LANDASAN TEORI
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman asli Amerika
Tengah yang saat ini telah menyebar ke seluruh dunia terutama daerah tropika
(Widyawati, 2010). Tanaman jarak pagar mulai banyak ditanam di Indonesia
sejak masa penjajahan Jepang untuk membudidayakan tanaman jarak. Hasilnya
yang berupa biji digunakan untuk membuat bahan bakar bagi pesawat-pesawat
tempur Jepang. Oleh karenanya dalam waktu singkat tanaman jarak pagar
menyebar cukup luas, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah Jawa
Tengah meliputi daerah Semarang serta Solo dan sekitarnya. Sementara, wilayah
Jawa Timur meliputi Madiun, Lamongan, Bojonegoro, Besuki, dan Malang.
Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman jarak pagar meluas sampai di
Kawasan Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, dan sebagainya.
Jadi, nama-nama lokal untuk jarak pagar dapat ditemukan di daerah-daerah
(Nurcholis dan Sumarsih, 2007).
Beberapa nama daerah (nama lokal) juga diberikan kepada tanaman jarak pagar
ini antara lain di daerah Sunda (jarak kosta, jarak budeg), Jawa (jarak gundul,
jarak pager), Madura (kalekhe paghar), Bali (jarak pager), Nusa Tenggara (lulu
mau, paku kase, jarak pageh), Alor (kuman nema), Sulawesi (jarak kosta, jarak
4
5
wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene), dan Maluku (ai huwa kamala,
balacai, kadoto). Nama ilmiah dari tanaman ini adalah Jatropha curcas L
(Hariyadi, 2005).
Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) dikenal sebagai jarak pagar, dan
merupakan tanaman semak yang tumbuh dengan cepat hingga mencapai
ketinggian 3-5 meter. Tanaman ini tahan kekeringan dan dapat tumbuh di
tempat-tempat dengan curah hujan 200 mm hingga 1500 mm per tahun. Daerah
penyebaran tanaman terletak antara 40o LS sampai 50o LU dengan ketinggian
optimal 0-800 meter di atas permukaan laut (Hamdi, 2005).
Tanaman jarak memerlukan iklim yang kering dan panas terutama pada saat
berbuah. Suhu yang rendah pada saat penanaman dan pembungaan akan sangat
merugikan karena mudah terserang jamur. Tanaman jarak pagar tumbuh di
daerah tropis dan subtropis, dengan suhu optimum 20 – 35o C. Kelembaban yang
tinggi akan mendorong perkembangan jamur sehingga akan menurunkan
produktivitas. Tanaman jarak pagar tergolong tanaman hari panjang, yaitu
tanaman yang memerlukan sinar matahari langsung dan terus menerus sepanjang
hari. Tanaman tidak boleh terlindung dari tanaman lainnya, yang berakibat akan
menghambat pertumbuhannya (Hamdi, 2005).
Jarak pagar hampir tidak memiliki hama karena sebagian besar bagian
tubuhnya beracun. Tanaman ini mulai berbuah setelah berusia lima bulan dan
mencapai produktivitas penuh pada usia 5 tahun. Buahnya berbentuk ellips
dengan panjang 1 inchi dan memiliki 2-3 biji. Umur tanaman ini dapat mencapai
6
50 tahun (Suara Pembaruan, 2005). Data komposisi kimia biji jarak dapat kita
lihat pada table 2.1.
2.2 Singkong
Selama ini, kulit ubi kayu masih jarang dimanfaatkan secara optimal. Kulit
ubi kayu pada umumnya hanya digunakan sebgai makanan ternak dan sebagai
makanan ringan seperti keripik dengan cara digoreng (Grace, 1977). Persentase
Kulit singkong yang dihasilkan terdiri atas dua bagian utama yaitu bagian luar
yang berwarna cokelat dan kasar dengan komposisi antara 0,5-2% dan bagian
dalam yang berwarna putih kemerah-merahan dan halus dengan komposisi antara
8-15% dari berat singkong (Hikmiyati dan Yanie, 2009).
2.3 Biomassa
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis
baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain adalah
tanaman, pepohonan rumput, limbah pertanian, limbah hutan, dan limbah ternak.
Selain digunakan untuk tujuan primer serat, bahan pangan, pakan ternak, minyak
nabati, bahan bangunan, dan sebagainya. Biomassa juga digunakan sebagai
sumber energi (bahan bakar). Biomassa yang sering digunakan untuk bahan bakar
adalah biomassa yang nilai ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah
diambil produknya (Pari dan Hartoyo, 1983).
9
Pembuatan briket arang dari limbah tersebut dibuat dari biomassa yang
dimampatkan sehingga dibutuhkan perekat didalamnya. Karakteristik briket yang
baik adalah briket yang permukaannya halus dan tidak meninggalkan bekas
hitam di tangan. Selain itu, sebagai bahan bakar, briket juga harus memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a.Mudah dinyalakan
b.Tidak mengeluarkan asap
c.Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun
d.Kedap air dan hasil pembakaran tidak berjamur bila disimpan pada waktu
lama
e.Menunjukkan upaya laju pembakaran (waktu, laju pembakaran, dan suhu
pembakaran) yang baik (Miskah, 2014).
Briket mempunyai dua jenis proses pembuatan yaitu briket karbonisasi dan
non karbonisasi (Sumangat dan Broto, 2009). Briket karbonisasi adalah jenis
11
briket yang terlebih dahulu mengalami proses karbonisasi sebelum menjadi briket
yaitu proses pengkarbonan/pengarangan/pembakaran bahan baku (umpan) di
dalam tungku pembakaran (incenerator) (Sitompul, 2011). Dengan proses
karbonisasi zat-zat terbang yang terkandung dalam briket tersebut diturunkan
serendah mungkin sehingga produk akhirnya tidak berbau dan berasap, namun
biaya produksi menjadi meningkat karena pada bahan baku briket tersebut terjadi
rendemen sebesar 50%. Briket ini cocok untuk digunakan untuk keperluan rumah
tangga serta lebih aman dalam penggunaannya. Jenis Non Karbonisasi (biasa),
jenis yang ini tidak mengalamai proses karbonisasi sebelum diproses menjadi
briket, proses pembuatannya lebih sederhana dan harganya pun lebih murah.
Karena zat terbangnya masih terkandung dalam briket maka pada penggunaannya
lebih baik menggunakan tungku (bukan kompor) sehingga akan menghasilkan
pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat terbang yang muncul dari briket
akan habis terbakar oleh lidah api di permukaan tungku. Briket ini umumnya
untuk industri kecil (Kementrian Negara Riset dan Teknologi
@2004.ristek.go.id). Pembuatan briket mempunyai dua bahan penyusun yang
penting yaitu bahan baku dan bahan perekat. Pemilihan bahan baku dan bahan
perekat sangat menentukan mutu suatu briket (Maryono, 2013).
Menurut Anggiat dan Arjianto (2013) dalam proses pembuatan briket, terdiri
dari beberapa tahapan-tahapan utama yaitu :
4) Pencetakan briket.
5) Pengeringan briket.
12
Biasanya, ukuran partikel biomassa mempunyai bentuk dan ukuran yang tidak
seragam. Bahan baku untuk membuat briket harus cukup halus untuk dapat
membentuk briket yang baik. Ukuran partikel yang terlalu besar akan sukar pada
waktu melakukan perekatan sehingga mengurangi keteguhan tekan dari briket
yang dihasilkan. Perbedaan ukuran serbuk mempengaruhi keteguhan tekan dan
kerapatan briket yang dihasilkan (Ndraha, 2010).Agar bentuk dan ukuran bahan
biomassa menjadi seragam, diperlukan alat atau mesin penggiling untuk
menghaluskan/memperkecil ukuran bahan biomassa. Tipe mesin penggiling yang
digunakan biasanya sama dengan penggiling tepung atau bisa juga digunakan
blender jika skala produksinya kecil (Anggiat dan Arjianto, 2013).
Umumnya kadar air pada briket yang telah dicetak masih sangat tinggi
sehingga bersifat basah dan lunak. Oleh karena itu, briket perlu dikeringkan.
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dan mengeraskannya hingga
aman dari gangguan jamur dan benturan fisik. Berdasarkan caranya, dikenal dua
metode pengeringan, yaitu penjemuran dengan sinar matahari dan pengeringan
dengan menggunakan oven (Anggiat dan Arjianto, 2013).
Perekat adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk
mengikat dua benda melalui ikatan permukaan. Beberapa istilah lain dari perekat
yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, paste, dan cement. Glue
merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani seperti kulit, kuku, urat, otot
dan tulang yang digunakan dalam industri kayu. Mucilage adalah perekat yang
dipersiapkan dari getah dan air yang diperuntukkan terutama untuk perekat kertas.
Paste adalah perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati
dan air dan dipertahankan berbentuk pasta. Cement adalah istilah yang digunakan
14
untuk perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut
(Ruhendi, dkk, 2007).
Sifat alamiah bubuk arang cenderung saling memisah. Dengan bantuan bahan
perekat atau lem, butir-butir arang dapat disatukan dan dibentuk sesuai dengan
kebutuhan. Namun, permasalahannya terletak pada jenis bahan perekat yang akan
dipilih. Penentuan jenis bahan perekat yang digunakan sangat berpengaruh
terhadap kualitas briket arang ketika dinyalakan dan dibakar. Faktor harga dan
ketersediaannya di pasaran harus dipertimbangkan secara seksama karena setiap
bahan perekat memiliki daya lengket yang berbeda-beda karakteristiknya
(Sudrajat, 1983).
Terdapat dua macam perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan briket
yaitu perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch), dan perekat yang tidak
berasap (pati dan dekstrin tepung beras). Untuk briket yang digunakan di rumah
tangga sebaiknya memakai bahan perekat yang tidak berasap (Abdullah, 1991).
Sedangkan menurut Hayati (2008), ada beberapa bahan yang dapat digunakan
sebagai perekat yaitu pati, clay, molase, resin tumbuhan, pupuk hewan dan ternak.
Perekat yang digunakan sebaiknya mempunyai bau yang baik ketika dibakar,
kemampuan merekat yang baik, harganya murah, dan mudah didapat.
15
Briket yang terbuat dari kulit biji jarak pagar lebih tinggi didalam kerapatan
dan keteguhan tekan, tetapi lebih rendah didalam kadar air, karbon terikat dan
nilai kalor (Sudradjat, Setiawan dan Roliadi, 2005). Irmawati, Muhammad,
Sirajuddin (2017), menyatakan bahwa dari penelitian yang di lakukan hasil
terbaik biobriket berbahan kulit singkong yang diperoleh telah memenuhi
beberapa parameter standar yang telah di tetapkan oleh SNI, yaitu kadar air, kadar
abu, dan nilai kalor. Biobriket yang telah memenuhi standar tersebut yaitu pada
waktu karbonisasi 30 menit dan penambahan massa tepung tapioka 1,5 gram
dengan nilai kalor 5449 kal/gr, kadar air 7,89%, kadar abu 7,72%, kadar zat
terbang 32,7% dan kadar karbon terikat 78,69%. Untuk menghasilkan briket yang
lebih baik dilakukanlah penelitian dengan mencampur kedua bahan ini.