Anda di halaman 1dari 13

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Biji Jarak

Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman asli Amerika
Tengah yang saat ini telah menyebar ke seluruh dunia terutama daerah tropika
(Widyawati, 2010). Tanaman jarak pagar mulai banyak ditanam di Indonesia
sejak masa penjajahan Jepang untuk membudidayakan tanaman jarak. Hasilnya
yang berupa biji digunakan untuk membuat bahan bakar bagi pesawat-pesawat
tempur Jepang. Oleh karenanya dalam waktu singkat tanaman jarak pagar
menyebar cukup luas, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah Jawa
Tengah meliputi daerah Semarang serta Solo dan sekitarnya. Sementara, wilayah
Jawa Timur meliputi Madiun, Lamongan, Bojonegoro, Besuki, dan Malang.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman jarak pagar meluas sampai di
Kawasan Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, dan sebagainya.
Jadi, nama-nama lokal untuk jarak pagar dapat ditemukan di daerah-daerah
(Nurcholis dan Sumarsih, 2007).

Gambar 2.1. Tanaman Jarak Pagar (Sumber: Maharshi, 2006)

Beberapa nama daerah (nama lokal) juga diberikan kepada tanaman jarak pagar
ini antara lain di daerah Sunda (jarak kosta, jarak budeg), Jawa (jarak gundul,
jarak pager), Madura (kalekhe paghar), Bali (jarak pager), Nusa Tenggara (lulu
mau, paku kase, jarak pageh), Alor (kuman nema), Sulawesi (jarak kosta, jarak

4
5

wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene), dan Maluku (ai huwa kamala,
balacai, kadoto). Nama ilmiah dari tanaman ini adalah Jatropha curcas L
(Hariyadi, 2005).

Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) dikenal sebagai jarak pagar, dan
merupakan tanaman semak yang tumbuh dengan cepat hingga mencapai
ketinggian 3-5 meter. Tanaman ini tahan kekeringan dan dapat tumbuh di
tempat-tempat dengan curah hujan 200 mm hingga 1500 mm per tahun. Daerah
penyebaran tanaman terletak antara 40o LS sampai 50o LU dengan ketinggian
optimal 0-800 meter di atas permukaan laut (Hamdi, 2005).

Tanaman jarak memerlukan iklim yang kering dan panas terutama pada saat
berbuah. Suhu yang rendah pada saat penanaman dan pembungaan akan sangat
merugikan karena mudah terserang jamur. Tanaman jarak pagar tumbuh di
daerah tropis dan subtropis, dengan suhu optimum 20 – 35o C. Kelembaban yang
tinggi akan mendorong perkembangan jamur sehingga akan menurunkan
produktivitas. Tanaman jarak pagar tergolong tanaman hari panjang, yaitu
tanaman yang memerlukan sinar matahari langsung dan terus menerus sepanjang
hari. Tanaman tidak boleh terlindung dari tanaman lainnya, yang berakibat akan
menghambat pertumbuhannya (Hamdi, 2005).

Faktor utama yang berpengaruh terhadap tanaman adalah intensitas hujan.


Intensitas hujan yang tinggi dalam bulan-bulan basah, akan mengakibatkan
timbulnya serangan cendawan dan bakteri, baik di bagian atas maupun bagian
dalam tanah. Pada saat berbunga dan berbuah membutuhkan bulan kering
minimal 3 bulan (Hamdi, 2005).

Jarak pagar hampir tidak memiliki hama karena sebagian besar bagian
tubuhnya beracun. Tanaman ini mulai berbuah setelah berusia lima bulan dan
mencapai produktivitas penuh pada usia 5 tahun. Buahnya berbentuk ellips
dengan panjang 1 inchi dan memiliki 2-3 biji. Umur tanaman ini dapat mencapai
6

50 tahun (Suara Pembaruan, 2005). Data komposisi kimia biji jarak dapat kita
lihat pada table 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi kimia biji jarak


UNSUR KIMIAWI KOMPOSISI (g)
Air 06.20 %
Protein 18.00 %
Lemak 38.00 %
Karbohidrat 17.00 %
Serat 15.50 %
Abu 05.30 %
Sumber : Departemen Teknologi Pertanian USU, 2005

2.2 Singkong

Singkong (Manihot utilissima) pertama kali dikenal di Amerika Selatan


kemudian dikembangkan pada masa prasejarah di Brasil dan Paraguay. Di
Indonesia, singkong diperkenalkan oleh orang Portugis pada abad ke-16 dari
Brasil dan mulai ditanam secara komersial sekitar tahun 1810. Singkong atau
dalam bahasa daerahnya dikenal dengan ketela pohon, ubi kayu, pohung (Jawa),
sampeu (Sunda) dan kaspe (Papua) adalah pohon tahunan daerah tropis dan
subtropik dari keluarga Euphorbiaceae (Agoes, 2010).

Gambar 2.2. Singkong (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ketela_pohon)


7

Pada tahun 2008 Indonesia merupakan negara ketiga penghasil singkong


terbesar di dunia. Ubi kayu atau singkong adalah salah satu komoditas unggulan
Indonesia karena memiliki nilai produksi yang sangat besar. Indonesia
memproduksi 22 juta ton singkong pada tahun 2015 (BPS, 2016). Umumnya, ubi
kayu atau yang lebih dikenal dengan singkong ini dimanfaatkan sebagai bahan
baku untuk pangan, misalnya untuk keripik, singkong goreng, industri tape dan
industri tapioka. Dari seluruh pemanfaatan tersebut, terdapat limbah padat yang
dihasilkan, yaitu onggok dari industri tapioka dan kulit singkong dari semua jenis
penggunaan (Purwita, 2012).

Selama ini, kulit ubi kayu masih jarang dimanfaatkan secara optimal. Kulit
ubi kayu pada umumnya hanya digunakan sebgai makanan ternak dan sebagai
makanan ringan seperti keripik dengan cara digoreng (Grace, 1977). Persentase
Kulit singkong yang dihasilkan terdiri atas dua bagian utama yaitu bagian luar
yang berwarna cokelat dan kasar dengan komposisi antara 0,5-2% dan bagian
dalam yang berwarna putih kemerah-merahan dan halus dengan komposisi antara
8-15% dari berat singkong (Hikmiyati dan Yanie, 2009).

Gambar 2.3. Kulit Singkong Bagian luar


(Sumber: http://duniaternak.com/potensi-kulit-singkong-sebagai-pakan-ternak/)
8

Gambar 2.4. Kulit Singkong Bagian dalam


(Sumber:http://alfi-fadlan.blogspot.com/2012/04/manfaat-kulit-singkong-di-
kehidupan.html)

Tabel 2.2 Komposisi kimia kulit singkong


UNSUR KIMIAWI KOMPOSISI (g)
Air 7.9 – 10.32%
Pati 44 – 59%
Protein 2.5 – 3.7%
Lemak 0.8 – 2.1%
Abu 0.2 – 2.3%
Serat 17.5 – 27.4%
Ca 0.42 – 0.77%
Mg 0.12 – 0.24%
P 0.02 – 0.2%
HCN 18.0 – 309.5%
Sumber: (Rukmana, 1997).

2.3 Biomassa
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis
baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain adalah
tanaman, pepohonan rumput, limbah pertanian, limbah hutan, dan limbah ternak.
Selain digunakan untuk tujuan primer serat, bahan pangan, pakan ternak, minyak
nabati, bahan bangunan, dan sebagainya. Biomassa juga digunakan sebagai
sumber energi (bahan bakar). Biomassa yang sering digunakan untuk bahan bakar
adalah biomassa yang nilai ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah
diambil produknya (Pari dan Hartoyo, 1983).
9

Energi biomassa dapat menjadi sumber energi alternatif pengganti bahan


bakar fosil (minyak bumi) karena beberapa sifatnya yang menguntungkan yaitu,
dapat dimanfaatkan secara lestari karena sifatnya yang dapat diperbaharui, relatif
tidak mengandung unsur sulfur sehingga tidak menyebabkan polusi udara dan
juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan dan pertanian
(Widardo dan Suryanta, 1995).
Teknologi biomassa telah diterapkan sejak zaman dahulu dan telah mengalami
banyak perkembangan. Biomassa memegang peran penting dalam
menyelamatkan kelangsungan energi di bumi ditinjau dari pengaruhnya terhadap
kelestarian lingkungan. Sifat biomassa yang merupakan energi dengan kategori
sumber energi terbarukan mendorong penggunaannya menuju ke skala yang lebih
besar lagi sehingga manusia tidak hanya tergantung dengan energi fosil.Biomassa
memiliki kelebihan yang memberi pandangan positif terhadap keberadaan energi
ini sebagai alternatif energi pengganti energi fosil. Beberapa kelebihan itu antara
lain, biomassa dapat mengurangi efek rumah kaca, mengurangi limbah organik,
melindungi kebersihan air dan tanah, mengurangi polusi udara, dan mengurangi
adanya hujan asam dan kabut asam (Anggiat, 2013).

2.4 Briket Bioarang

Briket bioarang adalah gumpalan-gumpalan arang yang terbuat dari bioarang


(bahan lunak). Bioarang sebenarnya termasuk bahan lunak yang dengan proses
tertentu diolah menjadi bahan arang keras dengan bentuk tertentu. Kualitas
bioarang ini tidak kalah dengan batu bara atau bahan bakar lainnya (Josep dan
Hislop, 1981). Briket bioarang atau bahan bakar padat ini merupakan bahan
bakar alternatif atau merupakan pengganti bahan bakar minyak yang paling
murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal dalam waktu yang
relatif singkat mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan relatif
sederhana (Widarti, Ir. Suwono, & Ridho Hantoro, 2010). Standar kualitas mutu
briket yang dihasilkan di beberapa negara yaitu Jepang, Inggris, Amerika, dan
Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.3.
10

Tabel 2.3 Standar mutu briket bioarang


Sifat Briket Arang
Jepang Inggris Amerika Indonesia
Kadar air (%) 6-8 3,6 6,2 8
Kadar zat menguap (%) 15-30 16,4 19-28 15
Kadar abu (%) 3-6 5,9 8,3 8
Kadar karbon terikat (%) 60-80 75,3 60 77
Kerapatan (g/cm3) 1,0-1,2 0,46 1 -
3
Keteguhan tekan (g/cm ) 60-65 12,7 62 -
Nilai kalor (kal/gr) 6000-7000 6230 7289 5000
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (1994) dalam
Triono (2006).

Pembuatan briket arang dari limbah tersebut dibuat dari biomassa yang
dimampatkan sehingga dibutuhkan perekat didalamnya. Karakteristik briket yang
baik adalah briket yang permukaannya halus dan tidak meninggalkan bekas
hitam di tangan. Selain itu, sebagai bahan bakar, briket juga harus memenuhi
kriteria sebagai berikut :

a.Mudah dinyalakan
b.Tidak mengeluarkan asap
c.Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun
d.Kedap air dan hasil pembakaran tidak berjamur bila disimpan pada waktu
lama
e.Menunjukkan upaya laju pembakaran (waktu, laju pembakaran, dan suhu
pembakaran) yang baik (Miskah, 2014).

Kelebihan penggunaan biobriket limbah biomassa antara lain: biaya bahan


bakar lebih murah, tungku dapat digunakan untuk berbagai jenis briket, lebih
ramah lingkungan (green energy), merupakan sumber energi terbarukan
(renewable energy), membantu mengatasi masalah limbah dan menekan biaya
pengelolaan limbah (Nugrahaeni, 2008).

Briket mempunyai dua jenis proses pembuatan yaitu briket karbonisasi dan
non karbonisasi (Sumangat dan Broto, 2009). Briket karbonisasi adalah jenis
11

briket yang terlebih dahulu mengalami proses karbonisasi sebelum menjadi briket
yaitu proses pengkarbonan/pengarangan/pembakaran bahan baku (umpan) di
dalam tungku pembakaran (incenerator) (Sitompul, 2011). Dengan proses
karbonisasi zat-zat terbang yang terkandung dalam briket tersebut diturunkan
serendah mungkin sehingga produk akhirnya tidak berbau dan berasap, namun
biaya produksi menjadi meningkat karena pada bahan baku briket tersebut terjadi
rendemen sebesar 50%. Briket ini cocok untuk digunakan untuk keperluan rumah
tangga serta lebih aman dalam penggunaannya. Jenis Non Karbonisasi (biasa),
jenis yang ini tidak mengalamai proses karbonisasi sebelum diproses menjadi
briket, proses pembuatannya lebih sederhana dan harganya pun lebih murah.
Karena zat terbangnya masih terkandung dalam briket maka pada penggunaannya
lebih baik menggunakan tungku (bukan kompor) sehingga akan menghasilkan
pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat terbang yang muncul dari briket
akan habis terbakar oleh lidah api di permukaan tungku. Briket ini umumnya
untuk industri kecil (Kementrian Negara Riset dan Teknologi
@2004.ristek.go.id). Pembuatan briket mempunyai dua bahan penyusun yang
penting yaitu bahan baku dan bahan perekat. Pemilihan bahan baku dan bahan
perekat sangat menentukan mutu suatu briket (Maryono, 2013).

Menurut Anggiat dan Arjianto (2013) dalam proses pembuatan briket, terdiri
dari beberapa tahapan-tahapan utama yaitu :

1) Pengeringan bahan briket.

2) Penggerusan atau penggilingan.

3) Pencampuran dengan ditambah bahan perekat.

4) Pencetakan briket.

5) Pengeringan briket.
12

2.4.1 Pengeringan Bahan Briket

Tahap pertama yang dilakukan dalam proses pembuatan briket adalah


pengeringan, dimana ketika sebuah partikel dipanaskan dengan dikenai
temperatur tinggi atau radiasi api, air dalam bentuk moisture di permukaan bahan
biomassa akan menguap, sedangkan yang berada di dalam akan mengalir keluar
melalui pori-pori partikel dan menguap. Moisture dalam bahan biomassa terdapat
dalam dua bentuk. Pertama sebagai air bebas (free water) yang mengisi rongga
pori-pori di dalam bahan bakar dan yang kedua sebagai air terikat (bound water)
yang terserap di permukaan ruang dalam struktur bahan biomassa. (Anggiat dan
Arjianto, 2013).

2.4.2 Penggerusan Atau Penggilingan

Biasanya, ukuran partikel biomassa mempunyai bentuk dan ukuran yang tidak
seragam. Bahan baku untuk membuat briket harus cukup halus untuk dapat
membentuk briket yang baik. Ukuran partikel yang terlalu besar akan sukar pada
waktu melakukan perekatan sehingga mengurangi keteguhan tekan dari briket
yang dihasilkan. Perbedaan ukuran serbuk mempengaruhi keteguhan tekan dan
kerapatan briket yang dihasilkan (Ndraha, 2010).Agar bentuk dan ukuran bahan
biomassa menjadi seragam, diperlukan alat atau mesin penggiling untuk
menghaluskan/memperkecil ukuran bahan biomassa. Tipe mesin penggiling yang
digunakan biasanya sama dengan penggiling tepung atau bisa juga digunakan
blender jika skala produksinya kecil (Anggiat dan Arjianto, 2013).

2.4.3 Pencampuran Dengan Bahan Perekat

Tujuan pencampuran serbuk dengan perekat adalah untuk memberikan lapisan


tipis dari perekat pada permukaan partikel arang. Tahap ini merupakan tahapan
penting dan menentukan mutu briket yang dihasilkan. Campuran yang dibuat
tergantung pada ukuran serbuk, macam perekat, jumlah perekat dan tekanan
pengempaan yang dilakukan. Proses perekatan yang baik ditentukan dari hasil
13

pencampuran bahan perekat yang dipengaruhi oleh bekerjanya alat pengaduk


(mixer), komposisi bahan perekat yang tepat dan ukuran pencampurannya
(Wardani, 2014).

2.4.4 Pencetakan Briket

Pencetakan briket bertujuan untuk mendapatkan densitas tinggi dan


memperoleh bentuk yang seragam serta memudahkan dalam pengemasan serta
penggunaannya. Dengan kata lain, pencetakan briket akan memperbaiki
penampilan dan mengangkat nilai jualnya. Oleh karena itu, bentuk ketahanan
briket yang diinginkan tergantung dari alat pencetak yang digunakan (Anggiat dan
Arjianto, 2013).

2.4.5 Pengeringan Briket

Umumnya kadar air pada briket yang telah dicetak masih sangat tinggi
sehingga bersifat basah dan lunak. Oleh karena itu, briket perlu dikeringkan.
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dan mengeraskannya hingga
aman dari gangguan jamur dan benturan fisik. Berdasarkan caranya, dikenal dua
metode pengeringan, yaitu penjemuran dengan sinar matahari dan pengeringan
dengan menggunakan oven (Anggiat dan Arjianto, 2013).

2.5 Perekat Briket

Perekat adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk
mengikat dua benda melalui ikatan permukaan. Beberapa istilah lain dari perekat
yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, paste, dan cement. Glue
merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani seperti kulit, kuku, urat, otot
dan tulang yang digunakan dalam industri kayu. Mucilage adalah perekat yang
dipersiapkan dari getah dan air yang diperuntukkan terutama untuk perekat kertas.
Paste adalah perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati
dan air dan dipertahankan berbentuk pasta. Cement adalah istilah yang digunakan
14

untuk perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut
(Ruhendi, dkk, 2007).

Sifat alamiah bubuk arang cenderung saling memisah. Dengan bantuan bahan
perekat atau lem, butir-butir arang dapat disatukan dan dibentuk sesuai dengan
kebutuhan. Namun, permasalahannya terletak pada jenis bahan perekat yang akan
dipilih. Penentuan jenis bahan perekat yang digunakan sangat berpengaruh
terhadap kualitas briket arang ketika dinyalakan dan dibakar. Faktor harga dan
ketersediaannya di pasaran harus dipertimbangkan secara seksama karena setiap
bahan perekat memiliki daya lengket yang berbeda-beda karakteristiknya
(Sudrajat, 1983).

Penggunaan bahan perekat dimaksudkan untuk menarik air dan membentuk


tekstur yang padat atau mengikat dua substrat yang akan direkatkan. Dengan
adanya bahan perekat, maka susunan partikel akan semakin baik, teratur dan lebih
padat sehingga dalam proses pengempaan keteguhan tekan dari arang briket akan
semakin baik (Silalahi et al. dalam Dimmas, 2015). Menurut Schuchart, dkk.
(1996), pembuatan briket dengan menggunakan bahan perekat akan lebih baik
hasilnya jika dibandingkan tanpa menggunakan bahan perekat. Disamping
meningkatnya nilai kalor dari bioarang, kekuatan briket arang dari tekanan luar
jauh lebih baik (tidak mudah pecah).

Terdapat dua macam perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan briket
yaitu perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch), dan perekat yang tidak
berasap (pati dan dekstrin tepung beras). Untuk briket yang digunakan di rumah
tangga sebaiknya memakai bahan perekat yang tidak berasap (Abdullah, 1991).
Sedangkan menurut Hayati (2008), ada beberapa bahan yang dapat digunakan
sebagai perekat yaitu pati, clay, molase, resin tumbuhan, pupuk hewan dan ternak.
Perekat yang digunakan sebaiknya mempunyai bau yang baik ketika dibakar,
kemampuan merekat yang baik, harganya murah, dan mudah didapat.
15

Berdasarkan Kurniawan dan Marsono (2008), beberapa jenis perekat yang


digunakan untuk briket arang salah satunya yaitu perekat aci. Perekat aci terbuat
dari tepung tapioka yang mudah dibeli dari toko makanan dan di pasar. Perekat
ini biasa digunakan untuk mengelem prangko dan kertas. Cara membuatnya
sangat mudah yaitu cukup mencampurkan tepung tapioka dengan air, lalu
dididihkan di atas kompor. Selama pemanasan tepung diaduk terus menerus agar
tidak menggumpal. Warna tepung yang semula putih akan berubah menjadi
transparan setelah beberapa menit dipanaskan dan terasa lengket di tangan. Kadar
perekat dalam briket tidak boleh terlalu tinggi karena dapat mengakibatkan
penurunan mutu briket arang yang sering menimbulkan banyak asap. Kadar
perekat yang digunakan umumnya tidak lebih dari 5 %.

Bahan perekat dari tumbuh-tumbuhan seperti pati (tapioka) memiliki


keuntungan dimana jumlah perekat yang dibutuhkan untuk jenis ini jauh lebih
sedikit bila dibandingkan dengan bahan perekat hidrokabon. Kelemahannya
adalah briket yang dihasilkan kurang tahan terhadap kelembaban. Hal ini
disebabkan tapioka memiliki sifat dapat menyerap air dari udara. Molase
memiliki sifat relatif tahan terhadap kelembaban (Goutara dan Wijandi. dalam
Purwita, 2012). Asap yang terjadi saat pembakaran disebabkan karena adanya
komponen mudah menguap seperti air, bahan organik, dan lain-lain yang
terkandung dalam perekat molase (Boedjang, 1973). Jenis perekat yang
digunakan dalam pembuatan briket arang berpengaruh terhadap kerapatan,
keteguhan tekan, nilai kalor bakar, kadar air dan kadar abu. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa perekat pati menghasilkan briket dengan kerapatan dan
kadar abu lebih tinggi daripada perekat molase, tetapi menghasilkan keteguhan
tekan dan nilai kalor bakar lebih rendah (Sudrajat, 1983).
16

2.6 Penelitian Terdahulu

Briket yang terbuat dari kulit biji jarak pagar lebih tinggi didalam kerapatan
dan keteguhan tekan, tetapi lebih rendah didalam kadar air, karbon terikat dan
nilai kalor (Sudradjat, Setiawan dan Roliadi, 2005). Irmawati, Muhammad,
Sirajuddin (2017), menyatakan bahwa dari penelitian yang di lakukan hasil
terbaik biobriket berbahan kulit singkong yang diperoleh telah memenuhi
beberapa parameter standar yang telah di tetapkan oleh SNI, yaitu kadar air, kadar
abu, dan nilai kalor. Biobriket yang telah memenuhi standar tersebut yaitu pada
waktu karbonisasi 30 menit dan penambahan massa tepung tapioka 1,5 gram
dengan nilai kalor 5449 kal/gr, kadar air 7,89%, kadar abu 7,72%, kadar zat
terbang 32,7% dan kadar karbon terikat 78,69%. Untuk menghasilkan briket yang
lebih baik dilakukanlah penelitian dengan mencampur kedua bahan ini.

Anda mungkin juga menyukai