PEGADAIAN SYARIAH
Disusun oleh:
(Kelompok 6)
Kelas: C
Muhlis Rasit : 180105010115
Nur Khopipah Rosita : 180105010150
Fadia Rima Inayatni : 180105010474
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt.,
atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga makalah “Pegadaian Syariah” ini
dapat diselesaikan dan disajikan kepada para pembaca dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah Lembaga dan Instrumen Keuangan Syariah yang diampu oleh Ibu
Jumi Herlita, S.E., M. Sc. Shalawat serta salam kami haturkan kepada junjungan
kita Nabi Besar Nabi Muhammad SAW., para keluarga, sahabat, serta pengikut
beliau hingga akhir zaman.
Penulis
i
DAFTAR ISI
D. Perbedaan dan Persamaan antara Rahn dan Gadai Menurut Hukum Islam
dan Perdata .......................................................................................................... 6
A. Kesimpulan ................................................................................................ 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Taraf hidup yang berbeda disuatu negara akan semakin terasa pada saat
bangsa itu mulai membutuhkan aneka rupa barang bagi kehidupannya, khususnya
yang menyangkut pangan, sandang, papan, dan lain-lain.(Sanusi, 2009, hlm. 1)
Semakin berkembang dunia bisnis, tentunya akan selalu diikuti akan kebutuhan
kredit, dan pemberian kredit selalu memerlukan jaminan demi keamanan
pemberian kredit tersebut.
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan pegadaian syariah?
2. Bagaimana pengertian gadai syariah?
3. Bagaimana dasar hukum menurut Al-Qur’an dan Hadits, Ijma, dan
Kaidah Fiqih?
4. Apa perbedaan dan persamaan antara rahn dan gadai menurut hukum
Islam dan Perdata?
5. Bagaimana landasan konsep pegadaian syariah?
6. Bagaimana prospek gadai syariah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pegadaian syariah.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengertian gadai syariah.
3. Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum menurut Al-Qur’an dan
Hadits, Ijma, dan Kaidah Fiqih.
4. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan antara rahn dan gadai
menurut hukum Islam dan Perdata.
5. Untuk mengetahui landasan konsep pegadaian syariah.
6. Untuk mengetahui prospek gadai syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak
yang memberi pinjaman. (KBBI Daring).
KUH Perdata merumuskan gadai pada bab XX tentang gadai pasal 1150,
yakni: “gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain
atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-
orang berpiutang lainnya.(Subekti & Tjitrosudibio, 1985, hlm. 270).
Dalam bahasa Arab, gadai dikenal dengan istilah Rahn yang memiliki arti
tetap dan langgeng, penetapan dan penahanan atau menahan. Dari asal kata rahana-
yarhanu-rahnan, dalam bentuk plural rihan-ruhun-ruhunun. Pengertian gadai atau
rahn menurut pendapat M. Syafi’i Anotonio, Rahn adalah menahan salah satu harta
milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Yang
dijaminkan dan ditahan adalah barang yang memiliki nilai ekonomis. (Antonio,
1999, hlm. 195). Rahn artinya menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman dari peminjam (murtahin).
Jadi, gadai atau rahn pada dasarnya adalah menjadikan suatu benda bernilai
menurut pandangan syara’ sebagai tangguhan utang, dengan adanya benda yang
menjadi tangguhan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima. Dapat dikatakan
gadai adalah transaksi utang pitang yang disertai agunan dalam bentuk harta
bergerak dari debitur kepada kreditur sebagai jaminan utangnya saat jatuh tempo.
Dan jika debitur tidak dapat melunasi hutangnya, maka barang jaminan dijual
sebagai pengganti utang.
Yang artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-
Baqarah: 283).
Selain itu, fatwa DSN-MUI juga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam
melakukan transaksi gadai, diantaranya Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn; Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas; dan Fatwa Dewan Syariah Nasional
No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily. Fatwa ini dijadikan rujukan yang
6
oleh penerima gadai. Menjamin bahwa benda gadai adalah milik pemberi
gadai. (Suhaina, 2016, hlm. 7).
Jadi, pada dasarnya konstruksi hukum gadai syariah atau rahn identik
dengan gadai konvensional, terdapat beberapa persamaan diantaranya sama-
sama lembaga keuangan yang memberikan pinjaman kepada masyarakat atas
dasar gadai. objek gadai merupakan benda bergerak, tidak boleh mengambil
manfaat barang yang digadaikan, penerima gadai bisa menjual benda gadai
(eksekusi) dalam hal debitur wanprestasi untuk mengambil pelunasan dengan
kewajiban mengembalikan uang jika ada sisa dari hasil penjualan.
dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai
jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Untuk dapat memperoleh layanan dari pegadaian syariah, masyarakat hanya
cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk
dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf penaksir akan
menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai
patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang
pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai
intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Setelah tahan
ini, pegadaian syariah dan nasabah melakukan akad dengan berbagai macam
kesepakatan.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar
jasa simpan, maka pegadaian syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan
cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan
pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi
kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam
satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, pegadaian syariah akan
menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat. (Setiawan, 2014, hlm.
195).
1. Kekuatan (Strength)
a. Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.
Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam
Indonesia sejak masa kebangkitan nasional yang pertama. Hal ini
menunjukkan besarnya harapan dan dukungan umat Islam terhadap
adanya gadai syariah.
b. Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.
11
2. Kelemahan (weakness)
a. Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa
semua orang yang terlibat dalam akad bagi hasil adalah jujur. Namun,
hal itu dapat menjadi bumerang terhadap pegadaian syariah bagi
nasabah yang mempunyai itikad tidak baik.
b. Perlunya kecermatan yang lebih besar dalam hal perhitungan agar
dapat menghindari kesalahan perhitungan, terutama dalam
menghitung biaya yang dibolehkan dan bagian laba nasabah yang
kecil-kecil.
c. Rahn memerlukan tenaga profesional yang andal karena membawa
misi bagi hasil yang adil. Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek
yang akan dibiayai dengan sistem bagi hasil berdampak lebih berat
daripada konvensional yang hasil pendapatannya tetap dari bunga.
d. Masih diperlukannya petunjuk pelaksanaan untuk pembinaan dan
kontrol, juga adaptasi sistem akuntansi gadai syariah terhadap sistem
akuntansi yang telah baku.
3. Peluang (opportunity)
a. Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama.
1) Sudah semakin banyak masyarakat muslim Indonesia sadar akan
riba sudah jelas dilarang, maka banyak muslim yang tidak mau
memanfaatkan jasa pegadaian konvensional. Namun, hal ini
tetaplah harus digalakkan melalui sosialisasi kepada masyarakat
mengenai riba.
2) Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil
pembangunan di sektor agama memperbanyak jumlah perorangan,
yayasan, pondok pesantren, masjid, madrasah, dan baitul mal yang
belum memanfaatkan jasa gadai konvensional yang sudah ada.
3) Kekhawatiran terhadap sistem pengenaan biaya uang/sewa modal
dalam sistem pegadaian sekarang dikhawatirkan mengandung
unsur yang tidak sejalan dengan syariah. Rahn hadir untuk
menghindari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan syariat Islam.
4. Ancaman (threat)
a. Adanya rahn dianggap berkaitan dengan fanatisme agama bagi
sebagian orang. Akan ada pihak yang akan menghalangi
berkembangnya gadai syariah semata-mata karena tidak suka melihat
umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Padahal rahn
jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang suku, agama, ras,
dan adat istiadat.
b. Munculnya rahn yang menuntut pemerataan pendapatan lebih adil
dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap status quo yang
telah dinikmatinya selama puluhan tahun.
Dari analisis SWOT yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa
gadai syariah atau rahn memiliki prospek yang bagus, terlebih jika kelemahan yang
ada dapat dikurangi dan ancaman dapat diatasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bersamaan dengan perkembangan produk-produk berbasis syariah yang
kian memarak di Indonesia, sektor pegadaian juga ikut mengalami
perkembangan. Masyarakat memiliki keinginan terhadap berdirinya
lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan mungkin karena umat
Islam menghendaki adanya lembaga gadai yang benar-benar menerapkan
prinsip syariah.
2. Pegadaian syariah atau Rahn artinya menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman dari peminjam (murtahin). gadai
adalah transaksi utang pitang yang disertai agunan dalam bentuk harta
bergerak dari debitur kepada kreditur sebagai jaminan utangnya saat jatuh
tempo. Dan jika debitur tidak dapat melunasi hutangnya, maka barang
jaminan dijual sebagai pengganti utang.
3. Dasar hukum rahn dapat merujuk pada dalil-dalil yang didasarkan pada Al-
qur’an, Hadits, Ijma, dan fatwa DSN-MUI. Dasar hukum tentang rahn
didalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 283. Dalam
hadits tentang Nabi Muhammad yang menggadaikan baju besinya kepada
Yahudi untuk membeli makanan. Ijma ulama sepakat menyatakan hukum
rahn adalah mubah/boleh. Fatwa DSN-MUI tentang rahn juga dijadikan
sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan gadai syariah di Indonesia.
4. Perbedaan rahn dengan gadai konvensional yaitu landasan hukumnya,
penyebutan subjeknya, bukti perjanjiannya, banyaknya perjanjian, segi
keuntungan, dan perlakuan terhadap kelebihan uang eksekusi. Sedangkan
persamaan rahn dan gadai konvensional yaitu sama-sama lembaga
keuangan yang memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar gadai,
obyek gadai merupakan benda bergerak, tidak boleh mengambil manfaat
barang yang digadaikan, penerima gadai bisa menjual benda gadai
15
16
Antonio, M. S. (1999). Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan. Tazkia
Institute.
Pasaribu, C., & Lubis, S. K. (2004). Hukum Perjanjian Dalam Islam. Sinar Grafika.
Setiawan, I. (2014). Gadai Pada Pegadaian Syariah. ADLIYA: Jurnal Hukum dan
Kemanusiaan, 8(2), 185–210.
17