Anda di halaman 1dari 18

5.

1) Menjelaskan konsep dasar PPh wajib pajak orang pribadi (WPOP)

5.2) Menjelaskan dasar hukum PPh WPOP

5.3) Menjelaskan jenis-jenis PPh WPOP

5.4) Menjelaskan perbedaan PPh WPOP yang melakukan usaha dan yang tidak melakukan
usaha/pekerjaan bebas

5.5) Menjelaskan pengertian pembukuan, dan norma penghitungan penghasilan neto

5.6) Menjelaskan pengertian laporan keuangan, dan koreksi fiscal

5.7) Pengertian kredit pajak, dan variabel-variabel dalam penghitungan PPh orang pribadi
5.1) Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) adalah Orang Pribadi yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan,
termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Pada prinsipnya, orang pribadi yang
menjadi subyek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di
Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah
mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Keberadaan seseorang pribadi di Indonesia diperhitungkan apabila orang tersebut lebih


dari 183 hari, tidak harus berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada
di Indonesia dalam jangka waktu dua belas bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Sebagai
subjek pajak seseorang dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia atau di luar negeri
(Djuanda, 2001).

5.2) 1. Dasar Hukum PPh WPOP

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah


beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal
25 ayat (7)
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 tentang Penghitungan
Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus
Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa
dan Wajib Pajak Lainnya yang berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat
Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
208/PMK.03/2009
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu
5.3) Jenis-jenis PPh Wajib Pajak Orang Pribadi
Berdasarkan penghasilan yang diterima oleh orang pribadi, maka wajib pajak orang
pribadi dapat dibagi menjadi :
a Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari pekerjaan.
Contoh : Pegawai swasta, Pegawai BUMN dan PNS.
b Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Usaha.
Contoh : Pengusaha toko emas, Pengusaha Industri Mie Kering
c Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari Pekerjaan bebas.
Contoh : Dokter, Notaris, Akuntan, Konsultan
d Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan lain yang tidak
bersifat final (sehubungan dengan pemodalan).
Contoh : Bunga pinjaman, royalti, sewa (yang bukan usaha pokoknya)
e Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bersifat final.
Contoh : Bunga deposito, hadiah undian.
f Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan yang bukan objek
pajak. Contoh : bantuan, sumbangan
g Wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar negeri.
Contoh : bunga, royalti dari luar negeri (PPh Pasal 24)
h Wajib pajak orang pribadi yang menerima penghasilan dari berbagai sumber.
Contoh : Pegawai swasta tetapi juga mempunyai usaha rumah makan, PNS tetapi
membuka praktek dokter.
5.4) Perbedaan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Usaha dan yang Tidak
Melakukan Usaha/Pekerjaan Bebas

a. Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas

1) WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja.

Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
(berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada satu pemberi kerja tidak memiliki
kewajiban untuk membayar pajak sendiri setiap bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh
seubungan dengan pekerjaan.WP Orang Pribadi ini juga tidak memiliki kewajiban untuk
membuat laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor Pelayanan Pajak setiap bulan.

Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki kewajiban untuk
memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan yang dibayarkan/terutang kepada
karyawannya setiap bulan dan menyetorkannya ke Kas Negara serta melaporkannya ke kantor
pelayanan pajak setempat. Oleh karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi
yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih setelah dipotong pajak penghasilan.Pajak
yang terutang atas Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan istilah PPh Pasal
21.

2) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan obyek PPh Final.

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu pemberi kerja, baik
karena bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja maupun memiliki penghasilan lain selain dari
pekerjaan dan penghasilan lain tersebut bukan merupakan obyek PPh final.

Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung berdasarkan PPh
yang terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya setelah dikurangi dengan pemotongan
yang dilakukan pihak lain yang dapat dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).

Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan berikutnya.Jika jatuh
tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Pembayaran Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak
tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

3) WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan obyek PPh
Final.

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan lain selain dari satu pemberi kerja, dan
memiliki penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk
melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk membayar dan
melaporkan PPh final pasal 4 (2).

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya
wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib pajak) adalah sebagai berikut :

- Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;

- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;

- Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;

b. Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan Kegiatan Usaha atau
Pekerjaan Bebas.

Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau pekerjaan
bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan pajak dan memperoleh NPWP maka akan
memiliki kewajiban pajak yang harus dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk
membayar dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan dan melaporkan PPh yang
terutang atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada karyawannya.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukann
kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)


5.5) 1) Pembukuan

a. Pengertian pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut.

b. Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan


 Wajib Pajak (WP) Badan;
 Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas,
kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun
kurang dari Rp4.800.000.000,00 (Empat milyar delapan ratus juta rupiah).
c. Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
 Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat milyar delapan ratus juta rupiah), dapat menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan syarat
memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan;
 Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
d. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan
 Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan
atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
 Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab,
satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa
asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
 Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas.
 Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
 Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat
dihitung besarnya pajak yang terutang.
e. Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan
  Pengisian SPT;
 Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
 Penghitungan PPN dan PPnBM;
 Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil
kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

2) Norma Penghitungan Penghasilan Neto


a. Pengertian Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Penghasilan Kena Pajak atau penghasilan neto adalah penghasilan bruto setelah dikurangi
biaya jabatan, biaya pensiun, dan iuran pensiun serta iuran Tabungan Hari Tua (THT)
sehubungan dengan kegiatan usaha. Sebagai pelaku bisnis, Anda wajib menghitung
penghasilan neto atas setiap jenis sumber penghasilan Anda, dimana penghitungan setiap
kelompok sumber penghasilan dapat berbeda-beda.
b. Metode Penghitungan Penghasilan Neto
Berdasarkan kategori penerima penghasilan, terdapat 2 metode penghitungan penghasilan
neto:
 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
 Bagi Wajib Pajak Badan

Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Badan dihitung sesuai dengan prinsip pembukuan
berdasarkan prinsip akuntansi yang direkonsiliasi menurut ketentuan fiskal yaitu berupa
laporan laba rugi. Khusus untuk Wajib Pajak Badan wajib menyelenggarakan pembukuan
yang output-nya berupa laporan keuangan.

Formula Penghitungan dari Kegiatan Usaha


Penghasilan Neto = Peredaran Usaha – Harga Pokok Penjualan – Biaya Usaha
Lainnya

 Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bukan untuk Wajib Pajak Badan

Untuk memudahkan Wajib Pajak menentukan penghasilan neto usaha, Direktorat


Jenderal Pajak memberikan kemudahan dengan membuat aturan tentang Norma
Perhitungan. Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto yang akan digunakan menghitung besarnya pajak penghasilan terutang
yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), Wajib Pajak yang
akan menggunakan Norma Penghitungan harus memberitahukan kepada Ditjen Pajak
dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari Tahun Pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak
yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan.

Perlu dicatat, Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya diperuntukkan bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi. Wajib Pajak Badan harus memakai pembukuan dimana laba
komersil akan dikoreksi dan menghasilkan penghasilan neto.

Norma Penghitungan digunakan untuk menghitung pajak terhadap Wajib Pajak yang
diizinkan untuk hanya mengelenggarakan pencatatan. Akan tetapi, di samping
diperuntukkan bagi Wajib Pajak yang diizinkan hanya menyelenggarakan pencatatan,
Norma Penghitungan diterapkan juga terhadap Wajib Pajak yang seharusnya
menyelenggarakan pembukuan namun ternyata tidak tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan, tidak bersedia menunjukkan pembukuan, bukti-bukti
pembukuan pada saat dilakukan pemeriksaan pajak.

 Pembukuan untuk Mempermudah Penghitungan Pajak bagi Wajib Pajak Badan

Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau perusahaan harus membuat pembukuan untuk
menunjang kegiatan usahanya. Sama halnya dalam perpajakan, pembukuan juga wajib dibuat
oleh Wajib Pajak yang berbentuk badan untuk mempermudah menghitung pajaknya.

Pada prinsipnya Wajib Pajak baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan
diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Berdasarkan pembukuan tersebut penghasilan
kena pajak dapat dihitung. Namun, khusus Wajib Pajak Orang Pribadi, tidak disyaratkan
menyusun pembukuan, cukup menyelenggarakan pencatatan saja.
5.6) 1) Laporan keuangan

a. Pengertian Laporan Keuangan


Laporan keuangan adalah hasil akhir dari proses pencatatan transaksi keuangan suatu
perusahaan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan tersebut pada satu periode
akuntansi dan merupakan gambaran umum mengenai kinerja suatu perusahaan.

Pendapat lain mengatakan bahwa laporan keuangan adalah produk akhir proses akuntansi
suatu perusahaan dalam satu periode tertentu dimana informasi di dalamnya merupakan
hasil pengumpulan dan pengolahan data keuangan, dengan tujuan untuk membantu
perusahaan membuat keputusan atau kebijakan yang tepat.

Proses penyusunan financial statement menggunakan berbagai sumber data, mulai dari
faktur, bon, nota kredit, laporan, bank dan lain sebagainya. Semua data asli transaksi
keuangan tersebut digunakan untuk mengisi buku perkiraan dan sebagai bukti keabsahan
transaksi.

b. Tujuan Laporan Keuangan


 Untuk membantu perusahaan dalam proses pengambilan keputusan. Informasi
mengenai kondisi keuangan perusahaan dapat membantu suatu perusahaan
sebagai bahan evaluasi dan perbandingan dampak keuangan yang terjadi akibat
dari suatu keputusan ekonomi.
 Untuk membantu perusahaan dalam menilai dan memprediksi pertumbuhan bisnis
di masa depan. Dengan adanya informasi keuangan, maka suatu perusahaan dapat
menilai bagaimana kondisi perusahaan di masa sekarang dan meramalkan kondisi
perusahaan di masa mendatang.
 Untuk menilai aktivitas pendanaan dan operasi perusahaan. Informasi mengenai
kondisi keuangan juga dapat membantu suatu perusahaan dalam menilai aktivitas
investasi dan kemampuan operasional perusahaan tersebut pada satu periode
tertentu

c. Fungsi Laporan Keuangan


 Sebagai Bahan Review
Financial statement dapat memberikan data atau informasi yang komprehensif
tentang posisi keuangan perusahaan. Hal ini bisa menjadi ulasan mengenai
kondisi perusahaan secara menyeluruh, khususnya kondisi keuangan (aset, utang,
biaya operasional, dan lain-lain).
 Sebagai Pedoman Membuat Keputusan
Salah satu fungsi penting dibuatnya laporan mengenai kondisi keuangan
perusahaan adalah sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan
penting bagi perusahaan.
 Membantu Menciptakan Strategi Baru
Selain membantu proses pengambilan keputusan penting, financial statement juga
dapat dipakai untuk menciptakan strategi baru oleh perusahaan dalam upaya
meningkatkan performa usahanya.
 Meningkatan Kredibilitas Perusahaan
Perusahaan yang membuat financial statement menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut telah menerapkan suatu sistem perekapan data yang terpercaya, akurat,
dan tidak sembarangan dalam mengambil keputusan. Para pemegang saham tentu
lebih percaya menginvestasikan uang mereka kepada perusahaan yang dipercaya
dan memiliki kredibilitas yang baik

2) Koreksi fiskal

a. Pengertian Koreksi Fiskal


Koreksi fiskal adalah aktivitas pembetulan pencatatan keuangan yang akan dilaporkan ke
dirjen pajak dan selainnya. Biasanya, revisi ini dilakukan, jika draft laporan tidak sesuai
dengan format yang menjadi standar pajak. Pengertian lainnya adalah, koreksi fiskal
merupakan tindakan penyesuaian draft keuangan wajib pajak dengan standar perpajakan
sebelum biaya pajak disetorkan. Hal ini untuk meminimalisir kesalahan yang muncul
akibat kesalahan antara pengelolaan akuntansi komersial penghasilan dengan pajak. Hal
ini tentunya berhubungan dengan akuntansi perpajakan.

b. Penyebab Terjadinya Koreksi Fiskal


 Beda Waktu
Koreksi terjadi manakala terdapat beda waktu masuknya penghasilan yang dicatat
di cash basis untuk periode lama. Contohnya lebih dari satu tahun.
Penyebabnya bermacam-macam. Bisa karena lambatnya penagihan piutang, bisa
pula karena terjadinya penyusutan laba.

 Beda Tetap
Beda tetap maksudnya adalah ditemukannya transaksi perusahaan yang sejatinya
tidak menjadi standar wajib pajak. Contohnya adalah penghasilan dari sumbangan
dan semacamnya. Jika ini dipaksakan masuk ke dalam draft, tentu akan terjadi
perbedaan di pajak. Sehingga koreksi perlu dilakukan.
Namun, ada transaksi “beda tetap”, tetapi masih harus dibayarkan pajaknya.
Diantaranya adalah penghasilan dari sewa tanah, perpindahan harta, bunga
deposito dan yang lain.

c. Jenis Koreksi Fiskal


Pada umumnya, terdapat dua jenis koreksi fiskal, yaitu koreksi positif dan koreksi
negatif. Koreksi positif ialah, perbaikan yang dilakukan pada catatan penghasilan dan
biaya yang berefek pada kenaikan jumlah biaya wajib pajak. Sedangkan koreksi fiskal
negatif adalah perbaikan yang dilakukan justru hasilnya mengurangi jumlah biaya pajak.
Sehingga beban pajak menjadi lebih ringan.

 Contoh Koreksi Fiskal Negatif


Contoh koreksi fiskal negatif adalah terjadinya selisih penyusutan yang disebut
“amortisasi komersial”. Namun, syaratnya penyusutan tersebut harus dibawah
nominal amortisasi fiskal. Untuk penghitungannya sendiri menggunakan sistem
saldo, baik tegak lurus maupun naik turun.
Ini juga berlaku untuk penyusutan aset perusahaan. Namun, terlebih dahulu harus
dipisah antara aset bangunan dengan aset non bangunan. Pemetaan ini diperlukan,
semata untuk menyesuaikan dengan draft pajak. Karena di sana, aset semacam ini
dipilah-pilah sesuai bentuknya.

 Contoh Koreksi Fiskal Positif

Contoh fiskal positif diantaranya adalah pembagian laba atau penghasilan.


Apapun labelnya, setiap penghasilan pasti kena wajib pajak. Untuk lebih jelas,
berikut beberapa list contoh fiskal positif, yaitu:
 Sanksi administrasi berupa denda
 Biaya untuk kepentingan pribadi wajib pajak
 Imbalan pekerjaan yang diberikan dalam bentuk natural
 Harta hibah dan sumbangan
 Premi asuransi kesehatan dwiguna
 asuransi bea siswa

d. Tujuan Koreksi Fiskal


Seperti dijelaskan di muka, koreksi fiskal adalah kegiatan membaca kembali dan
memperbaiki draft pajak perusahaan sebelum beban pajaknya disetorkan. Artinya, tujuan
koreksi fiskal adalah melakukan penyesuaian antara penghasilan dengan wajib pajak.
Sehingga tidak terjadi kesalahan penghitungan. Tujuan selanjutnya adalah untuk
memenuhi draf laporan sesuai regulasi yang dikeluarkan Dirjen Pajak. Supaya tidak
terjadi kerancuan, mana transaksi yang dikenai wajib pajak mana yang tidak.
5.7) 1) Kredit pajak

Kredit pajak merupakan perhitungan Pajak Penghasilan yang telah dibayar atau dipungut
pada awal periode. Dalam setiap Tahun Pajak yang berjalan, Wajib Pajak harus melunasi pajak
yang diperhitungkan akan terutang pada Tahun Pajak tersebut. Pelunasan dilakukan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak berwenang atau melalui
pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak.Pembayaran pajak dalam satu Tahun
Pajak berjalan dapat dikreditkan yaitu dengan melunasi angsuran pembayaran. Angsuran tersebut
diperhitungkan dengan mengkreditkan Pajak Penghasilan yang terutang dalam Tahun Pajak
terkait. Ketentuan ini tidak berlaku untuk penghasilan yang dikenai pajak bersifat Final.

Sesuai dengan aturan yang termuat dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Perpajakan sebagaimana diubah dengan peraturan terbaru yaitu UU Nomor 28
Tahun 2007 atau dikenal dengan UU KUP. Dalam kebijakan tersebut, Wajib Pajak bisa
mengkreditkan pajak yang telah dipungut dan dipotong untuk mengurangi jumlah pajak terutang
pada akhir tahun.Dari penjelasan yang telah dipaparkan, kredit pajak diartikan sebagai jumlah
pembayaran pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak sendiri. Pembayaran tersebut telah
ditambah dengan pajak yang dipungut oleh pihak lain, serta dikurangkan dengan semua pajak
yang terutang. Termasuk jika terdapat pajak atas penghasilan yang masih terutang di luar negeri.

Adapun jenis-jenis kredit pajak berdasarkan ketentuan pada Pasal 28 UU Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah mengalami beberapa kali perubahan, hingga yang
terakhir adalah UU Nomor 36 Tahun 2008 atau dikenal dengan UU PPh, yaitu sebagai berikut:
 Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan sesuai ketentuan yang termuat
dalam Pasal 21.
 Pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sesuai ketentuan yang termuat
dalam Pasal 22.
 Pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, royalti, sewa, dan
imbalan lain sesuai ketentuan yang termuat dalam Pasal 23.
 Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai ketentuan yang termuat
dalam Pasal 24.
 Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri untuk tahun pajak terkait
sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 25.

Berdasarkan dalam Pasal 28 UU PPh, jika pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak
jumlahnya lebih besar daripada kredit pajak, maka kekurangan pajak yang masih terutang wajib
dibayarkan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah Tahun Pajak terkait berakhir, sebelum
penyampaian SPT diajukan. Akan tetapi, jika pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak
jumlahnya lebih kecil daripada jumlah kredit pajak, maka kelebihan pembayaran pajak akan
dikembalikan atau diperhitungkan dengan utang pajak yang lain. Ketentuan ini berdasarkan
aturan yang termuat dalam Pasal 28 UU PPh. Sementara untuk seluruh jenis penghasilan yang
telah dikenai pajak bersifat Final, kredit pajak tidak diberlakukan.

2) Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat Penerimaan PPh Orang Pribadi

a. NPWP Yang Terdaftar


Dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP), pengertian Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
pemungutan pajak atau pemotongan pajak tertentu. Sebagaimana diketahui, dalam prakteknya
banyak Wajib Pajak terdaftar yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya disebabkan antara
lain non aktif, meninggal dunia dan sebagainya. Dari kenyataan di atas telah timbul berbagai
istilah seperti Wajib Pajak aktif, Wajib Pajak efektif, Wajib Pajak non aktif, Wajib Pajak non
efektif. Tetapi dalam adminstrasi perpajakan hanya mengenal istilah Wajib Pajak efektif dan
Wajib Pajak non efektif. Pengertian dari Wajib Pajak efektif adalah Wajib Pajak yang memenuhi
kewajiban menyampaikan SPT Masa dan atau Tahunan sebagaimana mestinya; sedangkan Wajib
Pajak non efektif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, berupa
kewajiban menyampaikan SPT Masa dan atau Tahunan.

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-
09/PJ.8/1998 Tanggal 2 Oktober 1988, Wajib Pajak dikatakan non efektif adalah :

 Wajib Pajak yang berturut-turut selama 2 (dua) tahun tidak menyampaikan SPT;
 Wajib Pajak yang sudah meninggal dunia atau bubar tetapi belum ada surat keterangan
resminya;
 Wajib Pajak yang tidak ditemukan alamatnya, walaupun sudah diusahakan pencariannya;
 Wajib Pajak yang secara nyata tidak lagi menunjukkan kegiatan usaha.

Sebagai Wajib Pajak, tiap-tiap Wajib Pajak mempunyai hak-hak dan kewajiban perpajakan.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak adalah :

 Kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak;


 Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan;
 Menghitung dan membayar pajaknya dengan benar;
 Mengisi dan memasukkan SPT masa dan Tahunan tepat pada waktunya;
 Jika diperiksa, Wajib Pajak harus meberikan keterangan yang diperlukan dan
memperlihatkan atau meminjamkan pembukuan/pencatatan serta memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan termasuk memasuki ruangan-ruanganatau tempat yang
diperlukan.

Selain itu, Wajib Pajak berhak untuk :

 Menunda pemasukan SPT


 Membetulkan atau mengadakan koreksi terhadap SPT yang telah disampaikan kepada
fiskus
 Mengajukan permohonan untuk menunda pembayaran pajak atas suatu ketetapan maupun
mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran pajak
 Meminta kembali (restitusi) atau mengadakan kompensasi terhadap kelebihan
pembayaran pajak
 Mengajukan permohonan untuk dihapuskannya sanksi Administrasi
 Mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak
 Mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak yang lebih tinggi. Berdasarkan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-06/PJ.9/2001.

Pengertian Ekstensifikasi adalah ”kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib
Pajak terdaftar dan perluasan obyek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dalam Surat Edaran tersebut menerangkan bahwa ruang lingkup pelaksanaan ekstensifikasi
Wajib Pajak meliputi :

 Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), termasuk pemberian NPWP secara
jabatan terhadap Wajib Pajak PPh orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan
perusahaan, orang pribadi yang bertempat tinggal di wilayah atau lokasi pemukiman, atau
perumahan, dan orang pribadi lainnya (termasuk orang asing yang yang bertempat tinggal
di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan), yang memperoleh atau
menerima penghasilan yang melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
 Pemberian NPWP di lokasi usaha, terhadap orang pribadi pengusaha tertentu yang
mempunyai lokasi usaha di sentra perdagangan atau perbelanjaan atau pertokoan atau
perkantoran atau mal atau plaza atau kawasan industri atau sentra ekonomi lainnya
 Penentuan jumlah angsuran PPh pasal 25 yang harus disetor dalam tahun berjalan,
dimulai sejak Januaritahun yang bersangkutan.

b. SSP Yang Diterima


Sarana WP dalam melakukan pembayaran pajak yang terutang, media yang digunakan
adalah Surat Setoran Pajak (SSP). Dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pengertian Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke
kas negara atau ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Satu set
SSP yang harus diisi terdiri dari 4 lembar masing-masing, antara lain : lembar (1) untuk arsip
Wajib Pajak; lembar (2) untuk KPP melalui KPKN; lembar (3) untuk dilaporkan oleh WP ke
KPP; dan lembar (4) untuk Bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Fungsi dari SSP adalah
sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak. Batas waktu pembayaran/penyetoran pajak diatur
dalam Pasal 9 UU Nomor 16/2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
948/KMK/04/1994.

Pembayaran atau penyetoran pajak pada dasarnya dibedakan menjadi tiga yaitu
pembayaran masa, pembayaran kekurangan pajak setelah tahun pajak berakhir dan pembayaran
atas ketetapan pajak. Untuk batas waktu pembayaran atau penyetoran PPh Pasal 25 orang pribadi
adalah tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir. Jika tanggal jatuh tempo
pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur, maka pembayaran atau
penyetoran pajak harus dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan di Kantor Pos dan Giro atau
bankbank persepsi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Setiap keterlambatan pembayaran atau
penyetoran pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dari
pokok pajak yang terutang, dihitung mulai dari tanggal jatuh tempo pembayaran dan bagian
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam hal WP tidak mampu membayar pajak atau alasan
lainnya, berdasarkan Pasal 9 ayat (4) UU No.16/2000, WP yang betul-betul mengalami kesulitan
likuiditas diperkenankan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang
dengan mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak yang terutang.

c. Pencairan Tunggakan Pajak


Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan perpajakan. Jumlah pajak yang telah dipotong, ataupun yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran. Jumlah pajak yang
terutang menurut SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang
menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Apabila Wajib Pajak/Penanggung
Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan jatuh tempo pembayaran pajak, maka dapat
dilakukan tindakan penagihan pajak. Dasar untuk menagih pajak yang terutang adalah : Surat
Tagihan Pajak (STP), Surat Keputusan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Keputusan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan pajak
terutang menjadi lebih besar dan Surat Keputusan Banding.

Tunggakan pajak adalah utang pajak yang tidak dibayar sesudah jatuh tempo
pembayaran. Apabila Dirjen Pajak, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan
lain, mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang tidak benar, maka Dirjen Pajak dapat
menetapkan jumlah pajak yang terutang yang semestinya, menurut ketentuan perundang
undangan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang ini, Dirjen Pajak tidak berkewajiban untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) atas semua SPT yang disampaikan Wajib Pajak.
Penerbitan suatu SKP hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau ditemukannya data fiskal lainnya. Pencairan
tunggakan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh seksi penagihan untuk menagih pajak yang
tidak atau kurang dibayar melalui tindakan penagihan aktif maupun pasif.

Sedangkan pengertian dari penagihan menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000


adalah ”serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita”. Tindakan penagihan pajak diawali dengan
menerbitkan Surat Teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran pajak.

Apabila jumlah utang pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung
pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat Teguran, pejabat segera
menerbitkan Surat Paksa. Selanjutnya, setelah lewat 2 kali 24 (dua kali dua puluh empat) jam
sejak Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak masih belum melunasi utang pajaknya, maka
pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. Tetapi apabila utang pajak
dan biaya penagihan yang masih harus dibayar tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah
lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan, pejabat dapat
melaksanakan pengumuman lelang. Tindakan penagihan terakhir yang dilakukan pejabat adalah
dengan segera melakukan penjualan barang sitaan Penanggung Pajak melalui Kantor Lelang, jika
setelah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman lelang, utang pajak dan biaya penagihan
yang masih harus dibayar tidak juga dilunasi oleh Penanggung Pajak.

Anda mungkin juga menyukai