan warna kulit
pucat
3. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia ditandai dengan melaporkan
rasa mual
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen, kelemahan
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC